BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN, KORBAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAJAR
2.1 Tindak Pidana Perkosaan Sebagai Kejahatan Kekerasan Seksual Pandangan masyarakat yang pada umumnya bahwa kejahatan seksual itu bermacam-macam , seperti perzinahan, homoseksual, samen leven (kumpul kebo), lesbian, prostitusi (pelacuran), pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan).38 Dari kejahatan-kejaahatan seksual tersebut tidak semua dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Contohnya kejahatan seksual yang dilakukan dengan suka sama suka atau melalui transaksi (imbalan uang atau barang karena melayani kebutuhan seksual seseorang berdasarkan perjanjian), Maka dari itu perlu ditinjau istilah kejahatan kekerasan seksual itu sendiri. 2.1.1 Pengertian Kejahatan Dari waktu ke waktu kejahatan merupakan problematika yang dialami oleh manusia. Mengapa kejahatan terjadi dan bagaimana cara memberantasnya, merupakan persoalan yang sulit dan selalu menjadi perdebatan. Problematika tersebut menunjukan bahwa kejahatan itu tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan kehidupan manusia dan keberadaan dari kejahatan itu merupakan
38
Abdul Wahid & Muhammad Irfan, Op.Cit., hal.25.
24
25
gambaran lain dari eksistensi kehidupan manusia itu sendiri. Masyarakat merupakan faktor yang menentukan apakah suatu perbuatan merupakan keahatan atau bukan sesuai dengan norma-norma yang hidup dan dianut oleh masyarakat tersebut. Frank Tannembaun menyatakan, "crime is eternal as eternal as societyā€¯ , artinya dimana ada manusia disana pasti ada kejahatan.39 Dilihat dari pendapat tersebut bahwa kejahatan terjadi dan berkembang dalam lingkungan manusia . Keberadaan dari kejahatan menjadi proyeksi dari kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Hari Saherodji, kejahatan diartikan sebagai berikut: 1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu. 2. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. 3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/ suatu perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara.40 W.A.Bonger memberikan definisi mengenai kejahatan dimana merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapatkan reaksi dari negara berupa pemberian derita dan kemudian, sebagai reaksi-reaksi terhadap perumusan hukum (legal
defenition)
mengenai
kejahatan.41
Sedangkan
Herman
Mainheim
berpendapat bahwa perumusan tentang kejahatan adalah perilaku yang dapat dipidana; kejahatan merupakan istilah teknis, apabila terbukti.42
39
Ibid,hal.26. Ibid,hal.28. 41 Yesmil Anwar dan Adang, 2013, Kriminologi, Cet.2, Refika Aditama, Bandung, hal.178. 42 Ibid, hal.179. 40
26
Sutherland memberikan pendapat lain bahwa kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merugikan, terhadapnya negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya untuk mencegah dan memberantasnya,43 Sutherland menekankan pula bahwa ciri pokok dari kejahatan sebagai "perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas".44 Hasskel dan Yablonsky berpendapat pula bahwa yang dinamakan dengan kejahatan adalah, yang tercatat dalam statistik, tak ada kesepakatan tentang perilaku anti sosial; sifat kejahatan dalam hukum pidana; hukum yang menyediakan perlindungan bagi seorang dari stigmatisasi yang tidak adil.45 2.1.2. Pengertian Kekerasan Seksual Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) mendefinisikan kekerasan sebagai perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan.46 Menurut Pendapat Mansour Fakih, bahwa "Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang".47 Sedangkah Nunuk Muniarti memberikan pengertian kekerasan adalah perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antar manusia, baik
43
Ibid Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa,2009, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta, hal.14. 45 Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit., hal.180 46 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op,Cit.,hal.30. 47 Mansour Fakih, 2003, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.17. 44
27
individu maupun kelompok, yang dirasa oleh satu pihak sebagai suatu situasi yang membebani, membuat berat, tidak menyenangkan, tidak bebas.48 Kekerasan yang sedemikian rupa sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan, baik fisik ataupun psikis, adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum , oleh karena itu merupakan kejahatan.49 Istilah criminally violence dan criminal violence atau ada yahg menyebut dengan istilah crime of violence, sesungguhnya hanya merujuk pada
kejahatan-kejahatan
tertentu
saja
seperti
pembunuhan,
perkosaan,
penganiayaan berat, perampokan bersenjata, dan penculikan. Kejahatan-kejahatan kekerasan di atas digolongkan sebagai kejahatan kekerasan individual.50 Perkosaan merupakan kategori kekerasan yang berkaitan dengan seksualitas dan kesusilaan. Abdul Wahid dan Muhammad Irfan mendefinisikan kekerasan seksual sebagai praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, diluar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran Islam.51 Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekuatan fisik yang lebih, dan kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya. kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan korban sehingga merusak kedamaian di dalam masyarakat. Kekerasan seksual yang
48
A. Nunuk. P. Murniati, 2004, Getar Gender, Indonesiatera, Magelang, hal.238. Romli Atmasasmita, 2013, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Ed.2.Cet.4, Refika Aditama, Bandung, hal.65. 50 Ibid, hal.67. 51 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.Cit., hal.32. 49
28
terjadi menimbulkan penderitaan bagi korbannya yang menjadi akibat serius sehingga membutuhkan perhatian. PAF Lamintang dan Djisman Samosir berpendapat perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya. Pendapat tersebut mengandung beberapa unsur yaitu, 1) ada perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan; 2) memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan; 3) persetubuhan yang dilakukan harus diluar ikatan perkawinan.
Demikian
juga
dengan
pendapat
Wirdjono
Prodjodikoro
mengungkapkan perkosaan adalah seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan isterinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.52 Dapat di simpulkan bahwa tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang menggunakan kekerasan dimana memaksa korban untuk melakukan persetubuhan(seksual) di luar ikatan perkawinan. Unsur keterpaksaan biasanya didahului oleh perlawanan sebagai wujud penolakan atau ketidaksetujuan dari perempuan yang menjadi korban. Selain unsur keterpaksaan, Unsur-Unsur dengan kekerasan atau ancaman juga memenuhi unsur-unsur yang ada di dalam Pasal 285 KUHP.
52
Ibid, hal.41-42.
29
2.2. Tindak Pidana Perkosaan Perkosaan dan Jenis-Jenis Perkosaan 2.2.1 Pengertian Tindak Pidana Perkosaan Terkait dengan tindak pidana Moeljatno memberikan definisi dimana Strafbaar feit atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut".53 Pemikiran Moeljatno tersebut memiliki inti yang serupa dengan pendapat Van Hamel yang dimana Straafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan di dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan".54 Dilihat dari pengertian tersebut dapat ditarik unsur-unsur dari tindak pidana menurut Moeljatno yaitu: a. perbuatan dalam hal perbuatan ini, hanya perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dapat dipisahkan dengan orangnya. b. yang dilarang (oleh aturan hukum) c. ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian dari diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.55 Perkosaan termasuk sebagai tindak pidana, karena perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana, baik unsur formil maupun unsur materiil. Perkosaan dianggap oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut 53
Tolib Setiady, Loc.cit. Ibid 55 Adami Chazawi, 2013, Pelajaran Hukum Pidana I, Ed.1,Cet.7, Rajawali Pers, Jakarta, hal.79. 54
30
untuk dilakukan karena merampas hak asasi seseorang dan menimbulkan trauma kepada korbannya, selain itu perbuatan perkosaan dilarang oleh hukum sebagaimana diatur di dalam (KUHP). Dalam KUHP tindak pidana perkosaan diatur dalam Bab XIV dengan judul Kejahatan terhadap kesusilaan yaitu dalam Pasal 285 yang menyatakan Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Dari pasal tersebut untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana perkosaan antara lain: 1. Bahwa korban perkosaan merupakan seorang wanita 2. Persetubuhan yang dilakukan harus diluar perkawinan. 3. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal tersebut menggambarkan bahwa tidak adanya persetujuan dari pihak korban mengenai tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Black's Law Dictionary, merumuskan perkosaan atau rape sebagai berikut: "...unlawfull sexual intercouse with a female without her consent, The unlawfull camal knowledge of a woman by a man forcibly and against her will. The act of sexual intercouse commited by a man with a woman not his wife and without her consent, committed when the woman's resistance is overcome by force of fear, of under prohibitive conditions...".56 (...hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorang perempuan tanpa persetujuannya. Persetubuhan secara melawan hukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-laki dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya. 56
Topo Santoso, 1997, Seksualitas Dan Hukum Pidana, IND.HILL-CO,Jakarta, hal.17.
31
Tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika perlawanan perempuan tersebut diatasi dengan kekuatan dan ketakutan, atau dibawah keadaan penghalang...)
Menurut KBBI yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, pengertian perkosaan diuraikan menjadi, Perkosa yang memiliki arti gagah atau paksa sedangkan kekerasan memiliki arti perkasa. Memperkosa merupakan menundukan dan sebagainya dengan kekerasan serta melanggar (menyerang dsb) dengan kekerasan. Sedangkan Perkosaan merupakan perbuatan memperkosa, penggagahan atau paksaan disertai dengan pelanggaran dengan kekerasan.57
Nursyahbani Kantjsungkana berpendapat bahwa perkosaan merupakan salah satu jenis kekerasan terhadap perempuan yang menjadi contoh kerentanan posisi perempuan terhadap kepentingan laki-laki.58 Menurut Z.G. Allen dan Charles F. Hemphill, yang dimaksud dengan perkosaan adalah an act of sexual intercouse with a female resist and her resistence is overcome by force.59 yang artinya perkosaan adalah suatu persetubuhan dengan perlawanan dari perempuan dan perlawanannya diatasi dengan kekuatan. Sedangkan menurut Steven Box pengertian perkosaan adalah rape constitute a particular act of sexual access, namely the penis penetratting the vagina without consent of the female concerned.60 yang artinya perkosaan merupakan sebuah fakta dari hubungan seksual, yaitu penis penetrasi ke dalam vagina tanpa persetujuan dari perempuan. Wirdjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkosaan adalah seseorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh
57
W.J.S. Poerwodarminta, Op.Cit., hlm.74. Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op Cit, hal. 65 59 Ibid, hal.65. 60 Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.71. 58
32
dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu".61 Sedangkan menurut Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan perkosaan sebagai suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar".62 2.2.2 Jenis-Jenis Perkosaan Jenis-Jenis perkosaan menurut Mulyana W. Kusuma, menyebutkan sebagai berikut: 1. Sadistic Rape; Perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. 2. Angea Rape; Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan, dan kekecewaan hidupnya. 3. Dononation Rape; Yakni suatu perkosaan yang terjadi karena pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual. 4. Seduktive Rape; Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. 61
Wirdjono Prodjodikoro,1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco,
Bandung, hal. 117 62
Suparman Marzuki,1997,Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia,Yogyakarta, hal.25.
33
Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena itu tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks. 5. Victim Precipittattied Rape; Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya. 6. Exploitation Rape Perkosaan yang menunjukan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.63
Adapun Karakteristik umum dari tindak pidana perkosaan yaitu: 1. Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan; 2. Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksual semata-mata; 3. Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu; 4. Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk yaitu: anger rape, power rape, dan sadistic rape. Dan ini direduksi dari anger and violation, control and domination, erotis; 5. Ciri pelaku perkosaan : mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional. 6. Korban perkosaan adalah partisipatiif. 7. Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.64
63 64
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.Cit., hal. 47. Ibid, hal. 48.
34
2.3 Pengertian Pelajar dan Jenis Korban Perkosaan 2.3.1. Pengertian Pelajar Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud sebagai pelajar atau peserta didik
adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik atau pelajar adalah: 1. Orang yang mempunyai pilihan untuk menempuh ilmu sesuai dengan citacita dan harapan masa depan. 2. Suatu komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. 3. Anak yang sedang tumbuh dan berubah, kebutuhannya pada hari ini belum tentu sama dengan kebutuhannya kemarin. 4. Individu yang memiliki kepribadian, tujuan, cita-cita hidup, dan potensi diri, oleh karena itu ia tak dapat diperlakukan semena-mena. 5. Orang yang mempunyai pilihan untuk menempuh ilmu sesuai dengan citacita dan harapan masa depan. 6. Sosok manusia sebagai individu/pribadi (manusia seutuhnya). Individu diartikan "orang seorang tidak bergantung dari orang lain, dalam arti benar-benar seorang pribadi yang menentukan diri sendiri dan tidak dipaksa dari luar , mempunyai sifat-sifat dan keinginan sendiri. Jadi, peserta didik atau pelajar adalah orang/individu yang mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan agar tumbuh dan berkembang dengan baik serta mempunyai kepuasan dalam menerima pelajaran yang diberikan oleh gurunya.65 Peserta didik atau pelajar juga berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya.66
65 66
Eka Prihatin, 2011, Manajemen Peserta Didik, Alfabeta, Bandung, hal.3. Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 2012, Pengantar Pendidikan, Rineka cipta, Jakarta, hal.52.
35
2.3.2. Pengertian Korban Perkosaan Viktimologi, berasal dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan), bahasa latin victima (korban) dan logos (ilmu pengetahuan). Dapat diartikan bahwa viktimologi memiliki arti ilmu pengetahuan tentang korban (kejahatan). Kamus Crime Dictionary secara garis besar memberikan definisi victim yaitu seseorang yang mendapatkan penderitaan baik fisik, penderitaan mental, kerugian harta benda atau menimbulkan kematian atas perbuatan atau usaha dari pelanggaran ringan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana .67 Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta, maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan korban dan/atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya kejahatan.68 Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban , korban di definisikan sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Dari rumusan tersebut, unsur-unsur dari korban adalah:
67
Bambang Waluyo, 2014, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika, Jakarta,
hal.9. 68
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit., hal.34.
36
1. Setiap orang; 2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau; 3. Kerugian ekonomi 4. Akibat tindak pidana. Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi-Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan pihak mana pun. Pengertian Korban menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Menurut I.S. Susanto korban dibagi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Korban dalam arti sempit adalah korban kejahatan, sedangkan dalam arti luas meliputi pula korban dalam berbagai bidang seperti korban pencemaran, korban kesewenang-wenangan dan lain sebagainya.69 Menurut Boy Mardjono Reksodiputro, ada 4 (empat) pengertian korban yaitu: 1. Korban kejahatan konvensional seperti pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, pencurian.
69
I.S. Susanto, 1995, Kriminologi, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, hal.89.
37
2. Korban kejahatan non konvensional seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisasi dan kejahatan melalui computer. 3. Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan lingkungan, penyelewengan di bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional, pelanggaran peraturan devisa, pelanggaran peraturan pajak dan lain sebagainya. 4. Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuses of public power) seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa, termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan lain sebagainya.70
Arif Gosita merumuskan korban perkosaan sebagai seseorang wanita yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan. Dari rumusan diatas ditarik beberapa pengertian sebagai berikut: 1. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek) sedangkan ada juga laki-laki yang diperkosa oleh wanita. 2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku. 3. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu.71 2.3.2. Jenis-Jenis Korban Perkosaan Korban kejahatan pada tahap perkembangannya, bukan saja orang perorangan, tetapi bisa meluas menjadi persepsi tidak hanya banyaknya jumlah 70 71
J.E. Sahetapi, 1987, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,hal. 95.
Arif Gosita,1987, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban
Perkosaan (Beberapa Catatan), IND.HILL-CO, Jakarta, hal.12.(selanjutnya disebut Arif Gosita 2)
38
korban (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa dan negara. Mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan negara seperti yang dijabarkan lebih luas oleh Abdusasalam sebagai berikut: 1. Korban Perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil. 2. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam. 3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang di dalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab. 4. Korban masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif tifak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hal politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.72 Ditinjau dari pengertian korban kejahatan yang terdapat pada angka 1 "Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuuse of power" pada tanggal 6 September 1985, dapat diuraikan bahwa korban kejahatan: 1. Ditinjau dari sifatnya, ada yang individual dan ada yang kolektif. Korban individual karena dapat diidentifikasi sehingga perlindungan korban dilakukan secara nyata, sedangkan korban kolektif adalah korban yang sulit diidentifikasi.
72
Bambang Waluyo, Op.Cit., hal.11.
39
2. Ditinjau dari jenisnya, korban kejahatan ada yang bersifat langsung yaitu korban kejahatan itu sendiri dan tidak langsung (korban semu/abstrak) yaitu masyarakat. Steven Schafer, dalam kaitannya dengan peranan korban mengemukakan beberapa tipe korban yang dikaitkan dengan pertanggungjawaban, yaitu: 1. "unrelated victims", adalah mereka yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan si penjahat kecuali si penjahat yang telah melakukan kejahatan terhadapnya. Pada tipe ini tanggung jawab terletak penuh di tangan penjahat. 2. "provocative victims", adalah mereka yang melakukan sesuatu terhadap pelaku dan konsekuensinya mereka menjadi korban. Korban dalam hal ini merupakan pelaku utama. Pada tipe ini tanggung jawab terletak pada dua belah pihak yaitu korban dan pelaku. 3. "precipitative victims", merupakan perilaku korban yang tanpa disadari mendorong pelaku untuk berbuat jahat. Pada tipe ini tanggung jawab terletak pada pelaku. 4. "biologically weak victims", adalah mereka yang mempunyai bentuk fisik dan mental tertentu yang mendorong orang melakukan kejahatan terhadapnya.Sebagai contoh anak kecil, orang berusia lanjut, perempuan, orang yang cacat fisik dan mental. Pada tipe ini yang bertanggung jawab adalah masyarakat dan pemerintah, karena tidak mampu melindungi korban yang tidak berdaya. 5. "socially weak victims", adalah mereka yang tidak diperhatikan oleh masyarakat sebagai anggota, misalnya kaum imigran dan kelompok minoritas. Pada tipe ini pertanggung jawaban terletak pada penjahat dan masyarakat. 6. "self-victimizing victims", adalah mereka yang menjadi korban karena perbuatannya sendiri, seperi kecanduan narkotika, homo seksual, dan perjudian. Pada tipe ini tanggung jawab terletak penuh pada pelaku yang juga menjadi korban.
40
7. "political victims", adalah mereka yang menderita karena lawan politiknya, Pada tipe ini tidak ada yang dapat dipertanggung jawabkan.73 Sedangkan menurut pendapat Ezzat Abdel Fattah mengemukakan tipologi korban sebagai berikut: 1. Non-participating victims ( korban non partisipatif) ialah mereka yang mempunyai sikap menolak atau anti terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan, dan mereka yang tidak berperan serta dalam hal timbulnya kejahatan yang ditujukan terhadap mereka. 2. Latent or predisposed victims (korban yang bersifat laten) ialah mereka yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang cenderung menempatkan diri mereka sebagai pihak korban dari suatu bentuk kejahatan tertentu. 3. Provoactive victims (korban provoaktif) ialah mereka yang bersikap mempercepat atau merangsang timbulnya kejahatan, dimaksudkan disini bahwa sikap dan perilaku korban cenderung menimbulkan rangsangan bagi pihak pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan terhadap mereka. 4. Participating victims (korban partisipatif) adalah korban yang karena sikap pasifnya cenderung menjadikan diri mereka mudah menjadi korban kejahatan. 5. False victims (korban karena kekeliruan) ialah mereka yang memang bukan dari bentuk kejahatan apa pun, tetapi mereka merasa atau menganggap dirinya sebagai korban.74 Bila dilihat dari kedua tipe korban yang dikemukakan diatas, korban tindak pidana perkosaan khususnya pelajar dapat digolongkan kedalam tipe korban Provoactive Victims karena korban secara tidak sadar juga turut serta memprovokasi pelaku untuk melakukan perkosaan
sebagai contohnya,
banyaknya korban tindak pidana perkosaan menggunakan pakaian yang 73 74
Made Darma Weda, Op.Cit., hal.75. Ibid, hal.37.
41
memperlihatkan aurat sehingga perilaku berpakaian korban tersebut menimbulkan rangsangan dan memprovokasi bagi pihak pelaku. Mendelsohn mengemukakan keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan dapat dibedakan menjadi enak kategori berdasarkan derajat kesalahannya, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Korban sama sekali tidak bersalah. Seseorang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri. Korban sama salahnya dengan pelaku. Korban lebih bersalah daripada pelakunya. Korban adalah satu-satunya yang bersalah. Korban pura-pura dan korban imajinasi.75
Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut: 1. Korban Murni, terdiri atas: a) Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan. b) Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan. 2. Korban Ganda Adalah korban perkosaan yang selain mengalami penderitaan selama diperkosa juga mengalami berbagai penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya: mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan Pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain. 3. Korban Semu Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku. Ia berlagak diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu dari pihak pelaku. a) Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri;
75
C. Maya Indah S, 2014, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Prenadamedia Group, Jakarta, hal.35.
42
b) Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena disuruh, dipaksa untuk berbuat demikian demi kepentingan yang menyutuh. Dalam pengertian tertentu, pelaku menjadi korban tindakan jahat lain.76
2.4 Perlindungan Hukum dan Korban 2.4.1 Pengertian Perlindungan Hukum Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila, dengan adanya negara hukum yang berlandaskan Pancasila menurut Philipus M.Hadjon maka akan terbentuk perlindungan HAM bagi setiap warga negara yang mana pengakuannya berkaitan dengan perlindungan dalam hukum sebagai suatu pelaksanaan HAM yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak diskriminatif.77 Perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan oleh undangundang kepada subyek hukum mengenai hak dan kewajiban termasuk perlindungan fisik maupun mental yang bersifat preventif maupun bersifat represif. Menurut Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.78 Sedangkan Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan
76
Arif Gosita 2, 1987, Loc.Cit. Philipus M.Hadjon, 1965, Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, Bharata, Jakarta, hal.65. (Selanjutnya disebut Philipus M.Hadjon 1) 78 Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra,1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rasdakarya, Bandung, hal.118. 77
43
belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.79 Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat reprentif.80 Sedangkan Satjipto Raharjo berpendapat bahwa Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap HAM, yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.81
2.3.3 Pengertian Perlindungan Korban Dalam pengaturan Hukum positif di Indonesia, korban merupakan pihak yang paling dirugikan. Kerugian yang diderita korban dapat berupa kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik, maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita baik di dalam proses peradilan maupun dalam proses pemeriksaan, misalnya harus kembali mengingat dan mengemukakan bahkan mengulangi kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, tanpa disadari korban diperlakukan sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum.82 Apabila dikaji dari perspektif
79 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hal.55. 80 Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya,hal.2. (Selanjutnya disebut Philipus M.Hadjon 2) 81 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53. 82 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit., hal.79.
44
normatif, korban kejahatan memerlukan perlindungan dalam ranah ketentuan hukum. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa pengertian perlindungan korban tindak pidana dapat dilihat dari dua makna, yaitu: a. dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang); b. dapat dipastikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.83 Perlindungan hukum bagi korban yaitu dari merumuskan definisi tindak pidana yang dianggap sebagai kejahatan sampai dengan upaya hukum bagi korban dan saksi dari kejahatan tersebut. Dalam hal ini tidak hanya pengaturan mengenai pemberian sanksi hukum pidana kepada pelaku (hukum materiil) melainkan juga mengatur mengenai proses tuntutan hukumnya (hukum formil/acara) serta kompensasi, pemulihan serta pengamanan dari korban tersebut.84 Menurut Pasal 1 Angka 8 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/ atau Korban
83
Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.61. (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief 1) 84 Achie Sudiarti Luhulima, 2000, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, P.T.Alumni, Jakarta, hal.103.
45
yang wajib dilaksanakan oleh LPSK ( Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau Lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini".
Pengertian Perlindungan Korban dapat dilihat dari 2 (dua) makna: 1. Diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) atau kepentingan hukum seseorang) 2. Diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang menjadi korban (identik dengan penyantunan korban). bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik/rehabilitasi, pemulihan keseimbangan batin antara lain dengan pemaafan, pemberian ganti rugi seperti restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial dan sebagainya.85 Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa tujuan dari adanya perlindungan korban yaitu agar memberikan rasa aman kepada para koran, khususnya pada saat korban memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Apabila dilihat dari pendekatan kriminologi, Mardjono Reksodiputro merumuskan beberapa argumentasi dan justifikasi mengapa korban kejahatan memerlukan beberapa perlindungan dan perhatian yaitu: 1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberi perhatian kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan (offender-centered); 2. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran kita atas statistik kriminal
85
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan,Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.56. (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief 2)
46
(terutama statistik yang berasal dari kepolisian); ini dilakukan melalui survai tentang korban kejahatan (victim surveys); 3. Makin disadari bahwa di samping korban kejahatan konvensional (kejahatan-jalanan; street crime) tidak kurang pentingnya untuk memberi perhatian kepada korban kejahatan non-konvensional (kejahatan korporasi dan kejahatan kerah putih) maupun korban dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of economic power and/or public power).86 Menurut Arif Gosita bahwa jika hendak memberikan perlindungan kepada korban maka perlu diperhatikan hak-hak korban yang berhubungan dengan suatu perkara yaitu: a. Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan/partisipasi/peranan si korban dalam terjadinya kejahatan, dengan linkuensi dan penyimpangan tersebut. b. Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak melakukannya). c. Berhak mendapat kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban meninggal dunia karena tindakan tersebut. d. Berhak mendapatpembinaan dan rehabilitasi. e. Berhak mendapat kembali hak miliknya. f. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi. g. Berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum. h. Berhak mempergunakan upaya hukum (recht middelen).87
86 87
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.250. Ibid, hal.261.