BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Indonesia terdiri dari 17.508 pulau dengan ±740 suku bangsa dan 583 bahasa (Syafik, 2013). Keanekaragaman budaya, adat istiadat, suku dan bahasa merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan dan dikembangkan turun temurun. Menurut Pelly (1994), di Indonesia terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat dan cara-cara atau tradisi namun setiap warga negara Indonesia berbicara dalam satu bahasa nasional. Data BPS terakhir menunjukkan bahwa jumlah suku bangsa di Indonesia yang berhasil didata adalah sebanyak 1.128 suku (Hanifah, 2013). Salah satu tradisi turun temurun peninggalan adat masyarakat nusantara adalah tradisi sunat. Semua masyarakat di Indonesia sejak dahulu kala telah mengenal supit atau sunat sebagai upacara inisiasi kedewasaan (Subagya, 1981). Jadi dapat disimpulkan bahwa sunat adalah tradisi asli Indonesia. Sunat bermanfaat untuk menjaga kebersihan organ penis. Setelah sunat maka menjadi lebih mudah untuk membersihkan kotoran putih (spegma) yang sering berada di leher penis. Laki-laki yang disunat jarang tertular infeksi melalui hubungan seksual dibandingkan dengan yang tidak sunat. Menurut penelitian Drain, Halperi, Hughes, Klausner dan Bailey (2006), menunjukkan bahwa sunat laki-laki dapat mengurangi resiko penularan HIV dan mengurangi resiko kanker serviks pada perempuan, khususnya di negara-negara yang penularan HIV melalui
1
2
hubungan heteroseksual (tidak berlaku di negara-negara yang penularan HIV melalui penggunaan narkoba atau homoseksual). Penelitian Tobian, Serwwada, Quinn, Kigozi dan Gravitt (2009) juga mengungkap bahwa sunat laki-laki terbukti menurunkan tingkat HIV, HSV-2, dan infeksi HPV pada laki-laki serta vaginosis bakteri pada partner perempuan mereka. Jadi sunat laki-laki mengurangi risiko beberapa penyakit infeksi menular seksual pada kedua jenis kelamin, dan bermanfaat memandu kebijakan kesehatan masyarakat melalui program sunat untuk neonatal, remaja, dan laki-laki dewasa. Tradisi sunat dalam kebudayaan Jawa sudah dipraktekkan sebelum pengaruh Islam masuk ke Indonesia (Putranti, Faturochman, Darwin & Purwatiningsih, 2003). Ritual sunat ini mengandung makna mistis untuk memurnikan diri dan menghilangkan “sukerto” yaitu berupa hambatan, kotoran, atau kesialan manusia yang dibawa sejak lahir. Menurut Geertz (1960), ritual sunatan atau khitanan hanya dilakukan bagi laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan dilakukan upacara kepanggihan atau perkawinan. Ritual sunatan atau khitanan tidak hanya bermakna menjelang dewasa, tetapi merupakan ritual Islami. Ritual sunatan juga merupakan ritual selamatan (dalam bahasa Jawa slamet yang berarti selamat) dengan doa dan kegiatan makan bersama. Masyarakat Jawa menganggap masa pubertas sebagai masa kritis dalam kehidupan manusia maka penyelenggaraan slametan dipercaya mampu mendatangkan ketenangan dan keselamatan. Sunat sebagai salah satu ritual dan tradisi Islam Jawa merupakan bentuk asimilasi antara budaya Jawa (tsaqafat al-jawawiyyah) dengan budaya Islam
3
(tsaqafat al-islamiyyah). Hal ini termasuk ranah agama namun perlu disadari bahwa aspek yang dominan adalah budaya suatu kelompok masyarakat. Jadi ritual dan tradisi sunat Islam Jawa tidak dipandang sebagai ritual keagamaan atau ajaran inti agama melainkan sebagai budaya keagamaan (Sholikhin, 2010). Masyarakat Indonesia memandang peristiwa sunat atau khitan sebagai suatu yang istimewa, bahkan pada sebagian masyarakat istilah khitan sepadan dengan istilah “meng-Islamkan” saat anak mulai beranjak dewasa. Sholikhin (2010) menguraikan fungsi dan manfaat khitan yaitu menjaga kesehatan dan kebersihan kelamin laki-laki, sebagai pembeda atau tanda yang membedakan antara pengikut ajaran Islam dengan pengikut agama lainnya, dan merupakan suatu ketetapan mutlak yang harus dilaksanakan oleh pengikut agama Islam. Berbeda dengan tradisi sunat Islam Jawa, tradisi sunat tradisional di Nusa Tenggara Timur khususnya suku Atoin Meto, berkaitan dengan ajaran Kristen. Tradisi ini merupakan penerapan ajaran agama Kristen yang sesuai dengan kitab Perjanjian Lama khususnya Kitab Kejadian 17, menyatakan bahwa sunat merupakan perintah Allah/Yahweh kepada semua laki-laki Israel sebagai tanda persekutuan dan harus dilaksanakan pada hari ke-8 sesudah kelahiran. Sunat ini masih wajib dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Islam (Lake, 1999). Pandangan Rasul Paulus, mendapat persetujuan yaitu mengenai orang Kristen bukan keturunan Yahudi, diberi kebebasan untuk tidak menjalankan penyunatan (Kisah Para Rasul 15:1-21). Oleh karena itu, fungsi sunat diganti permandian atau baptisan yang memberikan tanda tidak terhapuskan sebagai umat Allah yang baru (umat Kristen).
4
Tidak adanya kewajiban melakukan sunat bagi orang (umat Kristen) yang bukan keturunan Yahudi, memberi ruang atau kebebasan kepada umat Kristen untuk tetap menjalankan sunat atau tidak, dan tidak ada batasan usia untuk melaksanakan sunat. Jadi pelaksanaan sunat bukan merupakan ajaran inti agama Kristen yang wajib dilakukan. Menurut TL, sunat di desa Kualeu sudah dilakukan sejak dulu dan sesuai ajaran Kristen. Alkitab, khususnya Taurat Musa menjadi dasar dilaksanakannya sunat. Sunat wajib dilakukan oleh laki-laki dewasa. Sunat diibaratkan sebagai baptisan ulang. Maksud dari baptisan ulang adalah pada saat kecil anak telah dibaptis sebagai tanda pembersihan diri dan menjadi umat Kristen, setelah menjadi dewasa harus disunat lagi sebagai tanda pembersihan diri atas dosa atau kesalahan yang pernah dilakukan dari masa kanak-kanak sampai dewasa (TL, tua adat desa Kualeu, hasil wawancara awal tanggal 27 September 2012). Desa Kualeu di kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu desa yang didiami oleh suku Atoin Meto. Tradisi sunat di desa Kualeu, hanya dilakukan oleh laki-laki yang sudah menikah. Menurut hasil wawancara awal dengan TD, proses sunat tradisional dilakukan TD setelah menikah dan memiliki 2 anak. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan diri dengan “membuang panas” (polen maputu) dan memulihkan diri sehingga menjadi lakilaki yang lebih kuat. Selama ±2 minggu menjalani ritual sunat tradisional, sifon dan pemulihan, TD tidak tinggal di rumah. Istri TD tidak keberatan TD melaksanakan ritual sunat tradisional tersebut karena merupakan tradisi adat
5
setempat dan tujuannya membersihkan diri (TD, suku Atoin Meto, penduduk asli desa Kualeu, 55 tahun, hasil wawancara awal tanggal 26 & 28 September 2012). Sunat tradisional pada suku Atoin Meto tidak berbeda dengan sunat tradisional laki-laki pada umumnya yaitu proses pemotongan kulit kulub. Tradisi yang unik dan membedakan sunat laki-laki dari suku Atoin Meto dengan tradisi daerah lain yaitu adanya ritual hubungan seks. Ritual hubungan seks dilakukan dengan perempuan atau wanita beberapa hari setelah proses penyunatan. Hubungan seks dilakukan melalui tiga bentuk sehingga dapat dikatakan bahwa laki-laki yang disunat (pasien sunat) benar-benar telah berhasil disunat. Atau dengan kata lain laki-laki yang sudah disunat tradisional suku Atoin Meto yaitu laki-laki yang sudah melakukan semua ritual sunat secara utuh, termasuk melakukan tiga bentuk hubungan seks. Tiga bentuk hubungan seks yaitu, pertama adalah sifon atau sufun bertujuan untuk “buang panas” (polen maputu) atau “kasi dingin” (hanikit); kedua adalah saeb aof atau oe’kane atau hau hena yang bertujuan untuk menaikkan badan atau mengembalikan darah yang terbuang pada saat sunat sehingga badan kembali sehat; dan ketiga adalah haekit atau taknino bertujuan untuk membuat penis licin, mulus dan bersih. Dari ketiga bentuk hubungan seks pasca sunat tradisional suku Atoin Meto, yang wajib dilakukan adalah sifon (Lake, 1999). Menurut Fernandez (1990), sifon adalah proses sunat tradisional pada lakilaki dewasa (biasanya laki-laki yang sudah memiliki istri dan anak) dan melakukan hubungan seks dengan perempuan ±2-4 hari, setelah proses sunat berlangsung.
6
Sunat tradisional laki-laki suku Atoin Meto dilakukan pada usia ±18 tahun atau laki-laki yang sudah menikah dan memiliki anak. Laki-laki yang sudah melakukan sunat, wajib melakukan hubungan seks dalam rangka sifon. Laki-laki yang melakukan sunat dan sifon tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah. Hal ini disebabkan kepercayaan bahwa dapat membawa panas atau kotor ke dalam rumah. Selama melakukan sunat dan sifon ±14 hari, laki-laki yang melakukan sunat tinggal di tempat lain (bukan rumahnya) sampai selesai melakukan sifon atau “buang panas.” Pelaksanaan tradisi sunat suku Atoin Meto dilakukan pada waktu tertentu dan tidak dilakukan pada sembarang waktu. Musim hujan merupakan saat yang dianggap paling baik. Salah satu alasan penting dilakukan pada musim hujan adalah pada musim hujan terdapat banyak air di sungai sehingga mempermudah menemukan kolam tersembunyi sebagai tempat melakukan proses sunat dan air yang mengalir, untuk berendam dalam proses sunat tersebut. Periode ini berlangsung dari bulan Februari–Maret, dengan demikian ritual sunat biasa dilaksanakan 1 kali dalam 1 tahun. Menurut Lake (1999), penyunatan di luar musim sunat dapat dilakukan dengan alasan nilai praktis dan waktu luang dari laki-laki yang akan disunat (calon pasien sunat). Pelaksanaan sunat di luar musim sunat, mengindikasikan pergeseran perlahan-lahan dari nilai-nilai tradisional atau yang berkaitan dengan mitos-mitos (nilai mistis) mengenai musim sunat. Setelah ±2–4 hari disunat, pasien sunat melakukan kewajiban ritual pasca sunat yaitu sifon atau hubungan seks wajib, pada saat luka sunat belum benar-
7
benar sembuh dengan perempuan atau wanita yang bukan pasangan tetapnya. Perempuan yang melayani pasien sunat melakukan hubungan seks wajib dalam rangka sifon adalah wanita sifon (Lake, 1999). Perempuan yang menjadi wanita sifon harus yang pernah melahirkan anak atau dikenal sebagai perempuan yang sudah terbiasa berhubungan seks seperti janda atau pelacur. Hal ini dianggap penting karena perempuan dengan kriteria demikian bervagina lebar sehingga tidak menyulitkan laki - laki saat melakukan penetrasi penis. Sifon dengan tujuan polen maputu (buang panas) wajib dilakukan pasca sunat tradisional suku Atoin Meto. Jika tidak dilakukan maka panas tersebut tertahan dalam tubuh dan dapat mengakibatkan bala yaitu impoten bagi laki-laki yang disunat (Lake, 1999) Ritual hubungan seks pasca sunat tradisional suku Atoin Meto (sifon) yang menggunakan perempuan atau wanita dalam rangka “buang panas” dan membantu penyembuhan luka sunat, merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Peneliti tertarik untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai perempuan atau wanita yang mau menjadi wanita sifon. Peneliti melakukan wawancara awal dengan salah satu informan pelaku (NM) untuk memperoleh gambaran mengenai proses sifon (ritual hubungan seks wajib pasca sunat trasidional suku Atoin Meto). NM mengatakan bahwa proses sifon dilakukan NM pada hari ke-4 pasca sunat. NM diantar oleh NS (kakak NM) untuk melakukan ritual sifon dengan seorang janda yang menjadi wanita sifon, di sebuah rumah di daerah terpencil yang tidak jauh dari kali. NM mengaku berhasil melakukan sifon setelah empat kali mencoba dan berpindah tempat dalam rumah.
8
Menurut NM, tidak mudah karena penis sulit “berdiri.” NS yang menemani NM bahkan menyuruh janda (wanita sifon) untuk memegang penis NM dan melakukan “pemanasan” (foreplay) supaya dapat “berdiri“. Penis kemudian dimasukkan ke dalam vagina wanita sifon dengan hati-hati agar tomat (luka kepala penis yang membengkak seperti tomat) tidak pecah di luar vagina. NM juga mengatakan bahwa yang dirasakan selama proses sifon hanya penis yang “berat” dan dalam dua kali “dorong”, tomat pecah di dalam vagina dan berdarah. NM merasa sakit dan perih pada penis saat tomat pecah dan berdarah dalam vagina. Menurut NM, yang penting dalam proses sifon adalah penis basah oleh cairan vagina. Cairan vagina dianggap obat yang lebih cepat untuk menyembuhkan luka sunat. Setelah selesai sifon, NM mandi untuk membersihkan diri di kali yang tidak jauh dari rumah tempat melakukan sifon (NM, pasien sunat suku Atoin Meto, 23 tahun, 2 Oktober 2012). Menurut penelitian Purnawan, Sugeng dan Pudjiasti (2007), responden yaitu laki-laki yang pernah melakukan sifon mengatakan tidak memancarkan air mani pada saat
sifon, sebab yang terbayang saat itu bukan kenikmatan
berhubungan seks namun rasa sakit pada alat kelamin. Sifon disyaratkan tidak sampai terjadi ejakulasi sehingga tidak terjadi proses pembuahan. Dengan demikian tidak ada anak yang dilahirkan akibat sifon. Ejakulasi tidak boleh terjadi pada saat sifon karena laki-laki yang disunat dapat menerima kembali panasnya (Lake, 1999). Menurut Tamonob dan Selan (Lake, 1999), wanita sifon harus seorang wanita yang sudah memiliki pengalaman atau terbiasa melayani laki-laki yang
9
disunat atau pasien sunat dalam rangka sifon. Wanita sifon sebagai mitra seks lakilaki yang disunat, membantu melakukan penetrasi penis sedemikian rupa agar tomat atau kaulili tidak pecah di luar vagina, yang dipercaya dapat menyebabkan kematian. Perempuan yang menjadi wanita sifon yaitu janda atau perempuan yang sudah terbiasa melakukan hubungan seks. Menurut hasil wawancara awal, M masih aktif menjadi wanita sifon mengatakan bahwa hubungan seks dalam rangka sifon lebih sulit daripada 2 hubungan seks lainnya pasca sunat. Saat melakukan hubungan seks dalam rangka sifon, kepala penis yang masih luka bahkan membengkak seperti tomat atau kaulili pasca sunat harus dimasukkan dalam vagina. Tomat atau kaulili tersebut harus pecah dalam vagina. Jadi hubungan seks dilakukan dengan lebih berhat-hati sehingga tomat atau kaulili tidak pecah di luar vagina. Tomat atau kaulili yang pecah di luar vagina dapat menyebabkan kematian pada laki-laki yang disunat (M, 35 tahun, janda suku Atoin Meto yang menjadi wanita sifon). Pada umumnya, perempuan dari suku Atoin Meto tidak mau berhubungan seks dengan laki-laki yang sedang disunat tradisional. Hal ini disebabkan tujuan hubungan seks wajib adalah sifon yaitu membuang panas atau penyakit dan perempuan atau wanita merupakan tempat “buang panas” atau penyakit. Selama proses sifon, laki-laki yang disunat (pasien sunat) tidak boleh berbicara dengan wanita sifon. Bahkan setelah selesai berhubungan seks dalam rangka sifon, lakilaki yang disunat (pasien sunat) melangkahi atau melanggar kepala wanita sifon dan pergi tanpa berbicara sepatah kata. Pasien sunat tidak boleh berhubungan seks
10
lagi atau menjadikan wanita sifon tersebut sebagai istri karena akan menerima kembali panas yang telah dibuang pada saat sifon (Lake, 1999). Berdasarkan penjelasan mengenai proses hubungan seks dalam rangka sifon atau “buang panas”, peneliti tertarik untuk mengetahui alasan perempuan atau wanita dari suku Atoin Meto, bersedia menjadi wanita sifon. Peneliti melakukan wawancara awal dengan AS, salah satu wanita sifon dari suku Atoin. AS mengatakan : “Au meup lasi le nane natuin lais loit nok lais aof, lais loit nifun bo’es ai nifun boteun nim het sos mnes kilos nok puah ma manus. Au sium atoin apoi monet sin oke mais atoin apolin maputu baenat nanesib, Au sium atoin apoi monet na’ko au munif kau” Saya mau layani sifon karena butuh uang dan punya kebutuhan biologis (aof = badan), saya bisa dapat uang Rp.10.000 – Rp 30.000 atau dapat 1kg beras dan siri pinang. Saya layani semua (tiga bentuk hubungan seks pasca sunat tradisional suku Atoin Meto), tidak hanya sifon. Tapi kalau sifon saya dibayar lebih mahal karena “buang panas”. Saya sudah dari muda melayani dan melakukan ini (AS, 51 tahun, janda yang menjadi wanita sifon di desa Kualeu). Menurut AS, menjadi wanita sifon adalah sebagai salah satu cara mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan bagi AS mau menjadi wanita sifon. Selain alasan ekonomi, AS mengatakan bahwa ada kebutuhan biologis (seks) sehingga AS mau menjadi wanita sifon. AS menjadi janda ±14 tahun karena kematian suaminya. Menjadi wanita sifon memiliki dampak bagi perempuan yang menjadi wanita sifon dalam kehidupan bermasyarakat. Di satu sisi menjadi wanita sifon merupakan cara mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, di sisi lain dianggap rendah karena merupakan tempat “buang panas” atau penyakit.
11
Perempuan yang menjadi wanita sifon, berisiko terjangkit penyakit kelamin maupun penyakit menular seksual lainnya. Menurut Lake (1999), tradisi sifon berdampak pada perempuan yang menjadi wanita sifon. Wanita sifon sebagai tempat “buang panas” akan menerima “panas” dan penyakit. “Panas” dan penyakit tersebut dapat berupa penyakit kelamin atau jenis penyakit lain yang menyebabkan wanita sifon semakin hari semakin kurus, demam berkepanjangan dan kulit serta mata berwarna kekuningkuningan. Tradisi sifon juga memberikan dampak yang cukup besar pada penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS. Sifon berdampak besar pada penularan PMS dan HIV/AIDS karena ritual hubungan seks wajib dengan perempuan khususnya janda dilakukan pada saat luka sunat belum sembuh yaitu ±2-4 hari pasca sunat. Kondisi luka sunat yang belum kering dan sembuh saat melakukan hubungan seks, dapat menyebabkan terjadinya infeksi (Lake, 1999). Perempuan lebih dikenai stigma sosial baik–buruk dan menghadapi konsekuensi nyata dari suatu hubungan seksual. Manusia baik laki-laki maupun perempuan secara umum memiliki hasrat seksual. Namun hasrat dan perilaku seksual perempuan banyak dikendalikan oleh norma-norma sosial. Sebagian perempuan bahkan tidak mengenal hasrat seksual karena kuat mengendalikan untuk menjaga nama baik diri atau tabu seksual. Perempuan akan lebih banyak berpikir dan mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk melakukan hubungan seksual (Poerwandari, 2011).
12
Menjadi wanita sifon bagi perempuan suku Atoin Meto adalah salah satu bentuk keputusan yang diambil karena berbagai pertimbangan dan alasan, antara lain faktor ekonomi dan kebutuhan biologis (seks). Seorang Janda yang menjadi wanita sifon berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Peran janda tidak hanya menyediakan kebutuhan domestik keluarga tetapi menjadi pencari nafkah utama untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga. Wanita sifon sebagai perempuan normal juga memiliki hasrat dan kebutuhan seksual. Hasrat dan kebutuhan seks dapat terpenuhi saat masih memiliki suami. Status sebagai janda atau tidak memiliki suami, berarti perempuan tidak memiliki pasangan (laki-laki) yang sah untuk dapat berhubungan seks (dapat memenuhi hasrat dan kebutuhan seks). Salah satu cara untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan kebutuhan seks adalah dengan menjadi wanita sifon yang melayani hubungan seks sifon, meski ada risiko atau konsekuensi yang diterima. Hubungan seks diluar ikatan pernikahan tidak diperbolehkan oleh agama karena dianggap zinah, namun diperbolehkan atas nama budaya dengan alasan membantu menyembuhkan luka sunat atau wanita sifon (cairan vaginanya) merupakan “obat besar.” Hal ini menunjukkan adanya konflik antara agama dan budaya/adat. Agama tidak mendukung/melarang karena hubungan seks dalam rangka sifon merupakan zinah (dosa), sedangkan budaya/adat mendukung karena membantu menyembuhkan luka pasca sunat. Agama melarang/tidak mendukung karena hubungan seks tersebut dilakukan bukan dengan pasangan tetap yang sah (suami atau istri). Hal ini merupakan perbuatan zinah/dosa, sesuai yang tertulis
13
dalam Alkitab “Jangan berzinah’ (Kitab Keluaran 20:14. Sedangkan budaya/adat mendukung karena membantu menyembuhkan luka pascasunat. Berdasarkan hasil wawancara awal, menjadi wanita sifon tetap dilakukan oleh M dan AS sampai saat sekarang. Menjadi wanita sifon biasa dilakukan M pada musim sunat dan saat tertentu jika diperlukan. Sedangkan AS menjadi wanita sifon hanya pada musim sunat. M dan AS berstatus janda (belum menikah lagi) dan menjadi pencari nafkah utama bagi keluarga masing-masing. M dan AS mengatakan hal yang sama bahwa orang yang mengetahui M dan AS sebagai wanita sifon biasanya adalah tukang sunat atau laki-laki yang pernah dilayani saat sifon. Hal ini dianggap menguntungkan M dan AS karena orang lain di sekitar tidak mengetahui bahwa M dan AS adalah wanita sifon sehingga M dan AS diperlakukan layaknya perempuan lain yang ada di desa masing-masing. M dan AS malu jika orang lain mengetahui bahwa M dan AS adalah wanita sifon. M dan AS malu karena dianggap rendah sebagai wanita tempat “buang panas” dan kotor atau penyakit. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa menjadi wanita sifon di satu sisi diperlukan untuk membantu laki-laki yang disunat dalam rangka sifon karena tradisi atau adat suku Atoin Meto, dan merupakan salah satu cara mendapatkan uang, sedangkan di sisi lain dianggap rendah karena merupakan tempat “buang panas” atau penyakit. Secara logika tradisi sifon dianggap melecehkan martabat wanita yaitu wanita sifon dianggap sebagai obyek untuk ”buang panas” atau penyakit; ada hubungan seksual di luar ikatan perkawinan; dan memberi imbalan berupa uang,
14
beras dan siri pinang pada wanita sifon. Tradisi sifon juga dianggap sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang mengatas namakan agama dan budaya (Chuzaifah, 2011). Pemerintah daerah kabupaten Timor Tengah Selatan bahkan mengeluarkan Peraturan Daerah, No 3 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 14 April 2009. Pada bagian penjelasan disebutkan salah satu faktor potensi penyebab penyebaran HIV dan AIDS di kabupaten Timor Tengah Selatan adalah faktor budaya, yaitu adanya praktek sifon pada sunat tradisional. Pasal 14 ayat 3 huruf c disebutkan: SATGAS pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat desa dan kelurahan, mempunyai tugas memprakarsai pembentukan Peraturan Desa tentang larangan sifon. Selanjutnya di pasal 24 ayat 5 disebutkan : setiap orang yang menggunakan jasa sunat tradisional maupun sunat sehat dilarang melakukan sifon. Tanggapan terhadap PERDA tersebut antara lain menyatakan bahwa sifon adalah budaya sehingga merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dalam tatanan sosial. Jadi budaya sifon tidak bisa dilarang karena akan menimbulkan friksi sosial. Yang dapat dilakukan adalah memberikan cara menjalankan sifon yang tidak berisiko tertular PMS dan HIV/AIDS, yaitu memakai kondom (Perda AIDS kabupaten Timor Tengah Selatan, 2012). Institusi keagamaan juga tidak mendukung praktek sunat tradisional khususnya sifon atau hubungan seks wajib pasca sunat dengan wanita yang bukan pasangan tetapnya (diluar ikatan pernikahan). Hubungan seks wajib ini adalah zinah karena bertentangan dengan moral dan ajaran gereja. Namun institusi
15
keagamaan (gereja) belum cukup berhasil untuk mengubah sikap dan perilaku jemaat khususnya suku Atoin Meto dalam hal praktek sifon (Lake, 1999). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa agama tidak mendukung tradisi sifon sedangkan adat mendukung tradisi sifon. Berdasarkan wawancara awal juga menunjukkan tradisi sifon masih terus dilakukan. Masyarakat khususnya suku Atoin Meto masih mempertahankan dan lebih mendahulukan tradisi atau adat daripada agama. Tradisi lain yang menunjukkan hal tersebut adalah tradisi pernikahan. Pernikahan dimulai dengan nikah adat yang dianggap sah melalui terang kampung dan membayar belis kemudian dilanjutkan dengan nikah secara agama atau biasa disebut nikah gereja atau pemberkatan nikah. Pernikahan yang sudah dilakukan di gereja atau pemberkatan nikah dan catatan sipil atau sah secara agama dan diakui pemerintah namun belum melakukan nikah adat maka belum dianggap sah dan tidak diakui secara adat. Upacara pernikahan adat harus dilakukan agar suami istri tersebut mempunyai peran dalam hukum adat (Pakh, 2009). TM sebagai salah satu informan mengungkapkan hal yang sama, yaitu: Disini kita batahu apalai kalo nikah pasti tahu biasa nikah adat, terang kampung baru nikah gereja. Nikah adat begitu ada keluarga, tetangga, tua-tua adat ju hadir jadi semua tahu sapa mo nikah deng sapa. Disini kita (masyarakat desa Kualeu) mengetahui kalau menikah biasanya lebih dulu menikah secara adat (terang kampung) kemudian menikah di gereja (nikah agama). Nikah adat dihadiri oleh keluarga, tetangga, tua-tua adat dengan tujuan agar mereka semua mengetahui adanya pernikahan antara siapa dengan siapa.
Tidak hanya tradisi sunat tradisional sifon yang menggunakan perempuan untuk menyembuhkan luka sunat dan sebagai tempat “buang panas”, tradisi dhevadasi di India juga menggunakan perempuan sebagai penari kuil atau pelayan
16
dewa (devavesya/devadasi). Tradisi ini berdasarkan ajaran Hindu tradisional. Secara tradisional, perempuan yang menjadi penari kuil atau pelayan dewa merupakan teman seksual bagi manusia. Secara sosial, komunitas tertentu mempunyai kebiasaan mempersembahkan anak perempuan untuk menjadi penari kuil atau pelayan dewa sebagai pemenuhan sumpah dan tanpa stigma sosial apapun, disertai upacara yang menyerupai perkawinan (Becher, 2004). Kedua tradisi tersebut di atas tergolong unik yaitu devadasi di India yang menjadikan anak perempuan sebagai pelacur “suci” dan tradisi sifon suku Atoin Meto di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang juga menggunakan perempuan untuk melakukan hubungan seks wajib dalam rangka penyembuhan luka pasca sunat atau “buang panas”. Tradisi/adat masih dipegang teguh oleh masyarakat termasuk tradisi sifon. Bagaimanapun sifon dibutuhkan oleh adat sehingga tidak harus benar atau salah meskipun bertentangan dengan agama. Masyarakat suku Atoin Meto ada dalam situasi bangga karena membantu menyembuhkan luka pasca sunat dan dosa karena hubungan seks dalam rangka sifon merupakan zinah. Kondisi ini diperlukan pendampingan psikologi sehingga tidak mengalami masalah psikologi yang berkepanjangan. Dengan demikian penelitian ini diserahkan kepada masyarakat untuk berpikir karena agama dan budaya merupakan hal yang penting dan berat karena menyangkut value. Peneliti berusaha untuk memberikan informasi berkaitan dengan tradisi sifon.
17
B. Rumusan Masalah Wanita sifon merupakan bagian dari tradisi sunat laki-laki suku Atoin Meto. Wanita sifon merupakan mitra seks laki-laki yang disunat saat ritual hubungan seks wajib dalam rangka sifon. Wanita sifon berfungsi sebagai tempat “buang panas” atau kotor/penyakit. Panas atau penyakit dibuang pada saat berhubungan seks dan cairan vagina dianggap sebagai pendingin atau obat yang menyembuhkan luka pada penis laki-laki yang disunat. Perempuan suku Atoin Meto yang menjadi wanita sifon memiliki alasan dan latar belakang, yang menyebabkan perempuan tersebut mau menjadi wanita sifon. Peneliti menemukan hal yang menarik untuk diungkap dalam penelitian ini. Hal yang ditemukan berdasarkan hasil wawancara antara lain, alasan menjadi wanita sifon yaitu sebagai salah satu cara mendapatkan uang, beras atau siri dan pinang. Hasil yang diperoleh dari menjadi wanita sifon, digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jadi faktor ekonomi menjadi alasan perempuan suku Atoin Meto mau menjadi wanita sifon. Selain itu, menjadi wanita sifon merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan biologis (seks) meski ada risiko terjangkit penyakit karena hubungan seks dilakukan dengan laki-laki yang disunat, saat luka sunat belum benar-benar sembuh. Perempuan yang menjadi wanita sifon biasanya adalah janda atau perempuan yang pernah melahirkan atau sudah terbiasa berhubungan seks. Jadi faktor kebutuhan biologis (seks) juga menjadi salah satu alasan perempuan Atoin Meto menjadi wanita sifon.
18
Menjadi wanita sifon merupakan hal negatif di mata masyarakat khususnya suku Atoin Meto. Masyarakat beranggapan bahwa perempuan yang menjadi wanita sifon adalah tempat “buang panas” atau penyakit. Dengan demikian perempuan yang menjadi wanita sifon merasa malu karena dianggap rendah oleh masyarakat. Sementara di sisi lain wanita sifon diperlukan oleh lakilaki yang menjalani proses sunat tradisional suku Atoin Meto untuk hubungan seks wajib dalam rangka sifon (“buang panas” atau penyakit). Hal ini menunjukkan wanita sifon diperlukan dalam menjalankan adat atau tradisi sifon. Bahkan yang menarik pada penelitian Purnawan dkk (2007), berdasarkan hasil wawancara dengan istri dari laki-laki yang mengaku melakukan sifon, sama sekali tidak keberatan ketika suaminya melakukan sifon. Secara umum, para istri mengaku menghendaki agar suami melakukan sunat dan secara tidak langsung menghendaki suami melakukan sifon. Tidak ada responden (laki-laki maupun perempuan) yang menyatakan keberatan terhadap pelaksanaan sifon. Menjadi wanita sifon tetap dilakukan oleh perempuan suku Atoin Meto sampai saat sekarang ini, meski fakta menunjukkan bahwa tradisi sifon berdampak pada penularan PMS (Penyakit Menular Seksual) dan penyebaran HIV/AIDS. Pemerintah daerah kabupaten Timor Tengah Selatan juga mengeluarkan PERDA yang melarang tradisi sifon untuk mencegah penyebaran penularan HIV/AIDS, dan tidak adanya dukungan dari institusi keagamaan karena merupakan zinah. Menarik bagi peneliti untuk mengetahui lebih jauh, apakah alasan menjadi wanita sifon karena faktor ekonomi (dalam hal ini mencari uang) hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau lebih pada prestise? Alasan lain yang
19
juga menarik untuk dieksplorasi yaitu faktor kebutuhan biologis (seks) bagi perempuan suku Atoin Meto khususnya yang berstatus janda, apakah hanya sekedar untuk mendapatkan attachment atau sentuhan, atau lebih pada pemuasan kebutuhan seks (mencapai orgasme)? Dampak menjadi wanita sifon berdasarkan fakta-fakta yang telah dijelaskan diatas, menarik juga untuk diteliti. Menjadi pertanyaan bagi peneliti, apakah perempuan suku Atoin Meto yang menjadi wanita sifon tidak takut tertular PMS dan HIV/AIDS? Apakah wanita sifon tidak takut dosa, karena hubungan seks dalam rangka sifon dilakukan tanpa ikatan pernikahan atau bukan dengan pasangan tetapnya, sehingga merupakan zinah? Ada atau tidak quilty feeling dalam diri wanita sifon? Atau ada alasan lain yang berkaitan dengan budaya atau kepercayaan masyarakat dan ketaatan pada adat atau tradisi, sehingga perempuan suku Atoin Meto tetap bersedia dan mau menjadi wanita sifon hingga saat sekarang ini? Hal-hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengeksplorasi dan menganalisis tentang alasan, latar belakang, penyebab dan dampak bagi perempuan yang menjadi wanita sifon dalam sunat tradisional laki-laki suku Atoin Meto. Berdasarkan pemaparan di atas maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut : Mengapa perempuan suku Atoin Meto mau menjadi wanita sifon?
20
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuka pemikiran masyarakat tentang sifon dengan mengeksplorasi dan menganalisis alasan, latar belakang, penyebab dan dampak bagi perempuan suku Atoin Meto yang menjadi wanita sifon. Dengan adanya informasi ini dapat mendidik masyarakat untuk dapat menentukan pilihannya sehingga dapat memperoleh wellbeing.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah bagi ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan yang berkaitan dengan psikoedukasi suatu masyarakat. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yaitu : a) Bagi masyarakat, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi mengenai dampak dari tradisi sifon yang masih terus dilakukan, dalam upaya menanggulangi masalah kesehatan masyarakat khususnya PMS dan HIV/AIDS. b) Bagi lembaga penelitian, dapat membuka peluang kerja sama antar berbagai bidang ilmu dan lembaga penelitian dalam rangka psikoedukasi perilaku sehat.
21
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian Lake (1999) menguraikan tradisi sunat sifon memberikan dampak yang cukup besar pada penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). Sifon berdampak besar pada penularan PMS dan HIV/AIDS karena ritual hubungan seks dengan perempuan khususnya janda dilakukan pada saat luka sunat belum sembuh yaitu ±2-4 hari pasca sunat. Kondisi luka sunat yang belum kering dan sembuh pada saat melakukan hubungan seks dapat menyebabkan terjadinya infeksi. Penelitian Purnawan dkk (2007) berkaitan dengan ritual sifon cukup menarik. Sifon dianggap merendahkan martabat wanita karena wanita sifon dianggap sebagai obyek untuk ”buang panas” dari laki – laki yang sunat, ada unsur hubungan seksual diluar ikatan perkawinan, dan ada unsur memberi imbalan pada wanita yang diajak sifon. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan istri dari laki - laki yang mengaku melakukan sifon, istrinya sama sekali tidak keberatan ketika suami melakukan sifon, dan pada umumnya para istri mengaku memang menghendaki agar suami melakukan sunat dan secara tidak langsung menghendaki suaminya tersebut melakukan sifon. Bahkan tidak ada responden yang menyatakan keberatan terhadap pelaksanaan sifon baik responden perempuan maupun laki-laki, dengan syarat bahwa sifon tersebut dilakukan dengan wanita yang jelas-jelas tidak menjadi istri seseorang. Penelitian tentang menjadi wanita sifon berbeda dengan penelitianpenelitian sebelumnya. Jika penelitian Lake (1999) melihat bagaimana dampak sifon terhadap kesehatan, maka penelitian ini lebih difokuskan pada perempuan
22
suku Atoin Meto yang menjadi wanita sifon. Penelitian ini bertujuan untuk membuka pemikiran masyarakat tentang sifon dengan mengeksplorasi alasan, latar belakang, penyebab dan dampak tradisi sifon bagi perempuan suku Atoin Meto yang menjadi wanita sifon. Dengan adanya informasi ini dapat mendidik masyarakat untuk dapat menentukan pilihannya sehingga dapat memperoleh wellbeing termasuk di dalamnya wellbeing wanita sifon.