BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Statistik Deskriptif Pada periode tahun 2005 sampai dengan 2010 terdapat 97 perusahaan yang
melakukan penawaran saham perdana (IPO). Dari 97 perusahaan tersebut, hanya 34 perusahaan yang mencantumkan proyeksi laba dalam prospektusnya serta memiliki kelengkapan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini dapat dikategorikan berdasarkan kesalahan ramalan laba (Absolute Forecast Error) menjadi dua kategori yaitu over profit (ramalan laba underestimate) dan under profit (ramalan laba overestimate). Kategori kesalahan ramalan laba tersebut disajikan pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Absolute Forecast Error (AFE) N
Minimum
Maximum
Mean
110.66 96.20
29.2450 33.8115
Underestimate 14 0.27 Overestimate 20 2.21 Sumber : Hasil pengolahan data sekunder
Std. Deviation 38.12385 29.91395
Berdasarkan tabel 4.1, ramalan laba yang dilaporkan underestimate sebanyak 14 perusahaan, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan ramalan laba yang dilaporkan overestimate yaitu sebanyak 20 perusahaan (58,82%). Ini berarti bahwa kebanyakan emiten terlalu optimis dalam meramalkan labanya,
52
53
sehingga kinerja yang diharapkan menjadi kurang terealisasi. Padahal peramalan laba yang overestimate dapat menyebabkan turunnya kepercayaan investor. Nilai minimum underestimate sebesar 0,27%, nilai ini lebih kecil dibandingkan nilai minimum overestimate yaitu sebesar 2,21%. Nilai maksimum untuk ramalan laba underestimate sebesar 110,66%, nilai ini lebih besar dibandingkan dengan ramalan laba overestimate yaitu sebesar 96,20%. Serta nilai rata-rata dari ramalan laba yang mengalami underestimate sebesar 29,24% dengan standar deviasi sebesar 38,12%. Sedangkan, rata-rata dari ramalan laba yang mengalami overestimate adalah sebesar 33,81% dengan standar devasi sebesar 29,91%.
Statistik deskriptif dilakukan terhadap data yang bukan merupakan variabel dummy, yaitu akurasi peramalan laba, umur perusahaan, ukuran perusahaan, interval waktu peramalan, dan rasio leverage. Hasil statistik deskriptif disajikan pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Statistik Deskriptif N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
AFE
34
.27
110.66
31.9312
33.06024
AGE
34
2
46
19.50
11.298
SIZE
34
34.8 milyar
20 triliun
1.23 triliun
2.67 triliun
INTERVAL
34
0
11
3.91
3.078
LEVERAGE
34
29.08
92.83
62.5368
16.58333
Valid N (listwise)
34
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder
54
Berdasarkan tabel 4.2, variabel Kesalahan Peramalan Laba (AFE), nilai minimumnya 0,27% yaitu terjadi pada Multi Indocitra Tbk dan nilai maksimumnya 110,66% pada Bisi International Tbk, dengan mean 31,93% serta standar deviasi 33,06%. Perusahaan yang melakukan IPO pada periode 2005 - 2010 cukup bervariasi dalam hal usia perusahaan. Mulai dari perusahaan yang baru berdiri 2 tahun sebelum IPO yaitu PT Inovasi Infracom Tbk, hingga yang telah berdiri selama 46 tahun yatu PT Wijaya Karya (Persero). Ukuran perusahaan yang dilihat dari total aktiva menunjukkan bahwa ratarata aktiva perusahaan sebesar 1,23 triliun, dengan perusahaan yang memiliki aktiva paling kecil adalah Golden Retailindo Tbk yaitu sebesar 34,8 milyar. Sedangkan emiten yang memiliki aktiva paling besar adalah Bank Ekonomi Raharja Tbk yaitu 20 triliun. Interval waktu sejak perusahaan mengeluarkan prospektus sampai terbitnya laporan keuangan untuk mengukur laba aktual cukup bervariasi dari bulan yang sama dengan tutup buku hingga 11 bulan sebelum tutup buku pada tahun IPO. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun IPO dilakukan menjelang akhir periode akuntansi, manajemen tetap melakukan peramalan laba. Nilai minimum rasio leverage adalah 29,08 yang menunjukkan bahwa nilai terendah rasio hutang terhadap total aktiva perusahaan adalah sebesar 29,08% yaitu PT Inovasi Infracom Tbk dan nilai maksimum 92,83 yang menunjukkan bahwa nilai tertinggi rasio hutang terhadap total aktiva perusahaan adalah sebesar 92,83% yaitu Bank Ekonomi Raharja Tbk. Sedangkan mean rasio leverage
55
sebesar 62,54 menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan memiliki hutang 62,54% dari total aktiva yang dimiliki. Rasio besarnya DTA (Debt to Total Asset) yang tinggi, mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kebangkrutan, sehubungan dengan tinggginya kewajiban yang harus dipenuhi.
B.
Uji Asumsi Klasik Sebelum melakukan analisis regresi untuk menguji hipotesis, perlu
dilakukan uji asumsi klasik untuk menentukan apakah regresi yang dipakai sah atau tidak. Uji asumsi klasik yang diuji adalah sebagai berikut:
1.
Uji Normalitas Pengujian normalitas dilakukan terhadap variabel yang bukan merupakan
variabel dummy dengan menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel kesalahan ramalan laba (AFE), umur perusahaan, ukuran perusahaan, interval waktu peramalan, dan rasio leverage telah terdistribusi normal atau tidak. Hasil uji normalitas tersebut disajikan pada tabel 4.3.
56
Tabel 4.3 Uji Normalitas
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder
Berdasarkan tabel 4.3, terlihat bahwa hanya variabel AGE (Umur Perusahaan) dengan signifikansi 0,976, INTERVAL (Interval Waktu Peramalan) dengan signifikansi 0,161 dan LEVERAGE (Rasio Leverage) dengan signifikansi 0,832 yang terdistribusi normal karena memiliki nilai signifikansi lebih dari 0,05. Sedangkan dua variabel lainnya yaitu AFE (Kesalahan Peramalan Laba) dan SIZE (Ukuran Perusahaan) tidak berdistribusi normal, karena memiliki nilai signifikansi kurang dari 0,05, ditransformasi dengan mengunakan logaritma natural (Ln). Hasil transformasi data tersebut disajikan pada tabel 4.4.
57
Tabel 4.4 Hasil Transformasi One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test LNAFE N Normal Parameters
a,,b
34
34
2.6855
26.8842
1.54477
1.35057
Absolute
.144
.082
Positive
.095
.082
Negative
-.144
-.057
Kolmogorov-Smirnov Z
.840
.480
Asymp. Sig. (2-tailed)
.480
.975
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
LNSIZE
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder
Dari tabel 4.4, terlihat bahwa nilai K-S untuk variabel AFE (Kesalahan Ramalan Laba) 0,840 dengan probabilitas signifikansi 0,480 dan nilai K-S untuk variabel SIZE (Ukuran Perusahaan) 0,480 dengan probabilitas signifikansi 0,975. Jadi dapat disimpulkan bahwa probabilitas signifikansi dari kedua variabel hasil transformasi telah terdistribusi normal karena nilai signifikansinya lebih dari 0,05.
Pengujian normalitas dapat pula menggunakan grafik P-P Plot. Data normal adalah data yang membentuk titik-titik yang menyebar tidak jauh dari garis diagonal. Hasil pengujian normalitas data dengan menggunakan Grafik P-P Plot disajikan pada gambar 4.1.
58
Gambar 4.1 Uji Normalitas
Hasil analisis regresi dengan grafik P-P Plot terhadap residual regresi sudah menunjukkan adanya pola grafik yang normal, yaitu adanya sebaran titik yang berada tidak jauh dari garis diagonal. Hal ini berarti bahwa model regresi tersebut sudah berdistribusi normal.
2.
Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Untuk mendeteksi adanya multikolinieritas dapat dilakukan dengan menganalisis korelasi antara variabel dan perhitungan nilai tolerance serta Variance Inflation Factor (VIF). Variabel bebas tidak mengalami multikolinieritas apabila nilai tolerance tidak kurang dari 0,10 atau nilai VIF tidak lebih dari 10. Hasil uji multikolinieritas disajikan pada tabel 4.5.
59
Tabel 4.5 Uji Multikolonieritas a
Coefficients
Collinearity Statistics Model
Tolerance
VIF
AGE
.639
1.565
LNSIZE
.419
2.388
INTERVAL
.712
1.405
AUDITOR
.681
1.468
MNC
.862
1.160
LEVERAGE
.344
2.909
INDUSTRI
.579
1.728
RANGE
.591
1.692
a. Dependent Variable: LNAFE
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder
Berdasarkan tabel 4.5, hasil perhitungan nilai tolerance dari semua variabel independen menunjukkan bahwa tidak ada variabel independen yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10 yang berarti tidak ada kolerasi antar variabel independen yang nilainya lebih dari 95%. Serta dari hasil perhitungan nilai VIF juga menunjukkan hal yang sama, yaitu tidak ada satupun variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih dari 10. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolonieritas antar variabel independen dalam model regresi ini.
3.
Autokorelasi Autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linear ada korelasi
antara kesalahan penggangu pada periode t dengan kesalahan penggangu pada
60
periode t-1 (sebelumnya). Untuk mendeteksi adanya autokorelasi penelitian ini tidak menggunakan Durbin Watson (D-W) karena antara jumlah sampel dan variabel independen yang diuji tidak sesuai, maka untuk mendeteksi autokorelasi penelitian ini menggunakkan uji statistics Q:Box-Pierce dan Ljung Box. Kriteria adanya autokorelasi adalah jika jumlah lag yang signifikan lebih dari dua, dan jika lag yang signifikan dua atau kurang dari dua, maka dikatakan tidak ada autokorelasi (Imam, 2006:107). Hasil uji autokorelasi disajikan pada tabel 4.6. Tabel 4.6 Uji Autokorelasi Series:Unstandardized Residual Lag
Box-Ljung Statistic Autocorrelation
Std. Error
a
Value
df
Sig.
b
1
-.131
.164
.636
1
.425
2
.084
.162
.908
2
.635
3
.042
.159
.977
3
.807
4
.056
.157
1.105
4
.893
5
.099
.154
1.523
5
.910
6
-.119
.151
2.144
6
.906
7
.011
.149
2.150
7
.951
8
-.095
.146
2.571
8
.958
9
.060
.143
2.749
9
.973
10
-.205
.140
4.899
10
.898
11
-.083
.137
5.267
11
.918
12
-.003
.134
5.267
12
.948
13
-.257
.131
9.120
13
.764
14
.016
.128
9.136
14
.822
15
-.024
.125
9.173
15
.868
16
.091
.121
9.734
16
.880
a. The underlying process assumed is independence (white noise). b. Based on the asymptotic chi-square approximation.
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder
61
Hasil statistik Ljung Box terhadap residual regresi menunjukkan bahwa enam belas lag (16) ternyata tidak signifikan, karena semua nilai signifikansinya diatas 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada autokorelasi antar variabel independen dalam model regresi ini.
4.
Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Cara untuk mendeteksi heteroskedastisitas dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi standar variabel dependen (ZPRED) dengan nilai residual yang distudentized (SRESID). Jika gambar tersebut tidak membentuk pola tertentu yang teratur maka disimpulkan bebas dari heteroskedastisitas. Deteksi heteroskedastisitas dapat dilihat pada gambar 4.2. Gambar 4.2 Uji Heteroskedastisitas
62
Berdasarkan gambar 4.2, terlihat titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi.
C.
Pengujian Hipotesis Untuk mengetahui seberapa besar variabel independen dapat menjelaskan
variasi variabel dependen dapat dilihat pada tabel 4.7. Tabel 4.7 Koefisien Determinasi b
Model Summary
Model 1
R
R Square a
.738
.545
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .399
1.19758
a. Predictors: (Constant), RANGE, MNC, INTERVAL, AGE, AUDITOR, LNSIZE, INDUSTRI, LEVERAGE b. Dependent Variable: LNAFE
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder
Besarnya koefisien determinasi adalah 39,9% yang bermakna bahwa variabel independen hanya mampu menjelaskan 39,9% variasi dari nilai variabel dependennya, yaitu AFE (kesalahan ramalan laba). Sedangkan sisanya 60,1% dijelaskan oleh faktor lain yang dapat mempengaruhi kesalahan ramalan laba yang tidak dikaji dalam penelitian ini.
Untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependennya, dapat dilihat dari tabel 4.8.
63
Tabel 4.8 Uji Anova Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
42.893
8
5.362
Residual
35.855
25
1.434
Total
78.748
33
F
Sig.
3.738
a
.005
a. Predictors: (Constant), RANGE, MNC, INTERVAL, AGE, AUDITOR, LNSIZE, INDUSTRI, LEVERAGE b. Dependent Variable: LNAFE
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder
Berdasarkan hasil uji ANOVA atau F test didapat nilai F hitung sebesar 3,738 dengan probabilitas 0,005 atau sebesar 0,5%. Karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05 atau sebesar 5%, maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi akurasi peramalan laba atau dapat dikatakan bahwa umur perusahaan, ukuran perusahaan, interval waktu peramalan, reputasi auditor, multinational company, rasio leverage, kelompok industri dan range aktivitas secara bersama-sama berpengaruh terhadap AFE (kesalahan peramalan laba).
Untuk mengetahui variabel independen mana yang memberikan pengaruh secara parsial signifikan terhadap akurasi peramalan laba maka dapat dilihat dari tabel 4.9.
64
Tabel 4.9 Uji Koefisien Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
-14.940
5.634
-.074
.023
LNSIZE
.630
INTERVAL
Coefficients Beta
t
Sig.
-2.652
.014
-.543
-3.215
.004
.239
.551
2.642
.014
.277
.080
.551
3.446
.002
AUDITOR
-.424
.532
-.130
-.798
.433
MNC
-.065
.625
-.015
-.103
.918
LEVERAGE
.019
.021
.200
.869
.393
INDUSTRI
.265
.636
.074
.417
.680
RANGE
.059
.630
.017
.094
.926
AGE
a. Dependent Variable: LNAFE
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder
Berdasarkan hasil analisis data pada tabel 4.9, maka hasil persamaan regresinya dapat ditulis sebagai berikut: AFE = -14.940 - 0,074 Age + 0,630 Size + 0,277 Interval – 0,424 Auditor – 0,065 MNC + 0,019 Leverage + 0,265 Industri + 0,059 Range
1.
Pengaruh Umur Perusahaan Terhadap Akurasi Peramalan Laba Dari hasil penelitian, didapat nilai sig t sebesar 0,004. Nilai ini lebih kecil
dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa variabel umur perusahaan berpengaruh signifikan terhadap akurasi peramalan laba. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Jelic et al. (1998), Dita
65
(2003) dan Khusnik (2004) namun tidak sesuai dengan hasil penelitian Firth dan Smith (1992), Meily dan Indriantoro (1999), Hairany (2001), Sunariyah (2002), dan Florensia et al. (2008). Sedangkan koefisien regresinya sebesar -0,074 menunjukkan bahwa umur perusahaan berpengaruh negatif terhadap kesalahan peramalan laba. Artinya perusahaan yang telah lama berdiri mampu meramalkan laba dengan tingkat kesalahan yang kecil jika dibandingkan dengan perusahaan yang baru berdiri, sehingga lebih akurat dalam meramalkan labanya. Sesuai dengan hasil Julic et al (1998) yang menyatakan bahwa perusahaan yang belum lama berdiri, akan lebih sulit untuk membuat ramalan laba dibandingkan perusahaan yang telah lama berdiri, karena data masa lalu (historical data) merupakan masukan (input) yang sangat penting dalam membuat suatu peramalan. Hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan pengalaman yang dimiliki oleh manajemen, dimana perusahaan yang lebih lama berdiri memiliki tim manajemen yang lebih berpengalaman dan solid dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkin yang akan terjadi di masa yang akan datang (Meily dan Indriantoro, 1999).
2.
Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Akurasi Peramalan Laba Variabel ukuran perusahaan mempunyai nilai sig t sebesar 0,014. Nilai ini
lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa variabel ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap akurasi peramalan laba. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Firth dan Smith (1992), Dita (2003) dan Florensia et al. (2008), namun tidak sesuai dengan hasil penelitian Jelic et al. (1998), Sunariyah (2002), dan Khusnik
66
(2004). Sedangkan koefisien regresi sebesar 0,630 menunjukkan pengaruh yang positif terhadap kesalahan ramalan laba. Semakin besar ukuran suatu perusahaan, maka tingkat kesalahannya akan semakin tinggi, sehingga akurasi ramalan laba yang dibuat oleh manajemen akan semakin rendah. Hasil ini tidak sesuai dengan hubungan yang diharapkan pada hipotesis ini. Perusahaan kecil, pada periode krisis global yang mulai terjadi selama tahun 2008 memiliki hutang dalam dollar yang lebih kecil jika dibandingkan dengan perusahaan besar. Oleh karena itu, pada saat kurs dollar meningkat terhadap rupiah, hutang perusahaan besar meningkat. Hal ini tentu akan mempengaruhi fluktuasi laba perusahaan. Alasan lain yang dapat diajukan untuk menunjukkan bahwa ramalan laba pada perusahaan kecil lebih tepat jika dibandingkan dengan perusasahaan besar adalah adanya kemampuan perusahaan kecil untuk bertahan terhadap krisis yang terjadi. Karena perusahaan kecil lebih banyak menggunakan komponen lokal yang tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan kurs mata uang asing, sedangkan perusahaan besar menggunakan komponen-komponen impor yang sangat terpengaruh oleh fluktuasi mata uang asing. Oleh karena itu, laba perusahaan besar akan dipengaruhi oleh kurs mata uang asing, yang akhirnya akan mengakibatkan variabilitas laba yang cukup besar. Adanya variabilitas laba yang cukup besar akan menyebabkan laba akan lebih sulit diprediksi atau dapat dikatakan bahwa ramalan labanya menjadi kurang akurat.
67
3.
Pengaruh Interval Waktu Peramalan Terhadap Akurasi Peramalan Laba Dari hasil penelitian ini, didapat nilai sig t sebesar 0,002. Nilai ini lebih kecil
dari tingkat signifikansi 5%. Jadi dapat disimpulkan bahwa variabel interval waktu peramalan berpengaruh signifikan terhadap akurasi peramalan laba. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hairany (2001), Khusnik (2004) dan Florensia et al. (2008), namun tidak sesuai dengan hasil penelitian Firth dan Smith (1992), Jelic et al. (1998), Meily dan Indriantoro (1999), Sunariyah (2002), dan Dita (2003). Sedangkan koefisien regresinya sebesar 0,277 menunjukkan bahwa interval waktu peramalan berpengaruh positif terhadap kesalahan peramalan laba. Artinya penerbitan prospektus mendekati akhir periode akuntansi mampu meramalkan laba dengan tingkat kesalahan yang lebih kecil, sehingga akan lebih akurat dalam meramalkan labanya. Berbagai penelitian terdahulu, Cooper dan Taylor (1983) dalam Florensia et al. (2008) menunjukkan bahwa semakin pendek interval waktu peramalan, maka ramalan laba akan semakin akurat. Hal ini disebabkan karena semakin panjang interval waktu peramalan laba, diduga ketidakpastian yang dihadapi perusahaan semakin besar, sehingga laba aktual yang terjadi akan menyimpang semakin besar. Semakin pendek periode jarak antara waktu peramalan dengan akhir periode tercapainya laba aktual akan meningkatkan akurasi peramalan. Hal ini mencerminkan bahwa asumsi-asumsi yang diperkirakan oleh pihak manajemen memang benar-benar terjadi atau mendekati kenyataan. Interval waktu yang
68
signifikan juga mencerminkan bahwa selama periode peramalan sampai tercapainya laba aktual perusahan bisa mengendalikan kegiatan operasinya sesuai dengan planning perusahaan.
4.
Pengaruh Reputasi Auditor Terhadap Akurasi Pemalan Laba Dari hasil penelitian, nilai sig t sebesar 0,433. Nilai ini lebih besar dari
tingkat signifikansi 5%. Jadi dapat disimpulkan bahwa variabel reputasi auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap akurasi peramalan laba. Ketidaksignifikansi ini menunjukkan bahwa dalam pasar modal, auditor eksternal tidak memegang peranan yang penting dalam perencanaan ramalan laba dari perusahaan emiten. Dari data yang diambil, perusahaan yang menggunakan jasa auiditor big four hanya sebanyak 11 emiten atau sebesar 32,35%. Sehingga hasil yang tidak signifikan ini mungkin dapat pula disebabkan karena hipotesis ini tidak didukung oleh data. Reputasi auditor yang tidak berpengaruh terhadap ketepatan ramalan laba dapat pula disebabkan karena auditor hanya memberikan pendapat (opini) atas kewajaran laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen, dan bukan peramalan labanya. Auditor yang frekuensinya lebih sering melakukan audit pada perusahaan yang IPO dibandingkan dengan auditor yang jarang melakukan audit memiliki prestasi yang tidak jauh berbeda. Rata-rata kesalahan peramalan pada auditor yang lebih sering melakukan audit memang lebih rendah namun selisihnya tidak signifikan dengan auditor yang jarang melakukan audit pada perusahaan IPO. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja dua kategori kelompok auditor relatif setara, karena dalam mengaudit semua auditor menggunakan standar yang sama
69
dalam penilaian pelaporan keuangan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Firth dan Smith (1992), Jelic et al. (1998), Meily dan Indriantoro (1999), Hairany (2001), Sunariyah (2002), Dita (2003), Khusnik (2004) dan Florensia et al. (2008).
5.
Pengaruh Multinasional Company Terhadap Akurasi Peramalan Laba Dari hasil penelitian, nilai sig t sebesar 0,918. Nilai ini lebih besar dari
tingkat signifikansi 5%. Berarti secara statistik variabel MNC (multinational company) tidak berpengaruh signifikan terhadap akurasi peramalan laba. Ketidaksignifikansi ini mungkin disebabkan karena variabel ini tidak didukung oleh data, sebab sampel perusahaan yang berskala internasional hanya sebanyak 5 emiten (14,71%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Florensia et al. (2008).
6.
Pengaruh Rasio Leverage Terhadap Akurasi Peramalan Laba Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai sig t adalah sebesar 0,393.
Nilai ini lebih besar dari tingkat signifikansi 5%. Berarti secara statistik variabel rasio leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap akurasi peramalan laba. Sedangkan koefisien regresi sebesar 0,019 menunjukkan pengaruh yang positif terhadap kesalahan ramalan laba. Artinya tingkat kewajiban yang rendah menyebabkan kesalahan yang lebih kecil, sehingga akan lebih akurat dalam meramalkan labanya. Ketidaksignifikansi ini mungkin disebabkan karena krisis global yang terjadi Indonesia selama tahun 2008. Sehingga mengakibatkan hutang dalam mata uang
70
asing yang dimiliki perusahaan akan berfluktuasi. Akibatnya hutang akan semakin meningkat karena kurs mata uang asing (dollar) yang meningkat terhadap rupiah. Ketidakstabilan hutang inilah yang diduga akan mempengaruhi ketidak signifikansinya variabel rasio leverage terhadap akurasi peramalan laba. Hasil ini sesuai dengan penilitian yang dilakukan oleh Firth dan Smith (1992), Jelic et al. (1998), Meily dan Indriantoro (1999) dan Florensia et al. (2008), namun tidak sesuai dengan hasil penelitian Hairany (2001), Sunariyah (2002), Dita (2003), dan Khusnik (2004).
7.
Pengaruh Kelompok Industri Terhadap Akurasi Peramalan Laba Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai sig t adalah sebesar 0,680.
Nilai ini lebih besar dari tingkat signifikansi 5%. Berarti secara statistik variabel kelompok industri tidak berpengaruh signifikan terhadap akurasi peramalan laba. Ketidaksignifikansi ini dapat disebabkan karena adanya krisis global yang terjadi di Indonesia, dimana setiap jenis industri terkena dampak dari krisis tersebut. Hal ini menyebabkan setiap jenis industri menjadi kurang mampu untuk meramalkan labanya dengan tepat. Penyebab lainnya dapat dikarenakan variabel kelompok industri ini tidak didukung oleh data, karena yang merupakan kelompok industri keuangan pada sampel ini hanya berjumlah 8 emiten (23,53%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dita (2003) dan Khusnik (2004), namun tidak sesuai dengan hasil penelitian Jelic et al. (1998), dan Florensi et al. (2008).
71
8.
Pengaruh Range Aktivitas Terhadap Akurasi Peramalan Laba Dari hasil penelitian, nilai sig t sebesar 0,926. Nilai ini lebih besar dari
tingkat signifikansi 5%. Berarti secara statistik variabel range aktivitas tidak berpengaruh signifikan terhadap akurasi peramalan laba. Hasil ini tidak sesuai dengan penilitian yang dilakukan oleh Florensia et al. (2008). Hal ini dapat disebabkan karena sampel pada penelitian ini tidak didukung oleh data, karena perusahaan yang menjalankan usahanya pada 1 segmen hanya berjumlah 8 emiten (23,53%).