1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yugoslavia pada tahun 1991 merupakan negara yang terdiri dari 23 juta penduduk dari etnis yang berbeda-beda. Yugoslavia terdiri dari enam daerah republik yang semi otonom dan salah satunya adalah Bosnia-Herzegovina yang sejak April 1992 diakui oleh Komunitas Eropa dan Amerika Serikat sebagai negara independen. Pengakuan ini diikuti oleh hampir delapan puluh komunitas internasional
lainnya.
Nama
Bosnia-Herzegovina
sendiri
berasal
dari
penggabungan dua propinsi yaitu Herzegovina dan Bosnia. Jumlah penduduk Bosnia-Herzegovina adalah 4,53 juta yang terdiri dari 43,7 persen Slavic Muslims, 31,3 persen Etnis Serbia dan 17,3 persennya Etnis Kroasia. Kelompok etnis yang berbeda-beda ini semuanya saling bercampur, walaupun di beberapa wilayah tertentu, satu jenis etnis merupakan mayoritas dibandingkan dengan etnis lainnya. Etnis Muslim merupakan etnis yang dominan pada bagian paling ujung di Barat Daya Bosnia dan di bagian Timur Bosnia. Pada daerah sebagian besar Barat Daya Bosnia dan sebagian wilayah timur Bosnia didominasi oleh mayoritas etnis Serbia. Pada bagian Barat Bosnia didominasi oleh mayoritas etnis Kroasia. Pada bagian Tengah Bosnia, ketiga etnis ini hidup secara berdampingan.1 Menjelang pemilihan umum multi partai yang diadakan di BosniaHerzegovina pada akhir tahun 1990, tiga partai politik muncul sebagai 1
Lihat Helsinki Watch, 1992, War Crimes in Bosnia-Herzegovina, Human Rights Watch, United States of America, hlm.7
2
perwakilan dari beragam kelompok etnis yang ada di Bosnia-Herzegovina. Tiga partai politik tersebut mewakili etnis Muslim Bosnia, etnis Serbia dan etnis Kroasia. Walaupun mendapat tentangan etnis Serbia, perwakilan etnis Muslim Bosnia dan etnis Kroasia yang berada di dalam Parlemen Bosnia-Herzegovina mendeklarasikan kemerdekaan Republik Bosnia-Herzegovina pada Oktober 1991. Hal ini mengakibatkan ketegangan antar etnis mulai meningkat. Etnis Serbia menginginkan agar Bosnia-Herzegovina tetap tergabung sebagai salah satu propinsi Yugoslavia, sedangkan etnis Muslim Bosnia dan etnis Kroasia menginginkan Bosnia-Herzegovina menjadi negara yang merdeka terlepas dari Yugoslavia. Pada akhir Desember 1991, etnis Muslim Bosnia dan etnis Kroasia memutuskan untuk mencari pengakuan internasional secara de facto dan de jure agar Bosnia-Herzegovina diakui sebagai negara yang merdeka. Tetapi etnis Serbia menentang keras langkah ini dan memutuskan untuk mendeklarasikan sendiri negara mereka di dalam Bosnia-Herzegovina pada awal Januari 1992. Pada 29 Februari dan 1 Maret 1992, sebuah referendum diadakan di BosniaHerzegovina. Referendum ini dimenangkan oleh etnis Muslim Bosnia dan etnis Kroasia yang memilih agar Bosnia-Herzegovina menjadi negara yang merdeka. Kebanyakan etnis Serbia memboikot referendum tersebut dan menyatakan bahwa referendum tersebut tidak sah. Kekerasan antar etnis terus meningkat menjelang dan setelah referendum, dan akhirnya meningkat menjadi perang antar etnis pada awal April 1992, yaitu ketika komunitas-komunitas internasional mengakui kemerdekaan Bosnia-Herzegovina dan mengakui Bosnia-Herzegovina sebagai sebuah negara.
3
Peperangan antara etnis Serbia dan etnis Serbia Bosnia terhadap etnis Muslim Bosnia mulai pecah pada April 1992 yang di tandai dengan dikuasainya kota Bijeljina, yaitu kota yang dihuni oleh etnis Muslim Bosnia, oleh Serbia. Kemudian diikuti dengan diambil alihnya kota Sarajevo pada tanggal 5 April 1992. Etnis Serbia dan etnis Serbia Bosnia ketika hendak mengambil alih suatu kota pertama-pertama akan mengirimkan pasukan Serbia Bosnia (regular Bosnia Serb forces) dan Yugoslav People‟s Army troops untuk membuat barikade mengelilingi kota atau desa yang hendak diserang. Kemudian mereka akan meminta seluruh etnis Serbia yang tinggal di kota atau desa tersebut untuk pergi, dan diikuti dengan penyerangan terhadap kota atau desa tersebut. Pengepungan terhadap wilayah yang diserang akan memutus segala pasokan bahan-bahan makanan, obat-obatan dan air masuk ke kota atau desa yang diserang. Setelah tidak mendapatkan perlawanan lagi, maka etnis Serbia dan etnis Serbia Bosnia akan mengirimkan pasukan khususnya untuk memasuki dan membersihkan kota atau desa tersebut dari etnis Muslim Bosnia atau etnis Kroasia yang tersisa. Kemudian, etnis Serbia yang sebelumnya telah meninggalkan kota atau desa sebelum penyerangan, akan kembali dan menguasai seluruh rumah dan unit-unit usaha dari penduduk sebelumnya. 2 Hal ini dilakukan sebagai rangkaian kebijakan politik Presiden Serbia Slobodan Milosevic yang mengatakan pada diplomat-diplomat Eropa Barat bahwa akan ada sebuah negara Serbia baru sebagai The Fatherland of all Serbs. 2
Lihat Howard Ball, 1999, Prosecuting War Crimes and Genocide: The Twentieth-Century, University Press of Kansas, Kansas, hlm.128
4
Milosevic juga mengatakan bahwa musuh Serbia adalah kaum nasionalis Slovenia dan Kroasia serta kaum fundamentalis Muslim Bosnia, kemudian Serbia akan melakukan tindakan-tindakan untuk menghancurkan mereka.3 Sejak April 1992 sampai dengan Januari 1993, jumlah orang yang tewas akibat dari perang saudara antar etnis di Bosnia-Herzegovina diperkirakan sekitar 17.000 orang, dengan kurang lebih dua juta pengungsi yang lari meninggalkan Bosnia-Herzegovina.4
Pasukan bersenjata
Serbia
di
Bosnia-Herzegovina
diperkirakan telah membunuh sekitar antara 128.000 sampai dengan 200.000 warga etnis Muslim Bosnia atau dengan perbandingan satu tentara membunuh sepuluh orang warga etnis Muslim Bosnia.5 Tindakan-tindakan yang terjadi di Bosnia-Herzegovina, dapat dikategorikan sebagai grave breaches sesuai dengan rumusan dalam Pasal 147 Konvensi Jenewa Keempat, “…willfully causing great suffering or serious injury to body or health, unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of a protected person…” Kemudian Pasal 85 paragraf 4 menambahkan beberapa tindakan pelanggaran yang dikategorikan sebagai grave breaches yaitu jika dilakukan dengan sengaja dan bertentangan dengan Konvensi atau Protokol I. Tindakan pelanggaran tersebut adalah : “(a) the transfer by the occupying Power of parts of its own civilian population into the territory it occupies, or the deportation or transfer of all
3
Dikutip dalam Honog dan Both, Srebrenica, hlm. 71-72 Lihat Charles L. Nier III, The Yugoslavian Civil War: An Analysis of the applicability of the Laws of War Governing Non-International Armed Conflicts in the Modern World, 10 DICK.J. INT'L L. 310. 5 Lihat Fred McCloskey, The U.S. is Appeasing Fascism and Genocide, THE CHRISTIAN SCI. MONITOR, Dec. 31, 1992, hlm. 19 4
5
or parts of the population of the occupied territory within or outside this territory, in violation of Article 49 of the Fourth Convention…” Pasal 85 paragraf 5 menyebutkan bahwa grave breaches menurut Konvensi Jenewa dan Protokol I dianggap sebagai war crimes atau kejahatan perang. Secara khusus, di Bosnia-Herzegovina telah terjadi tindakan pengusiran secara paksa terhadap etnis tertentu dengan menggunakan intimidasi dan tindakan-tindakan kekerasan, agar etnis tersebut meninggalkan wilayah asalnya. Tindakan seperti ini dikategorikan sebagai tindakan pembersihan etnis. Istilah pembersihan etnis baru dikenal pada tahun 1990. Istilah pembersihan etnis ini dapat ditemukan dalam resolusi dari organisasi-organisasi internasional, sebagaimana yang dirumuskan oleh komisi yang terdiri dari para ahli bentukan Dewan Keamanan PBB yaitu, “ Rendering an area ethnically homogeneous by using force or intimidation to remove persons of given groups from the area." 6 Kemudian dalam laporan finalnya, komisi tersebut menyebut pembersihan etnis sebagai, "a purposeful policy designed by one ethnic or religious group to remove by violent and terror-inspiring means the civilian population of another ethnic or religious group from certain geographic areas." 7 The Security Council's Commission of Experts menyatakan bahwa pembersihan etnis dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, meliputi : “ by means of murder, torture, arbitrary arrest and detention, extra-judicial executions, rape and sexual assault, confinement of civilian population in ghetto areas, forcible removal, displacement and deportation of civilian
6
Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 7 Lihat Final Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex 1, at 33, U.N. Doc. S/1994/674 (1994)
6
population, deliberate military attacks or threats of attacks on civilians and civilian areas, and wanton destruction of property.” 8 Dari rumusan diatas, maka istilah pembersihan etnis sesungguhnya merupakan istilah yang melingkupi berbagai jenis tindakan delik yang memiliki tujuan akhir untuk mengarahkan anggota dari kelompok etnis tertentu untuk keluar dari wilayah asal mereka dengan maksud untuk mengurangi jumlah anggota dari kelompok tersebut. Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat menyebutkan bahwa : “ (1) Individual or mass forcible transfers, as well as deportations of protected persons from occupied territory to the territory of the Occupying Power or to that of any other country, occupied or not, are prohibited, regardless of their motive. … (6) The Occupying Power shall not deport or transfer parts of its own civilian population into the territory it occupies.” Berdasarkan ketentuan Pasal 49 paragraf (1) Konvensi Jenewa Keempat, maka tindakan-tindakan pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia-Herzegovina adalah dilarang, baik dilakukan ke wilayah lain dari wilayah yang dikuasai atau ke negara lain.9 Demikian juga tindakan pemindahan penduduk Serbia ke wilayah yang diduduki atau dikuasainya adalah dilarang. Hal ini sesuai Pasal 49 paragraf (6) Konvensi Jenewa Keempat yang mencegah adanya pemindahan penduduk dari penduduk pihak yang menduduki atau yang menguasai suatu wilayah kewilayah yang diduduki atau dikuasainya baik karena alasan politis atau alasan suku dan ras. Pemindahan penduduk dari pihak yang menduduki atau yang menguasai suatu wilayah kewilayah yang diduduki atau dikuasainya akan 8
Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 9 Lihat Knut Dormann, 2003, Element of War Crimes Under The Rome Statute of The International Criminal Court: Sources and Commentary, Cambridge University Press, New York, hlm. 109
7
menyebabkan memperburuknya keadaan ekonomi penduduk asli setempat dan juga akan membahayakan keberadaan dari suatu suku atau ras.10 Berdasarkan Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), disebutkan bahwa setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu. Dalam Pasal 5 UDHR disebutkan bahwa tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya. Hak-hak ini merupakan hak dasar dan merupakan hak-hak yang bersifat non-derogable. Pembersihan etnis merupakan perbuatan yang melanggar sejumlah HAM yang bersifat non-derogable rights, maka pembersihan etnis dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM. Timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional didasarkan pada, bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara pelanggar harus bertanggung jawab atas tindakannya tersebut.11 Harus diakui bahwa hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum internasional yang mapan mengenai tanggung jawab negara. Hal tersebut, antara lain, ditandai dengan belum adanya perjanjian internasional yang khusus mengatur mengenai tanggung jawab negara. Namun, para ahli hukum
10
Lihat International Committee Of The Red Cross, 1994, Commentary IV Geneva Convention Relative To The Protection Of Civilian Persons In Time Of War , International Committee Of The Red Cross, Geneva, hlm. 283 11 Hingorani, Modern International Law, edisi ke-2, 1984 dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: CV. Rajawali, 1991, hlm. 173.
8
internasional telah mengakui bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional. Pembahasan mengenai tanggung jawab negara dapat mengacu pada rancangan pasal-pasal atau Draft Articles mengenai tanggung jawab negara yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional atau International Law Commission ( ILC ).12 Menurut Anthony Aust, tanggung jawab negara muncul dari hukum kebiasaan internasional yang muncul dan dikembangkan melalui praktik dan putusan pengadilan internasional yang mengacu kepada final draft Articles („the Articles‟) on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts dan the ILC‟s Commentary on the Articles.13 Dasar tanggung jawab negara juga berasal dari ketentuan-ketentuan yang terdapat
di
dalam
perjanjian
internasional
maupun
hukum
kebiasaan
internasional. Hal tersebut, antara lain, diatur dalam Prinsip ke-21 dari Deklarasi Stockholm tentang Lingkungan Hidup atau Stockholm Declaration on the Human Environment tahun 1972 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, sekaligus pula tanggung jawab untuk menjamin kegiatan tersebut tidak menimbulkan kerusakan lingkungan terhadap negara lain atau terhadap wilayah-wilayah di luar batas-batas yurisdiksi nasionalnya.
12
Nama lengkap rancangan pasal-pasal tersebut adalah Rancangan Pasal-pasal mengenai Pertanggungjawaban Negara atas Tindakan-tindakan Salah Secara Internasional (“Draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts”). “Draft Articles” terakhir diadopsi oleh ILC pada sidang ke-2709, tanggal 9 Agustus 2001. 13 Lihat Anthony Aust, Handbook of International Law, Cambridge University Press, New York, 2005, hlm. 407 – 408.
9
Tindakan pembersihan etnis yang dilakukan oleh Serbia di BosniaHerzegovina, selain dapat dikategorikan sebagai grave breaches dan war crimes menurut Konvensi Jenewa dan Protokol I. Dapat dikategorikan juga sebagai pembersihan etnis (ethnic cleansing) oleh The Security Council's Commission of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780 tahun 1992. Serta dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia internasional berdasarkan pada Universal Declaration of Human Rights. Berdasarkan hal tersebut, maka timbul tanggung jawab negara, karena telah terjadi pelanggaran terhadap hak negara lain yang menyebabkan negara pelanggar harus bertanggung jawab atas tindakannya.
B. Perumusan Masalah Berpangkal dari uraian di atas, maka dalam penulisan hukum ini diangkat permasalahan : 1. Bagaimanakah pertanggung jawaban negara terhadap tindakan pembersihan etnis (ethnic cleansing) di Bosnia-Herzegovina ? 2. Bagaimanakah tindakan yang harus ditempuh oleh negara sebagai perwujudan tanggung jawabnya atas tindakan pembersihan etnis (ethnic cleansing) di Bosnia-Herzegovina ?
10
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan objektif dari penelitian adalah: a. Menganalisis bentuk-bentuk pertanggung jawaban negara terhadap tindakan pembersihan etnis (ethnic cleansing) di Bosnia-Herzegovina b. Menganalisis dan mengidentifikasi langkah-langkah yang harus ditempuh oleh negara sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya atas tindakan pembersihan etnis (ethnic cleansing) di Bosnia-Herzegovina 2. Tujuan subjektif dari penelitian adalah: Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap dan akurat dalam rangka penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
D. Tinjauan Pustaka 1. Pembersihan Etnis a. Pengertian Pembersihan Etnis Istilah pembersihan etnis baru dikenal pada tahun 1990, dalam hubungannya dengan rangkaian kejadian di negara bekas Yugoslavia. 14 Istilah ini menggambarkan peristiwa pengusiran paksa terhadap sekelompok orang atau bangsa tertentu dari negara asalnya. Istilah ethnic cleansing muncul dan pertama kali mulai dikenal pada bulan Mei tahun 1992 dan terus dipergunakan seiring dengan meningkatnya intensitas 14
Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, hlm. 16, U.N. Doc. S/25274 (1993)
11
kekerasan yang terjadi di Bosnia-Herzegovina, yaitu dengan adanya serangan etnis Serbia terhadap etnis muslim Bosnia. 15 Pada tahun 1992, Dewan Keamanan PBB bermaksud untuk menuntut para pelaku yang turut serta dalam tindakan pembersihan etnis sepanjang awal tahun 1990 di negara bekas Yugoslavia. Untuk kepentingan tersebut, maka Dewan Keamanan PBB membuat komisi yang terdiri dari para ahli untuk menganalisis fakta-fakta yang terjadi dan berhasil dikumpulkan, serta mempersiapkan untuk tindakan penuntutan.16 Komisi bentukan Dewan Keamanan PBB tersebut dalam laporan interimnya memberikan definisi pembersihan etnis sebagai berikut: “…Rendering an area ethnically homogeneous by using force or intimidation to remove persons of given groups from the area." 17 Dalam laporan finalnya, komisi tersebut menyebut pembersihan etnis sebagai, "a purposeful policy designed by one ethnic or religious group to remove by violent and terror-inspiring means the civilian population of another ethnic or religious group from certain geographic areas." 18
The Security Council's Commission of Experts menyatakan bahwa pembersihan etnis dapat dilakukan dengan cara-cara: “…murder, torture, arbitrary arrest and detention, extra-judicial executions, rape and sexual assault, confinement of civilian population in ghetto areas, forcible removal, displacement and 15
R. Gutman, A Witness to Genocide, Macmillan, New York, 1993 Lihat S.C. Res. 780, U.N. SCOR, 3119th mtg. at 2, U.N. Doc. S/RES/780 (1992) (requesting that Security Council establish Commission of Experts to analyze breaches of Geneva Convention) 17 Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 18 Lihat Final Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex 1, at 33, U.N. Doc. S/1994/674 (1994) 16
12
deportation of civilian population, deliberate military attacks or threats of attacks on civilians and civilian areas, and wanton destruction of property.” 19 The Committee on the Elimination of Racial Discrimination mengutuk pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia yang termasuk didalamnya tindakan: “…forced population transfers, torture, rape, summary executions, the blockading of international humanitarian aid and the commission of atrocities for the purpose of instilling terror among the civilian population.”20 Komite tersebut lebih lanjut mengatakan bahwa pelanggaranpelanggaran tersebut dilakukan berdasarkan basis identitas etnis dengan tujuan untuk menciptakan etnis yang murni dan bukan etnis campuran dengan etnis lain. Istilah pembersihan etnis atau ethnic cleansing, sesungguhnya merupakan istilah yang tidak hanya memberikan definisi terhadap satu tindakan
tertentu
yang
dapat
dimintakan
pertanggung
jawaban
berdasarkan hukum internasional, melainkan suatu istilah yang meliputi berbagai macam tindakan yang masing-masing dari tindakan tersebut dapat
dimintakan
pertanggung
jawabannya
berdasarkan
hukum
internasional. b. Aspek-Aspek Hukum Pembersihan Etnis a) Pembersihan Etnis Dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 19
Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 20 Lihat Report of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination, U.N. GAOR, 48th Sess., Supp No. 18, at 91, U.N. Doc. A/48/18 (1993)
13
Sesuai dengan rumusan Pasal 147 Konvensi Jenewa Keempat, pembersihan etnis dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat atau grave breaches, “…unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of a protected person…” Pasal 85 paragraf 3 Protocol I, juga menyebutkan bahwa tindakan yang dinyatakan sebagai pelanggaran berat atau grave breaches dalam Konvensi Jenewa, juga merupakan pelanggaran berat dalam Protokol I ini, apabila dilakukan dengan sengaja, bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Protokol I ini, dan yang mengakibatkan kematian atau luka-luka parah pada badan atau kesehatan sebagaimana yang terjadi pada pembersihan etnis, tindakan tersebut: “…(a) making the civilian population or individual civilians the object of attack; (b) launching an indiscriminate attack affecting the civilian population or civilian objects in the knowledge that such attack will cause excessive loss of life, injury to civilians or damage to civilian objects, as defined in Article 57, paragraph 2 (a)(iii)…” Kemudian Pasal 85 paragraf 4 menambahkan beberapa tindakan pelanggaran yang dikategorikan sebagai grave breaches, jika dilakukan dengan sengaja dan bertentangan dengan Konvensi atau Protokol I ini. Tindakan pelanggaran tersebut adalah : “…(a) the transfer by the occupying Power of parts of its own civilian population into the territory it occupies, or the deportation or transfer of all or parts of the population of the occupied territory within or outside this territory, in violation of Article 49 of the Fourth Convention…”
14
Pasal 85 paragraf 5 lebih lanjut menyebutkan bahwa grave breaches yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa dan Protokol I ini harus dianggap sebagai war crimes atau kejahatan perang. “ Without prejudice to the application of the Conventions and of this Protocol, grave breaches of these instruments shall be regarded as war crimes.” Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat menyebutkan bahwa : “ (1) Individual or mass forcible transfers, as well as deportations of protected persons from occupied territory to the territory of the Occupying Power or to that of any other country, occupied or not, are prohibited, regardless of their motive. … (6) The Occupying Power shall not deport or transfer parts of its own civilian population into the territory it occupies.” Berdasarkan ketentuan Pasal 49 paragraf 1 Konvensi Jenewa Keempat, tindakan-tindakan pembersihan etnis adalah dilarang, baik tindakan pemindahan tersebut dilakukan ke wilayah lain dari wilayah yang dikuasai atau ke negara lain.21 Demikian juga tindakan pemindahan penduduk ke kewilayah yang diduduki atau dikuasainya adalah dilarang. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 paragraf 6 Konvensi Jenewa Keempat yang mencegah adanya pemindahan penduduk dari penduduk pihak yang menduduki atau yang menguasai suatu wilayah kewilayah yang diduduki atau dikuasainya baik karena alasan politis atau alasan suku dan ras. Pemindahan penduduk dari pihak yang menduduki atau yang menguasai suatu wilayah kewilayah yang diduduki atau dikuasainya akan memperburuk keadaan ekonomi 21
Lihat Knut Dormann, 2003, Element of War Crimes Under The Rome Statute of The International Criminal Court: Sources and Commentary, Cambridge University Press, New York, hlm. 109
15
penduduk asli setempat dan juga akan membahayakan keberadaan dari suatu suku atau ras.22 Berdasarkan Pasal 146 Konvensi Jenewa Keempat, para pihak diharuskan untuk membuat peraturan yang diperlukan guna menyediakan hukuman pidana yang efektif terhadap setiap orang yang melakukan atau menyuruh melakukan segala tindakan yang dikategorikan sebagai grave breaches berdasarkan Konvensi Jenewa Keempat ini dan diharuskan untuk mencari orang tersebut serta membawa orang tersebut ke depan pengadilannya apa pun kewarganegaraan orang tersebut. Pasal 129 dan 130 Konvensi Jenewa Ketiga mengharuskan para pihak untuk membuat peraturan yang diperlukan guna menyediakan hukuman pidana yang efektif terhadap setiap orang yang melakukan atau menyuruh melakukan segala tindakan yang dikategorikan sebagai grave breaches. b) Pembersihan Etnis Dalam Universal Declaration of Human Rights Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), pada menyebutkan bahwa
setiap orang berhak atas penghidupan,
kebebasan, dan keselamatan individu. Disebutkan dalam Pasal 5 UDHR bahwa tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya. Hak-hak ini merupakan hak dasar dan merupakan hak-hak yang bersifat non-derogable. 22
Lihat International Committee Of The Red Cross, 1994, Commentary IV Geneva Convention Relative To The Protection Of Civilian Persons In Time Of War , International Committee Of The Red Cross, Geneva, hlm. 283
16
Pembersihan etnis berdasarkan definisi komisi bentukan Dewan Keamanan PBB dalam laporan interimnya, merupakan perbuatan yang melanggar sejumlah HAM yang bersifat non-derogable rights, maka pembersihan etnis dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM.23 Unsur-unsur yang menyertai pelanggaran berat HAM adalah dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan perbuatan itu dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah direncanakan. Secara meluas dapat diartikan bahwa biasanya akan mengarah kepada sejumlah korban yang sangat besar dan kerusakan parah secara meluas yang ditimbulkannya. 24 Peter Baehr menyebutkan bahwa pelanggaran HAM akan menyangkut masalah-masalah yang meliputi: “The prohibition of slavery, the right to life, torture and cruel, inhuman or degrading treatment or punishmnet, genocide, disapprearences and „ethnic cleansing”.25 c) Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Penyelesaian terhadap pelanggaran berat HAM secara hukum pada dasarnya mengacu pada prinsip exhaustion of local remedies melalui
mekanisme
forum
pengadilan
nasional.
Mekanisme
penyelesaian pelanggaran berat HAM di tingkat nasional biasanya
23
Lihat Theo van Boven, 2002, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta: ELSAM 24 Lihat Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Rights: Gross, Systematic Violations and The Inter-American System, Dordrech/Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1988, hlm. 16. 25 Lihat Peter R. Baehr, Human Rights Universality in Practice, New York: St. Martin‟sPress, 1999, hlm. 20
17
dibentuk oleh suatu negara dengan cara mendirikan suatu pengadilan khusus HAM. Penyelesaian pelanggaran berat HAM pada tingkat nasional juga dapat dilakukan melalui pengadilan nasional atas dasar prinsip yuridiksi
universal.
Berdasarkan
prinsip
yuridiksi
universal,
pengadilan nasional setiap negara memiliki kompetensi untuk melaksanakan yuridiksinya untuk mengadili para pelaku kejahatankejahatan internasional yang dianggap menyangkut umat manusia secara keseluruhan yaitu, kejahatan yang merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional. Mekanisme penyelesaian pelanggaran berat HAM di tingkat internasional terdiri dari Mahkamah HAM yang bersifat ad hoc dan permanen.
Mahkamah
HAM
internasional
ad
hoc
dibentuk
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB atas dasar adanya ancaman atas keamanan dan perdamaian dunia. Ketidakmauan (unwillingness) dan ketidakmampuan (inability) negara yang diduga melakukan pelanggaran berat HAM untuk menyelesaikan masalah pelanggaran tersebut di tingkat nasional dapat mendasari dibentuknya Mahkamah HAM internasional ad hoc. Ukuran adanya faktor
ketidakmauan (unwillingness) dan
ketidakmampuan (inability) pengadilan nasional dari suatu negara
18
yang diduga melakukan pelanggaran berat HAM telah diatur dalam pasal 17 ayat (2) dan pasal 17 ayat (3) Statuta Roma.26 d) Pembersihan Etnis dalam Rome Statute of the International Criminal Court Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma 1998 atau Rome Satute Of The International Criminal Court, Pasal 7 paragraf 1 terdapat situasi yang disyaratkan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu: “…committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack” Apabila kita bandingkan dengan Final Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780, maka dapat kita simpulkan bahwa definisi ethnic cleansing sesuai dengan situasi yang disyaratkan bagi terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan menurut Statuta Roma. Dalam Pasal 7 paragraf 1 butir (d) Statuta Roma disebutkan bahwa deportation or forcible transfer of population termasuk kedalam tindakan-tindakan yang dirinci sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal
7
paragraf
2
butir
(d)
Statuta
Roma
mendefinisikan deportation or forcible transfer of population sebagai tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan
26
Lihat Supriyadi, Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dalam Perspektif Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Mimbar Hukum Fakultas Hukum UGM No.43/II/2003, hlm. 31-32
19
lain dari tempat penduduk itu secara sah berada, tanpa adanya dasar yang bisa dibenarkan oleh hukum internasional.27
2. Tanggung Jawab Negara 1. Latar Belakang Tanggung Jawab Negara Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hakhaknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak itu. Apabila kewajiban internasional ini dilanggar sehingga merugikan pihak lain, maka lahirlah tanggung jawab negara. Itulah sebabnya mengapa hukum internasional melembagakan kewajiban tersebut sebagai prinsip yang fundamental.28 Tanggung-jawab negara merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antarnegara. Tanggung-jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau
27
"Deportation or forcible transfer of population" means forced displacement of the persons concerned by expulsion or other coercive acts from the area in which they are lawfully present, without grounds permitted under international law 28 Lihat Pasal 2 Draft Articles on State Responsibility yang menyatakan bahwa “every state is subject to the possibility of being held to have commited an internationally wrongful act entailing its national responsibility”, dikutip dari Marina Spinedi et.al (ed), United Nations Codification of State Responsibility, Oceana Publications, Inc., New York, 1987, hlm. 325.
20
tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional.29 2. Perkembangan Pengaturan Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum Internasional Dalam setiap sistem hukum telah dikenal tanggung-jawab atas pelaksanaan kewajiban yang diatur berdasarkan ketentuan hukumnya. Tanggung-jawab tersebut dalam hukum internasional dikenal sebagai responsibility,30 Namun, sampai saat ini belum ada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang secara tegas mengatur mengenai tanggungjawab negara, tetapi para ahli hukum internasional telah mengakui bahwa tanggung-jawab negara ini merupakan suatu prinsip fundamental dari hukum internasional.31 Itulah sebabnya mengapa PBB telah meminta Komisi Hukum Internasional (International Law Commission, ILC) untuk menyusun formulasi aturan-aturan tentang tanggung jawab negara. Pada tahun 2001, ILC menghasilkan final draft Articles („the Articles‟) on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts. 32 Menurut Anthony Aust, tanggung jawab negara muncul dari hukum kebiasaan internasional yang muncul dan dikembangkan melalui praktik dan
29
Mieke Komar Kantaatmadja, Tanggung-jawab Negara dan Individu dalam Hukum Internasional, (makalah yang disampaikan pada Penataran Tindak Lanjut Dosen Hukum Humaniter Internasional Indonesia Bagian Barat, di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 24-25 Juli 2000), hlm. 3. 30 D.J. Harris, Cases an Material on International Law, London: Sweet and Maxwell, 1998, hlm. 484. 31 Lihat Ian Browlie, Principles of Public International Law, ILBS and Oxford University Press, Oxford, 1979, hlm. 431. 32 Final draft Articles dan ILC Commentary dapat dilihat di ILC‟s 2001 report (A/56/10) dan juga pada www.un.org/law/ilc/.
21
putusan pengadilan internasional yang mengacu kepada final draft Articles („the Articles‟) on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts dan the ILC‟s Commentary on the Articles.33 Jadi, sekalipun aturan-aturan tentang tanggung jawab negara ini masih dalam proses pertumbuhan dan belum menjadi konvensi, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya telah diterima sebagai suatu prinsip umum hukum internasional.34 3. Prinsip Tanggung Jawab Negara Menurut Karl Zemanek, tanggung jawab negara memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara internasional, yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi (negara) pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru terhadap korban.35 Dalam ILC Articles, lebih tegas dinyatakan bahwa, tanggung jawab negara timbul manakala terjadi pelanggaran yang dikategorikan sebagai tindakan salah secara internasional. Hal tersebut dirumuskan dalam Pasal 1, “Every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State.” 36 Pada bagian commentary dari ILC Articles tersebut, selanjutnya dijelaskan bahwa. 33
Lihat Anthony Aust, op. cit., hlm. 407 – 408. Lihat Ian Browlie, op. cit., hlm 431. 35 Karl Zemanek, Responsibility of States: General Principles, dalam Rudolf L. Bindshdler, et. al.,Encyclopedia of Public International Law, 10, State Responsibility of States, International Law and Municipal Law,Jilid ke-10, Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.V., 1987, hlm. 363. 36 Pasal 1 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001. 34
22
“...a breach of international law by a state entails its international responsibility. An internationally wrongful act of a State may consist in one or more actions or omissions or a combination of both…” 37 Adapun yang dimaksud dengan act adalah: “an act considered internationally wrongful if its author violates an obligation which custom or treaty establishes in favour of another specific State; in that case the author is internationally responsible to the victim and to the victim alone.” 38 Adapun yang menjadi elements of an internationally wrongful act of a State sebagaimana yang diatur di dalam ILC Articles adalah, “There is an internationally wrongful act of a State when conduct consisting of an action or omission: (a) Is attributable to the State under international law; and (b) Constitutes a breach of an international obligation of the State.” 39 Dengan demikian unsur-unsur tindakan salah secara internasional meliputi tindakan yang dilakukan negara tersebut harus dapat diatribusikan kepada negara menurut hukum internasional dan tindakan tersebut harus menimbulkan suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku bagi negara tersebut pada saat tindakan tersebut dilakukan.40 Tindakan salah secara internasional yang dilakukan oleh suatu negara tidak semata-mata menimbulkan hubungan hukum antar dua negara (bilateral), yaitu negara yang merugikan dan dirugikan saja. Akan tetapi tindakan tersebut dapat menimbulkan tanggung jawab terhadap beberapa
37
The United Nations, Report of the International Law Commission Fifty-third Session (23 April-1 June and 2 July-10 August 2001), New York, 2001, hlm. 63. 38 Ibid. 39 Pasal 2 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001. 40 The United Nations, op. cit., hlm 68
23
negara, bahkan dapat menimbulkan tanggung jawab terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan.41 4. Dasar dan Sifat Tanggung Jawab Negara Dasar tanggung jawab negara berasal dari ketentuan ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional. Hal tersebut antara lain diatur dalam Prinsip ke-21 Stockholm Declaration on the Human Environment tahun 1972.42 Tanggung jawab negara menurut hukum internasional juga memiliki perbedaan dengan tanggung jawab negara menurut hukum nasional. Menurut hukum internasional, tanggung jawab negara timbul akibat dari pelanggaran terhadap hukum internasional. Walaupun hukum nasional menganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap bertanggungjawab. Dengan demikian, hukum internasional mengatasi hukum nasional.43 Suatu negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai dasar alasan untuk menghindari suatu kewajiban internasional. Hukum internasional menentukan kapan suatu negara dianggap bertanggung jawab atas tindakan dari organ-organnya.44 41
Ibid., hlm. 66 Prinsip ke-21 dari Stockholm Declaration on the Human Environment tahun 1972 menyebutkan, “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the Principles of International Law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their environmental policies, and the responsibility to ensure the activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environmental of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction...” 43 F. Sugeng Istanto, op. cit., hlm. 78 44 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 395-396 42
24
5. Doktrin Imputabilitas Malcolm
N
Shaw
memberikan
definisi
mengenai
doktrin
imputabilitas sebagai berikut:45 “ Imputability is the legal fiction which assimilates the actions or omissions of state officials to the state itself and which renders the state liable for damage resulting to the property or person of an alien.” Latar belakang doktrin ini yaitu, bahwa negara sebagai suatu kesatuan hukum yang abstrak tidak dapat melakukan “tindakan-tindakan nyata”, negara baru dapat melakukan tindakan hukum tertentu melalui pejabatpejabat atau perwakilan-perwakilanya yang sah. Jadi, terdapat suatu ikatan yang erat antara negara dengan subjek hukum yang bertindak untuk negara. Ikatan yang dimaksud adalah bahwa subjek hukum tersebut bertindak dalam kapasitasnya sebagai petugas atau wakil negaranya. Negara tidak bertanggung jawab, menurut hukum internasional, atas semua tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negaranya. Jadi, doktrin ini “mengasimilasikan” tindakan-tindakan pejabat-pejabat negara dengan negaranya yang menyebabkan negara tersebut bertanggung jawab atas semua kerugian atau kerusakan terhadap harta benda atau orang asing. Doktrin imputabilitas menegaskan, tindakan salah dari organ negara dianggap merupakan suatu tindakan negara. Hal itu diatur pula dalam Pasal 4 ILC Articles.46
45 46
Malcolm N Shaw, International Law Fifth edition, Cambridge University Press 2003, hlm. 701 Pasal 4 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001.
25
Pada dasarnya, hanya tindakan-tindakan yang memiliki unsur pemerintahan yang akibatnya dapat dipertanggungjawabkan kepada negara. Suatu tindakan yang tidak memiliki keterkaitan dengan negara (pemerintah) maka negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Mengenai hal ini, pada bagian commentary ILC Articles dinyatakan, “Thus the general rule is that the only conduct attributed to the State at the international level is that of its organs of government, or of others who have acted under the direction, instigation or control of those organs, i.e., as agents of the State.” 47 Dalam ILC Articles, tindakan negara atau attribution of conduct of a State meliputi:48 “…conduct of organs of a State; conduct of persons or entities exercising element of governmental authority; conduct of organs placed at the disposal of a State by another State; excess of authority or contravention of instructions; conduct directed or controlled by a State; conduct carried out in the absence or default if the official authorities; conduct of an insurrectional or other movement; conduct acknowledged and adopted by a State as its own.” 6. Akibat Dari Tindakan Salah Secara Internasional Mengenai wujud tanggung jawab negara atas suatu tindakan salah secara internasional dikenal dua bentuk yaitu cessation dan reparation. a) Cessation Negara yang bertanggung jawab terhadap tindakan salah secara internasional memiliki kewajiban untuk menghentikan (to cease) tindakan salahnya tersebut, apabila tindakan tersebut masih berlangsung. Negara yang bertanggung jawab tersebut juga
47 48
The United Nations, op. cit., hlm. 80. Pasal 4-11 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001.
26
berkewajiban untuk memastikan dan menjamin bahwa tindakan salah secara internasionalnya tersebut tidak akan terulang kembali.49 b) Reparation Prinsip dasar adanya reparation pertama kali dikenal dalam putusan Permanent Court of International Justice atas Corzow Factory Case, yang menyatakan bahwa: “…reparation must so far as possible, wipe out all the consequences of the illegal act and re-establish the situation which would, in all probability, have existed if that act had not been committed.”50 Kewajiban
untuk melakukan
reparation
dalam
segala
aspeknya diatur dalam hukum internasional, dengan mengabaikan ketentuan hukum nasional yang berlaku.51 Menurut Black‟s Law Dictionary, reparation memiliki arti sebagai berikut: “1. The act of making amends for a wrong; 2. Compensation for an injury or wrong, esp. for wartime damages or breach of an international obligation.” 52 Pasal 34 ILC Articles menentukan bahwa ada tiga bentuk reparation yaitu restitution, compensation, dan satisfaction yang dapat berdiri sendiri-sendiri atau pun gabungannya.53 49
Pasal 30 ILC Articles menyebutkan: The State responsible for the internationally wrongful act is under an obligation: (a) to cease that act, if it is continuing; (b) to offer appropriate assurances and guarantees of non-repetition, if circumstances so require. Lihat Malcolm N. Shaw, op. cit., hlm. 714 50 Factory at Corzo, Merits, 1928, PCIJ, Series A, no. 17, hlm. 47 dalam ibid., hlm. 715 51 Lihat Suarez-Rosero v. Ecuador (Reparations), Inter-American Court of Human Rights, 1999, Series C, No. 44 at para. 42. 52 Bryan A. Garner, (edit), Black‟s Law Dictionary, 7th edition, St. Paul Minn: West Group, 1999, hlm. 1301.
27
1) Restitution Menurut Malcolm N Shaw, tujuan restitution adalah untuk mengembalikan keadaan yang ada sebelum tindakan salah secara internasional tersebut terjadi.54 2) Compensation Menurut Ian Browlie, “ Compensation will be used to describe reparation in the narrow sense of the payment of money as a valuation of the wrong done.” 55 Monetary compensation dapat terdiri dari: (a) penggantian biaya
pada
waktu
keputusan
pengadilan
dikeluarkan,
meskipun jumlah penggantian tersebut menjadi lebih besar dari nilai pada waktu perbuatan melawan hukum oleh negara lain terjadi; (b) kerugian tak langsung atau indirect damages. Sepanjang kerugian ini mempunyai kaitan yang langsung dengan tindakan tidak sah tersebut (Pengadilan Arbitrase antara Portugal dan Jerman tahun 1930); (c) hilangnya keuntungan yang diharapkan, sepanjang keuntungan tersebut mungkin dalam situasi atau perkembangan yang normal; (d) pembayaran terhadap kerugian atas bunga yang hilang karena adanya tindakan melanggar hukum.56
53
Lihat ILC Commentary 2001, p. 235 juga lihat Suarez-Rosero v. Eczrizdor (Reparations), InterAmerican Court of Human Rights, 1999, Series C, No. 44 at para. 42 54 Malcolm N. Shaw, op. cit., hlm. 716 55 Browlie, op. cit., hlm. 461. 56 Lihat Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 44-45
28
3) Satisfaction Ian Browlie mendefinisikan satisfaction sebagai setiap upaya yang dilakukan oleh si pelanggar suatu kewajiban untuk mengganti kerugian menurut hukum kebiasaan atau suatu perjanjian, dibuat oleh para pihak yang bersangkutan, yang bukan
berupa
compensation.
restitution Satisfaction
(restitusi/pemulihan) merupakan
pemulihan
atau atas
perbuatan yang melanggar kehormatan negara. Satisfaction dialakukan melalui perundingan diplomatik dan cukup diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi atau jaminan tidak akan terulangnya perbuatan.57
E. Metode Penelitian a. Jenis dan tipe penelitian Penelitian ini termasuk kedalam penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder58 dengan metode studi pustaka. Tipe penelitian hukumnya adalah kajian komprehensif analitis terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil kajian dipaparkan secara lengkap, rinci, jelas dan sistematis sebagai karya ilmiah. b. Data yang dicari a) Ketetapan hukum internasional yang terdiri dari perjanjian internasional yang berhubungan, terdiri dari: 57
Andrey Sujatmoko, ibid, hlm.45 Lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung; Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 52. 58
29
1. Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War. Geneva 12 August 1949 dan Convention (IV) relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War. Geneva 12 August 1949, dan Commentary; 2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) dan Commentary; 3. Universal Declaration of Human Rights; 4. United Nations Convention On The Prevention And Punishment Of The Crime Of The Genocide; 5. Statuta Mahkamah Internasional, Statuta International Criminal Court, Statuta International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia, Statuta International Criminal Tribunal For Rwanda; dan 6. Perundang-undangan lain yang relevan. b) Data lain yang berupa tulisan atau karya ilmuwan dan praktisi hukum serta disiplin ilmu lain yang relevan dengan permasalahan, ajaran-ajaran para ahli hukum dan hasil-hasil pertemuan internasional yang membahas tentang pembersihan etnis atau tanggung jawab negara. c) Fakta dan peristiwa mengenai pembersihan etnis yang terjadi c. Jalannya penelitian 1. Cara pengumpulan
30
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka yang dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: 59 a) Penentuan sumber data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi. b) Identifikasi data sekunder yang diperlukan, yang terdiri dari : 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang menjadi sumber utama dan mempunyai kekuatan mengikat, terdiri dari: a) Konvensi-Konvesi Jenewa tahun 1949 dan Commentary; b) Protokol-Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1977 dan Commentary c) Universal Declaration of Human Rights; d) United Nations Convention On The Prevention And Punishment Of The Crime Of The Genocide; e) Statuta Mahkamah Internasional, Statuta International Criminal Court, Statuta International Criminal Tribunal For The Former
Yugoslavia, Statuta International
Criminal Tribunal For Rwanda; dan f) Perundang-undangan lain yang relevan. 2) Bahan
Hukum
Sekunder,
yaitu
bahan
hukum
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer:
59
Abdulkadir Muhammad, ibid, hlm. 125
yang
31
a) Buku-buku yang membahas tentang tanggung jawab negara, hak asasi manusia internasional, kejahatan perang, dan genosida serta metodologi penelitian hukum; b) Karya-karya ilmiah yang terhimpun dalam jurnal hukum; c) Berbagai surat kabar dan majalah; dan d) Media website di internet. 3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari: a) Kamus hukum; b) Kamus bahasa Inggris-Indonesia; dan c) Kamus besar Bahasa Indonesia. c) Inventarisasi data sekunder yang relevan dengan rumusan masalah dengan cara pengutipan dan pencatatan. d) Pengkajian data sekunder yang terkumpul untuk menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah. 2. Alat penelitan Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, penelitian dilakukan dengan cara melakukan studi pustaka60 untuk mendapatkan gambaran secara umum mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan. 3. Lokasi penelitian
60
Abdulkadir Muhammad,ibid, hlm. 81: “Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.“
32
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan studi dokumen, yakni mempelajari dan mengkaji bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan, yang dilakukan di: a) Perpustakaan International Committee of the Red Cross ( ICRC ) Delegasi Indonesia, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti ( terAs ), Centre for Strategic and International Studies ( CSIS ), Kedutaan Besar BosniaHerzegovina di Jakarta b) Perpustakaan-perpustakaan yang terletak di Yogyakarta d. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yang artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis dan tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.61 Dalam menyusun dan menganalisis data, digunakan cara berfikir deduksi dan induksi yaitu: 1. Cara berfikir secara deduksi adalah cara berfikir yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. 2. Cara berfikir secara induksi adalah cara berfikir yang bersifat khusus kemudian diterapkan pada hal-hal yang bersifat umum. 3. Setelah data dianalisis dengan menggunakan cara berfikir secara induksi, kemudian diambil kesimpulan dengan membandingkan
61
Abdulkadir Muhammad,ibid, hlm. 127
33
antara ketentuan perjanjian internasional yang satu dengan ketentuan perjanjian internasional yang lain atau fakta yang satu dengan fakta yang lain. Perjanjian internasional yang terkumpul akan ditafsirkan menggunakan prinsip-prinsip umum tentang penafsiran yaitu,62 1. Gramatical interpretation and the intention of the parties Yaitu analisis kata-kata atau susunan kata-kata yang harus diartikan sesuai dengan artinya yang biasa dan wajar, kemudian dilanjutkan dengan menganalisis maksud para pihak saat instrumen dibuat 2. Object and context of treaty Apabila
terdapat
kata-kata
atau
susunan
kata-kata
yang
meragukan, konstruksinya harus dikaitkan dengan tujuan kejadian tersebut. Hal ini dilakukan dengan hanya mempelajari bagian-bagian tertentu dari kata-kata atau susunan kata-kata yang meragukan itu 3. Reasonableness and consistency Bahwa perjanjian harus ditafsirkan dengan mengutamakan arti yang wajar dari kata-kata dan kalimat dengan memperhatikan keselarasan dengan bagian-bagian yang lainnya dari perjanjian tersebut. 4. The Principle of Effectiveness
62
Lihat Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 116-117
34
Apabila perjanjian harus ditafsirkan secara keseluruhan yang akan menjadikan perjanjian itu paling efektif dan bermanfaat. 5. Resource to Extrinsic Materials Penggunaan bahan-bahan ekstrinsik, apabila dalam melakukan penafsiran dibatasi pada isi perjanjian tersebut atau pada apa yang tercantum dalam perjanjian itu.