BAB III BEBERAPA ISU PENTING A. INVESTASI 1. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT INVESTASI Pertumbuhan ekonomi yang lambat sejak krisis disebabkan oleh belum pulihnya investasi. Investasi (berupa pembentukan modal tetap bruto – tidak termasuk perubahan stok) hanya tumbuh rata-rata 2,7 persen antara tahun 2001 – 2003 (dengan harga dasar tahun 1993), jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1991 – 1997 yang tumbuh rata-rata 10,6 persen per tahun. Dengan pertumbuhan yang lambat ini, tingkat investasi riil dalam tahun 2003 baru mencapai sekitar 75 persen dibandingkan tahun 1996, sebelum krisis. Peranan investasi dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) menurun dari 29,6 persen pada tahun 1996 menjadi 19,7 persen pada tahun 2003. Pada tahun 2004, peranan investasi dalam pembentukan PDB mengalami peningkatan, tetapi masih sangat awal untuk menjamin pertumbuhan yang berkesinambungan. Secara umum, upaya untuk menarik investasi dihadapkan pada 2 (dua) lingkungan strategis yaitu lingkungan eksternal yang semakin ketat dan daya tarik domestik yang masih lemah. Tantangan eksternal untuk menarik investasi dalam tahun 2004 dan tahun-tahun mendatang diperkirakan makin berat. Pertama, terdapat kecenderungan arus masuk penanaman modal asing (PMA) menurun. Sejak tahun 2001, arus masuk PMA dunia cenderung menurun. Pada tahun 2000, arus masuk PMA dunia mengalami puncaknya yaitu sebesar US$ 1.388 miliar. Pada tahun-tahun berikutnya, arus masuk PMA cenderung menurun yaitu masing-masing hanya sebesar US$ 818 miliar pada tahun III-1
2001, US$ 679 miliar pada tahun 2002, dan US$ 560 miliar pada tahun 2003. Perkembangan arus masuk PMA dari tahun 1992 hingga tahun 2003 dapat dilihat pada Grafik III.1. Grafik III.1. ARUS MASUK PENANAMAN MODAL ASING 1500
US$ Miliar
1200 900 600 300 0
Rt2 1992-97
Dunia
1999 Neg Maju
2001
2003 Neg Berkembang
Perlambatan arus masuk PMA berbeda pada masing-masing kelompok negara dan kawasan. Arus masuk PMA menurun pada kelompok negara industri maju. Dalam tahun 2003, arus PMA meningkat pada kelompok negara berkembang kecuali untuk kawasan Amerika Selatan. Di kawasan Asia, peningkatan terbesar terutama terjadi di kawasan Asia Selatan, Timur, dan Tenggara. Dalam tahun 2005, arus masuk PMA diperkirakan tetap terbatas antara lain dipengaruhi oleh masih tingginya ketidakpastian global, termasuk tingginya harga minyak mentah di pasaran dunia. Kedua, dari arus masuk PMA yang cenderung menurun tersebut, sebagian besar mengalir ke negara-negara tertentu. Di kawasan Asia, arus masuk PMA masih berpusat di RRC. Pada tahun 2003, RRC masih menyerap arus masuk PMA sebesar US 53,5 miliar atau sekitar 50 persen dari arus PMA ke Asia. RRC diperkirakan tetap menjadi negara tujuan terbesar arus masuk PMA yang mengalir ke kawasan Asia dalam tahuntahun mendatang didukung oleh pertumbuhan pasar dalam negeri yang tinggi, biaya produksi yang murah, serta ketersediaan tenaga kerja yang memadai. Sisanya masih mengalir ke Hongkong, Singapura, India, Korea III-2
Selatan, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Indonesia masih mengalami arus keluar (neto) seperti yang ditunjukkan oleh arus masuk PMA yang masih negatif sejak tahun 1998 kecuali untuk tahun 2002. Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa tantangan eksternal untuk mendorong investasi tahun 2005 dan tahun-tahun mendatang bertambah berat dengan kecenderungan global arus masuk PMA yang menurun serta meningkatnya persaingan untuk menarik PMA terutama di kawasan Asia. Arus masuk PMA pada beberapa negara dapat dilihat pada Tabel III.1. Tabel III.1. ARUS MASUK PENANAMAN MODAL ASING (US$ miliar) 92-97
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Dunia 310,9 690,9 1.086,8 Negara Maju 180,8 472,5 828,4 Negara Berkembang 118,6 194,1 231,9 ASIA 74,1 102,2 112,6 RRC 32,8 45,5 40,3 Hongkong 7,8 14,8 24,6 Singapura 8,3 7,7 16,1 India 1,7 2,6 2,2 Korea Selatan 1,2 5,0 9,4 Malaysia 5,8 2,7 3,9 Thailand 2,3 7,5 6,1 Vietnam 1,6 1,7 1,5 Indonesia 3,5 -0,2 -1,9 Sumber : UNCTAD, World Investment Report 2004
1.388,0 1.108,0 252,5 146,1 40,7 61,9 17,2 2,4 8,6 3,8 3,4 1,3 -4,6
817,6 571,5 219,7 111,9 46,9 23,8 15,0 3,4 3,7 0,6 3,8 1,3 -3,0
678,8 489,9 157,6 94,4 52,7 9,7 5,7 3,4 2,9 3,2 1,1 1,2 0,1
559,6 366,6 172,0 107,1 53,5 13,6 11,4 4,3 3,8 2,5 1,8 1,5 -0,6
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa daya tarik investasi di Indonesia sebelum krisis (1991 – 1996) dilihat dari arus masuk PMA, lebih baik dibandingkan Thailand; bahkan dengan Korea Selatan dan India. Namun setelah krisis, daya tarik investasi Indonesia menurun, bahkan di bawah Vietnam. Sementara itu lingkungan domestik masih belum mampu menciptakan iklim investasi yang sehat. Beberapa faktor domestik yang menghambat III-3
iklim investasi belum mengalami perbaikan yang berarti. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama adalah lamanya dan berbelitnya prosedur perijinan investasi. Di Indonesia, untuk memulai usaha di Indonesia harus memenuhi 11 prosedur pokok dengan waktu selama 151 hari kerja (International Financial Corporation, 2005). Prosedur yang panjang dan berbelit ini tidak saja mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk penciptaan lapangan kerja. Selanjutnya prosedur yang panjang dan berbelit juga mengakibatkan tingginya biaya untuk memulai usaha di Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia, waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia kedua terpanjang setelah Laos. Disamping prosedur perijinan yang lama, biaya untuk memulai usaha juga merupakan keenam yang tertinggi di kawasan Asia setelah Kamboja, Yaman, dan Lebanon. Perbandingan waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan Asia dapat dilihat pada Grafik III.2. Grafik III.2. WAKTU YANG DIBUTUHKAN MEMULAI USAHA Laos Indonesia Kamboja India Arab Saudi Yaman Bhutan Papua Nugini Vietnam Uni Emirat Arab Filipina Sri Lanka Iran Taiwan Syria Lebanon Cina Bangladesh Kuwait Israel Oman Thailand Malaysia Pakistan Korea Nepal Mongolia Hongkong Singapura
0
50
100 Hari
III-4
150
200
Grafik III.3. BIAYA DIBUTUHKAN MEMULAI USAHA (US$) Arab Saudi Uni Emirat Arab Lebanon Korea Kamboja Yaman Indonesia Malaysia Israel Hongkong Taiwan Syria Kuwait Oman Bangladesh India Singapura Filipina Nepal Pakistan Cina Papua Nugini Thailand Iran Vietnam Sri Lanka Bhutan Laos Mongolia
0
1000
2000
3000 Dolar AS
4000
5000
6000
Kedua adalah tumpang tindihnya kebijakan antara pusat dan daerah di bidang investasi serta kebijakan antar sektor. Belum mantapnya pelaksanaan desentralisasi mengakibatkan kesimpangsiuran kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Disamping itu juga terdapat keragaman yang besar dari kebijakan investasi antar daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan investasi nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi.1
1
Penelitian yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bekerjasama dengan The Asia Foundation tahun 2002 pada 134 kabupaten/kota di Indonesia menyatakan bahwa penerapan peraturan daerah (perda) pungutan lebih didorong oleh keinginan untuk menaikkan PAD secara berlebihan yang dikuatirkan dapat merugikan pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian menyatakan bahwa penerapan perda tentang pungutan (retribusi, pajak daerah, dan pungutan lainnya) kurang menunjang kegiatan usaha (38,1 persen distortif, 47,8 persen bisa diterima, dan 14,2 persen menunjang).
III-5
Salah satu contoh tumpang tindih kebijakan antar sektor adalah pelarangan kegiatan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Disamping pemerintah bisa menghadapi gugatan dari investor yang telah mendapatkan izin penambangan yang lebih memprihatinkan adalah belum tumbuhnya pemahaman yang mendalam antara kepentingan jangka panjang dengan kepentingan jangka pendek yang sebenarnya terkait erat satu sama lain. Ketiga adalah kurangnya kepastian hukum dengan berlarutnya penyelesaian RUU Penanaman Modal dan lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga. Disamping itu, efisiensi peradilan dalam penyelesaian sengketa masih rendah dan biaya untuk mendapatkan kepastian hukum dari peradilan di Indonesia relatif tinggi. Dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia, peradilan di Indonesia termasuk lama dalam penyelesaikan sengketa usaha dengan waktu sekitar 570 hari. Biaya untuk mendapatkan kepastian hukum juga relatif mahal di Indonesia, mencakup sekitar 126,5 persen dari jumlah utang perusahaan. Perbandingan waktu untuk menyelesaikan sengketa usaha di peradilan dan biaya yang dibutuhkan dapat dilihat pada Grafik III.4 dan Grafik III.5. Grafik III.4. WAKTU MENYELESAIKAN SENGKETA PERADILAN Lebanon Syria Uni Emirat Arab Israel Indonesia Iran Oman Laos Sri Lanka India Vietnam Kamboja Pakistan Kuwait Thailand Filipina Bangladesh Yaman Arab Saudi Nepal Mongolia Malaysia Papua Nugini Bhutan Cina Hongkong Taiwan Korea Singapura
0
200
400 Hari
III-6
600
800
Grafik III.5. BIAYA MENYELESAIKAN SENGKETA PERADILAN Indonesia Kamboja Bhutan Papua Nugini Filipina India Pakistan Syria Laos Vietnam Lebanon Nepal Cina Mongolia Israel Bangladesh Sri Lanka Malaysia Arab Saudi Uni Emirat Arab Thailand Kuwait Hongkong Iran Yaman Oman Singapura Taiwan Korea
0
20
40
60 80 % utang perusahaan
100
120
140
Keempat adalah kurang kondusifnya pasar tenaga kerja. Menurunnya penciptaan lapangan kerja per satuan pertumbuhan ekonomi mengindikasikan keengganan perusahaan untuk memanfaatkan tenaga kerja. Secara singkat terdapat dua masalah ketenagakerjaan yang mempengaruhi minat investasi yaitu: (a) kecenderungan peningkatan upah minimum yang tinggi dan besarnya biaya-biaya non-UMP serta (b) ketidakpastian hubungan industrial antara perusahaan dan tenaga kerja. Kedua masalah ini mengakibatkan biaya yang berkaitan dengan tenaga kerja tidak saja tinggi, tetapi juga sulit untuk diperkirakan. Secara keseluruhan kondisi pasar tenaga kerja tercermin dari kemudahan dalam mendapatkan tenaga kerja yang sesuai, kemudahan dan memberhentikannya; serta kemudahan untuk meminta pekerja bekerja lebih dari jam kerja. Suatu indeks yang disusun oleh IFC (2005) yang mencakup ketiga kriteria tersebut menyatakan bahwa pasar tenaga kerja relatif tergolong kaku dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Grafik III.6. III-7
Grafik III.6. INDEKS KEKAKUAN PASAR TENAGA KERJA Indonesia Vietnam Taiwan Laos Bhutan Pakistan India Kamboja Nepal Thailand Filipina Sri Lanka Iran Syria Yaman Mongolia Oman Korea Israel Uni Emirat Arab Cina Lebanon Bangladesh Kuwait Papua Nugini Arab Saudi Malaysia Hongkong Singapura
0
10
20 30 40 (100=paling kaku; 0=paling fleksibel)
50
60
Kelima, meskipun sejak tahun 2001 stabilitas keamanan secara nasional relatif membaik, kegiatan investasi di Indonesia masih sangat sensitif terhadap gangguan keamanan di daerah sehingga penanaman modal cenderung menghindar dari daerah-daerah yang rawan konflik seperti Aceh, Maluku, dan Papua. Meningkatnya gangguan keamanan, meskipun bersifat lokal, dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap iklim investasi nasional yang pada gilirannya akan mengakibatkan kekuatiran investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia atau menunda realisasi dari rencana investasinya. Pengaruh ketidakstabilan politik dan gangguan keamanan pada minat investasi dapat dilihat pada Boks III.1.
KOTAK III.1. MINAT INVESTASI DI DAERAH RAWAN KONFLIK Stabilitas politik dan keamanan merupakan prasayarat yang sangat penting bagi berlangsungnya kegiatan investasi. Dalam tiga tahun sesudah krisis (1998 – III-8
2000) rata-rata per tahun nilai persetujuan PMDN menurun sekitar 30 persen dibandingkan dengan tiga tahun sebelum krisis (1995 – 1997); sedangkan rata-rata persetujuan PMA menurun sekitar 60 persen dalam periode yang sama. Dari perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa faktor stabilitas politik dan keamanan lebih berpengaruh terhadap PMA daripada terhadap PMDN. Pengaruh faktor keamanan terhadap daerah-daerah rawan konflik, seperti Aceh, Maluku, dan Papua, lebih besar terhadap nasional. Di Aceh, nilai persetujuan PMDN dan PMA tahun 2001 dan 2002 menurun tajam. Di Maluku, dalam tahun 2000 dan 2001 tidak ada nilai persetujuan PMDN. Dalam tahun 2002 disetujui proyek dalam rangka PMDN, tetapi nilainya sangat kecil dibandingkan dengan sebelum krisis; sedangkan proyek dalam rangka PMA tidak ada pengajuan sama sekali. Sementara itu di Papua, kecuali pada tahun 2001, proyek yang disetujui dalam rangka PMDN dan PMA menurun tajam. Membaiknya keamanan di daerah Aceh, Maluku, dan Papua, mendorong kembali minat penanaman modal. Pada tahun 2003 dan 2004, beberapa proyek penanaman modal baik PMDN dan PMA mulai disetujui di tiga daerah rawan konflik ini. Perkembangan persetujuan penanaman modal pada daerah rawan konflik dapat dilihat pada Tabel III.2. Tabel III.2.
PMDN (Rp mil) Aceh Maluku Papua PMA (US$ juta) Aceh Maluku Papua Sumber: BKPM
NILAI PERSETUJUAN PMDN DAN PMA PADA DAERAH KONFLIK 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 119320,5 57999,2 53930,8 95450,3 58856,6 25228,5 50754,9 1068,1 1297,3 139,2 1187,5 64,4 1,2 74,7 1060,0 44,6 20,0 68,0 2,9 1711,6 1278,6 8416,0 42,5 3137,5 175,3 995,9 33788,8 771,5 17,8 504,5
13649,6 6,2 4,9 11,2
10884,4 51,8 1,8 23,2
16020,8 1811,1 0,1 52,5
15189,5 6,0 9,3 6095,5
9931,2 76,6
14049,3 1482,6 3,0 220,8
2004 37140,4 71,0 140,1 44,0 10279,8 9,5 69,9 49,0
Keenam adalah kurangnya insentif investasi, termasuk insentif perpajakan, dalam menarik penanaman modal di Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara lain, insentif perpajakan di Indonesia relatif III-9
tertinggal. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia tidak memberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka waktu tertentu dan relatif tertinggal dalam memberikan kelonggaran pajak (tax allowances). Perbandingan fasilitas perpajakan dari beberapa negara dapat dilihat pada Tabel III.3. Tabel III.3. PERBANDINGAN FASILITAS PERPAJAKAN BEBERAPA NEGARA Negara Tax Holiday Tax Allowance Tingkat Pajak RRC Tahun 1 – 2 Tahun 3 – 5: pengurangan 30% + 3% (lokal) pajak penghasilan sebesar 50% Korea Tahun 1 – 7 Tahun 8 – 10: pengurangan 16 – 28% Selatan pajak penghasilan badan dan perorangan sebesar 50% Malaysia 5 – 10 tahun (industri Penundaan 70% dari 28% strategis dan teknologi tinggi) pendapatan selama 5 tahun untuk industri pioneer Filipina 4 tahun (non-pioner); 6 NA 32% tahun (pioner); 3 tahun (perluasan); 6 tahun (perluasan baru di wilayah kurang berkembang) Singapura 5 – 10 tahun (pioner) NA 24,5% Thailand 3 tahun (Zona 1); 3 – 5 NA 30% tahun (Zona 2); 8 tahun (Zona 3) Vietnam Pembebasan PPh selama Pengurangan PPh sebesar Tingkat pajak standar periode tertentu (1 s/d 8 50% diberikan setelah masa 25%. Tingkat pajak tahun) mulai dari tahun Tax Holiday untuk waktu s/d preferensi 10% (15 4 tahun. tahun), 15% (12 pertama untung yang diberikan kepada proyek tahun), dan 20% (10 investasi yang dipromosikan tahun) untuk investasi (mendapat tarif preferensi) tertentu yang dipromosikan. Indonesia Pengurangan penghasilan Progresif maksimum neto sebesar 30% selama 6 30% tahun Sumber: Sekretariat ASEAN, 2001 (diolah BKPM)
III-10
2. UPAYA MENINGKATKAN IKLIM INVESTASI Faktor-faktor penghambat investasi sebagaimana diuraikan di atas perlu diatasi secepat mungkin. Langkah-langkah awal untuk meningkatkan kembali iklim investasi di Indonesia telah dimulai melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama dengan IMF. Namun hingga saat ini belum dapat diwujudkan dengan baik. Dalam rangka menyederhanakan proses perijinan akan dilaksanakan sistem pelayanan satu atap (one roof system) dengan melibatkan unsur BKPM, instansi terkait, dan pemerintah daerah. Selanjutnya dalam upaya memberikan kepastian hukum sebagai payung bagi iklim investasi di Indonesia, RUU Penanaman Modal yang disusun lebih dari empat tahun diupayakan untuk diajukan kepada DPR selambat-lambatnya Desember 2003. Dalam RUU Penanaman Modal terdapat beberapa pokok yang diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim investasi yang lebih kondusif sebagaimana dapat dilihat pada Boks III.2.
KOTAK III.2. POKOK-POKOK RUU PENANAMAN MODAL 1. RUU Penanaman Modal dimaksudkan sebagai payung bagi kegiatan penanaman modal di luar usaha hulu minyak dan gas bumi serta jasa keuangan yang sudah diatur dalam UU tersendiri. 2. Dalam RUU Penanaman Modal sudah tidak dibedakan lagi antara istilah Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). RUU Penanaman Modal akan menjamin diberikannya perlakuan yang sama kepada semua penanam modal tanpa membedakan asal negara (berdasarkan prinsip Most Favored Nations/MFN) dan juga kepada sesama perusahaan penanam modal. Namun pengecualian perlakuan sama tersebut dimungkinkan sepanjang tercantum dalam UU Penanaman Modal atau diatur dalam undang-undang lainnya atau peraturan internasional yang berlaku. 3. RUU Penanaman Modal mengusulkan adanya fasilitas fiskal dan non fiskal. III-11
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Fasilitas fiskal dapat diberikan kepada penanaman modal untuk bidang usaha tertentu atau lokasi tertentu atau penanaman modal yang dilakukan oleh usaha kecil dan koperasi atau perusahaan penanaman modal yang bekerjasama dengan usaha kecil dan koperasi melalui pelayanan satu atap oleh Badan Penanaman Modal. Fasilitas non-fiskal dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berupa kemudahan di bidang perijinan pertanahan, kelonggaran penggunaan tenaga kerja, dan penyediaan infrastruktur. RUU Penanaman Modal tidak mencantumkan lagi ketentuan mengenai divestasi perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh PMA sebagaimana dalam UU No. 1/1967 tentang PMA yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 20/1994. RUU Penanaman Modal menjamin tidak akan dilakukan tindakan nasionalisasi atau pencabutan/pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal. Apabila pemerintah akan melakukan nasionalisasi harus terlebih dahulu ditetapkan oleh UU dan pemerintah berkewajiban memberi ganti rugi yang jumlah, jenis, dan cara pembayarannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan asas-asas hukum nasional dan hukum internasional. Dalam RUU Penanaman Modal, PMA diberikan hak transfer dan repatriasi dalam valuta asing atas modal, keuntungan, pembayaran pokok dan bunga pinjaman, hasil penjualan saham, ganti rugi dalam hal nasionalisasi/pengambilalihan, hasil penjualan kekayaan/aset, pendapatan karyawan yang dipekerjakan dari luar negeri setelah penanam modal memenuhi kewajiban perpajakan dan kewajiban pembayaran. Dalam RUU Penanaman Modal, perusahaan penanaman modal diwajibkan untuk mengutamakan tenaga kerja Indonesia. Tenaga ahli asing dapat digunakan untuk jabatan dan keahlian tertentu yang belum dapat dipenuhi oleh tenaga kerja Indonesia. Apabila terjadi perselisihan antara penanam modal asing dengan pemerintah dan tidak dapat diselesaikan, maka dapat dipilih penyelesaian sengketa melalui lembaga pengadilan atau lembaga arbitrase nasional atau lembaga arbitrase internasional. Dalam RUU Penanaman Modal, izin usaha PMA diberikan sesuai jangka waktu pendirian perusahaan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya, berbeda dengan UU Penanaman Modal yang berlaku saat ini dimana izin usaha PMA diberikan terbatas untuk jangka waktu 30 tahun.
III-12
Selanjutnya untuk meningkatkan kinerja pengadilan niaga sedang dilakukan pembahasan RUU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta pembaruan Cetak Biru Pengadilan Niaga. Adapun untuk mengurangi tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah akan dilakukan harmonisasi peraturan daerah dalam konteks otonomi daerah berupa pembatalan peraturan-peraturan daerah yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum. Di bidang ketenagakerjaan diupayakan penyelesaian pembahasan RUU Penyelesaian Hubungan Industrial serta penyelesaian berbagai aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam upaya meningkatkan kemampuan menangkal aksi terorisme yang dapat mempengaruhi iklim usaha di Indonesia akan dilakukan antara lain peningkatan kemampuan deteksi dini, peningkatan keamanan lokal, dan peningkatan kerjasama dengan negara sahabat. Meskipun secara parsial dan apabila dilaksanakan dengan konsisten serta didukung oleh sistem insentif dan penalti yang memadai, langkahlangkah awal sebagaimana yang tercakup dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2003 diperkirakan akan menciptakan iklim investasi yang lebih baik, namun belum memadai untuk menciptakan suatu iklim investasi yang mampu bersaing dengan negara-negara lain. Satu strategi besar (grand strategy) di bidang investasi diperlukan untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia dengan pokok-pokok sebagai berikut. Pertama, perijinan investasi perlu lebih disederhanakan dan secara bertahap diarahkan pada sistem pendaftaran (registrial system). Waktu yang dibutuhkan untuk perijinan investasi perlu diperpendek pada tingkat yang sama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya yaitu Malaysia dan Thailand (sekitar 30 – 35 hari). Proses perijinan ini tetap perlu dilakukan dengan tanpa mengurangi kewenangan yang telah diberikan kepada daerah. Dengan sistem ini tidak hanya akan dihemat waktu bagi pelaksanaan kegiatan investasi di Indonesia, tetapi juga akan dikurangi biaya-biaya III-13
untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Di banyak negara, prosedur perijinan sangat sederhana dan singkat. Penanam modal hanya diwajibkan mendaftarkan sekali dan tidak perlu mendaftarkan ulang untuk kegiatan usaha lainnnya. Kedua, insentif untuk menarik invetasi, termasuk insentif perpajakan, perlu dikembangkan. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, disamping pembenahan administrasi perpajakan, sistem perpajakan nasional, termasuk tarif pajak, perlu disempurnakan agar iklim investasi di Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain. Pemberian insentif perpajakan dalam proses pemulihan ekonomi memang sangat dilematis. Di satu pihak, pemberian insentif pajak yang berlebihan dalam jangka pendek kemungkinan dapat mempengaruhi ketahanan fiskal yang harus diperkuat untuk mengurangi beban utang yang besar. Namun apabila respon investasi sangat tinggi, maka pemberian insentif pajak akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus memperkuat ketahanan fiskal. Satu kajian menyeluruh mengenai kebijakan fiskal yang terkait dengan upaya untuk mendorong investasi diperlukan untuk meningkatkan daya tarik perekonomian nasional. Pada dasarnya ketahanan fiskal dan iklim investasi yang mampu bersaing saling terkait satu sama lain. Disamping insentif perpajakan, efisiensi kepabeanan perlu ditingkatkan. Biaya pengelolaan terminal (terminal handling charge) untuk pengiriman barang ke luar negeri di pelabuhan nasional relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Timur (lihat Tabel III.4). Selain itu insentif yang terkait dengan penggunaan lahan perlu disempurnakan. Meskipun dapat diperpanjang lagi setelah 30 tahun digunakan, hak penggunaan lahan di Indonesia relatif lebih pendek dibandingkan dengan negara lain yang menawarkan hak guna lahan hingga 100 tahun. Ketiga, promosi investasi perlu ditingkatkan. Upaya ini perlu diarahkan pada negara-negara yang mengalami penurunan minat investasi sejak krisis serta negara-negara yang mempunyai potensi untuk menanamkan investasi III-14
di Indonesia. Negara-negara tersebut antara lain adalah Inggris. Jerman, Amerika Serikat, Jepang, Malaysia. Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Upaya untuk meyakinkan penanam modal di negara-negara yang pernah menanamkan modal di Indonesia relatif lebih mudah dibandingkan dengan negara-negara yang belum pernah atau hanya sedikit menanam modal di Indonesia. Perbandingan persetujuan PMA untuk negara-negara dimaksud pada tahun 1997 dan 2004 dapat dilihat pada Grafik III.7. Tabel III.4. TERMINAL HANDLING CHARGE BEBERAPA NEGARA ASIA, 200 (dalam US$)
Negara/Pelabuhan Singapura Malaysia Penang/Johor Port Kelang Thailand Bangkok-Direct Bangkok-Transhipment Filipina Manila/Cebu Hongkong RRC Guangdong Fujian Cina Bagian Timur Cina Bagian Utara Shanghai Taiwan Kaosiung Keelung Taichung Korea Busan Indonesia Surabaya Jakarta Kamboja Sumber: OSRA
III-15
Terminal Handling Charge Standard 20' Standard 40' Container Container 105 156 78 88
116 132
62 62
93 93
104 265
138 353
141 44 44 44 15
269 66 66 66 23
150 150 150
114 191 191
84 130 145 150 70
114 200 225 230 100
Grafik III.7. PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PMA 6000
US$ juta
5000 4000 3000 2000 1000 0
Inggris
Jerman
AS
Jepang
Tahun 1997
Malaysia
Korsel
S'pura
Taiwan
Tahun 2004
Keempat, kebijakan investasi perlu diintegrasikan dengan kebijakan teknologi, kebijakan ekspor, dan pengembangan daerah dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan ke daerah. Salah satu manfaat jangka menengah dan panjang dari PMA adalah transfer teknologi. Kebijakan perpajakan selain diarahkan untuk menarik investasi juga diarahkan untuk meningkatkan transfer teknologi dari PMA kepada perekonomian nasional dalam rangka peningkatan daya saing nasional.2 Kebijakan investasi juga perlu diarahkan untuk mendorong kemampuan ekspor nasional agar peningkatan investasi tidak saja digerakkan oleh permintaan dalam negeri tetapi juga untuk memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Upaya ini perlu dilakukan dengan mengembangkan zona-zona ekonomi khusus dengan memberikan insentif yang tepat sasaran dalam kerangka pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh.
B. EKSPOR NON-MIGAS
2
Pembebasan pajak (tax holiday) di beberapa negara yang diberikan kepada industri pioner diarahkan untuk meningkatkan transfer teknologi dari PMA.
III-16
Setelah perekonomian dunia mengalami penguatan pada tahun 2000 yang mencapai pertumbuhan sebesar 4,7 persen, pada tahun 2001 perekonomian dunia mengalami resesi dan hanya tumbuh sebesar 2,2 persen. Namun demikian sejak tahun 2002 perekonomian dunia mengalami pemulihan. Pergerakan dari perekonomian dunia ini sangat berpengaruh pada perkembangan ekspor nonmigas Indonesia. Dalam tahun 2000, permintaan eksternal yang sangat kuat telah mendorong penerimaan ekspor meningkat tajam hingga mencapai 22,8 persen. Namun pada tahun 2001 penerimaan ekspor nonmigas bahkan menurun sekitar 10 persen. Baru sejak tahun 2002 penerimaan ekspor meningkat kembali, yaitu masingmasing untuk tahun 2002 dan 2003 sebesar 3,4 persen dan 3,7 persen, dan pada tahun 2004 peningkatan ekspor nonmigas meningkat cukup pesat, yaitu mencapai 11,0 persen. Pola perkembangan ekspor nonmigas ini juga terjadi pada negara-negara lain dikawasan ASEAN yang meningkat pesat tahun 2000, menurun pada tahun 2001, dan selanjutnya terus meningkat hingga tahun 2004. Secara lebih rinci perkembangan ekspor non-migas untuk beberapa komoditi pokok sejak tahun 2000 dapat diringkas sebagai berikut.
1. EKSPOR HASIL INDUSTRI. Ekspor hasil industri untuk periode 2000-2004 (Januari-September) meningkat sebesar rata-rata 7,9 persen per tahun, yaitu meningkat dari US$ 31,9 miliar pada tahun 2000 menjadi US$ 34,3 miliar pada tahun 2004. Peningkatan ekspor hasil industri disumbangkan oleh peningkatan beberapa komoditi ekspor hasil industri yang lebih besar dibandingkan dengan beberapa komoditi hasil ekspor industri beberapa komoditi yang mengalami penurunan. Perkembangan tersebut diantaranya diuraikan sebagai berikut. Dari waktu ke waktu, ekspor kayu lapis terus menunjukkan penurunan, dan bahkan penurunan tersebut sudah terjadi sejak sebelum terjadinya krisis. Ekspor kayu lapis yang pada tahun 1997 mencapai US$ 2,7 miliar III-17
hanya mencapai US$ 1,2 miliar pada tahun 2004. Ekspor pakaian jadi yang pada tahun 2000 mencapai US$ 3,6 miliar terus menurun dan pada tahun 2004 hanya mencapai US$ 3,3 miliar. Adapun ekspor untuk kertas dan bahan kertas lainnya dan bahan kimia cenderung untuk tidak berubah. Sedangkan ekspor alat-alat listrik yang pada tahun 2000 mencapai US$ 2,1 miliar, pada periode tahun 2004 meningkat menjadi sekitar US$ 2,5 miliar. Ekspor bahan makanan olahan juga mengalami peningkatan yaitu dari US$ 0,7 miliar pada tahun 2000 menjadi US$ 1,0 miliar pada tahun 2004. Meskipun penerimaan ekspor hasil industri menunjukkan peningkatan, namun volume ekspor hasil industri pada periode 2000-2004 berfluktuasi dalam rentang yang tidak terlalu besar dan cenderung menurun. Pada tahun 2000 volume ekspor industri yang mencapai 34,5 juta ton, pada tahun 2001, 2002, 2003 dan 2004 berturut-turut mencapai 33, juta ton, 34,9 juta ton, 33,4 juta ton, dan 33,9 juta ton. Dengan demikian volume ekspor hasil industri para periode 2000-2004 menurun sebesar 0,6 persen. Dengan membandingkan nilai ekspor hasil industri pada kurun waktu tersebut yang meningkat sekitar 10,4 persen dengan penurunan volume ekspor hasil industri sebesar 0,6 persen, dapat disimpulkan bahwa perkembangan kemajuan ekspor non migas berjalan dengan lambat dan peningkatan penerimaan lebih disebabkan oleh terjadinya peningkatan tingkat harga ekspor rata-rata yang cukup besar dalam 5 tahun terakhir ini. Hal ini berbeda dengan peningkatan nilai ekspor tahun 1998 sebesar 4,3 persen yang disertai dengan peningkatan volome sebesar 57,6 persen terhadap tahun 1997 yang menunjukkan terjadinya penurunan harga hasil ekspor industri yang cukup besar yang disebabkan perubahan nilai tukar yang relatif besar. Hal ini juga mengindikasikan bahwa daya saing ekspor hasil industri masih belum dapat ditingkatkan. 2. EKSPOR HASIL PERTANIAN Setelah mencapai puncaknya pada tahun 1998, ekspor hasil pertanian berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Sampai dengan bulan III-18
September 2004, ekspor hasil pertanian hanya mencapai US$ 1,8 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 1998 yang mencapai US$ 2,7 miliar. Dilihat dari volumenya, ekspor hasil pertanian juga berfluktusi dengan kecenderungan menurun. Untuk periode Januari-September 1998-2004, volume ekspor hasil pertanian berturut-turut mencapai 2,4 juta ton, 1,8 juta ton, 1,5 juta ton, 1,6 juta ton , 1,4 juta ton, 1,4 juta ton, dan 1,3 juta ton. 3. EKSPOR HASIL PERTAMBANGAN (DI LUAR MIGAS) Ekspor hasil pertambangan (di luar migas) yang pada tahun 1997, terhitung sampai dengan bulan September, mencapai US$ 3,1 miliar, mengalami penurunan pada tahun 1998 dan tahun 1999 untuk periode yang sama. Dalam tahun 2000 dan sesudahnya, ekspor hasil pertambangan mulai menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004 sampai dengan bulan September ekspor hasil pertambangan telah mencapai US$ 3,0 miliar, hampir sama dengan nilai ekspor hasil pertambangan sebelum krisis. Dalam tahun 2004 nilai total ekspor (migas dan non-migas) mengalami peningkatan yang relatif tinggi, yaitu meningkat sekitar 10,8 persen dibandingkan tahun 2003, yang didorong oleh oleh peningkatan ekspor migas yang naik sekitar 10.1 persen, dan penerimaan ekspor non-migas yang meningkat sebesar 11 persen. Peningkatan ekspor non-migas ini sebagian merupakan sumbangan dari sektor hasil industri yang meningkat sebesar 12,9 persen. Adapun penerimaan ekspor hasil pertambangan (diluar migas) menurun sebesar 4,2 persen, dan ekspor hasil pertanian meningkat sebesar 5,2 persen. Selain itu tingginya peningkatan ekspor total juga dipengaruhi perubahan sistem perhitungan. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor non-migas pada masa sebelum krisis yang mencapai lebih dari 15 persen per tahun, pertumbuhan ini masih jauh dari yang diharapkan. Dengan pertumbuhan sebesar ini, ekspor masih belum dapat diandalkan sebagai sumber penggerak pertumbuhan ekonomi. III-19
Dalam tahun 2005, kinerja ekspor non-migas harus dapat ditingkatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu daya saing ekspor harus dapat ditingkatkan. Berbagai permasalahan yang menghambat peningkatan ekspor non-migas seperti adanya tumpang tindih peraturan dan hambatan perdagangan lainnya yang mengakibatkan tingginya biaya transaksi, harus dapat dihapuskan. Disamping itu untuk meningkatkan kinerja ekspor non-migas perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas komoditi, diversifikasi produk, dan perluasan pasar ekspor. Selama ini, pasar komoditi ekspor nasional hanya mengarah pada pasarpasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura sebagai negara tujuan ekspor terbesar. Pergeseran terjadi sejak tahun 2002 dengan RRC sebagai negara tujuan ekspor keempat Indonesia menggantikan Malaysia. Dengan dinamika kawasan Asia yang tumbuh paling tinggi sejak dekade 70an, pasar komoditi ekspor Indonesia perlu mengarah pada pasar regional di kawasan Asia.3 Apabila hal-hal tersebut dilaksanakan, maka ekspor nonmigas pada tahun 2005 diperkirakan meningkat sebesar 6 persen. D. DAMPAK TSUNAMI TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL Pada tanggal 26 Desember 2004, pukul 07.38 WIB, gempa berkekuatan 8,9 skala Richter terjadi di laut barat pulau Sumatera. Gempa yang disertai gelombang Tsunami telah menewaskan lebih dari 150.000 jiwa di daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (pulau Nias), serta lebih dari 50.000 jiwa di negara sekitar lautan Hindia seperti Srilanka, Thailand, India bahkan Maladewa di benua Afrika.
3
Dalam tahun 1971 – 2001, perekonomian dunia tumbuh rata-rata sekitar 3,4 persen per tahun dengan pertumbuhan dari negara-negara industri maju sekitar 3,0 persen per tahun dan negara-negara berkembang sekitar 4,8 persen per tahun. Kawasan Asia tumbuh paling tinggi, yaitu sekitar 6,7 persen per tahun; sedangkan Amerika Latin dan Afrika masing-masing hanya tumbuh 3,0 persen dan 2,6 persen per tahun. III-20
Selain telah memakan korban jiwa, bencana tersebut telah merusak banyak bangunan di NAD baik itu rumah, gedung-gedung, perkantoran, pertokoan, fasilitas umum seperti jembatan, jalan dan infrastruktur lainnya. Mengingat perekonomian NAD merupakan bagian dari perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar khususnya dalam ekspor migas, maka menjadi sangat penting untuk melihat dampak dari bencana Tsunami terhadap perekonomian NAD dan terhadap perekonomian nasional. 1. Profil Perekonomian Aceh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NAD tahun 2003 sebesar Rp 38,6 triliun yaitu sekitar 2,3% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Minyak dan gas bumi mendominasi kegiatan perekonomian di NAD yaitu tercatat sekitar 43% dari total PDRB. Dilihat dari sumbangan masing-masing sektor terhadap PDRB di tahun 2003, sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 32,2%. Berikutnya adalah sektor pertambangan dan penggalian; dan industri pengolahan yang secara berturut-turut memberikan kontribusi sebesar 28,04% dan 21,23% terhadap total PDRB. Sedangkan sektor lainnya seperti listrik, gas dan air bersih; bangunan dan jasa keuangan memberikan kontribusi yang tidak signifikan. Sumbangan masing-masing sektor selama 4 tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel III.5. Dilihat dari sisi pengeluaran, rasio investasi terhadap PDRB sebesar 7,5% di tahun 2003, kurang dari setengah rasio nasional sebesar 19,7%. Sebaliknya, rasio ekspor neto (ekspor minus impor) terhadap PDRB di tahun 2003 sangat signifikan yaitu sebesar 42%, jauh lebih besar dibandingkan dengan nasional sebesar 5,5%, dan utamanya disebabkan oleh ekspor gas alam. Di luar sektor migas, kontribusi NAD terhadap ekspor Indonesia sangat kecil. Tahun 2003, total ekspor non-migas NAD hanya sebesar $84 juta atau III-21
sebesar 0,2% dari ekspor non-migas nasional. Diantara ekspor non-migas NAD, pupuk adalah produk utama. Di tahun 2003, ekspor pupuk sebesar $55 juta, 65% dari total ekspor non-migas dan ekspor pupuk NAD tercatat 29% dari total ekspor pupuk nasional. Ekspor LNG NAD dari Arun memberi sumbangan yang besar yaitu sebesar 24% dari total volume ekspor LNG nasional pada tahun 2003. Tabel III.5. SUMBANGAN SEKTOR TERHADAP TOTAL PDRB NAD (PERSEN), 1999 – 2003 Lapangan Usaha 1999 2000 2001 2002 2003 1. PERTANIAN 28,86 29,37 29,54 31,01 32,17 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 33,54 34,20 31,37 29,28 28,04 a. Minyak & Gas Bumi 32,97 33,62 30,81 28,67 27,43 3. INDUSTRI PENGOLAHAN 22,00 20,35 22,66 21,94 21,23 a. Industri Migas 16,53 14,76 17,44 16,22 15,60 1. Pengilangan Minyak Bumi 0,99 1,03 1,06 1,00 1,00 2. Gas Alam Cair 15,54 13,73 16,38 15,23 14,60 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 0,18 0,17 0,17 0,21 0,27 5. BANGUNAN 2,27 2,33 2,29 2,49 2,70 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 5,47 5,73 5,80 6,31 6,37 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 4,50 4,54 4,51 4,94 5,08 8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN 0,48 0,70 1,11 1,09 1,25 9. JASA-JASA 2,70 2,62 2,55 2,73 2,88 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS
2. Dampak Bencana Aceh Terhadap Perekonomian Sektor minyak dan gas tidak mengalami kerusakan termasuk Exxon Mobil yang beroperasi di Lhokseumawe. Sedangkan 2/3 (67%) dari nominal PDRB pada sektor non-migas merupakan sektor yang terkena dampak utama dimana sektor non-migas merupakan sektor yang dominan menyerap tenaga kerja (32%) yaitu 10% bekerja di sektor peternakan dan 10% bekerja di sektor perkebunan.
III-22
Dampak Tsunami terhadap perekonomian dapat dibagi menjadi beberapa ukuran yaitu dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, beberapa sektor (pariwisata dan keuangan), kesempatan kerja dan kemiskinan. Berbagai simulasi mengenai dampak bencana Aceh terhadap perekonomian baik perekonomian Aceh maupun perekonomian nasional telah dilakukan, diantaranya estimasi oleh Bappenas (Direktorat Perencanaan Makro) dan World Bank. Estimasi yang dilakukan oleh World Bank lebih banyak melihat pengaruh Tsunami terhadap PDRB Aceh maupun PDB dari sisi sektoral, sedangkan estimasi Bappenas melihat pengaruhnya terhadap PDRB Aceh dan PDB dari sisi pengeluaran. Keduanya memproyeksikan bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia diperkirakan akan turun 0,1 % sampai 0,4 % PDB di tahun 2005. 3. Proyeksi Pulihnya Perekonomian NAD Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi kembali provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan pulau Nias, diperkirakan akan membutuhkan dana sebesar Rp 41,1 triliun dan membutuhkan waktu pemulihan sekitar lima tahun. Sebagian besar dana akan terserap di NAD karena tingkat kerusakannya cukup parah dibandingkan dengan pulau Nias. Untuk tahun 2005, diperkirakan akan memerlukan dana sebesar Rp 7 triliun sampai Rp 9 triliun karena masa tanggap darurat juga memerlukan banyak bantuan bagi masyarakat yang selamat dari bencana tsunami lalu. Bappenas memproyeksikan konsumsi masyarakat di wilayah bencana akan pulih pada tahun 2007. Dibandingkan dengan baseline skenario, konsumsi masyarakat diperkirakan lebih rendah 0,16 persen PDB pada tahun 2005; 0,11 persen tahun 2006 dan 0,6 persen tahun 2007. Investasi swasta di wilayah bencana diperkirakan baru pulih pada tahun 2009. Investasi swasta diperkirakan lebih rendah 0,04 persen PDB pada
III-23
tahun 2005; 0,03 persen tahun 2006; 0,02 persen tahun 2007; serta 0,01 persen tahun 2008 dibandingkan baseline skenario. Untuk menanggulangi dampak gempa, pengeluaran pemerintah khususnya dalam bentuk investasi diperkirakan meningkat sebesar 0,20 persen PDB pada tahun 2005; 0,14 persen tahun 2006; 0,08 persen tahun 2007 dan 0,04 persen tahun 2008. Dengan demikian, secara keseluruhan keberlanjutan pembangunan dapat tetap terjamin. Dampak bencana alam dan gelombang Tsunami dapat dilihat pada Boks III.1.
Boks III.1. Dampak Bencana Aceh Terhadap Perekonomian Berbagai simulasi mengenai dampak bencana Aceh terhadap perekonomian baik perekonomian Aceh maupun perekonomian nasional telah dilakukan. Diantaranya estimasi dilakukan oleh Bappenas (Direktorat Perencanaan Makro) dan World Bank. Estimasi yang dilakukan oleh Bappenas lebih banyak melihat pengaruhnya terhadap PDRB Aceh dan PDB dari sisi pengeluaran sedangkan World Bank melihat pengaruh Tsunami terhadap PDRB Aceh maupun PDB dari sisi sektoral. Dengan sama-sama berbasis pada berkurangnya jumlah penduduk, maka kedua hasil estimasi tersebut dapat saling melengkapi. Untuk lebih jelas, hasil estimasi tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut ini: o Simulasi Bappenas Bappenas melakukan proyeksi dengan menggunakan asumsi sebagai berikut: konsumsi masyarakat sebesar 40,7% PDRB Aceh; investasi sebesar 7,4% PDRB; jumlah penduduk semula 4.034.653 jiwa; dan yang terkena bencana 2.868.889 jiwa (baik korban meninggal, luka-luka, atau menderita kerugian materi). Hasil estimasi PDRB NAD pada tahun 2005 akan lebih rendah 9,1% dibandingkan dengan PDRB di tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi nasional diproyeksikan akan menurun sebesar 0,2 persentase poin dari base line. Proyeksi Bappenas juga menunjukkan bahwa akibat menurunnya populasi dan pendapatan masyarakat akibat bencana, konsumsi masyarakat NAD diperkirakan turun 7,2% III-24
PDRB atau 0,16 persen PDB pada tahun 2005. Demikian pula investasi swasta diperkirakan menurun sebesar 1,9 persen PDRB atau 0,04 persen PDB. Di sisi lain, berbagai langkah penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi akan mendorong meningkatnya investasi pemerintah yang direncanakan mencapai 0,2 persen PDB pada tahun 2005. Bappenas memproyeksikan konsumsi masyarakat di wilayah bencana akan pulih pada tahun 2007. Dibandingkan dengan baseline skenario, konsumsi masyarakat diperkirakan lebih rendah 0,16 persen PDB pada tahun 2005; 0,11 persen tahun 2006 dan 0,6 persen tahun 2007.
III-25