BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia
merupakan
bangsa
yang
(Nasikun,2006:39-40). Secara budaya
masyarakatnya
sangat
majemuk
masyarakat Indonesia terdiri dari
bermacam-macam suku/etnis, ras, agama dan bahasa. Secara sosial terdiri dari berbagai kelas sosial, status, kekuasaan, lembaga dan sebagainya. Apabila dilihat dari sisi agama masyarakat Indonesia menganut agama yang berbeda yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan kepercayaan lainnya. Sedangkan secara etnis Indonesia memiliki 350 kelompok etnis, adat istiadat dan cara-cara hidup sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu(Usman,1988:13). Cara hidup setiap masyarakat berbeda sesuai dengan kondisi lingkungannya. Bangsa Indonesia yang merupakan Negara kepulauan, memiliki sekitar 13.466 pulau, mengakibatkan setiap daerah terpisah-pisah sehingga setiap daerah memiliki cara hidup dan budaya yang berbeda (Timnas PNR). Bahkan masyarakat yang berada dalam satu daerahpun masih memiliki perbedaan baik rasional, bahasa, status ekonomi dll.Hal ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara multikultur terbesar di dunia (Yaqin, 2005:3). Bangsa Indonesia sebagai Negara multikultur (multi budaya) bagai dua mata koin, memiliki dua sisi yang berbeda.Multikultur memberikan dampak positif dan multikultur berdampak negatif.Multikultur bangsa Indonesia merupakan suatu ciri
1
khas bangsa.Memiliki beraneka ragam bahasa, budaya, lagu daerah, pakaian adat merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia. Hal ini merupakan suatu kekayaan bangsa dan anugerah Tuhan . Namun disisi lain multikultur bangsa Indonesia menimbulkan dampak negatif. Perbedaan dalam masyarakat multikultur seperti perbedaan bahasa, agama, budaya , suku dan sosial ekonomi terkadang mengakibatkan konflik. Kemajemukan merupakan salah satu faktor terjadinya konflik antar kelompok masyarakat (Mahfud, 2011:185). Banyak bukti konflik terjadi di Negara ini karena perbedaan simbol budaya, agama, ideologi, rasionalitas dan kelas sosial.Salah satu konflik yang terjadi adalah konflik antara warga Dayak dan Madura di Sampit dan Konflik yang terjadi di Poso.Konflik terjadi karena tidak biasa memahami perbedaan, masih terdapat anggapan bahwa identitas individu atau kelompoklah yang terbaik. Menurut Bhikhu Parekh masih banyak pandangan- pandangan “konservatif” (pandangan bahwa cara hidup kitalah yang paling benar (Budiman, 2007:28). Pandangan konservatif mengakibatkan muncul istilah liyan atau yang lain. Mereka yang tidak memiliki ideologi/ identitas yang sama merupakan orang lain atau lawan. Anggapan ini dapat memantik terjadinya konflik. Pada kenyataannya, dalam suatu masyarakat perbedaan adalah realita.Hal ini sudah disadari oleh pendiri bangsa Indonesia, terbukti dengan adanya semboyan Bhinekat Tunggal Ika.Semboyan ini menyadarkan dan meyakinkan kita bahwa senyatanya bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultur.Individu tinggal dalam masyarakat yang beragam.Setiap individu membawa masing-masing ciri khas dan latar belakang.Perbedaan dalam masyarakat yang beranekaragam 2
merupakan
hal
yang
wajar
seharusnya
tidak
perlu
menjadi
konflik
horizontal.Perlu adanya perspektif multikulturalisme untuk merangkul bangsa Indonesia yang majemuk agar individu terbiasa dengan keberagaman, tercipta keadilan sosial dan tidak menjadikan perbedaan sebagai sebuah masalah melainkan sebagai anugerah Tuhan. Multikulturalisme merupakan upaya untuk memahami lebih adil perbedaanperbedaan
di
masyarakat
karena
variasi
agama,
ras,
etnis
dan
bahasa(Budiman,2007:29). Multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, ras, suku, etnis, agama, dan lain sebagainya(Mahfud,2006:xx). Multikulturalisme menekankan kesetaraan dan kesederajatan pada setiap budaya, mendapatkan hak dan keadilan yang setara di ruang publik. Namun walaupun menekankan kesetaraan multikulturalisme bukan seperti asimilasi yang menghilangkan perbedaan. Multikulturalisme mempertahankan perbedaan masing-masing budaya dan memberikan peluang yang sama sehingga setiap budaya memiliki identitasnya masing-masing namun tetap hidup berdampingan, menghargai dan memahami budaya lain. Multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena merupakan landasan bagi
tegaknya
demokrasi,
HAM
dan
kesejahteraan
masyarakat(Mahfud,2006:100). Ideologi multikulturalisme perlu ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari.
3
Butuh proses untuk memahami dan mensosialisasikan mengenai paradigma multikulturalisme, sosialisasi dan penanaman nilai-nilai budaya mengenai multikulturalisme tidak bisa hanya dilakukan beberapa kali butuh sosialisasi dalam
kurun
waktu
yang
panjang.
Penanaman
mengenai
nilai-nilai
multikulturalisme seperti keadilan social dan kemanusiaan harus membudaya ke dalam diri manusia, tidak bisa dilakukan dengan langkah yang singkat sebab mencangkup penanaman nilai-nilai ke dalam pemahaman seseorang. Salah satu cara menanamkan nilai-nilai multikultur adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan proses pembudayaan. Maka dari itu pendidikan merupakan sarana dan instrumen penting dan efektif guna menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat akan kemajemukan, baik melalui
pendidikan
formal,
informal
ataupun
nonformal
(Arifin,Alwajih&Urfan,2010:26). Sosialisasi mengenai nilai-nilai multikultur dapat dilakukan salah satunya melalui pendidikan multikultural. Pendidikan multikulural adalah pendidikan yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi (Naim&Sauqi,2008:191). Penyelenggaraan pendidikan multikultural ditopang dalam Sistim Pendidikan Nasional, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003; Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; nilai agama; nilai kultur; dan kemajemukan bangsa. 4
Peraturan
tersebut
relevan
dengan
diselenggarakannya
pendidikan
multikultural di Indonesia. Sesuai dengan latar belakang bangsa Indonesia yang multikultur.Pendidikan multikultural harus diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan social dan berperikemanusiaan. Pendidikan multikultural bukan merupakan alat untuk mencapai sebuah tujuan, melainkan sebuah perspektif/cara pandang sehingga perlu diimplementasikan melalui kurikulum, metode, proses belajar dan guru. Hendaknya kegiatan di sekolah selalu mengacu pada cara pandang pendidikan multikultural. Guru merupakan salah satu agen penting dalam menjalankan pendidikan multikultural. Guru memiliki peran penting, ketika sekolah sudah memiliki konsep
mengenai
pendidikan
multicultural
maka
gurulah
yang
mengimplementasikan ke dalam proses belajar. Guru menerapkan pemahaman mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam pendidikan multikultural melalui interaksi dengan anak didik dalam proses belajar mengajar. James A Bank mengemukakan untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural, sekolah harus mereformasi kharakteristik sebagai sekolah multikultur salah satunya adalah melalui guru (Banks,2002:19). Tantangan dalam pendidikan multikultural terletak pada peran guru karena guru merupakan orang yang selalu melakukan dialog dengan anak didik dan membimbing anak didik, guru mempraktekkan desain pendidikan multicultural yang dibangun oleh sekolah.
5
Guru bukan hanya sebagai tenaga professional tetapi harus mampu menanamkan nilai-nilai multikultural (Hanum&Raharja,2007). Butuh komunikasi dan hubungan yang baik antara anak didik dengan guru dalam menerapkan pendidikan multikultural. Namun pada kenyataannya dalam proses belajar mengajar kadang terjadi hambatan yaitu kurangnya pemahaman guru mengenai pendidikan multikultural dan kurangnya komunikasi yang humanis antara guru dengan anak didik. Masalah ini diperkuat dengan bukti penelitian yang dilakukan oleh Farida Hanum dan Setya Raharja (2007) .Hasil penelitian tahun pertama diperoleh data mengenai kondisi awal dari 15 Sekolah Dasar di DIY yang dipilih sebagai tempat penelitian.Sebagian
besar
guru
belum
mengetahui
tentang
pendidikan
multikultural, bahkan asing dengan istilah pendidikan multikultural. Bukti lain hubungan guru dengan anak didik sering tidak harmonis sedangakan dalam menerapkan pendidikan multikultural butuh hubungan yang harmonis antara guru dengan anak didik. Guru perlu berdialog dan berdiskusi dengan anak didik mengenai nilai-nilai pendidikan multikultural sehingga anak didik dapat hidup dan menjalankan peran dalam masyarakat yang beragam. Anak didik mampu memiliki sikap toleransi, memahami hubungan antar individu sehingga mampu saling menghargai dan menerima keberadaan individu. Guru seharusnya membimbing anak pada kehidupan real sehari-hari. Kehidupan real hidup dalam bermasyarakat dan mampu mempraktekkan perannya dalam bermasyarakat.
6
Pada kenyataannya masyarakat tidak seragam melainkan beranekaragam, bukan hanya ada satu rasional melainkan multi rasional maka guru harus menanamkan mengenai toleransi terhadap anak didik agar mau menerima dan menghargai beragam rasional dan identitas individu.Setiap individu/anak membawa identitasnya masing-masing. Setiap anak adalah pribadi yang unik sehingga setiap anak tidak sama melainkan memiliki keunikan ciri khas masingmasing seperti simbol atau latar belakang identitas dan perbedaan pendapat. Anak didik hendaknya menghargai keunikan teman-temannya, jika ada perbedaan itu bukanlah suatu masalah, mereka yang tidak sama bukan berarti salah atau lawan. Peneliti mengambil lokasi penelitian di Sekolah kehidupan di Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (Salam).Jenjang Sekolah Dasar dipilih karena pendidikan multikultural harus diberikan kepada anak sejak dini. Anak usia Sekolah Dasar merupakan usia yang sangat menentukan dalam perkembangan pribadi seseorang. Karena itu institusi Sekolah Dasar memegang peranan penting yang akan mewarnai
akan
menjadi
seperti
apakah
anak
di
kemudian
hari
(Anshoriy,2008:187). Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (Salam) merupakan pendidikan alternative. Sekolah ini awalnya adalah sanggar yang didirikan oleh Sri Wahyaningsih. Sanggar anak alam di Yogyakarta berdiri sejak tahun 2000 dan berlandaskan akan pentingnya sekolah dasar pada tahun 2008/2009 berdirilah sekolah dasar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ani Musfiroh (2010) sekolah ini melakukan banyak inovasi. Beberapa inovasi yang dilakukan sesuai dengan salah satu visinya adalah Salam berkeinginan untuk menciptakan 7
kehidupan belajar bagi masyarakat luas dari semua kalangan dan rentang usia, dengan proses interaksi terbuka, dibangun atas dasar kebutuhan dan kesepakatan bersama serta mengutamakan lokalitas dan persahabatan dengan lingkungan (Musfiroh, 2010). Sekolah mengembangkan konsep sekolah kehidupan , bukan hanya mengembangkan aspek kognitif melainkan kemanusiaan. Tercipta pola interaksi yang baik dari setiap kalangan. Kondisi lingkungan yang heterogen dan terjalin pola interaksi yang baik merupakan hal yang menarik.Pola interaksi yang baik terjadi salah satunya tentu karena peran guru dalam berkomunikasi dan berdialog dengan anak didik. Peneliti tertarik untuk meneliti peran guru dalam menerapkan pendidikan multikultur di sekolah yang peserta didiknya beragam/heterogen.Melihat, mendeskripsikan dan menganalisa interaksi sosial antara guru dengan anak didik yang dibangun. 1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah di uraikan, rumusan masalah yang hendak dikaji adalah 1. Mengapa tipologi pendekatan pendidikan multicultural human relation diterapkan oleh SD Salam ? 2. Bagaimanakah peran guru dalam menerapkan konsep pendidikan multikultural yang diterapkan SD Salam melalui interaksi belajar?
8
1.3.Tujuan Penelitian 2. Mengetahui konsep pendidikan multikultural yang diterapkan melalui interaksi belajar antara guru dengan anak didik di SD Salam. 3. Mengetahui peran guru dalam menerapkan pendidikan multikultural di sekolah dasar. 1.4.Manfaat Penelitian Penelitian dengan judul Peran Guru dalam Menerapkan Pendidikan Multikultur di SD Sanggar Anak Alam (SALAM) memiliki manfaat : 1. Memberikan
analisa
mendalam
mengenai
peran
guru
dalam
mempraktekkan pendidikan multikultural di dalam lingkungan sekolah yang beragam. Penelitian ini mampu dimanfaatkan oleh para guru sebagai acuan untuk menerapkan pendidikan multikultur dalam proses belajar dan mengajar. Bagi para guru SD Salam dengan adanya skripsi ini diharapkan sebagai bahan evaluasi bagi guru dalam proses belajar mengajar yang sudah dilakukan. 2. Memberikan masukan bagi sekolah dasar Salam mengenai kelebihan maupun
kekurangan
kebijakan-kebijakan
sekolah
dan
proses
pendidikan yang sudah diselenggarakan sehingga kualitas SD Salam semakin baik. Selain itu, sebagai sosoalisasi bagi pembaca mengenai SD Salam. 3. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan terkhusus ilmu pengetahuan mengenai pendidikan multikultural bagi mahasiswa ataupun akademisi
9
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada khususnya bagi penulis. 1.5.Tinjauan Pustaka Terdapat penelitian mengenai pendidikan multikultural, dengan judul penelitian pendidikan multikultural di Yogyakarta oleh Erika Aditia Ismaya mahasiswa pascasarjana sosiologi tahun 2011.Tujuan penelitian tersebut adalah mengetahui pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah-sekolah menengah atas (SMA) di Yogyakarta.Penelitian yang dilakukan menjelaskan urgensi dan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah-sekolah menengah atas di Yogyakarta.Peneliti meneliti 3 sekolah yaitu SMA Negeri 3 Yogyakarta, SMA 1 Bopkri dan SMA Muhammadiah 2 Yogyakarta.Sekolah-sekolah ini dianggap mampu menggambarkan potret keberagaman pendidikan di Yogyakarta.Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Data diperoleh dengan cara observasi, wawancara dan kusioner. Hasil penelitian menyatakakan bahwa belum terjadi penerapan pendidikan multikultural di ketiga sekolah menengah atas (SMA) karena tidak ada kurikulum atau aturan khusus yang mengharuskan pendidikan multikultural dipraktekkan, namun berdasarkan penelitian hasil yang diperoleh bahwa terdapat praktek multikulturalisme di ketiga sekolah.Anak didik mampu menerima temannya yang berbeda latar belakang dan tidak mempermasalahkannya. Tinjauan pustaka penulis yang ke dua adalah penelitian Ani Musfiroh (2010). Penelitian ini merupakan dasar penulis untuk memilih Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (SALAM) sebagai tujuan lokasi penelitian.Penelitian ini merupakan 10
skripsi dengan judul ‘Konsep dan Implementasi Sekolah Kehidupan di Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (Salam)’.Hasil dari penelitian tersebut adalah sekolah menerima anak dari berbagai multi dimensi dan tercipta pola interaksi yang baik dari setiap kalangan. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan terdahulu, peneliti tertarik meneliti peran guru dalam mempraktekkan pendidikan multikulrural sehingga anak didik mampu memiliki sikap toleransi, mau berteman dengan temannya yang berbeda (latar belakang agama, ekonomi dan anak berkebutuhan khusus) dan mampu menghargai keanekaragaman. Guru merupakan unjung tombak dalam proses belajar, guru terutama guru sekolah dasar merupakan pribadi yang berhubungan langsung dengan anak didik dan selalu melakukan dialog dengan anak didik. Kepribadian individu (anak didik) tentu salah satunya dibentuk oleh faktor eksternal yaitu gurunya. Peneliti memperdalam penelitian Erika Aditia Ismaya (2011) dan Ani Musfiroh
(2010).
Hasil
penelitian
Erika
menyatakan
terdapat
praktek
multikulturalisme di ketiga sekolah. Anak didik mampu menerima temannya yang berbeda latar belakang dan tidak mempermasalahkannya. Hasil penelitian Ani Musfiroh, merupakan dasar penulis memilih SD Sanggar Anak Alam karena sekolah ini menerima anak dari berbagai multi dimensi dan tercipta pola interaksi yang baik.. Maka penelitian ini akan mendiskripsikan dan menganalisa peran guru dalam menerapkan pendidikan multikultural. Dalam mempraktekkan pendidikan multikultural salah satunya adalah perlu adanya dukungan guru. Subyek penelitian ini adalah guru, peran guru dlam memparaktekkan pendidikan multicultural 11
melalui interaksi belajar. Perbedaan yang sangat nampak adalah penelitian terdahulu meneliti penerapan pendidikan multikultural pada jenjang sekolah menengah atas (SMA) kali ini peneliti akan meneliti pada jenjang sekolah dasar (SD). Bagi anak usia sekolah dasar (SD) proses identifikasi, meniru dan mengkagumi guru mereka atau orang-orang yang berada disekitarnya merupakan hal yang senyatanya. Hubungan yang harmonis antara guru dengan anak didik merupakan salah satu hal yang positif sehingga anak didik dapat belajar dan melakukan proses meniru. Karena proses pembentukan diri seseorang tentu dipengaruhi oleh lingkungan eksternalnya. Lingkungan sekolah dan hubungan yang humanis antara anak didik dan guru, merupakan kondisi yang penting untuk menciptakan keadaan yang toleransi, humanis dalam menghargai keberagaman bagi setiap orang. Berdasarkan Banks (Banks,2002:19) salah satu kesuksesan pendidikan multikultural adalah mereformasi guru. Keadaan sekolah yang harmonis tentu salah satu faktor keberhasilannya adalah jasa guru. Guru berperan penting dalam mensosialisasikan
mengenai
keadilan
social
dan
kemanusian,
nilai
multikulturalisme. Walaupun tentu bukan jaminan dengan menerima nilai-nilai multikulturalisme maka anak akan sepenuhnya terlepas dari konflik horizontal namun dengan mengenal dan mengetahui maka setidaknya anak akan lebih terbuka terhadap keberagaman.
12
1.6.Landasan Teori 1.6.1. Multikulturalisme Multikulturalisme secara epistemologi berasal dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki yaitu terkandung pengakuan terhadap martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik (Mahfud,2011:75). Multikulturalisme merupakan konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis dan agama (Naim&Sauqi,2008:126). Sedangkan Abdullah memberi penekanan multikulturalisme pada kesetaraan budaya (Kompas, 16 Maret 2006). Definisi multikulturalisme sangat beragam dan luas namun yang terpenting adalah tergantung dari konsep pendifinisan dan manfaat apa yang dibutuhkan. Karena multikulturalisme merupakan ideologi untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia (Suparlan,2002:16-21). Budaya disini bukan hanya soal etnisitas, agama dan ras namun bisa juga menyangkut sosial yaitu keadilan dan hak, menghargai pendapat individu, berusaha memperbaiki derajat kehidupan manusia. Dalam multikultur
(multi
budaya) setiap individu dengan latar belakang kultur yang berbeda memiliki kemampuan berinteraksi yang sama, memiliki kesempatan yang sama. Sekolah merupakan salah satu lembaga yang dapat dimanfaatkan untuk berkumpulnya individu-individu dengan budaya dan pribadinya masing-masing yang unik.
13
Sehingga setiap anak didik sudah seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan, memiliki kesempatan untuk mengembangkan keunikannya, mampu berinteraksi dengan teman-temannya tanpa membedabedakan (toleransi) dan memperoleh haknya sebagai anak seperti belajar dengan sukacita, belajar dengan bermain bukan dengan tekanan. Jadi pendekatan multikulturalisme hendaknya dimanfaatkan dan diterapkan dalam pendidikan di Indonesia sehingga setiap anak dapat memperoleh hak yang sama kesetaraan (Wahyono,2005). dalam (Jatmiko&Indratno,2006:16). Menurut Kymlicka dalam (Parekh,2008:140) individu itu sendiri adalah agenagen moral dan pembawa hak dan kewajiban. Sehingga untuk hidup yang baik, maka setiap individu harus diperlakukan dengan hormat yang sama dan menikmati hak-hak yang setara. Hal ini sesuai dengan definisi multikulturalisme. Hendaknya setiap budaya mendapatkan hak-hak yang setara. Paradigma
multikulturalisme
membawa
solidaritas
dan
memfasilitasi
kemampun untuk memahami bersama bahwa setiap budaya dan keanekaragaman budaya yang sudah dianugerahkan Tuhan adalah sesuatu yang baik.Sehingga tidak seharusnya, karena Indonesia terdiri dari multi-kultur maka konflik dan masalah sosial
terus
bergejolak.Oleh
sebab
itu
paradigm/pandangan
mengenai
multikulturalisme merupakan suatu keharusan sebagai prinsip kehidupan. 1.6.2. Pendidikan Multikultural -
Hakikat Pendidikan
14
Hakikat pendidikan berdasarkan pendekatan sosiologis adalah pendidikan untuk keperluan bersama dalam masyarakat (Tilaar,1999:25). Pendidikan hendaknya mempersiapkan individu menjadi masyarakat yang baik dan mampu hidup secara baik dalam masyarakat.Hidup secara baik yaitu individu dapat melaksanakan perannya di masyarakat, mampu bertindak di lingkungan sosial dan budaya. Namun pada masa orde baru pendidikan mereduksi nilai-nilai kemanusiaan
hanya
untuk
kepentingan-kepentingan
tertentu.Pendidikan
menciptakan robot-robot.Pada masa orde baru pendidikan dimanfaatkan sebagai sarana ekonomi. Tujuan pendidikan yaitu menciptakan individu untuk mempercepat pembangunan dan pemerataan, pendidikan berfokus pada hasil bukannya proses sehingga mereduksi moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan yang seperti ini menghasilkan robot. Setiap individu dipaksa untuk menjadi sama dan seragam sehingga mereduksi nilai kemanusiaan dan demokrasi. Pendidikan model seperti ini dikenal dengan pendidikan monokultural. Pendidikan monokultural menghambat pertumbuhan kemampuan-kemampuan kritis (Parekh: 2012,300). Anak didik diajarkan melihat dunia dari sudut pandang yang sempit.Kemampuan kritis tidak ditanamkan, sehingga anak didik terbiasa menilai/ menganggap sesuatu sesuai dengan kategori-kategori yang ada. Jika tidak sesuai dengan kategori-kategori kebudayaannya maka hal itu dianggap salah/ aneh atau bahkan kebudayaan yang lain tidak berharga. Belajar seharusnya belajar sejati bukan hanya mengagungkan
keseragaman dengan harapan anak
menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan dan kepastian (Degeng 2000)
15
dalam (Jatmiko&Indratno,2006:124). Belajar yang seperti ini berdampak anak didik akan terbiasa seragam dan mengabaikan keanekaragaman. Pendidikan hendaknya sesuai dengan pandangan sosiologisme yang terkenal yaitu konsiensialisme atau pendidikan pembebasan (Freire, 1968 dalam Tilaar,1999:26). Pendidikan pembebasan diperoleh dengan cara menghidupkan kemampuan kritis anak didik. Kemampuan kritis diseimbangkan dengan pendidikan yang menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Pada hakikatnya pendidikan merupakan pembebasan dan pengakuan terhadap hak-hak individu. Paulo Freire menyatakan pendidikan hendaknya membebaskan dan menciptakan kesadaran. Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran untuk menghidupkan suatau masyarakat lebih demokratis atau masyarakat madani yang menghargai
hak-hak
serta
kewajiban
setiap
orang
dalam
usahanya
membembentuk masyarakatnya dan negaranya (Tilaar, 1999:27). Hakikat pendidikan berjalan sesuai dengan paradigma pendidikan multikultural yaitu pendidikan yang melembagakan filsafat pluralism budaya dalam sistem pendidikan dengan mengedepankan prinsip persamaan, saling menghargai, menerima dan memahami serta adanya komitmen moral terhadap keadilan sosial (Zubaedi,2005:vii). Pendidikan multikultural memberikan kesempatan pada semua anak untuk dapat memperoleh pendidikan. Memberikan hak-hak anak, setiap anak dengan latar belakang berbeda memperoleh hak yang sama untuk menempuh pendidikan (sekolah). Pendidikan multikultural tidak akan ‘menggerus’ hak individu sehingga muncullah nilai-nilai kemanusiaan
16
-
Pendidikan Multikultural
Gagasan Freire yang paling terkenal adalah pendidikan bukan seperti menara gading dimana pendidikan menjauhkan individu dari realitas sosial dan budaya.Masyarakat
pada
kenyataannya
beragam/masyarakat
multikultur.Komposisi
adalah
masyarakat
yang
masyarakat
Indonesia
sangat
beragam. Keragaman bangsa Indonesia tentu berdampak pada keragaman peserta didik maka pendidikan multikultural
merupakan suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindari. Pendidikan multikultur merupakan tanggapan dari keragaman sekolah.Sekolah
merupakan
miniature
masyarakat.Seharusnya
setiap
anak/individu/kelompok memiliki hak yang setara untuk menempuh pendidikan. Menurut Tilaar pendidikan multikultural tidak berarti berupa mata pelajaran pendidikan multikultural, melainkan multikulturalisme ini menyinari seluruh jiwa dan kegiatan lembaga pendidikan kita (Jatmiko&Indratno,2006:31). Hendaknya proses belajar di sekolah selalu diselimuti oleh semangat multikulturalisme, ada nilai-nilai moral yang ditanamkan seperti nilai kemanusiaan, nilai keadilan, demokrasi, hak asasi manusia dan toleransi. Pendidikan multikulturalisme menjadi dasar bagaimana penerimaan siswa baru, bagaimana proses belajar dan menciptakan keadaan sekolah yang beraneka ragam (relativisme, pluralism, kesetaraan dan toleransi. Konsep dasar pengembangan pendidikan multikultural dapat dilihat melalui 4 hal, meliputi (Bennett,2003 dalam Tilaar,2003:173).
17
1. Reformasi Kurikulum, yaitu diperlukan suatu teori Kurikulum yang baru antara lain berisi analisis histori dan analisis bukubuku pelajaran yang tidak sesuai dengan pluralism budaya. 2. Mengajarkan keadilan social, yaitu mengajarkan prinsip-prinsip keadilan social dalam hal ini perlu juga adanya aksi-aksi budaya atau social action untuk mengembangkan nilai-nilai budaya yang baik 3. Mengembangkan
kompetensi
multikultural,
yaitu
pengembangan identitas etnis dan sub-etnis melalui kegiatankegiatan kebudayaan. Selain itu, perlunya menghapus jenis prasangka buruk dan nilai-nilai negative terhadap yang lain. 4. Melaksanakan
pedagogic
kesetaraan,
yaitu
pedagogic
kesetaraan misalnya dilakukan disekolah dalam hal cara mengajar dan belajar tidak menyinggung perasaan atau tradisi dalam suatu kelompok tertentu. Praktik dalam sekolah juga menerima dan tidak membedakan individu dalam latar belakang apapun termasuk anak berkebutuhan khusus. Konsep
dasar
pengembangan
pendidikan
multikultural
yang
dikembangkan oleh Bennett hendaknya menanamkan empat nilai inti dari pendidikan multikultural yaitu (Bennett,2003 dalam Tilaar,2003:171) : 1. Apresiasi pluralitas budaya 2. Hakikat manusia dan HAM 3. Tanggung jawab planet bumi 18
4. Tanggung jawab masyarakat dunia Menurut Tilaar: 2005: 182, dalam rangka menentukan konsep pendidikan multikultural hendaknya meninjau tipologi pendekatan pendidikan multikultural. Terdapat lima tipologi pendidikan multikultural yang berkembang. Tipologi pendekatan yang digunakan dalam pendidikan multikultural dikemukakan oleh Sleeter dan Grant (1987), dalam buku Pendidikan multikultural yang berkeadilan social (Jatmiko& Indratno,2006). Kelima tipologi tersebut antara lain : 1. Mengajar mengenai kelompok siswa yang memiliki budaya yang lain (culture difference). Perubahan ini terutama pada siswa dalam transisi dari berbagai kelompok kebudayaan ke dalam mainstream budaya yang ada. Tugas guru dalam pendekatan ini adalah membantu siswa dalam berbagai kebudayaan untuk menyesuaikan dan dapat mencapai suatu norma dari kelompok yang dominan. 2. Hubungan Manusia (human realtion). Program ini membantu siswa dari kelompok-kelompok tertentu sehingga dia dapat mengikuti bersama-sama dengan siswa yang lain dalam kehidupan social. Tujuan dari pendekatan ini adalah meningkatkan perasaan, komunikasi dan keselarasan hubungan manusia di dalam kelas dan di sekolah secara keseluruhan melalui hubungan antar pribadi, penghilangan prasangka, dan kecurigaan. 3. Single Group Studies. Program ini mengajarkan mengenai hal-hal yang memajukan pluralism tetapi tidak menekankan kepada adanya perbedaan stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Perhatian utama dari
19
pendekatan ini adalah untuk meningkatkan kondisi-kondisi social kelompok-kelompok masyarakat tertentu. 4. Pendidikan Multikultural. Program ini merupakan suatu reformasi pendidikan di sekolah-sekolah dengan menyediakan kurikulum serta materi-materi pelajaran yang menekankan kepada adanya perbedaan siswa dalam bahasa, yang keseluruhannya untuk memajukan pluralisme kebudayaan dan ekualitas social. Guru dengan tujuan tertentu menjelaskan mengenai keadilan dan kesetaraan. 5. Pendidikan multicultural yang sifatnya rekonstruksi social. Program ini merupakan suatu program baru yang bertujuan untuk menyatukan perbedaan-perbedaan cultural dan menentang ketimpangan-ketimpangan social yang ada dalam masyarakat. Program ini juga dapat disebut sebagai critical multicultural education. Penerapan pendidikan multicultural di Negara maju, dipraktekkan dengan metode service learning. Siswa belajar secara aktif, memenuhi kompetensi yang sudah dirancang dalam kurikulum dengan cara belajar dari masyarakat , belajar bersama masyarakat, sehingga paham kebutuhan masyarakat (Cipolle, 2004:2-4). Menurut cipolle dalam sosiologi pendidikan (Maliki,2010), pembelajaran service learning ditandai dengan pembelajaran yang terpusat pada siswa, kolaboratif, pengalaman, bersifat intelektual, analitik, multicultural, berbasis nilai dan disadari semangat aktifis. Anak ikut serta dalam menentukan atau memilih fokus penelitian yang akan dilakukan.
20
1.6.3.
Peran Guru
Pendidik atau guru berperan sangat penting dalam proses belajar-mengajar. Guru memiliki peran kunci dalam pendidikan. Menjadi seorang guru merupakan salah satu pekerjaan yang mulia dan patut diberi apresiasi atas semangat dan motivasi guru.Tanpa peran seorang guru sangat mustahil pendidikan akan berjalan secara maksimal dan baik. Peran kunci guru adalah memberikan pengetahuan, membimbing anak dalam pelajaran, ketrampilan dan memberi teladan mengenai nilai-nilai kehidupan yang baik. Nilai-nilai kehidupan yang baik sesuai dengan konsep etika diskursus milik Jürgen Habermas yaitu mencari kebenaran rasional, kebenaran yang dianggap dan disetujui oleh orang-orang sehingga menjadi kesepakatan bersama agar tercipta keadilan bukan kebenaran untuk kepentingan diri sendiri(Supartiningsih,2012). Etika diskursus dianggap mampu menciptakan solidaritas dengan memegang nilai-nilai universal kemanusian. Nilai-nilai universal kemanusian disini adalah sikap menghargai pendapat, toleransi kepada teman yang berbeda latar belakang dan pendapat. Norma yang berlaku dan dianggap sah adalah norma yang diakui bersama dan bukan hanya untuk kepentingan individu namun untuk kesepakatan bersama. Dalam membangun etika bersama komunikasi memiliki peran sangat penting. Dialog merupakan sarana yang tepat untuk dikembangkan dalam kehidupan bersama. Paulo Freire juga menyatakan pentingnya dialog dalam pendidikan. Model pendidikan Freire adalah “pendidikan hadap masalah” (problem posing 21
education). Model belajar ini adalah pembelajaran yang dialogis dimana guru dengan anak didik menjadi subyek-subyek bukan subyek-obyek. Obyek mereka adalah realitas (Freire,2007:xv). Guru dan anak didik sama-sama belajar. Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya, begitu juga guru sehingga terjadi proses saling memanusiakan, proses pemerdekaan. Proses pemerdekaan akan terwujud jika para guru telah terlebih dahulu mengalami proses pemerdekaan. Motivasi guru dalam menjiwai profesi merupakan kunci bagi terciptanya proses pendidikan yang memerdekakan. Di dalam system pembelajaran hadap masalah guru berperan sebagai pendamping dalam mengembangkan pemikiran kritis anak didik mengenai dirinya dan dunianya berada. Dialog sejati akan terwujud dengan melibatkan pemikiran kritis. Guru hendaknya mempraktekkan pendidikan kritis sehingga bukan hanya ada satu kebenaran namun anak didik dibiasakan untuk berdiskusi melihat kebenararn lain selain membuka dan membiasakan anak didik juga belajar mengenai keanekaragaman. Anak didik juga akan belajar respek, menghargai dan berdiskusi dengan kebudayaan yang lain. Maka dari itu kemampuan kritis, demokrasi dan humanisasi harus ditanamkan.Kritis dan demokrasi hendaknya selalu ‘dibungkus’ dengan humanisasi.Karena selain Intelligence, nilai-nilai kemanusiaan sangatlah penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Paulo Freire menyarankan guru yang progresif dan menolak guru yang konservatif. Guru progresiv menekankan proses belajar, ia tidak hanya mengejar
22
nilai akademik melainkan menjadikan belajar sebagai sebuah perjalanan. Belajar merupakan perjalanan yang menyenangkan. Belajar membantu siswa aktif , kreatif dan kritis. Sedangkan guru yang konservatif selalu menekankan hasil yang diraih anak didik dari pada proses yang dilalui. Paulo Freire sangat menentang guru yang konservatif dan menerapkan pendidikan gaya bank (Freire,2007:xi) yaitu : Guru mengajar, sedangkan murid belajar. Guru tahu segalanya, sedangkan murid tidak tahu apa-apa Guru berpikir, sedangkan murid dipikirkan Guru bicara, sedangkan murid mendengarkan Guru mengatur, sedangkan murid diatur Guru memilih dan memaksakan pilihanya sedangkan murid menurutinya. Guru bertindak, sedangkan murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya. Guru memilih apa yang akan diajarkan, sedangkan murid menyesuaikan diri Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan muridmurid. Guru adalah subjek proses belajar, sedangkan murid sebagai objeknya. Guru yang konservatif, selalu mengejar hasil dan hanya berfokus kepada aspek kognitif. 23
Guru yang konservatif menciptakan anak didiknya seragam dengan tujuan mudah dikendalikan.Guru yang konservatif tidak menumbuhkan jiwa kritis anak didik.Guru bersikap otoriter dan kaku. Dengan gaya otoriter dan kaku anak tertindas dan terbiasa meniru gurunya, sedangkan sesuatu yang tidak sama dengan dirinya maka akan dianggap salah. Pendidikan yang bersifat otoriter dan doktrin dimana posisi guru sebagai pengajar lebih kuat tidak akan menumbuhkan sikap simpatik dan empatik (Qodir dalam Jatmiko&Indratno,2006:60). 1.7. Metode Penelitian Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif (qualitative research). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007: 4) mendefinisikan
metodologi
kualitatif
sebagai
prosedur
penelitian
yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Tujuan pendekatan ini untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6).
24
Data
yang
diperoleh
berupa
kata,
kalimat,
skema
atau
gambar
(Sugiyono,2005:14). Peneliti menjalin relasi dan melakukan interaksi secra aktif kepada pendiri sekolah SD SALAM, guru,anak didik dan orangtua baik ketika proses belajar mengajar di sekolah, ketika jam istirahat, ketika proses belajar usai bahkan diluar proses belajar. 2. Lokasi Penelitian Penelitian di lakukan di jenjang sekolah dasar khusunya di Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (Salam).SD Salam berlokasi di Nitiprayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jenjang sekolah dasar dipilih karena usia sekolah dasar merupakan usia yang sangat menentukan dalam membentuk karakter dan perilaku siswa sehingga sekolah dasar merupakan institusi yang berperan penting dalam menerapkan toleransi untuk menghargai perbedaan. Konsep pendidikan multicultural harus ditanamkan sejak dini , yaitu pada anak usia 6 tahun hingga masa pubertas. Pada masa ini, menurut Freud (dalam Eka Izzati), merupakan tahap laten, dalam tahap ini anak mengembangkan ketrampilan social dan intelektualnya. Bila sejak awal mereka telah memiliki nilai-nilai tersebut, maka nilai-nilai itu juga akan tercemin pada tingkah laku mereka sehari-hari karena sudah merupakaan kebiasaan(S. Iman Aji, 2012). 3. Sumber Data Subyek penelitian dan informan penelitian adalah guru, pendiri Sd Salam ,anak didik dan orangtua. Guru sebanyak 5 orang, yaitu kelas
25
1,3,4,5 dan 6. Pendiri SD Salam sejumlah 2 orang, anak didik 2 orang, dan orangtua siswa 2 orang. Total informan pada penelitian ini sejumlah 11 orang. Guru sebagai informan utama dalam penelitian ini. Pendiri SD Salam memberikan informasi mengenai identitas sekolah, kebijakan yang diterapkan dalam kurikulum, metode hingga sarana-prasarana sehingga diharapkan informasi abstrak mengenai konsep pendidikan multikultural dapat diperoleh.Anak didik sebagai subyek yang berperan aktif dalam proses belajar, informasi yang di dapat melalui anak didik dapat digunakan untuk melihat hasil dari peran guru dalam menerapkan pendidikan multikultural yang sudah berlangsung. Orangtua sebagai ‘kroscek’ untuk melihat interaksi antara guru dengan anak didik. 4.
Fokus Penelitian Penelitian ini memberikan deskripsi analisis mengenai peran guru dalam menerapkan pendidikan multikultur di SD Salam. Keberhasilan pendidikan multikultural salah satunya dapat dilihat melalui guru. Aspek yang diteliti dari guru yaitu : melihat bagaimana latar belakang pendidikan guru, pemahaman guru dan bagaimana guru meramu materi untuk menjelaskan dan memberikan pemahaman terhadap anak didik tentang realitas
masyarakat
multikultural
(seperangkat
kemampuan
dan
ketrampilan yang berkaitan dalam proses belajar), kemampuan guru dalam menjelaskan materi, melaksanakan metode pembelajaran, memberikan pertanyaan, menjawab pertanayaan, mengelola kelas, melakukan evaluasi,
26
dan menjalin relasi dengan siswa, orangtua dan masyarakat. Fokus penelitian adalah interaksi belajar mengajar antara guru dengan anak didik. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengambilan data yang paling utama adalah observasi , wawancara dan data sekunder. Data sekunder pada penelitian ini terdiri dari profil SD Salam, jumlah siswa dan guru, kurikulum dan gambaran proses belajara secara umum. Dokumentasi (gambar atau foto) merupakan bagian dari observasi, dokumentasi digunakan sebagai teknik pengambilan bukti berupa gambar. a. Metode Observasi (pengamatan) : Peneliti menggunakan observasi partisipatif.
Susan
Stainback
(1988)
menyatakan
in
participant
observation, the researcher observes what people do, listen to what they say, and participates in their activities (Sugiyono,2011:227) .Jenis observasi partisipatif yang digunakan adalah partisipasi moderat yaitu terdapat keseimbangan antara peneliti menjadi orang dalam dengan orang luar. Peneliti dalam mengumpulkan data ikut observasi partisipatif dalam beberapa kegiatan, tetapi tidak semua (Sugiyono,2011:227). Peneliti ikut berpartisipasi dalam beberapa kegiatan belajar mengajar di SD Salam selama 4 hari, tujuannya untuk memperoleh gambaran yang belum terungkap dan membuktikan antara hasil wawancara dengan narasumber dengan penerapan yang dilakukan. b. Metode Wawancara(Interview) : Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga
27
dapat
dikonstruksikan
makna
dalam
suatu
topik
tertentu
(Sugiyono,2011:231). Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur yaitu jenis wawancara lebih bebas dari wawancara terstruktur, tujuannya untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dimana fihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ideidenya (Sugiyono,2011:233). Penulis akan bertanya kepada pendiri SD Salam , guru, anak didik dan orangtua. c. Data Sekunder: Data sekunder merupakan metode pelengkap dari metode wawancara dan metode observasi (Sugiyono,2011:340). Data sekunder berupa dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya dari narasumber. Penulis menggunakan dokumen berupa foto, data diri. Data institusi dan brosur untuk mengetahui informasi mengenai SD Salam. 6. Teknik Analisa Data Analisa data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyususn ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain(Sugiyono,2011:244).Teknik analisa yang digunakan adalah kualitatif (Bodgan & Biklen, 1982) dalam Moleong (2007:248). Langkah-langkah yang digunakan yaitu : mendiskripsikan fakta-fakta secara lengkap, menemukan fakta senyatanya dan seadanya dilapangan, fakta didapatkan
28
dari wawancara, observasi dan data sekunder berupa profil SD Salam, Gambaran Proses belajar-mengajar . Lalu menghubungkan fakta yang satu dengan yang lain yang terkait dengan permasalahan. Melakukan analisa dan intrepretasi secara sistematis tentang makna atau arti data. Fokus penelitiannya adalah proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru untuk menjelaskan dan memberikan pemahaman terhadap siswa akan realitas masyarakat multikultural wujud nyatanya adalah toleransi siswa, simpati dan respek, anak mampu merefleksikan nilai keadilansosial dan kemanusiaan. Setelah itu melakukan kesimpulan, kesimpulan dalam penelitian kualitatif berupa deskripsi atau gambaran mengenai suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang sehingga setelah diteliti menjadi jelas.
29