BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AFAS DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA PARIWISATA
2.1 Liberalisasi Perdagangan 2.1.1 Konsep Liberalisasi Perdagangan Liberalisasi perdagangan hampir serupa dengan suatu keadaan dimana kondisi perekonomian suatu negara semakin terbuka, atau keadaan dimana perekonomian suatu negara semakin berorientasi ke luar. Artinya, kebijakan ekonomi yang diambil oleh suatu negara adalah menuju ke arah yang netral atau terbuka. Suatu kebijakan dianggap menjalankan liberalisasi apabila tingkat intervensi pemerintah kian berkurang. Pertanda liberalisasi lainnya adalah semakin pentingnya peran perdagangan dalam kemajuan perekonomian suatu negara.1 Konsep liberalisasi perdagangan yang dilakukan adalah perdagangan yang melalui lintas negara atau lebih kita kenal dengan perdagangan internasional. Kegiatan perdagangan internasional dilakukan karena setiap negara memiliki potensi yang berbeda satu sama lain, dimana suatu negara mungkin saja tidak memiliki potensi produksi terhadap suatu produk barang dan jasa yang menjadi kebutuhannya. Lambat laun, perdagangan internasional menjadi faktor utama berkembangnya kesejahteraan perekonomian suatu negara. Teori Adam Smith merupakan motivasi terbesar lahirnya perdagangan bebas. Beliau menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara akan semakin meningkat apabila perdagangan internasional dilakukan dalam bentuk pasar bebas dan diminimalisirnya peranan pemerintah. Teori ini disebut sebagai “Teori Keunggulan Absolut” yang ditulis dalam bukunya yang berjudul “The Wealth of Nation”. Menurut teori ini, negara memiliki keunggulan absolute
1
H.S. Kartadjoemena, 2002, GATT dan WTO, UI-Press, Jakarta, h.245
yang nyata terhadap mitra dagangnya dengan cara memproduksi suatu komoditi kemudian menerapkan ekspor ke suatu negara mitra dagang yang tidak memiliki keunggulan absolute.2 Demikian pula sebaliknya sehingga nilai impor dan ekspor akan menjadi seimbang. Dengan memberlakukan perdagangan bebas, sumber daya alam dan sumber daya manusia akan tereksplor dengan lebih efisien sehingga kesejahteraan akan tercapai secara optimal. Namun dalam kenyataannya yang terjadi di Eropa adalah kesenjangan ekonomi dan kesenjangan sosial dimana para pengusaha
semakin kaya sementara para buruh tetap
miskin.3 Kebijakan dalam rangka liberalisasi dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara, yaitu dengan cara global atau unilateral serta dalam bentuk bilateral atau regional. Kebijakan bilateral atau regional adalah kebijakan yang dilakukan dengan kesepakatan secara regional ataupun multirateral yang terdapat dalam suatu perjanjian tertentu. Dalam bentuk global dilakukan sesuai dengan kesepakatan yang terdapat dalam WTO (World Trade Organization) yang merupakan induk dari perdagangan internasional. Sementara dalam bentuk unilateral, dilakukan secara sepihak oleh suatu negara. Melihat hal tersebut diatas, maka dapat ditarik beberapa ciri-ciri paham liberalisme, yaitu:4 1. Menghapus segala jenis larangan dalam kegiatan ekonomi 2. Mengadakan penurunan tarif atau bea masuk terhadap impor sehingga terjadi peningkatan perdangan antarbangsa
2
Mohammad Sood, Op.cit., h.4
3
Ibid.
4
Ibid.
3. Membuat jaringan yang dapat meningkatkan perdagangan antar negara yang berminat untuk berdagang 4. Menerapkan sistem pembayaran untuk mempermudah transaksi serta menentukan nilai tukar yang dapat diterima oleh semua pihak 5. Membolehkan bahkan menganjurkan peredaran modal ke luar maupun ke dalam negeri sesuai dengan permintaan dan penawaran. 6. Memperbolehkan lalu lintas tenaga kerja dan sumber daya manusia. Sesungguhnya perdagangan bebas merupakan tantangan masa kini yang harus dihadapai dengan jalan moderat, namun cerdas melalui perbaikan antara aturan main hukum ekonomi internasional, dengan tujuan untuk menciptakan tatanan ekonomi internasional yang berkeadilan dan kesetaraan negara maju maupun negara berkembang.5 Praktek perdagangan internasional yang secara standar dan praktis akan menjadi pedoman dalam suatu form sederhana yang memotong batasan-batasan hukum kontrak yang tradisional dan rumit.6 2.1.2 Perkembangan Liberalisasi Perdagangan Menelusuri jejak liberalisasi pada era modern, tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya tiga pilar ekonomi dunia melalui Bretton Woods.
Pilar ini terdiri dari
International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), dan GATT yang kemudian bermetamorfosis menjadi World Trade Organization (WTO).7 Namun ternyata, liberalisasi telah diterapkan dari abad ke 16. Dalam perjalanannya, perkembangan liberalisasi perdagangan telah melewati beberapa periode, yaitu: 1. Periode Merkantilisme
5 A.F. Elly Erawati, 2003, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas:Suatu Pengantar, dalam buku Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.2.
6
Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Pengantar Hukum Dagang Internasional, Refika Aditama, Bandung,
h.37. 7
IGN Parikesit Widiatedja, Op.Cit.,h.6.
Paham merkantilisme berkembang pada abad ke-16 hingga ke-17. Pada masa ini kegiatan ekonomi dipusatkan pada perolehan sumber daya alam dan sumber daya manusia semaksimal mungkin untuk mendukung kekuatan militer serta kekuatan politis suatu negara. Yang menjadi sasaran utama dari ekspansi adalah komoditi emas dan perak. Dengan demikian untuk membiayai kepentingan politik dan militer, negara harus selalu mencapai surplus dalam bentuk emas dan perak.8 Yang menjadi tujuan utama bukanlah peningkatan pendapatan nasional maupun kesejahteraan nasional, melainkan terfokus peningkatan ekspor dan menekan nilai impor. Akhirnya teori yang ada dalam paham merkantilisme gagal dalam mewujudkan perdagangan internasional yang stabil.9 2. Zaman Keemasan Perdagangan Bebas Zaman keemasan perdagangan bebas dimulai pada tahun 1815 hingga tahun 1914 yang merupakan awal lahirnya Perang Dunia I. Di masa inilah perdagangan bebas menunjukkan kejayaannya dalam bidang perekonomian internasional. Dalam periode yang berlangsung selama satu abad ini, perdagangan di dunia benar-benar berjalan secara bebas dengan minimnya batas serta rintangan dalam perdangan. Namun fakta yang dijumpai adalah, pertumbuhan ekonomi yang pesat tetap dikuasai oleh Eropa pada abad ke-19. Perdagangan bebas tidak dapat dinikmati oleh negara lain terutama negaranegara di Asia.10 3. Disintegrasi Eropa Perdagangan bebas mulai mengalami distorsi sebagai akibat diterapkannya kebijaksanaan yang menyimpang dari paham liberal. Kebijakan ini mengesampingkan mekasnisme pasar. Yang terbentuk justru kebijaksanaan yang mengarah pada
8
Ibid.,h.30.
9
H.S. Kartadjoemena, Op.cit. h.16.
10
Ibid.,h.20.
perekonomian nasional yang sempit dan negatif. Disintegrasi oleh Eropa berawal dari swasembada yang dilakukan oleh Eropa selama Perang Dunia I, kemudian untuk mengembangkan sektor pertanian maka dilakukanlah pelarang impor serta peningkatan tarif. Pada tahun 1929 Amerika Serikat mulai mengalami krisis moneter karena beberapa sasaran investasi penting mengalami kebangkrutan.11 Kejadian ini semakin meluas menimpa Amerika Serikat sampai akhirnya kegiatan produksi dan inventasi Amerika Serikat menurun. Dampaknya adalah pendapatan nasional Amerika serikat juga memburuk sehingga menghambat arus pergerakan barang dan jasa dengan mitra dagangnya.12 4. Periode Pasca Perang Dunia II Pada periode ini timbul keinginan dari negara-negara sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia II untuk menerapkan kembali regulasi positif yang diterapkan pada zaman keemasan liberalisasi perdagangan, yaitu dengan menciptakan perdagangan yang lebih terbuka. Negara-negara ini bermaksud untuk menciptakan suatu organisasi perdagangan yang mampu membawahi dan menciptakan aturan dalam perdagangan dunia serta sepakat untuk menerapkan suatu hubungan internasional yang lebih teratur guna menjamin kesejahteraan ekonomi. Dibentuklah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) serta beberapa badan terkait di bawahnya, misalnya IMF (International Monetery Fund), IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) yang bergerak di bidang keuangan dan finansial. Semuanya berjalan lancar, namun berbeda halnya dengan bidang perdagangan yang sama sekali tidak mencapai kesepakatan. Keinginan untuk mendirikan ITO
11
Ibid.
12
Ibid.,h.36-37.
(International Trade Organization) gagal akibat beberapa pertimbangan politis. Pada tahun 1947 disepakatilah GATT yang merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur masalah perdagangan. Perdagangan internasional menjadi lebih terbuka dari tahun 1950-1973 dan pertumbuhan ekspor juga semakin meningkat. Namun meningkatnya angka pengangguran mengakibatkan timbulnya suatu kekhawatiran akan proteksionisme sehingga dirumuskanlah beberapa perjanjian multilateral.13 5. Periode Pasca Perang Dingin Pada masa ini kegiatan ekonomi yang dinamis makin terpusat di Asia dengan adanya hubungan ekonomi yang semakin intensif serta hubungan transpasifik yang semakin meningkat. Eropa Tengah yang merupakan bagian dari Uni Soviet pada Perang Dingin semakin masuk ke dalam integrasi Eropa Barat, yang mana Eropa Barat pada masa ini mengarah pada unifikasi ekonomi dan politik.14 Dalam periode ini kebebasan transaksi seperti pada masa keemasan mulai dirasakn lagi. Kebebasan tersebut terlihat pada bidang barang, jasa, modal, teknik, dan migrasi tenaga kerja. Tiga kekuatan besar yang mengusai masa ini adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang.15
2.2 AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services) 2.2.1 Latar Belakang AFAS Khusus dibidang ekonomi, kebijakan liberalisasi perdagangan di wilayah ASEAN telah banyak menyita perhatian para ahli hukum internasional di kawasan ini, karena merupakan isu hangat yang sangat berpengaruh terhadap kemakmuran dan kesejahteraan negara-negara Asia Tenggara sendiri. Bermula dari GATS yang telah diplokamirkan pada
13
Ibid.
14
Ibid.,h.40.
15
Ibid.
tanggal 1 Januari 1995, dimana telah tercapai serangkaian kesepakatan baik dalam lingkup regional maupun internasional yang pada intinya mengeliminasi berbagai hambatan dalam perdagangan jasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya GATS telah menimbulkan suatu persaingan dan keterbukaan yang semakin besar, ekspansif, dan eksploitatif.16 Sebagai kawasan yang terdiri dari negara-negara berkembang, ASEAN tentu akan mengalami beberapa kesulitan jika harus berhadapan dengan negara maju secara frontal dalam menyajikan jasa. Apabila tidak segera diatasi, kemungkinan GATS akan menjadi pintu lebar bagi pengusaha di negara maju untuk mengeksploitasi seluruh sumber daya kita sebagai negara berkembang. Demi menghindari kemungkinan tersebut, dengan berlandaskan itikad baik dalam mencapai kemakmuran bersama, negara-negara anggota ASEAN kemudian menggalang suatu kerjasama dalam bidang perdagangan jasa yang kemudian dikenal dengan AFAS.17Dalam rangka meningkatkan daya saing para penyedia jasa di ASEAN melalui liberalisasi perdagangan bidang jasa, akhirnya AFAS disahkaan pada KTT ke-5 ASEAN tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand. AFAS kemudian menjadi landasan dasar dari proses menuju liberalisasi perdagangan jasa di kawasan ASEAN. Seluruh isi kesepakatannya konsisten dengan kesepakatan internasional yang ditetapkan dalam GATS. AFAS juga mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk menetapkan komitmen melebihi apa yang diberikan dalam GATS. Perjanjian ini bertujuan meningkatkan efesiensi dan tingkat kompetitif dari anggota ASEAN sebagai penyedia jasa. Negara anggota ASEAN diharuskan mengeliminasi substansi dan hambatan dibidang jasa antar anggota ASEAN, dan meliberalisasi perdagangan jasa dengan
16 Parikesit Widiatedja, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata Konstruksi Konsep, Ragam Masalah, dan Alternatif Solusi, Udayana University Press, Denpasar, h.80.
17
Ibid.
memperluas tingkatan dan jangkauan liberalisasi khususnya jasa dengan tujuan utama membentuk perdagangan bebas jasa.18 Lebih lengkapnya, tujuan AFAS dicantumkan dalam Pasal 1 AFAS, yaitu sebagai berikut:19 1. Untuk meningkatkan kerjasama di bidang jasa antara negara-negara anggota dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, diversifikasikapasitas produksi, serta pemasokan distribusi jasa dari pemasok jasa di dalam dan di luar ASEAN. 2. Untuk menghilangkan secara substansial pembatasan perdagangan jasa antara negaranegara anggota ASEAN. 3. Meliberalisasi perdagangan jasa dengan memperluas intensitas dan cakupan liberalisasi dari luar yang dilakukan oleh negara-negara anggota di bawah aturan GATS dengan tujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas di bidang jasa. 2.2.2 Prinsip-Prinsip AFAS Dalam perundingan liberalisasi bidang jasa, AFAS menerapkan Prinsip-prinsip sebagaimana yang diterapkan dalam GATS. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:20 a. Most Favoured Nation (MFN) Treatment, yaitu perlakuan yang diberikan kepada suatu negara berlaku juga untuk semua negara lain. Prinsip MFN merupakan sebuah asas bahwa bila ada kemudahan yang diberikan kepada suatu negara, maka kemudahan tersebut juga harus di berikan kepada negara lainnya.MFN dikenal juga dengan prinsip “non- diskriminasi”.21 Dalam penerapan prinsip MFN, dikenal adanya
18
HadiSoesastro, 2000, A New ASEAN in a New Millenium,Centre for Strategic and International Student, Jakarta, h.215. 19 ASEAN Framework Agreement on Services, URL: www.asean.org/communities/asean-economiccommunity/item/asean-framework-agreement-on-services diakses tanggal 30 Januari 2014 pukul 19.37 WITA.
20 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 2008, Menuju ASEAN Economic Community 2015, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta, h 31.
dua perlakuan terhadap pemasok jasa yaitu treatment no less favourable, dimana yang dibandingkan adalah perlakuan yang diberikan terhadap service supplier dari suatu negara dengan negara lainnya. Yang kedua adalah national treatment, yang dibandingkan adalah perlakuan yang diberikan terhadap domestic service supplier dengan foreign service supplier.22 b. Transparancy, yaitu setiap negara wajib mempublikasikan semua peraturan, perundang-undangan, pedoman pelaksanaan dan semua keputusan/ketentuan yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Selain itu setiap negara juga wajib memberitahukan atas adanya peraturan baru yang dapat mempengaruhi pelaksaan liberalisasi perdagangan jasa di kawasan negara anggota.23 c. Progressive liberalization, yaitu liberalisasi secara bertahap sesuai dengan tinggat perkembangan ekonomi setiap negara anggota. Liberalisasi bertahap tersebut dilakukan dengan mewajibkan semua angota AFAS untuk melakukan putaran negosiasi yang berkesinambungan. Negosiasi tersebut harus dilakukan dengan mengurangi atau menghilangkan measures yang dapat berdampak buruk terhadap perdagangan Jasa. Meskipun demikian, proses liberalisasi harus dilakukan dengan tetap menghormati kepentingan nasional dan tingkat pembangunan masing-masing.24 Dalam pemberian komitmen AFAS, negara-negara ASEAN diharuskan untuk memberikan tingkat komitmen yang lebih baik untuk sesama anggota ASEAN dibandingkan dengan komitmennya dalam GATS/WTO, serta membuka lebih banyak sektor atau subsektor, sehingga AFAS dikenal juga dengan Istilah GATS Plus. Proses liberalisasi bidang 21
Syahmin A.K., 2006, Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analitis), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.184.
22
Ibid.
23
Ibid.,h.191.
24
Ibid.,h.195.
Jasa dilakukan secara bertahap dan hati-hati dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan tingkat pembangunan ekonomi negara anggota ASEAN. Untuk itu diterapkan prinsip fleksibilitas yang disepakati oleh semua negara ASEAN (Pre-Agreed Flexibility). 2.2.3 Batasan dan Ruang Lingkup AFAS AFAS merupakan perjanjian yang regional di kawasan ASEAN yang
berusaha
meningkatkan efisiensi dan tingkat kompetitif dari anggota ASEAN sebagai penyedia jasa, khususnya mengeliminasi pembatasan perdagangan dibidang Jasa antar anggota ASEAN dan meliberalisasi perdagangan jasa dengan memperluas tingkatan serta ruang lingkup dari liberalisasi melampaui yang telah ada di dalam GATS (General Agreement Trade in Service) dengan tujuan sebuah area perdagangan bebas dibidang jasa.25 Dalam proses perundingan, sektor jasa memiliki suatu konsep dengan keunikan tersendiri yang berbeda dengan proses perundingan liberalisasi sektor barang. Disektor barang, perundingan liberalisasi dilakukan dengan penurunan tarif dan non tarif. Sementara di perdagangan jasa, perundingan dilakukan untuk melakukan pengurangan atau penghilangan hambatan dalam 4 (empat) caraketersediaan jasa dari penyedia jasa kepada pengguna jasa (mode of supply). Keempat mode of supply dalam perdagangan jasa adalah sebagai berikut:26 a. Mode I (cross-border supply) merupakan jasa yang diberikan secara langsung oleh penyedia Jasa luar negeri dengan pengguna jasa didalam negeri. Contohnya pertimbangan hukum yang diberikan oleh pengacara di luar negeri lewat surat atau telepon.
25
IGN Parikesit Widiatedja, Op.cit.,h.125.
26
Ibid.,h.47.
b. Mode 2 (consumption abroad) merupakan jasa yang diberikan oleh penyedia Jasa diluar negeri kepada konsumen domestik setelah konsumen tersebut berpindah secara fisik ke negara penyedia Jasa. Contohnya mahasiswa yang berkuliah di Belanda. c. Mode 3 (commercial presence) merupakan jasa yang disediakan dengan kehadiran penyedia Jasa dari luar negeri kepada konsumen di negara konsumen. Contoh : pendirian rumah sakit milik Singapura di Indonesia. d. Mode 4 (presence of natural person) merupakan penyediaan jasa langsung berupa tenaga kerja asing yang memiliki keahlian tertentu kepada konsumen di negara konsumen. Contohnya dokter Singapura melakukan praktik di Indonesia. Kemudian dirumuskan pula 4 (empat) sifat dari komitmen yang dapat diambil oleh masing-masing negara berdasarkan keempat mode of supplytersebut, yaitu:27 a. Komitmen penuh atau tanpa pembatasan (none). Artinya bahwa suatu negara menyatakan untuk tidak menetapkan pembatasan pada akses pasar ataupun national treatment dalam bentuk apapun. b. Komitmen dengan pembatasan. Artinya, suatu negara menetapkan secara terperinci atas setiap perlakuan yang bertentangan dengan aturan mengenai akses pasar ataupun national treatment, kemudian menjamin untuk tidak mengambil tindakan lain yang bertentangan. c. Tidak ada komitmen (unbound). Artinya, negara tersebut tetap mempertahankan dan memberlakukan tindakan yang bertentangan dengan aturan yang berkenaan dengan akses pasar ataupun national treatment. d. No commitments technically easible. Artinya suatu negara menetapkan pengaturan tertentu dengan mode perdagangan tertentu tidak dibuka.
27
H.S. Kartadjoemena, Op.cit.
2.3 Jasa Pariwisata 2.3.1 Definisi Jasa Pariwisata Jasa pariwisata terdiri dari dua kata yaitu jasa dan pariwisata. Jasa bukanlah benda. Dalam ilmu ekonomi, jasa diartikan sebagai aktivitas ekonomi yang melibatkan sejumlah interaksi dengan konsumen atau dengan barang-barang milik, tapi tidak menghasilkan transfer kepemilikan.28 Pada konteks perdagangan, jasa mencakup seluruh aktivitas yang terorganisir secara kualitas, kuantitas, dan dalam rentang waktu tertentu untuk membantu seseorang atau lebih mendapatkan keinginannya berdasarkan proses transaksi, dan imbalan tertentu (services charge).29 Sementara GATS menjelaskan dalam Pasal 1 ayat (3b) dan (c) bahwa jasa yang dicakup meliputi: “For the purposes of this agreement: (b) "services"includesanyserviceinanysectorexceptservicessuppliedintheexercise ofgovernmentalauthority; (c) "aservicesuppliedintheexerciseofgovernmentalauthority"meansanyservicewhich is supplied neither on a commercial basis, nor in competition with one or more service suppliers.”
Dari pemaparan tersebut, GATS mendefinisikan jasa sebagai setiap jasa dalam setiap sektor, kecuali jasa yang dipasok oleh otoritas kebijakan pemerintah. Jasa yang dipasok dalam rangka otoritas kebijakan pemerintah adalah jasa yang tidak dipasok atas kepentingan komersial dan tidak pula dalam rangka persaingan satu atau lebih pemasok jasa. Kemudian Pasal 1 ayat (2) GATS mendefinisikan perdagangan jasa sebagai pemasokan yang dilakukan berdasarkan 4 tipe penyediaan jasa atau mode of supply yang telah dijelaskan sebelumnya. Penyediaan jasa ini meliputi produksi, distribusi, pemasaran, penjualan, dan pengiriman layanan.30
28
29
Sadono Sukirno, 2011, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, h.27.
I.B. Wyasa Putra,dkk, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung, h.2.
Hal paling prinsipil yang membedakan jasa dengan barang adalah sifatnya yang tidak berwujud atau abstrak, ini berarti jasa tidak dapat dilihat, disentuh, dicicipi seperti halnya yang dapat dirasakan dari suatu barang. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah karakteristik jasa:31 1. Tidak berwujud Seperti yang dijelaskan sebelumnya, jasa tidak berwujud artinya jasa tersebut tidak dapat dilihat, disentuh, dan dicicipi. 2. Heteregonitas Jasa merupakan variabel yang non-standar dan sangat bervariasi. Artinya adalah, tidak adanya hasil jasa yang sama walaupun dikerjakan oleh satu orang. Hal ini terjadi karena interaksi manusia (dalam hal ini karyawan dan konsumen) memiliki segala perbedaan persepsi serta harapan dalam melakukan interaksi tersebut. 3. Tidak dapat dipisahkan Jasa biasanya dihasilkan dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan, sehingga dibutuhkan partisipasi secara langsung dari konsumen pada saat itu. Artinya, ketika konsumen ingin menikmati suatu jasa, konsumen harus berada di tempat jasa yang dimintanya. Konsumen akan melihat langsung bahkan terlibat dalam proses tersebut. 4. Tidak tahan lama Artinya jasa tidak dapat dismpan, dijual kembali pada orang lain, atau dikembalikan kepada produsen.
30
GATS. Pasal 28 huruf b.
31 Adrian Payne, 2001, The Essence of Services Marketing, Terjemahan Fandy Tjiptono, Prentice Hall International, UK, h.9
Selain perbedaan prinsipil antara barang dan jasa, maka perdagangan barang dan perdagangan jasa juga memiliki beberapa perbedaan, yaitu:32 1. Dalam perdagangan jasa, transaksi memerlukan kehadiran kedua belah pihak, yaitu konsumen dan produsen. Dalam hal seorang konsumen dalam negeri ingin menikmat jasa yang disediakan oleh produsen di negeri lain, maka konsumen tersebut harus melakukan transaksi langsung dengan produsen luar negeri itu.33 Maka penyediaan produk jasa terhadap pasar luar negeri biasanya disertai dengan pergerakan modal dan perpindahan tenaga kerja. 2. Diperlukannya regulasi dan kontrol yang besar. Tindakan ini diperlukan dalam rangka menghindari terjadinya market failureatau kegagalan pasar akibat kurangnya informasi yang didapatkan konsumen terhadap produk jasa yang yang akan dikonsumsi. Yang kedua, diperlukan karena merupakan konsekuensi dari penyediaan produk jasa yang berbeda dengan penyediaan produk jasa. Misalnya, apabila dalam perdagangan barang menegenal istilah stok, maka dalam perdagangan jasa tidak mengenal istilah tersebut. Dengan kata lain, produk jasa tidak dapat disediaakan dengan melakukan penyimpanan terlebih dahulu sehingga diperlukan suatu regulasi dan kontrol yang lebih ekstra agar konsumen dan produsen tidak sama-sama dirugikan.34
32
Sherry Stephenson, Services Trade Liberalisation and Facilitation, dalam Safari Ar Rizqi, 2010, Penyebab Lambatnya Penetapan Mutual Recognition Arrangement Jasa ASEAN (1995-2005), Tesis, FISIP UI, h.5. 33
Ibid.
34
Ibid.
3. Kesulitan untuk mendeteksi hambatan-hambatan yang ada di dalamnya. Mendeteksi hambatan-hambatan yang ada dalam perdagangan jasa jauh lebih sulit dibandingkan perdagangan barang. Dalam perdagangan barang, hambatan dapat dideteksi dengan jelas melalui perbedaan harga yang ada. Sementara dalam perdagangan jasa lebih sulit dideteksi karena berupa peraturan-peraturan. Hambatan dalam perdagangan jasa ini kurang transparan dibandingkan perdagangan barang, sehinggan sulit untuk dideteksi.35 Sebagai
tambahan,
Mary
E.
Footer
dalam
tulisannya Global
and
Regional Approaches to The Regulation of Trade in Services juga menjelaskan karakteristik yang membedakan perdagangan jasa dengan perdagangan barang. Pertama, jasa itu bersifat intangibleatau tidak nyata, tidak seperti barang yang bersifat tangible atau nyata, yang mana berisi hak dan kewajiban. Kedua, perdagangan jasa ini lebih terikat terhadap regulasi-regulasi dibandingkan perdagangan barang. Yang ketiga, Penerapan perdagangan jasa seringkali berbenturan dengan hal-hal yang bersifat non-ekonomi. Misalnya, transborder broadcasting seringkali berbenturan dengan kebijakan kebudayaan nasional suatu negara. Sedangkan istilah pariwisata, United Nation on World Tourism Organization (UNWTO) mengartikannya sebagai suatu perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi atau liburan, dan juga persiapan yang dilakukan untuk aktivitas ini.UNWTO kemudian menyatakan pentingnya pariwisata bagi perkembangan pembangunan negara-negara di dunia, yaitu:36 “Tourism really has the potential of opening up economic space for people around the world. We should encourage tourist developers to go and set up tourist developments
35
Ibid.,h.6.
36 Understanding Tourism:Basic Glossary, URL: media.unwto.org/en/content/understanding-tourismbasic-glossaryDiakses tanggal 15 Januari pukul 19.20 WITA.
and in doing so to help provide basic amenities such as electricity and clean water for the communities living in those areas. This would help uplift the local people, “encouraging them to produce for the tourists.” Dalam lingkup nasional Indonesia, Undang-Undang No.10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan Pasal 1 angka 3, pariwisata diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usahausaha lain yang terkait dengan bidang tersebut. Menurut Undang-Undang ini, ada beberapa bentuk usaha pariwisata yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri, yaitu: 1. Daya tarik wisata Bisnis daya tarik wisata merupakan bisnis pengelolaan daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan/atau daya tarik wisata buatan/binaan manusia. Contohnya: pemandian air panas, goa, candi, keraton, dan prasasti. 2. Kawasan pariwisata Bisnis kawasa pariwisata merupakan bisnis pembangunan dan/atau pengelolaan kawasan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. 3. Jasa transportasi pariwisata Bisnis transportasi pariwisata merupakan bisnis penyediaan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata yang bukan merupakan transportasi regular/umum. 4. Jasa perjalanan pariwisata Bisnis ini meliputi biro perjalana wisata dan agen perjalanan wisata. Biro perjalanan wisata merupakan bisnis perencanaan, perjalanan, dan/atau pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata termasuk perjalana ibadah. Sementara agen perjalana wisata merupakan bisnis pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan. 5. Jasa makanan dan minuman
Merupakan penyediaan makana dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, dan/atau penyajiannya. 6. Penyediaan akomodasi Merupakan bisnis penyediaan layanan penginapan untuk wisatawan yang dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. 7. Penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi Bisnis ini bisnis penyelenggaraa kegiatan berupa usaha bisnis pertunjukan, arena permainan, karaoke, serta kegiatan hiburan lainnya yang bertujuan untuk pariwisata tetapi tidak meliputi wisata tirta dan spa. 8. Penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran Bisnis ini meliputi pemberian jasa kepada sekelompok orang, penyelenggaraan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasi kerjanya serta penyelenggaraan pameran dalam rangka penyebarluasan informasi dan promosi suatu barang yang berskala nasional, regional, dan internasional. 9. Jasa informasi pariwisata Bisnis ini merupakan bisnis penyediaan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan melalui media cetak, dan/atau elektronik. 10. Jasa konsultan pariwisata Merupakan bisnis penyediaan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perncanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran bidang pariwisata. 11. Jasa pramuwisata Merupakan bisnis penyediaan dan/atau pengordinasian tenaga pemandu wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalana wisata. 12. Wisata tirta
Merupakan bisnis penyelenggaraan wisata dan olah raga air termasuk penyediaan sarana dan prasarana di perairan laut, sungai, pantai, danau, dan waduk. 13. Spa Merupakan bisnis perwatan yang memberikan pelayanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan dan minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya Indonesia. 2.3.2 Ciri Pembeda Perdagangan Jasa Pariwisata Sebagai suatu bentuk perdagangan jasa, transaksi bisnis pariwisata memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari transkasi perdagangan sektor lainnya, yaitu:37
1. Tidak terjadi perpindahan kepemilikan Berbeda halnya dengan transaksi penjualan barang yang mengakibatkan adanya perpindahan barang dan hak milik, transaksi perdagangan jasa pariwisata justru tidak mengakibatkan perpindahan hak kepemilikan. Hubungan antara penjual dengan wisatawan memiliki kompleksitas tersendiri. Dalam kerangka relasi ini, kepuasan dan keberhasilan transaksi yang terjadi oleh wisatawan pada saat mengkonsumsi atau menggunakan produk perdagangan jasa pariwisata yang sudah dibelinya lebih banyak digantungkan pada kualitas pelayanan yang diberikan oleh penjual jasa. 2. Sifat ketergantungan antar produk pariwisata Sebagian besar produk barang berwujud diproduksi, dikemas, dan disuplai dalam bentuk barang jadi ataupun setengah jadi, namun produk perdagangan jasa
37
IGN Parikesit Widiatedja, Op.cit.
pariwisata justru sebaliknya. Dalam perdagangan jasa pariwisata, terdapat penambahan sesuatu terhadap produk lain sehingga cara demikian, produk tersebut dapat memuaskan wisatwan sebagai konsumen. Artinya, produk perdagangan jasa pariwisata akan lebih tinggi nilainya apabila digabungkan dengan produk yang lain, maka nilai komersialnya, kenyamanannya, dan daya tariknyapun akan meningkat. 3. Proses produksi dan konsumsi yang terjadi secara bersamaan Dalam transaksi perdagangan jasa pariwisata, antara penjual jasa dengan konsumen terdapat rentang waktu yang singkat sekali. Hal ini dikarenakan transaksi perdagangannya mempunyai proses produksi dan konsumsi pada saat yang bersamaan. Dengan kata lain, proses produksi tidak mungkin dapat dilakukan tanpa kehadiran konsumen. 4. Bahan baku produk yang tidak pernah habis Bahan baku dari sektor lain mudah habis, namun dalam sektor pariwisata bahan baku tersbut sesungguhnya tidak akan pernah habis. Hal ini sesuai dengan keadaan
yang terjadi,
dimana perdagangan
jasa pariwisata lebih banyak
mengandalkan kekayaan yang telah ada sebagai suatu daya tarik ditambah dengan peran Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menjadi pengelola atau pengembang. Peninggalan benda bersejarah, keanekaragaman budaya, kekayaan alam yang bahkan dapat dijadikan sebagai wisata agro dan bahari, sepanjang kita mampu menjaganya maka bahan baku tersebut tidak akan pernah habis. 5. Pendapatan devisa yang langsung dapat dinikmati Perdagangan jasa pariwisata menghasilkan devisa yang dapat dinikmati secara langsung atau dikenal dengan istilah quick yielding. Misalnya, apabila ada seorang wisatawan yang ingin menikmati produk perdagangan jasa dalam negeri kita, maka para penjual jasa akan dapat menikmati secara langsung uang yang dibelanjakan oleh
wisatawan, sementara pemerintah dapat menikmatinya di kemudian hari dalam bentuk pajak yang dibayarkan oleh pelaku bisnis atau produsen jasa pariwisata tersebut. Namun dalam hal ini, akan dibutuhkan pengaturan yang lebih serius mengenai teknik transaksi, elemen kontrak, materi transaksi, serta penghitung resiko yang sejalan dengan karakteristik bisnis pariwisata.38
38
I.B. Wyasa Putra,dkk, Op.cit., h.19.