BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa pluralis yang masyarakatnya
memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota maupun di desa. Keberagaman ini menjadi suatu kekayaan dan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Cicero menyebutkan sebuah adagium ubi societas ibi ius yang berarti “di mana ada masyarakat, di sana ada hukum”. Adagium Cicero ini di dukung oleh Van Apeldoorn bahwa “hukum ada di seluruh dunia, di mana ada masyarakat manusia”. 1 Oleh sebab itu diperlukan suatu aturan hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Menurut Von Savigny, hukum merupakan bagian dari budaya masyarakat, hukum tidak lahir dari tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi ditemukan di dalam jiwa masyarakat (volkgeist). Sehingga hukum dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui aktivitas hukum (juristice activity).2 Masyarakat Indonesia telah memiliki hukum sendiri yaitu hukum yang lahir dari jiwa masyarakat (volkgeist) Indonesia sendiri, yang mana di kenal
1
Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 12. 2 M. D. A Freeman, 2001, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, Edisi Ketujuh, Sweet & Maxweel Ltd, London, h. 904-905.
1
2
sebagai Hukum Adat.3 Hukum Adat adalah Hukum Indonesia asli yang bentuknya tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sanasini mengandung unsur agama.4 Eksistensi tentang keberadaan hukum adat tertuang dalam konstitusi yaitu Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Ketentuan Pasal 18 B ayat (2) menyiratkan bahwa hak-hak tradisional tersebut termasuk hukum adat diakui keberadaannya. Kedudukan hukum adat juga tersirat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Pengakuan keberadaan hukum adat hal ini dapat dilihat dari frase “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Demikian pula Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang yang sama menyatakan “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Frase sumber
3
Ferry Fathurokhman, 2009, Evolusi Pemikiran Hukum Baru: Dari Kera ke Manusia, Dari Positivistik ke Hukum Progresif, Genta Press, Yogyakarta, h. 68. 4 I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Penerbit Pustaka Bali Post, Denpasar, h. 31.
3
hukum yang tidak tertulis mengindikasikan pengakuan terhadap nilai-nilai hukum adat yang umumnya disebut hukum yang tidak tertulis. Hukum adat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat Bali ialah Hukum Adat Bali. Hukum Adat Bali merupakan kompleks norma-norma, baik dalam wujudnya yang tercatatkan maupun yang tidak tercatatkan, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat hukum adat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya dengan tujuan mensejahterakan umat manusia (sukerta sekala niskala).5 Hukum Adat Bali sangat kental dengan pengaruh agama Hindu, karena kuatnya pengaruh agama Hindu sehingga sulit membedakan mana aspek kehidupan orang Bali bersumber dari kebudayaan, tradisi maupun kebiasaan masyarakat Bali dan mana yang bersumber dari agama Hindu. Tujuan hukum adat Bali adalah adanya keharmonisan hubungan antara manusia, alam lingkungan dan penciptanya yang merupakan penerapan filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan tiga penyebab kesejahteraan (Tri berarti tiga, Hita berarti kesejahteraan, kebahagiaan, Karana berarti penyebab). Berdasarkan filosofi tersebut ada tiga unsur yang mempengaruhi kehidupan umat manusia di dunia ini, yaitu: (1) Sanghyang Jagatkaranan, yaitu Tuhan, (2) Bhuanan, yaitu alam semesta, dan (3) Manusa, yaitu manusia.6
5
Wayan P. Windia, dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 6. 6 I Ketut Sandika, 2011, Pratima Bukan Berhala, Paramita, Surabaya, h. 41.
4
Dalam hukum adat terdapat pengaturan tentang hukum pidana adat. Hilman Hadikusuma mengartikan hukum pidana adat sebagai hukum yang hidup dan akan terus hidup selama ada manusia dan budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan.7 Menurut Bushar Muhammad, tindak pidana adat merupakan perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perseorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan yang bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan, dari tindakan ini menyebabkan suatu reaksi adat.8 Tindakan-tindakan reaksi adat itu misalnya : -
Pengganti kerugian “non-materiil” dalam berbagai rupa seperti; paksaan menikah dengan gadis yang telah dicemarkan;
-
Pembayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, berupa benda sakti selaku pengganti kerugian rohani;
-
Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
-
Penutup malu, permintaan maaf;
-
Berbagai rupa pidana badan, sampai kepada pidana mati;
-
Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.9 Kemudian, menurut Soepomo “segala perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal sehingga hukum adat mengenal ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum (Rechsherstel) jika hukum itu
7
Hilman Hadikusuma, 1984, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, h. 20. Bushar Muhammad, 1983, Pokok–Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramitha, Jakarta h. 67. 9 Iman Sudiyat, 2000, Hukum Adat (Sketsa Asas), Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta, h. 180. 8
5
dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat ini, sering disebut “delik adat”,10 disamping itu juga beliau mengemukakan bahwa “delik yang paling berat ialah pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat.11 Dalam hukum pidana, perbuatan pidana disebut dengan berbagai macam sebutan seperti delik, peristiwa pidana, tindak pidana dan sebagainya, sedangkan dalam kepustakaan hukum adat, tindak pidana adat sering disebut delik adat, pelanggaran adat atau pidana adat.12 Dalam hukum adat Bali istilah delik adat, pelanggaran adat atau pidana adat di kalangan masyarakat Bali yang lazim digunakan ialah istilah salah, sisip, dosa.13 Dalam hukum adat terdapat beberapa pelanggaran hukum yang hanya dapat dilakukan dengan sengaja, misalnya pencurian.14 Delik adat dalam bidang pencurian harta benda adalah pencurian terhadap benda suci yang dalam hal ini adalah pratima, dimana perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dapat mengganggu keseimbangan kosmis (sekala niskala) dari pada daerah setempat. Benda suci yang dimaksud dalam hal ini adalah benda-benda yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang digunakan sebagai stana Sang
10
R. Soepomo, 1979, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 110. I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangaannya dari Masa ke Masa, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 207. 12 Hilman Hadikusuma, op.cit, h. 17. 13 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, op.cit, h. 136-137. 14 Iman Sudiyat, op.cit, h. 182. 11
6
Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan.15 Pratima yang merupakan bagian dari suatu bentuk, gambar, maupun rupa dimana menggambarkan dewa untuk menunjukkan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, dimana pratima itu sendiri juga dapat dikategorikan sebagai suatu barang yang apabila ditelusuri ke dalam pengertian suatu benda secara yuridis. Pratima menjadi incaran pencurian saat ini di Bali karena selain memiliki nilai ekonomis juga terdapat nilai sakral apabila diambil langsung dari tempat suci keagamaan. Maka dari itulah pratima dijadikan benda yang teramat sakral dari segala macam bentuknya yang ditunjukkan sebagai kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi para pelaku pencurian pratima untuk mencuri kemudian menjualnya kepada para penadah maupun mengoleksinya sendiri. Jika dicermati bahwa keberadaan pratima tersebut sangat diperlukan di sebuah Pura sebagai perwujudan dan sarana untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pencurian pratima atau benda sakral, dewasa ini sangat sering terjadi hingga meresahkan masyarakat di Bali khususnya umat beragama Hindu. Para pencuri pratima tidak saja ada dilakukan oleh warga dari dalam desa pakraman, melainkan ada juga pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar kesatuan desa pakraman yang beragama Hindu maupun non Hindu dan juga turut berperan serta dalam kasus pencurian pratima tersebut. Tidak hanya warga lokal saja yang
15
I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT Eresco, Bandung, h. 17.
7
ingin memiliki dan mengoleksi pratima, namun warga asing pun juga tidak kalah antusiasnya untuk memiliki secara utuh benda-benda suci yang telah di sakralkan dengan sengaja menjadi penadah yang dibeli dari pelaku pencurian benda suci/pratima tersebut. Para pencuri seakan tidak menyadari bahwa perbuatan yang telah dilakukan akan membuat Pura yang pratima-nya dicuri menjadi sial atau “leteh” dan memberikan dampak yang negatif kepada masyarakat penyungsung pura tersebut.16 Sanksi bagi pelaku pencurian dalam Pasal 362 KUHP menyebutkan bahwa barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Oleh karena itu para pelaku pencurian pratima telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung di dalam perumusan pasal 362 KUHP yang terbukti melakukan pelanggaran hukum, dimana unsur-unsur pencurian tersebut telah memenuhi syarat sebagai perbuatan melawan hukum yang terdiri dari; 1. Mengambil barang; 2. Sesuatu barang kepunyaan orang lain; 3. Maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.
16
I Gusti Ketut Ariawan, 1992, “Eksistensi Delik Hukum Adat Bali Dalam Rangka Pembentukan Hukum Pidana Nasional”, (tesis), Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 10.
8
Maraknya pencurian pratima di Bali mengindikasikan bahwa para pelaku tindak pidana pencurian pratima sudah tidak memiliki nilai perikemanusiaan, ini merupakan tantangan yang dihadapi masyarakat hukum adat Bali khususnya bagi masyarakat beragama Hindu untuk lebih berperan serta bekerja sama dengan aparat kepolisian dalam melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana adat yang merupakan suatu penghinaan terhadap tempat suci umat Hindu (Pura). Jika pencuri pratima ternyata dilakukan oleh warga asli/warga dari dalam desa pakraman tempat terjadinya pencurian, maka pelaku tersebut dapat dikenakan sanksi adat berupa sanksi adat kasepekang atau diusir dari tempat tinggalnya dan dihukum dengan berat atau maksimal hukuman penjara seumur hidup. Pelanggaran yang dilakukan terhadap pencuri pratima di Bali yang menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan alam kosmis di suatu desa pakraman dapat dikenakan sanksi adat sebagai bentuk evaluasi moral kepada pelaku dan untuk ikut menghormati agama Hindu, oleh karena itu di Bali dikenal 3 golongan sanksi adat yang disebut tri danda, yaitu: (1) artha danda, sanksi adat berupa penjatuhan denda (uang atau barang), jiwa danda, sanksi adat berupa penjatuhan derita jasmani dan rohani dan sangaskara danda, sanksi adat berupa mengembalikan keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama). Fakta menunjukan bahwa selain sangaskara danda, penjatuhan jiwa danda berupa sanksi adat kasepekang juga diterapkan terhadap para pencuri pratima yang dilakukan oleh pencuri yang berasal dari dalam desa pakraman.
9
Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Bali Reserse Kriminal Umum sejak tahun 2009 sampai tahun 2014 telah mencatat terjadi kasus pencurian pratima yang tersebar di seluruh Bali, diantaranya ada yang masih dalam tahap penyelidikan (L) atau yang belum terungkap dan tahap sidik (S) atau kasus yang sudah terungkap, berikut tabel di bawah ini : Tabel 1.1 Kasus Pencurian Pratima tahap Lidik dan Sidik. 2009 No
2010
2011
2012
2013
2014
Ket
Kesatuan L
S
L
S
L
S
L
S
L
S
L
S
1
Resta Denpasar
-
-
3
-
-
-
1
-
-
-
-
-
2
Res Buleleng
-
-
-
-
2
-
4
-
-
-
1
-
3
Polres Tabanan
-
-
3
1
-
-
8
8
3
3
-
-
4
Polres Gianyar
5
5
8
8
1
1
2
-
1
-
-
-
5
Res Klungkung
3
3
2
2
1
-
-
-
6
1
-
-
6
Polres Bangli
-
-
-
-
1
1
1
-
-
-
1
-
7
Res Kr. Asem
-
-
4
4
-
-
1
1
4
-
3
3
8
Res Jembrana
-
-
-
-
-
-
5
5
-
-
-
-
9
Polres Badung
2
2
3
3
1
1
2
2
4
4
-
-
Jumlah
10
10
23
18
6
3
24
16
18
8
5
3
Sumber :
Diolah berdasarkan data yang didapat dari : Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Bali Direktur Reserse Kriminal Umum.
Dari sekian kasus yang terungkap, proses peradilan pidana berlanjut bagi para pencuri pratima maupun penadah pratima yang telah di vonis dari Pengadilan Negeri Gianyar dan Amlapura, berikut tabel di bawah ini :
10
Tabel 1.2 Vonis Para Pelaku Pencurian Pratima. No
Nama
Vonis
Tuduhan
1
Roberto Gamba
5 bulan penjara
Penadah Pratima
2
I Gusti Putu Oka Riadi
7 tahun penjara
Pencuri Pratima
3
I Wayan Eka Putra
7 tahun penjara
Pencuri Pratima
4
I.G.A Suardika
6,5 tahun penjara
Pencuri Pratima
5
Gede Pariana
6,5 tahun penjara
Pencuri Pratima
Sumber :
http://news.detik.com/read/2011/02/01/124713/1557940/10/kejari-gianyartolak-ajukan-banding-wn-italia-pencuri-benda-sakral?nd992203topnews diakses tanggal 20 April 2014
Penjatuhan sanksi pidana berdasarkan KUHP oleh Hakim melalui lembaga pengadilan terhadap pencuri pratima dianggap belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat hukum adat Bali di suatu desa pakraman yang pratima-nya dicuri, karena benda yang menjadi warisan budaya secara turun temurun yang disakralkan umat Hindu di Bali telah ternoda oleh perbuatan yang dilakukan pencuri pratima, maka oleh karena itu masyarakat hukum adat Bali di desa pakraman mengharapkan adanya upaya pemenuhan kewajiban adat yang wajib dibebankan kepada pencuri pratima di Bali yang dilakukan oleh warga dari dalam maupun luar desa pakraman yang dinilai sudah menodai kesucian pura dan agama Hindu. Perlu diingat kembali bahwa, pencurian terhadap pratima tidak sama halnya seperti pencurian biasa (mencuri ayam, mencuri sandal, dll), karena pratima tergolong benda cagar budaya. Pengertian tentang benda cagar budaya menurut Ni Komang Anik Purniti, M.Si yang menjabat sebagai staf ahli pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan
11
atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurangkurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Oleh karena itu, maka pratima yang merupakan salah satu media yang digunakan dalam persembahyangan Umat Hindu di Bali dapat digolongkan sebagai suatu Benda Cagar Budaya, meskipun banyak yang masih belum terdaftar. Penjatuhan sanksi pidana berdasarkan KUHP oleh Hakim melalui lembaga pengadilan sebagaimana di atas kiranya tidak akan memperbaiki suasana batin masyarakat Hindu di Bali terhadap peristiwa pencurian pratima yang menentang kesucian masyarakat Bali dan mengakibatkan terganggunya keseimbangan dunia lahir dan dunia gaib (sekala lan niskala). Dengan demikian, jelas bahwa segala perbuatan yang menimbulkan gangguan ketertiban masyarakat sebagai gangguan terhadap keseimbangan kosmis tergolong dalam delik adat, dan kepada pelaku dapat dikenakan sanksi adat sebagai suatu bentuk reaksi adat.17 Emile Durkheim dalam Widnyana mengatakan bahwa reaksi sosial (sanksi adat) yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat diperlukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.18
17
Made Pasek Diantha, Ketut Wirtha Griadhi, Wayan P. Windia, 2009, Kasepekang Dalam Perspektif Hukum dan HAM, Bali Shanti, Denpasar, h. 5. 18 I Made Widnyana, op.cit, h. 8.
12
Namun ketika pencuri pratima yang telah dijatuhkan sanksi pidana berdasarkan KUHP oleh Hakim melalui lembaga pengadilan kemudian dijatuhi sanksi adat oleh masyarakat desa pakraman, apakah tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Hak Asasi Manusia mengingat Negara Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi nilai Hak Asasi Manusia. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM mengatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Tentunya hal ini merupakan sesuatu yang dilematis dirasakan terhadap masyarakat desa pakraman yang secara materiil maupun immaterial telah dirugikan oleh perbuatan para pencuri pratima dan juga menimbulkan pertanyaan yang mendalam bagi aparat penegak hukum di Indonesia tentang bagaimana mekanisme yang tepat dalam penjatuhan sanksi adat yang dikenakan bersamaan dengan sanksi pidana berdasarkan KUHP terhadap pencuri pratima agar di satu sisi dapat memberikan efek jera tanpa melanggar hak-hak dasar terdakwa dan disisi lain keseimbangan sekala dan niskala di masyarakat desa pakraman dapat disucikan kembali. Secara materiil (sekala) masyarakat masih bisa mengganti pratima yang hilang dengan yang lebih mahal dan bagus, namun dari sisi immaterial (niskala) persoalan menjadi berbeda. Sesuatu yang secara turun-temurun diberikan kepercayaan memelihara keajegan jagat, ternoda oleh lenyapnya benda yang disimbolkan sebagai manifestasi keagungan Yang Maha Kuasa. Simbol kepercayaan masyarakat Hindu untuk menghubungkan dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) diwujudkan dalam bentuk benda-benda yang telah
13
disucikan dan disakralkan. Bagaimana reaksi hukum adat Bali dan hukum pidana nasional yang berdasarkan KUHP terhadap pencuri pratima sebagai yang menyuruh, maupun menadah. Hukuman yang dijatuhkan terhadap pencuri pratima ternyata tidak sebanding dengan nilai kehilangan tersebut. Pencurian pratima atau benda-benda suci keagamaan ini sudah termasuk kedalam perbuatan kriminal atau yang disebut delik adat. Sebagaimana Ter Haar mengatakan dianggap suatu pelanggaran atau delik karena adanya gangguan segi satu (eenzijdig) perbuatan sepihak dari seseorang atau kelompok yang mengancam ataupun mengganggu keseimbangan di dalam kehidupan persekutuan baik bersifat material maupun immaterial terhadap seorang, kelompok/masyarakat, maka tindakan tersebut akan menimbulkan suatu reaksi adat.19 Patut diperhatikan, banyaknya kasus pencurian pratima ini semata bukan saja ada dilakukan oleh warga dari dalam desa pakraman, namun ada juga pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman yang beragama Hindu maupun non Hindu, bahkan turut serta Warga Negara Asing yang menjadi penadah dalam pencurian benda suci/pratima tersebut. Pertanyaannya adalah apakah sanksi adat dapat dijatuhkan terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar kesatuan desa pakraman di Bali, mengingat pelaku berasal dari daerah yang berbeda dengan lokasi tempat pencurian pratima dan hal itu dikarenakan awig-awig di masing-masing wilayah di Bali tidak selalu sama dengan awig-awig di wilayah lainnya. Lantas bagaimanakah sanksi adat dan sanksi pidana berdasarkan KUHP mampu bersinergi dalam menjatuhkan sanksi 19
I Made Widnyana, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana,PT. Fikahati Aneska, Jakarta, h. 7.
14
terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali. Berdasarkan latar belakang di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian hukum yang dituangkan dalam sebuah Tesis/Karya Tulis yang berjudul: “PENJATUHAN SANKSI ADAT TERHADAP PENCURI PRATIMA YANG DILAKUKAN OLEH WARGA DARI LUAR DESA PAKRAMAN di BALI”
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut : 1.
Apakah sanksi adat dapat dijatuhkan terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali?
2.
Bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi adat yang dikenakan bersamaan dengan sanksi pidana berdasarkan KUHP terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali?
1.3.
Ruang Lingkup Masalah Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat diangkat dan untuk
memperoleh pembahasan yang tidak jauh menyimpang dari permasalahan yang ada maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas nanti. Adapun permasalahan pertama dibatasi hanya pada pertanyaan apakah sanksi adat dapat dijatuhkan terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali, sedangkan permasalahan
15
yang kedua dibatasi hanya pada pertanyaan bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi adat yang dikenakan bersamaan dengan sanksi pidana berdasarkan KUHP terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali.
1.4.
Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum Adapun yang menjadi tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa tentang bagaimana penerapan sanksi adat di masingmasing desa pakraman yang sudah pernah dijatuhkan terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali ataupun rancangan/rencana sanksi adat dari masing-masing desa pakraman yang nantinya dijatuhkan atau dikenakan kepada pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali apabila terjadi kasus pencurian pratima di Bali, serta sejauh mana sanksi adat dan sanksi pidana berdasarkan KUHP mampu memberikan hukuman yang menimbulkan efek jera terhadap pencuri pratima tanpa melanggar HAM dan atau melanggar dari ketentutan UUD 1945. 1.4.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui dan menganalisa tentang penjatuhan sanksi adat terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisa tentang mekanisme penjatuhan sanksi adat yang dikenakan bersamaan dengan sanksi pidana berdasarkan KUHP
16
terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali.
1.5.
Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian bermanfaat untuk memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca di bidang hukum pidana adat tentang penjatuhan sanksi adat terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali. 1.5.2. Manfaat Praktis 1.
Bagi praktisi, penelitian ini nantinya bermanfaat sebagai landasan teoritis dalam hal penjatuhan sanksi adat terhadap pencuri pratima khususnya bagi pelaku yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali.
2.
Bagi mahasiswa ataupun mahasiswi, penelitian ini nantinya bermanfaat sebagai literatur tambahan guna melengkapi refrensi dalam pembahasan tentang sanksi adat yang telah pernah dijatuhkan terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari dalam desa pakraman di Bali dan juga terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali yang beragama Hindu maupun non Hindu.
3.
Bagi Masyarakat, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dalam merespons persoalan hukum pidana adat, khususnya mengenai problematika penjatuhan sanksi adat terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali.
17
1.6.
Orisinalitas Penelitian Dalam rangka untuk memperkaya penelitian dan penulisan tesis serta
untuk menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 3 (tiga) tesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan penjatuhan sanksi adat terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali, antara lain sebagai berikut : a.
Tahun 2010, Dewa Gede Sumerta, (Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana) yang berjudul “Pemidanaan Terhadap Pelaku Pencurian Benda-Benda Sakral di Bali”. Dalam tesis ini dikemukakan 2 (dua) rumusan masalah, yaitu : 1.
Mengapa hakim di dalam memutus kasus pencurian benda-benda sakral di Bali, tidak menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat ?
2.
Mengapa di dalam kasus pencurian benda-benda sakral di Bali, masyarakat hukum adat menghendaki adanya upaya adat ?
Tesis ini mendeskripsikan tentang pemidanaan terhadap pelaku pencurian benda-benda sakral dalam praktek peradilan di Bali, serta filosofi yang mendasari perlunya pemenuhan kewajiban adat dalam kasus-kasus delik adat di Bali. Bahwa pada dasarnya hakim dalam memutus perkara kasuskasus pencurian benda-benda sakral mendasarkan putusannya pada Pasal 362 dan 363 KUHP karena pencurian benda-benda sakral walaupun
18
menurut pandangan masyarakat adat merupakan delik adat, namun tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 362 dan 363 KUHP. Bahwa masyarakat adat di Bali di dalam kehidupannya menghendaki selalu adanya perimbangan antara kehidupan lahir dan bathin (sekala dan niskala). Filsafat Tri Hita Karana tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan masyarakat hukum adat Bali dengan berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama Hindu. Sehingga menimbulkan pemikiran segala perbuatan yang mengakibatkan ketidakseimbangan harus dihindarkan atau bagi pembuatnya dikenakan kewajiban untuk mengembalikan keseimbangan tersebut. b.
Tahun 2009, Nyoman Roy Mahendra Putra, (Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro) yang berjudul “Penyelesaian Pelanggaran Adat di Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng Menurut Hukum Adat di Bali”. Dalam tesis ini dikemukakan 2 (dua) rumusan masalah, yaitu : 1.
Jenis-jenis perbuatan apa yang dapat digolongkan ke dalam pelanggaran adat menurut hukum adat Bali?
2.
Bagaimana pelaksanaan penyelesaian pelanggaran adat di Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng menurut hukum adat Bali?
Tesis ini mendeskripsikan tentang penyelesaian pelanggaran adat yang sebagian besar diatur dalam awig-awig desa adat. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan adat yang terdapat dalam awig-awig dapat dijatuhi sanksi adat yang merupakan reaksi adat terhadap tidak dilaksanakannya atau
19
ditaatinya peraturan-peraturan adat. Sanksi ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat. Sanksi adat selalu disertai dengan suatu kejadian atau perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan oleh si pelaku maupun keluarganya. c.
Tahun 2006, Budi Kresna Aryawan, (Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro) yang berjudul “Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran Awig-Awig Desa Adat Oleh Krama Desa di Desa Adat Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Propinsi Bali”. Dalam tesis ini dikemukakan 2 (dua) rumusan masalah yaitu : 1.
Bagaimana penerapan sanksi awig-awig Desa Adat Mengwi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama Desa Adat Mengwi?
2.
Bagaimanakah hambatan-hambatannya dalam penerapan sanksi awigawig Desa Adat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama Desa Adat Mengwi?
Tesis ini mendeskripsikan tentang penerapan sanksi terhadap pelanggaran awig-awig desa adat yaitu tergantung dari jenis pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan apa yang tercantum dalam awig-awig desa adat Mengwi dengan mengutamakan penyelesaian secara kekeluargaan dan bijaksana, baik berupa denda secara fisik atau denda dengan harta (materiil). Dengan sosialisasi kepada warga desa secara terus menerus dan tindakan yang tegas baik perangkat desanya atau kepatuhan warga desanya maka hambatanhambatan dalam penerapan sanksinya dapat diselesaikan dengan sebaikbaiknya.
20
1.7.
Landasan Teori dan Kerangka Berpikir Pada prinsipnya suatu teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih,
atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.20 Sehingga dalam menjawab permasalahan yang terkait dengan penjatuhan sanksi adat terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali, maka dalam hal ini akan diuraikan melalui beberapa teori, yaitu : Teori Catur Praja
a.
Menyelenggarakan pemerintahan mengandung makna proaktif, dan Van Vollenhoven memperkenalkan prinsip vrijbestuur dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu hak dan kewajiban yang melekat pada diri pejabat publik begitu diangkat. Kewajibannya menganut stelsel residual theory, yaitu melaksanakan tugas apa saja meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, selain tugas-tugas kepolisian, peradilan, dan legislatif. Untuk melaksanakan kewajiban ini pemerintah memiliki diskresi atau kebebasan bertindak dengan prinsip freies ermessen demi menjaga kepentingan rakyat. Berdasarkan teori residu dari Van Vollenhoven, dimana kekuasaan/fungsi pemerintah terdiri dari empat bagian yang dikenal dengan teori catur praja (Quarto Politica).21
20
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta,
h. 30. 21
C.S.T Kansil, 1982, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, h. 337.
21
Adapun pembagian dari teori catur praja adalah sebagai berikut : a.
b.
c.
d.
Fungsi memerintah (bestuur) yaitu dalam Negara yang modern fungsi bestuur mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksanaan undang-undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik. Di dalam fungsi kekuasaan pemerintah yang bersifat pemerintahan (bestuur), diwujudkan dalam tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat publik yaitu membuat peraturan yang bersifat umum dan abstrak (regeling) dan membuat peraturan yang bersifat individu dan konkrit (beschikking). Fungsi polisi (politie) merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif yakni memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif), agar tata tertib dalam masyarakat tersebut tetap terpelihara. Fungsi mengadili (justitie) adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya. Fungsi mengatur (regelaar) merupakan suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari fungsi pengaturan ini tidaklah undang-undang dalam arti formil (yang dibuat oleh presiden dan DPR), melainkan undang-undang dalam arti material yaitu setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah dari suatu Negara. 22
Teori catur praja khususnya fungsi mengadili sangat relevan digunakan sebagai pisau analisa dalam membahas suatu permasalahan. Oleh karena itu, desa pakraman dalam menjalankan roda pemerintahan memiliki segenap kewenangan yang melekat dan dapat menyelesaikan permasalahan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya. Atas dasar kewenangan tersebut, maka terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali khususnya, penting kiranya untuk dapat dijatuhi sanksi adat oleh desa pakraman.
22
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekrtariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal. 15.
22
Teori Keadilan
b.
Menurut John Rawls, prinsip paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang wajar.23 Karena itu, supaya keadilan dapat tercapai maka struktur konstitusi politik, ekonomi, dan peraturan mengenai hak milik haruslah sama bagi semua orang. Situasi seperti ini disebut "kabut ketidaktahuan" (veil of ignorance), di mana setiap orang harus mengesampingkan atribut-atribut yang membedakannya dengan orang-orang lain, seperti kemampuan, kekayaan, posisi sosial, pandangan religius dan filosofis, maupun konsepsi tentang nilai. Untuk mengukuhkan situasi adil tersebut perlu ada jaminan terhadap sejumlah hak dasar yang berlaku bagi semua, seperti kebebasan untuk berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan berserikat, kebebasan berpolitik, dan kebebasan di mata hukum. Pada dasarnya, teori keadilan Rawls hendak mengatasi dua hal yaitu utilitarianisme dan menyelesaikan kontroversi mengenai dilema antara liberty (kemerdekaan) dan equality (kesamaan) yang selama ini dianggap tidak mungkin untuk disatukan.24 Menurut teori ini, penjatuhan sanksi adat terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali memang tidak bisa dikenakan secara langsung oleh pihak prajuru adat/prajuru desa pakraman melalui lembaga adat seperti halnya pada penjatuhan sanksi adat terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga asli desa pakraman. Namun dengan menggunakan teori keadilan, desa pakraman akan sedikit lebih lega apabila sanksi pidana yang
23
Christoph Stueckelberger, 1998, Lingkungan dan Pembangunan, Duta Wacana University Press, Yogyakarta, h. 81. 24 Bur Rasuanto, 2005, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas; Dua Teori Filsafat Politik Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 25.
23
dibebankan kepada pelaku pencurian pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali tersebut lebih diperberat sesuai dengan besar kesalahan yang dilakukannya. Teori keadilan ini juga sebagai bentuk evaluasi moral yang telah melalui sederatan pertimbangan-pertimbangan, sehingga hal tersebut dapat memberikan rasa keadilan kepada semua pihak, baik pelaku maupun masyarakat. Teori Pluralisme Hukum
c.
Keanekaragaman hukum yang berlaku di tengah masyarakat bangsa dan Negara dapat dikaji melalui teori pluralisme hukum. Jhon Griffith mengatakan bahwa pluralisme hukum ialah suatu kondisi yang terjadi di wilayah sosial mana pun, di mana seluruh tindakan komunitas di wilayah tersebut diatur oleh lebih dari satu tertib hukum.25 Dikenal dua macam tertib hukum yang berlaku di dalam kelompok sosial, yakni: 1.
Ideologi sentralisme hukum
2.
Hukum lainnya (hukum lokal/adat).
Dalam ideologi sentralisme hukum, segenap aturan-aturan normatif dianggap sah keberlakuannya sebagai aturan hukum jika telah sesuai dengan aturan yang berada dalam tingkat hierarki yang lebih tinggi. Sedangkan hukum lainnya, seperti hukum lokal, hukum gereja, keluarga, asosiasi sukarela dan lainlain secara hierarkis berada di bawah hukum dan institusi Negara.26
25
H. Salim, Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 96. 26 Ibid. h. 101, lihat juga Jhon Griffiths dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial law
24
John Griffith kemudian membedakan pluralisme berdasarkan kekuatan berlakunya menjadi dua macam : 1. Pluralisme hukum kuat 2. Pluralisme hukum yang lemah.27 Pluralisme hukum kuat ditandai dengan berlakunya dua atau lebih tertib hukum di dalam masyarakat, sehingga tertib hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut tidak seragam dan sistematis. Adapun pluralisme hukum lemah merupakan salah satu bagian kecil dari hukum suatu Negara, yang berlaku sepanjang memperoleh pengakuan secara implisit oleh aturan dasar terhadap golongan kecil masyarakat. Apabila dikaitkan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam ranah hukum perdata, corak pluralisme dapat di bedakan menjadi tiga, antara lain: 1. hukum agama 2. hukum adat 3. hukum Negara. 28 Pemikiran mengenai kenyataan pluralisme hukum dimunculkan sebagai tanggapan terhadap adanya sentralisme hukum, yaitu suatu paham mengenai bahwa hukum adalah dan sudah seharusnya merupakan hukum Negara berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain dan dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga Negara. John Griffith berpendirian bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan. Sedangkan konsep pluralisme hukum 27
Jhon Griffiths, 2005, Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah deskripsi Konseptual, dalam Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Huma, Jakarta, h. 72 28 H. Salim, Erlies Septiana Nurbani, op.cit, h. 98
25
menurut Griffith adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial.29 Dalam arena pluralisme hukum itu terdapat hukum Negara di satu sisi, dan di sisi lain adalah hukum rakyat yang pada prinsipnya tidak berasal dari Negara, yang terdiri dari hukum adat, agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi-konvensi sosial lain yang dipandang sebagai hukum. Namun dalam era globalisasi seperti sekarang, perlu diperhitungkan hadirnya hukum internasional dalam arena pluralisme hukum. Dalam kenyataan empirik, khususnya dalam bidang perekonomian dan bidang hak asasi manusia, kehadiran hukum internasional terlihat sekali pengaruhnya. Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beranekaragam secara bersama-sama mengatur suatu perkara. Bagi kebanyakan sarjana hukum, kenyataan adanya sistem hukum lain di samping hukum Negara masih sulit diterima. Padahal dalam kenyataan sehari-hari tidak dapat dipungkiri terdapat sistem-sistem hukum lain di luar hukum Negara (state law). Melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut “beroperasi” bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari, artinya, dalam konteks apa orang memilih (kombinasi) aturan hukum tertentu, dan dalam konteks apa ia memilih aturan dan sistem peradilan yang lain.
29
T.O. Ihromi, 2001, Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 243.
26
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam hubungannya dengan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana keabsahan penjatuhan sanksi adat yang diberikan oleh desa pakraman terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali dan sejauhmana perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh pencuri pratima tersebut. Sebagaimana diketahui, di Indonesia berlaku dua sistem hukum yang mengatur tentang pencurian terhadap benda-benda suci di Bali, yaitu hukum Negara (hukum pidana berdasarkan KUHP) dan hukum Adat. Berdasarkan teori pluralisme hukum, dapat diketahui tentang relasi antara hukum Negara (hukum pidana berdasarkan KUHP) yang hanya sebatas mengatur tentang pencurian biasa dan hukum adat yang aturannya mewajibkan terhadap pencuri pratima di Bali untuk dilakukan upaya pemenuhan kewajiban adat. Adapun jika bertolak dari teori pluralisme yang dibedakan berdasarkan kekuatan berlakunya, maka akan diketahui pengaruh hukum Negara (hukum pidana berdasarkan KUHP) terhadap hukum adat. d.
Teori Pertanggungjawaban Pidana Suatu konsep yang terkait dengan teori kewajiban hukum adalah konsep
tanggung jawab hukum (liability). Seseorang secara hukum dikatakan bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam suatu perbuatan yang berlawanan. Normalnya dalam kasus, sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Menurut teori tradisional terdapat 2 bentuk
27
pertanggungjawaban hukum, yaitu berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).30 Hukum primitif melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya tidak memiliki kualifikasi psikologis. Apakah tindakan individu telah diantisipasi atau tidak atau dilakukan dengan sengaja atau tidak adalah tidak relevan. Adalah cukup bahwa perbuatan tersebut telah menimbulkan akibat yang dinyatakan harmful yang berarti menunjukkan hubungan eksternal antara perbuatan dan efeknya. Tidak dibutuhkan adanya sikap mental pelaku dan efek dari perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban inilah yang disebut pertanggungjawaban absolut.31 Teknik hukum terkini menghendaki suatu pembedaan antara kasus ketika individu merencanakan dan tidak merencanakan. Ide keadilan individualis mensyaratkan bahwa suatu sanksi harus diberikan kepada individu ketika tindakan seorang individu membawa akibat harmful effect tapi tanpa direncanakan. Prinsip pemberian sanksi terhadap individu hanya ketika tindakan individu tersebut direncanakan akan berbeda dengan ketika tindakan individu itu tidak direncanakan. Inilah yang disebutkan pertanggungjawaban karena kesalahan (culpability/responsibilitybased on fault).32 Roscoe Pound mengatakan melalui pendekatan analisis kritisnya, bahwa timbulnya pertanggungjawaban karena suatu kewajiban atas kerugian yang ditimbulkan terhadap pihak lain. Pada sisi lain
30
Jimly Assidiqie dan M. Ali Syafaat, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekjend Mahkamah Konstitusi, Jakarta, h. 65. 31 Ibid. 32 Loc.cit.
28
Pound melihat lahirnya pertanggungjawaban tidak saja karena kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindakan, tetapi juga karena suatu kesalahan.33 Teori Pemidanaan
e.
Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang diartikan juga sebagai hukuman sehingga pemidanaan dapat diartikan sebagai penghukuman. Menurut Sudarto, bahwa istilah penghukuman dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan “pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim.34 Menurut Muladi tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan baik individual maupun sosial yang disebabkan karena adanya tindak pidana. Konsepsi ini bertolak dari asumsi dasar, bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan yang mengakibatkan kerusakan individual dan sosial. Berdasarkan hal tersebut, Muladi mengemukakan bahwa seperangkat tujuan yang bersifat integratif meliputi; 1. pencegahan (baik umum maupun khusus); 2. perlindungan masyarakat; 3. memelihara solidaritas masyarakat; 4. pengimbalan/pengimbangan.35
33
Roscoe Pound, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan dari edisi yang diperluas oleh Drs. Mohammad Radjab, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, h. 90. 34 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto I), h. 72 35 Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Muladi I), h. 39.
29
Pemidanaan yang mempunyai arti sama dengan penjatuhan pidana oleh Negara, berwujud sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau dibebankan oleh Negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Sehingga dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa pemidanaan adalah suatu proses pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim dan mengenai proses menjalankan pidana sebagai akibat adanya gangguan mengakibatkan kerusakan baik individual maupun sosial. Dalam pemidanaan pada umunya dikenal dengan 3 teori yang sering digunakan dalam mengkaji tentang tujuan pemidanaan yaitu : a. Teori Pembalasan (absolute/vergeldingstheorie) Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri karena kejahatan telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan. b. Teori maksud dan tujuan (relatieve doeltheorie) Menurut teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. c. Teori gabungan (verenigingstheorie); suatu teori yang terdiri dari teori pembalasan dan teori maksud dan tujuan, artinya dasar hukuman harus dicari dari adanya kejahatan yang menimbulkan penderitaan bagi orang
30
lain dan sebagai penggantinya kepada pelaku harus dikenakan penderitaan. Kemudian adanya suatu hukuman bertujuan memperbaiki ketidakpuasan masyarakat selain itu tujuan hukuman harus dipandang secara ideal karena tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Teori gabungan adalah gabungan daripada kedua teori yaitu teori pembalasan dengan teori maksud dan tujuan. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.36
36
Ledeng Marpaung, 2003, Azas Teori Praktek Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 105.
31
1.8.
Kerangka Berpikir PENJATUHAN SANKSI ADAT TERHADAP PENCURI PRATIMA YANG DILAKUKAN OLEH WARGA DARI LUAR DESA PAKRAMAN di BALI
Aspek Sosiologis : Pencuri pratima tidak hanya dilakukan oleh pelaku yang berasal dari dalam desa pakraman melainkan ada juga pencuri yang berasal dari luar kesatuan desa pakraman yang beragama Hindu maupun non Hindu.
RUMUSAN MASALAH 1.
Aspek Yuridis : Pasal 362, 363, 365 KUHP dan sanksi adat / awigawig desa pakraman : artha danda (sanksi berupa denda uang/barang), sangaskara danda (sanksi berupa ikut melakukan upacara keagamaan), jiwa danda (sanksi berupa penjatuhan derita rohani dan jasmani dalam hal ini kasepekang).
2.
Aspek Filosofis : Pratima merupakan benda suci keagamaan yang disakralkan oleh umat Hindu di Bali dan dipercaya sebagai manifestasi/penjelmaan dari Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pratima menjadi sebuah daya tarik bagi para kolektor benda antik karena terbuat dari kayu cendana kemudian dilapisi oleh mutiara dan emas. Oleh karena itu selain memiliki nilai kesakralan, pratima juga memiliki nilai ekonomis yang terbilang cukup tinggi.
Apakah sanksi adat dapat dijatuhkan terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali? Bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi adat yang dikenakan bersamaan dengan sanksi pidana berdasarkan KUHP terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali?
TEORI 1. Teori Catur Praja 2. Teori Keadilan 3. Teori Pluralisme Hukum 4. Teori Pertanggungjawaban Pidana 5. Teori Pemidanaan Jenis penelitian : Penelitian hukum empiris, yang pokoknya menganalisa dan mengkaji bekerjanya hukum di tengah masyarakat.
Pendekatan masalah : Pendekatan normatif dan empiris, yaitu mengkaji permasalahan melalui peraturan per UUan dan berdasarkan kenyataan di dalam masyarakat.
Sumber bahan hukum : 1. Bahan hukum primer 2. Bahan sekunder 3. Bahan hukum tersier
KESIMPULAN
Teknik pengumpulan bahan hukum : Teknik purposive sampling dan metode kualitatif
32
1.9.
Metode Penelitian
1.9.1. Jenis Penelitian Suatu penelitian dilakukan sebagai suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran dan mencari kembali suatu pengetahuan dan menggunakan metode-metode ilmiah.37 Penelitian ini adalah penelitan hukum empiris yang pada pokoknya menganalisa dan mengkaji bekerjanya hukum di tengah masyarakat.38 Objek kajian penelitian hukum empiris, meliputi : a. b. c. d. e.
efektivitas hukum kepatuhan terhadap hukum peranan lembaga atau institusi hukum di dalam penegakan hukum implementasi aturan hukum pengaruh aturan hukum terhadap masalah sosial tertentu atau sebaliknya.39
Adapun kaitannya dengan penelitian ini, maka aspek empiris yang dimaksud adalah melakukan penelitian terhadap implementasi hukum adat, khususnya penjatuhan sanksi adat terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali. Apakah sanksi adat dapat dijatuhkan terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali dan bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi adat yang dikenakan bersamaan dengan sanksi pidana berdasarkan KUHP terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali. Dari jawaban inilah nantinya terlihat implementasi hukum adat dalam hal pencurian pratima di Bali.
37
Djam’an Satori, Aan Komariah, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung,
h. 18. 38 39
H. Salim, Erlies Septiana Nurbani, op.cit, h. 20. Ibid.
33
1.9.2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Langkah kerja untuk mendeskripsikan suatu objek, fenomena, atau setting social terjewantah dalam suatu tulisan yang bersifat naratif, artinya data maupun fakta yang dihimpun berbentuk kata atau gambar daripada angka-angka. Mendeskripsikan sesuatu berarti menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu kejadian terjadi.40 Penelitian deskriptif ini mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk juga tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandanganpandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.41 Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat
yang
berkenaan
dengan
objek
penelitian.
Penelitian
ini
menggambarkan tentang penjatuhan sanksi adat terhadap pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali. 1.9.3. Jenis Pendekatan Penelitian ini mempergunakan pendekatan secara normatif dan empiris. Pendekatan normatif dilakukan dengan mengkaji permasalahan melalui peraturanperaturan atau norma-norma hukum yang berlaku, sedangkan pendekatan empiris dilakukan dengan mengkaji permasalahan berdasarkan praktek atau kenyataan yang ada dalam masyarakat.42 Relevansinya dengan penelitian ini adalah penjatuhan sanksi adat tidak lain merupakan sarana represif dari sistem norma sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan di atas. Oleh karenanya melalui pendekatan normatif dan empiris, khususnya sanksi adat yang dijatuhkan terhadap 40
Djam’an Satori, Aan Komariah, op.cit, h. 28. Moh. Nazir, 2003, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 54-55. 42 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 35 41
34
pencuri pratima yang dilakukan oleh warga dari luar desa pakraman di Bali dapat dianalisa mengenai dasar legitimasinya. 1.9.4. Data dan Sumber Data 1.9.4.1.Data Primer Data primer yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini bersumber atau diperoleh dari penelitian di lapangan yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian di lokasi terjadinya pencurian pratima yaitu di desa pakraman Muncan kabupaten Karangasem, desa pakraman Budakeling kabupaten Karangasem dan desa adat Tandeg kabupaten Badung. Adapun sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh dari narasumber yang paling utama, dalam hal ini adalah Bendesa adat desa pakraman, klian banjar, masyarakat, Biro Hukum dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, dan Pelaku pencurian pratima. 1.9.4.2.Data Sekunder Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut : 1.
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat, yaitu: a.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
c.
Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999 tentang HAM;
d.
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951;
e.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
35
f. 2.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literatur, makalah, tesis, disertasi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian,43 disamping itu juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengcopy (download) bahan hukum yang diperlukan.
3.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus, yang terdiri dari : a.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta;
b. Black’s Law Dictionary; Kamus hukum. 1.9.5. Teknik Pengumpulan Data Fase terpenting dari penelitian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian.44 Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi dokumen untuk mengumpulkan data sekunder dan teknik wawancara untuk mengumpulkan data primer. Pengumpulan data melalui teknik dokumentasi, peneliti dapat memperoleh informasi bukan dari orang sebagai narasumber melainkan dari berbagai macam sumber tertulis. Studi dokumen dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap 43 44
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, h. 141. Djam’an Satori, Aan Komariah, op.cit, h. 102
36
dari penggunaan metode wawancara.45 Teknik wawancara artinya melakukan interaksi komunikasi bertatap muka dengan maksud menghimpun informasi. Seperti yang telah disebutkan pada halaman sebelumnya, teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara semi standar, yakni wawancara dengan membuat garis besar pokok-pokok pembicaraan namun dalam pelaksanaannya pertanyaan dapat diajukan secara bebas dalam arti tidak perlu dipertanyakan secara berurutan dan pemilihan kata-katanya juga tidak baku saat wawancara berlangsung.46 Dalam sebuah penelitian kualitatif, sampel berarti narasumber atau informan. Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif sangat bergantung pada tujuan atau masalah peneliti yang bersangkutan. Dengan kata lain, peneliti memilih sampel yang mempunyai pengetahuan dan informasi tentang fenomena yang diteliti.47 Untuk selanjutnya disebut purposive sampling. Adapun pihakpihak yang nantinya akan digunakan sebagai sampel antara lain : 1. Kelian adat; 2. Bendesa adat; 3. Pihak Kepolisian, dan; 4. Pihak terkait yang ada hubungannya dengan permasalahan yang tengah diteliti.
45
Ibid, h. 149 Ibid, h. 135 47 Ibid, h. 53 46
37
1.9.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pertama-tama,
dibutuhkan
sebuah
identifikasi
terhadap
data-data
(pengumpulan data) yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Dimana, untuk selanjutnya data yang telah teridentifikasi wajib untuk dipilah dan dicari intisarinya agar mampu memberikan gambaran riil tentang pengamatan terhadap masalah yang tengah diteliti, kemudian ditindaklanjuti dengan tahapan mengurai menjadi bagian-bagian, sehingga tatanan bentuk sesuatu yang diurai itu lebih tampak jelas lagi duduk perkaranya (analisis data). Dengan adanya penggunaan pemikiran analitik dalam penelitian ini, mengimplikasikan metode yang digunakan adalah metode kualitatif.48 Sehingga masalah yang diteliti nantinya tidak lepas dari koridor situasi nyata di lapangan.
48
Ibid, h. 199