21
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, PENGELOLA, WISATAWAN, DAN OBYEK WISATA 2.1 Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan definisi yang cukup luas mengenai Perlindungan konsumen. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hakhaknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.1 Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen yang diperkuat melalui undang-undang khusus member harapan agar pelaku usaha tidak lagi berlaku sewenang-wenang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan
1
Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, ed. I, cet. I, Kencana, Jakarta, h.4.
22
mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.2 Menurut A. Zen Umar Purba terdapat kerangka umum ten tang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, yaitu :3 a.
kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha;
b.
konsumen mempunyai hak;
c.
pelaku usaha mempunyai kewajiban;
d.
pengaturan
tentang
perlindungan
konsumen
berkontribusi
pada
pembangunan nasional; e.
perlindungan konsumen dalam iklan bisnis dehat;
f.
keterbukaan dalam promosi barang dan jasa;
g.
pemerintah perlu berperan aktif;
h.
masyarakat juga perlu berperan serta;
i.
perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang;
j.
konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap. Pemerintah berkewajiban, berlandaskan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, melakukan upaya pendidikan serta pembinaan kepada konsumen, terutama mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran sebagian besar masyarakat akan hak-haknya sebagai konsumen. Melalui instrumen yang sama diharapkan tumbuhnya kesadaran pelaku usaha 2 3
Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, cet. I, Visimedia, Jakarta, h.4. Ibid, h.5.
23
dalam menjalankan prinsip-prinsip ekonomi tetap menjunjung hal-hal yang patut menjadi hak konsumen.4 Piranti Hukum Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk melindungi konsumen dan tidak untuk mematikan usaha para pelaku bisnis. Perlindungan konsumen justru membangun iklim usaha yang sehat, yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dan berdaya saing. Lebih dari itu, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pelaksanaannya memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah, yang masih menjadi rona perekonomian nasional.5 2.1.2 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan kosnumen memberikan penjelasan yang lebih terhadap konsumen mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam melakukan hubungan hukum dengan pelaku usaha. Hubungan hukum yang tercipta antara konsumen dan pelaku uasaha merupakan hubungan hukum yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku
4
Badan Perlindungan Konsumen Nasional, 2005, Perlindungan Konsumen Indonesia, cet. II, Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Jakarta, h.4. 5 Ibid.
24
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.6 Hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.7 Sedangkan dalam hukum perlindungan konsumen sendiri adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.8 Setelah mengetahui definisi hukum konsumen dan hukum perlindungan kosnumen, maka dapat diketahui definisi hukum konsumen lebih luas dibandingkan dengan hukum perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bagian dari hukum konsumen yang melindungi hak-hak konsumen.9 Dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum konsumen maka dalam menerapkannya dalam kehdupan sehari-hari harus sejalan dengan hukum perlindungan kosnumen yang telah ada. Oleh karena itu di dalam 6
Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Konsumen: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen Indonesia, cet. I, Pustaka Sinar, Jakarta, h.65. 7 Az. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet. II, Diadit Media, Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution II), h. 22. 8 Ibid. 9 Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasarna Indonesia/ Grasindo, Jakarta, h.11.
25
. Pasal ini menjelaskan hubungan hukum yang harmonis antara hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen. Peraturan perundangundangan yang mengatur perlindungan konsumen tetap berlaku selama tidak bertentangan dan belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2.1.3 Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen Dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima (5) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 1. Asas manfaat Asas ini mengandung makna bahwa penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi disbanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh pihak-pihaknya. 2. Asas keadilan Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4-7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen
26
dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang. 3. Asas keseimbangan Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen Diharapkan
penerapan
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
akan
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. Kelima asas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bila diperhatikan substansinya dapat dikelompokkan menjadi tiga (3) asas yaitu asas kemanfaatan yang didalamya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen, asas keadilan yang meliputi asas keseimbangan, asas kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas
27
maksimalisasi dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas maksimalisasi dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.10 Tujuan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi peringatan bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya dalam Pasal 3 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah : 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negative pemakaian barang dan/atau jasa. 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
10
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.26.
28
4. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dan berusaha. 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kosumen. Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen ini merupakan isi dari pembangunan nasional karena tujuan perlindungan konsumen yang ada merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan dibidang perlindungan konsumen. Adapun untuk menjaga pelaksanaan perlindungan konsumen agar tidak menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, maka pelaksanaannya harus didasarkan pada asa atau kaidah hukum perlindungan konsumen. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat asas atau kaidah hukum perlindungan konsumen, agar tidak menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, yang menyebutkan bahwa, perlindungan konsumen keselamatan
11
berasaskan
manfaat,
konsumen,
keadilan, serta
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, h.26.
kesimbangan, kepastian
keamanan
dan
hukum.11
29
2.2 Pengelola 2.2.1 Pengertian Pengelola Pengelola
adalah seseorang atau badan
yang melakukan
proses
pengkoordinasian dan pengintregitasan terhadap semua sumber daya, baik manusia maupun teknikan untuk mencapai berbagai tujuan khusus yang ditetapkan dalam suatu organisasi. Apabila dikaitkan dengan usaha dalam bidang pariwisata, pengelola dapat dikatakan sebagai pengusaha pariwisata. Menurut pasal 1 angka 8 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pengusaha pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata. Dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen, pengelola merupakan pelaku usaha. Menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah: “Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan ddan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan usaha dalam bidang ekonomi”. 2.2.2 Hak dan Kewajiban Pengelola
30
Pengelola/pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi yang tertuang dalam pasal 6 Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, hak pengelola adalah : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukumsengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak pengelola diatas juga disertai dengan berbagai kewajiban yang diemban oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sebagai berikut : a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
31
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Sedangkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada
pasal
22 menyebutkan bahwa
ada 4
hak dari
pengelola/pengusaha pariwisata yaitu : a) Mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan; b) Membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan; c) Mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; d) Mendapatkan fasilitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
32
Kewajiban dari pengelola/pengusaha pariwisata itu sendiri ada di pasal 26 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu : a. Menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilainilai yang hidup dalam masyarakat setempat; a) Memberikan informasi yang akurat dan bertanggungjawab; b) Memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif; c) Memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan; d) Memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi; e) Mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan; f) Mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal; g) Meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan; h) Berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat; i) Turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya; j) Memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri; k) Memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya; l) Menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggungjawab; dan
33
m) Menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2.2.3 Prinsip Tanggung Jawab Pengelola Prinsip mengenai tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen, karena dalam kasus pelanggaran hak konsumen,
diperlukan
kehati-hatian
dalam
menganalisis
pihak
yang
bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada piak yang terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dibedakan menjadi :12 a) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) Prinsip ini menyatakan bahwa seorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsure kesalahan yang dilakukannya. Prinsip ini berlaku dalam hukum pidana dan perdata (khususnya
Pasal
1365-1367
KUHPerata).
Dalam
Pasal
1365
KUHPerdata, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum jika terpenuhinya empat unsur pokok yaitu adanya perbuatan, unsure kesalahan, kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian yang diderita. Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi korban yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. 12
Roma Rita Oktaviyanti, 2012, Analisis Yuridis Perlindungan Konsumen Terhadap Penawaran Voucher Wisata Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Mengenai Perlindungan Konsumen, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, h.30.
34
Mengenai beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163 HIR atau pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUHPerdata, yang mengatur bahwa barang siapa yang mengakui mempunyai suatu hak maka harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. b) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability) Prinsip
ini
menyatakan
bahwa
tergugat
selalu
dianggap
bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Dasar teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang yang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan
dapat
membuktikan
sebaliknya.
Hal
ini
tentunya
bertentangan dengan asas hukum praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dengan hukum. Ketika asas ini diterapkan dalam kasus konsumen maka akan tampak bahwa teori ini sangatlah relevan dimana yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan ada di pihak pelaku usaha yang digugat. c) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab (presumption of nonliability) Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah hukum pengangkutan, dimana kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin yang biasa diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang (konsumen).
35
d. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) Prinsip tanggung jawab mutlak ini sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Namun demikian ada juga ahli yang mengatakan bahwa prinsip tanggung jawab mutlak ini tidak selamanya sama dengan prinsip tanggung jawab absolut. Dalam tanggung jawab mutlak, kesalahan tidak ditetapkan sebagai faktor yang menentukan, terdapat
pengecualian-pengecualian
yang
memungkinkan
untuk
dibebaskan dari tanggung jawab seperti force majeur. Di pihak lain, tanggung jawab absolut merupakan prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian. Prinsip tanggung jawab mutlak ini, digunakan dalam hukum perlindungan konsumen untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab ini dkenal dengan nama product liability. Gugatan product liability ini dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu: melanggar jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha, bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat dapat terjadi dalam konstruksi barang, desain, dan atau pelabelan. Ada unsur kelalaian apabila si pelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukkan
ia
cukup
berhati-hati
dalam
mebuat,
menyimpan,
mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan barang. Menerapkan tanggung jawab mutlak, yaitu prinsip tanggung jawab yang menetapkan
kesalahan
tidak
sebagai
faktor
yang
menentukan.
36
Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebankan dari tanggung jawab mutlak ini dipergunakan untuk “menjerat” pelaku usaha yang memasarkan produk yang merugikan konsumen. Variasi berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability, dimana dalam risk liability ini, kewajiban mengganti rugi dibebankan pada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian. Namun pihak penggugat (konsumen) tetap diberi beban pembuktian walau tidak sebesar si tergugat. Penggugat hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha dengan kerugian yang diderita, dan selebihnya digunakan prinsip strict liability. d) Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika pun ada pembatasan maka harus berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang jelas. 2.2.4 Tanggung Jawab Pengelola Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pengelola/pelaku usaha diatur secara tersendiri atau terpisah dari pengaturan tentang kewajiban pelaku usaha
37
maupun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku usaha tersebut diatur dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Inti dari pengaturan tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab pelaku usaha secara umum (Pasal 19) dan secara khusus dalam hal untuk menyediakan cadang atau fasilitas purna jual dan jaminan atau garansi (Pasal 25 dan Pasal 26), tanggung jawab pelaku usaha di bidang periklanan dan importasi produk (Pasal 20 dan Pasal 21), beban pembuktian terhadap ada tidaknya kesalahan pelaku usaha (Pasal
22
dan
Pasal
28),
serta
pembebasan
pelaku
usaha
dalam
pertanggungjawaban (Pasal 27).13 Beban pembuktian yang ditanggung pelaku usaha untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan konsumen merupakan system pembuktian terbalik karena justru pihak yang digugat yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan. Berdasarkan hukum tentang pembuktian pada umumnya, setiap orang yang mendalilkan bahwa otrang tersebut mempunyai sesuatu hak atau untuk meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain dengan menunjukkan suatu peristiwa, mewajibkan membuktikan adanya hak tersebut. Walaupun beban pembuktian dalam perkara ini dibebankan ke;pada pelaku usaha, tidak menutup kemungkinan bagi pihak Kejaksaan untuk dapat melakukan pembuktian.14 Pembebasan pelaku usaha dari tanggung jawab terhadap kerugian pihak konsumen diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang 13
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h.59. Irna Nurhayati, 2011, Pertanggungjawaban Produsen Terhadap Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999, Jurnal, h.30. 14
38
Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 27 tersebut, pelaku usaha dapat dibebaskan dari kewajiban bertanggungjawab apabila memenuhi persyaratan dibawah ini :15 a) Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan. b) Cacat barang timbul dikemudian hari. c) Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang. d) Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen. e) Lewatnya jangka waktu penuntutan yaitu 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan. 2.3 Wisatawan 2.3.1 Pengertian wisatawan Seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu perjalanan wisata disebut (tourist), jika lama tinggalnya sekurang-kurangnya 24 jam di daerah atau negara yang dikunjungi.16 Wisatawan adalah seseorang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, agama, yang memasuki wilayah suatu negara yang mengadakan perjanjian lain daripada negara di mana orang itu biasanya tinggal dan berada disitu kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan, di dalam jangka waktu 12 bulan berturutturut, untuk tujuan non-imigran yang legal, seperti perjalanan wisata, rekreasi,
15 16
Ibid, h.32. Gamal Suwantoro, 2004, Dasar-Dasar Pariwisata, ed. II, Andi Offseet, Yogyakarta, h.4.
39
olahraga, kesehatan, alasan keluarga, studi, ibadah keagamaan atau urusan usaha.17 Dalam penulisan ini definisi wisatawan adalah setiap orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanan serta kunjungannya. Dari beberapa batasan yang telah disebut di atas, maka secara umum didapat ciri-ciri tentang seseorang yang disebut sebagai wisatawan, yaitu: perjalanan yang dilakukan lebih dari 24 jam, perjalanan tersebut hanya untuk sementara waktu, dan orang yang melakukan perjalanan itu tidak mencari nafkah di tempat atau negara yang dikunjunginya.18 2.3.2 Jenis-jenis wisatawan Berdasarkan sifat perjalanan, lokasi dimana perjalanan dilakukan, wisatwan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :19 a) Foreign Tourism atau wisatawan asing adalah orang yang melakukan perjalanan wisata yang dating memasuki suatu Negara lain yang bukan merupakan negara dimana dia biasanya tinggal, istilah wisatawan asing saat ini popular dengan sebutan Wisatawan Mancanegara. b) Domestic ForeignTourist adalah orang asing yang berdiam atau bertempat tinggal pada suatu Negara yang melakukan perjalanan wisata di wilayah 17 Dolina Gitapati, 2012, Analisis Kunjungan Wisatawan Obyek Wisata Nglimut Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal, Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, h.22. 18 Ibid. 19 Dolina Gitapati, op.cit, h.28
40
c) Negara dimana dia tinggal. Orang tersebut bukan warga negara dimana dia berada tetapi Warga Negara Asing (WNA) yang karena tugas dan kedudukannya menetap dan tinggal pada suatu negara. d) Domestic Tourist adalah Wisatawan Dalam Negeri (WDN) yaitu seorang warga negara yang melakukan perjalanan negaranya, wisatawan semacam ini lebih dikenal dengan Wisatawan Nusantara. e) Indigenous Foreign Tourist adalah warga suatu negara tertentu yang karena tugas atau jabatannya ada di luar negeri dan pulang ke negara asalnya untuk melakukan perjalanan wisata di wilayah negaranya sendiri. f) Transit Tourist adalah wisatawan yang sedang melakukan perjalanan wisata ke suatu negara tertentu yang menumpang kapal udara atau kapal laut
ataupun
kereta
api
yang
terpaksa
singgah
pada
suatu
pelabuhan/airport/stasiun bukan atas kemauannya sendiri. Biasanya ini terjadi apabila ada pergantian transportasi yang digunakan untuk meneruskan perjalanan ke negara tujuan atau menambah penumpang atau mengisi bahan bakar dan kemudian melanjutkan perjalanan ke tujuan semula. Waktu yang cukup lama untuk pergantian tersebut itulah yang digunakam oleh penumpang tour di tempat yang disinggahinya. g) Business Tourist adalah orang yang mengadakan perjalanan untuk tujuan lain bukan wisata, tetapi perjalanan wisata itu dilakukan setelah tujuan utamanya selesai. Jadi perjalanan wisata merupakan perjalanan sekunder setelah tujuan primernya. 2.3.3 Motif Perjalanan Wisatawan
41
Para wisatawan pun mempunyai motif untuk mengadakan perjalan wisata. Motif-motif bagi wisata dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:20 a) Motif fisik. Motif ini berhubungan dengan kebutuhan badaniah/fisik seperti olahraga, istirahat, kesehatan dan sebagainya. b) Motif budaya. Motif ini adalah sifat dari wisatawan, bahwa mereka ingin mempelajari atau memahami tata cara dan kebudayaan bangsa atau daerah lain seperti kebiasaan, kehidupan sehari-hari, music, tarian, dan sebagainya. c) Motif interpersonal. Motif ini terlahir dari keinginan wisatawan untuk bertemu keluarga, teman, tetangga, atau orang-orang tertentu seperti artis atau tokoh politik. d) Motif status atau prestise. Motif ini didasari atas anggapan bahwa orang yang pernah mengunjungi tempat/daerah lain melebihi sesamanya yang tidak pernah bepergian akan menaikkan gengsi bahkan statusnya. 2.3.4 Hak Dan Kewajiban Wisatawan Wisatawan adalah subyek yang berperan sangat penting dalam dunia pariwisata. Wisatawanlah yang menentukan maju mundurnya atau sukses tidaknya dunia pariwisata. Oleh karena itu, perlindungan atas hak dan kewajiban wisatawan perlu mendapat perhatian serius. Dalam Undang-Undang Nomor 10
20
Ibid, h.23.
42
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, hak-hak wisatawan diatur secara rinci dalam Pasal 20. Setiap wisatawan berhak memperoleh : a) informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata; b) pelayanan kepariwisataan sesuai standar; c) perlindungan hukum dan keamanan; d) pelayanan kesehatan; e) perlindungan hak pribadi; dan f) perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi. Selain itu, dalam Pasal 21 juga disebutkan bahwa setiap wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai kebutuhannya. Sementara itu, dalam Pasal 25, yang menjadi kewajiban setiap wisatawan, yaitu : a) menjaga dan menghormati norma agama, adat-istiadat, budaya, dan nilainilai yang hidup dalam masyarakat setempat; b) memelihara dan melestarikan dunia; c) turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan d) turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum. Selain
dalam
Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan kewajiban wisatawan sebagai konsumen juga diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
43
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Selain Undang-undang Kepariwisataan, Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai hak dan kewajiban wisatawan sebagai konsumen. Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, menyebutkan hak konsumen adalah : a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f) hak
untuk
mendapat
pembinaan
dan
pendidikan
konsumen;
44
g) hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Dan pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan kewajiban konsumen adalah : a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 2.4 Daya Tarik Wisata 2.4.1 Pengertian Obyek Wisata Dan Atraksi Wisata Dalam pengembangan produk industri pariwisata, obyek dan atraksi wisata mempunyai
peranan
sekaligus
menentukan
dalam penarikan kunjungan
wisatawan. Kedua unsur ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena dimana ada obyek wisata maka disana pula terdapat atraksi wisata. Sesuatu yang dapat disebut dengan obyek wisata yaitu apabila untuk untuk melihat obyek
45
tersebut tidak ada persiapan yang dilakukan terlebih dahulu. Dengan kata lain obyek dapat dilihat secara langsung tanpa bantuan orang lain seperti pemandangan alam, gunung, sungai, danau, candi, monument, mesjid, gereja, dan pura. semuanya itu dapat dilihat tanpa bantuan orang lain, walaupun terkadang harus membayar untuk sekedar tanda masuk atau dikenal sebagai karcis. Berbeda halnya dengan atraksi wisata yaitu segala sesuatu yang harus dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat dilihat dan dinikmati, misalnya tarian, kesenian, rakyat, dan upacara adat. Tanpa persiapan yang matang maka atraksi tidak dapat menarik dan tidak berjalan dengan lancer sehingga tidak menjadi daya tarik bagi wisatawan. Jadi, obyek dan atraksi wisata merupakan segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang menjadi daya tarik agar orang-orang mau berkunjung ke tempat tersebut. 2.4.2 Jenis Dan Macam Daya Tarik Wisata Hal-hal yang dapat menarik untuk berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata :21 a) benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta seperti iklim (matahari, kesejukan, kering, panas, dan hujan), bentuk tanah dan pemandangan (lembah, pegunungan, air terjun, dan gunung berapi), hutan belukar, flora dan fauna, pusat-pusat kesehata (sumber air panas, sumber air mineral, dan belerang);
21
Dolina Gitapati, op.cit, h.37.
46
b) hasil ciptaan manusia, baik yang ersifat sejarah, kebudayaan, maupun keagamaan, seperti monument bersejarah, museum, kesenian rakyat, acara tradisional, festival kesenian, dan tempat ibadah; c) tata cara hidup masyarakat adalah salah satu sumber terpenting untuk ditawarkan kepada para wisatawan misalnya adat istiadat Ngaben di Bali, Sekaten di Yogyakarta, Penggilingan Padi di Karanganyar, dan Upacara Waisak di Borobudur. Obyek dan daya tarik wisata menurut Direktorat Jenderal Pemerintah di bagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : 1. Obyek wisata alam Obyek wisata alam adalah sumber daya alam yang berpotensi serta memiliki daya tarik bagi pengunjung baik dalam keadaan alamai maupun setelah ada usaha budi daya. Potensi obyek wisata alam dapat dibagi menjadi 4 (emat) kawasan, yaitu : a) flora dan fauna; b) keunikan dan kekhasan ekosistem, misalnya ekosistem pantai dan ekosistem hutan bakau; c) gejala alam, misalnya kawah, sumber air panas, air terjun, dan danau; d) budidaya sumber daya alam, misalnya swah, perkebunan, peternakan, dan usaha perikanan. 2. Obyek wisata
47
Obyek wisata sosial budya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai obyek dan daya tarik wisata meliputi museum, peninggalan sejarah, upacara adat, seni pertunjukkan, dan kerajinan. 3. Obyek wisata minat khusus Obyek wisata minat khusus merupakan jenis wisata yang baru dikembangkan di Indonesia. Wisata ini lebih diutamakan pada wisatawan yang mempunyai motivasi khusus. Dengan demikian, biasanya para wisatawan harus memiliki keahlian. contohnya, berburu, mendaki gunung, arung jeram, tujuan pengobatan, agrowisata, dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan obyek dan atraksi wisata maka pengembangan suatu daerah untuk menjadi daerah tujuan wisata yang dapat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan harus diperlukan bahwa daerah tersebut mempunyai something to see, something to do, dan something to buy. Something to see artinya di daerah tersebut harus ada obyek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah lain, sehingga daerah tersebut mempunyai karakteristik tersendiri. Something to do berarti di tempat tersebut selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, ada pula fasilitas rekreasi yang harus tersedia yang dapat membuat para wisatawan betah untuk tinggal lebih lama di daerah tersebut. Something to buy artinya tempat tersebut harus tersedia fasilitas untuk berbelanja terutama barang-barang souvenir dan kerajinan rakyat. Selain itu tersedia sarana pendukung seperti bank, kantor pos, dan telekomunikasi.