BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya yang sangat rumit. Kerumitan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang majemuk secara etnis dan budaya. Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku serta berbagai etnis yang menetap dengan budayanya
masing-masing.
Kesadaran
masyarakat
dengan
berbagai
keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah masyarakat multikultural. Masyarakat multikultural dipandang sebagai
masyarakat
yang memiliki
kesederajatan dalam bertindak di negara meski berbeda suku bangsa, etnis, ras, maupun agama. Dengan begitu masyarakat multikultural seharusnya sangat menekankan penghormatan dan penghargaan terhadap kelompok minoritas yang menetap pada suatu negara. Namun, pada kenyataannya kelompok minoritas masih banyak yang mendapat diskriminasi dan terasing di negara yang telah lama ditinggali selama bertahun-tahun. Masyarakat modern semakin sering dihadapkan pada kelompok minoritas yang menuntut pengakuan atas identitas dan diterimanya perbedaan budaya mereka. Di sisi lain, mayoritas dapat menjadi suatu ancaman bagi kelompok minoritas terutama apabila tidak terdapat toleransi antara kelompok mayoritas dengan minoritas. Di Indonesia, berbagai masalah diskriminasi terhadap kelompok minoritas dalam berbagai bidang masih sering terjadi. Padahal,
1
2
Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang merupakan suatu konsepsi ideal dari multikulturalisme. Undang-Undang No.40 tahun 2008 tentang pengahapusan diskriminasi ras dan etnis nampaknya juga belum sepenuhnya dipahami warga negara Indonesia untuk memahami keanekaragaman etnis dan budaya yang ada di Indonesia. Salah satu kelompok minoritas yang mendiami Indonesia adalah etnis Cina di Kota Semarang. Kota Semarang merupakan salah satu kota di Indonesia yang dikenal multi etnis. Penduduk Kota Semarang pada umumnya adalah suku Jawa dan sebagian lainnya merupakan etnis Cina, Arab dan India. Etnis Cina di Semarang merupakan kelompok minoritas dengan jumlah terbanyak serta memiliki komunitas yang besar dan cukup aktif dalam berbagai kegiatan di Semarang, misalnya kegiatan Pasar Semawis. Etnis Cina di Semarang tersebar hampir di seluruh wilayah kota Semarang, tetapi sebagian tinggal dan mencari nafkah di kawasan Pecinan. Menurut pengakuan Haryanto Halim selaku Ketua Komunitas Tionghoa Semarang, dari sekitar 1,4 juta jumlah penduduk Kota Semarang, terdapat sekitar 225.000 etnis Cina (Semarang gears up for Chinese New Year; The Jakarta Post: 2 Juni 2010). Sejarah etnis Cina di Semarang dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Belanda ketika itu menerapkan kebijakan Wijkenstelsel, yaitu aturan yang menetapkan pemisahan pemukiman antara orang Tionghoa dan pribumi. Pemukiman orang Cina kini dikenal dengan sebutan Pecinan Semarang (Ananda Astrid dan Anastasia Dwirahmi, 2013:1). Kebijakan ini dibuat agar pemerintah Belanda mudah untuk mengawasi berbagai kegiatan yang dilakukan orang Cina
3
pada waktu itu. Istilah Cina sebenarnya merupakan “hukuman” yang diberikan oleh pemerintahan Orde Baru untuk menggantikan sebutan Tionghoa, karena orang-orang Tionghoa di Indonesia dianggap sebagai agen pemerintah Cina yang turut mendukung pemberontakan PKI tahun 1965. Pada masa Orde Baru masalah yang hadir bukan hanya mengenai masalah identitas kebangsaan masyarakat Tionghoa, namun juga masalah politik, ekonomi dan kebudayaannya yang berkembang di Indonesia. Keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No 14 Tahun 1967 yang menyatakan adat istiadat orang Cina dilarang dipertontonkan di depan umum, membuat etnis Cina seperti kehilangan identitas serta tidak bebas melestarikan budaya leluhurnya di Indonesia termasuk di Kota Semarang. Tidak hanya itu, pelestarian budaya leluhur orang Cina dikhawatirkan oleh pemerintah akan mengganggu proses program asimilasi yang dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru. Pemerintah Orde Baru pada masa itu, mengasumsikan semua budaya Cina dan agama tradisional Cina dianggap dapat menjembatani masuknya paham Komunis dari Cina dan mengekalkan paham komunis yang sudah terlanjur masuk ke Indonesia pada masa itu (Prof. Dr. M Ikhsan Tanggok, 2008: sumber internet). Kebijakan asimilasi ditunjukkan untuk mengasimilasi dan menyerap etnis Cina ke dalam Penduduk Indonesia. Kebijakan asimilasi ini meliputi penggunaan bahasa Indonesia terhadap nama-nama orang etnis Cina di Indonesia, dalam hal pendidikan mengenai anak-anak etnis Cina yang berkewarganegaraan Indonesia untuk masuk sekolah Indonesia, penghapusan sekolah-sekolah Cina, tidak hanya itu semua tampilan budaya Cina, termasuk arsitektur tidak boleh dipertunjukkan
4
di depan umum. Oleh sebab itu, gerbang-gerbang tembok benteng rumah Cina di di pesisir utara Jawa harus dihilangkan. Pada tahun 1980-an masyarakat Cina di Semarang diperintahkan untuk menghancurkan pailou (gerbang kota atau gerbang pemukiman Cina) kompleks Klenteng Sam Po Kong. Rumah-rumah di Pecinan harus direnovasi, dan masyarakat Cina yang terkena proyek pelebaran jalan harus membuat fasad baru tanpa sentuhan ornamen Cina. Hal itu bertujuan untuk pemberantasan arsitekstur dan penghapusan sejarah Cina di Semarang (Peter J.M. Nas, 2009: 94-95). Sejak Abdurrahman Wahid berkuasa, Inpres No 14 Tahun 1967 dihapus dan digantikan dengan Keppres No. 6 Tahun 2000 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Atas dasar itu, adat istiadat dan kebudayaan etnis Cina di Indonesia tidak lagi mendapat diskriminasi oleh pemerintah, begitu juga di Kota Semarang. Kebudayaan Cina seperti barongsai, liong, wayang potehi yang dahulunya tidak boleh dipertunjukkan, saat ini diperbolehkan tampil di muka umum. Tidak hanya itu, agama Kong Hu Cu telah diakui di Indonesia dan tahun baru Imlek dijadikan sebagai hari libur nasional. Sejak saat itu, etnis Cina di Semarang mulai menunjukkan identitas etnisnya. Diskriminasi terhadap etnis Cina di Semarang tidak dapat dianggap selesai begitu saja. Perjuangan mengikis diskriminasi terhadap etnis Cina belum maksimal dalam pelaksanaannya, masalah yang sampai saat ini masih menjadi bahasan misalnya masalah pengurusan SBKRI yang menempatkan posisi orang Cina sebagai orang asing, walaupun orang Cina tersebut berstatus WNI, masalah penerimaan dan kenaikan pangkat etnis Cina di jajaran pegawai negeri sipil, dilarangnya etnis Cina menjadi bagian
5
dari TNI dan Polri, dan juga kedudukan etnis Cina dalam bidang politik dan hukum. Salah satu tokoh yang membahas mengenai hak minoritas dalam masyarakat multikultural adalah Will Kymlicka. Kymlicka merupakan seorang pemikir kontemporer dalam bidang multikulturalisme yang masih hidup hingga saat ini. Bukunya yang berjudul Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Right merupakan sebuah bukti filosofis yang memaparkan suatu laporan teoritis yang mendalam tentang cara-cara mengatasi masalah kewarganegaraan dalam suatu masyarakat multikultural, selain itu Kymlicka mengemukakan dengan cermat mengenai teori hak-hak minoritas. Kymlicka menguraikan pendekatan baru terhadap masalah-masalah minoritas yang sering terjadi pada zaman kontemporer saat ini. Tujuannya adalah melihat ke belakang dan menyajikan pandangan yang lebih umum dari masalah yang terjadi serta mengidentifikasi konsep dan prinsip kunci yang perlu diperhatikan, dengan demikian memperjelas dasar fondasi untuk pendekatan terhadap hak-hak minoritas. Kymlicka kurang setuju dengan berbagai kebijakan pemerintah yang menyudutkan kelompok minoritas, seperti genosida, asimilasi, minoritas diperlakukan sebagai musuh yang menetap, tidak memiliki hak-hak berpolitik, demi tercapainya suatu negara homogen yang ideal (Will Kymlicka, 2011: 2-3). Menurutnya pada zaman modern saat ini negara tidak lagi bisa membanggakan ke-homogenitas-an budayanya, negara saat ini menjadi semakin multikultur. Berangkat dari isu-isu yang menyudutkan kelompok minoritas, Kymlicka secara
6
khusus dan runut menjelaskan tentang hak minoritas bagi kelompok minoritas. Menurutnya, dengan adanya hak minoritas akan ada harapan perdamaian yang stabil serta hak dasar manusia akan dihormati. Dipilihnya etnis Cina di Kota Semarang karena sejauh pengamatan penulis antara masyarakat pribumi dengan kelompok etnis Cina di Kota Semarang pada saat sekarang ini jarang terjadi konflik multikultur walaupun sejarah diskriminasi terhadap etnis Cina sangat terlihat pada masa lalu. Penggunaan istilah Cina sendiri karena masyarakat Indonesia khususnya di Kota Semarang lebih familiar dengan sebutan Cina daripada Tionghoa. Penulis juga telah menanyakan kepada beberapa orang Cina bahwa pada umumnya etnis Cina tidak merasa keberatan dengan sebutan Cina itu sendiri. Penulis akan meneliti bagaimana penjaminan hak sipil di Kota Semarang dengan melihat hubungan antara pribumi dengan kelompok etnis Cina di Kota Semarang pada saat sekarang ini, kemudian melihat apakah masyarakat mayoritas (pribumi) hidup bersama berdampingan etnis Cina dengan menghargai hak minoritas khususnya hak sipil etnis Cina atau tidak adanya konflik tersebut dikarenakan sikap acuh dengan memendam sentimen dan tetap mendiskriminasi antara satu dengan yang lainnya, lalu, penulis juga akan merumuskan hak-hak minoritas yang ada pada kelompok etnis Cina di Kota Semarang dari sudut pandang Will Kymlicka. Melalui penelitian ini, penulis akan meneliti hak minoritas etnis Cina di Kota Semarang ditinjau dari perspektif multikulturalisme Will Kymlicka.
7
1. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan latar belakang, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana penjaminan hak sipil etnis Cina di Kota Semarang ? b. Apa yang dimaksud sebagai hak minoritas dalam masyarakat multikultural menurut perspektif multikulturalisme Will Kymlicka ? c. Bagaimana hak minoritas pada etnis Cina di Kota Semarang jika ditinjau dari perspektif multikulturalisme Will Kymlicka ? 2. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran dan pengamatan mengenai karya-karya ilmiah di lingkungan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan buku yang beredar, penulis menemukan karya terkait dengan hak minoritas dalam masyarakat multikultural ditinjau dari perspektif Will Kymlicka, yaitu: a. Choiriyah, Zulfatul, 2014, skripsi: Konflik Etnis Cina di Indonesia Dalam Tinjauan Teori Tindakan Komunikatif Jurgen Habermas, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. b. Effendi, Wahyu (Tjoa Jiu Tie) dan Prasetyadji, 2008, Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI, Jakarta: Visimedia c. Onghokham, September 1989, artikel Jurnal Southeast Asian Studies Vol.27 No.2: Chinese Capitalism in Dutch Java.
8
d. Panuluh, Dyah Sekar Sri, 2014, skripsi: Hak Minoritas Dalam Masyarakat Multikultural Menurut Will Kymlicka, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. e. Prasetyo, Soni Sangkan, 1987, skripsi: Peranan Filsafat Cina Dalam Kehidupan Orang Tionghoa Di Indonesia, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. f. Purdey, Jemma, 2005, Anti-Chinese Violence and Transitions in Indonesia: June 1998-October 1999. Dalam Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting, editor Tim Lindsey dan Helen Pausacker. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore g. Supartiningsih, April 2007, artikel Jurnal Ilmiah “Wisdom” Vol.17 No.1: Etika Diskursus bagi Masyarakat Multikultural: Sebuah Analisis dalam perspektif Pemikiran Jurgen Habermas h. Suryadinata, Leo, 2010, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia Sebuah Bunga Rampai 1965-2008, Kompas Media Nusantara, Jakarta i. Taufiqurrahman, Muhammad, 2008, skripsi: Multikulturalisme: Kajian Konflik Identitas (Telaah Pierre Bourdieu dan Theodore W.Ardono), Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. 3. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Bagi penelitian
9
Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi pemantik bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti masalah multikulturalisme yang sering terjadi khususnya di Indonesia guna membuka wawasan bagi WNI supaya menekankan penghormatan dan penghargaan terhadap hak minoritas. b. Bagi ilmu pengetahuan dan filsafat Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman tentang makna multikulturalisme utamanya mengenai hak minoritas yang seharusnya di berikan secara sukarela kepada kelompok minoritas. Di samping itu, penelitian ini diharapkan mampu menguraikan pemikiran dari Will Kymlicka mengenai hak minoritas untuk mengatasi masalah kelompok minoritas yang terjadi dalam masyarakat multikultur. c. Bagi masyarakat Penulis berharap penelitian ini mampu memberikan pandangan kepada kelompok mayoritas yang tinggal di negara multikultur agar membuka diri dan tidak bertindak diskriminatif terhadap kelompok minoritas dengan adanya hakhak minoritas seperti dalam pandangan Will Kymlicka. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan yang dikemukakan dalam rumusan masalah, yaitu: 1. Menjelaskan penjaminan hak sipil etnis Cina yang ada di Kota Semarang.
10
2. Memaparkan secara rinci dan jelas mengenai hak minoritas dalam masyarakat multikultural menurut Will Kymlicka. 3. Menganalisis dan merumuskan hak minoritas pada kelompok etnis Cina di Kota Semarang dalam perspektif multikulturalisme Will Kymlicka. C. Tinjauan Pustaka Diskriminasi terhadap etnis Cina dimulai semenjak terjadi bentrokan antara etnis Cina dengan pemerintah Belanda dalam peristiwa Chinese Massacre di Batavia tahun 1740. Etnis Cina pada saat itu diharuskan bertempat tinggal di suatu lingkungan tempat tinggal tersendiri yang terpisah dari lingkungan tempat tinggal pribumi, selanjutnya dikenal dengan istilah Pecinan. Pemerintah Belanda pada tahun 1830 secara ketat menerapkan sistim zoning kepada orang Cina yang disebut wijkenstelsel. Wijkenstelsel adalah peraturan yang mengharuskan etnis Cina tinggal di Pecinan yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak dan interaksi antara etnis Cina dengan pribumi (Onghokham, 1989:158). Diskriminasi lain terjadi saat etnis Cina selalu diberlakukan berbeda dengan pribumi pada saat pemerintahan Belanda. Thung Ju Lan (2011:199) mengatakan etnis Cina sebagai “foreign subject”. Secara hirarki legal, kedudukan orang Cina sebagai foreign orientals seperti menguntungkan, tetapi jika ditelaah kembali pembagian golongan tersebut, menurut Thung Ju Lan jelas politik identitas yang dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda menempatkan orang Cina sebagai “foreign subject” yang berseberangan dengan penduduk pribumi atau “inlander”. Artinya, tidak saja orang Cina mempunyai sejarah asal-usul yang
11
berbeda dengan warga pribumi, tetapi juga bahwa secara hukum legal ada hak-hak dan kewajiban yang berbeda di antara keduanya. Diskriminasi terhadap etnis Cina terus berlanjut ketika pemerintahan Orde Baru, masalah yang terjadi mengenai persoalan kewarganegaraan etnis Cina di Indonesia. Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail (2011: 214-215) mengatakan persoalan kewarganegaraan menjadi suatu hal yang sulit dan menyulitkan bagi warga Cina-Indonesia, dan persoalan tersebut cenderung berputar-putar dalam kotak
yang
disebut
kewarganegaraan
etnis
“diskriminasi Cina
rasial”.
ditandai
Pada
dengan
zaman
Orde
Baru,
dokumen
Surat
Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang harus dibawa kemana-mana apabila sedang bepergian atau jika ingin keluar dari wilayah etnis Cina tersebut. Martin dan Fadjar menyimpulkan kebangsaan Indonesia seharusnya tidak hanya diukur melalui sepotong dokumen, namun harus dilakukan dekonstruksi terhadap “konsep kewarganegaraan Indonesia” agar etnis Cina secara ideologis tidak lagi ditempatkan dalam hubungan insider-out-sider atau bumiputera-non bumiputera. Sejarah diskriminasi yang begitu terlihat tidak mudah dihapus begitu saja pada saat sekarang ini. Etnis Cina sampai saat ini masih mengalami “kegamangan status” sebagai warga negara Indonesia walaupun sudah mendiami Indonesia puluhan tahun lamanya. Etnis Cina masih mendapat perlakuan sebagai “subjek legal” yang “tidak setara” dengan warga negara Indonesia lainnya. Diskriminasi di bidang hukum yang dialami etnis Cina-Indonesia menjelaskan walaupun di mata hukum etnis Cina memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya, namun pada kenyataannya etnis Cina cenderung dipersepsikan dan
12
diperlakukan secara berbeda dari warga negara Indonesia lainnya. Hal ini dapat dilihat dari aturan wijkenstelsel yang sudah tidak berlaku saat ini namun masih terjadi pengkotakan tempat tinggal, selain itu, dari segi pendidikan orang Cina juga cenderung memilih bersekolah di sekolah khusus Cina, belum lagi dibidang hukum dan politik yang masih menempatkan etnis Cina sebagai “orang lain” di Indonesia (Wahyu Effendi dan Prasetyadji, 2008:9). Penduduk asli Indonesia masih menyimpan prasangka yang kuat terhadap etnis Cina dan belum siap menganggap etnis Cina sebagai “orang sendiri”. Perkembangan seperti ini akan membawa dampak terhadap status etnis Cina di masa mendatang. Dalam kenyataanya, konsep penduduk asli masih sangat kuat dan doktrin tersebut dapat menjadi penghambat kesatuan nasional. Untuk menggarisbawahi konsep penduduk asli, slogan Indonesia menurutnya bukan bhineka tunggal ika lagi, tetapi hanya bhineka (keragaman), yang dapat menyebabkan disintegrasi Indonesia (Leo Suryadinata, 2010: 231). Besarnya heterogenitas budaya yang ada di Indonesia menjadi sebuah boomerang dan juga menjadi ancaman timbulnya perpecahan serta konflik karena perbedaan yang ada. Multikulturalisme dapat membawa semangat toleransi dan penghargaan terhadap sebuah pebedaan. Multikulturalisme dan komitmennya tentang keragaman budaya memunculkan sejarah panjang tentang perlawanan terhadap kekerasan. Multikulturalisme sebagai sebuah kritik dan perlawanan terhadap budaya tunggal (monokultural) (Muhammad Taufiqurrahman, 2008:72).
13
Di dalam masyarakat multikultural, setiap kelompok memiliki adat kebiasaan, cita-cita, dan nilai hidup yang berbeda. Hal yang relevan bagi multikulturalisme keanekaragaman
adalah budaya
kewajiban atau
untuk
hak-hak
menghormati
untuk
berbeda
hak-hak secara
atas
budaya.
Multikulturalisme dengan demikian memproklamasikan emansipasi budayabudaya kecing yang masing-masing hak hidup yang wajib dihormati. Pada tingkat praktis, multikulturalisme juga menunjuk kemungkinan “penyesuaian budaya” atau
“dialog
budaya”
dalam
pengalaman
individu
maupun
kelompok
(Supartiningsih, 2007:17). Solusi yang dihadirkan untuk menghilangkan diskriminasi dan konflik antara etnis Cina dan pribumi menurut Zulfatul Choiriyah dalam skripsi yang berjudul Konflik etnis Cina di Indonesia dalam Tinjauan Teori Tindakan Komunikatif Jurgen Habermas dengan menggunakan teori komunikasi dari Jurgen Habermas. Zulfatul mengatakan pada awalnya hubungan antara etnis Cina dan pribumi berjalan harmonis, menjadi tidak harmonis sejak penjajahan Belanda yang menerapkan politik pecah belah. Konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan menggunakan teori tindakan komunikatif Jurgen Habermas, namun menurut Zulfatul hubungan harmonis antara etnis Cina dan pribumi hanya ada di permukaan, sentiment-sentimen negatif yang menandai kemungkinan munculnya konflik tetap tumbuh subur di masyarakat.
14
D. Landasan Teori Alan Brown (1986:11) menyatakan bahwa filsafat politik ada sejak manusia menyadari dirinya dapat hidup satu sama lain dengan cara yang lebih bermanfaat. Artinya kerjasama di antara manusia sangat dimungkinkan, dan usaha menata kehidupan bersama yang ideal melalui rasionalitas mulai dikembangkan. Manusia menyadari bahwa berbagai pilihan terbuka untuk mengatur dan mengembangkan kehidupan bersama, meskipun tidak selalu jelas mana di antara pilihan itu yang dianggap paling baik. Filsafat politik bukan sekedar hasil refleksi pasif atau mirror images tentang masyarakat. Hal ini dikarenakan sebelum manusia mulai berfilsafat tentang masyarakat, institusi politik dan substansi dari subject matter filsafat politik sebagian besar ditentukan oleh praktek-praktek yang ada di masyarakat. Menurutnya filsafat politik selalu mengandung aspek aktif dan kreatif, yang terpisah
atau
berbeda
dengan
keadaan
yang
sedang
berlaku,
dan
mengimplikasikan adanya kritik terhadap keadaan yang ada pada saat ini (Sheldon S.Wolin, 2004:7). Hal ini tentunya berlaku pada masyarakat multikultur yang rawan masalah-masalah sosial. Parsudi Suparlan (2002:1) dalam penelusuran terminologisnya terhadap Brian Fay (1996), Jary and Jary (1991) serta C.W. Watson (2000), mengartikan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, suatu masyarakat dilihat sebagai hal yang
15
mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik itu tercakup semua kebudayaan dari masyarakat yang lebih kecil yang kemudian membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar (Supartiningsih, 2008:2). Lawrence Blum berpendapat bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis lain. Multikulturalisme meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya (Andre Ata Ujan Ph.D, dkk, 2011:14). Dengan begitu masyarakat multikultural sangat menekankan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak minoritas baik dari segi etnis, agama, ras dan warna kulit. Josep J. Darmawan (2005:168) dalam buku Multikulturalisme Membangun Harmoni Masyarakat Plural, multikulturalisme merupakan suatu upaya untuk mendorong lahirnya kebijakan baru dalam mengatur kedudukan kelompokkelompok kultural minoritas dalam hubungannya dengan kultur dominan atau mayoritas. Josep sependapat dengan Kymlicka, menurutnya dasar politis dari multikulturalisme adalah semua warganegara memiliki kesetaraan dan kedudukan yang sama. Multikulturalisme menjadi a politics of recognition of the citizenship rights and cultural identities, yang memastikan semua warga negara mempunyai hak untuk memelihara identitas kulturalnya, dalam bahasa Kymlicka disebut dengan hak-hak minoritas.
16
Hak minoritas dalam perspektif Will Kymlicka diharapkan dapat mengakomodasi perbedaan agar tercipta suatu kesetaraan. Kesetaraan yang sebenarnya mensyaratkan hak-hak yang sama bagi setiap individu tanpa memandang ras atau etnisitas. Kesetaraan yang benar bukan sebuah perlakuan yang sama, melainkan perlakuan yg berbeda untuk mengakomodasi kebutuhan yang berbeda. Hal ini mirip seperti prinsip keadilan (Widy Nugroho, hand out 2013). Kymlicka membagi jaminan hak-hak minoritas ke dalam tiga bentuk hak spesifik. Pertama, hak atas pemerintahan sendiri, yaitu pengalihan kekuasaan politik kepada unit politik yang secara substansial dikuasai anggota minotitas bangsa dan secara substansial sesuai dengan tanah air atau wilayah historisnya. Kedua, hak-hak polietnis, yaitu tuntutan untuk menyatakan secara bebas kekhasan etnis tanpa takut adanya prasangka atau diskriminasi dalam masyarakat dominan. Ketiga, hak perwakilan khusus, hak ini ada karena keprihatinan terhadap proses politik yang kurang mewakili “keragaman” yang ada. Keragaman yang dimaksud bukan hanya minoritas bangsa dan kelompok etnis tetapi kelompok sosial non etnis yang lain. Ketiga hak ini dapat tumpang tindih karena terdapat kelompok yang menuntut lebih dari satu hak. Padahal pemenuhan hak tidak bisa diberikan secara bersama-sama (Widy Nugroho, hand out 2013). E. Metode Penelitian 1.
Bahan dan Materi Penelitian
17
Bahan penelitian dalam penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dengan menggunakan model penelitian sistematis-refleksif yang mengacu pada buku Metodologi Penelitian Filsafat karangan Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1994), yaitu penelitian yang membahas salah satu pokok dalam kehidupan manusia yang merupakan fenomena cukup sentral, dalam hal ini penulis mengambil permasalahan multikultural pada etnis Cina di Kota Semarang. Bahan dan materi yang ada akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian, kemudian diklasifikasikan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data Primer i.
Kymlicka, Will, 2011, Kewargaan Multikultural, LP3S: Jakarta (judul asli Multikultural citizenship: a liberal theory of minority right, 1995, Oxford University: New York)
b. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini berupa buku, tulisan, artikel, jurnal atau makalah, baik yang terkait dengan hak minoritas dalam masyarakat multikultural dalam perspektif Will Kymlicka maupun yang terkait dengan etnis Cina di Semarang. Data sekunder tersebut antara lain: i.
Adrianne, Ananda Astrid dan Dwirahmi, Anastasia, 2013, Pecinan Semarang, PT. Gramedia: Jakarta
ii.
Darmawan, Josep J., 2005,
Multikulturalisme Membangun
Harmoni Masyarakat Plural, Universitas atma jaya: Jogjakarta
18
iii.
Joe, Liem Thian, 2004, Riwayat Semarang, Hasta Wahana: Jakarta
iv.
Ramstedt, Martin dan Thufail, Fadjar Ibnu, 2011, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru, Grasindo:Jakarta
v.
Ujan Ph.D, Andre Ata, dkk, 2011, Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan, Indeks: Jakarta
2.
Langkah-langkah Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Pengumpulan data kepustakaan, yaitu mengumpulkan literatur yang berkaitan dengan tema penelitian. b. Pengolahan data, yaitu mengelompokkan data yang diperlukan, kemudian melakukan analisis terhadap data yang terkumpul. c. Penyusunan
hasil
penelitian,
yaitu
membuat
hasil
penelitian
berdasarkan data yang diperoleh melalui kedua tahap sebelumnya secara sistematis dan analitis. 3. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini mengacu pada buku Metodologi Penelitian Filsafat karangan Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1994), dengan menggunakan unsur-unsur metodis sebagai berikut:
19
a. Interpretasi
: memahami dan menerjemahkan setiap isi dari
data-data yang telah ditemukan yaitu mengenai kelompok etnis Cina di Kota Semarang dan hak minoritas dalam perspektif multikulturalisme Will Kymlicka, kemudian dapat menguraikan maknanya secara objektif. b. Koherensi Intern
: usaha mencari hubungan antara hak minoritas pada
kelompok etnis Cina di Kota Semarang dengan multikulturalisme Will Kymlicka, sehingga dapat memberikan interpretasi yang tepat mengenai pikiran Will Kymlicka mengenai konsep hak minoritas dalam masyarakat multikultural serta dapat melihat keselarasannya dengan kelompok etnis Cina di Kota Semarang. c. Deskripsi
: menguraikan secara teratur seluruh konsepsi
multikulturalisme Will Kymlicka mengenai hak minoritas serta kondisi kelompok etnis Cina di Kota Semarang. d. Holistika
: memahami konsepsi filosofis seorang Will
Kymlicka mengenai hak minoritas dalam masyarakat multikultural dengan benar, lalu melihat keseluruhan visinya, kemudian dihubungkan dengan kelompok etnis Cina di Kota Semarang. F. Hasil yang Telah Dicapai 1. Menjabarkan hak sipil serta hubungan masyarakat Cina dengan pribumi di Kota Semarang pada masa sekarang ini.
20
2. Memaparkan konsep hak minoritas dalam masyarakat multikultural dalam perspektif multikulturalisme Will Kymlicka secara jelas dan teratur. 3. Menganalisis hak minoritas pada kelompok etnis Cina di Kota Semarang dalam perspektif multikulturalisme Will Kymlicka. G. Sistematika Penulisan Penulisan dari penelitian ini terdiri dari lima bab, dengan perincian masing-masing sebagai berikut: BAB I berisi latar belakang masalah dilakukannya penelitian, rumusan masalah yang hendak dijawab, keaslian penelitian, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang diperoleh, serta sistematika penulisan. BAB II berisi tentang uraian pengertian hak sipil, sejarah masuknya etnis Cina di Kota Semarang, hubungan masyarakat Cina dengan pribumi pada masa sekarang ini, serta hak sipil etnis Cina di Kota Semarang. BAB III berisi tentang riwayat hidup, karya-karya Will Kymlicka, multikulturalisme dalam perspektif Kymlicka, serta konsep hak minoritas dalam perspektif multikulturalisme Will Kymlicka. BAB IV berisi analisis kritis tentang hak minoritas etnis Cina di Kota Semarang dalam perspektif multikulturalisme Will Kymlicka.
21
BAB V berisi kesimpulan yang merupakan ringkasan dari bab-bab sebelumnya serta saran dari penulis sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya.