BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN YANG DILAKUKAN OLEH BIRO PERJALANAN WISATA 2.1. Konsep dan Pengaturan Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha Wisata 2.1.1. Konsep Perlindungan Hukum Sebagai makhluk sosial maka sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan
perbuatan
hukum
(rechtshandeling)
dan
hubungan
hukum
(rechtsbetrekkingen)30. Suatu hubungan hukum akan memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga apabila dilanggar akan mengakibatkan pihak pelanggar dapat dituntut di pengadilan.31 Tiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka tampil hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. 32 Dengan kata lain 30
R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 49.
31
Soedjono Dirjosisworo, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.
131. 32
Anonim, Perlindungan Hukum, http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 22 Januari 2015.
28
29
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian Perlindungan hukum merupakan salah satu hal terpenting dalam unsur suatu negara hukum. Hal tersebut dianggap penting, karena dalam pembentukan suatu negara akan dibentuk pula hukum yang mengatur tiap-tiap warga negaranya. Dalam perkembangannya, antara suatu Negara dengan warga negaranya akan terjalin suatu hubungan timbal balik, yang mengakibatkan adanya suatu hak dan kewajiban antara satu sama lain, dan perlindungan hukum merupakan salah satu hak yang wajib diberikan oleh suatu Negara kepada warga negaranya. Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat atau konsep Rule of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Konsep Rechtsct muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl.Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of Law) yang dipelopori oleh A.V.Dicey. menurut A.V. Dicey menguraikan adanya 3 (tiga) ciri penting negara hukum yang disebut dengan Rule of Law, yaitu :33 1. Supermasi hukum, artinya tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama didepan hukum, baik bagi rakyat biasa atau pejabat pemerintah.
33
Nuktoh Arfawie Kurdie, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 19.
30
3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan. Sehingga dapat dikatakan, jika suatu Negara mengabaikan dan melanggar hak asasi manusia dengan sengaja dan menimbulakn suatu penderitaan yang tidak mampu diatasi secara adil, maka Negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu Negara hukum dalam arti sesungguhnya.34 Secara gramatikal, perlindungan berarti tempat untuk berlindung atau hal (perbuatan)
memperlindungi.35
Memperlindungi
adalah
menjadikan
atau
menyebabkan berlindung.36 Sedangkan Sudikno Mertokusumo mengartikan bahwa hukum adalah kumpulan peraturan dan kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum, karena dapat berlaku bagi setiap orang, dan normatif, karena sebagai dasar untuk menentukan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, ataupun apa yang harus dilakukan, serta mengatur tentang cara melaksanakan kaedah-kaedah tersebut.37 Dengan demikian, dapat diartikan bahwa perlindungan hukum adalah suatu perbuatan untuk menjaga kepentingan subyeksubyek hukum dengan peraturan-peraturan atau kaidah yang berlaku. Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah Upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan suatu kekuasaan 34
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.
133. 35
Anonim, Definisi „perlindungan‟, http://www.artikata.com/arti-370785-perlindungan.html, diakses tanggal 22 Januari 2015. 36
ibid.
37
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, h.
38.
31
kepada orang tersebut untuk melakukan tindakan yang dapat memenuhi kepentingannya.38 Sementara itu, Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa, Perlindungan Hukum adalah suatu tindakan untuk melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek hukum, dengan menggunakan perangkat-perangkat hukum.39 Sedangkan menurut CST Kansil, Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. Menurut Muktie A. Fadjar, Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.40 Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dijelaskan bahwa perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan 38
Satjipto Raharjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, h. 121.
39
Philipus M. Hadjon, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 10. 40
Anonim, 2014, Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli, http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/, diakses tanggal 22 Januari 2015.
32
pengadilan. Sedangkan pengertian perlindungan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian, suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut :41 1. Adanya pengayoman dari Pemerintah terhadap warga negaranya; 2. Jaminan kepastian hukum. 3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara. 4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya. Secara teoritis, bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu Perlindungan yang bersifat preventif dan Perlindungan Represif. Perlindungan Hukum Preventif merupakan perlindungan yang sifatnya pencegahan, sebelum seseorang dan/atau kelompok melakukan suatu kegiatan yang bersifat negatif atau melakukan suatu kejahatan yang diniatkan, sehingga dapat menghindarkan atau meniadakan terjadinya tindakan yang kongkrit.42 Adanya perlindungan hukum ini 41
Dinni Harina Simanjuntak, 2011, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Franchise Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35732/6/Chapter%20III-V.pdf, diakses tanggal 22 Januari 2015. 42
Made Metu Dahana, op.cit, h. 58.
33
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat berarti bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Hal ini juga mendorong pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, karena rakyat juga dapat mengajukan keberatan ataupun dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. Sementara perlindungan hukum yang represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa.43 Untuk menjalankan perlindungan hukum yang represif bagi rakyat Indonesia, terdapat berbagai badan yang secara parsial mengurusnya. Badan-badan tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu : 1.
Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum;
2.
Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah
yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Sehingga, instansi pemerintah yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Perlindungan Hukum adalah segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
43
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 2.
34
2.1.2. Pengaturan Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha Wisata Secara yuridis produk hukum yang dapat dicermati terkait dengan pengaturan perlindungan hukum terhadap wisatawan adalah Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Ketentuan Pasal 20 huruf c dari undangundang ini menyatakan bahwa setiap wisatawan berhak memperoleh perlindungan hukum dan keamanan. Dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.44 Dalam hal ini, wisatawan adalah konsumen barang dan/atau jasa, sehingga dalam perannya sebagai konsumen, masyarakat Indonesia berhak atas perlindungan hukum yang berkaitan dengan kualitas barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha. Perkembangan perekonomian yang pesat, mengakibatkan timbulnya berbagai macam jenis barang dan/atau jasa di Indonesia. Pada satu sisi, hal ini memberikan keuntungan kepada konsumen untuk dapat memilih berbagai macam barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Sementara itu, adanya persaingan yang tidak sehat dari pelaku usaha untuk menghasilkan berbagai barang dan/atau jasa memberikan kerugian pada pihak konsumen. Karena sering kali dalam persaingan tersebut, pelaku usaha lebih mengutamakan profit atau keuntungan dibandingkan dengan kualitas barang dan
44
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 98.
35
atau/jasa yang dihasilkannya. Sehingga hal ini membuat adanya kedudukan yang tidak seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen yang menggunakan barang dan/atau jasanya. Hal inilah yang mendorong timbulnya suatu peraturan yang mengatur tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan
pilihannya
atas
barang
dan/atau
jasa
kebutuhannya
serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.45 Menurut Bussiness English Dictionary, Perlindungan Konsumen adalah protecting consumers against unfair or illegal traders. Perlindungan Konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.46 Jasa merupakan suatu fenomena yang rumit (complicated). Kata jasa mempunyai banyak arti dan ruang lingkup, dari pengertian yang paling sederhana, yaitu hanya berupa layanan dari seseorang kepada orang lain, bisa juga diartikan
45
AZ. Nasution, 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 6-7. 46
Zulham, op.cit, h. 21.
36
sebagai mulai dari pelayanan yang diberikan oleh manusia, baik yang dapat dilihat (explicit service) maupun yang tidak dapat dilihat, yang hanya bisa dirasakan (implicit service) sampai kepada fasilitas–fasilitas pendukung yang harus tersedia dalam perjanjian jasa dan benda-benda lainnya. Jenis jasa perjalanan dapat berlangsung berdasarkan hubungan baik antara penyedia jasa perjalanan dengan pelanggan (relationship with customer), perusahaan-perusahaan jasa mempunyai peluang-peluang yang besar untuk membina hubungan jangka panjang dengan konsumen karena umumnya konsumen jasa melakukan transaksi langsung dengan orang sebagai penyedia jasa. Hal ini sangat berbeda dengan perusahaan manufaktur dimana konsumen tidak berhubungan langsung dengan produsen.47 Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 3 UUPK, dijelaskan tentang pengertian Pelaku Usaha, yaitu : “Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian pelaku usaha menurut UUPK sangat luas. Yang dimaksud dengan pelaku usaha bukan hanya produsen, melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara).
47
Siti Nurhayati, 2009, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Jasa Biro Perjalanan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Jurnal, Volume 2 Nomor 2, Universitas Pembangunan Panca Budi, Medan.
37
Berdasarkan penjelasan tersebut, Biro Perjalanan Wisata dapat dinyatakan sebagai produsen dan wisatawan dapat dinyatakan sebagai konsumen, yang tentunya menunjukkan adanya hubungan hukum antara pihak-pihak tersebut. Adanya hubungan hukum tersebut dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :48 1.
Hubungan Langsung Hubungan langsung yang dimaksud adalah hubungan antara produsen dengan
konsumen yang terikat secara langsung dalam perjanjian. Tanpa mengabaikan jenis perjanjian-perjanjian lainnya, pengalihan barang dari produsen ke konsumen, pada umumnya dilakukan dengan perjanjian jual beli, baik yang dilakukan secara lisan maupun tertulis. Salah satu bentuk perjanjian tertulis yang banyak dikenal adalah perjanjian baku, yaitu bentuk perjanjian yang banyak digunakan, jika salah satu pihak sering berhadapan dengan pihak lain dengan jumlah yang banyak dan memiliki kepentingan yang sama. Perjanjian baku yang banyak ditemukan dalam praktik pada dasarnya dilakukan berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 2.
Hubungan Tidak Langsung Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan disini adalah hubungan antara
produsen dan konsumen yang tidak secara langsung terikat pada perjanjian, karena adanya pihak di antara pihak konsumen dengan produsen.
48
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 34-36.
38
Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak produsen dengan konsumen ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti rugi kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang melahirkan perikatan, akan tetapi dikenal ada dua sumber perikatan, yaitu perjanjian dan udang-undang. Sumber perikatan yang berupa undang-undang ini masih dapat dibagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan manusia, yaitu yang sesuai hukum dan melanggar hukum Dalam rangka untuk memperkuat pemberdayaan konsumen, UUPK telah mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap produksi (product liability) barang atau jasa yang dikonsumsi oleh konsumen dan pengguna jasa. Tanggung jawab tersebut perlu diperhatikan karena mempersoalkan kepentingan konsumen harus disertai pula analisis mengenai siapa yang semestinya dibebani tanggung jawab dan sampai batas mana pertangungjawaban itu dibebankan padanya. Seperti diketahui berlaku prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggungjawab yang diperbuatnya. Setiap orang yang mengalami kerugian, berhak mengajukan tuntutan kompensasi dan ganti rugi pada pihak yang mengakibatkan terjadinya kerugian itu. Selanjutnya dalam upaya mempergunakan haknya dalam mengajukan tuntutan atas kerugian yang dideritanya, konsumen dapat menempuh jalur hukum. Proses penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab X Pasal 45 sampai Pasal 48 UUPK 1999. Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UUPK 1999
39
penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan dua cara yaitu diselesaikan di luar Pengadilan (non litigasi) atau diselesaikan melalui jalur Pengadilan (litigasi). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1. Penyelesaian secara damai, yang meliputi penyelesaian antara para pihak, penyelesaian melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), penyelesaian melalui Direktorat Perlindungan Konsumen. 2. Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang meliputi Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase.49 Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan (litigasi) dimungkinkan dengan 3 (tiga) instrumen hukum yaitu melalui hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana. Penyelesaian sengketa melalui sanksi administrasi dilakukan apabila terdapat “ketidakberesan” pada kinerja 2 (dua) badan yang didirikan oleh pemerintah yang bertugas untuk melindungi konsumen yaitu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Apabila terdapat penyalahgunaan tugas dan wewenang dari kedua badan tersebut, maka konsumen yang merasa telah dirugikan dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Penyelesaian sengketa konsumen terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui gugatan perdata dapat diajukan kepada peradilan umum
49
Ahmadi Miru, op.cit, h. 157.
40
yang menangani perkara pidana dan perdata yang meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. 2.2. Konsep dan Pengaturan Biro Perjalanan Wisata 2.2.1. Konsep Biro Perjalanan Wisata Industri Pariwisata merupakan suatu industri yang memiliki pengaturan yang cukup kompleks, karena mencakup pengaturan perjalanan wisatawan dari tempat asalnya menuju tempat wisata yang diinginkannya, hingga kembali lagi ke tempat asalnya. Dalam proses tersebut, terdapat berbagai bidang jasa pariwisata yang terlibat, seperti misalnya penginapan, restoran, transportasi, bahkan pemandu wisata, apabila diperlukan. Biro Perjalanan Wisata sebagai salah satu bentuk usaha perjalanan wisata di Indonesia, merupakan penghubung antara wisatawan dengan penyedia jasa pariwisata lainnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, dijelaskan secara khusus tentang
pengertian
Usaha
Pariwisata
yaitu
Kegiatan
yang
bertujuan
menyelenggarakan jasa pariwisata, menyediakan atau mengusahakan objek dan daya tarik pariwisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lain yang terkait dengan bidang-bidang tersebut, yang terdiri dari Biro Perjalanan Wisata dan Agen Perjalanan Wisata. Namun dalam peraturan ini tidak dijelaskan mengenai definisi dari masing-masing usaha perjalanan jasa tersebut. Menurut Dennis L. Foster, dalam bukunya yang berjudul First Class an Introduction to Travel & Tourism menyatakan bahwa, Biro Perjalanan Wisata adalah sebuah perusahaan perjalanan yang menjual sebuah rancangan perjalanan dan menjual produk-produk wisata lain yang berhubungan dengan perjalanan
41
tersebut secara langsung kepada masyarakat.50 Perusahaan tersebut membuat dan mendesain berbagai macam produk wisata dari berbagai jasa pariwisata yang ada, menjadi sebuah paket perjalanan wisata yang menarik untuk wisatawan. Produk wisata yang terdapat dalam paket tersebut umumnya berupa jasa akomodasi dan transportasi.51 Suatu perusahaan dapat disebut sebagai Biro Perjalan Wisata apabila kegiatan utama perusahaan tersebut ditekankan pada perencanaan dan penyelenggaraan perjalanan wisata atau paket wisata atas inisiatif sendiri dan tanggung jawab sendiri dengan tujuan mengambil keuntungan dari penyelenggaraan perjalanan tersebut.52 Namun menurut Oka A. Yoeti, suatu Biro Perjalanan wisata atau Tour Operator, tidak selalu suatu perusahaan perjalanan, perusahaan tersebut dapat pula berupa suatu maskapai penerbangan (airlines) yang bertujuan untuk menjual tempat duduk (seats) pesawatnya. Atau dapat pula berupa suatu hotel yang terletak dalam suatu “tourist resort”, yang bertujuan untuk menjual kamarnya.53 Sementara itu, Trevor C. Atherton dan Trudie A. Atherton, menyatakan bahwa Biro Perjalanan Wisata memiliki peran yang penting dalam suatu kegiatan pariwisata, menurut mereka “This is the party, regardless of name, who organizes the package, that is selects and arranges the components. The tour operator may
50
Muljadi, op.cit, h. 125.
51
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, op.cit, h. 64.
52
I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda, loc.cit.
53
Oka A. Yoeti, op.cit, h. 30.
42
also be a travel agent.”54 Sedangkan Armin D. Lehmann dalam bukunya yang berjudul travel and tourism menjelaskan bahwa “Tour Operator is a company that creates (packages) or markets inclusive tours, selling them through Travel agent or directly to the public that may perform tour services or sub-contract for such services.”55 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat terlihat bahwa kegiatan usaha yang diutamakan oleh Biro Perjalanan Wisata adalah perencanaan perjalanan wisata (tours) yang dikombinasikan dengan penawaran-penawaran jasa usaha pariwisata lainnya, dan dikemas dalam suatu paket wisata yang dijual langsung kepada wisatawan ataupun disalurkan melalui travel agent, dan apabila paket wisata tersebut sudah laku terjual, maka Biro Perjalanan Wisata wajib untuk melaksanakan tour tersebut kepada wisatawan, sesuai dengan tour itinerary yang telah disepakati. Dalam kaitannya dengan pariwisata berkelanjutan, dalam buku yang berjudul Joining Forces Collaborative Processess for Sustainable and Competitive Tourism, dikatakan bahwa “Tourism is a major force in the global economy which is founded on uniquely special relationships between the environment (global and local) and the many millions of people who participate in the sector as consumers and suppliers”.56 Sehingga dalam hal ini, biro perjalanan wisata
54
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 215.
55
Oka A. Yoeti, loc.cit.
56
World Tourism Organization, 2010, Joining Forces Collaborative Processess for Sustainable and Competitive Tourism, World Tourism Organization, Madrid, h. 1. (selanjutnya disebut World Tourism Organization I)
43
memiliki peran dalam pariwisata berkelanjutan, dengan cara memberikan pelayanan terbaik kepada setiap wisatawan yang menggunakan jasanya dan berpartisipasi aktif untuk menjaga daerah tujuan wisata yang dikunjunginya. Sebuah Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan aktifitasnya haruslah memiliki ijin usaha yang disebut Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP). Berdasarkan pasal angka 8 Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.85/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Perjalanan Wisata menyebutkan bahwa, Tanda Daftar Usaha Pariwisata adalah dokumentasi resmi yang membuktikan bahwa usaha pariwisata yang dilakukan oleh pengusaha telah tercantum di dalam Daftar Usaha Pariwisata. Selanjutnya dalam peraturan ini dijelaskan beberapa syarat untuk pengajuan TDUP tersebut, yaitu : a. Pendaftaran usaha pariwisata ditujukan kepada Bupati atau Walikota tempat kedudukan kantor dan/atau gerai penjualan. (Pasal 3 ayat 1) b. Biro Perjalanan Wisata berbentuk badan usaha Indonesia berbadan hukum (Pasal 6 ayat 2) c. Permohonan pendaftaran usaha pariwisata ditujukan secara tertulis oleh pengusaha, dengan menyertakan dokumen : (Pasal 9 ayat 1 dan 2) 1. Fotokopi akta pendirian badan usaha yang mencantumkan usaha jasa perjalanan wisata sebagai maksud dan tujuannya, beserta perubahannya, apabila ada. 2. Fotokopi izin teknis dan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
44
3. Surat Pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa data dan dokumen yang diserahkan tersebut adalah benar, absah dan sesuai dengan fakta. Untuk dapat memperluas jaringan yang dimilikinya, Biro Perjalanan Wisata dapat mendirikan kantor cabang di ibukota provinsi dan dapat membuka gerai jual yang belum memiliki kantor cabang. Cabang Biro Perjalanan Wisata memiliki kegiatan yang sama dengan Biro Perjalanan Wisata Pusat, sedangkan kegiatan gerai jual hanya dapat melakukan penjualan terhadap paket wisata yang dibuat oleh Biro Perjalanan Wisata serta menyediakan jasa pelayanan, pemesanan akomodasi, tempat makan, tempat konvensi, dan tiket pertunjukan seni budaya, ataupun
kunjungan
ke
lokasi
daya
tarik
wisata
lainnya. 57
Dalam
menyelenggarakan sebuah paket perjalanan wisata, Biro Perjalanan Wisata harus berkoordinasi dengan beberapa pihak agar program yang dibuat dapat berjalan dengan lancar. Pihak – pihak tersebut adalah sebagai berikut : 1. Airlines/maskapai penerbangan Airlines/maskapai penerbangan adalah penyedia jasa transportasi udara, dimana jasa mereka akan sangat dibutuhkan jika program yang ditangani oleh sebuah Biro Perjalanan Wisata jaraknya sangat jauh dan akan menghabiskan banyak waktu jika ditempuh dengan transportasi darat maupun laut. 2. Penginapan/Hotel Usaha perjalanan membuatuhkan sarana penginapan bagi peserta wisata yang dibuat dan diselenggarakannya. Selain itu, suatu usaha jasa perjalanan juga dapat memberikan jasa untuk pelayanan jasa pemesanan kamar hotel oleh konsumen 57
Muljadi, op.cit, h. 126.
45
dan akan mendapat komisi sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat dengan manajemen
penginapan/hotel.
Dalam
SK
Menteri
Parpostel
No.
KM37/PW.304/MPPT-86, disebutkan bahwa Hotel adalah suatu jenis akomodasi yang menggunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa penginapan, makanan dan minuman serta jasa lainnya bagi umum dan dikelola secara komersial.58 3. Penyedia Jasa transportasi darat Penyedia jasa transportasi darat adalah perusahaan maupun perseorangan yang menyediakan fasilitas kendaraan darat yang dapat disewa dalam beberapa waktu. Beberapa contoh dari transportasi darat adalah : -
Sepeda motor maupun sepeda tidak bermotor
-
Angkutan umum (Becak, Andong, Bajaj, Taksi, Bus trayek, dll)
-
Mobil & bus rental.
4. Rumah makan/Restaurant Rumah makan/Restaurant adalah penyedia jasa makan dan minum (meals) dan akan sangat dibutuhkan karena pada hakikatnya setiap peserta dalam perjalanan wisata harus terjamin kebutuhan makan dan minumnya. 5. Guide/Pemandu Wisata Peranan guide sangat penting dalam sebuah perjalanan wisata karena memiliki tugas untuk menjelaskan setiap hal yang berkaitan dengan perjalanan wisata itu sendiri baik selama di perjalanan maupun setelah tiba di obyek wisata. Beberapa jenis guide menurut spesialisasi dan lisensi yang dimiliki : 58
Muljadi, op.cit, h. 147-148.
46
1. Guide berbahasa asing, 2. Guide berbahasa Indonesia, 3. Lokal guide (guide yang hanya memiliki lisensi pada sebuah obyek wisata saja) 6. Dinas/Perusahan yang terkait dengan dokumen perjalanan Adalah dinas/perusahaan yang memiliki fungsi untuk mengeluarkan dokumen perjalanan yang dibutuhkan dalam sebuah perjalanan wisata, seperti : -
Tiket obyek wisata
-
Paspor
-
Fiskal
-
Visa, dan lain-lain
7. Tour leader Tour leader adalah pemimpin rombongan yang bertugas untuk mengatur setiap jadwal yang tercantum dalam itinerary agar perjalanan wisata berjalan lancar tanpa hambatan. 8. Porter Porter bertugas untuk memindahkan luggage (barang) milik peserta dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya porter dapat dijumpai di Airport, Pelabuhan, Stasiun, Obyek wista maupun di Terminal bus. 9. Art shop Art shop adalah penyedia barang oleh – oleh atau cinderamata yang biasanya harus ada dalam sebuah paket perjalanan wisata. Hal tersebut dimaksudkan agar
47
setiap peserta memiliki kenang–kenangan yang dapat dibawa pulang kembali ke tempat asal masing–masing setelah program perjalanan berakhir. Seiring dengan perkembangannya yang semakin pesat, usaha perjalanan saat ini telah memiliki asosiasi yang bersifat nasional maupun internasional. Dalam lingkup nasional, asosiasi itu bernama Association of the Indonesian Tour & Travel Agency (ASITA). ASITA adalah Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia yang didirikan di Jakarta, pada 7 Januari 1971 dan Kantor Pusatnya berkedudukan di Jakarta. ASITA memiliki 31 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang tersebar di seluruh Indonesia, yang salah satunya terdapat di Bali. DPD ASITA Bali didirikan pada tahun 1974, dan merupakan salah satu anggota Stakeholder Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bali Tourism Board. Anggota ASITA Bali terdiri dari 359 Biro Perjalanan Wisata (BPW) serta 13 Associate Member (sekolah dan cruise) yang tersebar di seluruh Bali. Untuk memudahkan pengawasan pasar utamanya terkait dalam hal promosi, ASITA Bali telah terbentuk divisi-divisi yang berkonsentrasi di pangsa pasarnya masing-masing, antara lain:59 a. Bali Rasa Sayang
: Pangsa Pasar Jepang
b. Bali Liang
: Pangsa Pasar Mandarin
c. Privet Bali
: Pangsa Pasar Rusia
d. Cinta Bali
: Pangsa Pasar Domestik
e. Bali Hai
: Pangsa Pasar Amerika dan India
59
ASITA Bali, 2014, About Us, http://www.asitabali.org/aboutus.htm, diakses tanggal 23 Februari 2015.
48
Sedangkan dalam lingkup internasional, terdapat 2 asosiasi yang menaungi usaha perjalanan, yaitu Pasific Area Travel Association (PATA) dan World Association of Travel Agencies (WATA). PATA adalah organisasi pariwisata yang tidak mencari keuntungan (non-profit) di kawasan Asia Pasifik. Asosiasi ini dibentuk pada tahun 1951 dan berkantor pusat di San Fransisco, Amerika Serikat. Sedangkan, WATA adalah himpunan travel agent internasional.60 Selain PATA dan WATA, terdapat juga asosiasi internasional yang berkaitan dengan usaha perjalanan wisata, yaitu International Air Transport Association (IATA). Tujuan utama menjadi anggota IATA, yaitu :61 a. Menjamin penerbangan yang aman bagi penumpang di seluruh dunia; b. Sarana untuk menyatukan dari banyak perusahaan penerbangan dalam memberikan pelayanan yang baik; c. Melakukan kerjasama dengan International Civil Aviation Organization (ICAO). Sebagai anggota IATA, suatu usaha perjalanan wisata wajib untuk memiliki pengaturan dan kemampuan terkait aturan-aturan yang menyangkut, antara lain :62 a. Semua data dokumen penerbangan termasuk tiket; b. Segala jenis rute perjalanan; c. Menghitung biaya perjalanan, baik tarif normal maupun tarif khusus;
60
Ketut Sumadi, 2008, Kepariwisataan Indonesia : Sebuah Pengantar, Sari Kahyangan Indonesia, Denpasar, h. 34. 61
Muljadi A.J., op.cit, h. 128.
62
Muljadi A.J., op.cit, h. 129.
49
d. Melakukan re-route, re-issue, mengubah validitas endorsement tiket sesuai aturan yang berlaku; e. Melakukan setoran pembayaran sesuai jadwal yang ditentukan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Biro Perjalanan Wisata adalah suatu perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa pariwisata, dan memiliki kegiatan usaha utama berupa perencanaan dan penyelenggaraan paket wisata yang dibutuhkan oleh wisatawan.
2.2.2. Pengaturan Biro Perjalanan Wisata Di Indonesia, Usaha Jasa Biro Perjalanan Wisata pertama kali diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jendral Pariwisata No.Kep.16/U/II/88 Tgl 25 Februari 1988 tentang pelaksanaan Ketentuan Usaha jasa Perjalanan, dan disebut dengan Biro Perjalanan Umum.
Dalam Pasal 1 huruf b, disebutkan bahwa Biro
Perjalanan Umum adalah badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha perjalanan
ke dalam negeri dan atau di dalam negeri dan atau ke luar negeri. 63
Selanjutnya dalam Pasal 4 Bab II dijelaskan bahwa Biro Perjalanan Umum ini memiliki ruang lingkup kegiatan usaha yang terdiri dari : 1. Membuat, menjual dan menyelenggarakan paket wisata; 2. Mengurus dan melayani kebutuhan jasa angkutan bagi perorangan dan atau kelompok orang yang diurusnya; 3. Melayani pemesanan akomodasi, restoran, dan sarana wisata lainnya. 4. Mengurus dokumen perjalanan; 63
Oka A. Yoeti, op.cit, h. 28.
50
5. Menyelenggarakan panduan perjalanan wisata; 6. Melayani penyelenggaraan konvensi. Selanjutnya, Usaha Biro Perjalanan Wisata juga diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti : 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan; 3. Keputusan
Menteri
Pariwisata,
Pos
dan
Telekomunikasi
Nomor
KM.105/PW.304/MPPT-91 tentang Usaha Jasa Pariwisata; 4. Keputusan
Menteri
Pariwisata,
Pos
dan
Telekomunikasi
Nomor
KM.10/HK/PM.102/MPPT-93 tentang Ketentuan Usaha Jasa Biro Perjalanan Wisata dan Agen Wisata; 5. Keputusan Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya Nomor KEP.339/MPSB/1998 tentang Biro Perjalanan Wisata Penyelenggara Perjalanan Wisatawan Lanjut Usia Mancanegara. Seiring dengan perubahan jaman, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990, dianggap sudah tidak sesuai untuk diterapkan, sehingga dibentuklah UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Namun dalam UndangUndang ini, hanya mengatur secara umum tentang usaha jasa perjalanan wisata. Pengaturan secara khusus tentang usaha perjalanan wisata dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.85/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa, Biro Perjalanan Wisata adalah usaha penyediaan jasa
51
perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Sementara dalam Pasal 6, peraturan ini dijelaskan bahwa pengusaha jenis usaha Biro Perjalanan wisata berbentuk badan usaha Indonesia berbadan hukum, yang dalam hal ini berarti Perseroan terbatas atau Koperasi. Persyaratan utama untuk menjalankan usaha Biro Perjalanan Wisata ini adalah tersedianya tenaga professional dalam jumlah dan kualitas yang memadai serta dimilikinya kantor tetap yang memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 5, dijelaskan bahwa Pengusaha Pariwisata adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pariwisata di bidang usaha jasa perjalanan wisata. Ketentuan tentang badan usaha Indonesia tersebut memberikan makna bahwa peraturan ini hanya memperbolehkan pelaku usaha yang berbadan usaha Indonesia saja yang boleh mengadakan usaha jasa perjalanan wisata. Disamping itu, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang biro perjalanan wisata belum sepenuhnya dapat mengakomodir dan mengantisipasi perkembangan usaha biro perjalanan wisata yang semakin berkembang. Terutama masalah pengaturan standarisasi mutu pelayanan secara umum, masalah standarisasi harga, masalah perlindungan konsumen, perizinan dan juga masalah tenaga kerja.64
64
I Putu Gelgel, op.cit, h. 83.
52
2.3. Konsep dan Pengaturan Hak-Hak Wisatawan Atas Perlindungan Hukum 2.3.1. Konsep Wisatawan Pengertian tentang wisatawan pertama kali dibahas di Forum Internasional oleh Komisi Ekonomi Liga Bangsa-Bangsa (Economic Commission of the League of Nations) pada tahun 1937. Dalam forum tersebut dinyatakan bahwa, “tourist is any person travelling for a period of 24 hours or more in a country other than that in wich be usually resides”65. Dalam pengertian tersebut terlihat bahwa kriteria batasan seorang dapat dikatakan sebagai wisatawan terletak pada lama waktu tinggal dan tujuan kunjungannya ke suatu tempat. Sedangkan menurut G.A. Schmol, wisatawan adalah individu atau kelompok yang mempertimbangkan dan merencanakan tenaga beli yang dimilikinya untuk melakukan suatu perjalanan, yang tertarik pada perjalanan pada umumnya berdasarkan motivasi perjalanan yang telah dilakukan, untuk menambah pengetahuan, tertarik pada pelayanan yang diberikan oleh suatu daerah tujuan wisata, yang nantinya dapat menarik pengunjung di masa yang akan datang.66 Selanjutnya dalam United Nations Conference on Travel and Tourism disebutkan bahwa wisatawan adalah setiap orang yang mengunjungi Negara bukan merupakan tempat tinggalnya, untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk mencari pekerjaan atau penghidupan dari Negara yang dikunjungi.67 Menurut John Kester, “A tourist is a person temporarily involved in a trip lasting at least 65
Muljadi, op.cit, h. 9.
66
Ketut Sumadi, op.cit, h. 51.
67
I Gede Pitana dan Putu G. Gayatri, 2005, Sosiologi Pariwisata, Andi Offset, Yogyakarta, h.
43.
53
one night, but less than a year, in a destination outside their usual environment.”68 Sementara dalam World Tourism Organization (WTO), disebutkan bahwa wisatawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan ke suatu atau beberapa negara di luar tempat tinggal biasanya (home base), untuk periode kurang dari 12 (dua belas) bulan dan memiliki tujuan untuk melakukan berbagai aktivitas atau kegiatan usaha.69 Meskipun terdapat berbagai macam batasan dalam mengartikan wisatawan, ada beberapa komponen pokok yang secara umum disepakati secara internasional, yaitu :70 1. Traveler, yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih lokalitas. 2. Visitor, adalah orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan tujuan perjalanannya bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapatan, atau penghidupan di tempat tujuan. 3. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi. Sementara itu, dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, disebutkan secara sederhana bahwa Wisatawan adalah
68
World Tourism Organization, 2011, Policy and Practice For Global Tourism, World Tourism Organization, Madrid, h. 33. (selanjutnya disebut World Tourism Organization II) 69
Bambang Sunaryo, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata : Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta, h. 3 70
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, op.cit, h. 45-46.
54
orang yang melakukan wisata. Departemen Pariwisata menggunakan definisi wisatawan sebagai setiap orang yang melakukan perjalanan dan menetap untuk sementara di tempat lain selain tempat tinggalnya, untuk salah satu atau beberapa alasan selalu mencari pekerjaan. Berdasarkan pengertian tersebut wisatawan dibagi menjadi dua yaitu:71 1.
Wisatawan Domestik (dalam negeri) Wisatawan yang melakukan wisata dan rekreasi ke suatu wilayah lain di
negaranya, dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga tujuan utamanya adalah memenuhi rasa penasaran terhadap tempat yang diyakini menyenangkan ataupun menakjubkan. 2.
Wisatawan Mancanegara Pengertian wisatawan mancanegara didefinisikan sebagai orang yang
melakukan perjalanan diluar negara tempat tinggal biasanya selama kurang dari 12 bulan dari negara yang dikunjunginya, dengan tujuan bukan untuk memperoleh penghasilan. Tujuan utamanya adalah menikmati suasana tempat yang baru dikunjunginya dan mengamati sejarah suatu obyek wisata dengan seksama. Sebuah faktor penting yang harus dipahami sebelum sebuah destinasi pariwisata dikembangkan, adalah motivasi yang menjadi latar belakang seseorang untuk berwisata. R.W. Mc Intosh menjelaskan bahwa motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan perjalanan adalah sebagai berikut:72 71
Anonim, Wisatawan Domestik, http://www.anneahira.com/wisatawan-domestik.htm, diakses tanggal 22 Januari 2015. 72
Basuki Antariksa, 2012, Peluang Dan Tantangan Pengembangan Kepariwisataan Di Indonesia, http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=101&id=1152, diakses tanggal 26 Januari 2015.
55
1.
Pleasure (bersenang-senang), seseorang melakukan kegiatan wisata dengan tujuan untuk “melarikan diri” sementara dari rutinitas yang selama ini dilakukannya.;
2.
Relaxation, rest and recreation (beristirahat untuk menghilangkan stress), dengan tujuan untuk menjaga kesehatan tubuh dan pikiran. Hal tersebut antara lain dilakukan dengan mengunjungi lingkungan yang berbeda dengan yang dilihatnya sehari-hari, di mana lingkungan tersebut memberikan kesan damai dan menyehatkan, seperti misalnya suasana pedesaan, gunung, ataupun pantai.;
3.
Health (kesehatan), yaitu berkunjung ke tempat-tempat yang dapat membantu menjaga kesehatan atau menyembuhkan penyakit;
4.
Participation in sports (olah raga yang bersifat rekreasi), mengikuti suatu kegiatan olah raga, merupakan salah satu hal yang melatar belakangi adanya suatu kegiatan wisata;
5.
Curiousity and culture (rasa ingin tahu dan motivasi yang berkaitan dengan kebudayaan), yang saat ini semakin meningkat kualitasnya karena perkembangan teknologi informasi dan peningkatan kualitas pendidikan. Motivasi yang menjadi latar belakang seseorang melakukan kunjungan dalam hal ini adalah keinginan untuk melihat destinasi pariwisata yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi or yang menyelenggarakan aktivitas budaya yang sangat penting, seperti festival musik, festival seni, teater dan sebagainya;
56
6.
Ethnic and family (kesamaan etnik dan kunjungan kepada keluarga). Khusus berkaitan
dengan
kesamaan
etnik,
orang
dapat
termotivasi
untuk
mengunjungi suatu tempat karena dianggap sebagai tempat tinggal/kelahiran nenek moyangnya. 7.
Spiritual and Religious (alasan yang bersifat spiritual dan keagamaan), hal lain yang dewasa ini sering dilakukan oleh wisatawan adalah mengunjungi tempat-tempat yang memiliki kesan spiritual dan keagamaan untuk menenangkan pikiran. Hal ini biasanya dilakukan oleh wisatawan yang tingkat kepenatannya sudah sangat tinggi, sehingga wisatawan tersebut memutuskan untuk mencari tempat yang tenang dan spiritual, untuk dapat leebih mendekatkan diri dengan Tuhan;
8.
Status and prestige (menunjukkan status sosial dan gengsi), dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang memiliki status sosial dan gengsi yang tinggi karena mampu berwisata ke suatu destinasi pariwisata tertentu; dan,
9.
Professional or business (melakukan aktivitas yang berkaitan dengan profesi/pekerjaan), misalnya aktivitas menghadiri suatu sidang atau konferensi. Sebelum melakukan suatu perjalanan wisata, seorang wisatawan lebih dahulu
melakukan suatu pertimbangan untuk menentukan tujuan, waktu, dan cara yang akan digunakan untuk mencapai tempat wisata tersebut, yang akhirnya membuat wisatawan mengambil suatu keputusan untuk berwisata. Menurut Mathieson dan
57
Wall, proses pengambilan keputusan tersebut didasarkan pada lima fase yang telah dilalui, yaitu :73 1. Kebutuhan atau keinginan untuk melakukan perjalanan. Tujuan dari perjalanan dirasakan oleh wisatawan, yang selanjutnya akan dipertimbangkan apakah perjalanan tersebut perlu dilakukan atau tidak. 2. Pencarian dan penilaian informasi. Dalam hal ini, wisatawan akan melakukan pencarian terkait detail informasi tempat wisata yang akan dituju, melalui biro ataupun agen perjalanan wisata, brosur-brosur di media cetak, atau berdiskusi dengan orang-orang yang telah melakukan perjalanan terlebih dahulu. 3. Keputusan melakukan perjalanan wisata. Hal ini meliputi: daerah tujuan wisata, jenis akomodasi, cara bepergian, dan aktivitas yang akan dilakukan. 4. Persiapan perjalanan dan pengalaman wisata. Wisatawan melakukan booking, yang dilengkapi dengan segala persiapan pribadi, yang akhirnya perjalanan wisata dilakukan. 5. Evaluasi kepuasan perjalanan wisata. Secara sadar ataupun tidak, setelah melakukan perjalanan wisata, wisatawan akan melakukan evaluasi pribadi terhadap perjalanan wisata yang telah dilakukan. Dimana hasil evaluasi tersebut akan mempengaruhi keputusan dalam perjalanan wisata selanjutnya.
73
Sarbini Mbah Ben, 2010, Paradigma Baru Pariwisata : Sebuah Kajian Filsafat, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, h. 76.
58
2.3.2. Pengaturan Hak-Hak Wisatawan Atas Perlindungan Hukum Wisata adalah hak yang dimiliki setiap orang untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat yang diinginkannya dengan tujuan untuk mengistirahatkan fisik dan pikirannya setelah merasa lelah menjalani rutinitasnya sehari-hari. Pada hakekatnya, pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh wisatawan secara bebas, sukarela dan memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehidupan dan eksistensi manusia itu sendiri.74 Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 13 ayat 1 dan Pasal 24 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang pada dasarnya menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas dalam bergerak, beristirahat, dan berlibur. Pengaturan ini pun selanjutnya diatur lebih rinci dalam ketentuan-ketentuan pasal 8 dan 12 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, serta dalam pasal 6, 7, dan 8 International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966. Wisatawan adalah faktor utama penentu maju atau mundurnya suatu industri pariwisata. Untuk dapat memajukan industri pariwisata, diperlukan berbagai macam usaha untuk dapat menarik minat wisatawan berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata. Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan untuk dapat menarik minat wisatawan adalah dengan memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang dimilikinya, sehingga wisatawan tersebut rasa nyaman dan aman. Menurut Made Metu Dahana, dalam melakukan perjalanan wisata terdapat tiga jenis gangguan yang mungkin dihadapi oleh wisatawan, yaitu : 75 74
Muljadi A.J., op.cit, h. 21.
75
Made Metu Dahana, op.cit, h. 15.
59
1.
Gangguan Langsung terhadap Wisatawan Gangguan ini merupakan gangguan langsung yang ditujukan kepada wisatawan itu sendiri. Gangguan ini dapat terjadi di tempat kedatangan, perjalanan, penginapan, tempat makan, atau di tempat-tempat hiburan. Contoh gangguan tersebut, yaitu pencurian, pencopetan, penganiayaan, pembunuhan, dan pemerasan.
2. Gangguan Tidak Langsung Gangguan ini adalah gangguan yang tidak langsung ditujukan kepada wisatawan, namun mampu mendatangkan rasa tidak aman dan nyaman kepada wisatawan. Misalnya saja terjadi perkelahian masal, demonstrasi yang anarkis, kerusuhan, ataupun SARA. 3. Gangguan Kecelakaan Gangguan ini dapat terjadi karena adanya kelalaian dari wsiatawan itu sendiri, ataupun kelalaian dari petugas pelayanan wisatawan. Misalnya saja terjadinya kecelakaan saat mendaki gunung ataupun panjat tebing, yang dikarenakan wisatawan tidak mematuhi peraturan-peraturan yang telah diberikan oleh pemandu wisata, ataupun terjadinya kecelakaan bus pariwisata yang disebabkan oleh supir bus yang tidak disiplin atau tidak memenuhi standar yang ada. 4. Gangguan Teroris Gangguan yang dilakukan oleh teroris dapat terjadi dimana-mana. Kegiatan teroris merupakan kegiatan atau usaha yang menimbulkan rasa takut kepada masyarakat luas dan dilakukan secara konsepsional melalui perencanaan yang
60
matang, kriminal, dan politik. Kegiatan teroris ini tidak hanya merugikan perorangan atau kelompok, namun juga pemerintah atau Negara dan para wisatawan. Secara internasional, hak-hak wisatawan secara implisit terlihat dalam Pasal IV Tourism Bill of Right and Tourist Code, yang menyatakan bahwa wisatawan memiliki hak untuk mendapat jaminan keselamatan atas diri dan harta yang dimilikinya, serta mendapat jaminan kesehatan lingkungan yang bersih, sehingga terbebas dari ancaman penyakit-penyakit menular. Sementara itu, dalam Pasal 8 Global Code, disebutkan bahwa hak-hak wisatawan, yaitu : 1. Wisatawan berhak memiliki kebebasan untuk berkunjung dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa dibatasi oleh formalitas dan perlakuan diskriminasi; 2. Wisatawan berhak memiliki akses kepada semua bentuk komunikasi, jasa administratif, hukum dan kesehatan, serta berhak menghubungi wakil konsuler negaranya sesuai dengan ketentuan hokum internasional di bidang diplomatik yang berlaku; 3. Wisatawan memiliki hak mengenai kerahasiaan data dan informasi pribadi lainnya; 4. Prosedur administrasi mengenai lintas batas seperti, formalitas pengurusan visa, kesehatan, dan kepabeanan sepatutnya tidak menjadi penghambat kebebasan wisatawan untuk mengunjungi suatu wilayah Negara lain untuk kunjungan wisata; 5. Wisatawan memperoleh kebebasan untuk menukar mata uang yang dibutuhkan untuk perjalanan.
61
Seorang wisatawan mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh penyelenggara jasa pariwisata. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dijelaskan bahwa, Setiap wisatawan berhak memperoleh : (a) informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata; (b) pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar; (c) perlindungan hukum dan keamanan; (d) pelayanan kesehatan; (e) perlindungan hak pribadi; dan (f) perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi.
Selanjutnya dalam Pasal 21 dijelaskan bahwa, wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya. Selain
dalam
Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan, apabila dikaitkan dengan UUPK, maka sesuai dengan pengertian yang ada dalam undang-undang tersebut seorang wisatawan dapat disebut sebagai konsumen, yang dalam hal ini adalah konsumen jasa di bidang pariwisata. Sebagai konsumen, maka wisatawan mempunyai hak-hak yang diatur dalam pasal 4 UUPK, sebagai berikut : a.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
62
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebelum diatur dalam peraturan perundang undangan yang lain, UUPK dapat digunakan untuk melindungi dan mengatur hak dan kewajiban seorang wisatawan atau konsumen jasa pariwisata. Pengertian ini tidak hanya terbatas wisatawan asing maupun domestik, tetapi juga berlaku bagi pelaku usaha yang melakukan usaha dalam wilayah hukum Indonesia. Selain hak sebagai konsumen, wisatawan juga dikenakan kewajiban seperti apa yang diatur dalam pasal 5 UUPK. Kewajiban lain yang harus diperhatikan adalah, wisatawan wajib memperhatikan dalm memelihara dalam segala hal yang berhubungan dengan lingkungan sekitar obyek pariwisata. Hal ini penting untuk diketahui dan benar-benar dilaksanakan
63
oleh wisatawan, agar terhindar dari kerugian akibat tidak mengetahui hak dan kewajibannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengaturan tentang hak-hak wisatawan tidak hanya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, namun juga dapat digunakan acuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena dalam hal ini, wisatawan juga bertindak sebagai konsumen pengguna jasa pariwisata.