BAB IV
BEBERAPA ISU PENTING A. INVESTASI 1. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT INVESTASI Salah satu unsur penggerak pertumbuhan ekonomi yang belum pulih adalah investasi. Tingkat investasi (pembentukan modal tetap bruto) dalam tahun 2002 baru mencapai sekitar 75% dibandingkan sebelum krisis (tahun 1996). Dengan pemulihan investasi yang lambat tersebut, peranan investasi dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) menurun dari 29,6% pada tahun 1996 menjadi 20,2% pada tahun 2002. Upaya untuk menarik investasi dihadapkan pada 2 (dua) lingkungan strategis yaitu lingkungan eksternal yang semakin ketat dan daya tarik domestik yang masih lemah. Tantangan eksternal untuk menarik investasi dalam tahun 2004 dan tahun-tahun mendatang diperkirakan makin berat. Pertama, terdapat kecenderungan arus masuk penanaman modal asing (PMA) menurun1. Beberapa faktor yang mengakibatkan penurunan tersebut antara lain adalah meningkatnya ketidakpastian global yang mempengaruhi rasa aman dalam kegiatan penanaman modal, kemungkinan terjadinya berbagai spekulasi dalam proses merger dan akuisisi perusahaan, serta masalah-masalah kelembagaan seperti kelambatan proses privatisasi di beberapa negara. Kedua, dari arus masuk PMA yang cenderung menurun tersebut, sebagian besar mengalir ke negara-negara tertentu. RRC diperkirakan tetap menjadi negara tujuan terbesar arus masuk PMA yang mengalir ke kawasan Asia dalam tahun-tahun mendatang didukung oleh pertumbuhan pasar dalam negeri yang tinggi, biaya produksi yang murah, serta ketersediaan tenaga kerja yang memadai2. Meskipun perekonomian dunia tahun 2002 membaik setelah mengalami resesi tahun 2001, arus masuk penanaman modal asing (PMA) dunia masih menurun sebesar 21,0%. Dibandingkan tahun 2000 yang mengalami puncak arus masuk PMA dunia sebesar US$ 1.393 miliar, arus masuk PMA tahun 2002 hanya berjumlah sekitar US$ 651 miliar atau kurang dari separuhnya. 2 Arus masuk PMA ke RRC pada tahun 2002 meningkat menjadi US$ 52,7 miliar atau naik sekitar 12,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Dibandingkan arus masuk PMA ke Asia tahun 2002 sebesar US$ 95,0 miliar, arus masuk ke RRC tersebut mencapai lebih dari setengahnya. Selain ke RRC, peningkatan arus masuk PMA juga terjadi di Malaysia yang naik dari US$ 0,6 1
IV-1
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa tantangan eksternal untuk mendorong investasi tahun 2004 dan tahun-tahun mendatang bertambah berat dengan kecenderungan global arus masuk PMA yang menurun serta meningkatnya daya tarik RRC dan negara-negara baru lainnya seperti Vietnam bagi PMA. Arus masuk PMA pada beberapa negara dapat dilihat pada Tabel IV.1. Tabel IV.1. ARUS MASUK PENANAMAN MODAL ASING (US$ miliar) 91-96
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Dunia 254,3 481,9 686,0 1.079,1 Negara Maju 154,6 269,7 472,3 824,6 Negara 91,5 193,2 191,3 229,3 Berkembang ASIA 59,4 109,1 100,0 108,5 RRC 25,5 44,2 43,8 40,3 Korea Selatan 1,2 2,8 5,4 9,3 Malaysia 5,4 6,3 2,7 3,9 Thailand 2,0 3,9 7,5 6,1 Vietnam 1,2 2,6 1,7 1,5 Indonesia 3,0 4,7 -0,4 -2,7 Sumber : UNCTAD, World Investment Report 2003
1.393,0 1.120,5 246,1
823,8 589,4 209,4
651,2 460,3 162,1
142,1 40,8 9,3 3,8 3,4 1,3 -4,6
106,8 46,8 3,5 0,6 3,8 1,3 -3,3
95,0 52,7 2,0 3,2 1,1 1,2 -1,5
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa daya tarik investasi di Indonesia sebelum krisis (1991 – 1996) dilihat dari arus masuk PMA, lebih baik dibandingkan Thailand. Namun dalam masa krisis dan setelah krisis daya tarik investasi Indonesia menurun, bahkan di bawah Vietnam. Sementara itu lingkungan domestik masih belum mampu menciptakan iklim investasi yang sehat. Beberapa faktor domestik yang menghambat iklim investasi belum mengalami perbaikan yang berarti. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut. Pertama adalah prosedur yang panjang dan berbelit. Sebagai contoh untuk memulai usaha di bidang perdagangan diperlukan tidak kurang dari 46 surat izin dari berbagai miliar pada tahun 2001 menjadi US$ 3,2 miliar pada tahun 2002. Indonesia masih mengalami arus keluar (neto) seperti yang ditunjukkan oleh arus masuk PMA yang masih negatif sejak tahun 1998. IV-2
tingkat pemerintahan (Menatap ke Depan Perekonomian Indonesia, 1999). Berdasarkan telaah Bank Dunia (2003) terhadap peraturan perundangan yang ada, dibutuhkan sekitar 11 prosedur pokok untuk memulai usaha di Indonesia yang memakan waktu 168 hari atau hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan rata-rata negara Asia Timur lainnya yaitu sekitar 66 hari. Prosedur yang panjang dan berbelit tidak hanya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk penciptaan lapangan kerja. Kedua adalah tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah di bidang investasi serta kebijakan antar sektor. Belum mantapnya pelaksanaan program desentralisasi mengakibatkan kesimpangsiuran kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Disamping itu juga terdapat keragaman yang besar dari kebijakan investasi antar daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan investasi nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi.3 Salah satu contoh tumpang tindih kebijakan antar sektor adalah pelarangan kegiatan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Disamping pemerintah bisa menghadapi gugatan dari investor yang telah mendapatkan izin penambangan yang lebih memprihatinkan adalah belum tumbuhnya pemahaman yang mendalam antara kepentingan jangka panjang dengan kepentingan jangka pendek yang sebenarnya terkait erat satu sama lain. Ketiga adalah kurangnya kepastian hukum dengan berlarutnya perumusan RUU Penanaman Modal dan lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga. Keempat adalah kurang kondusifnya pasar tenaga kerja. Menurunnya penciptaan lapangan kerja per satuan pertumbuhan ekonomi mengindikasikan keengganan perusahaan untuk memanfaatkan tenaga kerja. Secara singkat terdapat dua masalah ketenagakerjaan yang mempengaruhi minat investasi yaitu: (a) kecenderungan peningkatan upah minimum yang tinggi dan besarnya biaya-biaya non-UMP serta (b) Penelitian yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bekerjasama dengan The Asia Foundation tahun 2002 pada 134 kabupaten/kota di Indonesia menyatakan bahwa penerapan peraturan daerah (perda) pungutan lebih didorong oleh keinginan untuk menaikkan PAD secara berlebihan yang dikuatirkan dapat merugikan pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian menyatakan bahwa penerapan perda tentang pungutan (retribusi, pajak daerah, dan pungutan lainnya) kurang menunjang kegiatan usaha (38,1% distortif, 47,8% bisa diterima, dan 14,2% menunjang).
3
IV-3
ketidakpastian hubungan industrial antara perusahaan dan tenaga kerja. Kedua masalah ini mengakibatkan biaya yang berkaitan dengan tenaga kerja tidak saja tinggi, tetapi juga sulit untuk diperkirakan. Kelima, meskipun sejak tahun 2001 stabilitas keamanan secara nasional relatif membaik, kegiatan investasi di Indonesia masih sangat sensitif terhadap gangguan keamanan di daerah sehingga penanaman modal cenderung menghindar dari daerahdaerah yang rawan konflik seperti Aceh, Maluku, dan Papua. Meningkatnya gangguan keamanan, meskipun bersifat lokal, dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap iklim investasi nasional yang pada gilirannya akan mengakibatkan kekuatiran investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia atau menunda realisasi dari rencana investasinya. Pengaruh ketidakstabilan politik dan gangguan keamanan pada minat investasi dapat dilihat pada Boks IV.1.
BOKS IV.1. DAMPAK KETIDAKSTABILAN POLITIK DAN GANGGUAN KEAMANAN TERHADAP MINAT INVESTASI Dalam buku ′Perekonomian Indonesia Tahun 2003: Prospek dan Kebijakan′ ditunjukkan bahwa stabilitas politik dan keamanan, meskipun tidak mencukupi, merupakan prasayarat yang sangat penting bagi berlangsungnya investasi. Dalam tiga tahun sesudah krisis (1998 – 2000) rata-rata per tahun nilai persetujuan PMDN menurun sekitar 30% dibandingkan dengan tiga tahun sebelum krisis (1995 – 1997); sedangkan rata-rata persetujuan PMA menurun sekitar 60% dalam periode yang sama. Dari perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa faktor stabilitas politik dan keamanan lebih berpengaruh terhadap PMA daripada terhadap PMDN. Pengaruh faktor keamanan terhadap daerah-daerah rawan konflik, seperti Aceh, Maluku, dan Papua, lebih besar terhadap nasional. Di Aceh, nilai persetujuan PMDN dan PMA tahun 2001 dan 2002 menurun tajam. Di Maluku, dalam tahun 2000 dan 2001 tidak ada nilai persetujuan PMDN. Dalam tahun 2002 disetujui proyek dalam rangka PMDN, tetapi nilainya sangat kecil dibandingkan dengan sebelum krisis; sedangkan proyek dalam rangka PMA tidak ada pengajuan sama sekali. Sementara itu di Papua, kecuali pada tahun 2001, IV-4
proyek yang disetujui dalam rangka PMDN dan PMA menurun tajam. Perkembangan nilai persetujuan PMDN dan PMA pada daerah-daerah rawan konflik dapat dilihat pada Tabel IV.2. Tabel IV.2. NILAI PERSETUJUAN PMDN DAN PMA PADA DAERAH KONFLIK 1997 1998 1999 2000 2001 2002 PMDN (Rp milia 119.887,2 57.973,6 53.492,9 94.025,3 58.816,0 25.230,5 Aceh 1.068, 1.297,3 139,2 1.187,5 64,4 1,2 Maluku 1.060, 44,6 20,0 68,0 Papua 1.711,6 1.278,6 8.416, 42,5 3.137,5 174,2 PMA (US$ juta) Aceh Maluku Papua Sumber: BKPM
33.788,8 771,5 17,8 504,5
13.649,6 6,2 4,9 11,2
10.884,4 51,8 1,8 23,2
16.075,6 1.811, 0,1 52,5
15.056,3 6,0 9,3 6.095,5
9.795,4 59,7
Selanjutnya dalam 10 bulan pertama tahun 2003, proyek baru dalam rangka PMA di daerah konflik hanya disetujui 1 (satu) proyek di Maluku dengan nilai relatif kecil US$ 2,7 juta; sedangkan dalam rangka PMDN hanya disetujui 1 (satu) proyek baru di Aceh dan 7 (tujuh) proyek baru di Papua dengan nilai investasi masing-masing Rp 24,3 miliar dan Rp 476,1 miliar.
Keenam adalah kurangnya insentif investasi, termasuk insentif perpajakan, dalam menarik penanaman modal di Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara lain, insentif perpajakan di Indonesia relatif tertinggal. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia tidak memberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka waktu tertentu dan relatif tertinggal dalam memberikan kelonggaran pajak (tax allowances). Perbandingan fasilitas perpajakan dari beberapa negara dapat dilihat pada Tabel IV.3. Tabel IV.3. Negara RRC
Korea Selatan
Malaysia
PERBANDINGAN FASILITAS PERPAJAKAN BEBERAPA NEGARA Tax Holiday Tax Allowance Tingkat Pajak Tahun 1 – 2 Tahun 3 – 5: pengurangan 30% + 3% (lokal) pajak penghasilan sebesar 50% Tahun 1 – 7 Tahun 8 – 10: 16 – 28% pengurangan pajak penghasilan badan dan perorangan sebesar 50% Penundaan 70% dari 28% 5 – 10 tahun (industri pendapatan selama 5 strategis dan teknologi
IV-5
tinggi) Filipina
Singapura Thailand
Vietnam
4 tahun (non-pioner); 6 tahun (pioner); 3 tahun (perluasan); 6 tahun (perluasan baru di wilayah kurang berkembang) 5 – 10 tahun (pioner) 3 tahun (Zona 1); 3 – 5 tahun (Zona 2); 8 tahun (Zona 3) Pembebasan PPh selama periode tertentu (1 s/d 8 tahun) mulai dari tahun pertama untung yang diberikan kepada proyek investasi yang dipromosikan (mendapat tarif preferensi)
tahun untuk industri pioneer NA
32%
NA NA
24,5% 30%
Pengurangan PPh sebesar 50% diberikan setelah masa Tax Holiday untuk waktu s/d 4 tahun.
Tingkat pajak standar 25%. Tingkat pajak preferensi 10% (15 tahun), 15% (12 tahun), dan 20% (10 tahun) untuk investasi tertentu yang dipromosikan. Progresif maksimum 30%
Indonesia
Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% selama 6 tahun Sumber: Sekretariat ASEAN, 2001 (diolah BKPM)
2. UPAYA MENINGKATKAN IKLIM INVESTASI Faktor-faktor penghambat investasi sebagaimana diuraikan di atas perlu diatasi secepat mungkin. Langkah-langkah awal untuk meningkatkan kembali iklim investasi di Indonesia tercantum Inpres No. 5/2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama dengan IMF. Dalam rangka menyederhanakan proses perijinan akan dilaksanakan sistem pelayanan satu atap (one roof system) dengan melibatkan unsur BKPM, instansi terkait, dan pemerintah daerah. Selanjutnya dalam upaya memberikan kepastian hukum sebagai payung bagi iklim investasi di Indonesia, RUU Penanaman Modal yang disusun lebih dari empat tahun diupayakan untuk diajukan kepada DPR selambat-lambatnya Desember 2003. Dalam RUU Penanaman Modal terdapat beberapa pokok yang diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim investasi yang lebih kondusif sebagaimana dapat dilihat pada Boks IV.2.
IV-6
BOKS IV.2. POKOK-POKOK RUU PENANAMAN MODAL 1. RUU Penanaman Modal dimaksudkan sebagai payung bagi kegiatan penanaman modal di luar usaha hulu minyak dan gas bumi serta jasa keuangan yang sudah diatur dalam UU tersendiri. 2. Dalam RUU Penanaman Modal sudah tidak dibedakan lagi antara istilah Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). RUU Penanaman Modal akan menjamin diberikannya perlakuan yang sama kepada semua penanam modal tanpa membedakan asal negara (berdasarkan prinsip Most Favored Nations/MFN) dan juga kepada sesama perusahaan penanam modal. Namun pengecualian perlakuan sama tersebut dimungkinkan sepanjang tercantum dalam UU Penanaman Modal atau diatur dalam undang-undang lainnya atau peraturan internasional yang berlaku. 3. RUU Penanaman Modal mengusulkan adanya fasilitas fiskal dan non fiskal. Fasilitas fiskal dapat diberikan kepada penanaman modal untuk bidang usaha tertentu atau lokasi tertentu atau penanaman modal yang dilakukan oleh usaha kecil dan koperasi atau perusahaan penanaman modal yang bekerjasama dengan usaha kecil dan koperasi melalui pelayanan satu atap oleh Badan Penanaman Modal. Fasilitas non-fiskal dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berupa kemudahan di bidang perijinan pertanahan, kelonggaran penggunaan tenaga kerja, dan penyediaan infrastruktur. 4. RUU Penanaman Modal tidak mencantumkan lagi ketentuan mengenai divestasi perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh PMA sebagaimana dalam UU No. 1/1967 tentang PMA yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 20/1994. 5. RUU Penanaman Modal menjamin tidak akan dilakukan tindakan nasionalisasi atau pencabutan/pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal. Apabila pemerintah akan melakukan nasionalisasi harus terlebih dahulu ditetapkan oleh UU dan pemerintah berkewajiban memberi ganti rugi yang jumlah, jenis, dan cara pembayarannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan asas-asas hukum nasional dan hukum internasional. 6. Dalam RUU Penanaman Modal, PMA diberikan hak transfer dan repatriasi dalam valuta asing atas modal, keuntungan, pembayaran pokok dan bunga pinjaman, hasil penjualan saham, ganti rugi dalam hal nasionalisasi/pengambilalihan, hasil penjualan kekayaan/aset, pendapatan karyawan yang dipekerjakan dari luar negeri setelah penanam modal memenuhi kewajiban perpajakan dan kewajiban pembayaran. 7. Dalam RUU Penanaman Modal, perusahaan penanaman modal diwajibkan untuk mengutamakan tenaga kerja Indonesia. Tenaga ahli asing dapat digunakan untuk jabatan dan keahlian tertentu yang belum dapat dipenuhi oleh tenaga kerja Indonesia.
IV-7
8. Apabila terjadi perselisihan antara penanam modal asing dengan pemerintah dan tidak dapat diselesaikan, maka dapat dipilih penyelesaian sengketa melalui lembaga pengadilan atau lembaga arbitrase nasional atau lembaga arbitrase internasional. 9. Dalam RUU Penanaman Modal, izin usaha PMA diberikan sesuai jangka waktu pendirian perusahaan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya, berbeda dengan UU Penanaman Modal yang berlaku saat ini dimana izin usaha PMA diberikan terbatas untuk jangka waktu 30 tahun.
Selanjutnya untuk meningkatkan kinerja pengadilan niaga sedang dilakukan pembahasan RUU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta pembaruan Cetak Biru Pengadilan Niaga. Adapun untuk mengurangi tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah akan dilakukan harmonisasi peraturan daerah dalam konteks otonomi daerah berupa pembatalan peraturan-peraturan daerah yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum. Di bidang ketenagakerjaan diupayakan penyelesaian pembahasan RUU Penyelesaian Hubungan Industrial serta penyelesaian berbagai aturan pelaksanaan dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam upaya meningkatkan kemampuan menangkal aksi terorisme yang dapat mempengaruhi iklim usaha di Indonesia akan dilakukan antara lain peningkatan kemampuan deteksi dini, peningkatan keamanan lokal, dan peningkatan kerjasama dengan negara sahabat. Meskipun secara parsial dan apabila dilaksanakan dengan konsisten serta didukung oleh sistem insentif dan penalti yang memadai, langkah-langkah awal sebagaimana yang tercakup dalam Inpres No. 5/2003 diperkirakan akan menciptakan iklim investasi yang lebih baik, namun belum memadai untuk menciptakan suatu iklim investasi yang mampu bersaing dengan negara-negara lain. Satu strategi besar (grand strategy) di bidang investasi diperlukan untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia dengan pokok-pokok sebagai berikut. Pertama, perijinan investasi perlu lebih disederhanakan dan secara bertahap diarahkan pada sistem pendaftaran (registrial system). Dengan sistem ini tidak hanya akan dihemat waktu bagi pelaksanaan kegiatan investasi di Indonesia, tetapi juga akan dikurangi biaya-biaya untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Di banyak negara, prosedur perijinan sangat sederhana dan singkat. Penanam modal hanya diwajibkan mendaftarkan sekali pada Departemen Kehakiman dan tidak perlu mendaftarkan ulang untuk kegiatan usaha lainnnya.
IV-8
Kedua, insentif untuk menarik invetasi, termasuk insentif perpajakan, perlu dikembangkan. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, disamping pembenahan administrasi perpajakan, sistem perpajakan nasional, termasuk tarif pajak, perlu disempurnakan agar iklim investasi di Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain. Pemberian insentif perpajakan dalam proses pemulihan ekonomi memang sangat dilematis. Di satu pihak, pemberian insentif pajak yang berlebihan dalam jangka pendek kemungkinan dapat mempengaruhi ketahanan fiskal yang harus diperkuat untuk mengurangi beban utang yang besar. Namun apabila respon investasi sangat tinggi, maka pemberian insentif pajak akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus memperkuat ketahanan fiskal. Satu kajian menyeluruh mengenai kebijakan fiskal yang terkait dengan upaya untuk mendorong investasi diperlukan untuk meningkatkan daya tarik perekonomian nasional. Pada dasarnya ketahanan fiskal dan iklim investasi yang mampu bersaing saling terkait satu sama lain. Disamping insentif perpajakan, insentif yang terkait dengan penggunaan lahan perlu disempurnakan. Meskipun dapat diperpanjang lagi setelah 30 tahun digunakan, hak penggunaan lahan di Indonesia relatif lebih pendek dibandingkan dengan negara lain yang menawarkan hak guna lahan hingga 100 tahun. Ketiga, kebijakan investasi perlu diintegrasikan dengan kebijakan teknologi, kebijakan ekspor, dan pengembangan daerah dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan ke daerah. Salah satu manfaat jangka menengah dan panjang dari PMA adalah transfer teknologi. Kebijakan perpajakan selain diarahkan untuk menarik investasi juga diarahkan untuk meningkatkan transfer teknologi dari PMA kepada perekonomian nasional dalam rangka peningkatan daya saing nasional.4 Kebijakan investasi juga perlu diarahkan untuk mendorong kemampuan ekspor nasional agar peningkatan investasi tidak saja digerakkan oleh permintaan dalam negeri tetapi juga untuk memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Upaya ini perlu dilakukan dengan mengembangkan zona-zona ekonomi khusus dengan memberikan insentif yang tepat sasaran dalam kerangka pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh.
Pembebasan pajak (tax holiday) di beberapa negara yang diberikan kepada industri pioner diarahkan untuk meningkatkan transfer teknologi dari PMA.
4
IV-9
B. EKSPOR NON-MIGAS Setelah dilanda krisis pada tahun 1997, penerimaan ekspor non-migas Indonesia menurun pada tahun 1998 dan 1999. Dalam tahun 2000 penerimaan ekspor meningkat tajam terutama didorong dengan permintaan eksternal yang sangat kuat dengan pertumbuhan ekonomi dunia tumbuh sekitar 4,7%. Resesi dunia yang terjadi tahun 2001 dengan pertumbuhan ekonomi dunia sekitar 2,2% mengakibatkan penerimaan ekspor non-migas menurun sekitar 10%. Meskipun perekonomian dunia tahun 2002 mulai pulih dengan pertumbuhan sekitar 3,2%, penerimaan ekspor non-migas hanya meningkat sekitar 1,5%. Secara lebih rinci perkembangan ekspor non-migas untuk beberapa komoditi pokok setelah krisis dapat diringkas sebagai berikut.
1. EKSPOR HASIL INDUSTRI. Ekspor kayu lapis masih terus menunjukkan penurunan. Penurunan ekspor kayu lapis bahkan sudah terjadi sejak sebelum terjadinya krisis. Ekspor pakaian jadi yang pada tahun 2000 mencapai US$ 4,7 miliar terus menurun dan pada tahun 2002 hanya mencapai US$ 3,9 miliar. Ekspor tekstil lainnya yang mencapai US$ 4,7 miliar pada tahun 1998 menurun menjadi sekitar US$ 3,1 miliar tahun 2002. Sedangkan ekspor alatalat listrik yang pada tahun 2000 mencapai US$ 3,2 miliar, pada tahun 2002 menurun menjadi sekitar US$ 2,7 miliar. Adapun ekspor untuk kertas dan bahan kertas lainnya dan bahan kimia cenderung untuk stabil. Ekspor bahan makanan olahan mengalami sedikit peningkatan yaitu dari US$ 0,8 miliar pada tahun 1997 menjadi US$ 1,2 miliar pada tahun 2002. Perkembangan ekspor beberapa komoditi hasil industri dengan kecenderungan menurun dan kecenderungan meningkat dapat dilihat pada Grafik IV.1 dan Grafik IV.2. Grafik IV.1. EKSPOR DGN KECENDERUNGAN MENURUN
US$ ribu
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500
1993
Kayu Lapis
1996
1999
Pakaian JadiTekstil
IV-10
2002
Apabila diamati volume ekspor industri setelah krisis jauh lebih tinggi dibandingkan dengan volume ekspor industri sebelum krisis. Pada tahun 1997 volume ekspor industri hanya mencapai 33,8 juta ton kemudian meningkat tajam pada tahun 1998 mencapai 47,6 juta ton. Pada tahun-tahun selanjutnya volume ekspor hasil industri berfluktuasi dalam rentang yang tidak terlalu besar. Pada tahun 2002 volume ekspor sektor industri mencapai 45,5 juta ton. Dengan demikian volume ekspor hasil industri dari tahun 1997 hingga tahun 2002 naik sebesar 34,5%. Grafik IV.2. EKSPOR DGN KECENDERUNGAN MENINGKAT
US$ ribu
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
1993
1996
1999
Alat ListrikMknan Olhn Bhn Kimia
2002
Kertas
Dengan membandingkan nilai ekspor hasil industri pada kurun waktu tersebut yang meningkat sekitar 10,4% dengan kenaikan volume ekspor hasil industri sekitar 34,5%, dapat disimpulkan telah terjadi penurunan tingkat harga ekspor rata-rata yang cukup besar dalam 5 tahun terakhir ini (lebih dari 25%). Salah satu penyebab penurunan harga ekspor rata-rata hasil industri tersebut diantaranya adalah meningkatnya suplai dunia dari negara-negara pesaing.
2. EKSPOR HASIL PERTANIAN Setelah mencapai puncaknya pada tahun 1998, yaitu sebesar US$ 3,7 miliar, nilai ekspor hasil pertanian berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Pada tahun 2002 ekspor hasil pertanian hanya mencapai US$ 2,6 miliar. Dilihat dari volumenya, ekspor hasil pertanian yang pada tahun 1997 berjumlah 1,8 juta ton justru meningkat pada tahun 1998 yaitu mencapai 3,2 juta ton. Pada tahun-tahun berikutnya volume ekspor hasil pertanian ini berflluktuasi, yaitu berturut-turut 2,4 juta ton, 2,0 juta ton, 2,2 juta ton dan 1,9 ton untuk tahun-tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.
IV-11
3. EKSPOR HASIL PERTAMBANGAN (DI LUAR MIGAS) Ekspor hasil pertambangan (di luar migas) yang pada tahun 1997 mencapai US$ 3,1 miliar, menurun pada tahun 1998 dan tahun 1999. Dalam tahun 2000 dan sesudahnya, ekspor hasil pertambangan menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2002 ekspor hasil pertambangan mencapai US$ 3,7 miliar, melampaui nilai ekspor sebelum krisis. Dalam tahun 2003 nilai total ekspor (migas dan non-migas) mengalami peningkatan yang relatif tinggi. Sampai dengan 10 bulan pertama tahun 2003, nilai ekspor meningkat sekitar 6,0% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2002. Namun peningkatannya terutama didorong oleh ekspor migas yang naik sekitar 16,0%, sedangkan penerimaan ekspor non-migas hanya meningkat sebesar 3,4%. Peningkatan ekspor non-migas ini sebagian merupakan sumbangan dari sektor pertambangan (di luar migas) yang meningkat sebesar 15,6%. Adapun penerimaan ekspor hasil industri hanya meningkat sebesar 2,6%, dan ekspor hasil pertanian menurun sebesar 1,5%. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor non-migas pada masa sebelum krisis yang mencapai lebih dari 15% per tahun, pertumbuhan ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Dengan pertumbuhan sebesar ini, ekspor masih belum dapat diandalkan sebagai sumber penggerak pertumbuhan ekonomi. Dalam tahun 2004, kinerja ekspor non-migas harus dapat ditingkatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Berbagai permasalahan yang menghambat peningkatan ekspor non-migas harus dapat dihapuskan. Disamping itu untuk meningkatkan kinerja ekspor non-migas perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas komoditi, diversifikasi produk, dan perluasan pasar ekspor. Selama ini, pasar komoditi ekspor nasional hanya mengarah pada pasar-pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura sebagai negara tujuan ekspor terbesar. Pergeseran terjadi sejak tahun 2002 dengan RRC sebagai negara tujuan ekspor keempat Indonesia menggantikan Malaysia. Dengan dinamika kawasan Asia yang tumbuh paling tinggi sejak dekade 70an, pasar komoditi ekspor Indonesia perlu mengarah pada pasar regional di kawasan Asia.5 Rata-rata pertumbuhan ekonomi regional sejak tahun 1970 – 2001 dapat dilihat pada Grafik IV.3.
Dalam tahun 1971 – 2001, perekonomian dunia tumbuh rata-rata sekitar 3,4% per tahun dengan pertumbuhan dari negara-negara industri maju sekitar 3,0% per tahun dan negara-negara berkembang sekitar 4,8% per tahun. Kawasan Asia tumbuh paling tinggi, yaitu sekitar 6,7% per
5
IV-12
Grafik IV.3. PERTUMBUHAN EKONOMI DUNIA DAN REGIONAL 7
(%/tahun)
6 5 4 3 2 1 0
Dunia
IndMj
Brkmb
Asia A.Latin Afrika
Selain itu perkembangan impor menunjukkan pola pergerakan yang sama dengan ekspor. Ini mengindikasikan bahwa berbagai bahan baku/penolong yang digunakan untuk mengolah komoditi ekspor masih berasal dari impor sehingga akan menekan surplus neraca transaksi berjalan dan mempengaruhi cadangan devisa. Stabilitas neraca transaksi berjalan dan ketersediaan devisa ini menjadi penting pada tahun 2004 dan sesudahnya dengan keinginan untuk mengurangi utang luar negeri dan ketatnya persaingan untuk menarik PMA. Untuk itu, ketergantungan akan impor ini harus dapat dikurangi dengan memanfaatkan bahan baku/penolong dari dalam negeri. Upaya untuk mengurangi ketergantungan impor ini memang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Namun harus direncanakan secara strategis dan mulai diupayakan. C.
KETENAGAKERJAAN
1. GAMBARAN KETENAGAKERJAAN Data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) sampai dengan bulan Agustus 2002 menunjukkan jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 100,8 juta orang atau naik 1,03% dibandingkan tahun sebelumnya; dengan komposisi 63,3 juta orang (62.8%) lakilaki dan 37,5 juta orang (37.2%) perempuan. Dari keseluruhan angkatan kerja tersebut, sekitar 58,7 juta orang (58,2%) berada di pedesaan dan 42,1 juta orang (41,8%) berada di perkotaan. Sedangkan angkatan kerja tahun; sedangkan Amerika Latin dan Afrika masing-masing hanya tumbuh 3,0% dan 2,6% per tahun. IV-13
yang termasuk dalam kategori pengangguran terbuka berjumlah 9,1 juta orang (9,1% ) naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 8,0 juta orang (8,1%). Sejumlah 4,1 juta orang (44,8%) pengangguran terbuka berada di pedesaan dan 5,0 juta orang (55,2%) berada di perkotaan. Sebanyak 2,8 juta orang dari pengangguran terbuka merupakan penganggur usia muda (15 - 19 tahun); meningkat dibandingkan tahun 2001 yang berjumlah 2,3 juta orang. Dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2002 sekitar 3,7%, tingkat penyerapan angkatan kerja hanya mencapai sekitar 0,8 juta orang (dibanding peningkatan angkatan kerja tahun 2002 yang sebesar 1,9 juta orang); atau penciptaan lapangan kerja hanya mencapai sekitar 200 ribu tenaga kerja per 1% pertumbuhan ekonomi. Sepanjang tahun 2003, kondisi ketenagakerjaan masih belum mengalami perbaikan yang berarti. Angka pengangguran terbuka tahun 2003 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya disebabkan oleh penciptaan lapangan kerja masih relatif kecil dan cenderung tidak meningkat. Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2003 yang hanya mencapai 3,9% dan peningkatan angkatan kerja sebesar lebih dari 2 juta orang, maka jumlah pengangguran terbuka diperkirakan meningkat menjadi 10,1 juta orang. Selain itu dalam tahun 2003, masalah TKI kembali timbul dengan banyaknya permasalahan yang terjadi pada TKI yang bekerja di luar negeri yang memerlukan pembenahan agar tidak terus berlanjut. Jumlah penganggur terbuka diperkirakan terus meningkat pada tahun 2004. Oleh karena itu perlu kiranya pemerintah melakukan upaya-upaya cermat guna mengurangi penganggur terbuka terutama yang pada tahun 2004, perekonomian nasional akan menghadapi dua peristiwa penting yaitu pelaksanaan pemilihan umum yang diharapkan berlangsung secara demokratis, aman, dan tertib, serta diawalinya program pembangunan tanpa kerjasama dengan IMF.
2. PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN. Dari gambaran ketenagakerjaan diatas, situasi ketenagakerjaan dalam tahun 2004 masih akan dihadapkan pada permasalahan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu meningkatnya jumlah pengangguran terbuka, menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian dan informal, dan beragamnya masalah TKI di luar negeri. Berbagai kebijakan perlu difokuskan pada upaya untuk mengurangi jumlah pengangguran terbuka serta menuntaskan masalah-masalah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri a. PENGANGGURAN TERBUKA. IV-14
Upaya untuk menurunkan jumlah pengangguran terbuka melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, masih belum mampu mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Selain kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masih terbatas (pertumbuhan ekonomi tahun 2004 diperkirakan sebesar 4,5%), kemampuan menciptakan lapangan kerja relatif kecil dan terdapat kecenderungan mengalami penurunan. Penciptaan lapangan kerja menurun menjadi sekitar 200 – 300 ribu per 1% pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000 – 2002; jauh lebih rendah dibandingkan dengan sekitar 400 – 500 ribu per 1% pertumbuhan ekonomi pada tahun 1996. Dengan tambahan angkatan kerja baru yang diperkirakan sekitar lebih dari 2 juta per tahun dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sekitar 8 – 10% per tahun agar jumlah pengangguran terbuka secara absolut tidak bertambah. PENURUNAN PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA. Penurunan penciptaan lapangan kerja terjadi setelah krisis ekonomi disebabkan oleh perubahan hubungan industrial yang drastis sejak tahun 1998. Reformasi politik dan demokrasi telah mendorong perbaikan hak-hak pekerja dan kebebasan bagi pekerja untuk berorganisasi sehingga memberi kesempatan bagi pekerja untuk lebih berpartisipasi dalam penetapan kondisi dan standar kerja. Namun perubahan-perubahan tersebut telah mengakibatkan ketidakpastian dalam hubungan industrial sehingga lebih sering terjadi konflik, perselisihan, dan pemogokan yang merugikan baik bagi pekerja maupun bagi pemberi kerja. Selain itu berbagai kebijakan ketenagakerjaan dirasakan memberikan porsi keberpihakan yang tidak seimbang antara perlindungan yang diberikan terhadap tenaga kerja dengan pemberi kerja. Ini menimbulkan pergeseran dari usaha yang semula padat tenaga kerja kepada usaha yang relatif padat modal. UPAH MINIMUM. Salah satu kebijakan yang dirasakan memberatkan pemberi kerja untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja adalah penetapan upah minimum yang meningkat secara cepat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penerapan peningkatan upah minimum dalam skala yang cukup tinggi memberikan dampak negatif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Peningkatan upah minimum secara langsung memberikan dampak terhadap peningkatan biaya operasi untuk menghasilkan produk yang tingkat upahnya sebenarnya masih berada di bawah upah minimun yang ditetapkan. Peningkatan biaya produksi ini selanjutnya dikompensasikan dengan kenaikan harga produk yang pada gilirannya menurunkan daya saing produk yang dihasilkan. Indikasi peningkatan upah minimum yang terlalu cepat dapat dilihat dengan membandingkannya dengan pendapatan per kapita masyarakat. Pada tahun 2002, upah IV-15
minimum secara riil untuk pekerja di sektor industri sekitar 34% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1996 (sebelum krisis); sedangkan pendapatan per kapita riil masyarakat belum pulih pada tingkat sebelum krisis. Ini dapat menjadi penghambat bagi pengusaha untuk menyerap tenaga kerja dalam melakukan perluasan usahanya. Perkembangan upah nominal dan upah riil tenaga kerja di sektor industri dapat dilihat pada Grafik IV.4.
420 380 340 300 260 220 180 140 100
Grafik IV.4. INDEKS UPAH SEKTOR INDUSTRI 140 120 100 80 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1
Riil (1996=100)
Nominal (1996=100)
Peningkatan upah minimum juga berdampak pada usaha-usaha yang telah menetapkan upahnya lebih tinggi dari upah minimum. Meskipun sebagian usaha formal (terutama perusahaan yang cukup besar) sebelumnya telah membayarkan upah yang lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan pemerintah, namun penetapan upah minimum yang diberlakukan mengakibatkan perusahaan tersebut secara psikologis terpaksa meningkatkan lagi upahnya agar tidak terjadi perubahan secara drastis atas perbedaan upah yang selama ini terjadi antara upah tenaga kerja di perusahaan tersebut dengan tenaga kerja pada perusahaan yang lain yang upah tenaga kerjanya masih berada di bawah upah minimum. Langkah ini sekaligus juga dilakukan untuk menghindari menurunnya motivasi pekerja atau timbulnya tuntutan dari pekerja karena adanya kenaikan upah di perusahaan yang lain.
60
Nominal Riil
Masalah lain berkaitan dengan hubungan antara upah minimum dan produktivitas tenaga kerja. Selama ini penetapan upah minimum didasarkan pada kebutuhan fisik minimum (KFM) dan tidak dikaitkan dengan produktivitas pekerja. Kebijakan ini cenderung mengakibatkan tingginya biaya operasional untuk produksi yang menggunakan tenaga kerja dibandingkan dengan menggunakan mesin-mesin. Sebagai akibatnya timbul kecenderungan pengusaha merubah sistem produksinya dari yang semula padat karya kearah sistem produksi yang padat modal.
IV-16
KETENTUAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DAN PEMBERIAN PESANGON. Kebijakan yang lain yang mengakibatkan pergeseran usaha dari usaha padat karya ke usaha padat modal adalah ketentuan PHK dan pemberian pesangon. Ketentuan tentang PHK dan pemberian uang pesangon dalam keberpihakan yang tidak seimbang antara pemberi kerja dan pekerja mengakibatkan perusahaan cenderung enggan untuk memperkerjakan pekerja yang baru dan cenderung untuk memilih menggunakan mesin sebagai pengganti dari tenaga kerja. Meskipun ketentuan tersebut sudah diupayakan diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang secara komprehensif mengkonsolidasikan serta mengatur kembali aturan main yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial, namun terdapat beberapa kebijakan yang apabila dijalankan secara kaku justru akan mengakibatkan berkurangnya fleksibilitas tenaga kerja antara lain sebagai berikut. Ketentuan UU Ketenagakerjaan tentang perjanjian kerja, pemborongan pekerjaan dan agen penempatan tenaga kerja dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan keterbatasan fleksibilitas perusahaan dalam produksi dan ketenagakerjaan, mengurangi kesempatan kerja bagi kelompok pekerja tertentu dari lapangan kerja sektor modern, menghambat usaha kecil berpartisipasi dalam kerjasama produksi dengan unit usaha yang lebih besar, serta cenderung menghambat penciptaan pekerjaan di sektor modern, dan menambah beban sektor informal. Untuk itu perlu dipertimbangkan kebijakan yang memberikan fleksibilitas pengaturan ketenagakerjaan di tempat kerja, termasuk perjanjian kerja untuk waktu tertentu bagi pekerja bidang produksi dan pemborongan pekerjaan bidang produksi dan jasa. Ketentuan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai PHK, pengurangan karyawan, dan pemberian pesangon dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan pengurangan pekerja serta PHK sulit dilakukan karena biayanya tinggi, memperlambat restrukturisasi dunia usaha, membatasi perekrutan pekerja baru, menurunkan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor modern, serta mendorong perusahaan untuk mempertahankan pekerja lama dengan mengorbankan pekerja baru yang usianya lebih muda meskipun lebih produktif. Beberapa penyempurnaan yang perlu dilakukan antara lain adalah: (1) memudahkan persyaratan tanpa menghilangkan hak-hak pengusaha untuk memperoleh izin dalam pengurangan dan PHK pekerja; (2) menyesuaikan besaran uang pesangon; dan (3) menyusun skema pesangon atas dasar kontribusi pekerja. Kebijakan ini harus dapat mempermudah tenaga kerja untuk melakukan kegiatan ekonomi termasuk kemudahan bagi tenaga kerja untuk dapat berpindah pekerjaan. Dengan langkah-langkah ini, IV-17
kesempatan kerja diharapkan akan mengarah kembali kepada industri yang padat tenaga kerja. DPR pada saat ini sedang membahas RUU Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dalam hal ini perlu dipertimbangkan dengan cermat mengenai prinsip-prinsip keadilan yang memberikan keberpihakan yang seimbang antara pemberi kerja dan pekerja sehingga kedua pihak memperoleh manfaat. Dengan demikian perluasan kesempatan kerja dapat diwujudkan. PENGARUH PENANAMAN MODAL. Selain dipengaruhi oleh hubungan industrial, penyebab menurunnya kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja disebabkan oleh iklim investasi yang tidak kunjung membaik. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja apabila terjadi peningkatan investasi. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung didorong oleh peningkatan konsumsi. Inventasi cenderung tidak meningkat dan bahkan dalam beberapa tahun sebelumnya menunjukkan penurunan. Dengan demikian, meskipun perekonomian meningkat, penciptaan lapangan kerja sangat lambat. Perkembangan investasi yang belum pulih dipengaruhi oleh berbagai kebijakan termasuk kebijakan di bidang ketenagakerjaan. Keberpihakan yang tidak seimbang telah menimbulkan keengganan bagi para penanam modal melakukan ekspansi atau menanamkan modalnya di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab dari lambatnya perkembangan investasi yang pada gilirannya memperlambat penyediaan lapangan kerja. Dengan keterkaitan ini, upaya untuk mengatasi masalah pengangguran harus dilakukan dengan kebijakan yang terpadu yang diarahkan pada penciptaan iklim penanaman modal yang kondusif, termasuk kebijakan dalam mengatur ketenagakerjaan yang tidak terlalu memberatkan para penanam modal. Dengan iklim penanaman modal yang kondusif, investasi akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan penciptaan lapangan kerja.
b. PERUBAHAN STRUKTUR TENAGA KERJA Selain meningkatnya pengangguran terbuka, masalah lain yang memerlukan perhatian serius adalah meningkatnya penganggur usia muda (15-19 tahun) dan banyaknya pekerja di sektor yang kurang produktif atau sektor informal. Jumlah pekerja yang bekerja di sektor formal cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2001 pengurangan pekerja formal terjadi di daerah pedesaan sebanyak 3,3 juta orang. Pada IV-18
tahun 2002 pekerja formal berkurang lagi sebanyak kurang lebih 1,5 juta orang. Dari 1,5 juta orang tersebut sepertiganya merupakan pekerja yang bekerja di sektor formal di perkotaan. Terkait dengan itu, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian meningkat pesat sehingga mencapai sekitar 50% dari seluruh angkatan kerja. Kecenderungan tersebut menunjukkan masalah yang terjadi di sektor riil. Meningkatnya jumlah penganggur usia muda mengindikasikan: (1) kurangnya lapangan kerja baru untuk pekerja usia muda; (2) pendapatan penduduk terbatas sehingga tidak mampu membiayai pendidikan anaknya; serta (3) penduduk usia muda yang harus mencari kerja untuk membantu membiayai kehidupan keluarganya. Melimpahnya tenaga kerja informal yang umumnya berada di sektor pertanian bukan disebabkan oleh peningkatan kapasitas produksi ataupun peningkatan lapangan kerja di sektor pertanian, tetapi karena keterbatasan lapangan kerja di sektor industri atau sektor lainnya. Dengan demikian produktivitas cenderung semakin menurun dan berdampak pada penurunan nilai tukar petani. Ini mengakibatkan rendahnya pendapatan pada tingkat yang rawan yaitu di bawah atau sekitar garis kemiskinan. Dalam menghadapi permasalahan ini perlu dipertimbangkan secara cermat langkah kebijakan yang dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan sekaligus meningkatkan pendapatan tenaga kerja. Pemberian prioritas pada sektor pertanian, melalui peningkatan perluasan usaha, di satu pihak memang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Namun peningkatan nilai tambah yang terjadi pada sektor pertanian relatif terbatas terutama karena jenis komoditas dan harga komoditas pertanian yang relatif tidak meningkat. Untuk itu, perlu diupayakan peningkatan kegiatan sektor industri pengolahan yang memungkinkan peningkatan penyerapan tenaga kerja sehingga terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri pengolahan dengan tetap memperkuat ketahanan pangan yang tinggi.
c. TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) Pengiriman TKI untuk bekerja di luar negeri selain menghasilkan devisa dalam jumlah yang cukup memadai juga membantu mengurangi beban pengangguran. Setelah mengalami pemulangan TKI dari Malaysia secara besar-besaran pada tahun yang lalu, dalam tahun 2003 kondisi ketenagakerjaan dihadapkan pada berbagai permasalahan yang terjadi pada TKI yang bekerja di luar negeri dalam bentuk penipuan, penganiayaan dan lain-lain. Permasalahan yang muncul telah mengundang perdebatan antara pihak yang ingin menghentikan pengiriman TKI keluar negeri dan yang ingin terus melanjutkan pengiriman TKI tersebut. Hal ini menjadi dilema karena apabila dihentikan akan
IV-19
menambah beban pengangguran, namun apabila diteruskan sering mengundang masalah. Inti dari permasalahan yang terjadi pada TKI adalah kurang berfungsinya sistem perlindungan bagi para pekerja dan kalaupun ada tidak dipahami oleh para pekerja. Pelatihan yang diberikan pada TKI hanya dititikberatkan pada bidang pekerjaan tanpa dibekali dengan pengetahuan yang memadai untuk melakukan pembelaan diri atas pelanggaran hak-hak yang dimiliki pekerja. Untuk itu sistem pengiriman TKI perlu disempurnakan dan tenaga kerja perlu dibekali dengan pengetahuan tidak saja dalam bentuk pelatihan keterampilan namun juga pengetahuan dalam upaya pembelaan diri apabila menghadapi permasalahan. Selain itu pemerintah perlu membentuk jaringan pengaman bagi TKI di luar negeri dalam bentuk pemantauan yang dilakukan secara berkala dan perlu berperan aktif untuk mencari pasar-pasar yang membutuhkan tenaga kerja dengan meningkatkan jaminan terhadap keselamatan dan keamanan para pekerja yang akan bekerja di luar negeri.
D. PEMBERDAYAAN ARBITRASE DAN MEDIASI PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN
SEBAGAI
UPAYA
1. PERMASALAHAN DAN TANTANGAN Peningkatan iklim usaha, menurut Adam Smith,6 mensyaratkan antara lain stabilitas keamanan terutama nasional yang baik serta sistem penyelesaian sengketa bisnis yang efektif, efisien, cepat, murah dan terjaga kerahasiaannya. Arbitrase dan mediasi adalah salah satu pilihan sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang menawarkan keuntungan-keuntungan tersebut. Keberadaaan arbitrase dan mediasi, sebagai salah satu upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, bukan merupakan pengaturan baru dalam sistem penyelesaian sengketa di Indonesia. Esensi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah lama dikenal dan berkembang dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, yang berdasarkan kondisi sosiologisnya, adalah masyarakat yang menitikberatkan pentingnya makna kekeluargaan dan kebersamaan serta saling percaya dan menghormati dalam suatu komunitas. Namun seiring dengan perkembangan keadaan dan pergeseran kondisi sosiologis kemasyarakatan serta karena pengaruh globalisasi, fungsi dan peran arbitrase dan 6
Yahya Harahap; Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa; hal 149. IV-20
mediasi di Indonesia sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa terutama di bidang dunia usaha menjadi kurang menarik, sehingga tanpa disadari semakin banyak peran dan fungsinya yang beralih dan digantikan oleh pengadilan. Sebagai implikasi dari kurang berfungsi arbritrase dan mediasi tersebut, berbagai sengketa, pada masa lalu yang sebenarnya dapat diselesaikan di luar pengadilan, saat ini menjadi beban pengadilan untuk menyelesaikan dan memutus sengketa-sengketa khususnya di bidang dunia usaha. Keadaan ini pada gilirannya mengakibatkan kurang adanya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pada dunia usaha di Indonesia. Mengingat sistem peradilan di Indonesia tidak mengenal pembatasan baik jenis maupun substansi sengketa untuk dapat diajukan sebagai suatu perkara (gugatan) di pengadilan, maka jumlah perkara yang harus diselesaikan baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung, dari waktu ke waktu, cenderung terus bertambah. Salah satu akibat dari kondisi ini adalah lamanya proses penyelesaian perkara di pengadilan.7 Berkaitan dengan hal-hal tersebut serta mempertimbangkan kebutuhan, tuntutan keadaan dan perkembangan dunia usaha baik nasional maupun internasional dalam kerangka globalisasi pada masa yang akan datang, maka peran dan fungsi arbitrase dan mediasi, sebagai salah satu upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dipandang perlu untuk didorong dan diberdayakan kembali.8 Meskipun disadari manfaatnya, pemberdayaan arbritrase dan mediasi dihadapkan pada permasalahan dan tantangan. Yang menonjol adalah besarnya keengganan pada sebagian besar masyarakat pencari keadilan untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya melalui arbitrase dan/atau mediasi antara lain disebabkan oleh sulitnya melaksanakan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional apalagi putusan arbitrase internasional, mengingat ketentuan pasal 3 ayat (1) UU No. 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kehakiman menetapkan bahwa “..., akan tetapi putusan arbiter hanya
Selain lamanya proses penyelesaian sengketa di pengadilan, juga menjadi kenyataan yang tidak dapat disembunyikan, bahwa praktik di pengadilan tidak sehat (Ketua Mahkamah Agung dalam peresmian Pusat Mediasi Nasional (PMN), 4 September 2003, di Jakarta. 8 Dalam kehidupan manusia konflik dan sengketa merupakan bagian yang tidak terpisahkan, mulai dari yang paling sederhana sampai kepada masalah yang sangat kompleks. Demikian juga dalam praktik dunia usaha. Berbagai konflik dan sengketa yang terjadi, seiring dengan perkembangan dunia semakin kompleks, membutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam penyelesaiannya. Selama ini lembaga pengadilan yang diharapkan menjadi tempat menyelesaikan sengketa belum memberikan hasil yang memuaskan. 7
IV-21
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh ijin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.”9 Terlepas dari kendala-kendala yang dihadapi, dalam jangka menengah, upaya melalui proses arbitrase dan mediasi sangat penting untuk menjadi salah satu alternatif dalam penyelesaian sengketa karena secara konseptual manfaat dan keuntungan yang ditawarkannya cukup menjanjikan serta mampu menarik minat dan kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
2. UPAYA PEMBERDAYAAN ARBITRASE DAN MEDIASI ARBITRASE. Dalam rangka mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi serta mendorong terciptanya iklim usaha yang semakin kondusif, upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah memprakarsai penyusunan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.10 Keberadaan Undang-undang tersebut, bukan hanya memperkaya khasanah hukum nasional, namun diharapkan secara berangsur-angsur mampu mendorong terciptanya kepastian hukum yang merupakan persyaratan utama dalam meningkatkan iklim usaha.11 Itikad baik menjadi kunci dari pelaksanaan arbitrase dan/atau mediasi (Ketua Mahkamah Agung). Secara khusus Prof. Mardjono Reksodiputro menyoroti beberapa perkara arbitrase yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak. Padahal sebelumnya para pihak yang bersengketa telah sepakat memilih forum arbitrase. 10 Pengaturan tentang arbitrase nasional, selama lebih dari 30 tahun, tidak dikodifikasikan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang arbitrase, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti pasal 377 H.I.R yang merujuk pasal 615 – 651 Regelement op de Rechtsvordering (RV) dan pasal 3 ayat (1) UU No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan pengaturan arbitrase internasional, pemerintah telah meratifikasi 2 (dua) konvensi yaitu : (1). Konvensi NewYork (Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Award) melalui Keputusan Presiden No. 34/1981, dimana segala putusan arbitrase internasional, yang diputuskan oleh lembaga arbitrase internasional di luar wilayah yurisdiksi Indonesia, diakui dan dapat dilaksanakan eksekusinya dengan memperhatikan asas resiprositas (asas timbal-balik); serta (2). Konvensi tentang Penyelesaian Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settelement of Investment Dispute Between State and National of Order State – ICSID) yang telah diratifikasi pada tahun 1968 melalui UU No. 5/1968. 11 Ditetapkannya UU No. 30 /1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada dasarnya didorong oleh kenyataan, terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengahan tahun 1997, dimana praktik berperkara di Pengadilan penuh dengan berbagai permainan atau 9
IV-22
Arbitrase, sebagaimana diatur dalam UU No. 30/1999, dipahami sebagai salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya atau ketidaksepahamannya atau ketidaksepakatannya dengan satu atau lebih pihak lain kepada satu atau lebih arbiter (ahli yang profesional), yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak untuk sampai pada putusan arbitrase, yang merupakan produk hukum yang dihasilkan dari proses arbitrase, yang didasarkan pada suatu pertimbangan fakta-fakta hukum, keadilan dan kepatutan, yang bersifat final dan mengikat.12 Pada hakekatnya, pengaturan tentang arbitrase dalam UU No. 30/1999 antara lain meliputi 3 (tiga) hal pokok, yaitu : a. Bidang yang dapat dipersengketakan, yang meliputi bidang perdagangan (bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual) dan sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa. b. Proses penyelesaian sengketa. 1) Pengadilan Negeri dinyatakan tidak berwenang untuk memeriksa suatu sengketa (kompetensi absolut) yang para pihaknya telah terikat dan bersepakat dalam suatu perjanjian arbitrase. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, maka pengadilan harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara (sengketa) tersebut meskipun salah satu pihak (pihak tergugat) tidak mengajukan keberatan ataupun bantahannya. Walaupun implementasi ketentuan tersebut masih sering menemukan kendala, seperti yang terjadi pada sengketa dagang PT Roche Indonesia melawan PD. Tempo, dimana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili sengketa dagang tersebut, namun Mahkamah Agung melalui putusanputusannya, yang kemudian menjadi yurisprudensi tetap, menyatakan pendiriannya yang menguatkan ketentuan pasal 3 UU No. 30/1999 tersebut.
yang disebut “mafia peradilan”, yang walaupun terus menerus dilakukan pemberantasannya, namun hingga saat ini masih sangat sulit untuk dihilangkan. 12 H. Priyatna Abdurrasyid ; Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar ; hal. 54 IV-23
BOKS IV.3. SALAH SATU YURISPRUDENSI BERKAITAN DENGAN PASAL 3 UU No. 30/1999
Kasus PT. Asuransi Royal Indrapura13
Berdasarkan klausul “all differences arising out of this policy shall be referred to the decision of an arbitrator to be appointed in writing but the parties in difference or if they can not agree upon a single arbitrator...” Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, sesuai dengan pasal 3 UU No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, khususnya memori penjelasan pasal tersebut.14
2) Waktu (lamanya) proses pemeriksaan sengketa yang dibatasi hanya 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk yang apabila diperlukan, dengan persetujuan para pihak, dapat diperpanjang waktunya. Sedangkan putusan arbitrase diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. c. Pelaksanaan putusan arbitrase (nasional maupun internasional). 1) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam hal arbitrase nasional, walaupun putusan arbitrase harus didaftarkan di Panitera Pengadilan Negeri, namun pelaksanaan putusannya dilakukan secara sukarela oleh salah satu pihak. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan pelaksanaannya atas permohonan dari salah satu pihak yang bersengketa. 2) Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari keseluruhan pengaturan dalam UU No. 30/1999, maka apabila dibandingkan dengan lembaga peradilan, proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki sejumlah kelebihan terutama terjaminnya kerahasiaan sengketa. Hal tersebut sangat dimungkinkan mengingat keputusan arbitrase tidak pernah dipublikasikan maka kerahasiaannya lebih terjamin bila dibandingkan dengan putusan pengadilan yang dalam kondisi tertentu dapat menjadi salah satu sumber hukum (yurisprudensi). 15 Setiawan; Beberapa Catatan Hukum tentang Klausula Arbitrase; makalah yang disampaikan pada Lokakarya Arbitrase dan Mediasi pada tanggal 8 dan 9 Oktober 2002. 14 Ibid. 15 Penjelasan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 13
IV-24
Mengamati ketersediaan dan kesiapan peraturan perundang-undangan tentang arbitrase, maka upaya selanjutnya yang perlu dilakukan di masa yang akan datang oleh pemerintah bersama-sama dengan lembaga yudikatif, dalam rangka mendorong dan memberdayakan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, adalah penguatan pelaksanaan dan penegakan hukum (law enforcement) secara lebih konsisten. Selain itu, dalam kerangka pembangunan hukum jangka panjang dipandang perlu untuk dibangun, melalui budaya hukum, suatu kesadaran dan pemahaman masyarakat untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi dengan arbitrase. MEDIASI. Ketika arbitrase bukan merupakan pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka upaya penyelesaian sengketa lainnya yang disarankan adalah melalui mediasi. Salah satu upaya, yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendorong dan memberdayakan mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa adalah dengan pemberlakuan sejumlah ketentuan tentang mediasi dalam UU No. 30/1999. Mediasi, sebagaimana diatur dalam UU No. 30/1999, merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimana para pihak yang berselisih atau bersengketa bersepakat untuk menghadirkan pihak ketiga yang independen guna bertindak sebagai mediator (penengah), namun kepadanya tidak diberikan suatu kewenangan untuk menyusun dan membuat putusan akhir, sebagaimana putusan akhir dalam proses arbitrase, atas hal yang dipersengketakan. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka esensi utama dari proses mediasi adalah lebih berperannya para pihak yang bersengketa, yang didasarkan pada suatu itikad baik dan kesukarelaannya, dalam proses mediasi sehingga tercapai suatu penyelesaian sengketa yang merupakan hasil dari kesepakatan para pihak tersebut.16 Salah satu upaya yang sangat berarti dalam rangka mendorong dan memberdayakan mediasi dalam menyelesaikan sengketa terutama berkaitan dengan restrukturisasi utang swasta dilakukan oleh Prakarsa Jakarta (The Jakarta Initiative). Melalui proses mediasi tersebut, hingga November 2003, dari 117 kasus yang terdaftar, sebagian besar adalah dari sektor industri dasar dan kimia serta property and real estate (dengan nilai utang US$ 27 Peran dan fungsi mediator dalam proses mediasi ini semata-mata sebagai penengah yang akan memberikan saran dan pertimbangan yang tidak mengikat bagi para pihak sehingga seorang mediator tidak perlu memiliki kemampuan teknis tertentu yang berkaitan dengan pokok dan materi sengketa. Ini berbeda dengan peran dan fungsi arbiter, yang merupakan seorang pemutus sengketa (sebagaimana seorang hakim dalam persidangan). 16
IV-25
miliar dan Rp 18,31 triliun, total utang US$ 29,29 miliar), 96 kasus diantaranya telah berhasil diselesaikan (sebanyak 20 kasus pada tahap MoU dan 76 kasus pada tahap legal closure). Dengan banyaknya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui proses mediasi tersebut, maka pada bulan Juni 2003 dibentuk Pusat Mediasi Nasional (PMN). MEDIASI DI DALAM PENGADILAN. Peranan mediasi dalam proses penyelesaian sengketa semakin dirasakan penting mengingat besarnya backlog (perkara yang belum diputus di Mahkamah Agung) yang secara total, hingga tahun 2002, telah mencapai sekitar 16 ribu perkara. Mempertimbangkan kondisi tersebut, maka Mahkamah Agung memberlakukan Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) No. 1/2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2/2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai salah satu upaya efektif mendorong dan memberdayakan mediasi dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem hukum beracara di pengadilan. Berdasarkan Perma No. 2/2003, semua perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Negeri wajib untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui perdamaian (proses mediasi) dengan bantuan mediator yang terdaftar sebagai mediator di pengadilan atau di luar daftar pengadilan. Dalam waktu proses mediasi yang terbatas selama 30 (tigapuluh) hari, para pihak yang bersengketa harus telah selesai menentukan apakah suatu kesepakatan penyelesaian sengketa, yang kemudian dapat dituangkan ke dalam akta perdamaian, telah tercapai atau tidak tercapai. Ketika proses mediasi mencapai suatu kesepakatan, maka gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat wajib untuk dicabut. Namun apabila proses mediasi gagal untuk mencapai suatu kesepakatan, maka hakim akan melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Mencermati kondisi sosiologis dan substantif yang terkandung dalam UU No. 30/1999 dan peraturan perundang-undangan lainnya, maka disimpulkan bahwa mediasi merupakan win-win solution yang paling hakiki, apabila dibandingkan dengan proses arbitrase maupun proses litigasi di pengadilan. Hal ini dimungkinkan mengingat tidak adanya putusan dalam proses mediasi, karena sifatnya yang non-ajudikatif, nonkonfrontatif dan kooperatif, merupakan suatu bentuk penghargaan dan kemenangan bersama bagi masing-masing pihak yang bersengketa.
IV-26
Keberhasilan dan efektivitas proses mediasi, termasuk mediasi di pengadilan, tentunya tidak semata-mata didasarkan pada kelengkapan dan kesiapan peraturan perundang-undangannya, namun dituntut pula adanya suatu komitmen bersama, hakim dan kuasa hukum (pengacara), untuk secara bersungguh-sungguh mendorong pihakpihak yang bersengketa sedapat mungkin menyelesaikan sengketa yang dihadapinya melalui upaya-upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dengan perkembangan dunia usaha yang semakin cepat dan kompleks, di masa yang akan datang, pemberdayaan mediasi dalam rangka penyelesaian sengketa di luar pengadilan perlu semakin didorong. Ini sangat penting karena dengan dinamika tersebut dibutuhkan penyelesaian sengketa yang efektif, cepat, dan murah. Dengan demikian dukungan hukum bagi pembangunan ekonomi menjadi semakin kuat. Untuk itu perlu dibentuk sejumlah lembaga mediasi seperti pusat mediasi korporasi, sebagaimana diusulkan oleh Prakarsa Jakarta. Disamping itu, dipandang perlu dilakukan percepatan proses pembelajaran dan pemahaman masyarakat tentang mediasi, melalui budaya hukum, sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan budaya Indonesia.
IV-27