BAB II Uraian Teoritis
II.1 Hakekat Budaya dan Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah “desa dunia” (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah sudah saling mengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Pada hal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Dari itu mempelajari komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi.
Pada
satu
sisi,
komunikasi
merupakan
suatu
mekanisme untuk
mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari suatu
Universitas Sumatera Utara
masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasike generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Tidak banyak orang menyadari bahwa bentuk-bentuk interaksi antarbudaya sesungguhnya secara langsung atau tidak melibatkan sebuah komunikasi. Pentingnya komunikasi antarbudaya mengharuskan semua orang untuk mengenal panorama dasardasar komunikasi antarbudaya itu. Dalam kenyataan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Dapat dikatakan pula bahwa interaksi antar-budaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Maka dari itu kita perlu tahu apa-apa yang menjadi unsur-unsur dalam terbentuknya proses komunikasi antarbudaya, yang antara lain adalah adanya komunikator yang berperan sebagai pemrakarsa komunikasi; komunikan sebagai pihak yang menerima pesan; pesan/simbol sebagai ungkapan pikiran, ide atau gagasan, perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Komunikasi itu muncul, karena adanya kontak, interaksi dan hubungan antar warga masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Sehingga “kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan, begitulah kata Edward T. Hall. Jadi sebenarnya tak ada komunitas tanpa kebudayaan, tidak ada masyarakat tanpa pembagian kerja, tanpa proses pengalihan atau transmisi minimum dari informasi. Dengan kata lain, tidak ada komunitas, tidak ada masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa komunikasi. Di sinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi antarbudaya itu. Menurut Alo Liliweri (pakar komunikasi antarbudaya) mengatakan bahwa sebagai bagian dari tuntutan glabalisasi yang semakin tidak terkendali seperti saat ini, mendorong kepada kita terjadinya sebuah interaksi lintas budaya, lintas kelompok, serta lintas
Universitas Sumatera Utara
sektoral. Belum lagi perubahan-perubahan global lainnya yang semakin deras dan menjadi bukti nyata bahwa semua orang harus mengerti karakter komunikasi antarbudaya secara mendalam. Lebih lanjut, Alo Liliweri menjelaskan bahwa esensi komunikasi terletak pada proses, yakni sesuatu aktivitas yang “melayani” hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Itulah sebabnya mengapa semua orang pertama-tama tertarik mempelajari komunikasi manusia (human communication), sebuah proses komunikasi yang melibatkan manusia kemarin, kini, dan mungkin di masa yang akan datang. Sedangkan budaya atau kebudayaan menurut Burnett Taylor dalam karyanya yang berjudul Primitive Culture, adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Di samping mengetahui pengertian kebudayaan kita juga harus mengetahui unsur-unsur kebudayaan manusia yang antara lain adalah sejarah kebudayaan, identitas sosial, budaya material, peranan relasi, kesenian, bahasa dan interaksi, stabilitas kebudayaan, kepercayaan atas kebudayaan dan nilai, etnosentrisme, perilaku non-verbal, hubungan antar ruang, konsep tentang waktu, pengakuan dan ganjaran, pola pikir, dan aturan-aturan budaya. Jadi yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya ialah komunikasi antarpribadi yang dilakukan mereka yang berbeda latarbelakang kebudayaan. Jadi, suatu proses kumunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang (karena memiliki keragaman) memberikan interpretasi dan harapan secara berbada terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang
dipertukarkan.
Secara alamiah, proses komunikasi antarbudaya berakar dari relasi antarbudaya yang
Universitas Sumatera Utara
menghendaki adanya interaksi sosial. Menurut Jackson (1967), menekankan bahwa isi (content of communication) komunikasi tidak berbeda dalam sebuah ruang yang terisolasi. Isi (content) dan makna (meaning) esensial dalam bentuk relasi (relations). Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Tingkat ketidakpastian itu akan berkurang manakala kita mampu meramalkan secara tepat proses komunikasi. Karena itu, dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Demikian pula, dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentukbentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbarui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manejemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi, mengurangi konflik yang seluruhnya merupakan bentuk dari komunikasi antarbudaya. Karena itu, terjadinya kesenjangan dalam masyarakat seringkali disebabkan oleh datangnya perubahan dari luar. struktur sosial baru berdasarkan profesi dan fungsi yang lebih rasional mengakibatkan perubahan relasi. Dalam kaitannya dengan komunikasi antar budaya, perubahan-perubahan yang datang dari dalam maupun dari luar sangat berpengaruh terhadap perubahan relasi antar budaya. Akibat kontak, interaksi dan hibingan antar anggota masyarakat yang berbeda kebudayaannya, muncullah komunikasi antarbudaya. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada komunitas tanpa budaya, tidak ada masyarakat tanpa pembagian kerja, tanpa proses pengalihan atau transmisi minimum dari
Universitas Sumatera Utara
informasi. Dengan kata lain tidak ada komunitas, tidak ada masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa adanya komunikasi. Disinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi antarbudaya. Semua fenomena itu, selain karena disebabkan perubahan yang ada, juga karena kurangnya komunikasi. Akhirnya, memerlukan sebuah komunikasi antarbudaya guna mengurangi kesalahpahaman di antara sesama manusia. Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman. Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian kita itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam komponen nonverbal (Ray L. Birdwhistell, 1969). Namun demikian, studi sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentuk-bentuk
Universitas Sumatera Utara
komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing sering mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan pengalaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri dengan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal. Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khususnya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang cenderung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J., 1998). Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya antara orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena besarnya jumlah pasangan budaya, dan karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara untuk mengatur dan memahami banyaknya masalah yang mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
II.1.1 Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak yang dekat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan atau spontanitas antarpersonal yang besar dinamakan “budaya kontak” karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan. Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di negara-negara hangat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-negara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab, Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Indonesia. Negaranegara dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani, 1998). Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi hubungan antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan, orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin.
Universitas Sumatera Utara
II.1.2 Individualisme dan Kolektivisme Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semuanya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Timur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47. Tingkat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempunyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif kurang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980). Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong
Universitas Sumatera Utara
untuk mengungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif.
II.2 Terjadinya Komunikasi Antarbudaya Akar dari studi komunikasi antarbudaya dapat ditemukan dari era Perang Dunia Kedua, ketika Amerika mendominasi panggung dunia. bagaimanapun, disadari pemerintah dan pebisnis bekerja melewati benua, dan berpindah-pindah dan akhirnya mereka sering menyadari perbedaan budaya yang terjadi. Kendala utama adalah bahasa, bagimana mereka harus mempersiapkan ini dan hal ini menjadi tantangan bagi komunikasi lintasbudaya yang mereka jalani. Sebagai respon, pemerintah Amerika pada tahun 1946 membangun sebuah FSI (Foreign Service Institute). FSI ini kemudian memilih Edward T. Hall dan beberpa ahli antropologi dan bahasa termasuk Ray Birdwhistell dan George Trager untuk mengurus keberangkatan dan kursus untuk para pekerja yang biasa keluar negeri. Karena bahan pelatihan antarbudaya masih jarang/langka maka mereka mengembangkan keahlian mereka sendiri. Alhasil, FSI memformulasikan cara baru untuk melihat baudaya dan komunikasi, dan lahirlah studi komunikasi antarbudaya ( Martin, Thomas , 2007:44-45) Istilah antarabudaya (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang antroplog, Edward T.Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karya Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaab konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya system ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo mealui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice) pada tahun 1960. Dalam tulisan itu Berlo
Universitas Sumatera Utara
menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo, komuniksi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR yaitu : source, messege, channel, receiver. Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komuniksi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komuniksi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001:1-2). Studi komunikasi antarbudaya, menggabungkan 2 unsur yaitu budaya dan komunikasi. Hubungan antara budaya dan komunikasi begitu kompleks, perspektif dialektis mengasumsikan bahwa budaya dan komunikasi saling berhubungan dan timbal balik. Jadi, budaya mempengahui komunikasi dan sebaliknya. Menurut Burke dalam Intercultural Communication in Context , untuk itu, kelompok budaya mempengaruhi proses di mana persepsi dari realitas diciptakan dan dibangun: ’’semua komunitas di semua tempat setiap waktu memanifestasikan pandangan mereka sendiri terhadap realitas yang mereka lakukan. Keseluruhan budaya merefleksikan model realitas kontemporer’’. Bagaimanapun, kita mungkin saja bisa mengatakan bahwa komunikasi membantu menciptakan realitas budaya dari suatu komunitas ( Martin & Thomas, 2007: 92). Rumusan objek formal komuniksi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 19701980an.
‘’Annual
‘’tentang
komuniksi
antarbudaya
yang
disponsori
Speech
Communication Association, terbit pertama kali tahun 1974 oleh Fred Casmir dalam The International anda Intercultural Communiction Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi anatarbudaya dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication . selanjutnya thun 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Edisi lain tentang komuniksi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 198, komunikasi anatretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi Lintas budaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988 dan terakhir komuniksi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny, tahun 1988 (Liliweri, 2001:2-3). Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana menjaga makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan , bahkan lingkungan lingkungan teknologi yang melibtakan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2004:10). Young Yun Kim dalam Rahardjo mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, maka hal yang terpenting dari komunikasi anatarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang realatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kutural. Selanjtnya menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi anatarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan (homogenitas) dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereak daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 52-53). Selanjutanya, salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang
Universitas Sumatera Utara
lain. Gundykunst dan Kim dalam Alo Liliweri menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak kita kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas realsi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dilakukan melalui tiga tahap interaksi , yakni: 1. pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal, 2. initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal tersebut, 3. closure, mulai membuka diri ynag semual tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Schramm dalam susanto yang dikutip dari Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, mengemukakan efektivitas komunikasi antara lain tergantung pada situasi dan hubungan sosial anatara komunikator dengan komunikan terutama dalam lingkup referensi maupn luasnya pengalaman di antara mereka ( Liliweri, 2001: 171). Sedangkan Schramm dalam Mulyana yang dikutip dari Gatra-Gatra Komunikasi menyebutkan, komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus memperhatiakn empat syarat, yaitu (1) menghormati anggota budaya lain sebagai manusia;(2) menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki; (3) menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak; dan (4) komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari lain budaya. Sedangkan Devito mengemukakan beberapa faktor penentu efektivitas komunikasi antarpribadi, yakni: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) perasaan positif; (4) dukungan; dan (5) keseimbangan ( Liliweri, 2001: 171). Beberapa ahli berusaha merumuskan kompetensi komunikasi antarbudaya, Kim menawarkan sebuah definisi detail mengenai kompetensi komuniksi anatbudaya yaitu ‘’
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan kapabilitas internal dari seseorang untuk menghadapi ciri-ciri dari tantangan yang sering terjadi saat komunikasi antarbudaya terjadi: yaitu, perbedaan budaya, dan ketidaksamaan, sikap inter-grup. Jadi, dari pengertian ini bisa dipahami untuk menjadi komunikator yang kompeten, kita harus memiliki kemampuan untuk menganalisis situasi dan memilih mode dari perilaku yang tepat ( Samovar, dkk, 2007: 314) Menurut Samovar, komunikator yang efektif adalah mereka yang memiliki motivasi, mempunyai kerangka pengetahuan, memiliki kemapuan komunikasi yang diperlukan, dan memiliki karakter yang baik ( Samovar, dkk, 2007: 314), sedangkan Judith N martin dan Thomas Nakayama dalam bukunya Intercultural Communication in Context merumuskan 2 komponen kompetensi yaitu komponen individu yang terdiri dari: motivasi, pengetahuan, sikap, perilaku dan kemampuan, dan komponen kontekstual yaitu melihat konteks-konteks yang dapat mempengaruhi komunikasi anatarbudaya sebagai contoh, konteks historis, konteks hubungan, konteks budaya ataupun konteks lainnya seperti gender, ras dan sebagainya ( Martin & Thomas, 2007: 435-445). Gundykunst dan Kim juga punya pandangan sendiri sehubungan dengan kompoonen
kompetensi
komuniksi
antarbudaya
yaitu:
motivasi,
pengetahuan,
kemampuan. Motivasi sendiri dipahami sebagai keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif denganyang lain,dan motivasi dibagi menjadi 3 kebutuhan ynag penting yaitu, kebutuhan akan kemampuan untuk menebakperilaku orang lain, kebutuhan untuk menghindari perilaku menyebarkan kecemasan, kebutuhan untuk menopang konsep diri. Sedangkan komponen pengetahuan secara spesifik dibagi menjadi pengetahuan mengenai bagaimana mengumpulkan informasi, pengetahuan tentang perbedaan kelompok, pengetahuan akan kesamaan pribadi, pengetahuan akan interpretasi alternatif. Skill/kemampuan dimulai dari: kemampuan untuk menjadi sadar (mindful dalam komunikasi antarbudaya), kemampuan untuk mengolah kecemasan, kemampuan untuk
Universitas Sumatera Utara
berempati, kemapuan untuk menagadaptasi perilaku, kemampuan untuk membuat penjelasan dan prediksi yang akurat (Gundykunst & Kim, 2003: 276-292). Gundykusnt & Kim mengatakan sebenarnya bahwa paling tidak ada dua pandangan mengenai sifat kompetensi. Pandangan pertama menegaskan kompetensi seharusnya didalam diri seseorang (komunikator) sebagai kapasitas atau kapabilitas orang tersebut untuk memfasilitasi proses komunikasi antar individu yang berbeda budaya sedangkan pandangan kedua berpendapat, kompetensi harus ada pada kedua belah pihak ( Rahardjo, 2003: 72). Dalam ‘’Intercultural Communication In context’’, Howell menitikberatkan bahwa komunikasi anatarbudaya adalah sama, hanaya saja diperoleh melalui analisis kesadaran dan yang berada pada level teratas dari kompetensi komunikasi memerlukan kombinasi berpikir holistic dan analitik. Howell mengidentifikasikan 4 level kompetensi komunikasi antarbuadaya, unconscious incompetence, yaitu saat di mana kita tidak sadar akan perbedaan dan tidak butuh berbuat pada cara tertentu, conscious incompetence yaitu seseorang menyadari sesuatu tidak berjalan dengan baik saat interaksi tetapi mereka tidak yakin mengapa terjadi, conscious competence yaitu, seseorang sudah mulai sadar , berpikir analitik dan belajar, pada tahap ini seseorang menjalani proses menjadi seorang komunikator yang kompeten dan unconscious competence yaitu komunikasi berjalan lancar tetapi tidak dalam proses yang disadari.
II.2.1 Perspektif Interpretif sebagai Pendekatan komunikasi Antarbudaya Yang juga turut mempengaruhi studi komunikasi antarbudaya adalah penelitian paradigma. Paradigma sendri secara sederhana dipahami sebagai pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh ilmu yang bersangkutan ( Purba, 2006: 16). Masing-masing paradigma
Universitas Sumatera Utara
tentu mengasusmikan interpretasi yang berbeda mengenai realitas, perilaku manusia, budaya dan komunikasi ( Martin & Thomas, 2007: 47). Beberapa ahli komunikasi percaya bahwa ada sebuah realitas eksternal yang dapat diukur dan dipelajari, sementara yang lain percaya bahwa realitas dapat dimengerti hanya hidup dan dialami oleh individu. Pendek kata, kepercayaan dan asumsi tentang realitas mempengaruhi metode dan penemuan penelitian dan kemudian juga mempenagruhi apa yang secara tepat kita ketahui sebagai komuniksi antarbudaya. Selanjutnya, kita dapat mengidentifikasi 3 pendekatan yang masing-masing memberikan karaktersitik bagi budaya dan komunikasi. Ketiga pendekatan ini melibatkan sebuah campuran displin ilmu dan merefleksikan pandangan yangberbeda serta asumsi tntang realitas, perilaku manusia, dan cara untuk mempelajari budaya dan komunikasi. Tiga pendekatan yang mempelajari komunikasi antarbudaya adalah 1. pendekatan ilmu sosial (fungsional), 2. pendekatan interpretif, 3. pendekatan kritis. Masing-masing memberikan cara yang unik untuk memahami hubungan anatara kebudayaan dan komunikasi tetapi msing-masing memiliki keterbatasan. (Martin & Thomas, 2007: 49). Table 1. Tiga pendekatan Komunikasi Antarbudaya Ilmu Sosial
Interpretif
Kritis
(Fungsional) Disiplin dimana Psikologi
Antropologi
Beragam
pendekatan
Sosiolinguistik
ditemukan Tujuan
Menjelaskan
penelitian
memprediksikan
dan Menjelaskan
Merubah
perilaku
perilaku
perilaku Asumsi tentang Eksternal dan dapat Subjektif
Subjektif
dan
Universitas Sumatera Utara
realitas
dijelaskan
penting
Asumsi tentang Dapat ditebak
Kreatif
perilaku manusia
sengaja
Metode studi
Survei dan observasi
dan Berubah-ubah
Observasi
Analisis
partisipan,
studi tekstual media
lapangan Hubungan antara Komunikasi
Budaya
budaya
diciptakan
dan dipengaruhi budaya
komunikasi
Kontribusi pendekatan
Budaya adalah dan sebuah
dibangun melalui dari
dari Mengidentifikasi variasi
kultural
mengenali perbedaan
tempat
perjuangn
komuniksi
kekuasaan
Menekankan
Mengenali
; bahwa komunikasi
kultural budaya
pada banyak aspek perbedaan
kekuatan dan ekonomi dan politik
dan dalam
kebudayaan dan
komunikasi
tetapi kultural
dpata komunikasi;
sering
tidak dipelajari
dalam menyatakan
mempertimbangkan konteks
konteks.
bahwa interaksi antarbudaya digolongkan oleh kekuasaan.
( Martin & Thomas, 2007: 50). Dan untuk penelitian ini, maka perspektif/pendekatan yang tepat dan digunakan adalah perspektif interpretif. Pendekatan interpretif memperoleh masa-masa keunggulan sekitar tahun 1980an. Para peneliti dengan pendekatan ini berasumsi pendekatan ini
Universitas Sumatera Utara
adalah tidak hanya realitas eksternal dari manusia tapi juga manusia mengkonstruksikan realitas. Mereka juga percaya bahwa pengalaman manusia, termasuk komunikasi, bersigat subjektif dan perilaku manusia tidak ada ditetapkan sebelumnya maupun diprediksi. Tujuan dari penelitian komunikasi antabudaya dengan pendekatan ini adalah untuk mengerti dan menjelaskan perilaku manusia dan memprediksi tidak menjadi tujuan ( Martin & Thomas, 2007: 56). Jadi, dengan pendekatan ini, penelitian akan fokus pada pengertian akan suatu fenomena secara subjektif dari dalam sebuah komunitas budaya tertentu, dan inilah yang disebut penelitian ‘’emik’’. Para peneliti akan mencoba untuk menjelaskan pola-pola atau aturan-aturan di mana individu mengikuti pada konteks yang spesifik. Penelitian akan cenderung jadi lebih tertaik untuk menjelaskan perilaku kultural dari sautu komunitas daripada melakukan perbandingan lintas budaya ( Martin & Thomas, 2007: 57). Menurut Littlejohn dalam Rahrdjo, gagasan interpretif, yaitu pemikiran-pemikiran teoritik yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks ( Rahardjo, 2005:41). Teori-teori dari genre interpretif ini berusaha menjelaskan suatu proses di mana pemahaman terjadai dan membuat perbedaan yang tajam antara pemahaman dengan penjelasan ilmiah. Tujuan dari interpretif bukan untuk menemukan hukum yang mengatur kejadian, tetapi berusaha mengungkap cara-cara yang dilakukan orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri (Rahardjo, 2005:41). Dengan demikian secara operasional, pendekatan interpretif akan dipakai sebagai landasan berpikir dengan pertimbangan bahwa permasalah identitas etnik dalam komunikasi anatarbudaya merupakan hal yang dirasakan dan dialami secara subjektif oleh setipa individu/ subjek penelitian nantinya.
Universitas Sumatera Utara
II.2.2 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan mengalami penurunan atau peningkatan dalam suatu pertemuan antarbudaya. Faktorfaktor tersebut adalah motivasi, pengetahuan dan kecakapan (Rahardjo, 2005: 69-70). Faktor-faktor tersebut disebut Gundykunst sebagai kompetensi komunikasi antarbudaya, yang secara konseptual diberi arti sebagai kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh suatu pihak untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budaya (Rahardjo, 2005:71). Motivasi sendiri adalah dimensi paling penting dalam kompetensi komunikasi. Jika kita tidak termotivasi dalam berkomunikasi dengan orang lain maka tak akan ada gunanya kemampuan yang kita punya. Jadi secara sederhana motivasi bisa dinilai sebagai hasrat untuk membuat komitmen dalam hubungan, untuik belajar tentang diri dan orang lain, dan untuk menyisakan keluwesan (Martin & Nakayama, 2007: 435). Sedangkan pengetahuan dipahami sebagai kualitas dari pemahaman kita tentang apa yang dibutuhkan dan tindakan supaya memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya (Rahardjo, 2005:71). Dan kecakapan sendiri menyangkut pada kinerja perilaku yang sebenarnya yang dirasakan efektif dan pantas dalam konteks komunikasi (Rahardjo, 2005:71). Berikut adalah tabel penjelasan komponen kompetensi komunikasi antarbudaya: Komponen Kompetensi
Elemen
Komunikasi Antarbudaya 1. Motivasi
a. kebutuhan untuk memprediksi, b. kebutuhan
untuk
menghindari
penyebaran kecemasan, dan c. kebutuhan untuk menopang konsep diri ( Gundykunst & Kim, 2003:
Universitas Sumatera Utara
276-279). d. mindful terhadap ranah identitas, e. mindful
terhadap
kebutuhan
identitas, f. mindful
terhadap
kecenderungan
etnosentrisme (Rahardjo, 2005:76). 2. Pengetahuan
a. pengetahuan
tentang
bagaimana
mengumpulkan informasi, b. pengetahuan
tentang
perbedaan
tentang
kesamaan
tentang
interpretasi
kelompok, c. pengetahuan personal, d. pengetahuan alternatif
(Gundykunst
&
Kim,
2003: 279-283). e. pengetahuan
tentang
nilai
kultural/personal, f. pengetahuan tentang bahasa dan komunikasi verbal, g. pengetahuan
tentang
komunikasi
non verbal, h. pengetahuan tentang batas in-group dan out-group, i. pengetahuan tentang pengembangan relasi,
Universitas Sumatera Utara
j. manjemen konflik b. pengetahuan
tentang
adaptasi
antarbudaya. (Rahardjo, 2005:76). 3. Kecakapan
a. kemampuan
untuk
memberi
perhatian/mengamati
dan
mendengarkan, b. kemampuan untuk bertoleransi pada ambiguitas, c. kemampuan
dalam
mengelola
kecemasan, d. kemampuan berempati, e. kemampuan
untuk
menyesuaikan
untuk
memberikan
perilaku, f. kemapuan
ketepatan dalam memprediksi dan menjelaskan perilaku orang lain (Gundykunst & Kim, 2003: 285292) g. mindful dalam pengamatan, dan dalam mendengarkan, h. mampu empati verbal, i. memiliki kepekaan non-verbal, j. memiliki kecakapan menyesuaikan diri dan konflik konstrukstif k. memiliki mindful terhadap stereotip
Universitas Sumatera Utara
(Rahardjo, 2005:76).
Howell menitikberatkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah sama, yang akan memiliki lebih dapat diperoleh melalui analisis secara sadar, dan tingkat tertinggi dari kompetensi komunikais diperoleh dari proses pemikiran yang analitik dan holistik. Howell kemudian mendefinisikan empat level kompetensi komunikasi antarbudaya yaitu: Unconcious Incompetence, Conscious Incompetence, Conscious Competence, dan Unconscious Competence (Martin & Nakayama, 2007: 443) Unconcious Incompetence terjadi apabila seseorang tidak sadar, akan perbedaan dan merasa tidak butuh berprilaku pada situasi tertentu sedangkan Conscious Incompetence terjadi pada saat seseorang telah menyadari sesuatu tidak berjalan dengan baik dalam komunikasinya tapi tidak yakin kenpa dan tidak tahu harus berbuat apa. Conscious Competence terjadi bila seseorang sudah mampu berkomunikasi dengan baik, melalui proses pemikiran analitik dan belajar, dan terus mengubah perilakunya supaya komunikasi menjadai lebih lebih efektif. Dan Unconscious Competence terjadi apabila seseorang belum menyadari bahwa komunikasinya berjalan dengan lancar dan sebenarnya dia cukup memiliki kemampuan dalam berkomunikasi (Martin & Nakayama, 2007: 443445). Level dari kompetensi bukanlah sesuatu yang kita dapat peroleh melalui kesadaran untuk mencobanya. Hal itu terjadi ketika bagian proses analisis dan menyeluruh (holistik) pada komunikasi digunakan secara bersama-sama.
II.3 Identitas Etnis II. 3. 1 Pengertian Identitas Etnis
Universitas Sumatera Utara
Siapa aku? Pertanyaan ini mungkin mudah bagi seseorang dan bisa jadi sulit bagi orang lain. Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunikasi.untuk itu penting memberikan apresiasai pada apa yang membawa identitas. Dan untuk memberikan pemhaman mengenai hal tersebut, maka perlu untuk memperluas kebutuhan untuk mengerti peran dari identitas dalam masyarakat yang beragama budaya ini. Dan kebutuhan akan pemahaman perasaan tentang identitas akan terbukti sendiri. Perkembangan
identitas
dipertimbangkan
sebagai
sebuah
aspek
kritis
bagi
kebaikan/kesehatan psikologis setiap orang. Menurut Phinney dalam Samovar dkk, sebuah prinsip objektif bagi orang dalam masa-masa usia dewasa adalah pembentukan sebuah identitas dan siapa yang gagal memperoleh sebuah identitas yang tepat akan menghadapai kebingungan identitas, kekurangan kejernihan pemikiran tentang siapa mereka dan apa peran mereka dalam hidup. Pemahaman akan identitas juga sebuah aspek yang penting dalam studi dan praktik komunikasi antarbudaya. Perhatian dari studi komunikasi antarbudaya adalah bagaimana identitas mempengaruhi dan menuntun ekspektasi tentang apa peran sosial diri dan orang lain maupun menyediakan tuntunan bagi interaksi komunikasi dengan oang lain (Samovar dkk, 2007: 109-110). Secara sederhana identitas dipahami sebagai konsep pribadi mengenai diri di dalam sebuah konteks sosial, geografik, budaya dan politik. Menurut Mathews, identitas adalah bagaimana diri menyusun dirinya sendiri dan label untuknya sendiri (Samovar dkk, 2007: 111). Tipologi identitas dalam Communication between Cultures, terbagi atas: identitas ras, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas regional, identitas organisasi, identitas pribadi, dan identitas maya dan fantasi (Samovar dkk, 2007: 113-
Universitas Sumatera Utara
118). Sedangkan dalam Intercultural Communicatin In contexts, identitas budaya dan sosial dibagi atas: identitas gender, identitas usia, identitas ras, identitas etnis, identitas agama, identitas kelas, identitas nasional, identitas regional, dan identitas pribadi ( Martin & Thomas, 2007:171-188). E. Barth dan Zastrow dalam Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, menyebutkan etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya. Sedangkan kelompok etnis merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Pengertian ras dan etnis sendiri dapat dipilah dan harus dipahami bahwa etnis merupakan suatu kelompok yang terbentuk atas dasar kesamaan karakteristik yang sifatnya lebih ‘’kebudayaan’’ daripada ras yang mengacu pada ciri-ciri ragawi (Liliweri, 2001:335-336). Identitas etnis sering dikaji sosiolog, antropolog, psikolog, dan sejarahwan. Para ahli meneliti asal-usul, substansi, konsekuensi dan proses etnisitas yang sedang berubah dalam berbagai komunitas. Istilah-istilah lain yang sering menjadi sinonim adalah etnisitas, dan konsep-diri kultural atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya makna yang sama oleh para ahli. Namun kadang-kadang konsep yang sama diartikan secara berbeda oleh para ahli. Makna konsep identitas etnis tidak selalu eksplisit dalam kajian-kajian itu. Sering ia berkelindan dengan dan atau tersirat dalam kajian tentang akulturasi, asimilasi suatu kelompok etnis (Mulyana & Jalaludin, 2005: 151). Identitas etnis sendiri sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting-Toomey dalam Rahardjo, mendefinisikan identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut dalam memiliki (sense of
Universitas Sumatera Utara
belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu (Rahardjo,. 2005: 1-2). Sedangkan identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Hal ini menyangkut beberapa dimensi: Identitas etnis sering melibatkan sebuah perasaan yang dibagi tentang asal dan sejarah, di mana mungkin mata rantai kelompok etnis pada kelompok budaya yang jauh di Asia, Eropa, Amerika Latin atau tempat lain ( Martin & Thomas, 2007:175).. Memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota kelompok ( Martin & Thomas, 2007:175). 1. Identifikasi diri sendiri, 2. Pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai, perilaku) 3. Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok etni tertentu. Bagi penduduk AS, misalnya, etnisistas adalah sebuah konsep yang speseifik dan relevan. Mereka melihat diri mereka di hubungkan pada sebuah daerah di luar AS-sebagai Mexico Amerika, Jepang Amerika dan sebagainya. Atau pada beberpa daerah yang sebelumnya ada di AS, seperti Navajo, Hopi, dan sebagainya. Sedangkan sebagian yang lain menyebutkan etnisitas adalah sebuah konsep yang samar-samar. Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai ‘’Amerika’’ dan menolak dugaan/ gagasan sebagai orang Amerika yang mengidentifikasi mereka tidak hanya sebagai warga AS (campuran), tapi juga sebagai anggota dari kelompok etnis, artinya mereka hanya mengakui diri mereka sebagai orang Amerika tidak sebagai Jerman Amerika dan sebagainya ( Martin & Thomas, 2007:176-177). Beberapa ahli menyatakan identifikasi etnis dan ras sama dan ada yang menyebutkan
keduanya
berbeda.
Beberapa
ahli
menyebutkan
identitas
etnis
dikonstruksikan oleh dirinya sendiri dan lainnya tapi identitas ras dikonstruksikan sematamata oleh dirinya ( Martin & Thomas, 2007:177).
Universitas Sumatera Utara
Karena ‘’perbedaan antara istilah ras dan etnisitas telah tidak cukup dijelaskan dalam literatur’’ maka variasi antara ras dan identitas etnis dapat juga jadi tidak jelas dan membingungkan. Masalah ini lebih jauh dipersulit karena orang-orang sering menggambarkan identitas etnis mereka dalam ‘’cara-cara individual yang tinggi sesuai dengan situasi dan lingkungan tertentu.’’ Dari pandangan Samovar dkk, walaupun identitas ras dikaitkan pada warisan biologis yang menghasilkan karakteristik fisik yang sama dan dapat diidentifikasi. Etnisitas/ identitas etnis diperoleh dari sebuah perasaan yang membagi warisan, sejarah, tradisi, nilai, perilaku yang sama, daerah asal dan dalam beberapa hal membagi bahasa. Kebanyakan orang memperoleh identitas etnis mereka dari sebuah kelompok regional, misalnya Kurdi, sebuah kelompok etnis yang besar di Timur Laut Irak dengan komunitas di Turki, Iran, Syria. Pada contoh di atas, perasaan mereka pada etnisitas melebihi batas Negara dan didasari pada praktek dan kepercayaan budaya umum. (Samovar dkk, 2007: 113-114). Selama beberapa tahun belakang ini di AS, imigran biasanya sering membuat kelompok sesuai dengan daerah tertentu, untuk membentuk komunitas etnis. Biasanya sense orang-oarng tersebut pada kelompok etnisnya tetap kuat seperti praktik budaya tradisional dan kepercayaan yang masih diikuti dan kekal (dijalankan terus menerus). Tetapi seiring waktu, anggota dari generasi muda mengalami keragaman etnis yang lebih besar dan sering menikah dengan anggota dari kelompok etnis lain. Hal ini, menimbulkan kecenderungan untuk menipiskan perasaan mereka pada identitas etnis dan hari ini, hal tersebut menjadi biasa ketika mendengar orang Amerika menjelaskan etnisitas mereka dengan sejumlah historis yang panjang mengenai etnik keluarga yang telah bergabung dari etnis lain. Yang lain bahkan sering secara sederhana mengakui diri mereka hanya sebagai orang Amerika atau ‘’Amerika kulit putih’’. Sering kali, mereka adalah anggota dari kelompok budaya dominan Amerika, yang semula meninggalkan tradisi religius
Universitas Sumatera Utara
Kristen-Judeo yang berasal dari Eropa Barat, yang garis silsilah secara historis diberi ciri oleh pencampuran yang luas melalui pernikahan antar etnis selama bertahun-tahun.Martin dan Nakayama menulis banyak praktik budaya yang diasosiasikan dengan ‘’warna kulit putih’’ melebihi kesadaran partisipan, tapi tidak dapat dilihat oleh anggota kelompok budaya minoritas. Oleh karena itu, ‘’putih’’ sering diasosiasikan dengan posisi keistimewaan (Samovar dkk, 2007: 114).
II. 3. 2 Pendekatan Subjektif terhadap Identitas Etnis Ada dua pendekatan terhadap identitas etnis yaitu pendekatan objektif (struktural) dan pendektan subjektif (fenomenologis). Jika pendekatan objektif melihat sebuah kelompok etnis sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan. Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan etnisitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnis dan diidentifikasi demikian oleh orang lain dan memusatkan perhatiaanya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnis yang diteliti (Mulyana & Jalaludin, 2005: 152). Jadi penelitian ini menggunakan pendektan kedua yaitu pendekatan subjektif yang sejalan dengan perspektif interpretif. Pendekatan kedua menganggap etnisitas bersifat dinamik. Pendekatan subjektif (fenomenologis) terhadap identitas etnis dapat dilacak hingga ke definisi Cooley dan Mead tentang diri. Pendekatan ini mengkritik pendekatan positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia yang dapat dipelajari. Berbeda dengan pendekatan positivistik, yang memandang individu-individu sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka,
Universitas Sumatera Utara
pendekatan fenomenologis memandang manusia jauh dari pasif (Mulyana & Jalaludin, 2005: 155). Secara tradisional, etnisitas dipandang sebagai seperangkat ciri sosio-kultural yang membedakan kelompok-kelompok etnik antara yang satu dengan lainnya. Barth yang dikutip dari Komunikasi Antarbudaya menyebutkan bahwa ciri-ciri penting suatu kelompok etnis adalah askripsi yang diberikan kelompok dalam dan kelompok luar, memandang kelompok etnis sebagai suatu jenis organisasi sosial tempat para aktor menggunakan identitas-identitas etnis untuk mengkategorisasikan diri mereka dan orangorang lain untuk tujuan interaksi (Mulyana & Jalaludin, 2005: 156). Perspektif Barth akhirnya mengilhami banyak ahli untuk meneliti apa yang disebut Paden dan Cohen etnisitas situasional, yaitu bagaimana identitas etnis digunakan individu-individu dalam interaksi mereka dengan orang lain. Kajian-kajian ini menganggap identitas etnis sebagai dinamik, cair dan situasional (Mulyana & Jalaludin, 2005: 156). Pendekatan subjektif ini sejalan dengan perspektif interpretif dalam menilai identitas. Perspektif interpretif menekankan bahwa identitas bisa dirundingkan, bisa dibentuk kembali, diperkuat dan dijalani melalui komunikasi dengan yang lain: identitas (identitas etnis) muncul ketika pesan saling dipertukaran di antara orang-orang. Ini artinya bahwa menunjukkan identitas kita bukanlah sebuah proses yang sederhana. Tentu tidak setiap orang melihat kita sebagaimana kita melihat diri kita sendiri. Konsep avowal (pengakuan) dan askripsi penting untuk membantu kita memahami bagaimana kesan dapat menimbulkan konflik (Martin & Thomas, 2007: 158) Pengakuan sendiri dipahami sebagai proses di mana individu memerankan diri mereka sendiri sedangkan askripsi adalah proses di mana orang lain mengatribusikan identitas tertentu pada mereka. Identitas yang berbeda digunakan tergantung individu
Universitas Sumatera Utara
yang terlibat dalam komunikasi. Artinya bisa saja saat kita berinteraksi dengan lawan jenis, maka identitas yang muncul adalah identitas gender dan saat kita bertemu dan berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis, identitas yang muncul adalah identitas etnis. Intinya, perspektif interpretif beranggapan bahwa identitas dan khususnya identitas etnis diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols , label, dan norma. Core Symbols (nilai budaya) memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan konsep sentral yang memberi definisi identitas tertentu, yang dibagikan di antara anggota kelompok budaya. II.3 Interaksionisme Simbolik II.3.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik: James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, Wiliam I.Thomas dan George Herbet Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling popular sebagai peletak dasar teori tersebut. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi professor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni: Mind, Selg and Society (1934) yang terbit tak lama setelah Mead meninggal dunia. Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahasiswanya, terutama Herbert Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah ‘’interaksi simbolik’’ pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di kalangan komunitas akademik (Mulyana, 2001: 68). Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer
Universitas Sumatera Utara
mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, terutama pada tahun 1950-an dan 1960-an, diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, Wiliam I.Thomas dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001: 68). Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa George Herbert Mead, William I. Thomas, dan Charles H. Cooley, selain Mahzab Eropa yang dipengaruhi Max Weber, adalah representasi Perspektif fenomenologis ini. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi (Mulyana, 2001: 59). Selama dekade-dekade awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolaholah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fungsionalisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dan tahun 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun 1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik seperti Howard S.Becker dan Erving Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dan menawarkan pandangan alternative yang sangat memikat mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat (Mulyana, 2001: 59). Menurut Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relatif homogen, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar historis dan
Universitas Sumatera Utara
intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme simbolik tersebut adalah Mahzab Chicago, Mahzab Iowa, Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mahzab Chicago dan Mahzab Dramaturgis tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji. Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi mereka (Mulyana, 2001: 59-60). Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi dari Harold Garfinkel yang juga berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang berpengaruh di Eropa, sebenarnya berada di bawah payung teori tindakan sosial yang dikemukakan filosof dan sekaligus sosiolog Jerman, Max Weber (Mulyana, 2001: 59-60). Sebagaimana diakui Paul Rock, interaksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa abad-19, meskipun interaksionisme simbolik tidak punya hak waris atasnya atau dianggap sebagai tradisi ilmiah tersendiri. Dengan kata lain, George Herbet Mead tidaklah secara harfiah mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead diilhami oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan dalam pemikiram kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia. Pemikiran Mead sendiri diilhami beberapa pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. Ada kemiripan antara pandangan Mead dengan pandangan Schutz. Sejumlah interaksionis memang menekankan dimensi fenomenologis dengan mensintesiskan karya mereka dengan gagasan Alfred Schutz dan para pengikutnya (Mulyana, 2001: 59-60). Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan di sini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut.menurut
Universitas Sumatera Utara
Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makan subjektifnya yang diberikan individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya. Sedangkan interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksi lah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap-muka dengan orang lain. kategori pengetahuan kedua adalah berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut oleh semua anggota budaya (Mulyana, 2001: 61-62). Interaksionisme
simbolik
Mahzab
Iowa
menggunakan
metode
saintifik
(positivistik) dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukum-hukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat diuji secara empiris, sementara Mahzab Chicago menggunakan pendekatan humanistik. Dan Mahzab yang popular digunakan adalah Mahzab Chicago (Mulyana, 2001: 69). Bersama anggota-anggota Mahzab Chicago, Blumer mengkonseptualisa-sikan manusia sebagai menciptakan atau membentuk kembali lingkungannya, sebagai
Universitas Sumatera Utara
‘’merancang dunia objek-nya, dalam aliran tindakannya - alih-alih sekadar merespons pengharapan kelompok.’’ (Mulyana, 2001: 70). Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase ‘’definisi situasi’’, ‘’realitas terletak pada mata yang melihat,’’ dan ‘’bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya’’sering dihubungkan dengan interksionisme simbolik. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegaskan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 70).
II.3.2 Teori interaksi sosial II.3.2.1 Pengertian Interaksai sosial
Universitas Sumatera Utara
Interaksi sosial merupakan kontak-kontak sosial dan komunikasi yang dinamis antarmahasiswa dengan mahasiswa lain dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tertentu bedasarkan kerja sama /Pratiko,1989:45/ berlangsungnya suatu proses interaksi didasari pada faktor-faktor lain : faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor –faktor tersebut dapat bergerak sendiri maupun bersama. faktor imitasi adalah tindakan meniru prilaku orang lain, sedangkan sugesti berlangsung bila seseorang memberi suatu pandfangan yang bersal dari diri kemudian diterima oleh fihak lain, diterimanya sikap dan panddangan ini disebut simpati, sementara itu, identifikasi merupakan keinginankeinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Faktor-faktor yang disebutkan di atas dapat mendorong seseorang untuk mengikuti dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nnilaa yang berlaku pada pihak lain, sehingga akan mendorong terjadinya kontak sosial dan komunikasi. Apabila nilai nilai kekeluargaan tertanam pada kelompok kelompok etnik, maka akan menyulitkan terjadinya imitasi, sugesti, indentifikasi dan simpati terhadap nilai nilai di luar dari kelompok etnik yang lain. Hal ini, juga menyebabkan tidak ada komunikasi yang baik diantara mereka yang pada akhirnya tidak terjadi proses interaksi yang harmonis secara intensif. Apabila interaksi diantara mahasiswa dapat berjalan dengan baik tentu akan memudahkan mereka untuk mengenal lebih jauh siapa dan yang mana anggota di luar kelompoknya.
II.3.2.2 Prasangka Sosial Allport /1958/ menyatakan bahwa pengertian prasangka telah mengalami transformasi dari dahulu hingga sekarang. Pada mulanya prasangka merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tak diuji terlebih
Universitas Sumatera Utara
dahulu. Pernyataan itu bergerak pada suatu skala suka dengan tidak suka, mendukung dengan tidak mendukung terhadapa sifat sifat tertentu. Namun, pengertian prasangka kini lebih diarahkan padan pandangan yang emosional dan bersifat negatif terhadap seseorang atau kelompok orang tertentu. Effendy /1981/ mengemukankan pengertian prasangka dalam hubungannya dengan komunikasi bahwa prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena itu, orang orang yang mempunyai prasangka belum apa apa sudah bersikap curuga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasngka emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka tanpa mengemukan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Menurut jones 1971 prasangka adalah sikap antisipasi yang didasarkan pada suatu cara mengeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalaha itu mungkin saja terungkap dengan nyata dan langsung ditujukan kepda seseorang yang menjadi anggota suatu kelompok tertantu. Prasangka merupakan sikap yang negaatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri. Pernyataan tersebut sebenarnya tetap berakar pada perspektif etnosentrisme. Sehingga prasangka sosial diduga kuat sekali pengaruhnya terhadap komunikasi antar etnik. Secara umum dapat disimpulkan bahwa prasangka merupakan suatu sikap yang sangat negatif yang diarahkan kepada kelompok tertentu dan lebih dipokuskan pada suatu ciri ciri negatif ataupun lebih pada kelompok tersebut. Sikap demikian bisa dikatan sebagai sikap yang mengahabat efektivita komunikasi diantara komunikator dan komunikan yang berbeda etniknya. Dalam kajian teoritis ini /Lili weri, 1994/ berpendapat ada tiga faktor penentu prasangka yang diduga mempengaruhi komunikasi yaitu: stereotip, jarak sosial, dan diskriminasi.
Universitas Sumatera Utara
1. Stereotip Menurut Verdeber /1986/ dalam Lili weri /2001/, yang dimaksud dengan stereotip adalah sikap dan karakter yang dimiliki seseorang untuk menilai oarang lain semata mata berdasarkan pengelompokan kelas atau pengelompokan yang dibuatnya sendiri. Stereotip cendrung mengarah pada sikap yang negatif terhadap orang lain, menurut Gerungan /1988/, stereotip merupakan suatu gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat sifat dasn watak pribadi orang, golongan lain yang umumnya bercorak negatif. Selanjutnya kata Gerungan, stereotip mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang orang lain yang dikenakan prasangka itu. Stereotip juga dapat dikemukan dalam lingkup nasional, di negara kita misalnya terdapat stereotip stereotip antar suku. Tidak jarang kita mendengar bahwa orang Sunda suka basa basi, lelakinya tukang kawin , wanitanya pesolek, orang Padang pelit, orang Jawa penganut aliran kepercayaan, orang Batak kasar dan sebagainya /Mulyana 1998:236/ Dari uraian di atas, dapat disimpulkan jika komunikasi diantara mereka yang berbeda etnik didahului oleh stereotip yang negatif antar etnik akan mempengaruhi efektivitas komunikasi. Bahkan pada gilirannya akan mengahambat intekgrasi manusia yang sudah pasti akan dilakukan lewat komunikasi, baik komunikasi verbal maupun komunikasi bermedia. Dengan demikian, kebeeradaan stereotip stereotip antar etnik di negara kita pun dapat pula mnghambat intekgrasi suku suku bangsa tersebut. 2. Jarak Sosial Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi efektivitas komunikasi antar etnik adalah jarak sosial. Menurut Deaux /1984/, jarak sosial merupakan aspek lain dari prasangka sosial yang menunjukan tingkat peneriamaan seseorang terhadap orang lain
Universitas Sumatera Utara
dalam hubungan yang terjadi diantara mereka. Doobs /1985/ mengemukan jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan tertentu. Liliweri /2001/ berasumsi bahwa semangkin dekat jarak sosial seseorang komunikator dari suatu etnik dengan seseorang kemungkinan dari etnik lain, maka semakin efektif pula komunikasi diantara mereka. Sebaiknya jika semakin jauh jarak sosial maka semakin kurang efektif komunikasi. 3. Diskriminasi Dalam hal ini, Doob /1985:235/ mengemukakan bahwa diskriminasi suatu prilaku yang ditujukan untuk mencegah suatu kelompok atau membatasi kelompok lain berusaha memiliki atau mendapatkan sumber
daya dalam Lubis, 1999:22. diskriminasi dapat
dilakukan melalui : kebijaksanaan untuk mengurangi pemusnahan, penaklukan, pemindahan, asimilasi terhadap kelompok lain. Ini berati bahwa diskriminasi sebagai kecendrungan prilaku nyata yang dapat diarahkan dalam bentuk negatif atau positif.
II.3.2.3 Efektivitas Komunikasi Secara sederhana, komunikasi dinilai efektif bila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudnya. Sebenarnya ini adalah salah satu ukuran bagi efektivitas komunikasi. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila ransangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber berkait erat dengan ransangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Bila S adalah pengirim atau sumber pesan dan R penerima pesan, maka komunikasi disebut mulus lengkap bila respon yang diingikan S dan respon yang diberikan R identik /Goyer, 1970:10/ R sama dengan makna yang ditangkap penerima sama dengan 1 S makna yang dimaksud pengirim
Universitas Sumatera Utara
Nilai 1 – yang menunjukkan kesempurnaan penyampaian dan penerima peasan jarang diperoleh . kenyataannya, nilai ini tidak pernah dicapai, paling paling hanya dapat dihampiri saja. Semakin besar kaitan antara yang kita maksud dengan respon yang kita terima, semakin efektif pula komunikasi yang kita lakukan. Bisa saja R/S bernilai 0, yang berarti tidak ada kaitan sama sekali antara respon yang kita inginkan dengan respon yang kita peroleh. Lambaian tangan orang yang tengelam, yang dimaksud untuk minta tolong, sama sekali tidak meng hasilkan respon yang kita inginkan bila balasan yang diperoleh dari temannya yang sedang di atas perahu layar, hanya sekedar lambaian tangan balasan. Contoh orang yang tengelam di atas merupakan contoh ekstrem. Kini mungkin anda bertanya tanya, apa saja manfaat komunikasi yang efektif dalam kehidupan sehari hari. pengamatan jangka panjang atas jumlah lulusan MIT / Massachussetts instituts of teknologi/, yang diwawancarai berkali kali selama lebih 15 tahun, membuktikasn bahwa komunikasi efektif merupakan salah satu ke ahlian terpenting, bahkan bila jadi merupakan hal yang paling penting, untuk mencapai keberhasilan dan kebahagian hidup. Hal ini berlaku pula bagi orang orang yang amat pandai, yang mempunyai kemampuan teknik amat baik, atau bagi lulusan sekolah yang bergensi. Berdasarkan hasil risetnya, komunikasi efektif ini menekankan bahwa, kemampuan meningkatnya manfaatnya komunikasi antar pesona merupakan salah satu keahlian istimewa ”tidak hanya bagi pengembangan pribadi dan keluarga, namun juga bagi peningkatan karier /Schein, 1978:77/ Dalam berkomunikasi mungkin kita menginginkan sebuah hasil atau lebih dari beberapa kemungkinan hasil yang diperoleh. Untuk itu kita dapat mengukur kefektifan berkomunikasi dengan lima hal yang sangat menentukan, yaitu pemahaman, kesenangan, pengaruh sikap, memperbaiki hubungan dan tindakan.
Universitas Sumatera Utara
1. Pemahaman Pemahaman adalah penerimaan yang cermat atas kandungan ransangan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Dalam hal ini, komunikator dikatakan efektif bila penerima memperoleh pemahaman yang cermat atas pesan yang disampaikannya. Kegagalan utama dalam berkomunikasi adalah ketidak berhasilan dalam menyampaikan isi pesan secara cermat. Sebagai contoh, seorang maneger pelayanan sebuah perusahaan minyak menerima telepon suatu pagi pada musim dingin dari seorang wanita yang melaporkan bahwa pemanas minyaknya rusak. Dan maneger itu bertanya ”berapa tinggi kedudukan termostat? ” sebentar, jawab wanita itu setelah beberapa menit ia kembali ketelepon, ”lima kaki setengah inci” katanya ”sama seperti biasa. Kesimpang siuran seperti ini merupakan kegagalan khas untuk mewmperoleh pemahaman. Jenis kesalaha pahaman sperti ini biasanya mudah diperbaiki melalui penjernihan umpan balik yang diterima, serta mengulangi isi pesan semula. Semakin banyak jumlah orang yang terlibat dalam konteks komunikasi, semakin sulit pula untuk menentukan seberapa cermat pesan diterima. Ini merupakan salah satu sebab mengapa diskusi kelompok sering kali berubah menjadi ”arena bebas”. Komentar demi komentar menjadi nyaris saling lepas, tanpa kaitan antara satu dengan yang lainnya. Bahkan kelompok yang sudah punya pegangan agendapun bisa saja mengalami kegagalan dalam mewujudkan resolusi yang diperlukan bagi pemecahan masalah mereka. Situasi semacam ini memerlukan lebih banyak lagi penjelasan, penyimpulan dan pengarahan pendapat kelompok. 2. Kesenangan Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan maksud tertentu. Sebebnarnya, tujuan dari aliran analisis transaksional adalah sekedar berkomunikasi
Universitas Sumatera Utara
dengan orang lain untuk menimbulkan kesejahteraan bersama. Komunikasi semacam ini biasa disebut komunikasi fatik, atau mempertahankan hubungan sosial. 3. Mempengaruhi sikap Andaikan lima orang politisi berunding untuk menentukan jalan terbaik bagi penurunan biaya dalam konrak militer, dan mereka menenmukan jalan buntu karena perbedaan yang tajam diantara mereka. Situasi semacam ini sering disalah
artikan
sebagai: ”kegagalan komunikasi”. Bila pihak yang berdebat bisa lebih saling memahami, dapat diperkirakan perbedaan diantara mereka dapat dikurangi melalui perundingan mungkin dapat dicapai persetujuan. Tindakan mempengaruhi orang lain merupakan bagian dari kehidupan sehari hari. Dalam berbagai situasi kita berusaha mempengaruhi sikap orang lain, dan berusaha agar orang lain memahami ucapa kita. Proses menggugah dan merumuskan kembali sikap atau pengaruh sikap berlangsung terus menerus. 4. Memperbaiki hubungan sudah menjadi keyakinan umum bahwa bila seseorang dapat memilih kata yang tepat, mempersiapkan jauh sebelumnya, dan mengemukakannya dengan tepat pula, maka hasil komunikasi yang sempurna dapat dipastikan. Namun, keefektifan komunikasi secara keseluruhan masih memerlukan suasana psikologis yang positif dan penuh kepercayaan. Bila hubungan manusia dibayang bayangi oleh ketidak percayaan, maka pesan yang disampaikan oleh komunikatornya yang paling kompetenpun bisa saja berubah makna. Jenis pemahaman lainnya yang berpengaruh besar dalam hubungan sosial adalah memehami motivasi orang lain. Kadang kadang komunikasi dilakukan bukan untuk menyampaikan informasi atau untuk mengubah sikap seseorang, tapi hanya untuk ”dipahami” dalam pengertian yang kedua ini. 5. Tindakan
Universitas Sumatera Utara
Banyak orang berpendapat bahwa komunikasi apapun tidak ada gunanya bila tidak memeberi hasil yang sesuai dengan yang diinginkan. Sampai saat ini, hasil hasil yang telah dibahas antara lain: pemahaman, kesenangan, mempengaruhi sikap dan memperbaiki hubungan penting dalam kesempatan dan tempat tertentu. Komunikasi seperti ini dapat kita jumpai pada obrolan seorang selesmen pada saat promosi barang dagangannya. Disini tujuan utama dari obrolan ini adalah agar barang dagangannya laku terjual bukan untuk merubah sikap.
Universitas Sumatera Utara