14
BAB II TNJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Terhadap Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP menjelaskan bahwa “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Upaya hukum yang dikenal dan diatur dalam KUHAP meliputi upaya hukum biasa yang diatur dala Bab XVII dan upaya hukum luar biasa yang diatur dalam Bab XVIII. Upaya hukum biasa meliputi banding dan kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa yaitu meliputi kasasi dan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Upaya Hukum Biasa 1) Banding Dasar hukum pengajuan banding diatur dalam Pasal 67 KUHAP, yang berbunyi : “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Dari ketentuan Pasal 67 KUHAP tampak sangat memperhatikan hak asasi terdakwa karena lebih membatasi permintaan banding yaitu apabila putusan dan lepas dari tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum. (Moch Faisal Salam, 2001: 353)
15
Acara pemeriksaan banding diatur dalam Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Banding
merupakan
sarana
penting
untuk
melakukan
bantahan/sanggahan terhadap putusan pengadilan negeri yang dianggap tidak tepat karena : a) Kelalaian dalam penerapan hukum acara. b) Kekeliruan melaksanakan hukum. c) Adanya kesalahan dalam pertimbangan hukum, hukum pembuktian dan amar putusan pengadilan pertama.
2) Kasasi a) Pengertian Kasasi Istilah kasasi terdapat dalam berbagai bahasa yakni bahasa Belanda adalah “Cassatie”, dalam bahasa Inggris “Cassation” dan dalam bahasa Perancis “Caesei” yang artinya “pembatalan putusan pengadilan bawahan (yang telah dijatuhkan), oleh Mahkamah Agung dengan dasar : (1) Transgression; melampaui batas wewenang. (2) Misjudge; salah mengetrapkan atau melanggar peraturan hukum yang berlaku. (3) Negligent; adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh suatu ketentuan Undang-Undang yang mengancam kelalaian itu dan membatalkan putusan itu sendiri. Menurut Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan lain selain dari pada mahkamah agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Selain pengertian KUHAP tersebut, kasasi juga dapat diartikan bahwa:
16
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa dan merupakan hak kasasi yang diberikan peraturan perundangundangan kepada pencari keadilan. Kasasi berasal dari kata “Cassation” dengan kata kerja “Casser” artinya membatalkan atau memecahkan.Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan, karena dinilai salah menerapkan hukum. Meskipun secara normatif Mahkamah Agung memiliki kewenangan mengadili perkara kasasi tidak serta merta dan pasti melakukannya, melainkan tergantung pihak pencari keadilan atau penuntut umum, mengajukan kasasi atau tidak dan tergantung syarat formal antara lain: tenggang waktu mengajukan kasasi, surat kuasa khusus sempurna, masih ada upaya hukum yang disediakan oleh hukum acara (verzet, banding), memberikan
memori
kasasi
dalam
waktunya
(Henry
P
Panggabean, 2001:201). b) Alasan Kasasi Alasan kasasi telah ditentukan dalam pasal 253 ayat (1) KUHAP secara limitative yang menyebutkan bahwa pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 244 dan pasal 249 guna menentukan: (1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; (2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang; (3) Apakah
benar
pengadilan
telah
melampaui
batas
kewenangannya. Selain dari KUHAP, diatur pula dalam Pasal 30 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
17
Mahkamah Agung, alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi, yaitu: (1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang (2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku (3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undanga yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
c) Tujuan Kasasi (1) Koreksi Terhadap Putusan Pengadilan Bawahan. Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan
penerapan
hukum,
agar
hukum
benar-benar
diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undangundang. (2) Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru. Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus
menciptakan
hukum
baru
dalam
bentuk
yurisprudensi. (3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum. Tujuan lain dari pemeriksaan kasasi adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unifeld legal frame workdanunifeld legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oelh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya (M. Yahya Harahap,2012:539-542).
18
d) Pihak-pihak yang Dapat Mengajukan Kasasi Upaya hukum kasasi dapat diartikan sebagai “hak” yang diberikan kepada terdakwa ataupun penuntut umum apabila mereka tidak puas atas putusan pengadilan tinggi atau apabila mereka tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan. Menurut Pasal 244 KUHAP, menegaskan bahwa yang berhak mengajukan kasasi adalah terdakwa dan penuntut umum. Mereka inilah yang berhak mengajukan permohonan kasasi baik “sendiri-sendiri” maupun secara “bersamaan”.Terdakawa saja secara sendirian dapat mengajukan kasasi, demikian juga penuntut umum. Hal ini tidak mengurangi kemungkinan keduanya samasama mengajukan kasasi, baik terdakwa maupun penuntut umum sama-sama
mengajukan
permohonan
kasasi
(M.
Yahya
Harahap.2010:548).
e) Tata Cara Pengajuan Kasasi (1) Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas (Pasal 244 KUHAP) (2) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak guna menentukan : (a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterpakan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya (b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang (c) Apakah
benar
pengadilan
telah
melampaui
batas
wewenangnya (Pasal 253 (1) KUHAP) (3) Berkas perkara yang dikirim ke Mahkamah Agung (melalui panitera) terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik,
19
berita acara di sidang, semua surat yang timbul disidang yang berhubungan dengan perkara itu, beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir (Pasal 253 (2)) empat belas hari sesudah putusan diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 (1) KUHAP) (4) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun keduanya, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (Pasal 246 (1) KUHAP) (5) Apabila lewat empat belas hari tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan (Pasal 246 (1) KUHAP) (6) Selama perkara belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut dan permohonan kasasi dalam perkara ini tidak dapat diajukan lagi (Pasal 247 (1) KUHAP) (7) Apabila perkara telah dimulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sementara pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (Pasal 247 (3) KUHAP) (8) Pemohon kasasi wajib mengajukan momori kasasi dan dalam waktu empat belas hari setelah menyatakan/menanBahan hukumngani akte kasasi dimaksud harus sudah menyerahkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri (Pasal 248 (1) KUHAP) (9) Dalam hal pemohon kasasi adlah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera wajib menanyakan apakan alasan kasasi tersebut dan untuk itu panitera membuat memori kasasinya (Pasal 248 (2) KUHAP)
20
(10)
Apabila dalam tenggang empat belas hari pemohon
terlambat menyerahkan memori kasasi maka haknya gugur (Pasal 248 (2) KUHAP) (11)
Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu
pihak oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi (Pasal 248 (6) KUHAP) (12)
Dalam
waktu
empat
belas
hari
panitera
wajib
menyampaikan memori kasasi kepada pihak yang mengajukan memori kasasi (Pasal 248 (7) KUHAP) (13)
Tambahan memori kasasi atau kontra memori kasasi masih
dapat ditambahkan masing-masing pihak dalam waktu empat belas hari sesudah permohonan kasasi diajukan (Pasal 249 (1) KUHAP)
c. Upaya Hukum Luar Biasa Upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab XVIII KUHAP yang terdiri dari dua bagian, yaitu Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Upaya
hukum
luar
biasa
merupakan
pengecualian
dan
penyimpangan dari upaya hukum biasa, upaya banding dan kasasi. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk mengoreksi serta meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan tersebut dan pelurusan kesalahan tersebut dimaksudkan demi tegaknya hukum dan kebenaran serta keadilan (M. Yahya Harahap,2012:543-544). Upaya hukum luar biasa terdiri dari:
1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap, hal ini berbeda dengan peninjauan kembali,
21
tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri dana tau putusan pengadilan tinggi, tetapi juga terhadap putusan Mahkamah Agung (M. Yahya Harhap,2012:608-609). Pihak yang berhak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP, yaitu jaksa agung karena jabatannya, terpidana atau ahli waris atau penasehat hukumnya tidak
diperkenankan
mengajukan
kasasi
demi
kepentingan
hukum.Putusan kasasi demi kepentingan hukum ini tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan dan hanya diperbolehkan diajukan satu kali saja.
2) Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan, kecuali putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP adapun dasar diajukannya permohonan peninjauan kembali adalah sebagai berikut: a) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b) apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
22
c) apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
2. Tinjauan Terhadap Penuntut Umum a. Pengertian Penuntut Umum Berdasarkan penjelasan bunyi Pasal 1 angka 6 KUHAP, secara tegas menyatakan terdapat perbedaan antara jaksa dan penuntut umum.Yang dimaksud denga penuntut umu adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.Sedangkan yang dimaksud dengan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah meperoleh kekuatan hukum tetap. Dari pengertian tersebut diatas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara jaksa dan penuntut umum.Jaksa adalah pejabat fungsional yang wewenangnya tidak hanya dibidang penuntutan tetapi juga memiliki wewenang untuk sebagai eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai jaksa pengacara negara atau sebagai penyelidik tindak pidana tertentu dan kewenangan lainnya diatur dalam Undang-Undang tentang kejaksaan. Sedangkan yang dimaksud penuntut umum adalah jaksa yang kewenangannya khusus dibidang penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
b. Kewenangan Penuntut Umum Adapun wewenang penuntut umum sebagaimana diatur menurut Pasal 14 KUHAP, sebagai berikut: 1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2) Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memerhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
23
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; 3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4) Membuat surat dakwaan; 5) Melimpahkan perkara ke pengadilan; 6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat-surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada siding yang telah ditentukan; 7) Melakukan penuntutan; 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-Undang ini; 10) Melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan mengenai tugas dan wewenang jaksa agung diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun tugas dan wewenang jaksa agung: 1) Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; 2) Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undangundang; 3) Mengesampingkan perkara demi kepentingan hukum; 4) Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; 5) Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
24
6) Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Tinjauan tentang Judex Juris dan Judex Factie a. Judex Factie Berdasarkan arti kata “Judex” berarti hakimdan “Factie” berarti fakta, sehingga definisi dari judex factie adalah fakta hakim dalam persidangan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Jadi judex factie lebih condong pada kewenangan hakim dalam menentukan suatu fakta hukum dalam suatu persidangan yang akan dijadikan pertimbangan suatu putusan. Judex factie berwenang memeriksa fakta dan bukti suatu perkara ditingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Judex factie memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut. (Muhammad Okky Arista dan Putra Bagus Setya Dewanto,2015:4). b. Judex Juris Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi tingkatannya dikenal istilah judex juris, yaitu hakim yang memeriksa atas penerapan hukum yang telah dilakukan oleh pengadilan tingkat bawahan. Pada umumnya di Indonesia hanya Mahkamah Agung berperan secara eksklusif sebagai judex juris oleh karena Mahmah Agung tidak menentukan faktafakta. Tujuan utama Mahkamah Agung adalah untuk menilai apakah penerapan hukum dalam suatu kasus sudah tepat dan memiliki dasar hukum yang kuat. Adapun wewenang Mahkamah Agung menurut pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman wewenang Mahkamah Agung ialah; 1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali UndangUndang menentukan lain;
25
2) Menguji
peraturan
perundang-undangan
di
bawah
Undang-
Undangterhadap undang-undang; dan 3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Pengaturan lebih lanjut mengenai Mahkamah Agung terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
4. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin Coruptio atau Corruptus. Selanjutnya Coruptio itu berasal dari kata Corumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin inilah kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa, seperti Inggris yaitu corrupt, Corruption, dan Perancis yaitu Corruption, sedangkan dalam Bahasa Belanda yaitu Corruptie. Selanjutnya muncul pula dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia yaitu Korupsi. Kata korupsi ditinjau dari Kamus Bahasa Indonesia berarti busuk, buruk, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral atau penyimpanan dari kesucian. WJS Poerwodarminto dalam Kamus Bahasa Indonesia memberikan pengertian "korupsi sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya". (Baharuddin Lopa, 2001: 67.) Menurut Baharuddin Lopa yang mengutip pendapat dari S Hornby E.V.Gatenby and H
Wakefield
mengatakan bahwa korupsi
adalah
penawaran/pemberian dan penerimaan suap. Selanjutnya dikatakan juga bahwa korupsi berarti kebusukan atau kerusakan. Sudah tentu yang dimaksudkan busuk atau rusak itu ialah moral atau akhlak dari oknum yang melakukan perbuatan korupsi tersebut. (Baharuddin Lopa, 2001, 67) Istilah korupsi pertama kali disepakati sebagai istilah hukum pada Peraturan Penguasaan Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957,
26
yang memberi batasan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste dalam Suyanto, korupsi didefinisikan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu sebagai berikut. a. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. b. Illegal
corruption,
ialah
suatu
jenis
tindakan
yang
bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. c. Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh
keuntungan
pribadi,
melalui
penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan. d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok (Maryanto, 2012:2). Pengertian korupsi menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu sebagai berikut: Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi. Secara yuridis formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan Pasal 20, Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi sebagai delik yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri di luar KUHP terus diperbaharui. Hal ini adalah sebagai upaya untuk dapat menegakkan keadilan yang mana selama ini penanganan tindak pidana korupsi belum sesuai dengan harapan masyarakat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
27
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membagi tindak pidana korupsi menjadi dua bagian yaitu: a. Tindak pidana korupsi di luar KUHP b. Tindak pidana korupsi di dalam KUHP Tindak pidana korupsi di luar KUHP adalah pengaturan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang belum diatur dalam KUHP. Sedangkan tindak pidana korupsi dalam KUHP adalah pengaturan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang sudah diatur dalam KUHP atau dengan kata lain beberapa Pasal dalam KUHP yang digolongkan menjadi tindak pidana korupsi.
28
B. Kerangka Pemikiran
1. Bagan Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Sistematika Kerangka Pemikiran
2. Keterangan Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian hukum guna menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini, yaitu mengenai perkara Tindak Pindana Korupsi. Berdasarkan Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP bahwa suatu Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas
29
permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 KUHAP guna menentukan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya. Meninjau perkara Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1022 K/Pid.Sus/2014 bahwa atas putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Medan yang amarnya menyatakan
Terdakwa
bersalah
melakukan
tindak
pidana
korupsi
sebagaimana yang didakwakan dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 80/Pid.Sus.K/2013/PNMdn, Penuntut Umum telah mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Terdakwa dalam mengajukan upaya hukum kasasi tersebut beralasan bahwa judex factie telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian, yang mana alasan tersebut menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam mengeluarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1022 K/Pid.Sus/2014 yang amarnya menyatakan pembatalan Putusan Pengadilan Tinggi di Medan Nomor: 03/Pid.Sus.K/2014/PT-MDN tanggal 17 Februari 2014 yang menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 80/PID.SUS.K/2013/PN.Mdn tanggal 11 Desember 2013.