BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG(HUMAN TRAFFICKING)
1.1
Pengertian Human Trafficking Perdagangan manusia (Human Trafficking) didefinisikan sebagai semua
tindakan yang melibatkan pemindahan, penyelundupan atau menjual manusia baik di dalam negeri ataupun antar negara melalui mekanisme paksaaan, ancaman, penculikan, penipuan dan memperdaya, atau menempatkan seseorang dalam situasi sebagai tenaga kerja paksa seperti prostitusi paksa, perbudakan dalam kerja domestik, belitan utang atau praktek-praktek perbudakan lainnya. Selain definisi ini pada kasus menyangkut anak diterapkan juga definisi bahwa human trafficking anak juga berlaku baik secara paksaan maupun dengan sukarela. Definisi perdagangan wanita dan anak-anak menurut PBB dan ODCCP (Office for Drug Control and Crime Prevention) adalah Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi1. Dalam
sejarah perdagangan
manusia di Indonesia pernah
ada
melaluiperbudakan danpenghambaan. Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, kasus perdagangan manusia, yaitu perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Koenjoro mengidentifikasikan ada 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersebut masiih terkenal sebagai pemasok perempuan untuk diperdagangkan. Di Bali juga terjadi hal tersebut, misalnya seorang Janda dari kasta rendah tanpa dukungan yang kuat dari keluarganya, secara otomatis akan menjadi milik raja. Jika raja memutuskan untuk tidak mengambil dan masuk ke lingkungan 1
https://multiteam1.wordpress.com/2010/12/25/definisi-human-trafficking-2/
22
istana, maka dia akandi kirim ke luar kota untuk menjadi pelacur dan sebagian penghasilannya harus diserahkan kepada Raja secara teratur. Dalam Prostitution in Colonial Java DP Chandler and M.C. Riclefs bahwa kasus Prostitusi di Indonesia mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembangunan jalan dari Anyer Panarukan dan dilanjutkan pembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh Daendels. Perkembangan prostitusi di Indonesia kedua adalah
tahun
1870
pritivasi perkebunan atau kulturstelsel.
ketika
pemerintah Belanda melakukan
2
Halserupa juga terjadi pada periode penjajahan Jepang, kasus Perdagangan Manusia di Indonesia berbentuk kerja rodi dan komersial seks. Selain memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, Jepang juga banyak membawa perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia dan Hongkong untuk melayani perwira tinggi Jepang. Setelah merdeka, hal tersebut dinyatakan sebagai tindakan yang melawan hukum. Di era globalisasi, perbudakan marak kembali dalam wujudnya yang ilegal dan terselubung berupa perdagangan manusiamelalui bujukan, ancaman, penipuan dan rayuan untuk direkrut dan di bawa ke daerah lain bahkan ke luar negeri untuk diperjualbelikan dan dipekerjakan di luar kemauannya sebagai pekerja seks, pekerja paksa dan atau bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.3 Pengertian Perdagangan manusia dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ialah sebagai berikut: "Tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan,
penggunaan
kekerasan,
penyekapan,
penipuan, pemalsuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi bayaran atau penjeratan utang atau manfaat, sehingga dapat memperoleh persetujuan dari orang yang memegangkendaliatas
orang
lain
tersebut,
baik
yang
dilakukan
antar
negara maupun di dalam negara, demi untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi." 2 3
Henry Nuraency, Op.Cit, h.14 Farhana, 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. PT Sinar Grafika: Jakarta.
Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
jo (juncto) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia, Pengertian
eksploitasi dalam
tindak
pidana
perdagangan
manusia dijelaskan dalam pasal 1 angka 7 yang menyebutkan
bahwa:
“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada perbudakan, pelacuran, atau praktik serupa perbudakan, kerja atau pelayanan paksa, pemanfaatan fisik, penindasan, pemerasan, organ reproduksi, seksual, atau secara melawan hukum. Mentransplantasi atau memindahkan organdan/atau jaringan tubuh, atau kemampuan seseorang atau tenaga
seseorang
oleh
pihak
lain
untuk
mendapatkan
keuntungan
baik materil maupun immateril.4
2.1.1 Aspek-aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perdangangan Orang(Human Trafficking) Secara umum Dalam proses penegakkan hukum Tindak Pidana Perdagangan
Orang
juga
masih
terdapat
beberapa
kendala,
sehingga
pelaksanaannya dianggap belum maksimal. Beberapa kendala tersebut, bukan hanya dalam tataran hukum saja, tetapi setiap bidang penegakan hukum mengalaminya. Dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor:
25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009, terutama dalam Rencana
Aksi (RAN) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2010, disebutkan bahwa kendala penegakan hukum meliputi: 1. Belum maksimalnya pengembangan norma hukum dan penegakan hukum, terutama: a. Belum maksimalnya kerja sama aparat penegak hukum dan masih adanya perbedaan persepsi
4
dalam mengimplementasikan Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). b. Belum dipahaminya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang oleh aparat maupun masyarakat. c. Terbatasnya bantuan hukum dan pendampingan bagi korban. 2. Belum optimalnya pencegahan segala bentuk perdagangan orang, terutama: a. Kurangnya komunikasi, informasi, dan edukasi tentang perdagangan orang kepada kepentingan maupun masyarakat. b. Terbatasnya aksesibilitas terhadap pendidikan jalur sekolah maupun luar sekolah bagi kelompok rentan, terutama perempuan putus sekolah. 3. Sistem administrasi kependudukan dan keimigrasian belum memadai, sehingga menyebabkan terjadinya penyalahgunaan identitas diri seperti Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akta Kelahiran, dan Paspor, terutama: a. Belum tersedianya system pendataan dan informasi tentang perdagangan orang. b. Terbatasnya program pembangunan di daerah perbatasan dan masih kurangnya system pengawasan di daerah perbatasan, antar pulau, maupun antar daerah. 4. Belum optimalnya pelayanan rehabilitasi dan reintegrasi social terhadap korban perdagangan orang, terutama: a. Terbatasnya anggaran untuk penyelenggaraan rehabilitasi dan reintegrasi social. b. Terbatasnya sarana dan prasarana layanan bagi korban. c. Terbatasnya kuantitas dan kualitas petugas dalam menangani pelayanan kesehatan, trauma, konseling, serta pendampingan hukum bagi korban. 5. Belum optimalnya kerja sama dan koordinasi, terutama: a. Masih terdapat perbedaan persepsi dalam penanganan korban antara negara tujuan dengan negara sumber. Negara tujuan menganggap korban
sebagai illegal migrant, sedangkan negara asal melihatnya sebagai korban. b. Belum semua daerah provinsi, dan kabupaten/kota mempunyai gugus tugas dan rencana aksi daerah. c. Kerjasama dan Koordinasi antar sector dan provinsi, kabupaten/kota dalam pencegahan dan penanganan perdagangan orang belum memadai. 6. Terbatasnya dukungan anggaran untuk upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang, baik di tingkat nasional (sektor) maupun daerah. Seperti diketahui akar permasalahan perdagangan orang yang terutama adalah kemiskinan/ekonomi, dan rendahnya tingkat pendidikan. Upaya penegakan hukum harus sejalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan/ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan masyarakat (formal dan informal), dan peningkatan serta perluasan kesempatan kerja dan lapangan kerja. Selain itu salah satu sumber penyebab dari perdagangan orang adalah adanya diskriminasi gender; praktik budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia, pernikahan dini, kawin siri, konflik dan bencana alam, putus sekolah, pengaruh globalisasi, sistem hukum dan penegakkan hukum yang lemah, keluarga yang tidak harmonis, rendahnya nilai-nilai moral agama, dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu karena ada faktor eksternal yang secara terorganisir dan sistemik memaksa korban menuruti kehendaknya. Mereka ini adalah para pengusaha hiburan, cukong, lelaki hidung belang, penganut seks bebas, manusia berkelainan jiwa, perubahan manusia modern, dan sebagainya.5
2.1.2 Kebijakan Hukum dalam Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Dapat dikategorikan pengaturan bahwa beberapa peraturan perundangundangan dari masing-masing deklarasi yang diluar, mempunyai pandangan dan tujuan yang berbeda. Hal ini dikarenakan latar belakang kondisi dari negara5
Henry Nuraency, 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidanadan Pencegahannya), Sinar Grafika.
negara yang melahirkan deklarasi tersebut berbeda-beda, seperti di Inggris, Amerika, dan Prancis terdapat perbedaan filosofis dan nilai-nilai. Perkembangan hukum HAM. Di Inggris diawali dari pemberontakan terhadap kesewenangan dan kekuasaan raja yang berkuasa, sedangkan di Amerika menekankan pada kebebasan individu. Di Prancis lebih menitik beratkan pada egalitarianisme, persamaan kedudukan dihadapan hukum, (equality before the law). Sejalan dengan prinsip dasar tentang hak asasi manusia tersebut, Indonesia kemudian mengatur mengenai hukum HAM dalam berbagai peraturan, dan juga meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang hukum HAM. Menurut Mardjono Reksodiputro, cara pelaksanaan pengaturan hukum HAM dalam peraturan hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Menjadikan HAM sebagai bagian dari hukum Indonesia; 2. Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM; 3. Terdapat pengadilan yang bebas (an independent judiciary); 4. Adanya profesi hukum yang bebas (an independent legal profession).6 Hal yang terpenting dari pengaturan perdagangan orang ini adalah proses hukum yang menekankan perlindungan kepada korban dan saksi sebagai akibat dari adanya pedagangan orang, di samping menghukum pelaku/trafficker. Selain itu penjegahan dan penaganan perdagangan orang adalah kewajiban seluruh masyarakat dan pemerintah, sebagai upaya penegakan hukum yang komprehensif dan integral. Upaya penegakan hukum HAM. Menurut Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, di atur dalam BAB IX mengenai “Pengadilan Hak Asasi Manusia”, yang diatur dalam Pasal 104 yang berbunyi: (1) Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undangundang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
6
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia h. 7
(3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dalam ayat (1) diadili pengadilan yang berwenang.7 Pengaturan hak dasar manusia secara garis besar diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: 1. Hak untuk hidup; 2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; 3. Hak mengembangkan diri; 4. Hak memperoleh keadilan; 5. Hak atas kebebasan pribadi; 6. Hak atas rasa aman; 7. Hak atas kesejahteraan; 8. Hak turut serta dalam pemerintahan; 9. Hak wanita; 10. Hak. Anak. Sedangkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi: “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjungjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati,
dan
ditegakkan
demi
meningkatkan
martabat
kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”.8 Adapun yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 meliputi: a. Kejahatan genosida; b. Kejahatan terhadap kemanusiaan. 7
Berdasarkan Penjelasan Pasal 104 Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999, yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia berat adalah pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan Pengdilan dalam (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang di lakukan secara sistematis (systematic desrimination). Sedangkan yang dimaksud “Pengadilan yang berwenang” adalah mengacu pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku dewasa ini yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sedangkan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyatakan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan; g. Perkosaan, perbudakan
seksual, pelacuran
secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan secara seksual lain yang setara; Berdasarkan Undang-Undang Nomor Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang hanya tiga (3) pasal, yaitu Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 40. Pasal 37 berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, dan e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh limatahun) dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun”. Dari Pasal 37 ini yang berhubungan dengan perdagangan orang adalah Pasal 9 huruf d dan huruf e. Pasal 9 huruf d mengatur tentang „pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa‟, dan huruf e mengatur tentang „perampasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional‟. Sedangkan pengaturan tentang perbudakan diatur dalam Pasal 38 berbunyi : “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) dan paling singkat 5 (lima) tahun”.
Kemudian Pasal 40 berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau I pidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun”. Ketiga (3) Pasal tersebut dapat diinterprestasikan sebagai modus-modus yang dilakukan dalam tindak pidana perdagangan orang.9.
1.2
Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan
Orang
yang merupakan upaya pemerintah
dalam
memberikan perlindungan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap calon korban dan/atau korban, juga berhubungan dengan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan terhadap Saksi dan Korban. Oleh karena itu, untuk melakukan pencegahandan penegakan hukum yang tujuanya untuk melindungi HAM dapat dilakukan dengan diawali dari mengidentifikasikan penyebab terjadinya TPPO. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 merupakan suatu langkah positif dalam upaya perlindungan saksi dan korban, yang selama ini masih di atur secara sektoral. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini merupakan suatu kemajuan terhadap perlindungan korban, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yaitu „melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia‟. Amanat dan semangat Pembukaan UUD 1945 untuk melindungi saksi dan korban, terlihat dari bagian Konsideran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yaitu: a. Bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sender terjadinya suatu tindak pidana dalam rangka menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana. 9
Pasal 9 undang-undang nomer 26 tahun 2006 yang berhubungan dengan tindak pidana perdagangan orang adalah perbudakan; perampasan kemerdekaan/perampasan kebebasan fisik; penyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan secara seksual lain yang setara
b. Bahwa penegak hukum dalam menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan, karena tidak dapat menghadirkan saksi dan /atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan saksi dan/atau korban yang sangat penting keberadanya dalam proses peradilan pidana. d. Bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 „Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri‟. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang di akibatkan oleh suatu tindak pidana‟. Perlindungan saksi dan korban seharusnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia yaitu dalam pasal 50 sampai mpasal 68, Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan terhadap saksi dan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dengan undang-undang.10 Pengaturan perlindungan saksi dan/atau korban yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 di berikan kepada setiap saksi dan korban dalam semua tindak pidana tanpa kecuali, dan ini sudah sesuai dengan Deklarasi PBB mengenai Basic Princilpes of Jistice Victims of Power, yaitu bahwa korban adalah seseorang baik secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk fisik atau mental, emosional, kerugiaan secara ekonomis atau pelemahan (impairment) substansial terhadap hak-hak mendasar lainya, baik dengan melakukan perbuatan maupun tidak melakukan perbuatan yang merupakan 10
Penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
pelanggaran terhadap hukum pidana nasional atau norma-norma yang diakui secara internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia11 Hukum, sudah selayaknya menuntut pembelasan terhadap perlakuan pelaku kejahatan dan mendapatkan ganti rugi baik material maupun immaterial. Dengan demikan orientasi hukum pidana yang semula pada perbuatan (crime) dengan sasaran prevention of crime, dan orang (offender) dengan sasaran prevention of crime, dan orang orang (offender) dengan sasaran treatment of offender, bergeser orientasinya kepada korban (victims) dengan sasran treatmen of victims, sehingga orientasi hukum pidana atau merubah paradigm atau merubah paradhigman dari „memanjakan‟ pelaku disbanding korban. Perubahan paradigm dalam perlindungan ini, menurut Barda Na-wawi Arief berhubungan dengan konsep pemidanaan, yaitu harus ada keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan perlindungan terhadap individu, sehingga melahirkan konsep pemidanaan yang di dasrkan pada daad dader strafrech. Dengan demikian konsep perlindungan terhadap individu tidak hanya ditujukan pada offenders oriented, melainkan pada victims oriented. Apabila hal ini dijalankan, maka pihak korban tidak akan termarginalkan dalam hukum pidana, melainkan terdapat keseimbangan dan kesetaraan.12 Terhadap TPPO yang menggunakan modus penjeratan hutang, korban kebanyakan pekerja migran, baik pekerja domestic (dalam negeri/luar negeri yang dikenal dengan Tenaga Kerja Indonesia/TKI), yang bekerja di rumah tangga/Pembantu Rumah Tanggga (PRT), dan Pekerja Seks Komersial (PSK).
11
Arief Amrullah, 2009, Politik Hukum Pidana Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, dalam Satya Arinanto dan NinukTriyani (Ed), Memahami Hukum dari Kontruksi sampai implementasi, Raja Grapindo Persada, Jakrta, h. 128. 12 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.98.