BAB III BENTUK PERJANJIAN DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI PEMATANGSIANTAR
A. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Baku 1. Pengertian Perjanjian Baku Salah satu asas yang dikenal dan dianut dalam hukum perjanjian di Indonesia ialah asas kebebasan berkontrak. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh Pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Dan dari Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Perjanjian baku pada dasarnya merupakan perjanjian yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, dimana pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih. Defenisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan tersebut adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap oleh karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 46 Sedangkan perjanjian menurut R. Wiryono Prodjodikoro adalah suatu perbuatan hukum dimana mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam 46
R. Subekti, Hukum Perjanjian ,Op.Cit , hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut. 47 Selanjutnya menurut Hoffman, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut caracara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. 48 Dalam hal ini dikatakan sebagai perjanjian apabila seseorang yang mengikatkan dirinya itu memiliki hak dan pihak lainnya memikul kewajiban, dimana hak itu berwujud pelaksanaan prestasi oleh debitur yang memiliki kewajiban untuk memenuhi hak yang dimiliki oleh kreditur. Selama perkembangannya hampir setengah abad hukum perjanjian Indonesia mengalami perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif dan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi. Dari perkembangan tersebut dan dalam praktek dewasa ini, perjanjian seringkali dilakukan dalam bentuk perjanjian baku (standard contract), dimana sifatnya membatasi asas kebebasan berkontrak. Adanya kebebasan ini sangat berkaitan dengan kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang-undang atau setidak-tidaknya diawasi pemerintah. Perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract” atau “standard voorwaarden”. Di luar negeri belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan untuk 47
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1981, hal. 11 48 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, PT. Binacipta, Bandung, 1987, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian baku. Kepustakan Jerman mempergunakan istilah “Allgemeine Geschafts Bedingun”, “standard vertrag”, “standaardkonditionen”. Dan Hukum Inggris menyebut dengan “standard contract”. Mariam Darus Badrulzaman, menerjemahkannya dengan istilah “perjanjian baku”, yang berarti perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir 49. Baku berarti patokan, ukuran, acuan. Olehnya jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum. Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku disebabkan karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syaratsyarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit
banyaknya
telah
menunjukkan
perkembangan
yang
sangat
membahayakan kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian. Kontrak Standar merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah pada prakteknya. 49
Mariam Darus Badrulzaman, “Perlindungan Konsumen dilihat dari Perjanjian Baku (Standard)”, Makalah pada Simposium Aspek – Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen” diselenggarakan BPHN Departemen Kehakiman pada 16 – 18 Oktober 1980 di Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
Para sarjana mendefinisikan perjanjian baku (standard contract) sebagai berikut: a. Munir Fuadi “Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.” 50 b. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo “Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo menjelaskan perjanjian baku merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari Pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggungjawab berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 UUPK.” 51 c. Mariam Darus Badrulzaman Perjanjian Baku adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya. 52 d. Abdulkadir Muhammad Abdulkadir Muhammad menjelaskan perjanjian baku adalah perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap
50
Munir Fuadi, Hukum Kontrak, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 76 51 Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 118 52 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha. Yang distandarisasi atau dibakukan adalah meliputi model, rumusan, dan ukuran. 53 Dari definisi para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perjanjian baku adalah perjanjian yang memuat di dalamnya klausula – klausula yang sudah dibakukan, dan dicetak dalam bentuk formulir dan dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya. Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis. Di Indonesia dijumpai tindakan negara yang dalam hal ini ikut campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah tentang hal yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha. 53
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal 6.
Universitas Sumatera Utara
Tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasan berkontrak, namun hanya UU atau Perppu atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk membatasi bekerjanya asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak itu penting mengingat dalam perjajian harus terdapat adanya: 1) Unsur esensialia, unsur yang mutlak ada dalam suatu perjanjian (karena ditetapkan melalui UU yang bersifat memaksa). Contoh: “Sebab yang halal” 2) Unsur naturalia, unsur yang tidak mutlak ada (ditetapkan dalam UU yang bersifat mengatur; boleh disimpangi atas kesepakatan para pihak). Contoh: menyimpang dari Pasal 1491 KUHPerdata, biaya pengiriman ditanggung oleh pembeli (bukan penjual). 3) Unsur aksidentalia, unsur yang tidak ditetapkan oleh UU; boleh ditambahkan atas kesepakatan para pihak. Contoh: jual beli rumah mencakup AC yang sudah terpasang. Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian menurut KUHPerdata, anatara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pentingnya Pasal 1320 KUHPerdata disebabkan dalam Pasal tersebut diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu : 1. adanya kata sepakat; 2. adanya kecakapan; 3. terdapat objek tertentu; dan 4. terdapat sebab/kausa yang halal.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu: 1. bebas membuat jenis perjanjian apa pun; 2. bebas mengatur isinya; 3. bebas mengatur bentuknya. Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Timbul pertanyaan apakah perjanjian baku memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUHPerdata? Mengenai hal ini terdapat 1 (satu) pendapat: 1. Perjanjian baku tidak memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata; 2. Perjanjian baku memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang dimaksud pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Seperti telah diuraikan, isi perjanjian baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku berlaku adagium, “take it or leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan. 2. Ciri – Ciri Perjanjian Baku Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian klausula baku berdasarkan Pasal 1 angka (10) UUPK, yaitu: setiap aturan atau ketentuan dari syarat-syarat yang telah di persiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang di tuangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Abdulkadir Muhammad, menuliskan secara sederhana perjanjian baku mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 54 a. Bentuk Perjanjian Tertulis Bentuk perjanjian meliputi naskah perjanjian secara keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah tangan. b. Format Perjanjian Dibakukan Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini dibakukan, artinya sudah ditentukan oleh model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko naskah perjanjian lengkap atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. c. Syarat-syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena
54
Abdulkadir Muhammad, Op.cit. Hal. 6-9
Universitas Sumatera Utara
syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya lebih menguntungkan pihak pengusaha ketimbang konsumen. Hal ini tergambar dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen. d. Konsumen Hanya Menerima Atau Menolak Jika konsumen menerima syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut. Penandatanganan perjanjian tersebut menunjukkan bahwa konsumen tersebut bersedia memikul beban tanggung jawab. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan tersebut, ia tidak bisa melakukan negosiasi syarat-syarat yang sudah distandarisasikan tersebut. e. Perjanjian Baku Selalu Menguntungkan Pengusaha Perjanjian baku dirancang secara sepihak oleh pihak pengusaha, sehingga perjanjian yang dibuat dengan cara demikian akan selalu menguntungkan pengusaha, terutama dalam hal-hal sebagai berikut : 1) Efisiensi biaya, waktu dan tenaga; 2) Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani; 3) Penyelasaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau menandatangani perjanjian yang ditawarkan kepadanya; 4) Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak; 5) Pembebanan tanggung jawab.
Universitas Sumatera Utara
Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku memiliki ciri –ciri sebagai berikut : 55 a) Isinya ditetapkan sepihak oleh pihak yang posisinya lebih kuat; b) Masyarakat dalam hal ini debitur, sama sekali tidak ikut bersama – sama menentukan isi perjanjian; c) Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian itu; d) Dipersiapkan terlebih dulu secara missal dan kolektif; 3. Jenis - Jenis Perjanjian Baku Perjanjian baku mengandung sifat yang banyak menimbulkan kerugian terhadap konsumen. Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain: a. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif. b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah. c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokat, adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat
55
Mariam DarusBadrulzaman,Op.Cit,.hal.45
Universitas Sumatera Utara
yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebut contract model. Bentuk perjanjian baku dengan syarat – syarat baku umumnnya terdiri atas: 56 1) Dalam bentuk dokumen Merupakan suatu perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak. Biasanya memuat persyaratan khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal – hal tertentu dan atau berakhirnya perjanjian itu. 2) Dalam bentuk persyaratan- persyaratan dalam perjanjian Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk lain seperti yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda penjualan, kartu – kartu tertentu, pada papan pengumuman yang diletakkan dalam di ruang termuat dalam kemasan atau pada wadah produk yang bersangkutan. Walaupun belum dilakukan penelitian secara pasti, dewasa ini sebagian besar perjanjian dalam dunia bisnis berbentuk perjanjian baku/perjanjian standar/standard contract. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang isinya telah diformulasikan oleh suatu pihak dalam bentukbentuk formulir.
56
AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Diadit Media, Jakarta, 2002, Hal 95-96
Universitas Sumatera Utara
4. Perjanjian Baku menurut KUHPerdata dan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen Di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata tidak diatur secara spesifik mengenai perjanjian baku, namun perjanjian baku tetap diperbolehkan dalam praktek – praktek perjanjian, dengan catatan tidak bertentangan dengan syarat – syarat dan prinsip – prinsip dalam hukum perikatan pada umumnya. Namun, Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Secara sepintas, dapat terkesan bahwa perjanjian baku bertentangan atau tidak sejalan dengan asas-asas umum perjanjian seperti asas sepakat dan konsensual, mengingat terms and conditionnya telah ditetapkan (pre determined) secara sepihak. Namun demikian, bahwa dengan diterimanya syarat syarat tersebut oleh pihak lainnya dapat diartikan bahwa secara sukarela yang bersangkutan telah mengikatkan diri untuk menerima persyaratan persyaratan dimaksud. Mengingat penundukan sukarela yang demikian, maka penting dijaga bahwa terms and condition tersebut memenuhi unsur-unsur keadilan, kepatutan, keseimbangan dan perlindungan bagi pihak yang secara objektif faktual berada dalam posisi yang tidak seimbang. Kondisi objektif faktual tersebut antara lain dapat berupa tidak adanya alternatif untuk mendapatkan pilihan-pilihan yang terbuka, atau tidak adanya waktu yang cukup bagi satu pihak untuk merundingkan terms and conditions atau posisi tawar yang relatif lebih lemah baik karena kedudukan
Universitas Sumatera Utara
monopolistis atau karena sifat barang dan/atau
jasa yang menjadi objek
perjanjiannya. Kontrak baku adalah kebutuhan nyata dalam sebuah bisnis. Kebutuhan tersebut timbul mengingat sifat-sifat dari transaksi seperti berulangulang dan relatif homogen, berlaku umum dan massal serta telah merupakan kebiasaan
dalam
dunia
perdagangan.Namun
demikian,
Undang-undang
membatasi kebebasan dari satu pihak untuk mendiktekan ketentuan dan syaratsyaratnya untuk tidak bertentangan dengan asas-asas umum pada perikatan. Undang-undang no. 8 tahun 1999 dalam konsideransnya menyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab; Selain itu juga dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa penting untuk
menumbuhkan
perlindungan
konsumen
kesadaran sehingga
pelaku tumbuh
usaha
mengenai
sikap
yang
pentingnya jujur
dan
bertanggungjawab dalam berusaha;Berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, pembatasan-pembatasan pada kontrak baku justru diperlukan untuk melindungi asas kebebasan berkontrak yang berlaku secara universal itu. Selengkapnya bunyi Pasal 18 Undang undang Nomor 8 tahun 1999 adalah sebagai berikut : Pasal 18 ayat 1, Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
Universitas Sumatera Utara
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 18 ayat 2 Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pasal 18 ayat 3 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undangundang ini.
Sebenarnya
pengaturan
perundang-undangan
perlindungan
konsumen ini adalah semacam lex specialist dari pengaturan umum yang ada pada perikatan dalam KUHPerdata, pada Pasal 1493 dan Pasal 1494 yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 1493, kedua belah pihak, dengan persetujuanpersetujuan istimewa boleh memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini dan bahkan mereka boleh mengadakan persetujuan bahwa penjual tidak wajib menanggung sesuatu apa pun. Dalam Pasal 1494 meskipun telah diperjanjikan bahwa penjual tidak akan menanggung sesuatu apa pun, ia tetap bertanggung jawab atas akibat dari suatu perbuatan yang dilakukannya, segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal. Satu hal yang sangat jelas pada kedua produk perundang-undangan di atas adalah tidak diperbolehkannya satu pihak yang seyogianya bertanggungjawab tetapi mengalihkan atau tidak mengakui tanggungjawab tersebut, atau yang disebut sebagai klausul eksonerasi. Undang-undang
perlindungan
konsumen
(UUPK)
menentukan
beberapa hal tentang tanggung jawab (liability), yang diatur dalam Bab VI
Universitas Sumatera Utara
Tentang Tanggung jawab Pelaku Usaha, dimulai dari Pasal 19 hingga Pasal 28 UUPK. Ketentuan tentang tanggung jawab (liability) yang terdapat dalam Bab Tanggung Jawab Pengusaha atau Produsen merupakan permesan dari asas product liability. Bahkan sebagian besar pakar memandang, eksistensi product liability sudah disyaratkan mulai dari Pasal 7 hingga Pasal 18 UUPK. Inti dari product liability dalam ketentuan ini adalah, pelaku usaha bertanggungjawab atas kerusakan, kecacatan, penjelasan, ketidaknyamanan, dan penderitaan yang dialami oleh konsumen karena pemakaian atau mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan. 57 B. Perjanjian Baku pada Pembiayaan Murabahah pada PT Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar 1. Jenis Pembiayaan pada PT Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagai menjadi: 58 a. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi
57
N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hal. 145. 58 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, 2001 hal.160.
Universitas Sumatera Utara
b. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis diguna-kan untuk dipakai memenuhi kebutuhan. Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi: 59 1) Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan (1) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan (2) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang. 2) Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu. Jenis pembiayaan syariah pada Bank Syariah yang lazim ditemukan diantaranya adalah sebagai berikut :60 a) Al-wadi’ah (Simpanan) Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki. Prinsip wadi’ah adalah dimana pihak pertama menitipkan dana atau benda kepada pihak kedua, selaku penerima titipan dengan konsekuensi, titipan tersebut sewaktu – waktu dapat diambil kembali, dimana kepada penitiip dapat dikenakan biaya penitipan.
59
M. Syafii Antonio, http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/pembiayaan-banksyariah/, diakses tanggal 16 Maret 2012. 60 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Op.Cit, hal. 69– 111.
Universitas Sumatera Utara
b) Al - musyarakah Al-musyarakah secara bahasa berarti mencampur. Dalam hal ini, mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Al Musyarakah merupakan suatu bentuk organisasi usaha dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi sama atau tidak sama. Keuntungan dibagi menurut perbandingan yang sama atau tidak sama, sesuai dengan kesepakatan para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Al-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi
sesuai
dengan
kesepakatan
untuk
bank
setelah
terlebih
dulu
mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura. c) Al - mudharabah Pengertian Al - mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab. Secara umum, mudarabah dibagi tiga, yaitu : 1) mudarabah mutlaqah merupakan mudharabah yang tidak disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari para shahibul maal
Universitas Sumatera Utara
(penyedia dana). Pengertian lain dari mudarabah mutlaqah bentuk kerja sama antara shahibul maal
dengan
adalah
mudarib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan yang sebesar – besarnya kepada mudarib untuk mengelola dananya; 2) mudarabah
muqayyadah
on
balance
sheet,
merupakan
akad
mudarabah yang disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari shahibuk maal untuk investasi – investasi tertentu. Dalam Mudarabah ini mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha yang telah diperjanjikan di awal akad kerja sama; 3) mudarabah mudarabah
muqayyadah dimana
bank
off
balance sheet,
bertindak
sebagai
merupakan
jenis
arranger,
yang
mempertemukan nasabah pemilih modal dan nasabah yang akan menjadi mudarib. Jenis mudarabah ini merupakan penyaluran dana langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan anatara pemilik dana dan pelaksana usaha. Dalam dunia perbankan Al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan modal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah untuk usaha tertentu.
Universitas Sumatera Utara
d) Al-muzara'ah Pengertian Al - muzara'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan ka¬sus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen. e) Al-musaqah Pengertian Al - musaqah merupakan bagian dari al - muza'arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. f) Bai' as-salam Bai' as-salam artinya pembelian barang dengan pembayaran di muka dan barang diserahkan kemudian hari. Bai’ as-salam adalah transaksi jual beli, dimana barangnya belum ada, sehingga barang yang menjadi objek transaksi tersebut diserahkan secara tangguh. Dalam transaksi ini bank menjadi pembeli dan nasabah menjadi penjual. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang. g) Bai' Al istishna' Bai' Al istishna' merupakan bentuk khusus dari akad Bai'as¬salam, oleh karena itu ketentuan dalam Bai` Al istishna' mengikuti ketentuan dan aturan Bai'as-salam. Pengertian Bai' Al istishna' adalah kontrak penjualan antara pembeli
Universitas Sumatera Utara
dengan produsen (pembuat ba¬rang). Kedua belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang. h) Al-Ijarah (Leasing) Pengertian Al-Ijarah adalah kegiatan penyewaan suatu barang dengan imabalan pendapatan sewa, dimana akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial lease. Secara prinsip, ijarah sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa sewa, dapat saja diperjanjikan bahwa barang yang diambil manfaatnya selama masa sewa akan dijualbelikan antara bank dan nasabah yang menyewa (ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). i) Al-Wakalah (Amanat) Wakalah atau wakilah adalah transaksi, dimana pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua (sebagai wakil) untuk urusan tertentu dimana pihak kedua mendapat imbalan berupa fee atau komisi. Akad wakalah ini tersebut biasa digunakan antara lain dalam pengiriman transfer, penagihan utang, baik melalui kliring atau inkaso atau realisasi L/C. Wakalah dalam praktik perbankan syariah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso maupun transfer utang.
Universitas Sumatera Utara
j) Al-Kafalah (Garansi Bank) Al-Kafalah merupakan transaksi dimana pihak pertama bersedia menjadi penanggung atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak kedua, sepanjang sesuai dengan yang diperjanjikan dimana pihak pertama menerima imbalan berupa fee atau komisi (garansi). Jadi, kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan kaafil (penjamin/bank) kepada makful (penerima jaminan) dan bertanggung jawab atas pemenuhan kembali suatu kewajiban yang menjadi hak penerima jaminan. k) Al-Hawalah Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan beban utang dari satu pihak kepada lain pihak. Fasilitas hawalah sendiri pada lazimnya digunakan untuk membantu supplier untuk mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya, sedangkan bank mendapat ganti biaya dan jasa. Dalam dunia keuangan atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring. l)
Ar-Rahn Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.Tujuan akad rahn ini adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Universitas Sumatera Utara
m) Sharf (Jual Beli Valuta Asing) Sharf adalah pertukaran / jual beli mata uang yang berbeda dengan penyerahan segera/spot berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran. Sharf adalah akad jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Pada prinsipnya, jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf, sepanjang dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank dapat mengambil keunutngan dari jual beli valuta asing ini. n) Qardh Qardh adalah pinjaman uang. Qardh ini telah dituangkan dalam Fatwa DSN-MUI NO: 19/DSN-MUI/IV/2001. Dalam diktum fatwa tersebut, disebutkan bahwa qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Nasabah qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama dan lembaga keuangan syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu. 2. Pembiayaan Murabahah dan Perjanjian Baku Meningkatnya
jumlah
bank
syariah
di
Kota
Pematangsiantar
menunjukkan bahwa daerah ini tidak tertinggal dalam laju perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia. Bank Syariah, khususnya Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar menyediakan berbagai jenis pembiayaan untuk nasabah, termasuk salah satu diantaranya adalah pembiayaan Murabahah. Bank Syariah, pada dasarnya menyediakan pembiayaan untuk kegiatan yang tidak bertentangan dengan syariah. Perjanjian baku pembiayaan berdasarkan prinsip syariah merupakan perjanjian antara bank dengan nasabah (debitur) untuk memberikan pinjaman
Universitas Sumatera Utara
sejumlah dana kepada debitur. Pemberian pembiayaan ini berdasarkan prinsip syariah sangat beresiko, karena setelah dana pembiayaan diterima oleh debitur, maka pihak bank tidak mengetahui secara pasti penggunaan dana tersebut. Oleh karena itu, dalam menyalurkan dana, bank harus melaksanakan asas – asas pembiayaan dengan berdasarkan prinsip syariah yang sehat dan asas kehati – hatian, serta perlu melakukan penilaian yang seksama dalam setiap pertimbangan permohonan pembiayaan syariah dari nasabah. Penerapan prinsip – prinsip hukum perbankan syariah dalam membuat perjanjian baku pembiayaan murabahah di Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar dapat dilihat berdasarkan beberapa aspek di bawah ini : a. Subjek akad atau para pihak yang membuat perjanjian. Dalam perjanjian baku pembiayaan pada pembiayaan murabahah pada Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, para pihak terdiri atas orang atau badan hukum yang cakap dan berwenang untuk melaksanakan perbuatan hukum membuat perjanjian baku pembiayaan. Mereka antara lain adalah : Pihak pertama, yaitu bank syariah dalam hal ini adalah Bank Syariah Mandiri yang telah berstatus badan hukum bertindak sebagai kreditur. Dalam hal ini pihak Bank Syariah Mandiri memberikan kuasa kepada Direktur Kantor Cabang untuk bertindak untuk dan atas nama Bank Syariah Mandiri mengikatkan diri untuk menyediakan sejumlah dana pembiayaan syariah. Direktur Kantor Cabang inilah yang bertindak berdasarkan surat kuasa tertulis yang dibuat di hadapan notaris;
Universitas Sumatera Utara
Pihak kedua, yaitu orang perorangan atau koperasi atau badan usaha yang telah berstatus badan hukum (PT) yang bertindak sebagai nasabah debitur. Identitas para pihak jelas memenuhi aspek legalitas individu atau usaha yang ditujukan dengan surat keterangan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Kutipan Akta Nikah, Surat Izin Usaha, Akta Pendirian PT, AD/ART Koperasi, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dst. Dalam kontrak perjanjian baku pembiayaan bank syariah, para pihak menguraikan secara jelas tempat dan waktu / saat perjanjian dibuat. b. Tujuan dan Objek Akad Tujuan perjanjian baku pembiayaan Murabahah Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar adalah untuk membiayakan kebutuhan konsumtif atau kegiatan yang tidak melanggar ketentuan syariah, yaitu pembiayaan kebutuhan konsumtif atau kegiatan usaha yang halal dan thayyib. Tujuan penggunaan dana ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak boleh diubah secara sepihak oleh nasabah debitur tanpa sepengetahuan bank. c. Adanya Kesepakatan Para Pihak Dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, terdapat kesepakatan para pihak yang ditandai dengan adanya pengikatan perjanjian baku pembiayaan, yang antara lain berisi : komparisi, jangka waktu, margin keuntungan bagi hasil, biaya – biaya, tata cara pembiayaan, jaminan asuransi, dan cara – cara penyelesaian yang ditempuh jika terjadi perselisihan.
Universitas Sumatera Utara
d. Adanya persamaan / kesetaraan / kesederajatan / keadilan Penentuan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah pada Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, secara umum ditentukan secara sepihak oleh bank. Kecuali mengenai komparisi, tujuan pembiayaan, rasio – rasio biaya berdasarkan mark up dalam jual beli atau nisbah bagi hasil lebih adil bagi para pihak dibandingkan dengan ketentuan bank konvensional yang secara sepihak menetapkan besar bunga dan perubahan suku bunga selama pelaksanaan perjanjian pembiayaan. e. Pilihan Hukum yang Digunakan Dalam Kontrak Perjanjian Dalam perjanjian baku pembiayaan Murabahah Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, pilihan hukum yang digunakan oleh para pihak adalah tunduk dan mengikuti ketentuan hukum Indonesia. Penerapan asas kehati – hatian dalam melaksanakan pembiayaan syariah pada umumnya, dilakukan dengan menerapkan credit management yang dalam beberapa hal sama seperti yang ditetapkan dalam pemberian kredit oleh bank konvensional, yaitu menggunakan prinsip The Five C’s of Credit, yaitu Watak (Character), modal (Capital), kemampuan (Capacity), kondisi ekonomi (Condition), dan jaminan (Collateral). 3.
Bentuk
dan
Isi
Perjanjian
Baku
Pembiayaan
Murabahah
di
Pematangsiantar Bentuk perjanjian baku pembiayaan yang dilaksanakan oleh PT. Bank Syariah Mandiri di Pematangsiantar dalam menyalurkan dana kepada debitur
Universitas Sumatera Utara
menggunakan perjanjian tertulis dan bentuk baku (standard contract). 61 PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar membuat perjanjian baku pembiayaan dalam bentuk perjanjian tertulis dan bentuk baku (standard contract) karena beberapa alasan yang berbeda: a. Memenuhi ketentuan Qs. al-Baqarah (2):282 yang artinya: “Hai orangorang yang beriman, apabila kamu bermuamallah tidak secara tunai untuk waktu
yang
ditentukan
hendaklah
kamu
menuliskannya….
Dan
dipersaksikanlah dengan dua orang saksi…” b. Memenuhi ketentuan Undang-Undang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia, dalam perjanjian baku pembiayaan harus ada perjanjian tertulis. c. Memenuhi ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). d. Preventif bagi bank syariah untuk pengamanan hukum dan alat bukti. e. Penerapan asas kebebasan berkontrak, yaitu bebas menentukan bentuk perjanjian tertulis, tidak tertulis atau tertulis dengan standard contract. 62 Berdasarkan beberapa alasan di atas, dapat diartikan bahwa perjanjian baku pembiayaan syariah dibuat dalam bentuk tertulis dan bentuk baku (standard contract) dalam rangka menjalankan fungsi yuridis, yaitu memberikan kepastian hukum bagi para pihak.15 Hal ini semakin jelas, dengan dibuatnya sebagian besar perjanjian baku pembiayaan syariah dalam bentuk akta notariel.
61
Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012. 62 Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anatomi perjanjian baku pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar pada dasarnya sama dengan perjanjian murabahah pada bank – bank syariah lain pada umumnya. Yang membedakan hanyalah urutan klausul – klausul yang ada di dalam kontrak tersebut. Berikut ini adalah anatomi perjanjian baku murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar Anatomi Perjanjian Baku Pembiayaan Murabahah PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar Nama Bank Klausula Baku
No
Klausula Bebas
Syariah Judul
Komparisi Pembiayaan dan
Kutipan Ayat Penggunaannya (Pasal2) Jangka Waktu dan Cara Pendahuluan Pembayaran (Pasal 4) Biaya, Potongan dan Pajak
Bank Definisi (Pasal 1) 1.
(Pasal 6)
Syariah Mandiri
Penarikan Pembiayaan (Pasal 3)
Jaminan (Pasal 7)
Tempat Pembayaran ( Pasal 5 )
Lain-lain (Pasal 16)
Biaya, Potongan dan Pajak (Pasal 6) Cidera Janji (Pasal 8) Akibat Cidera Janji (Pasal 9) Pengakuan dan Jaminan (Pasal 10)
Universitas Sumatera Utara
Pembatasan terhadap Tindakan Nasabah (Pasal 11) Risiko (Pasal 12) Asuransi (Pasal 13) Pengawasan (Pasal 14) Penyelesaian Perselisihan (Pasal 15) Pemberitahuan (Pasal 17) Penutup (Pasal 18) (Sumber : Akad Pembiayaan al-Murabahah Pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar) Dasar pertimbangan PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar dalam menyusun isi/syarat-syarat perjanjian baku pembiayaan syariah adalah:
63
a. sesuai dengan prinsip syariah dalam Al-Quran dan hadist; b. sesuai dengan Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI); c. hukum positif tentang perbankan di Indonesia. Hal ini dapat diartikan bahwa, walaupun perjanjian baku pembiayaan syariah hampir seluruhklausulanya dibakukan oleh bank syariah, secara hukum dapat dibenarkan sepanjang syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian tetap dipenuhi dan isi/syarat-syarat perjanjian tidak melanggar ketentuan Al – Qur’an, Hadists, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN - MUI), dan Hukum Positif di Indonesia. 63
Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar menyediakan naskah perjanjian baku pembiayaan syariah yang telah dicetak dalam bentuk blanko (formulir) dan dalam bentuk master (di dalam komputer) dalam jumlah banyak. Nasabah debitur dalam hal ini harus dengan teliti membaca isi kontrak sebelum menandatanganinya, namun masih dapat merundingkan ulang beberapa ketentuan akad yang dibuat oleh bank bagian yang dapat dirundingkan itu merupakan bentuk dari klausula bebas. 64 Sebab, pada kenyataannya, pihak bank syariah banyak menentukan sendiri syarat-syarat perjanjian baku pembiayaan, kemudian dimintakan persetujuan pada nasabah. Dalam perjanjian baku pembiayaan syariah, seluruh klausul telah dibakukan oleh bank syariah kecuali beberapa hal, seperti komparisi, jumlah pembiayaan, tujuan pembiayaan, jangka waktu, rasio-rasio keuangan, dan jaminan. Jadi, nasabah masih mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul inti suatu perjanjian baku pembiayaan. Nasabah masih bisa turut terlibat dalam merumuskan isi perjanjian baku pembiayaan syariah sepanjang aman bagi dua pihak dan tidak merugikan bank syariah. 65 Nasabah bisa mengubah isi perjanjian baku pembiayaan, misalnya point nisbah atau kewajiban lapor setiap bulan bagi nasabah. Dalam perjanjian baku pembiayaan PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, masalah rasio-rasio keuangan seperti nisbah bagi hasil atau besar margin keuntungan tidak ditentukan secara sepihak oleh bank syariah, akan tetapi ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama. Besar rasio keuangan
64
Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012. 65 Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
bagi setiap nasabah debitur adalah berbeda – beda sesuai dengan hasil negoisasi antara pihak bank syariah dengan masing-masing nasabah debitur. 66 Jadi, apabila dilihat berdasarkan bentuknya, maka perjanjian baku pembiayaan PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar sama dengan perjanjian kredit di bank konvensional, yaitu berbentuk perjanjian tertulis dan baku/standar (standard contract). 67 Hanya saja yang membedakan keduanya adalah pada perjanjian baku pembiayaan syariah masih dimungkinkan adanya tawar menawar (negosiasi) antara pihak bank syariah dengan nasabah debitur untuk menentukan rasio-rasio keuangan menyangkut besar nisbah bagi hasil atau besar margin keuntungan. Dengan demikian, berdasarkan pendapat Mariam Darus Badrulzaman yang membagi jenis perjanjian baku menjadi empat jenis, 68 maka perjanjian baku pembiayaan PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar termasuk pada jenis kedua, yaitu: perjanjian baku timbal balik. Pada perjanjian baku jenis ini, isi perjanjian ditentukan oleh kedua belah pihak. Sedangkan jenis perjanjian pengikatan jaminan termasuk pada perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah. Misalnya Akta Fidusia dan Akta Hak Tanggungan atas Tanah. Oleh karena itu, pendapat Vera Bolger yang menyebut perjanjian baku sebagai take it or leave it contract karena bersifat massal dan kolektif, 69
tidak sepenuhnya
berlaku pada perjanjian baku pembiayaan syariah. Dalam hal ini, debitur dan bank syariah masih dapat melakukan tawar menawar (negosiasi) mengenai syarat-
66
Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012. 67 Hasil wawancara dengan Bapak Edy Siregar, Legal Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012. 68 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, hal. 46 69 Ibid. hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
syarat atau isi perjanjian sampai terjadi kesepakatan diantara mereka. Semua syarat-syarat isi perjanjian baku pembiayaan syariah harus disetujui bersama antara bank dan nasabah debitur, karena apabila salah satu pihak tidak setuju maka tidak ada pengikatan. 70 Oleh karena itu, apabila pihak bank syariah dan nasabah belum mencapai kesepakatan maka perjanjian bisa dibicarakan lagi sampai terjadi kesepakatan. Pernyataan persetujuan terhadap suatu perjanjian menurut teori hukum perikatan Islam dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu melalui lisan, tulisan, isyarat, dan perbuatan. 71 Dengan adanya penandatangan kontrak perjanjian baku pembiayaan syariah, maka para pihak saling mengikatkan diri untuk melaksanakan tujuan perjanjian baku pembiayaan yang telah disepakati. Dalam hal ini pernyataan persetujuan/kesepakatan yang dilakukan secara tertulis adalah sah dan mengikat para pihak.
70
Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar dan Bapak Edy Siregar, Legal Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012. 71 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta: UII Pres, 4004), 68-70 dalam Diangsa Wagian, “Sistem PembiayaanSyariah dan Prospek Pengaturannnya dalam Sistem Hukum di Indonesia,” Jurnal Istinbath, No.2 Volume 4 (2007), 221, sebagaimana dalam Teti Indrawati Purnamasari, Perlindungan Hukum Bagi Para Phak dalam Perjanjian Baku Pembiayaan Bank Syariah di Nusa Tenggara Barat, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 4, No. 1. Desember 2007, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BAKU PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI PEMATANGSIANTAR A. Bentuk – Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Klausul
Perjanjian Baku Pembiayaan Murabahah Pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar. Perlindungan hukum merupakan segala upaya untuk menjamin kepastian pelaksanaan hak atau kepentingan setiap pihak dalam perjanjian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar telah mengatur beberapa kepentingan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Kelompok
pertama, yaitu
kepentingan-kepentingan pihak bank
syariah sekaligus nasabah debitur. Semua hal yang menjadi kepentingan bersama para pihak biasanya dirumuskan secara eksplisit, jelas, dan rinci dalam syarat-syarat atau isi perjanjian. Dengan demikian, ada kepastian hukum bagi kepentingan dimaksud sehingga memberikan perlindungan hukum bagi para pihakyang bersangkutan. 2. Kelompok
kedua, yaitu kepentingan-kepentingan sepihak bank
syariah. Semua hal yang menjadi kepentingan sepihak bank syariah telah dirumuskan dalam perjanjian secara eksplisit, jelas, dan rinci. Dalam menyalurkan dana pembiayaan pada nasabah, bank syariah memiliki kepentingan untuk menyakinkan pihak investor dana
Universitas Sumatera Utara
bahwa: Pertama, dana disalurkan pada usaha pemenuhan kebutuhan konsumtif atau usaha yang halal. Kedua, ada kepastian pengembalian dana disertai keuntungan berupa biaya jasa atau bagi hasil atau margin keuntungan. Oleh karena itu, bank syariah secara maksimal berupaya memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi kepentingan dimaksud yaitu dengan cara merumuskan syaratsyarat atau isi perjanjian dalam bentuk baku. 3. Kelompok
ketiga, yaitu kepentingan sepihak nasabah debitur.
Walaupun perjanjian syariah dirumuskan dalam bentuk baku (standard contract), namun bank syariah membuka akses yang cukup luas bagi nasabah untuk turut serta menentukan hal-hal pokok dalam perjanjian baku pembiayaan syariah. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi beberapa ketentuan hukum yang berlaku bagi bank syariah untuk menjamin dan memberikan perlindungan hukum bagi nasabah. 1. Kelompok pertama, yaitu bentuk-bentuk kepentingan bersama pihak bank syariah dan nasabah debitur, yang telah memperoleh perlindungan hukum dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar a. Kesesuaian perjanjian baku pembiayaan dengan prinsip syariah Kesesuaian perjanjian baku pembiayaan murabahah dengan prinsip syariah telah dilaksanakan oleh PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar. Bank syariah telah mematuhi ketentuan Bank Indonesia yang menetapkan pokok-pokok ketentuan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Dalam Penjelasan Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan antara
Universitas Sumatera Utara
lain memuat kewajiban bank syariah untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, setiap kegiatan pembiayaan bank syariah tidak boleh menyimpang dari Hukum Islam yang bersumber utama pada al-Quran dan hadis. Bank syariah juga harus tunduk dibawah pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah. Eksistensi Dewan Pengawas Syariah memberikan implikasi bahwa setiap produk bank syariah harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas Syariah terlebih dahulu sebelum diperkenalkan kepada masyarakat.72 Hasil penelitian menunjukkan bahwa di setiap bank syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengontrol setiap produk bank syariah, termasuk produk pembiayaan. 73 b. Penyampaian informasi isi kontrak dan segala hal yang terkait dengan kontrak secara jujur dan benar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank syariah dan nasabah debitur saling memberikan informasi melalui komunikasi untuk kepentingan negosiasi kesepakatan diantara mereka. Dalam hal ini, juga terlihat peran notaris, yang membantu memberikan informasi dan penjelasan pada nasabah. 74 Dengan demikian, pemakaian perjanjian baku pembiayaan syariah telah meminimalisir potensi konflik yang mungkin timbul karena nasabah tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk memahami isi perjanjian. Secara khusus, bank wajib memberikan informasi mengenai jumlah
72
M. Syafii Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, Op.Cit, hal.22 Hasil wawancara dengan Ibu Junita, Customer Service Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012. 74 Hasil wawancara dengan Bapak Edy Siregar, Legal Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012. 73
Universitas Sumatera Utara
pembiayaan, jumlah angsuran, kewajiban keuangan lainnya yang harus ditanggung oleh nasabah dan tindakan yang akan dimbil oleh bank apabila terjadi resiko pembiayaan. Khusus dalam hal perjanjian baku pembiayaan murabahah, bank harus menerangkan harga pembelian, margin keuntungan, dan harga jual serta biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank syariah. Catatan peneliti bagi PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, agar bank syariah secara terbuka mau menyampaikan informasi kepada nasabah terkait dengan kemungkinan pembayaran angsuran di awal waktu sebelum jatuh tempo, karena berdasarkan wawancara dengan nasabah jarang bank memberikan informasi mengenai kesempatan ini. c. Pembagian hak dan kewajiban yang adil bagi para pihak Salah satu bentuk penerapan prinsip-prinsip hukum perjanjian syariah dalam membuat perjanjian baku pembiayaan bank syariah adalah adanya persamaan/kesetaraan/kesederajatan/ keadilan dalam menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara bank dan nasabah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri, uraian kewajiban pihak bank syariah lebih sedikit dibandingkan uraian kewajiban pihak nasabah, sedangkan uraian hak-hak bank syariah selalu lebih banyak dibandingkan uraian hak-hak pihak nasabah. Hal itu dapat diartikan bahwa bank syariah memiliki kepentingan sangat besar akan kepastian pengembalian dana pembiayaan oleh nasabah sehingga memperkecil kemungkinan pembiayaan macet guna melindungi kepentingan nasabah penabung. Di dalam perjanjian baku pembiayaan syariah, tidak ada ketentuan khusus mengenai penyerahan kembali dokumen/objek jaminan
Universitas Sumatera Utara
kepada nasabah. Peneliti mencatat hal ini penting dilakukan apabila pengikatan jaminan dilakukan dengan sistem gadai yang menggunakan objek gadai berupa emas atau gadai tabungan/deposito/simpanan nasabah. d. Pemberian persetujuan yang bebas dari para pihak Pemberian persetujuan yang bebas dari para pihak merupakan penerapan salah satu asas perjanjian yang harus dilindungi dan dijamin dalam kegiatan perbankan syariah, yaitu asas ridhâ’iyyah (rela sama rela). 75 Oleh karena itu, penerapan prinsip-prinsip hukum perjanjian syariah dalam membuat perjanjian dapat dilihat berdasarkan adanya kesepakatan dalam hal yang berkaitan dengan: besar pembiayaan, jangka waktu, tata cara melaksanakan
pembiayaan,
biaya
-
biaya,
asuransi,
jaminan,
dan
penyelesaian yang dipilih jika terjadi perselisihan. Perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri dibuat dan disiapkan oleh bank syariah, namun demikian akan mengikat dan berlaku bagi para pihak apabila disetujui oleh nasabah debitur. Dalam semua produk perbankan syariah, modal, keuntungan, dan resiko dibicarakan serta ditanggung berdasarkan kesepakatan. Ada beberapa point yang secara sepihak ditetapkan oleh bank syariah, yaitu: definisi, penarikan pembiayaan, tempat pembayaran, biaya, potongan dan pajak, cidera janji, akibat cidera janji, pengakuan dan jaminan, pembatasan terhadap tindakan nasabah,
resiko,
asuransi,
pengawasan,
penyelesaian
perselisihan,
75
H. Muhammad Amin Suma, “Ekonomi Syariah sebagai Alternatif Sistem Ekonomi Konvensional.” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 20, Agustus – September (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2002), hal. 18, dalam Teti Indrawati Purnamasari, Perlindungan Hukum Bagi Para Phak dalam Perjanjian Baku Pembiayaan Bank Syariah di Nusa Tenggara Barat, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 4, No. 1. Desember 2007, hal.19.
Universitas Sumatera Utara
pemberitahuan, dan penutup.76 Selain itu, ada juga beberapa point yang harus diisi sesuai dengan kebutuhan dengan persetujuan nasabah yaitu: komparisi, jumlah pembiayaan, tujuan penggunaan pembiayaan, jangka waktu, cara pembayaran biaya, potongan, pajak, jaminan, 77 biaya administrasi, nisbah, kewajiban
nasabah
untuk
melaporkan
kegiatan
usahanya,
denda
keterlambatan, berlakunya ketentuan denda keterlambatan (hasil denda untuk BAZIS), kesediaan nasabah memenuhi/mengikuti semua peraturan dan ketentuan yang berlaku di bank. 78 Adanya persetujuan nasabah dalam perjanjian baku pembiayaan syariah ditegaskan oleh pihak bank. Sebagai contoh, adanya tawar menawar mengenai besar point nisbah antara bank syariah dan nasabah debitur dilaksanakan sampai tercapai kata sepakat dan terjadi pengikatan perjanjian baku pembiayaan yang ditandai dengan penandatanganan kontrak perjanjian pembiyaan di muka Notaris. e. Pengaturan sanksi denda keterlambatan pembayaran
79
Berdasarkan hasil penelitian, perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri mengatur secara tegas mengenai pemberian sanksi denda bagi nasabah debitur yang terlambat membayar angsuran pembiayaan. 76
Perjanjian baku pembiayaan al- Murabahah Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar,
2011 77
Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar dan Ibu Junita, Customer Service Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012. 78 wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012. 79 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 17/DSN-MUI/IX/2000 telah mengatur tentang sanksi atas nasabah yang mampu tetapi menunda-nunda pembayaran. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar karena alasan force majeure tidak boleh dikenakan sanksi.
Universitas Sumatera Utara
Peneliti menemukan bahwa
pada perjanjian baku pembiayaan
murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar yang menyebutkan bahwa denda wajib diserahkan pada pihak bank syariah sebesar 0,00069%80, serta tidak ada keterangan lebih lanjut bahwa untuk selanjutnya dana itu digunakan untuk kepentingan sosial. Menurut bank syariah, sistem komputer secara otomatis akan melakukan pembukuan dana yang berasal dari sanksi denda untuk kepentingan sosial. 81 Dalam hal ini PT. Bank Syariah Mandiri melalui LAZNAS BSM Umat, yaitu lembaga amil zakat yang lahir untuk meningkatkan kepedulian sosial dan meringankan penderitaan sesama. 82 f. Pilihan hukum dan penyelesaian sengketa Pilihan hukum merupakan permasalahan yang berkaitan dengan hukum mana yang akan digunakan dalam pembuatan perjanjian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, telah mengatur secara tegas pilihan hukum para pihak dan cara penyelesaian sengketa yang dikehendaki apabila terjadi perbedaan penafsiran atau sengketa di antara mereka. Pilihan hukum yang dilakukan adalah menggunakan hukum Indonesia. Cara penyelesaian sengketa yang dipilih bermacam-macam, antara lain: musyawarah mufakat,
80
Pasal 4 poin kelima Akad Pembiayaan al – Murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, 2011. 81 Wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012. 82 Akad Pembiayaan al – Murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, 2011.
Universitas Sumatera Utara
arbitrase syariah melaui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), dan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN). g. Pengaturan Force Majeure (Keadaan memaksa) Semua naskah perjanjian baku pembiayaan bank syariah telah mengatur secara tegas mengenai force majeure. Walaupun terdapat perbedaan redaksional, pada intinya PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar menetapkan force majeur sebagai hambatan sementara para pihak untuk memenuhi perjanjian sehingga tidak menghapus perikatan di antara mereka (force majeur/keadaan memaksa relatif). Dengan demikian, dalam keadaan force majeur/keadaan memaksa, tidak berlaku sanksi denda atau pemutusan perjanjian secara sepihak dengan alasan lawan pihak tidak memenuhi kewajiban sesuai perjanjian. 83 Menurut peneliti, pengaturan mengenai force mejeur dalam perjanjian baku pembiayaan syariah merupakan salah satu penerapan prinsip moral dagang Islam, yaitu longgar dan bermurah hati pada saat menagih hutang. 2. Kelompok kedua: bentuk-bentuk kepentingan sepihak pihak bank syariah yang telah memperoleh perlindungan hukum dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar. a. Pembayaran kembali pokok pembiayaan, margin keuntungan atau bagi hasil secara tepat waktu. Ketentuan ini merupakan kepentingan utama pihak bank syariah, oleh karena itu selalu diatur secara rinci dalam perjanjian baku pembiayaan. Pencantumannya secara eksplisit sebagai bentuk hak bank syariah dan kewajiban nasabah debitur merupakan bentuk pelaksanaan ketentuan Pasal 8
83
Salim, H.S, Perkembangan Hukum Kontrak di luar KUHPerdata, Op.Cit, hal. 106
Universitas Sumatera Utara
Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu itikad baik, kemampuan dan kesanggupan nasabah untuk mengembalikan pembiayaan sesuai perjanjian. b. Penggunaan dana sesuai dengan tujuan permohonan pembiayaan dan tidak melanggar syariah Ketentuan mengenai penggunaan dana pembiayaan agar sesuai dengan tujuan permohonan secara tegas diatur dalam setiap perjanjian baku pembiayaan syariah. Hal ini merupakan bentuk pelaksanaan ketentuan bank syariah wajib melaksanakan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian sebagaimana termuat dalam Pasal 6 huruf m, Pasal 1 ayat (12), dan Pasal 1 ayat (13) 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Namun pada kenyataannya, pihak bank syariah mengakui banyak terjadi pelanggaran dari nasabah debitur. Hal ini menjadi salah satu penghambat dalam pelaksanaan perjanjian baku pembiayaan syariah walaupun tidak serimg dijumpai kasus seperti demikian pada PT. Bank Syariah Mandiri. c. Kepastian pembayaran melalui jaminan tambahan dan asuransi pembiayaan/asuransi jaminan/asuransi jiwa nasabah Salah satu pertimbangan bank syariah mengabulkan permohonan pembiayaan nasabah adalah jumlah jaminan yang dimiliki oleh nasabah
Universitas Sumatera Utara
debitur. 84 Arti penting jaminan dalam pembiayaan syariah karena adalah bank syariah ingin mendapat kepastian bahwa pembiayaan yang diberikan kepada nasabah debitur dapat diterima kembali sesuai dengan syaratsyarat yang telah disetujui bersama. Penerapan jaminan pada bank syariah tidak bertentangan dengan syariat Islam sebagaimana firman Allah dalam Qs. al- Baqarah (2): 283 yang artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai/hutang piutang), sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)….” Dalam praktik, pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar
menerapkan
jaminan
seperti
halnya
bank-bank
konvensional. Bentuk jaminan yang diterapkan pada bank syariah adalah sama dengan bentuk jaminan yang diterapkan pada bank konvensional, yaitu terdiri atas jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Hal ini dapat diartikan bahwa sistem hukum benda yang berlaku di Indonesia bersifat tertutup (closed system), sehingga para pihak yang berkepentingan wajib memenuhi ketentuan hukum tentang lembaga jaminan yang berlaku dan tidak terbuka peluang untuk membentuk lembaga jaminan yang baru, di luar ketentuan undang-undang tentang jaminan yang telah ada dan berlaku.
84
Hasil wawancara dengan Ibu Junita, Customer Service Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
3. Kelompok ketiga: bentuk-bentuk kepentingan sepihak pihak nasabah debitur yang memperoleh perlindungan hukum dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar. a. Penyerahan dana pembiayaan tepat waktu sesuai kebutuhan nasabah Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
dalam
perjanjian
baku
pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri telah diatur tata cara pencairan dana pembiayaan bagi nasabah debitur. Hal ini merupakan salah bentuk realisasi perlindungan hukum bagi nasabah debitur, sehingga yang bersangkutan dapat menikmati hak sebagai konsumen jasa pembiayaan bank syariah, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peneliti mencatat bahwa PT.
Bank
Syariah Mandiri Pematangsiantar
belum
mengatur
dan
merealisasikan hak nasabah debitur untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila jasa pembiayaan yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, sebagaimana juga dimungkinkan oleh Konsumen. ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar menetapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah debitur sebelum mencairkan dana pembiayaan. Hal ini harus diartikan bahwa bank syariah konsisten menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyalurkan dana pembiayaan sebagaimana digariskan oleh Bank Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
b. Pelunasan di awal waktu sebelum jatuh tempo 85 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelunasan di awal sebelum jatuh tempo, PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar memiliki sikap dimana bank syariah membolehkan tetapi tidak mengatur secara tegas di dalam perjanjian baku pembiayaan syariah. Akibatnya, nasabah debitur tidak mengetahui ada hak untuk segera melunasi pembiayaan dan memperoleh potongan margin keuntungan. Menurut peneliti, hal ini merupakan salah satu bentuk keunikan dan daya tarik pembiayaan syariah yang perlu disampaikan pada nasabah debitur atau masyarakat. Dengan demikian, nasabah debitur termotivasi untuk memenuhi kewajibannya tepat waktu atau justru melunasi di awal waktu. B. Upaya Penyelesaian Sengketa Apabila Terjadi Wanprestasi Lahirnya UU No. 7 Tahun 1992, UU No. 10 Tahun 1998, UU No. 23 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sudah menjadi dasar hukum yang kuat bagi terselenggaranya perbankan syariah di Indonesia. Keberadaan bank syariah menjadi salah satu bagian dalam program pengembangan bank konvensional. Karena perkembangan perbankan syariah sendiri pada awalnya ditujukan dalam rangka pemenuhan pelayanan bagi segmen masyarakat yang belum memperoleh pelayanan jasa perbankan karena system perbankan konvensional tidak sesuai dengan prinsip syariah yang diyakini. Pengembangan perbankan syariah juga dimaksudkan sebagai perbankan alternatif yang memiliki karakteristik dan keunggulan tertentu. Unsure moralitas 85
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah, jika nasabah debitur melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, maka bank syariah boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.
Universitas Sumatera Utara
menjadi faktor penting dalam seluruh kegiatan usahanya. Kontrak pembiayaan yang lebih menekankan system bagi hasil (mudharabah), jual-beli (murabahah) dan
musyarakah
mendorong
terciptanya
pola
hubungan
kemitraan,
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan berupaya memperkecil resiko kegagalan usaha. 86 Selain
penyempurnaan terhadap
sisi kelembagaan,
perlu
juga
memperhatikan sisi hukum sebagai landasan penyelenggaraannya hal ini untuki mengantisipasi
munculnya
berbagai
macam
permasalahan
dalam
operasionalisasinya. Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa ke mana penyelesaiannya, karena pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum dalam menyelesaikan perkara, sedangkan wewenang pengadilan saat itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan, hibah, wakaf dan shadaqah. Sehingga demikian untuk mengantisipasi kondisi darurat adalah maka didirikan Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan bersama oleh kejaksaan agung RI dan MUI, namun badan tersebut tidak bekerja efektif dan sengketa perdata di antara bank-bank syariah dengan para nasabahnya diselesaikan di Pengadilan Negeri. 87 Sampai saat ini penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui dua model, yakni penyelesaian secara litigasi dan non litigasi.
86
Rachmat Syafe’i, Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan Syariah, http ://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm diakses tanggal 3 Januari 2012 87 Asmuni M. Thaher, Kendala-kendala Seputar Eksistensi Perbankan Syariah di Indonesia, MSI-UII. Net-3/9/2004
Universitas Sumatera Utara
Pilihan penyelesaian sengketa non litigasi dapat dibagi dua, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dari beberapa model penyelesaian tersebut masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan dan akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan ini. Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaaan kehakiman (judicial power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Di luar itu tidak dibernarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun berdasarkan Pasal 1851, 1855, 1858, KUHPerdata, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU no. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak meneylesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (ishlah) 88, melalui jalur litigasi maupun non litigasi maka perlu ditelaah satu persatu. 1. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Non Litigasi Di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi diatur dalam
88
Karnaen Perwataatmaja, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, PT. Prenadia Media, Jakarta, 2005, hal. 288.
Universitas Sumatera Utara
satu Pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. a. Arbitrase Dalam perspektif Islam arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya. 89 Lembaga ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisisr, setiap ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih. Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, partisi hukum, para kyai dan ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah mengadakan beberapa kali rapat dan setelah diadakan beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), 90 sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan bentuk dan pengurus 89
A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.43. 90 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Psar Modal Syariah di Indonesia,, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 167.
Universitas Sumatera Utara
BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syariah. b. Kedudukan BASYARNAS Ditinjau Dari Segi Tata Hukum
Indonesia
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, di dalm Penjelsan Pasal 3 ayat (1) undang-undang tersebut disebutkan antara lain, bahwa: “Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan” Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglemen op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herzine Indonesich Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227). Dengan diberlakukannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81 undang-undang tersebut secara tegas mencabut ketiga macam ketentuan yang berhubungan dengan arbitrase, termasuk putusan arbitrase asing dan tunduk pada ketentuan UU No.
Universitas Sumatera Utara
30 Tahun 1999, meskipun secara lex spesialis, ketentuan yang berhubungan dengan (pelaksanaan) arbitrase asing telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968 yang merupakan pengesahan atas persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai penanaman modal (International Centre for The Settlement of Investment Disputes (ICSID) Convention), Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan New York Convention 1958 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990. BASYARNAS sebagai lembaga permanen yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan industri, keuangan, jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Disamping itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum (binded advice), yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian” yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan. Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisishan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. hakim harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.
Universitas Sumatera Utara
c. Alternatif Penyelesaian Sengketa Di dalam terminologi Islam dikenal dengan Ash-Shulhu, yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syariat ash-shulhu adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 (dua) orang yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu Pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para
Universitas Sumatera Utara
pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak
penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapata tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Tidak seperti arbiter atau hakim, seoranga mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution. 91 Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak. Pemerintah yang telah mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kecenderungan memilikh Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternatif Dispute Resolution) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan pada: 92 (1). Kurang percayanya pada system pengadilan dan pada saat yang sama kurang dipahaminya keuntungan atau kelebihan system arbitrase disbanding pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih mencari alternative lain dalam upaya menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat atau sengketa-sengketa bisnisnya;
91
Wirdyaningsih, Karnaen Perwaatmadja, Yeni Salma Barlinti, Gemala Dewi, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, PT. Prenada Media, Jakarta, 2007, hal. 292. 92 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
(2). Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan. Model yang dikembangkan oleh Alternatif Penyelesaian Sengketa memang cukup ideal dalam hal konsep, namun dalam prakteknya juga tidak menutup kemungkinan terdapat kesulitan jika masing-masing pihak tidak ada kesepakatan atau wanprestasi karena kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dengan perantara mediator tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila jalur arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan atau jalur litigasi adalah upaya terakhir sebagai pemutus perkara. 2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi Mengenai badan Peradilan mana yang berwengan menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di berbagai kalangan apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada undang – undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing – masing masih mencari landasan yang tepat. Dengan diamandemennya
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama oleh UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa saja yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sudah terjawab.
Universitas Sumatera Utara
Amandemen UU No. 7 Tahun 1989 memberikan wewenang kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas, yang semula sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 hanya bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang – orang beragama Islam di bidang : a) perkawinan; b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c) wakaf dan shadaqoh. Dengan adanya amandemen Undang – Undang tersebut, maka ruang lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No.3 Tahun 2006, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang – orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi : a) bank syariah; b) lembaga keuangan mikro syariah; c) asuransi syariah; d) reasuransi syariah; e) reksadana syariah; f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g) sekuritas syariah; h) pembiayaan syariah; i) dana pension lembaga keuangan syariah; j) bisnis syariah
Universitas Sumatera Utara
Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang – orang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal – hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini.” Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan. Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah : 1) Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya; 2) Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah; 3) Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang – orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip syariah. Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolut (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak – pihak yang melakukan perjanjian pembiayaan murabahah, akad mudharabah, dan akad – akad lainnya yang masih mencantumkan klausul penyelesaian sengketa melalui Pengadilan
Universitas Sumatera Utara
Negeri apabila BASYARNAS tidak dapat menyelesaikan sengketa yang seharusnya jika mengacu pada Penjelasan umum UU No. 3 tahun 2006 alinea ke2, maka klausul tersebut diubah kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan permasalahan yang diajukan, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Bentuk perjanjian baku dalam pembiayaan syariah murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar terdiri atas klausul – klausul baku yang dimana Bank Syariah banyak menentukan sendiri isi/syarat - syarat perjanjian baku pembiayaan dengan berpedoman pada ketentuan Al-Qur’an, hadist, Fatwa DSN-MUI, dan hukum positif di Indonesia. Akan tetapi, dalam hal ini nasabah masih berpeluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul inti perjanjian baku pembiayaan (besar margin atau nisbah bagi hasil) sehingga perjanjian ini termasuk jenis perjanjian baku timbal balik.
2.
Bentuk perlindungan bagi para pihak dalam klausul - klausul perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar meliputi hal – hal sebagai berikut : a. bagi bank syariah, perlindungan hukum dalam klausul kontrak itu meliputi : 1) pembayaran
kembali
pokok
pembiayaan
dan
margin
keuntungan atau bagi hasil secara tepat waktu, yakni bentuk hak bank syariah dan kewajiban nasabah debitur merupakan
Universitas Sumatera Utara
bentuk pelaksanaan ketentuan Pasal 8 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu itikad baik, kemampuan dan kesanggupan nasabah untuk mengembalikan pembiayaan sesuai perjanjian; 2) penggunaan
dana
sesuai
dengan
tujuan
permohonan
pembiayaan dan tidak melanggar syariah, yakni penggunaan dana pembiayaan agar sesuai dengan tujuan permohonan secara tegas diatur dalam setiap perjanjian baku pembiayaan syariah. Hal ini merupakan bentuk pelaksanaan ketentuan bank syariah wajib melaksanakan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian sebagaimana termuat dalam Pasal 6 huruf m, Pasal 1 ayat (12), dan Pasal 1 ayat (13) 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dan; 3) kepastian pembayaran yaitu melalui jaminan tambahan dan asuransi pembiayaan/asuransi jiwa nasabah, yakni bank ingin memastikan adanya kepastian pembayaran nasabah dengan mencantumkan klausula jaminan dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah dengan harapan agar nasabah dapat mengerti
akan
kewajibannya
terhadap
bank,
serta
memudahkan upaya bank apabila terjadi hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
b. sedangkan, perlindungan hukum khusus bagi kepentingan nasabah debitur, meliputi: 1) penyerahan dana pembiayaan tepat waktu sesuai kebutuhan nasabah, di mana hal ini merupakan salah bentuk realisasi perlindungan hukum bagi nasabah debitur, sehingga yang bersangkutan dapat menikmati hak sebagai konsumen jasa pembiayaan bank syariah, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
PT.
Bank
Syariah
Mandiri
Pematangsiantar menetapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah debitur sebelum mencairkan dana pembiayaan. Hal ini harus diartikan bahwa bank syariah konsisten
menerapkan
prinsip
kehati-hatian
dalam
penyalurkan dana pembiayaan sebagaimana digariskan oleh Bank Indonesia. 2) pelunasan di awal waktu sebelum jatuh tempo, yaitu bank syariah membolehkan tetapi tidak mengatur secara tegas di dalam perjanjian baku pembiayaan syariah, sehingga nasabah debitur tidak mengetahui ada hak untuk segera melunasi pembiayaan dan memperoleh potongan margin keuntungan. Selain itu, dalam hal penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi, pada PT. Bank Syariah Mandiri yang pertama kali dilakukan adalah dengan jalan musyawarah mufakat, bila dalam musyawarah tidak juga ditemukan
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan antara kedua belah pihak yang berperkara, maka pihak PT. Bank Syariah Mandiri membawa perkara ini sesuai dengan klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak, baik melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Namun, apabila dalam proses berperkara dalam arbitrase masih belum menemukan kesepakatan antara kedua belah pihak, maka perkara tersebut dapat dibawa ke Pengadilan Agama sampai perkara tersebut diputus oleh Hakim Pengadilan Agama yang bersangkutan sesuai dengan tempat kedudukan dalam isi perjanjian/kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak. B. SARAN Pada dasarnya, PT. Bank Syariah Mandiri telah menerapkan perjanjian baku yang memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak, namun ada beberapa hal yang dicermati peneliti, dan dapat menjadi masukan saran bagi PT. Bank Syariah Mandiri di kemudian hari, antara lain : 1. PT. Bank Syariah Mandiri dalam memberikan pembiayaan, khususnya pembiayaan murabahah sebaiknya lebih mengedepankan prinsip kehati – hatian (prudential banking) dalam menilai dan menganalis suatu permohonan dengan menerapkan prinsip 5 C yang dikenal dalam dunia perbankan, yaitu : Character (kepribadian), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Collateral (jaminan/agunan), dan Condition of economics (keadaan ekonomi). Hal ini sangat penting mengingat bank dalam menyalurkan dananya tergantung pada itikad baik nasaah. 2. PT. Bank Syariah Mandiri hendaknya mengatur dan merealisasikan hak nasabah debitur untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
Universitas Sumatera Utara
penggantian apabila jasa pembiayaan yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau
tidak
sebagaimana
mestinya,
sebagaimana
juga
dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3. PT.
Bank
Syariah
Mandiri,
dalam
klausul
penyelesaian
sengketa/perselisihan hendaknya mengubah bunyi poin Pasal mengenai penyelesaian perselisihan khususnya mengenai poin kompetensi Pengadilan Negeri, dimana dalam hal ini Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa mengenai perbankan syariah, sebab hal tersebut telah diubah kompetensinya menjadi wewenang dari Pengadilan Agama (Pasal 49 Undang – Undang No.3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama).
Universitas Sumatera Utara