BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang memiliki keanekaragaman dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu melihat bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk maka akan terlihat pada adanya berbagai suku bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa inilah kemudian mempunyai ciri khas kebudayaan yang berbeda-beda, sehingga setiap daerah mempunyai kebudayaan daerah masing-masing dengan berbagai karakteristik dan segala keunikannya. Koentjaraningrat (1979:152-164),
menyebutkannya yang khas dan
bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional .Pengertian yang dimaksudkan itu sebenarnya lebih berarti, bahwa puncak-puncak kebudayaan daerah atau kebudayaan suku bangsa yang bermutu tinggi dan menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia bila ditampilkan untuk mewakili negara (nation). Dengan beribu-ribu gugus kepulauan, beranekaragam kekayaan serta keunikan kebudayaan, menjadikan masyarakat Indonesia yang hidup diberbagai kepulauan mempunyai ciri dan coraknya masing-masing. Hal tersebut membawa akibat pada
1
2
adanya perbedaan latar belakang, kebudayaan, corak kehidupan, dan termasuk juga pola pemikiran masyarakatnya. Sehingga menyebabkan Indonesia terdiri dari masyarakat yang beragam latar belakang budaya, etnik, agama yang merupakan kekayaan budaya nasional. Kebudayaan daerah diartikan sebagai kebudayaan yang khas yang terdapat pada wilayah tersebut. Kebudayaan daerah di Indonesia sangatlah beragam. Seperti yang dikemukakan Koentjaraningrat (1990: 263-270) tentang kebudayaan, bahwa kebudayaan daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin kompleks perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Meskipun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang beranekaragam dan berbeda-beda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun.
Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia
Kebudayaan sudah lebih dulu ada dibandingkan dengan dari lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati sampai ke generasi selanjutnya.
Kebudayaan diperlukan oleh manusia yang diwujudkan dalam tingkah laku
Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajibankewajiban, tindakan-tindakan baik yang diterima atau ditolak,
3
tindakan-tindakan yang dilarang ataupun yang diizinkan (Seokanto, 1980 : 177). Perbedaan-perbedaan yang menimbulkan berbagai kebudayaan daerah yang berlainan, terutama yang berkaitan dengan pola kegiatan ekonomi mereka dan perwujudan kebudayaan yang dihasilkan untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut, misalnya nelayan, pertanian, perdagangan, dan lain-lain. Pulau yang terdiri dari daerah pegunungan dan daerah dataran rendah yang dipisahkan oleh laut dan selat, akan menyebabkan terisolasinya masyarakat yang ada pada wilayah tersebut. Akhirnya mereka akan mengembangkan corak kebudayaan yang khas dan cocok dengan lingkungan geografis setempat. Dari perbedaan golongan tersebut, ada pola sistem yang khas dari bangsa Indonesia. Untuk kebudayaan nasional bisa dihubungkan dengan kebudayaan timur yang menjadi dasar landasan kebudayaan daerah. Kebudayaan nasional dapat dilihat dari pola sistem hidup masyarakatnya, seperti sifat keramahtamahan, kekeluargaan, dan gotong royong. Sifat-sifat inilah yang dapat dilihat dari kebudayaan nasional yang dilihat oleh bangsa lain sebagai ciri kebudayaan Indonesia. Meskipun gotong royong setiap daerah istilahnya berbeda, tetapi secara pengertian sama artinya. Bangsa Indonesia mempunyai peribahasa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, sama rata sama rasa. Ungkapan ini mencerminkan bangsa Indonesia sejak dulu menjunjung tinggi kebersamaan dalam melaksanakan pekerjaan. Kalau kita telaah hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan sangatlah erat yaitu bahwa Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama
4
dan menghasilkan kebudayaan, sehingga tidak ada masyarakat yang tidak menghasilkan kebudayaan. Sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Dalam pengertian kebudayaan daerah sangatlah sulit, karena mencakup lingkup waktu dan lingkup daerah geografisnya. Dalam lingkup waktu dan daerah diartikan sebagai kebudayaan yang belum dapat pengaruh asing dari manapun ( Soekanto, 1982 :171) Dari uraian diatas kebudayaan daerah secara pengertian tidak akan terlepas dari keragaman suku bangsa yang ada. Tetapi dari berbagai corak kebudayaan tersebut, terdapat persamaan yang mendasar. Yaitu mengenai tentang upacara keagamaan semua suku bangsa, mementingkan upacara-upacara adat yang bersifat religi. Suku bangsa tersebut lebih suka unsur mistik daripada berusaha dalam mencapai tujuan materiil mereka. Hal yang berhubungan dengan unsur mistik dianut oleh semua kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Masih percaya pada takhayul. Dulu dan sekarang masyarakat daerah di Indonesia percaya kepada batu, gunung, pantai, sungai, pohon, patung, keris, pedang, dan lainnya, mempunyai kekuatan gaib. Semua itu dianggap keramat dan manusia harus mengatur hubungan
dengan
baik
dengan
memberi
sesaji,
membaca
do’a
dan
memperlakukannya dengan istimewa. Manusia Indonesia sering kali menghitung hari baik, bulan baik, hari naas, dan bulan naas, mereka juga percaya akan adanya segala macam hantu, jurig, genderowo, makhluk halus, kuntilanak, dan lain-lain. Sehubungan dengan ini di Dusun Cieuyeub Desa Cibitung Kecamata Ciater Kabupaten Subang, ada sebuah upacara adat yang disebut dengan ngaruat lembur. Upacara tersebut merupakan budaya masyarakat yang mempunyai nilai-
5
nilai adat yang sejak lama ada dan rutin dilaksanakan oleh masyarakat setempat, yang dilakukan dengan jangka waktu setahun sekali. Maksud dari diadakannya upacara tersebut adalah memperingati hari ulang tahun karuhun atau para leluhur masyarakat setempat yang merupakan aktualisasi dari rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta rasa hormat warga masyarakatnya terhadap para leluhurnya. Sebab mereka meyakini bahwa kalau tidak dilaksanakan upacara tersebut akan mendapat musibah atau kejadian-kejadian di luar jangkauan akal sehat. Dalam upacara adat tersebut terdapat ritual numbal yaitu memakai sesaji berupa kelapa hijau, telur ayam, kurung lumpit, uang logam lima buah, ikan kering atau biasa disebut dengan pepetek, terasi merah, bumbu-bumbu sekomplitnya, bubur merah dan bubur putih, lontong (kupat-leupeut), ketupat (tantang angin),buah-buahan, umbi-umbian, yang kemudian dikubur. Dengan maksud bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa berbakti kepada ibu pertiwi, meminta keberkahan dan keselamatan menjadikan manusia-manusia yang kaya, dimudahkan rizkinya, kejadian dalam pertanian ataupun berdagangnya, maju dalam segi agama maupun pendidikannya, kemudian ditutup dengan doa. Kemudian diteruskan dengan acara arak-arakan dengan memakai padi dua ikat (geugeus) yang kemudian padi tersebut dipakaikan pakaian perempuan dan laki-laki, setelah selesai didandani kemudian padi yang dua ikat tersebut dimasukan kedalam jampanaan atau rumah-rumahan kecil yang terbuat dari bambu dan didalamnya memakai pangradinan. Kemudian jampana tersebut di tutup oleh kain berwarna
putih dan kain samping kemudian diarak keliling
6
kampung diiringi dengan berbagai tabuhan musik seperti kendang penca, genjring ronyok dan lain-lain. Setelah jampanaannya diarak keliling kampung kemudian jampanaan tersebut dibawa ke rumah ketua adat atau sesepuh adat, untuk disawer memakai sawer pohaci ( air padi) dengan menggunakan tangkai daun hanjuang yang kemudian menyediakan berbagai macam makanan, minuman, dilanjutkan dengan ijab Kabul oleh para sesepuh dan tutup doa. Semua yang hadir terutama tamu undangan yang datang masing-masing pulangnya membawa satu nasi congcot. Upacara ngaruat lembur dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Allah SWT atas keberhasilan pertanian / peternakan maupun usaha yang telah dijalani oleh masyarakat setempat dan sebagai tolak bala serta sebagai bentuk ungkapan penghormatan terhadap roh nenek moyang atau leuluhur. Ngaruat lembur biasanya dilakukan utuk memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi. Adapun pagar gaib tersebut dimaksudkan untuk beberapa hal sebagai berikut : a. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau memindahkan daya (energi) negatif yang berada dalam rumah atau hendak masuk kedalam rumah. Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan menanam tumbal yang diperlukan seperti mengubur kepala ayam jago b.
Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat.
c. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung makhluk halus yang berbeda dalam lingkup pagar gaib.
7
Kemudian biasanya setelah pelaksanaan upacara ngaruat lembur selesai, pada malamnya dilanjutkan dengan hiburan-hiburan seperti, wayang golek, jaipongan, terbang dan lain-lain dan biasanya sebelum selesai hiburan warga masyarakat dilarang keluar daerah kalau malam, karena masyarakat sekitar percaya apabila kita keluar malam pada saat hiburan ngaruat belum selesai, maka akan bertemu atau dibawa oleh sandekala sejenis makhluk halus jin, setan dan sebagainya Tradisi upacara ngaruat lembur merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan masyarakat pendukungnya. Penyelenggaraan tradisi ngaruat lembur ini sangat penting bagi pembinaan sosial budaya warga masyarakat bersangkutan karena menjadi penguat norma-norma serta nilai-nilai yang sudah ada. Tetapi ada juga sebagian masyarakat terutama para tokoh agama yang kurang menanggapi tradisi ini sebab dikhawatirkan akan menyimpang dari nilainilai agama yang mereka yakini atau akan bersifat musyrik dengan menyekutukan Allah SWT dengan prosesi ritual adat tersebut. Adapun pandangan dari tokoh agama lainnya tidak menganggap bahwa prosesi ritual adat cenderung kearah kemusyrikan semata sepanjang prosesi ritual tersebut tidak menjurus kepada kemaksiatan / kemusyrikan karena upacara adat tersebut hanya dijadikan sebagai media untuk bermunjat kepada Allah SWT secara bersama-sama sehingga dapat diterima sebagai norma yang integral dalam mengatur sistem-sistem kepercayaan. Atas dasar inilah maka penting bagi penulis sebagai upaya untuk mengkaji dan melestarikan upacara tradisional yang hidup dalam masyarakat modern,
8
dimana ilmu pengetahuan dan teknologi sudah semakin maju dan berkembang serta sifat untuk melestarikan kebudayaan daerah tidak hilang dimakan zaman seiring minat generasi mudanya semakin menurun untuk melestarikannya. Untuk inilah penulis mencoba mengambil judul dalam penulisan skripsi ini adalah : “Upacara Ngaruat Lembur” (Study Deskriptif terhadap Upacara Ngaruat Lembur di Dusun Cieuyeub Desa Cibitung Kecamatan
Ciater
Kabupaten Subang) B. Perumusan Masalah Untuk menghindari kemungkinan adanya pembahasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan diadakannya penelitian ini, sehubungan dengan apa yang akan dibahas. Untuk itu penulis menuangkannya dalam bentuk perumusan masalah, adapun rumusan masalahnya sebagai berikut : 1. Bagaimana latar belakang, dan prosesi pelaksanaan upacara ngaruat lembur di Dusun Cieuyeub Desa Cibitung Kecamatan Ciater Kabupaten Subang? 2. Apakah tujuan dan makna simbol yang terkandung dalam upacara ngaruat lembur yang dilasanakan di Dusun Cieuyeub Desa Cibitung Kecamatan Ciater Kabupaten Subang? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui latar belakang, dan proses pelaksanaan upacara ngaruat lembur Di Dusun Cieuyeub Desa Cibitung Kecamatan Ciater Kabupaten Subang?
9
2. Untuk mengetahui tujuan dan makna symbol yang terkandung dalam upacara ngaruat lembur yang dilasanakan Di Dusun Cieuyeub Desa Cibitung Kecamatan Ciater Kabupaten Subang. D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dalam melakukan penelitian itu diantaranya, yaitu : 1.
Kegunaan Akademis (teoritis) Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur tentang khazanah budaya lokal yang sudah ada sebelumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, ide, gagasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan konsep-konsep dalam bidang ilmu khususnya ilmu kemasyarakatan, yaitu mengenai tradisi upacara.
2.
Kegunaan Praktis (sosial) Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat umum tentang makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi upacara ngaruat lembur tersebut, juga bisa dijadikan objek wisata yang menarik sebagai adat tradisi daerah.
E. Kerangka Pemikiran Seperti halnya pendapat E.B.Tylor berikut ini mengenai definisi kebudayaan bahwa kebudayaan merupakan hal yang kompleks mencakup pengetahuan,
kepercayaan,
kesenian,
hukum,
moral,
adat-istiadat
dan
kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan-kebisaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (primitive culture, 1924 : 1).
10
Upacara adat merupakan bentuk dari tradisi, oleh karena itu tradisi merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat yang sulit untuk dirubah. Hal ini biasanya dikarenakan unsur-unsur tersebut dipertahankan dan dilaksanakan oleh para pundukungnya. Seperti halnya memelihara emosi keagamaan, yakin dan percaya tehadap hal-hal yang gaib, melaksanakan upacara-upacara tertentu, dan mempunyai pengikut
yang
mendukung dan mentaati (Hilman Hadikusumo, 1993 : 24). Oleh sebab itu peradaban sukar untuk merubah suatu tradisi yang sudah ada, karena sudah dilaksanakan dan dianut dalam suatu masyarakat sejak zaman dahulu. Sebagai suatu kelompok budaya yang telah lama hidup di masyarakat, sekiranya anggota masyarakat Dusun Cieuyeub Desa Cibitung memiliki pandangan hidup tersendiri. Pandangan hidup ini baik yang berupa lisan ataupun tersembunyi dibalik makna simbol yang ada pada upacara ngaruat lembur tersebut,
Sehingga
tetap
bertahan
ditengah
arus
globalisasi
yang
perkembangannya semakin cepat. Hal ini terbukti dari sikap warga masyarakat dengan keseriusannya dan keteguhannya dalam memegang warisan nenek moyang atau para leluhur dalam bentuk pelaksanaan upacara ngaruat lembur yang sampai saat ini masih dijaga dan dilestarikan. Selain itu upacara juga dikaitkan dengan kegiatan keagamaan, dimana upacara sebagai kelakuan keagamaan yang dilakukan menurut tata kelakuan yang baku atau Religius Ceremonies. (Koentjaraningrat, 1992 : 252). Oleh karena itu upacara religi selain sebagai transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman yang bersifat emosi dan tidak dapat diungkapkan dengan
11
verbal namun hanya dapat bisa digambarkan dalam suatu simbol (lambang) yang mencerminkan peristiwa sakral baik bersifat sosial maupun spiritual. Makna simbolis dalam prosesi upacara merupakan manifestasi dari nilai sakral yang terobjektifikasi kedalam benda-benda, sesajen, kawih. Nilai fungsi dari makna simbol-simbol tersebut sebagai pedoman hidup masyarakat ketika berhubungan dengan kenyataan alam spiritual dan hubungan terhadap sesama manusia. Sehingga upacara ini terus menerus secara berulang dengan waktu tertentu dengan tujuan untuk memperkuat diri dan keyakinan dalam rangka mempertebal keimanan ( William A. Havinland.1998:207). Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersikap umum, dan mempunyai ruang lingkup sangat luas serta biasanya sulit diterangkan secara rasional. Justru karena sifatnya umum, luas dan tidak konkrit itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga kebudayaan bersangkutan. Oleh sebab itu seorang individu sejak kecil telah diajarkan tentang nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep tersebut telah berakar sejak lama dan sudah mendarah daging dalam jiwa mereka. Ketika sebuah masyarakat sudah tetap dengan cara hidupnya, berarti masyarakat tersebut sudah mempunyai pandangan hidup dan ajaran-ajaran yang dianggapnya penting. Dalam arti lebih merujuk pada suatu gambaran realitas yang apa adanya. Baik itu tentang konsep alam, diri dan masyarakat secara emosional. Seperti halnya dalam melaksanakan tradisi upacara bukan hanya sekedar
12
melaksanakan ritualnya saja, tetapi lebih kepada pembinaan hubungan antara anggota masyaraktnya, dengan alamnya, Tuhannya sebagai pencipta alam semesta beserta dengan isinya serta terhadap para leluhur. Kemudian secara sosiologis bahwa upacara ngaruat lembur juga mempunyai nilai positif bagi warga masyarakat dusun Cieuyeub, tidak hanya nilai spiritual saja melainkan terdapat nilai sosialnya, yaitu sebagai upaya untuk mendorong rasa kesatuan dan persatuan warga masyarakat dusun Cieuyeub khususnya, dan desa Cibitung pada umumnya, serta meningkatkan solidaritas yang tinggi diantara warga masyarakatnya. Sehingga agar keutuhan hubungan diantara masyarakatnya tetap terjaga, maka akan dibentuk aturan-aturan yang bersifat mengikat dengan berlandaskan kesepakatan bersama atau kemungkinan aturan-aturan tersebut bersumber pada keyakinan mereka. Sehingga terciptalah konsep keseimbangan yang menjadi dasar keberadaan masyarakat tradisional dalam mengatur kehidupannya, baik yang menyangkut hubungan induvidu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, atau manusia dengan alam serta manusia dengan Tuhannya Dzat Yang Maha Sempurna. F. Langkah-Langkah Penelitian Untuk memudahkan dalam melakukan penelitian ini, penulis menempuh langkah-langkah penelitian sebagai berikut : 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Dusun Cieuyeub Desa Cibitung RT 18/RW 05 Kecamatan Ciater Kabupaten Subang.
13
2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Hadari Nawawi (2003:63-64) bahwa metode deskriftif adalah cirinya seperti memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah yang bersifat aktual, serta menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya serta diiringi dengan interpretasi rasional yang memadai. Caranya dengan mengumpulkan, dan menganalisa data-data yang ada kaitannya dengan obyek kajian. 3. Jenis Data Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif, yakni data kualitatif adalah pengolahan data dengan menggunakan analisis rasional melalui observasi, dan wawancara sehingga gambaran yang jelas lengkap dan obyektif. 4. Sumber Data Menurut sifatnya, sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber yaitu sumber primer dan sumber sekunder. a. Data primer adalah data yang berhubungan langsung dengan objek yang diteliti, sumber pokok yang didapat dilapangan baik dari hasil observasi maupun wawancara dari para informan. b. Data sekunder adalah data yang tidak berhubungan langsung dengan objek yang diteliti, sumber kedua sifatnya sebagai tambahan. Adapun sumber data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen hasil laporan, hasil penelitian, serta artikel-artikel dari media cetak dan elektronik.
14
5. Tekhnik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang bersifat data primer dari para pengurus/pengelola serta masyarakatnya itu sendiri dengan observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan untuk data yang bersifat data sekunder seperti teori, hasil penelitian, buku dan catatan digunakan studi dokumentasi dan kepustakaan. a. Observasi Observasi dilakukan untuk memperoleh data secara langsung dari sumber primer, khususnya untuk mengetahui obyektif penelitian dan melihat situasi lokasi suasana kehidupan dan perilaku-perilaku subyek penelitian yang akan diamati. b. Wawancara Teknik wawancara terstruktur maupun tidak terstruktur dilakukan terutama untuk mengetahui keterangan atau kenyataan-kenyataan yang dilihat dan di alami oleh responden dan informan, sehingga data yang diperoleh memiliki nilai keabsahan yang cukup tinggi dan dapat dipercaya. Wawancara dilakukan baik secara langsung (tatap muka) maupun secara tidak langsung (melalui telepon). c.
Studi kepustakaan atau dokumentasi Ini dilakukan terutama untuk melengkapi dan menguatkan data yang diperoleh baik dari hasil observasi maupun wawancara. Disamping untuk kepentingan yang bersifat teoritis, guna memperoleh kejelasan dan masukan atas masalah penelitian yang dibahas.
15
6. Analisis Data Setelah data terkumpul selanjutnya melakukan penafsiran dengan menggunakan penganalisaan data dengan menggunakan kerangka logika. Hal ini untuk memudahkan peneliti mengambil kesimpulan. Adapun tahapan analisa datanya adalah sebagai berikut : a.
Mengumpulkan data dan menginventarisir seluruh data yang didapat yang berhubungan dengan penelitian penulis
b.
Mereduksi data yang didapat untuk memilih data yang berhubungan dengan permasalahan data dan yang tidak berhubungan dengan permasalahan
c.
Mengklasifikasikan data yang diperoleh
d.
Terakhir mengambil kesimpulan dari hasil penelitian
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Tradisi 1. Pengertian Secara umum tradisi merupakan suatu aspek dalam kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis baik berupa pantangan-pantangan, sanksi-sanksi maupun tata nilai budaya lainnya yang dianut oleh suatu masyarakat. Soekanto (2005: 180), mendefinisikan tradisi atau adat muncul dan tumbuh dari kebiasaan yang teratur oleh seseorang, kemudian dijadikan dasar hubungan dengan orang-orang tertentu, sehingga tingkah laku atau tindakan masing-masing individu dapat diatur serta itu semua menimbulkan norma atau kaidah-kaidah yang lazim dinamakan tradisi. Tradisi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia sampai sekarang ini jumlahnya sangat banyak sekali. Tradisi merupakan analisir budaya menurut tatalaku manusia dalam jangka waktu sangat lama, yang diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya dan masih berlanjut sampai sekarang ini yaitu sebagai wadah masyarakat pada lingkungan tertentu. Menurut Koentjaraningrat (1987 : 190) tradisi adalah nilai budaya yang merupakan suatu sistem yang berisikan suatu pedoman dalam konsep-konsep ideal yang didalamnya tercantum norma-norma untuk mengikat manusia dalam kehidupannya
sehari-hari.
Pendapat
tersebut
diperkuat
oleh
pandangan
antropologis yang mengemukakan bahwa tradisi ialah suatu aturan yang sudah
16
mantap dan mencakup segala konsepi suatu budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur perbuatan atau tindakan manusia dalam kehidupan sosial. Dengan demikian bahwa pengertian tradisi merupakan suatu kebiasaan yang secara turun-temurun diwariskan dari generasi satu ke generasi selanjutnya dari para leluhur dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sehingga sulit untuk dirubah. Menurut Imam Bawani (1993 : 29) tradisi dapat disimpulkan sebagai suatu kebiasaan yang selalu dilakukan baik itu oleh individu ataupun masyarakat yang secara turun-temurun telah diakui, diamalkan, dipelihara serta dilestarikan oleh suatu kelompok masyarakat, sehingga tradisi ini menjadi suatu ciri yang tidak terpisahkan dari pola kehidupan masyarakat sehari-hari. Dengan demikian masyarakat cenderung memiliki sikap mengakui, mengamalkan, menjaga serta melestarikan kebiasaan masa lalu baik itu berupa, harapan, cita-cita, normanorma, aturan ataupun kaidah dan lain sebagainya yang sudah tumbuh dalam suatu masyatakat. Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa tradisi adalah norma-norma atau nilai-nilai atau perbuatan dan kebiasaan sebagai warisan nenek moyang terdahulu yang bersifat baku dan dilestarikan oleh suatu masyarakat atau generasi penerus hingga sekarang. Tradisi atau adat istiadat juga ada dalam masyarakat yang mendambakan keseimbangan dalam tatanan kehidupan dan juga didasari kepada kebutuhan masyarakat.
2. Unsur-Unsur Tradisi Seperti halnya yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:190) dalam ilmu Antropologi bahwa tradisi memiliki empat unsur pokok yaitu : a) Unsur nilai budaya, yaitu lapisan yang paling abstrak dan memiliki ruang lingkup yang luas,sehingga berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat. Meskipun demikian, sebagai konsep, nilai budaya itu bersifat umum, mempunyai ruang lingkup yang luas dan juga kabur, akan tetapi biasanya berakar dari bagian emosional jiwa manusia. b) Unsur normatif, yaitu norma ini merupakan nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Peranan manusia dalam masyarakat sangat banyak, tiap peranan membawa sejumlah norma sebagai pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranan dalam hidupnya yang bersangkutan. c) Unsur Hukum, dan d) Unsur Aturan Khusus Unsur hukum adalah jumlah hukum yang berkembang dalam masyarakat jauh lebih banyak daripada norma-norma yang menjadi pedoman kehidupan. Dan tingkat tradisi berikunya adalah unsur aturan khusus yang mengatur aktivitas yang sangat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu bisa dikatakan sebagai sebuah tradisi apabila didalamnya terdapat keempat unsur tadi: unsur nilai budaya, unsur normatif, unsur hukum, dan unsur aturan khusus.
3. Fungsi Tradisi Fungsi Tradisi bagi masyarakat menurut Imam Bawani (1993 : 36), adalah sebagai berikut : a. Tradisi Sebagai Wadah Ekspresi Keagamaan Tradisi ini merupakan suatu wadah yang mempunyai fungsi sebagai penyalur keagamaan masyarakat dan hal ini hampir bisa ditemui dalam setiap agama
yang menuntut
kepada pemeluknya untuk
melaksanakan pengalamannya secara rutin. Dalam rangka pengalaman itu, ada tata cara yang sifatnya baku, tertentu dan tidak bisa berubah-ubah. Sesuatu yang tidak pernah berubah dan dilakukan secara terus-menerus dari waktu ke waktu, yang akhirnya identik dengan tradisi. Tradisi juga bisa muncul dari amaliyah keagamaan baik yang dilakukan perorangan maupun kelompok. Dan bagi orang-orang yang tergolong awam, ketika melaksanakan tradisi ini perasaan mereka sama dengan menjalankan agama ( Imam Bawani, 1993:37). b. Tradisi Sebagai Pengikat Kelompok Pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, mereka senantiasa hidup berkelompok dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Bagi manusia hidup berkelompok merupakan hal yang menjadi keharusan, karena tidak semua manusia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, melainkan membutuhkan orang lain, atas dasar inilah, manusia kapanpun,dimanapun akan ada upaya menegakkan hubungan
kelompok dengan tujuan memperkokoh hubungan kelompok tersebut dan terciptanya kesadaran untuk tolong menolong. Hal ini bisa karena beberapa faktor yang dimiliki bersama seperti mempunyai nasib yang sama, memiliki kepentingan dan tujuan yang sama juga termasuk tradisi (Soekanto, 2001:125). Dengan demikian, semakin kokohnya suatu tradisi akan semakin bersemangat masing-masing anggota kelompok dalam menjalankan kehidupannya. Kemudian mereka akan merasa bangga dengan tradisi yang dimilikinya, dan semakin kuat ikatan individu-individu dalam kelompok tersebut yang membuat tiap anggota bangga dengan apa yang ada dan menjadi adaptasi kebiasaan bersama. c. Tradisi Sebagai Benteng Pertahanan Menurut Soekanto (2001: 194), bahwa fungsi tradisi kebudayaan atau tradisi mempunyai fungsi sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Yaitu sebagai benteng pertahanan dari berbagai kekuatan yang harus dihadapi oleh seluruh anggota
masyarakatnya, seperti kekuatan alam
maupun kekuatan-kekuatan lainnya yang dianggap tidak selalu baik baginya. d. Tradisi Sebagai Penjaga Keseimbangan Lahir Dan Batin Pada dasarnya kebutuhan hidup manusia bisa dibagi kedalam dua bagian yaitu kebutuhan lahir dan batin, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Dari kedua kebutuhan itu manusia memilki satu tujuan, yaitu terpenuhinya kebahagiaan dan ketentraman hidup. Untuk memenuhi
kebutuhan itu dilakukan dengan bermacam-macam cara salah satunya dikaitkan dengan fungsi tradisi. Tradisi yang dilakukan masyarakat indonesia pada umumnya adalah tradisi seperti selamatan, baik keselamatan ditujukan untuk anggota keluarga, kerabat serta para arwah leluhur atau nenek moyang, pada masyarakat atau individu tertentu (Andrew Beatty: 2001:43). Dengan demikian bahwa tradisi-tradisi yang ada di masyarakat indonesia khususnya merupakan tradisi yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan lahir dan batin. B. Upacara 1. Pengertian Upacara Keagamaan Dalam kamus besar bahasa Indonesia upacara adat di artikan sebagai tata cara atau perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu, juga sebagai sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat adat atau agama (Poerwadarminta, 1989 : 994 ). Sedangkan menurut Thomas F.O’dea (1995:74) mendefisikan bahwa upacara keagamaan atau disebut juga dengan pemujaan ialah suatu ungkapan perasaan, sikap ataupun hubungan dengan yang suci. Atau dengan kata lain, ritual atau upacara keagamaan merupakan tranformasi simbolis dari pengalamanpengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh media lain. Mengenai arti dari ritual ataupun upacara keagamaan itu sendiri. Sebagaimana yang telah Elizabeth K. Nottingham (1997:15) bahwa ritual adalah
bagian dari tingkah laku: berkorban, bersemedi, memuja, berdoa, mengadakan pesta, menari dan membaca. Oleh sebab itu upacara keagamaan dilakukan tiada lain untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan ataupun sesuatu yang dianggap memilki kekuatan supranatural. Dunia ghaib atau kekuatan supranatural tersebut bisa dihadapi manusia dalam berbagai macam perasaan, seperti hormat, cinta, bakti, takut, ngeri dan sebagainya. Dari perasaan-perasaan itulah mendorong manusia untuk melakukan berbagai kekuatan yang bertujuan untuk berhubungan dengan dunia ghaib tadi. Perbuatan-perbuatan tersebut diungkapkan melalui upacara keagamaan (religious ceremonies) (Koentjaraningrat, 1990:254). Karena itu kita ketahui bahwa hampir semua masyarakat yang melakukan upacara keagamaan pada awalnya dilatarbelakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan terhadap yang sakral yang akhirnya menimbulkan ritual. Sehingga ritual dapat diartikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dan dilakukan dengan ketentuan yang berbeda dengan perilaku yang dilakukan sehari-hari. Demikian pula menurut Djamari sebagaimana yang dikutip oleh Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok (1999:125), bahwa ketika suatu ritual dilakukan sesuai dengan ketentuannya, maka ritual diyakini akan mendatangkan keberkahan, karena percaya akan hadirnya yang sacral. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa upacara keagamaan merupakan sesuatu yang dapat merasakan kehadiran Tuhan pada alam nyata sebagaimana alam ghaib itu dapat dihubungkan dengan dengan perasaan manusia dan alam nyata. Ritual atau upacara keagamaan merupakan aturan dalam tingkah laku yang
memberikan pedoman seseorang untuk menempatkan dirinya dalam keadaan hadir pada hal-hal yang sacral. Upacara keagamaan secara umum dapat dijadikan sebagai media yang menghubungkan manusia dengan yang sacral. Sedangkan secara khusus upacara keagamaan dijadikan sebagai salah satu cara untuk memulihkan kerusakan yang terdapat dilingkungannya, juga sebagai tindakan social yang dapat memperkokoh rasa solidaritas masyarakat atas terjadinya suatu peristiwa. 2. Unsur-Unsur Upacara Menurut koentjaraningrat (1990 : 252) menyatakan bahwa dalam praktik upacara adat atau keagamaan dapat dibagi dalam empat komponen yaitu : a. Tempat Upacara Tempat upacara adalah suatu tempat yang dikhususkan dan yang tidak boleh didatangi oleh orang yang tidak berkepentingan. Mereka yang mempunyai kepentingan tidak boleh berbuat sembarangan disuatu tempat upacara. Selain itu juga, mereka sangat berhati-hati dalam memperhatikan berbagai macam larangan dan pantangan dalam upacara ritual tersebut. Tempat upacara bias dilakukan didalam rumah, disebuah tempat atau desa, kuburan dan tengah ladang atau sawah, suatu pohon besar, suatu gua yang terpencil, pokoknya suatu tempat dimana orang merasakan dunia ghaib, biasanya juga menjadi tempat keramat untuk melakukan upacara-upacara keagamaan.
b.
Waktu Upacara Biasanya dilakukan saat genting dan gawat dan penuh dengan bahaya ghaib yaitu pada pergantian siang dan malam, pergantian musim, waktu penyakit menjalar atau waktu kematian, kelahiran dan lain-lain.
c.
Benda-Benda Upacara Alat yang digunakan dalam upacara seperti wadah untuk tempat sesaji, bendera yang melambangkan dewa atau roh nenek moyang yang menjadi tujuan dari upacara serta benda-benda lain yang umum dipakai dalam upacara-upacara adat dan keagamaan yang dianggap bias menambah kekhusu’an dan dianggap keramat.
d. Pelaku Upacara Adapun pelaku upacara ritual melibatkan orang-orang dari berbagai kalangan diantaranya seperti pemuka tokoh adat, agama, dan masyarakat umum sebagai bagian dari upacara ritual tersebut. 3. Bentuk-Bentuk Upacara Keagamaan Ritual atau upacara keagamaan merupakan pola perilaku yang diarahkan kepada pengabdian terhadap Tuhan dan juga dilaksanakan untuk mempererat ikatan social antara individu dengan individu lainnya, kelompok dengan kelompok lainnya, serta individu dengan kelompok. Juga untuk mengurangi potensi ketegangan atau konflik ditatanan masyarakat. Selain itu ritual keagamaan dilaksanakan untuk memperingati hari-hari besar keagamaan. Menurut William A.Haviland (1988;207) bahwa upacara keagamaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu upacara peralihan (rite of passage) dan upacara
intensifikasi (rite of intensification). Upacara peralihan merupakan merupakan upacara yang sering dilakukan berhubungan dengan tahapan-tahapan dalam siklus kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan, sampai kematian. Sedangkan menurut Zakiyah Darajat (1996;38} bahwa upacara peralihan (inisiasi) ini adalah perubahan status hidup seseorang dimana orang harus memasuki alam baru dan meninggalkan alam yang lama. Adapun upacara peralihan (inisiasi) disebut pula dengan istilah “ritus-ritus penerimaan” yang menunjukkan dua tipe ritus. Tipe pertama
menandai
penerimaan seorang individu dari status social yang satu ke yang lain dalam perjalanan hidupnya. Dan tipe kedua menandai saat-saat penting yang dikenal dalam kelangsungan waktu seperti tahun baru, bulan baru (M.Dhavamony, 1995;189). Dengan demikian bahwa upacara peralihan (inisiasi) adalah upacara yang biasa dilakukan untuk mensucikan situasi krisis dan marginal dalam kehidupan individu. Demikian pula upacara ini dilakukan untuk membawa manusia melintasi krisis yang menentukan dalam kehidupannya (Thomas F.O’dea, 1995;76). Sedangkan upacara intensifikasi adalah upacara keagamaan yang diadakan pada waktu terkena krisis dalam kehidupan kelompok dan bukan dalam kehidupan individu, dan upacara intensifikasi ini penting untuk mengikat orang-orang menjadi satu
(William A.Haviland, 1988;208) Upacara ini dilakukan secara
musiman tergantung kondisi alam, misalnya ; pada musim kemarau yang panjang yang dapat mengancam adanya bencana kekeringan yang merusak lingkungan, tanaman, ladang, pesawahan, dan lain-lain. Sehingga manusia memandang perlu
untuk melakukan ritual permohonan hujan kepada Sang Pencipta untuk mencegah bencana kekeringan tersebut. 4. Sistem-Sistem Upacara Keagamaan Pada dasarnya ritual atau upacara merupakan perilaku keagamaan yang dilakukan manusia dengan berbagai macam peraturan untuk berhubungan dengan alam ghaib. Yang kemudian perasaan tersebut mendorong manusia untuk berhubungan dengan alam ghaib tersebut. Seperti halnya menurut Koentjaraningrat (1990 : 377) bahwa ritual atau upacara keagamaan merupakan suatu kekuatan yang keramat, maka tempattempat, waktu upacara, benda-benda alat upacara dan orang-orang yang melakukan upacara dianggap sebagai tempat, waktu, benda atau alat dan orangorang yang keramat. Sehingga, dalam upacara keagamaan selain unsur emosi keagamaan unsur penting lainnya juga seperti system keyakinan, system upacara keagamaan juga umat yang menganut agama itu sendiri. Adapun beberapa komponen yang berkaitan dengan perilaku keagamaan yang dibarengi dengan emosi keagamaan dilaksanakan seperti biasanya meliputi tempat, waktu, bendabenda atau alat-alat upacara serta pemimpin upacara yang memiliki keramat ataupun sacral. Karena sifat inilah maka, tidak boleh dihadapi dengan sembarangan, harus dihadapi dengan penuh kehati-hatian kalau tidak demikian akan menimbulkan bencana. 5. Fungsi Upacara Keagamaan Adanya kepercayaan terhadap kekuatan supranatural yang berada diluar jangkauan manusia, juga untuk mendekatkan diri kepada yang suci, inilah yang
kemudian melahirkan upacara keagamaan (ritual). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa upacara keagamaan yang dilakukan oleh para penganut dan menjadi bagian penting dari agama itu sendiri karena mempunyai fungsi-fungsi. Fungsi
upacara
keagamaan
adalah
untuk
mencari
keselamatan,
ketenteraman dan sekaligus menjaga kelestarian hidup. Memang pada dasarnya manusia selalu berusaha untuk menolak bahaya dan menjaga keseimbangan hidup di dunia ini, dengan cara melaksanakan upacara keagamaan yang menciptakan manusia untuk penyelamatan dirinya. Demikian pula dengan diadakannya upacara ritual dalam suatu masyarakat diharapkan agar peristiwa-peristiwa yang merugikan tidak akan terjadi dan supaya apa yang mereka lakukan dapat berjalan dengan lancar sehingga membawa kesuburan dan kesejahteraan yang melimpahruah (Zakiyah Darajat, 1996;38). Dalam upacara keagamaan (ritual) menunjukkan adanya pengungkapan sikap yang tepat, menanamkan sikap kedalam kesadaran diri yang tertinggi dan juga merupakan suatu perasaan semua orang yang melibatkan diri. Jadi bisa dikatakan bahwa ritual ini menunjukkan perilaku hubungan ketika berhadapan dengan objek yang suci. Bahkan menurut Robertson Smith yang dikutip Koentjaraningrat (1987;67), ritual atau upacara keagamaan yang biasanya dilakukan secara bersama-sama
di
masyarakat
beragama
memiliki
fungsi
sosial
untuk
mengintensifkan solidaritas masyarakat. Selain itu bahwa tradisi yang dilakukan masyarakat mempunyai fungsi sebagai kontrol social yang bermaksud mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu demi dirinya sendiri atau sebagai individu
ataupun individu bayangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol dengan cara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok denim komunitas secara keseluruhan (M.Dhavamony,1995;180). Ritual ini dapat mengungkapkan, menyalurkan dan mendorong timbulnya emosi keagamaan melalui simbol-simbol yang dipakai, selain itu juga dapat menghubungkan masa lampau dengan dunia sekarang, juga merupakan sesuatu yang menunjukkan formalisasi perilaku ketika berhadapan dengan objek suci. Dengan demikian ritual mempunyai tujuan dan fungsi yang sangat penting dalam pengalaman keagamaan. Demikian pula bahwa fungsi upacara keagamaan adalah untuk melindungi seseorang atau masyarakat yang ada di sekelilingnya dari rasa ragu dan bahaya dengan mengantisipasinya secara simbolis. Sehingga dengan cara ini dapat menenangkan kecemasan yang terjadi pada orang-orang yang tanpa memiliki pegangan serta menghindari pengaruh buruk yang menimpa dirinya (Thomas F.O’dea, 1995:19). Selain itu fungsi upacara juga dapat menimbulkan adanya solidaritas yang tinggi antar masyarakat, mengukuhkan nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya, segbagai media untuk mendoakan para arwah leluhur, keluarga, kerabat juga sebagai tolak bala yaitu mengusir segala macam bahaya, musibah bahkan penyakit. Pendapat diatas dipertegas lagi oleh Emile Durkheim yang mengatakan bahwa prilaku keagamaan yang didasari emosi keagamaan mempunyai fungsi untuk menumbuhkan rasa terikat, cinta, bakti, dan perasaan lainnya terhadap masyarakat dimana ia hidup (Dadang Kahmad, 2000:29).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dan fungsi dari ritual keagamaan adalah untuk menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi dan semangat percaya diri dalam menghadapi kehidupan. Disamping sebagai media penyalur yang dapat menimbulkan kekuatan emosi keagamaan melalui simbol-simbol yang dipakai juga menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa pengalaman keagamaan yang pernah dialami oleh panca indera, baik yang melibatkan sikap, emosi ataupun perasaan. 6. Makna Simbol Dari Upacara Keagamaan Tindakan agama terutama yang ditampakkan dalam upacara (ritual). Ritual merupakan agama dalam tindakan. Meskipun ungkapan iman mungkin merupakan bagian dari ritual atau bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan berusaha menjelaskan makna dari ritual serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas dari pelaksanaan ritual tersebut. Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang selalu dilakukan oleh individu atau masyarakat yang secara turun-temurun dapat diakui, dipelihara, diamalkan dan dilestarikan oleh suatu kelompok masyarakat, sehingga tradisi ini menjadi ciri yang tidak dapat dipisahkan dari pola kehidupan masyarakat sehari-hari. Sedangkan ritual merupakan tindakan atau perbuatan yang terikat kepada aturanaturan tertentu juga sebagai acara kebesaran didalam melaksanakan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat atau agama. Menurut Susane Langer bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbolsimbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan
perasaan, serta disposisi pribadi dari para pemuja. Pengobjekkan simbol-simbol sangat penting dalam kelanjutan kelompok keagamaan. Karena simbol-simbol tersebut dapat menghadirkan suatu emosi atau getaran keagamaan (M. Dhavamony,1995:174). Inti dari emosi keagamaan dipandang tidak dapat diekspresikan, maka semua upaya untuk itu merupakan perkiraan-perkiraan simbolik. Meskipun demikian sebagai salah satu cara menghidupkan benda-benda dan makhluk sacral yang ghaib dalam pikiran dan jiwa para pemeluk agama yang bersangkutan, simbolisme, meskipun kurang tepat dibandingkan dengan cara ekspresi yang lebih ilmiah, tetapi mempunyai potensi yang istimewa. Karena lambing-lambang itu mampu membangkitkan perasaan dan keterikatan lebih daripada sekedar formulasi verbal dari benda-benda yang mereka percayai sebagai pendorong paling kuat
bagi timbulnya perasaan manusia. Karena itu tidak sukar untuk
dipahami bahwa dimilikinya lambing bersama merupakan cara yang sangat efektif untuk mempererat persatuan diantara para pemeluk agama didunia ini. Ini tidak lain karena dari lambang-lambang tersebut menyimpang jauh dari definisi-definisi intelektual, sehingga kemampuan lambing tersebut untuk mempersatukan lebih besar, sedangkan definisi intelektual menimbulkan perpecahan. Lambanglambang bisa dimiliki bersama karena perasaan yang tidak dirumuskan terlalu ketat (Nottingham, 1998:17).
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN TENTANG UPACARA NGARUAT LEMBUR
A. Kondisi Objektif Masyarakat Dusun Cieuyeub 1. Sejarah Dusun Cieuyeub Menurut cerita dari para sesepuh, orang yang pertama mendirikan dusun adalah bapak Asna Direja yang terkenal dengan sebutan Aki Lurah Jako beliau seorang tokoh masyarakat yang disepuhkan pada waktu itu. Kala itu masih jaman Demang di Sagalaherang, Demang tersebut datang ke Cicoregang kemudian menanyakan arti dari Cicoregang. Maka diterangkan oleh Aki Lurah Jako arti dari kata Cicoregang, dusun Cicoregang atau cikadu regang nama ini diambil dari nama pohon kadu atau durian yang berbuah tetapi tidak memiliki daun, karena daunnya itu rontok dan gugur, sedangkan regangnya (rantingnya) masih ada. Setelah Demang mendengar penjelasan dari Aki Lurah Jako tentang arti dari Cicoregang , maka nama Cicoregang diganti menjadi Cieuyeub (karena Euyeub-nya itu adalah area pegunungan yang terkenal kesuburannya). Pada masa penjajahan Jepang, yakni tahun 1942-1945 Dusun Cieuyeub pernah dijadikan daerah jajahan, seperti daerah Cipanas, Ciater sampai Kalijati. Masyarakatnya diperlakukan sangat kasar dan
kejam, sehingga masyarakat
setempat pun akhirnya melawan penjajah jepang. Dan pada tahun 1945- 1949 karena ikut membantu pemerintah Republik Indonesia. warga masyarakat Dusun Cieuyeub dijadikan daerah operasi militer
31
oleh penjajah, masyarakatnya disiksa dan di tahan, rumah dibakar, harta benda dirampas. Akhirnya tempat pemerintahan Ripublik Indonesia dan para pejuang disembunyikan yaitu di Cigombong sebelah selatan Dusun Cieuyeub. Dusun Cieuyeub adalah salah satu daerah yang mana penduduknya terlibat secara aktif dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang. Setelah era penjajahan jepang berakhir timbul gerakan pemberontakan dari rakyat Indonesia sendiri yang tergabung dalam organisasi DI-TII pimpinan Karto Suwiryo. Dan pada tahun 1958 dusun cieyeub pernah dibumi hanguskan oleh gerombolan DITII sehingga banyak korban yang meninggal maupun terluka akibat serangan tersebut. Kemudian setelah terjadinya insiden pemberontakan tersebut barulah sesepuh adat atau masyarakat dan aparat berembug untuk mengadakan musyawarah bersama dalam hal menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan dari serangan susulan yang dikhawatirkan akan terjadi kembali menimpa dusun Cieuyeub. Dan dalam kesempatan musyawarah tersebut yang dipimpin oleh : Pak Saud (tokoh masyarakat), Aki Alhapi (tokoh Adat), Bpk.Suwanda (tokoh Pemuda) dan Letnan Pangayo (aparat militer dari batalion 312) disepakati penggabungan beberapa dusun dijadikan dalam satu wilayah agar dapat terkontrol dalam hal keamanan dan ketertibannya terhadap serangan-serangan dari luar. Adapun dusun-dusun yang digabungkan tersebut diantaranya : Cieuyeub, Cikadu, Babakan Cikukulu, Tegal Peteuy, dan Babakan Parta, dijadikan ke dalam satu wilayah yang diberi nama Kampung Sukanagara.
2. Keadaan Letak Geografis Dusun Cieuyeub termasuk dalam Desa Cibitung yang terletak pada ketinggian 700-800 meter diatas permukaan laut dengan iklim sub-tropis dengan suhu rata-rata 19-20 derajat celcius.Topografis desa Cibitung adalah daerah pegunungan yang ditanami berbagai jenis pohon pelindung hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Luas tanah perkebunan rakyat mencapai 105 hektar. Sedangkan sawah dan ladang mencapai 204 hektar dan permukaan mencapai 13 hektar. Sedangkan jarak ke ibu kota Kabupaten 26 km dan jarak ke ibu kota Kecamatan 4 km. Sedangkan letak desa Cibitung berbatasan dengan empat desa tetangga yang mengelilinginya, antara lain :
3.
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cibeusi
-
Sebalah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cisalak
-
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sanca
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Palasari Keadaan Penduduk
a. Jumlah Penduduk Adapun struktur masyarakat Dusun Cieyeub didominasi oleh jumlah penduduk usia produktif sebesar 1421 orang dari total jumlah pnduduk 2.900 orang. Mata pencaharian utama adalah pedagang, buruh tani dan petani dan peternak. Tingkat pertumbuhan penduduk masih berada pada kisaran 1-1,5% dengan tingkat mortalitas kurang dari 1%.
Ditambah dengan keadaan lingkungan yang berbukit dengan struktur tanah berbatu menyebabkan proses pengambilan air tanah menjadi kesulitan tersendiri. Air bersih yang selama ini digunakan masyarakat bersumber dari mata air pegunungan yang dialirkan dengan system gravitasi yang disalurkan melalui pipa atau selang air ke setiap rumah tangga. Di samping itu ada beberapa lokasi saluran pembuangan air limbah belum memenuhi standard minimal kesehatan. Sehingga dalam hal ini keberadaan air bersih umum maupun MCK umum menjadi prioritas utama kebutuhan. Untuk perumahan secara umum telah memenuhi standard rumah layak huni, namun ada 115 rumah kurang sehat atau kurang layak huni yang tersebar di setiap RW yang membutuhkan renovasi. Tabel I Jumlah Penduduk Menurut Umur No
Kelompok Umur
Jumlah
1
00-03 tahun
89
2
04-06 tahun
125
3
07-12 tahun
141
4
13-15 tahun
185
5
16-18 tahun
290
6
19 tahun keatas
591
Jumlah
1421
(Monografi dusun Cieuyeub dikutip tanggal 26 September 2011) b. Pendidikan Pendidikan adalah salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia untuk menggali hal-hal baru dalam meningkatkan taraf hidup
yang lebih baik. Maju dan mundurnya pendidikan dalam suatu masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya. Karena semakin tinggi pendidikannya maka semakin tinggi pula tingkat berpikir dalam pembangunan secara fisik untuk kemajuan daerah juga membangun peradaban di masyarakat. Pendidikan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kehidupan sosial ekonomi suatu daerah. Pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan ikut serta dalam menentukan maju mundurnya suatu daerah. Tingkat pendidikan merupakan salah satu
aspek yang penting dalam perkembangan
pembangunan. Komposisi penduduk dusun Cieuyeub menurut tingkat pendidikan dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut. Tabel II Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No
Pendidikan
Jumlah
1
Tidak sekolah
78
2
SD
2003
3
SLTP
219
4
SLTA
15
5
Diploma
16
6
Sarjana
9
Jumlah
2340
(Monografi dusun Cieuyeub dikutip tanggal 26 September 2011) Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pada umumnya tingkat pendidikan penduduk dusun Cieuyeub masih tergolong rendah, yang mana masih banyak anak yang putus sekolah setelah tamat SD, hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang berada pada tingkat SD lebih dominan.
Keadaan yang demikian erat kaitannya dengan rendahnya tingkat kesadaran orang tua terhadap pentingnya pendidikan bagi anaknya sehingga orang tua kurang memperhatikan terhadap pendidikan, orang tua lebih disibukkan pada kegiatan pertanian. Di
samping itu sarana pendidikan
juga
sangat
mempengaruhinya, ini dibuktikan dengan minimnya sekolahan di dusun tersebut. Selain itu letak dusun Cieyeub yang jauh dari tempat pendidikan lainnya, selain itu masih sedikitnya sarana transportasi umum yang dapat menjangkau dusun Cieuyeub sarana transportasi yang dapat digunakan oleh masyarakat adalah angkutan roda dua / ojeg. c.
Kondisi Ekonomi Mayoritas penduduk dusun Cieuyeub bermata pencaharian petani, di
samping sebagai petani ada juga penduduk yang bermata pencaharian seperti yang tertera dalam tabel berikut. Tabel III Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No
Mata Pencaharian
Jumlah
1
Petani
614
2
Pegawai Negeri Sipil
28
3
ABRI
-
4
Swasta
56
5
Pedagang
42
6
Pengrajin
10
7
Jasa
14
Jumlah
764
(Monografi dusun Cieuyeub dikutip tanggal 26 September 2011)
Berdasarkan tabel di atas, sebagian penduduk dusun Cieuyeub adalah bekerja pada sektor pertanian yang mencapai 220 orang, maka sebagian besar penduduknya bergantung pada lahan pertanian sebagai sumber pendapatan seharihari. Sebagaimana telah dijelaskan pada kondisi geografis bahwa wilayah dusun Cieuyeub sebagian besar (80%) lahannya lamping di bawah pegunungan maka penduduk di dusun tersebut memanfaatkan tanah miliknya untuk berocok tanam sayuran, buah-buahan dan ada juga yang menanam pohon aren dan pohon bambu dari jenis mahoni. Albasiah, manglid,dll. Seperti juga dusun lainnya yang berada di bawah pemerintahan desa Cibitung, dusun Cieuyeub juga merupakan salah satu penghasil padi yang baik, hal ini dapat dilihat dari sebagian besar mata pencaharian penduduk tergantung pada hasil pertanian. Untuk mengairi lahan pertanian, mereka telah menggunakan air irigasi yang ada di dusun tersebut. Dari hasil pertanian tersebut penduduk merasakan bahwa penghasilan mereka banyak terpenuhi. Pembangunan di wilayah dusun Cieuyeub sebagian besar terdukung oleh usaha tersebut. Karena sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani maka kehidupan perekonomian penduduk rata-rata sama yaitu pada taraf ekonomi menengah untuk ukuran desa. Di samping sebagai petani, mereka juga memiliki binatang ternak untuk tambahan penghasilan, binatang ternak yang mereka pelihara dengan urutan terbanyak adalah : ayam kampung, kambing, sapi, domba dan itik.
d. Kondisi Keagamaan Penduduk dusun Cieuyeub sebagian besar beragama Islam. Sehingga kegiatan keagamaan Islam cukup banyak terdapat di lingkungan ini. Untuk lebih jelasnya jumlah penganut agama penduduk dusun Cieuyeub dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut. Tabel IV Keadaan Penduduk Menurut Agama No
Agama
Jumlah
1
Islam
1418
2
Kristen
3
3
Hindu
-
4
Budha
-
Jumlah
1421
(Monografi dusun Cieuyeub dikutip tanggal 26 September 2011) Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa selisih perbandingan jumlah penganut agama nampak jauh, namun dalam menjalankan keyakinannya mereka tetap saling menghargai antara satu dengan yang lain. Adapun kegiatan keagamaan di dusun Cieuyeub meliputi kegiatan untuk anak-anak, ibu-ibu, maupun untuk umum, di antaranya adalah: Meliputi kegiatan pengajian ibu-ibu dan para remajanya yaitu dengan mengadakan pengajian mingguan dan bulanan secara bergilir dari dusun satu ke dusun lainnya.
Tabel V Sarana Prasana Keagamaan No
Sarana
Jumlah
1
Mesjid
12 unit
2
Mushola
8 unit
3
Madrasah
2 unit
(Monografi dusun Cieuyeub dikutip tanggal 26 September 2011) Tabel VI Sarana Prasana Yang Tersedia Di Desa Cibitung No
Sarana
Jumlah
1
Puskesmas
1 unit
2
Posyandu
3 unit
3
Bidan praktik
1 orang
4
Sumur ledeng
6 unit
5
Lapang sepak bola
3 unit
6
Lapang bola voli
6 unit
7
Lapang bulutangkis
2 unit
(Monografi dusun Cieyeub dikutip tanggal 26 September 2011) e. Kondisi Sosial Budaya Warga dusun Cieuyeub khususnya dan desa Cibitung umumnya secara umum merupakan menganut pola hububgan paternalistik, dimana laki-laki memiliki peran lebih penting dalam setiap persoalan kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian partisipasi perempuan tetap dominan dalam hal kegiatan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas kesehatan. Hubungan diantara lembaga lokal yang ada dapat dikatakan kondusif dengan indikator tingkat partisipasi mereka dalam proses pelaksanaan program
sampai saat ini berjalan dengan baik. Norma sosial kemasyarakatan dan keagamaan menjadi dasar yang kuat dalam perilaku kehidupan sehari-hari yang berimplikasi pada budaya gotong-royong. B. Latar Belakang, Prosesi Dan Tahapan-Tahapan Upacara Serta MaknaMakna Simbol Yang Terkandung Dalam Upacara Ngaruat Lembur 1. Latar Belakang Upacara ngaruat lembur merupakan tradisi atau kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat dusun Cieuyeub. Hal ini terbukti bahwa upacara ngaruat lembur tersebut sudah ada pada tahun-tahun sebelumnya, dan diyakini umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Meskipun tidak ada keterangan tertulis mengenai sejak kapan adanya upacara tersebut, akan tetapi masyarakat sekitar merasa bangga terhadap warisan dari para leluhur atau mereka sering menyebutnya dengan para karuhun. Sehingga keberadaan upacara ngaruat lembur ini menjadi pengikat solidaritas diantara anggota masyarakatnya, juga sebagai wujud bentuk penghormatan terhadap warisan para leluhur dalam melestarikan budaya daerah. Latar belakang upacara ngaruat lembur muncul karena dilatar belakangi oleh asal muasal keberadaan masyarakat dusun Cieuyeub. Pada mulanya wilayah Cieuyeub merupakan daerah perbukitan, dengan struktur tanah berbatu. Menurut pemikiran sebagian besar masyarakat kondisi tersebut tidak layak untuk dihuni manusia, disamping itu wilayah tersebut berada diperbukitan dan berbatu, sehingga mereka khawatir akan terkena longsor dan musibah lainnya. Namun pada akhirnya penduduk dusun Cieuyeub mencoba memberanikan diri membuka
lahan untuk bermukim, bercocok tanam, dan aktivitas lainnya. Akan tetapi pada waktu itu masyarakat belum melaksanakan upacara ngaruat lembur, sehingga masyarakat dusun Cieuyeub pada saat itu terkena wabah penyakit, hasil pertaniannya selalu mengalami gagal panen dan kerugian materi yang tidak sedikit. Melihat hal itu masyarakat tidak tinggal diam, mereka mencari cara untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga masyarakat waktu itu perlu mengadakan musyawarah dengan para tokoh masyarakat dan para sesepuh setempat. Dari hasil musyawarah tersebut menghasilkan bahwa harus diadakan selamatan kampung yaitu upacara ngaruat lembur. Dari sinilah pertama muncul upacara ngaruat lembur, yang pada akhirnya setelah masyatakat melaksanakan upacara ngaruat lembur tersebut ternyata lambat laun menampakkan hasil yang positif, yang sebelumnya wilayah tersebut tidak layak huni berubah menjadi wilayah pertanian yang subur. Yang tadinya pertanian selalu gagal dan para petani mengalami kerugian, tetapi setelah masyarakat melaksanakan upacara ngaruat lembur pertanian tidak mengalami gagal panen lagi, dan wabah penyakitpun menjadi berkurang (wawancara dengan Mbah Ida 17 september 2011). Sehingga masyarakat bangga dan bersyukur atas hal tersebut, sehingga kebangga tersebut mereka ungkapkan dengan memberikan sebagian rezeki dari hasil pertanian mereka kepada orang yang kurang mampu. Selanjutnya kegiatan tersebut dilakukan secara rutin setahun sekali yang kemudian menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat setempat, Inti pokok dari upacara ngaruat lembur bagi masyarakat tersebut adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME
atas segala nikmat dan keberkahan yang telah mereka peroleh selama ini yaitu berupa tanah yang subur dan hasil panen yang melimpah serta sebagai do’a agar terhindar dari bala dan bencana. Ngaruat lembur berasal dari asal kata “Nga” berarti ngarah atau supaya,”ruat” berarti karuat atau rawat,merawat dan “lembur” berarti lembur atau kampung, jadi ngaruat lembur secara etimologi adalah upacara adat untuk meminta keselamatan bagi warga mayarakat dari berbagai musibah / malapetaka yang akan menimpa kampung tersebut. Secara terminologi ngaruat lembur adalah upacara adat untuk memohon perlindungan kepada Sang Pencipta agar terhindar dari segala bentuk yang bisa berakibat buruk terhadap warga masyarakatnya dan memohon keberkahan agar diberi kesehatan, keselamatan & kesejahteraan bagi seluruh hambaNya khususnya bagi warga masyarakat yang telah mengikuti upacara ngaruat lembur selain sebagai bentuk penghormatan bagi para leluhurnya.
Dalam upacara ngaruat lembur biasanya dilakukan dengan cara
mengumpulkan seluruh warga masyarakat kampung serta membawa hasil bumi, baik yang masih mentah ataupun yang sudah diolah menjadi makanan. Upacara ngarut lembur menggenapi rangkaian upacara yang digelar sebelumnya seperti upacara hajat solokan, mapag cai, mitembeyan, netebkeun, ngayaran,hajar wawar, dan sebagainya. Mayoritas diantaranya terkait dengan proses pertanian, khususnya budidaya padi. Dalam upacara ngaruat lembur, padi memilki tempat istimewa. Padi atau beras menurut keyakinan masyarakat setempat, tidak hanya sebagai bahan pangan,
tetapi padi diyakini bermula dari aktivitas Dewa-Dewi sehingga bersifat sakral dan segala proses yang dihasilkannya dipandang suci. Selain upacara ngaruat lembur dilaksanakan sebagai wujud syukur kepada Tuhan YME atas hasil bumi yang diperoleh dan sebagai penghormatan terhadap para leluhur atau karuhun juga sebagai tolak bala, karena masyarakat dusun Cieuyeub mempunyai kepercayaan, bahwa apabila upacara tersebut tidak dilaksanakan maka akan terjadi hal-hal diluar akal manusia atau akan terjadi krisis, seperti gagal panen, wabah penyakit, kekeringan dan lain sebagainya. Sehingga upacara ngaruat lembur tersebut harus selalu dilaksanakan karena kuatnya kepercayaan masyarakat. Bahkan menurut Mbah Suwanda sebagai sesepuh dusun Cieuyeub, pernah ada suatu kejadian waktu itu masyarakat dusun Cieuyeub tidak melasanakan upacara ngaruat lembur karena masyarakat pada saat itu sedang mengalami keterbatasan dana ditambah ada masalah sebelumnya mengenai teknis jalannya upacara ngaruat lembur, sehingga warga masyarakatnya terserang penyakit cacar air, belum mengalami gagal panen yang menimbulkan kerugian materil yang tidak sedikit Sehingga timbul asumsi pada sebagian besar masyarakat bahwa terjadi peristiwa, musibah ataupun krisis lainnya yang menimpa dusun Cieuyeub itu dikarenakan tidak melaksanakan upacara ngaruat lembur. Upacara ngaruat lembur juga merupakan media langsung bagi masyarakat untuk mengungkapkan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui do'a bersama-sama yang dipanjatkan pada puncak acara. Permohonan itu dia antaranya agar seluruh warga masyarakat dusun Cieuyeub
terjaga keselamatannya,
ditambah rejekinya serta dijauhkan dari segala bencana, sehingga masyarakat akan selalu hidup aman, tentram dan damai. 2. Prosesi Pelaksanaan Upacara Ngaruat Lembur a. Tempat Pelaksanaan Upacara Tempat
penyelenggaraan
upacara
ngaruat
lembur
pertama
kali
dilaksanakan di rumah ketua adat, kemudian prosesi acara numbal dilaksanakan ditempat penumbalan, yaitu berada ditengah-tengah dusun cieuyeub, setelah itu upacara ngaruat lembur dilaksanakan dengan acara mengelilingi dusun cieuyeub. b. Waktu Pelaksanaan Upacara Upacara ngaruat lembur di dusun Cieuyeub dilaksanakan setiap satu tahun sekali yaitu pada pada bulan rayagung (bulan terakhir dalam sistem penanggalan sunda/Bulan Haji), atau juga dilaksanakan pada bulan muharam berdasarkan kalender hijriah. Kemudian hari dan tanggal biasanya ditentukan oleh para sesepuh yaitu menggunakan perhitungan jawa berdasarkan manis-pahing. Misalnya jatuh pada hari Rabu Pon atau Rabu pahing, para sesepuh mengambil perhitungan berdasarkan manis-pahing karena memiliki makna dan tujuan tersendiri (hari baik bagi kampungnya). Para sesepuh mencari tanggal yang baik dihitung dari tahun, bulan, tanggal, hari dan pasaran (manis-pahing). Seperti upacara ngaruat lembur tahun kemarin yang jatuh pada hari Rabu Pon yang artinya, singa ketawang lakuna ratu (bagus). Rabu pon menurut perhitungan jawa jatuh pada tanggal 18 rayagung, yang bertepatan pada tanggal 16 november 2011 kemarin. Biasanya untuk tanggal bisa tanggal berapa saja, akan tetapi untuk bulan harus bulan
Rayagung dan untuk hari dihitung atas penanggalan manis-pahing. Dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Misalnya ketika warga masyarakat dusun cieuyeub sedang mengalami krisis keuangan maka upacara ngaruat lembur biasanya dilaksanakan dengan sederhana. c. Teknis Pelaksanaan Upacara Ngaruat Lembur Untuk persiapan dalam pelaksanaan upacara ngaruat lembur lamanya bisa mencapai satu bulan atau sekitar 40 hari. Kenapa persiapannya begitu lama sampai mencapai satu bulan lebih? karena masyarakat di dusun Cieuyeub tidak semua warga masyarakatnya memiliki ekonomi yang cukup, sehingga apabila waktu dilaksanakan upacara ngaruat lembur sedikit lama ke hari Ha’nya, maka masyarakat yang kurang mampu bisa menabung terlebih dahulu. Dengan maksud agar seluruh warga masyarakat bisa ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan upacara ngaruat lembur tersebut. Kemudian untuk waktu pelaksanaan upacara ngaruat lembur ditentukan dalam rapat di balai desa yang dihadiri oleh para tokoh masyarakat setempat, sesepuh adat dan dari wakil pemerintahan desa, sedangkan untuk menentukan tanggal, hari dan waktu kapan dilaksanakan upacara ngaruat lembur tersebut biasanya tidak ditentukan di dalam rapat tadi, tetapi ditentukan oleh para sesepuh. Adapun hasil rapat itu sendiri adalah pembentukan panitia pelaksana mencakup: ketua panitia, wakil ketua, sekretaris, dan bendahara serta seksi-seksi lainnya sebagai pembantu umum. Setelah susunan kepanitiaan terbentuk, maka seluruh panitia beserta seksiseksinya mulai menjalankan tugasnya masing-masing yang dibantu oleh kepala rukun tetangga setempat, yaitu dengan mulai memungut iuran untuk pelaksanaan
upacara yang besar nya disesuaikan dengan keadaan ekonomi masyarakatnya, terbagi kedalam kelompok masyarakat sesuai dengan hasil musyawarah warga masyarakat, misalnya untuk kelompok-1 sebesar Rp 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah), kemudian untuk kelompok-11 sebesar Rp75.000 (tujuh puluh lima ribu rupiah), kelompok-111 sebesar Rp 50.000(lima puluh ribu rupiah), dan sisanya bagi masyarakat yang kurang mampu tidak ada paksaan bagi mereka untuk membayar iuran, kalau mau membayar iuran mereka membayar semampunya saja, atau biasanya mereka menyumbangkan tenaga atau sebagian hasil buminya untuk acara ini. Tidak ada paksaan disini, masyarakat ikhlas membayar iuran karena upacara ngaruat lembur sudah menjadi salah satu bagian dalam kehidupan masyarakat dusun Cieuyeub dan menjadi upacara rutin tahunan (Wawancara pak Agus September 19 september 2011). Biasanya sebelum pelaksanaan upacara ngaruat lembur, setiap anggota masyarakat dalam membuat makanannya diabagi kikitir terlebih dahulu (pembagian dalam membuat makanan).
Setiap anggota masyarakat membuat
makanan berbeda-beda, ada yang membuat opak, wajit, gegeplak, dodol dan sebagainya, tetapi yang menjadi kewajiban anggota masyarakat yaitu membuat nasi tumpeng yang dibungkus oleh daun kelapa berbentuk kerucut, satu rumah tangga membuat satu nasi tumpeng. Adapun untuk keperluan sesajen dalam pelaksanaan upacara ngaruat lembur biasanya dibuat oleh para sesepuh kampung atau kuncen.
d. Pihak-Pihak Yang Terlibat Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ngaruat lembur tersebut adalah
seluruh
warga
masyarakat
dusun
Cieuyeub
berikut
aparatur
pemerintahannya yang turut terlibat dan merasa bertanggungjawab atas kelancarannya pelaksanaan upacara ini. Terlibat pula didalamnya aparat pemerintahan dari desa Cibitung (kuwu, juru tulis, beserta jajarannya), kecamatan (camat atau yang mewakilinya), dan aparat desa tetangga sebagai tamu undangan serta ada juga tamu dari luar daerah yang sengaja datang ingin mengetahui jalannya upacara tersebut. Dalam pelaksanaan upacara tersebut yang bertindak sebagai penanggung jawab adalah kepala desa atau kuwu, sedangkan sesepuh dan anggota masyarakat bertindak sebagai peserta yang menghadiri jalannya upacara. Kemudian adapun perangkat desa bertindak sebagai yang memfasilitasi sekaligus sebagai panitia yang dibantu oleh sebagian warga masyarakat. e. Proses Jalannya Upacara Dan Tahapan-Tahapannya Pelaksanaan tradisi upacara ngaruat lembur dilaksanakan di rumah ketua adat atau sesepuh adat. Semua peserta upacara berkumpul di rumah sesepuh adat untuk menyaksikan acara gembyung buhun”dangiang dongdo”, atau kesenian terebang sebagai prosesi awal upacara, dengan maksud untuk menghormati para arwah leluhur yang telah meninggal dunia dengan cara dibacakan tawasulan/do’a yang memintakan ampunan dan keselamatan untuk para leluhur kepada Allah Swt serta dengan disediakannyan beberapa sesajen dalam ritual tersebut yang terdiri dari beberapa makanan (opak, wajit
gegeplak, dodol, rangginang, dapros, opak ceos) ,buah-buahan (pisang, jeruk, apel ). Setelah ritual do’a / tawasulan beres diteruskan dengan acara mennyimak dan meresapi alunan musik adat kasundaan yang bersifat sakral dan penuh dengan unsur nasehat dalam tiap liriknnya. Nuansa sacral yang terpancar .berbalut aroma wewangian, semakin menebar kesan bahwa adat leluhur upacara ngaruat lembur masih sangat terpelihara serta diyakini warga dusun cieuyeub. Ketika itu suasana dirumah ketua adat menjadi sangat sesak dipenuhi oleh warga masyarakat yang datang untuk menyaksikan kesenian terebang, yang menjadi acara pembuka dalam upacara ngaruat lembur. Suasananya menjadi sangat sacral ketika ketua terebang memulai membuka acaranya, seluruh warga masyarakat yang hadir pada waktu itu terdiam dan khusyu’k mendengarkan ketua terebang membuka acara dan melantunkan beberapa lagu sebagai salam kepada leluhur kampung. Lagu-lagu kesenian terebang berisi petuah tentang kepercayaan terhadap Tuhan YME, pujian kepada Rasul, serta ajaran hidup. Adapun pembukaan dan lagu yang dilantunkan oleh ketua terebang yaitu sebagai berikut: Eling-eling mangka eling Nya eling mangpang di dunya Suci kana badan nira Babu mangka eling Yaitu maksud dari lagu diatas adalah sebagai pembuka acara dimana yang berisitu sebagai bahan renungan/ mengingatkan kita untuk selalu ingat tentang
apa yang seharusnya kita lakukan selama ada di alam dunia ini, tentang ajaran hidup selagi kita masih hidup di dunia. Benjang Jeuleuma leuwih, dinu salam sama lasi yalah ditatamani, dinu salam sama lasi yalah ditatamani, yalah bismilasan. Engko Yalah engko, ayun-ayunan engko di yadu yalah.. Benang disaleumpai bodas engko ayun-ayunan.. Benang disaleumpai bodas engko di yadu yalah Malong Ula ilah yalah ra’I, yalah malong Ula ilah yalah ra’I, yalah malong Muhakmadun Rosulullah Ula ilah yalah ra’I yalah malong Raja Sira Somyang-somyang ileloh Nabi Muhammad raja sira Yauw yari rupa dipimadon nika raja sira Berdasarkan keempat lagu diatas ketika dikonfirmasi tentang makna dan maksud isi lagu tersebut, ternyata sebagian warga masyarakatnya tidak mengetahui tentang makna dari isi lagunya. Bahkan ketika bertanya kepada pupuhu atau ketua dari kesenian terebang itu sendiri beliau tidak mengetahui apa makna dari isi lagu tersebut, menurut bapak Rukman selaku ketua terebang, bahwa lagu tersebut memang sudah dari jaman nenek moyang/ para
leluhurnya terdahulu sudah seperti itu, tidak ada artinya hanya sebuah lagu saja, yang ditujukan untuk menghormati para leluhur (wawancara bapak Rukman 16 november 2011). Pelaksanaan acara tersebut dimulai pada jam 07:30. Setelah para sesepuh memimpin jalannya upacara. Suasana bertambah sacral dan khidmat ketika warga masyarakat menyimak beberapa lantunan lagu yang dibawakan oleh para pupuhu terebang. Ketika itu ada seorang warga masyarakat yang menari dengan berbalut selendang dilehernya, sambil menyulut rokok. Kemudian sesekali rokok tersebut dimakannya. Warga masyarakat yang melihat hal tersebut beranggapan bahwa orang yang menari tersebut sedang dimasuki arwah para leluhur dan hal itu memang sering terjadi, ketika kita berada atau dekat dengan yang sifatnya sakral atau ghaib. Kemudian dalam acara terebang tersebut terdapat beberapa sesajen ataupun makanan. Adapun sesajen atau makanan yang ada dalam acara tersebut yaitu : nasi tumpeng, ayam bakakak, macam-macam rujak ( rujak asem, rujak kelapa, rujak roti, rujak pisang, bubur merah dan bubur putih, buah-buahan, kopi pahit, kopi manis, air putih atau air teh, makanan dan sebagainya. Semuanya ini merupakan perlengkapan dalam gembyung buhun sebelum besoknya pelaksanaan upacara upacara ngaruat lembur. Setelah acara terebang selesai dilanjutkan dengan acara makan bersama dirumah ketua adat, dan semua orang yang hadir dalam acara tersebut ikut makan, ngobrol-ngobrol sambil sesekali diselingi banyolan atau candaan,
terdengarlah suara tertawa kebahagiaan yang penuh keakraban dan kebersamaan antar warga masyarakatnya. Pada pagi harinya walau mentari di ufuk timur belum sempurna memancarakan sinarnya, namun puluhan warga masyarakat berduyun-duyun mempersiapkan segala perlengkapan untuk upacara ngaruat lembur. Nampak sebagian warga bergotong royong menyiapkan panggung perhelatan diatas sebidang tanah kosong di dusun Cieuyeub desa Cibitung. Sebagian warga yang yang lain memasang nyiur muda atau “sawen” ( daun kelapa yang masih umumnya berwarna hijau muda) yang dipasang disekitar tempat panumbalan dan dibalai desa dengan digantungi oleh beberapa jenis makanan, menyaiapkan jampanaan atau dongdang ( untuk tempat sesaji yang diarak). Setelah persiapan upacara selesai. Sebelum dilaksanakan upacara ngaruat lembur sesepuh adat mengadakan prosesi numbal, artinya (nudung nu matak balai ), dengan membawa sesajen, pangradinan, dan makanan yang dibawa kesuatu tempat yang berada ditengah-tengah kampung untuk dibacakannya doa, dan menaruh sesajen dan beberapa makanan ditempat tersebut. Dengan tujuan sebagai rasa syukur kepada Tuhan YME dan memohon keselamatan kampung dan warga masyarakatnnya agar terhindar dari bencana, krisis, atau gangguan lainnya. Setelah prosesi numbal selesai di teruskan dengan upacara ngaruat lembur dengan acara iring-iringan dengan membawa jampanaan keliling kampung dengan membawa semua hasil bumi mereka dan beberapa makanan, buah-buahan dan sebagainya yang diperlukan dalam upacara tersebut dengan diiringi tabuhan
musik. Setelah acara arak-arakan keliling kampung selesai, kemudian jampanaan tersebut dibawa ke rumah ketua adat atau sesepuh adat untuk disawer memakai sawer pohaci ( air padi) dengan menggunakan tangkai daun hanjuang yang kemudian menyediakan berbagai macam makanan, minuman, dilanjutkan dengan ijab kabul oleh para sesepuh dan tutup doa. Semua yang hadir terutama tamu undangan yang datang masing-masing pulangnya membawa satu nasi congcot. Puncak acara dari upacara ngaruat lembur pada malamnya dilanjutkan dengan hiburan seperti kesenian wayang golek, jaipongan, dan sebagainya. Hiburan ini dilaksanakan sebagai wujud dari rasa kegembiraan karena telah selesai melaksanakan dalam setiap kegiatan yang ada dalam upacara ngaruat lembur tersebut. 3. Makna-Makna Simbol Yang Terkandung Dalam Upacara Ngaruat Lembur Setiap kegiatan keagamaan seperti upacara dan selamatan mempunyai makna dan tujuan yang diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol yang digunakan dalam upacara-upacara tradisional, simbol-simbol itu antara lain seperti bahasa, dan benda-benda yang menggambarkan latar belakang, maksud dan tujuan upacara serta bisa dalam bentuk makanan yang dalam upacara atau selamatan yang disebut sesajen. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Budiono Herusatoto, (2001 :1) bahwa setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa yang lainnya, dan memiliki kebudayaan yang khas yang dalam sistem budayanya digunakan simbol atau lambang-lambang
sebagai sarana untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat – nasehat bagi masyarakat pendukungnya. Dalam kenyataan yang ada pada kehidupan orang Sunda, di semua bidang kehidupannya baik dalam bahasa sehari-hari, sastra, kesenian, tindakan-tindakan, baik dalam pergaulan maupun dalam upacara-upacaranya terlihat adanya penggunaan simbol-simbol untuk mengungkapkan rasa budayanya. Kebudayaan itu sendiri terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai sebagai hasil karya dan perilaku manusia, oleh karena itu, setiap benda budaya menandakan nilai tertentu menunjukkan maksud serta gagasan-gagasan penciptanya. (Soerjono: 1990: 11) Simbolisme sangat menonjol perannya dalam tradisi atau adat istiadat, simbolisme juga jelas sekali dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun temurun dari generasi yang tua ke generasi berikutnya yang lebih muda, bentuk dan macam kegiatan simbolik dalam masyarakat tradisional merupakan upaya pendekatan manusia kepada penguasaanya. Simbol-simbol dalam upacara yang diselenggarakan bertujuan sebagai sarana untuk menunjukkan secara semu maksud dan tujuan upacara yang dilakukan masyarakat pendukung. Seringkali karena berbagai alas an dan hambatan, tidak semua perasaan manusia itu dapat diungkapkan secara kepada semua orang dalam hal ini, benda-benda kebudayaan menjadi saluran untuk mencurahkan apa yang menjadi obsesi, cita-cita, khayalan, kesenangan, kekecewaan, kritik dan sebagainya. Dalam simbol tersebut juga terdapat misi luhur yang dapat dipergunakan untuk mempertahankan nilai budaya dengan cara
melestarikannya. Adapun simbol dan makna dari peralatan atau jalannya upacara ngaruat lembur dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Duwegan (kelapa hijau) : kudu weweg adegan jeung pamadegan, artinya harus punya ideologi atau prinsip hidup yang dipertahankan secara konsisten dan berkelanjutan 2. Tek-tek : kudu tekun kana tetekon para leluhur, artinya harus memelihara tradisi leluhur 3. Samara : ulah samar kanu rukun agama jeung darigama, artinya jangan sampai tidak mengetahui hukum agama dan hukum yang berlaku di masyarakat atau adat-istiadat serta harus bisa mengkombinasikannya antara hukum (rukun-rukun) agama dan hukum dunia harus selaras dan seimbang 4. Bubur beureum dan bubur bodas: ngagambarkeun lambang sangsaka dwiwarna, artinya merupakan lambang daripada sangsaka merah putih (warna bendera Indonesia) 5. Kupat leupeut tangtang hurip: ulah lepat kudu leukeun keukeuh peuteukeuh ngalawan kana sagala tangtangan anu ngaganggu kana kahuripan manusia, artinya harus rajin dan mempunyai tekad yang kuat dalam melawan segala macam yang mengganggu terhadap kehidupan manusia. 6. Cau mangala : ulang mangmang kana sagala amanat para leluhur, artinya jangan pernah ragu terhadap semua amanat / pesan dari para leluhur.
7. Hanjuang, hanarusa, jawer kotok, tamiang pugur : kudu ngajaga, ngariksa, ngotok ngowo, kudu daek miang daek tugur kasawahna atawa ka kebonna ulah nepikeun sokcul, artinya harus menjaga, merawat, rajin bekerja dan tidak malu untuk bekerja walaupun sebagai petani jangan sampai mempunyai watak cepat bosan. 8. Endog : kudu ngajedog, biwir ulah saomong-omongna lamun lain omongkeuneunnana, panon ulah satenjo-tejona lamun lain tenjoeunnaana, leungeun ulah sacokot-cokotna lamun lain cokoteunnana, ceuli ulah sadenge-dengena lamun lain dengekeuneunnana, artinya harus diam, bibir / lidah jangan seucap-ucapnya kalau bukan berita yang sebenarnya, mata jangan sembarang melihat kalau bukan sesuatu yang hak nya untuk dilihat, tangan jangan seenaknya mengambil yang bukan jadi haknya, telinga jangan sembarang mendengar kalau bukan sesuatu yang baik untuk didengarkannya. 9. Parukuyan / tempat membakar kemenyan: Ngalambangkeun lamun peupeulakan goreng awuran lebu (orea), artinya kalau bertani kita mengalami kegagalan atau puso harus segera diberikan pengobatan dan pemupukan baik diberikan obat-obatan insektisida, fungisida dan pupuk urea, dll. 10. Pare make anggoan sareng artos sok diarak : Narimakeun nyaeta pisan anu ngajanteunkeun sandang pangan pikeun kahirupan sareng kahuripan manusia (hayang subur kalawan makmur, ulah kurang sandang sareng panggan na), artinya sebagai bukti rasa terima kasih / syukur nikmat atas
segala karunia yang telah diberikan oleh Allah swt sehingga dalam menjalani kehidupan tidak kekurangan sandang, pangan, papan. 11. Tumpeng : kudu tumut jeung pengkuh kana amanat para leluhur, artinya harus taat, dan memegang teguh terhadap amanat nenek moyang atau para leluhur kita, yang disampaikan melalui adat istiadat atau kebiasaan yang pernah mereka laksanakan sebelumnya. 12. Bakakak : bakti ka anu Kawasa kanu kagungan bumi langit jeung neusina, artinya kita harus
memiliki sikap patuh dan taat dalam
menjalankan segala perintah Allah SWT, sebagai bentuk syukur terhadap nikmat yang telah diberikan-Nya. 13. Rurujakan (rujak kalapa, asem, pisang, roti) : ulah rurud kana kabijakan dina nentukeun hiji kaputusan, artinya jangan ragu dalam memberikan kebijakan, demi terwujudnya suatu keputusan dalam menentukan pilihan atau aturan sebagai suatu ketegasan seorang pemimpin. 14. Kopi pait : simbol keur manusia kudu pait geutih Pahang tulang sangkan salamet dunia akherat, artinya harus memilki pendirian yang kuat, kepercayaan diri yang kokoh, agar tidak terkena tipu daya apapun yang bersifat merugikan dan mencelakakan.. 15. Kopi Amis : simbol manusia keur kahirupan, amis budi pekertina jeung amis akhlak kalakuannana. Artinya bahwa kita harus berbudi pekerti yang baik, berakhlak yang baik karena manusia adalah mahluk Tuhan paling mulia.
16. Air teh : caang iman jeung tetela kana kagungan hate, artinya kita sebagai manusia harus mempunyai rasa keimanan yang selalu melekat dalam hati, sebagai bukti pengakuan terhadap adanya Allah Yang Maha Kuasa. 17.
Air putih : suci diri bersih hate, artinya manusia sebagai mahluk
yang paling mulia, kebersihan hati dan diri merupakan senjata untuk keselamatan dunia dan akhirat. Yaitu dengan cara menjalankan segala perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya. Pada simbol-simbol yang telah dikemukakan diatas dalam upacara ngaruat lembur, ternyata sampai sekarang masih memegang teguh tradisi tersebut, yaitu nilai tradisi yang telah turun-temurun dari para generasi sebelumnya. Apalagi dalam simbol-simbol tersebut mempunyai makna yang mendalam yang dapat dijadikan
pedoman
dalam
menghadapi
kehidupan.
Sebenarnya
bentuk
penghormatan terhadap para leluhur yang terobjektifikasi kedalam simbolsimbol,baik berupa,selamatan, syukur atau perayaan upacara adat telah mengakar pada hati masyarakat Desa Cibitung pada umumnya dan Dusun Cieuyeub khususnya yang sulit untuk dirubah. C. Tujuan Diadakannya Upacara Ngaruat Lembur Upacara ngaruat lembur yang diselenggarakan oleh masyarakat dusun Cieuyeub pada khususnya dan desa Cibitung pada umumya memiliki tujuan utama yaitu sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga warga masyarakat dapat mendapatkan panen yang baik, dapat berhasil dalam
bermata pencaharian, khususnya petani dengan hasil yang baik dan dapat hidup aman serta tentram. Upacara Ngaruat Lembur juga merupakan media langsung bagi masyarakat untuk mengungkapkan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui do'a bersama-sama yang dipanjatkan pada puncak acara. Permohonan itu dia antaranya agar seluruh warga masyarakat Cieuyeub pada khususnya dan Cibitung pada umumnya terjaga keselamatannya, ditambah rejekinya serta dijauhkan dari segala bencana, sehingga masyarakat akan selalu hidup aman, tentram dan damai yang gemah ripah loh jinawi dan tata tentram kerta raharja dapat terwujud. (Wawancara dengan bapak Suwanda, sebagai ketua adat / pemimpin pada upacara ngaruat lembur, tanggal 26 Agustus 2011) Secara lebih luas lagi tujuan dari upacara Ngaruat Lembur ini adalah : a. Sebagai ungkapan rasa syukur atas semua yang telah diberikan oleh Sang Penguasa Alam b. Terpadunya rasa keutuhan dan persatuan warga c. Kondisi
desa,
masyarakat
penghuni
dan
sekitarnya
diberikan
ketentraman lahir batin d. Terhindar dari bencana alam e. Dalam sektor pertanian terhindar dari serangan hama sehingga dapat diberikan hasil yang melimpah f. Sebagai upaya pelestarian budaya nenek moyang Pada zaman modern seperti sekarang ini masyarakat menyadari bahwa banyak sekali pengaruh yang datang dari luar, baik itu pengaruh yang positif
maupun yang negatif, kesadaran itu akan mendorong manusia secara kritis untuk menilai kebudayaan yang sedang berlangsung. Perkembangan zaman dan kebudayaan yang pesat akan mempengaruhi kebudayaan daerah yang sejak dahulu dihayati oleh masyarakat pendukungnya, lebih-lebih kebudayaan tradisional yang banyak mengandung nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat setempat khususnya dusun Cieuyeub dan umumnya masyarakat desa Cibitung Kecamatan Ciater Kabupaten Subang. Kalau kita melihat dengan secara seksama ternyata upacara ngaruat lembur memiliki nilai ibadah, yaitu nilai ibadah dari upacara Ngaruat Lembur ini dapat disejajarkan dengan ibadah khusus yang aturan-aturannya telah ditentukan di dalam ajaran Islam. Pengertian yang terdapat di dalam upacara Ngaruat Lembur adalah sebagai ibadah umum yang aturan-aturannya tidak ditentukan secara pasti dalam Islam. Ibadah umum mempunyai pengertian sebagai tindakan yang tidak dilarang oleh Tuhan dan bertujuan untuk mengajak kepada kebaikan serta kemanfaatan. Dari segi filsafat keagamaan, kehidupan manusia mengalami tiga tahapan hidup, yaitu stadia estetis (keindahan), stadia etis dan stadia religius. (Budiono: 1984: 15). Stadia religius dicapai manusia oleh kesadaran bahwa hidup ini mempunyai tujuan yang dalam mencapai tujuan tersebut segala tindakan akan dipertanggung jawabkan kepada Tuhan. Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan upacara Ngaruat Lembur dilaksanakan oleh masyarakat Cibitung pada umumnya dan masyarakat dusun Cieuyeub pada khususnya, pada awalnya yaitu sedekahan yaitu memberikan
sebagian dari hasil panen mereka untuk dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Hal ini sebagai bukti dari ungkapan rasa syukur mereka, yang pada awal-awalnya diliputi oleh perasaan tidak percaya akan anugerah yang Allah SWT berikan kepada mereka berupa tanah yang subur, sehingga menghasilan hasil panen yang melimpah yang pada akhirnya menjadikan dusun tersebut menjadi makmur yang mana pada awalnya wilayah tempat diadakannya upacara ngaruat lembur ini adalah berupa hamparan tanah berbatu dan berbentuk padas, tapi karena semangat dan kegigihan dari masyarakat di sekitar wilayah tersebut sekarang berubah menjadi dusun yang subur dan menghijau. Rasa syukur mereka itu diwujudkan dengan melaksanaan upacara ngaruat lembur, di samping itu mereka juga memanfaatkan upacara ini sebagai sarana untuk berkumpul bersama dan berdo`a agar terhindar dari bala dan bencana alam yaitu, longsor, gempa mengingat wilayah tempat tinggal mereka berbukit, wabah penyakit dan yang lainnya yang sewaktu-waktu dapat saja melanda desa mereka. Walaupun upacara ini sebagai salah satu bukti niat masyarakat untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang mereka, namun mereka berusaha untuk menghindari adat yang mendekati kepada kemusrikan. Dengan banyaknya masyarakat yang beragama Islam dan berkembangnya teknologi berupa media elektronik dan media cetak, ditambah dengan ramainya pengajian-pengajian yang diadakan setiap minggunya maka memungkinkan mereka banyak mengetahui serta memahami akan ajaran Islam itu sendiri. Selain itu nilai ibadah dapat dilihat pada rangkaian pelaksanaan upacara ngaruat lembur, yaitu kegiatan pengajian, dzikir. Dzikir dalam pengertian arti luas
yaitu serangkain do’a untuk memohon keselamatan bagi masyarakat Cieuyeub pada khususnya dan masyarakat Cibitung pada umumnya (wawancara ustad Maun 27 september 2011). Dengan diadakannya upacara ngaruat lembur tersebut, maka secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan spiritualitas bagi orang yang mengikutinya, khususnya masyarakat dusun Cieuyeub yang nota bene merupakan tempat diadakannya upacara tersebut. Upacara tersebut juga mengajak mereka kepada kebenaran dan menyebarkan agama Islam dengan mengamalkan dari tujuan upacara ngaruat lembur serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya pengajian dalam rangkaian upacara ngaruat lembur yang menjelaskan tentang tujuan dan makna upacara itu diselenggarakan untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat agar jangan menyalah artikan tujuan dan makna upacara itu sendiri dan dapat terhindar dari kemusyrikan. Dari sinilah maka diharapkan dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat selalu menghindari hal-hal yang bersifat kemusyikan, dan dalam kesehariannya selalu mengamalkan dari apa yang terdapat dalam rangkaian kegiatan upacara ngaruat lembur yang berisikan nasehat-nasehat. Upacara ngaruat lembur juga ada unsur islamannya seperti adanya bacaan sholawat, berdoa bersama dan sebagainya. Aktivitas keagamaan inilah yang lambat laun telah dapat mengubah pola pikir masyarakat selain mempercayai kekuatan-kekuatan ghaib alam semesta menjadi pola pikir yang bernuansa Islami. Kemudian dalam upacara ngaruat lembur juga selain terdapat nilai ibadah dalam aspek agama, juga upacara tersebut mempunyai nilai sosialnya, yaitu
upacara ngaruat lembur dari aspek sosial, mempunyai arti yang amat penting bagi masyarakat Cibitung pada umumnya dan masyarakat dusun Cieuyeub pada khususnya, makna yang dirasakan oleh masyarakat Cibitung, misalnya upacara ngaruat lembur sebagai sarana untuk melakukan hubungan sosial (interaksi sosial) dan mempererat hubungan antar sesama individu maupun dengan masyarakat, disamping itu upacara ngaruat lembur juga dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan untuk mengatur masyarakat. Interaksi sosial merupakan suatu bentuk hubungan, baik hubungan orang perorangan, individu dengan kelompok maupun hubungan kelompok dengan kelompok yang kemudian membentuk komunitas (masyarakat) maka apabila dua orang bertemu, hal itu sudah merupakan suatu bentuk interaksi, meskipun orang tersebut tidak saling berbicara atau tidak saling tukar tanda-tanda. Interaksi terjadi karena kehidupan manusia selalu membutuhkan orang lain untuk dapat saling mengenal, saling membantu dan saling membagi pengalaman, salah satu bentuk interaksi melalui komunikasi, komunikasi merupakan sarana yang sangat penting untuk terwujudnya sebuah hubungan karena kesuksesan hubungan tersebut sangat ditentukan bagaimana cara orang mengemas muatanmuatan komunikasi. Wujud dari adanya interaksi pada upacara ngaruat lembur dapat dilihat ketika para pengunjung mendatangi keramaian saat pelaksanaan upacara, pada saat upacara berlangsung banyak masyarakat yang datang dari luar daerah, mereka pasti menginginkan suatu informasi, baik tentang upacara ngaruat lembur maupun tentang yang lainnya, dengan demikian dapat dipastikan di sana terjadi interaksi.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat: (1974: 64) hidup bersama orang lain atau masyarakat oleh orang desa dinilai sangat tinggi, hal ini karena dalam kehidupan pedesaan seseorang individu tidak dapat hidup dalam lingkungan, identitasnya terdapat dalam lingkungan tersebut, tetapi dilingkupi oleh komunitasnya. Masyarakat dan alam sekitarnya, di dalam sistem mikrokosmos, ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja yang ikut terbawa proses peredaran alam semesta. Selain itu upacara ngaruat lembur juga mengandung nilai kegotongroyongan. Nilai kegotong–royongan ini terlihat baik pada saat mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk upacara hingga selesainya upacara yang tentunya tidak dapat dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Warga masyarakat menyadari akan manfaat gotong-royong atau kerja bakti, sehingga walaupun tidak mendapat upah masyarakat tetap antusias melaksanakannya. Bahkan dengan suka rela sebagian warga memberikan makanan dan minuman sekedarnya untuk para peserta. Kepedulian melaksanakan gotong-royong tidak terlepas dari tingginya kesadaran masyarakat, karena pada dasarnya gotong-royong adalah untuk mencapai tujuan bersama ( bapak Yaya mulyana kades Cibitung 30 agustus) Upacara ngaruat lembur memiliki peran signifikan dalam menjalin rasa persatuan dan kesatuan warga masyarakat tanpa membedakan status sosial. Persatuan menjadi simbol kekompakan warga dalam menghadapi permasalahan, sedangkan kesatuan menjadi simbol dari kesamaan pandangan dan tujuan (visi dan misi), persatuan dan kesatuan menjadi modal dasar yang penting dalam menghadapi permasalahan maupun dalam melaksanakan aktivitas, termasuk juga
dalam menghadapi pelaksanaan upacara ngaruat lembur. Dari rasa persatuan dan kesatuan akan melahirkan sikap kesetiakawanan (solidaritas) antar sesama warga masyarakat. (Wawancara dengan Bapak Ahdi (Ketua Panitia Upacara ngaruat lembur pada tanggal 21 Agustus 2011). Dalam upacara ngaruat lembur selain terdapat aspek ibadah dan social, juga terdapat aspek hiburannya. Bukti nyata pada waktu penyelenggaraan upacara terkesan lebih meriah. Hal ini dapat dilihat ketika pada saat sebelum acara ritual terlebih dahulu diselenggarakan
kesenian genjring ronyok
dan pada malam
harinya diadakan jaipongan. Pelestarian kebudayaan upacara ngaruat lembur untuk menarik para pengunjung yang berdatangan dari desa sekitarnya maupun luar daerah. Hiburan merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi manusia. Oleh karena itu, manusia senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhan batin tersebut antara lain dengan hiburan. Hiburan dapat menghilangkan berbagai macam kepenatan setelah bekerja maupun berpikir. Di samping itu hiburan juga dapat menghilangkan kesusahan maupun stres, asalkan dalam pelaksanaannya itu tidak berlebihan. Adanya pentas seni dan perlombaan-perlombaan, memberikan warna baru terhadap masyarakat. Pentas seni dijadikan sebagai rangkaian tambahan dalam upacara. Perkembangan ini bertujuan untuk lebih memeriahkan pelaksanaan upacara juga sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Pada hakekatnya kesenian adalah sebuah kegiatan atau karya yang dihasilkan oleh kreatifitas manusia. Selama tidak menyimpang dari ajaran Islam, kesenian sah-sah saja, karena kesenian adalah perilaku pengungkapan keindahan,
yang merupakan ekspresi jiwa dan budaya si pencipta. Meski demikian, sebuah karya seni tidak hanya mengandung nilai estetika semata atau nilai untuk seni tetapi juga mengandung nilai-nilai moral yang baik. Kesenian merupakan hal yang pokok dalam kehidupan juga merupakan komponen-komponen dalam kebudayaan juga bukanlah hal dilarang dalam Islam. Di dalam kehidupan masyarakat yang bersahaja, kesenian merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, sehingga dalam masyarakat seperti ini yang mana kehidupan religius terdapat pada hampir semua aspek kebudayaan, maka seni sering merupakan pengiring dalam religi. Dengan ditambahnya acara-acara berupa kesenian di dalam upacara ngaruat lembur telah memberikan warna baru bagi masyarakat mengenai makna upacara ngaruat lembur.
Pada saat ini makna
upacara Ngaruat Lembur bertambah lagi yaitu mengandung arti sebagai hiburan. Kemudian makna upacara ngaruat lembur dalam bidang ekonomi adalah di mana pada saat pelaksanaan upacara diramaikan dengan pasar tradisi, pada ajang ini telah dimanfaatkan oleh warga masyarakat setempat untuk berjualan barang-barang seni kerajinan dari hasil tangan mereka. Di samping itu sebagian warga memanfaatkan perayaan upacara tersebut dengan berjualan makanan baik makanan
tradisional maupun jajanan biasa, juga mainan anak-anak dan
sebagainya. Dengan demikian masyarakat dapat memanfaatkan pelaksanaan upacara tersebut untuk menambah penghasilan mereka. Manusia dalam kehidupannya tidak akan lepas dari kebutuhan-kebutuhan untuk melengkapai hidupnya, baik sandang maupun papan, hal tersebut merupakan sunnatullah karena manusia lahir dengan sejumlah besar kebutuhan
dan berusaha keras dengan jalan apapun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Semakin banyak kebutuhan tersebut terpuaskan dan semakin baik hidup yang berkecukupan menjamin kedamaian bathin, kapuasan dan perasaan aman. Hal ini merupakan semacam pernyataan pikiran yang baik untuk membuat suasana sehat moral dan spiritual. Tidak ada tingkat material dan perkembangan ekonomi yang antagonistik didalamnya terhadap kemajuan moral dan spiritual sebagai bukti nyata seluruh kemajuan yang demikian, jika ia tercapai dan terpelihara dengan layak merupakan bantuan-bantuan moral dan spiritual. Keberadaan upacara ngaruat lembur di dusun Cieuyeub merupakan salah satu kebudayaan daerah yang kemudian dilestarikan dan berpotensi besar menjadi aset wisata budaya, begitu juga pada pada kesenian terbang yang dari dulu sampai sekarang tetap merupakan media komunikasi tradisional yang populer dalam masyarakat. Untuk mempopulerkan sebuah tradisi dan adat istiadat yan berlaku turun temurun, perlu adanya dukungan dan kerjasama yang baik antara masyarakat, media massa dan pemerintah. Dengan kerjasama yang baik itulah sebuah tradisi akan dapat dikembangkan menjadi aset budaya. Upacara tradisional dengan berbagai macam simbolnya mencerminkan norma serta makna-makna dan nilai-nilai budaya suatu bangsa dengan latar belakang budaya yang berbeda. Tradisi yang mewarnai corak kehidupan masyarakat merupakan nilai dalam masyarakat yang diakui kegunaannya dan dipertahankan berlakunya dalam masyarakat. Akan tetapi dengan adanya perkembangan zaman, upacara tersebut secara
umum intinya tidak berubah
seperti apa yang diwariskan oleh leluhurnya, tetapi dapat saja bentuknya mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Suatu perubahan dapat terjadi karena munculnya nilai-nilai baru yang mempengaruhinya, nilai-nilai baru itu dalam pengaruhnya dapat bersifat positif dan dapat juga negatif. Semua itu tergantung pada masyarakat sendiri bagaimana cara yang sebaiknya dalam menanggapi nilai baru yang akan muncul dan berkembang dalam masyarakat. Pengaruh positif dari tradisi yang sudah tidak cocok dengan kemajuan zaman selalu berkembang dan mengalami perubahan oleh pengaruh budaya dari luar. Sedang bersifat negatif apabila tradisi itu dapat menghambat kemajuan zaman dan pembangunan. Setelah ada dukungan dan partisipasi dari Dinas Pariwisata Kabupaten Subang yang berkeinginan untuk meningkatkan sektor pariwisata di desa Cibitung, maka pada rangkaian upacara ngaruat lembur
ditambah dengan
mengadakan kunjungan-kunjungan ke tempat pariwisata yang ada di desa Cibitung, hal ini bertujuan untuk memperkenalkan tempat-tempat tersebut kepada para pengunjung. Selanjutnya dengan kegiatan ini diharapkan para wisatawan akan tertarik untuk datang ke daerah ini dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan wisatanya. Untuk selanjutnya desa Cibitung akan memperoleh tambahan pemasukan dari perayaan upacara tersebut (bapak Nana 15 september 2011).
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan analisis terhadap fakta yang ada kaitannya dengan latar belakang munculnya upacara ngaruat lembur, kondisi daerah tempat pelaksanaan upacara, simbol dan makna upacara bagi masyarakat sekitar dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut : Pertama, upacara ngaruat lembur sebagai salah satu tradisi yang dilaksanakan masyarakat Desa Cibitung pada umumnya dan masyarakat Dusun Cieuyeub pada khususnya secara turun temurun dilatarbelakangi oleh asal muasal keberadaan masyarakat dusun Cieuyeub. Pada awalnya wilayah Dusun Cieuyeub adalah daerah pegunungan dengan struktur tahan berbatu. Namun pada akhirnya menjadi daerah yang subur dan menghasilkan panenan yang melimpah serta menjadi tempat pemukiman penduduk sekitar. Untuk mengungkapkan rasa syukur karena kondisi yang membahagiakan tersebutlah maka dilaksanakan upacara ngaruat lembur. Kedua, upacara ngaruat lembur dilakukan oleh masyarakat Desa Cibitung pada umumnya dan masyarakat Dusun Cieuyeub pada khususnya setiap satu tahun sekali pada tutup tahun awal tahun(bulan haji) yang memiliki tujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diterima dan memohon keselamatan, ketentraman, keamanan serta
dapat berhasil dalam bertani (beraktifitas). Kemudian sebagai penghormatan kepada para leluhur sekaligus tolak bala. Ketiga, upacara ngaruat lembur merupakan upacara tradisional yang mengandung makna bagi masyarakat setempat, yang mencakup aspek keagamaan meliputi : nilai ibadah, aspek sosial yang meliputi : interaksi sosial, mengandung makna kegotong-royongan, aspek hiburan serta aspek ekonomi. Keempat, upacara ngaruat lembur merupakan suatu tradisi atau adat istiadat warisan turun-temurun dari para generasi sebelumnya. Dalam upacara ngaruat lembur terdapat penggunaan simbol-simbol atau lambang-lambang yang dimana simbol-simbol tersebut memiliki makna, dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menghadapi kehidupan. Simbol-simbol tersebut dijadikan sebagai sarana untuk menitipkan pesan-pesan, nasehat-nasehat bagi masyarakat tentang maksud dan tujuan dari upacara ngaruat lembur tersebut. Penggunaan simbolsimbol dalam upacara selain untuk mengungkapkan
rasa budayanya juga
digunakan untuk memepertahankan nilai budayanya dengan cara melestarikannya. B. Saran-saran Dalam upacara ngaruat lembur hendaknya mengerti betul makna dan arti dari prosesi upacara itu sendiri, simbol-simbol/perlengkapan-perlengkapan yang dipakai, sehingga tidak hanya melaksanakan begitu saja tanpa mengerti makna dan tujuan sebenarnya dari pelaksanaan Upacara ngaruat lembur. Diharapkan kepada pewaris upacara ngaruat lembur (masyarakat Dusun Cibitung pada umumnya dan masyarakat Dusun Cieuyeub pada khususnya) sebagai generasi penerus dapat memelihara dan melestarikan upacara tersebut,
karena tradisi tersebut mengandung nilai-nilai luhur dalam upaya melestarikan seni dan budaya daerah untuk memperkaya kebudayaan nasional. Hendaknya unsur-unsur Islam lebih dikembangkan dan ditonjolkan dalam mewarnai upacara ngaruat lembur. Oleh karena itu para alim ulama dan tokoh masyarakat setempat hendaknya memberikan penerangan dan penjelasan pada masyarakat tentang batas-batas syirik sehingga pada penyelenggaraan dan pelaksanaan adat istiadat yang ada dalam masyarakat termasuk upacara adat ngaruat lembur tidak membawa masyarakat pada kemusyrikan dengan alasan untuk melestarikan warisan budaya dari leluhur. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati dan keikhlasan yang tulus penulis memohon saran dan kritik dari semua pihak demi kebaikan dan kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhirnya semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, amin ya rabbal alamin..