1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Salah satu kelebihan bangsa Indonesia adalah adanya keanekaragaman penduduk. Penduduk yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, adat istiadat dan tentu masing-masing memiliki kebiasan yang berbeda-beda. Keanekaragaman dan perbedaan ini merupakan suatu aset yang berharga bagi bangsa Indonesia yang bisa menjadi modal dalam rangka membangun bangsa ini menuju bangsa yang besar dan masyarakat yang sejahtera. Tenggang rasa dan saling menghargai merupakan kunci utama supaya penduduk yang pluralisme ini dapat hidup berdampingan dengan damai. Semua pihak menyadari bahwa konflik-konflik yang timbul akhir-akhir ini dibeberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah akibat kekurangan kesadaran masyarakat untuk saling menghargai dan tidak dapat menganggap perbedaan adalah sebuah anugrah dari sang Maha Pencipta. Pluralisme terjadi akibat dari hal yang telah diuraikan diatas juga menurut Hukum Perdata diakibatkan oleh karena politik hukum pemerintah Kolonial Belanda yang menerapkan Pasal 131 (Indische Staatsregeling) yang pokok isinya sebagai berikut: 1.
Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan timur Asing (Arab, Tionghoa, dan sebagainya),
jika
menghendakinya
ternyata dapatlah
“kebutuhan
kemasyarakatan”
peraturan-peraturan
untuk
bangsa
mereka Eropa
dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-
2
perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku dikalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2). 2.
Untuk golongan bangsa Eropa diberlakukan perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (asas konkordansi). Asas konkordansi adalah suatu asas yang melandasi untuk diberlakukannya hukum Eropa atau Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada bangsa pribumi (Indonesia).1
3.
Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “Hukum Adat” (ayat 6).2
4.
Hukum Perdata Dagang (begitu pula Hukum Perdata beserta Hukum Acara Perdata dan Pidana).
5.
Orang Indonesia asli dan orang timur asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan “menundukkan diri” (onderwerpen) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukkan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4). Menurut Pasal 131 IS, kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku
pada salah satu golongan penduduk yaitu masyarakat Tionghoa. Dalam kenyataanya tidak semua ketentuan-ketentuan yang diatur didalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata diikuti. Pada masyarakat Tionghoa ketentuan pewarisan 1 2
http://Vivahukum.blogspot.com/2014/07/pengertian-asas-konkordansi Subekti, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, intermasa, Jakarta, hlm 11
3
tidak menggunakan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi menggunakan Hukum Adat Tionghoa. Sejak abad ke-7 suku Tionghoa sudah masuk dan mewarnai kehidupan Nusantara. Dari situlah terjadi akulturasi antara budaya asli Indonesia dengan budaya Cina. Bentuk akulturasi tersebut dapat kita lihat dalam bidang kesenian seperti cokek dan lenong. Bahasa Indonesia yang digunakan sehari-hari pun banyak kosakata yang berasal dari bahasa Cina, seperti becak (bhe-chia), kue (koe), dan teh (tee). Makanan seperti bakmie, bakpao, bakwan dan lain-lain merupakan adaptasi dari makanan khas Tionghoa tersebut. Sebagai salah satu bagian dari keragaman suku bangsa, masyarakat Tionghoa mempunyai kebiasaan tersendiri yang sebagian besar berbeda dengan kebanyakan suku asli masyarakat Indonesia. Pada dasarnya sifat kekerabatan masyarakat Tionghoa sangat kental, untuk itu dalam kehidupan keseharian adat istiadat aslinya masih dilaksanakan, seperti Imlek (Tahun Baru Cina) dan Cap Goh Me (Perayaan 15 Hari Terakhir Dari Masa Perayaan Tahun Baru Cina). Tahun Baru Imlek atau Sin Cia jatuh pada tanggal satu bulan Cia Gwee atau bulan pertama penanggalan atau Tarikh Khongcu. Tarikh Kongcu merupakan sistem pananggalan dari Dinasti He (Tahun 2205–1766 SM ) yang diperhitungkan berdasarkan peredaran bulan dan matahari. Sistem penanggalan inilah yang sampai saat ini masih dipergunakan, yang dikenal sebagai penanggalan Imlek. Sistem penanggalan tersebut dicanangkan untuk dipergunakan kembali oleh Nabi Khongcu yang hidup pada 551–479 SM, sehingga tahun pertama dari penanggalan Imlek tersebut dihitung mulai tahun kelahiran Nabi Khongcu,
4
tepatnya tanggal 27 bulan delapan Imlek, tahun 551 SM sehingga tahun Imlek adalah tahun Masehi ditambah 551, oleh karena itu penanggalan Imlek ini sering disebut penanggalan (Tarikh Khongcu). Puncak atau akhir dari perayaan Sin Cia atau Tahun Baru Imlek adalah Cap Go Meh yaitu tanggal 15 Cia Gwee merupakan malam pertama bulan purnama dalam Tahun Baru. Dalam Kehidupan kita sehari-hari dikenal hidangan khusus pada waktu Cap Go Meh yaitu yang dikenal dengan Lontong Cap Go Meh. Sembahyang pada waktu Cap Go Meh dilaksanakan pada tanggal 15 Cia Gwee antara Sien Si (07.00 - 9.00 ) sampai Cu Si ( 15.00-01.00) disebut sembahyang syukur saat Siang Gwan atau Gwan Siau. Pelaksanaan sembahyang cukup dengan Thiam hio atau upacara besar, penyelenggaraan sembahyang ini bersifat syukur, saat ini umat Konghucu memanjat do’a puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena pada saat Siang Gwa atau Gwan Siau merupakan pada saat mulai diturunkannya berkah kehidupan, keselamatan dan kesejahteraan bagi segenap umat manusia. Sembahyang syukur saat Siang Gwan tidak memerlukan altar khusus sebagaimana pada sembahyang, King Thi Kong atau sembahyang Dewa Dapur atau Malaikat Dapur (Co Kun Kong), sehingga dapat dilaksanakan di altar / meja sembahyang orang tua yang telah meninggal dunia. Juga dapat dilaksanakan di altar Nabi di Lithang atau pun para suci (Sin Bing) terutama di altar Malaikat bumi ( Hok Tik Cing Sien ) Makna Hari Raya Cap Go Meh (Siang Gwan )Saat Siang Gwan merupakan hari pertama menyatakan sifat Maha Kasih, Maha Sempurna Tuhan Khalik semesta
5
alam, sebagaimana tersurat dalam Kitab Babaran Rohani, Yak King yang berbunyi bahwa Thian (Tuhan) mempunyai sifat Gwan yaitu Maha Sempurna, Hing (Maha Meliputi), Li (Maha Murah), dan Cing (Maha Kekal). Gwan artinya Yang Maha Sempurna.Khalik atau Pencipta yang menjadi di muka alam semesta. Kedua adat tersebut merupakan yang masih umum dan biasa dilaksanakan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Walaupun pada kenyataannya setiap daerah dimana kelompok masyarakat Tionghoa tersebut bermukim memiliki kebiasaankebiasaan yang lain satu sama lainnya. Dalam hal kekerabatan, masyarakat Tionghoa Indonesia menarik garis keturunan dari pihak laki-laki atau pihak ayah. Hal ini karena dalam masyarakat Tionghoa menganggap bahwa laki-laki adalah penerus klan keluarganya, dimana laki-laki akan membawa marganya (shee). Sistem kekerabatan demikian kita kenal dengan sistem kekerabatan patrilineal. Sistem kekerabatan patrilineal ini berlaku pada masyarakat Tionghoa Di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung. Sistem kekerabatan Patrilineal merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Dengan berlakunya sistem kekerabatan patrilineal ini, maka yang berhak menjadi ahli waris hanya anak laki-laki, karena anak perempuan yang telah kawin masuk menjadi keluarga pihak suami.3 Berdasarkan prapenelitian yang dilakukan untuk penelitian di kecamatan Parakan pembagian harta waris pada adat Tionghoa tidak menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi menggunakan kewarisan adat.
3
Eman Suparman, 1985, Intisari Hukum Waris Indonesia, Armico, Bandung, hlm 49
6
B. Perumusan Masalah Dari penjelasan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah? 2. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah ? 3. Bagaimana cara penyelesaian sengketa pewarisan pada masyarakat Tionghoa di di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis : 1. Pelaksanaan perkawinan yang digunakan masyarakat Tionghoa di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. 2. Pelaksanaan pembagian harta warisan pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. 3. Penyelesaian sengketa pewarisan pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat secara praktis maupun teoritis,yaitu :
7
1. Praktis Dapat menjadi pedoman bagi masyarakat untuk mengetahui adat Tionghoa beserta perubahan-perubahan dan perkembangan khususnya dalam hal pembagian warisan pada masyarakat Tionghoa. 2. Teoritis Penelitian ini memberikan manfaat teoritis yang berupa sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum adat. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran penulis pada beberapa referensi, tidak ditemukan penelitian dengan judul yang sama, yaitu “Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Hukum Adat Tionghoa Di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah”. Penulis dalam hal ini menemukan beberapa penelitian terdahulu yang memuat sebagian unsur sama dengan penelitian ini, tetapi juga memuat perbedaan di dalamnya. Berikut merupakan beberapa penelitian terdahulu tersebut: 1.
Penelitian dari Yenny Hosen mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2011 yang
berjudul
“Kedudukan Anak Laki-Laki dalam Pewarisan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Kecamatan Luwuk Propinsi Sulawesi Tengah”.
Adapun permasalahan penelitiannya adalah untuk meneliti praktek pembagian waris masyarakat keturunan Tionghoa yang secara yuridis
8
tunduk pada KUHPerdata tetap menggunakan hukum adatnya dan mengkaji kedudukan anak laki-laki dalam sistem pewarisan.4 2.
Penelitian dari Benni Beatrix mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2008 yang
berjudul
“Pelaksanaan Pewarisan Pada Etnis Tionghoa di Kota Padang”. Adapun permasalahan penelitiannya adalah untuk meneliti ketentuan hukum yang digunakan sebagai dasar pewarisan bagi etnis Tionghoa di Kota Padang dan untuk mengetahui pelaksanaan pembagian warisan pada etnis Tionghoa di Kota Padang.5 Perbedaan penelitian terdahulu tersebut dengan penelitian penulis nampak pada permasalahan yang diangkat dimana penulis lebih tegas menjabarkan sistem perkawinan masyarakat Tionghoa, pembagian harta warisan, dan penyelesaian bila terjadi sengketa. Dan yang menegaskan perbedaannya yaitu lokasi penelitiannya yaitu belum ada penelitian yang dilakukan di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah.
4
Yenny Hosen, “Kedudukan Anak Laki-Laki dalam Pewarisan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Kecamatan Luwuk Propinsi Sulawesi Tengah”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2011. 5 Benni Beatrix, “Pelaksanaan Pewarisan Pada Etnis Tionghoa di Kota Padang”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2008.