11 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Klasifikasi dan Perubahan Penutupan Lahan Analisis yang dilakukan pada penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tipe penutupan lahan yang mendominasi serta lokasi lahan gambut dan mineral di daerah Kabupaten Sampit, dan menganalisis perubahan penutupan lahan yang terjadi selama periode 15 tahun yang digunakan sebagai acuan untuk analisis penggunaan lahan selanjutnya serta pengaruhnya bterhadap peningkatan suhu di Sampit. 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Data citra yang digunakan adalah citra Landsat 5 TM Path/Row 119/062, akusisi 7 Februari 1989 dan Lansat 7 ETM+ Path/Row 119/062, akusisi 19 Agustus 2004. Proses pengambilan area studi menggunakan metode cropping area dan band yang digunakan yaitu band 1, 2,3 karena band 1, 2, dan 3 pada data landsat dapat digunakan untuk menganalisis klasifikasi daerah baik itu jenis vegetasi, dan badan air. dimana spesifikasi ke 3 band tersebut yaitu, band1 dirancang untuk penetrasi kedalam tubuh air, pemetaan perairan pantai, juga berguna untuk pembedaan jenis tanah /vegetasi, pemetaan tipe hutan, band 2 mengukur puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau, yang berguna untuk melihat perbedaan vegetasi dan tingkat kesuburan dan band 3 untuk mengetahui wilayah serapan klorofil yang berguna untuk pembedaan spesies tanaman . Pengambilan area studi dilakukan dengan data vektor lokasi kecamatan Mentaya Hilir Utara, Mentaya Hilir Selatan, Baamang, Pulau Hanaut dan Ketapang, yang merupakan kecamatan yang berada di Kabupaten Sampit. Kemudian dioverlay dengan data citra satelit Landsat ETM+/TM path/row : 119/062. Gambar 4 dan 5 menyajikan citra satelit setelah mengalami analisis citra dasar dan cropping studi area. Setelah proses crooping maka dilakukan proses klasifikasi . Prosedur klasifikasi tak terbimbing umumnya mengasumsikan bahwa citra dari area geografis tertentu adalah di kumpulkan pada multi region dari spektrum elektromagnetik, dengan menggunakan metode ini, program klasifikasi mencari pengelompokan secara natural atau clustering berdasarkan sifat spektral dari
setiap pixel. Hasil klasifikasi merupakan kelas-kelas spektral yang belum diketahui identitasnya, karena didasarkan hanya pada pengelompokan secara natural. Peneliti harus membandingkan dengan data referensi, yaitu data peta penggunaan lahan Kotimkab (2002) dan membandingkan dari google earth, dengan demikian kelas-kelas spektral tersebut dapat diberikan identitasnya. Proses selanjutnya adalah memberi identitas penutup lahan dan warna yang berbeda dari masing-masing kelas pada citra. 4.1.2 Perubahan Penutupan Lahan Penutupan lahan untuk wilayah kabupaten sampit dalam penelitian ini yaitu akan dibahas untuk Kecamatan Mentaya hilir utara, Mentaya hilir selatan, Baamang, Ketapang dan Pulau Hanaut. Klasifikasi dibagi 5 kelas untuk tahun 1989 dan 6 kelas untuk tahun 2004. Klasifikasi tersebut membagi daerah kajian menjadi 6 tipe tutupan lahan yaitu; hutan primer, hutan sekunder, perkebunan (kelapa sawit dan karet), semak belukar, badan air, dan lahan terbuka (Gambar 4 dan 5). Klasifikasi penutupan lahan pada tahun 1989 didominasi oleh vegetasi hutan sekunder yakni hutan - hutan yang merupakan hasil regenerasi (pemulihan) setelah sebelumnya mengalami kerusakan ekologis yang cukup berat; misalnya akibat pembalakan, kebakaran hutan, atau pun bencana alam, dan hutan primer yang merupakan hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya,dan pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batangbatang pohon mati yang masih tegak, tunggul, serta kayu-kayu rebah. Luasan untuk masing-masing tutupan lahan hutan primer dan sekunder yaitu seluas 110205.72 Ha dan 130246.02 Ha. Hasil yang diperoleh dari klasifikasi penutupan lahan 2004 luas hutan primer berkurang menjadi 73037. 16 Ha atau 18.5% dari total luas daerah sampit, sama halnya dengan hutan sekunder juga mengalami degradasi menjadi 97510.50 Ha. Ahli guna lahan menjadi lahan perkebunan meningkat dari 73224. 10 Ha menjadi 107706.42 Ha.
12
Gambar 5 Peta klasifikasi penutupan lahan Kabupaten Sampit, Kalimantan Tengah Tahun 1989.
13
Gambar 6 Peta klasifikasi penutupan lahan Kabupaten Sampit, Kalimantan Tengah Tahun 2004.
14 Tahun 2004, sebesar 12198.33 Ha dari tutupan semak belukar tahun 1989 sudah hilang . Masing - masing areal perkebunan telah menggantikan tutupan lahan semak belukar . Penutupan lahan tebuka juga mengalami perubahan luasan 22101.93 Ha menjadi 28632.24 Ha. Kedua jenis penutup lahan ini banyak ditemukan di Kecamatan ketapang dan mentaya hilir utara, ( Gambar 4 dan 5). Informasi luasan penutup lahan untuk masing-masing penutup lahan hasil klasifikasi (berdasarkan satuan hektar dan persentase) terdapat pada Tabel 6. Tabel 6
Penutup Lahan Hutan Primer Hutan Sekunder Perkebunan Lahan Terbuka Semak Belukar Badan air
Klasifikasi penutupan lahan di Kabupaten Sampit pada tahun 1989 dan 2004 Luas Area tahun 1989 (Ha)
Tabel 7 Rata-Rata nilai suhu permukaan (oC) tiap penutupan lahan di Kabupaten Sampit tahun 1989 dan 2004
73037. 16
130246.02 73224. 10
97510.50 107706.42
Suhu permukaan ( oC )
Tutupan Lahan
Mineral
Luas Area tahun 2004 (Ha)
110205.72
22101.93
perkebunan. Begitu juga hasil estimasi suhu permukaan pada tahun 2004 di lahan gambut untuk hutan primer 32 oC, hutan sekunder 32 oC, perkebunan 34 oC, semak belukar 35 oC, dapat dilihat terjadi peningkatan suhu pada tahun 2004 baik itu dilahan gambut dan mineral (Tabel 7) suhu permukaan yang dibahas pada penelitian ini adalah suhu dengan tutupan vegetasi dan lahan terbuka sehinggga suhu permukaan pada badan air tidak dilakukan analisis.
Gambut
1989
2004
1989
2004
Hutan Primer
27
32
27
32
Hutan Sekunder
29
32
29
32
Perkebunan
31
32
32
34
Lahan Terbuka
40
40
40
-
Semak Belukar
41
35
41
35
28632.24
14849.37
2651.04
-
73970.01
Luasan pada masing-masing penutup lahan di atas tidak sepenuhnya menunjukan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hasil luasan pada masing-masing penutup lahan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan perhitungan seperti faktor error secara spasial ketika proses klasifikasi penutup lahan dilakukan sehingga perlu dilakukan ground cek ke lapangan. 4.2 Distribusi Suhu Permukaan Pendugaan suhu permukaan terkoreksi pada penelitian ini menggunakan persamaan (Weng 2001) dengan asumsi yang digunakan nilai emisivitas untuk lahan non vegetasi yaitu sekitar 0.92, untuk lahan vegetasi sekitar 0.95, dan nilai emisivitas untuk air sekitar 0.98. Hasil estimasi ratarata nilai suhu permukaan 1989 pada tiap penutupan lahan di tanah gambut yaitu hutan sekunder 29 oC, hutan primer 27 oC, perkebunan 32 oC, lahan terbuka 40 oC, dan semak belukar 41 oC, dan pada tanah mineral suhu permukaan yang berbeda hanya pada vegetasi perkebunan 31 oC, artinya terjadi peningkatan suhu pada lahan gambut yang ditanami dengan vegetasi
Suhu permukaan tahun 1989 dan 2004 di lahan gambut maupun mineral tidak bisa dibandingkan begitu saja tanpa melakukan normalisasi pada nilai radiometriknya (Normalisasi dilakukan untuk memberikan nilai yang sama pada spektral radiance di pada tahun1989 dan 2004). Pada penelitian ini tidak dilakukan normalisasi radiometrik. Sehingga yang dapat dibandingkan adalah perubahan nilai suhu yang disebabkan perubahan luas masing-masing tutupan lahan. Pada tahun 1989 perbedaan rata-rata suhu permukaan di tanah mineral dan gambut antara tutupan lahan hutan primer dan sekunder adalah 20C, sedangkan pada tahun 2004 tidak ada perbedaan antara kedua tutupan lahan tersebut. Hal ini dikarenakan terjadinya penyusutan luas hutan primer yang mempengaruhi kapasitas panas di wilayah tersebut dimana nilai kapasitas panas (C) sangat menentukan transfer panas dan nilai C ditentukan oleh volume . Sama halnya dengan selisih suhu penutupan lahan perkebunan antara tanah mineral dan gambut pada tahun 1989 adalah 1oC, sedangkan pada tahun 2004 adalah 20C. Meningkatnya suhu permukaan perkebunan di lahan gambut pada tahun 2004 juga menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran
15 penggunaan lahan dimana terbukti dengan peningkatan luas lahan perkebunan pada tahun 2004 lebih besar dibandingkan pada tahun 1989. Bertambahnya luas area juga meningkatkan suhu permukaan pada semak belukar di tahun 1989 dengan luas 73224. 10 ha dan suhu 41 oC sebaliknya penyusutan perubahan lahan semak belukar pada tahun 2004 menjadi 2651.04 ha memiliki suhu 35 oC. Berdasarkan hasil analisis klasifikasi penutupan lahan yang telah dioverlay dengan peta gambut pada tahun 2004 lahan terbuka untuk lahan gambut telah digantikan dengan perkebunan kelapa sawit sehingga untuk lahan terbuka di lahan gambut tidak dilakukan analisis. Pada penelitian ini nilai Ts Perkebunan di tanah gambut lebih besar dibandingkan dengan di tanah mineral, Ts perkebunan di lahan gambut terjadi peningkatan suhu sebesar 2 oC dari suhu perkebunan di lahan mineral. Hasil yang ditunjukkan pada tabel 6 sangat jelas dimana nilai suhu permukaan pada tipe penutup lahan non -vegetasi (lahan terbuka) lebih tinggi dengan tipe penutupan lahan vegetasi, dimana suhu permukaan pada lahan terbuka berkisar 40 oC, kondisi ini menunjukkan hubungan antara konduktivitas panas jenis dan konduktivitas thermal, semakin tinggi konduktivitas thermal dan kapasitas jenis panas yang rendah maka suhu permukaan akan lebih tinggi. 4.3 Analisis Komponen Neraca energi Nilai keseimbangan energi atau neraca energi dapat di identifikasi pada suatu daerah dengan menggunakan data satelit Landsat TM/ETM+, dengan adanya input atau informasi dan data yang tersedia. Analisis ini dapat digunakan dalam menetukan nilai penerimaan radiasi netto, albedo, fluks pemanasan tanah, dan fluks pemanasan udara (komponen neraca energi). Pada penelitian ini Informasi komponen neraca energi tersebut yang diperlukan untuk menghitung atau menduga nilai fluks pemanasan tanah dan nilai suhu udara. 4.3.1
Analisis Albedo dengan Tipe Tutupan Lahan Albedo (α) merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan. Nilai albedo diperoleh dari
pengolahan data citra Landsat ETM+ dengan memanfaatkan fungsi dari Band 1, 2 dan 3. Nilai albedo untuk tiap tutupan lahan di Kabupaten Sampit berkisar antara 0.0470.206 (Tabel 8). Berdasarkan data citra satelit Landsat pada wilayah Kecamatan Mentaya hilir selatan, Mentaya hilir utara, Ketapang, Baamang dan Pulau Hanaut yang terletak di Kalimantan Tengah pada tahun 1989 dan 2004 dapat diketahui nilai albedo untuk badan air berkisar 0.081, dan nilai albedo untuk lahan terbuka sekitar 0.083 0.0969. Tabel 8 Rata-rata nilai albedo (unitless) tiap penutupan lahan di Kabupaten Sampit tahun 1989 dan 2004 Tutupan Lahan
Albedo Mineral
Albedo Gambut
1989
2004
1989
2004
Hutan Primer
0.0473
0.0600
0.0478
0.0599
Hutan Sekunder
0.0584
0.0681
0.0543
0.0685
Perkebunan
0.0593
0.0753
0.0613
0.0724
Lahan Terbuka
0.083
0.0969
0.083
-
0.057
0.082
0.058
0.084
0.081
0.081
Semak Belukar Badan Air
Albedo pada lahan terbuka lebih tinggi karena pancaran radiasi yang diterima pada lahan terbuka lebih banyak dipantulkan kembali dan sangat sedikit radiasi yang diserap oleh lahan terbuka (tidak ada vegetasi yang menyerap radiasi) dan untuk lahan terbuka, tanah sangat sedikit menyerap radiasi., Sedangkan pada badan air pancaran radiasi yang diterima selain dipantulkan ada juga yang diserap oleh badan air yang selanjutnya akan di hantarkan untuk memanaskan lapisan air yang ada dibawahnya. Nilai albedo pada hutan primer sekitar 0.0473 - 0.06 dan nilai albed o pada hutan sekunder antara 0.0584 - 0.0685. Albedo pada kedua tipe penutupan lahan ini jelas terlihat berbeda. Hal ini disebabkan oleh kerapatan vegetasi yang terdapat pada masing-masing penutupan lahan ini, selain itu berbagai jenis vegetasi yang menutupi permukaan diatasnya pula dapat menjadi adanya perbedaan albedo (Geiger et al, 1961). Pada hutan primer yang sebagian besar vegetasinya berupa vegetasi dengan
16 kanopi yang tinggi dan kerapatan vegetasi yang tinggi menyebabkan kecilnya nilai albedo. Dimana, radiasi yang diterima sebagian besar diserap oleh vegetasi. Sedangkan pada hutan sekunder yang telah mengalami pengurangan vegetasi yang tumbuh dan kanopi pada vegetasi yang ada relatif lebih rendah serta kerapatan vegetasinya juga sudah mulai jarang menyebabkan radiasi yang diterima sebagian dipantulkan kembali dan sebagian kecil yang diserap oleh vegetasi. 4.3.2 Analisis Radiasi Netto dengan Tipe Tutupan Lahan Radiasi netto (Rn) yang dihitung dari jumlah radiasi gelombang pendek yang datang dengan jumlah energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dari suatu permukaan dikurangi dengan jumlah energi radiasi gelombang panjang yang dipancarkan. Hasil ekstraksi radiasi netto memiliki kisaran 273.94 – 384.12 Wm-2 Tahun 1989 dan 255.4-358.62 Wm-2 Tahun 2004 (Tabel 9) Berdasarkan (Tabel 9) nilai rata-rata Rn untuk penutup lahan bervegetasi (Hutan Primer, hutan sekunder, perkebunan, semak belukan,lahan terbuka, badan air ) memiliki nilai yang semakin meningkat dari mulai penutup lahan jenis hutan alam ke penutup lahan terbuka. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya kerapatan kanopi tumbuhan bervegetasi yang menutupi lahan dan berbedanya nilai emisivitas masing-masing penutup lahan membuat semakin bertambahnya energi radiasi gelombang pendek dan panjang yang dipantulkan. Nilai radiasi netto di daerah dengan penutup lahan bervegetasi terutama hutan paling tinggi, sementara di lahan non vegetasi (lahan terbuka) nilainya rendah. -2
Tabel 9 Rata-rata nilai radiasi netto (Wm ) tiap penutupan lahan di Kabupaten sampit 1989 dan 2004 Penutup Lahan
Rn (Wm-2) Mineral 1989 2004
Gambut 1989 2004
Hutan Primer
413.47
383.88
421.47
376.45
Hutan Sekunder
401.70
376.45
448.94
376.45
Perkebunan
389.69
370.23
382.60
363.96
Lahan Terbuka
340.02
348.02
340.02
-
Semak Belukar
270.15
363.96
270.15
363.96
Adanya perbedaan penerimaan Rn pada tiap tipe penutup lahan, dipengaruhi oleh albedo, radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang. Pada Penutup lahan terbuka memiliki nilai albedo yang tinggi. Hal ini akan mengakibatkan energi radiasi gelombang pendek yang diterima rendah dan energi radiasi gelombang panjang yang dipancarkan tinggi, sehingga radiasi nettonya rendah. Perubahan penutupan lahan dengan berkurannya daerah hutan dapat mengakibatkan radiasi lebih banyak dipantulkan daripada diserap, dan penerimaan radiasi netto menjadi lebih rendah diliat juga berdasarkan nilai albedo tiap penutupan lahan. 4.4 Analisis Suhu Udara Pendugaan nilai suhu udara dilalukan dengan metode penurunan komponen neraca energi, dengan menggunakan data suhu permukaan yang diperoleh dari data satelit. Hasil estimasi suhu udara diperoleh dari penurunan persamaan 13 untuk fluks pemanasan udara dan persamaan 14. Ratarata sebaran suhu udara di lima Kecamatan Kabupaten Sampit untuk tiap tutupan lahan yang berbeda dapat dilihat pada (Tabel 10). Tabel 10 Rata-rata nilai suhu udara (oC) tiap penutupan lahan di Kabupaten Sampit tahun 1989 dan 2004 Tutupan Lahan
Suhu udara ( oC ) Mineral Gambut 1989 2004 1989 2004
Hutan Primer
25
29
25
29
Hutan Sekunder
27
29
27
29
Perkebunan
29
32
30
32
Lahan Terbuka
35
34
35
-
Semak Belukar
36
34
36
34
Analisis perubahan lahan dan perubahan suhu permukaan , terlihat ada keterkaitan. Makin banyak perubahan lahan yang cenderung menaikkan suhu udara yaitu lahan terbuka dan perkebunan, maka akan semakin besar juga pertambahan luas area suhu tinggi yang terjadi. Perubahan lahan perkebunan yang paling tinggi terjadi pada tahun 2004 dan penyusutan area hutan mengakibatkan suhu udara pada vegetasi perkebunan meningkat sekitar 2 oC. Hubungan perubahan penutupan lahan
17 terhadap perubahan suhu dapat diformulasikan sebagai berikut (Saryono 1989, diacu dalam Adiningsih et. al., 2001) C = ρc ............................................ (16) Dimana C merupakan kapasitas panas yaitu jumlah energi yang diperlukan untuk memanaskan atau mendinginkan suatu volume benda sekian derajat (J m3), c merupakan kapasitas panas jenis (J/Kg) dan ρ adalah massa jenis (Kg/m3) . Pada penelitian ini nilai suhu udara di lahan gambut dan mineral tidak jauh berbeda, hal ini menunjukkan pengaruh penutupan lahan yang sangat menentukan seperti hutan, perkebunan, semak belukar, lahan terbuka tingginya nilai suhu udara pada daerah tersebut, dimana untuk lahan terbuka yang sifatnya cepat menyerap panas dan cepat melepaskan panas kelapisan udara atasnya menyebabkan suhu udara lahan tebuka lebih tinggi dibandingkan dengan lahan bervegetasi. Berbeda dengan penutupan lahan vegetasi suhu udaranya rendah dikarenakan sifat vegetasi yang menyerap sebagian besar radiasi matahari dan pemantulan yang lebih tinggi sehingga mempengaruhi nilai emisivitas dan kapasitas panas jenis menjadi lebih tinggi sedangkan konduktivitas thermal yang rendah. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan secara keseluruhan pada tahun 1989 untuk tanah mineral dan gambut (2741) oC dan tahun 2004 di tanah mineral (3240) oC, dan tanah gambut (29-35) oC. Untuk nilai suhu udara tahun 1989 di lahan gambut dan mineral yaitu (25-36) oC, dan tahun 2004 ( 29-34) oC. Pada daerah kajian terlihat adanya perubahan penggunaan lahan , dan penyusutan luas vegetasi sangat mempengaruhi kapasitas panas. Pada tiap penutupan lahan yang mengalami peningkatan daerah kajian suhu permukaan akan lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan yang terjadi penyusutan. 5.2 Saran Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data pengukuran langsung dilapangan yang berfungsi sebagai nilai validasi dan dalam melakukan perhitungan suhu permukaan, komponen neraca energi dan suhu udara, dari data citra
satelit Landsat TM/ETM+ dan perlu dilakukan normalisasi untuk memberikan nilai yang sama pada spektral radiance di kedua tahun tersebut. Pada penelitian ini tidak dilakukan normalisasi radiometrik masih banyak menggunakan asumsi-asumsi sehingga berpotensi sebagai faktor penyebab kesalahan dalam melakukan perhitungan. Saran sebaiknya dilakukan pengukuran langsung di lapangan. DAFTAR PUSTAKA [Pemerintah Kabupaten Kotawaringin]. 2006. Arah Pemanfaatan Ruang. http://kotimkab.go.id/ [4 Mei 2010]. [UNEP/GRID-Arendal]. 2010. http://www.grida.no/publications/other /ipcc_tar/?src=/climate/ipcc_tar/wg1/fi g1-2.htm. [ 12 Mei 2010]. Adiningsih E S, Soenarno S H , Mujasih S. 2001. Kajian Perubahan Distribusi Spasial Suhu Udara Akibat Perubahan Penutup Lahan. Warta LAPAN Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2001. 29-44. Andriesse J P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Soil Researches manegement and Conservation Service. FAO Land and Water Development Division. Rome, Italy. http://books.google.co.id/books?id=ba 6bmQqV4C0C&pg=PA24&lpg=PA2 4&dq=andriesse+1988&source=bl&ot s=40RB7JvVG0 [ 5 Mei 2010] . Brandyk T, Oleszczuk R, Szatylowicz J. 2001. Investigation of Soil Water Dynamics in A Fen Peat-Moorsh Soil Profile. International Peat Journal 11: 15–24. Coll C, Casselles V, Sobrino J A, Valor E. 1994. On the atmospheric dependence of the split-window equation for land surface temperature. International Journal or Remote Sensing, Vol.15, pp.105-122. Food and Agriculture Organization (FAO), 1998. Crop EvapotranspirationGuidelines for Computing Crop Water Requirements–FAO Irrigation and Drainage paper 56. http://www.fao.org/docrep/X0490E/x0 490e07.htm# radiation. [8 Maret 2010]. Geiger R, Robert H. Aron, Paul T. 1961. The Climate Near The Ground. Ed ke5. Cambridge : Harvard University Press.