28
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN PERKOSAAN DAN PERBUATAN ABORTUS PROVOCATUS 2.1.Perlindungan terhadap Korban Perkosaan 2.1.1. Pengertian Korban Perkosaan Korban mempunyai peranan fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan karena pada dasarnya akibat dari timbulnya suatu kejahatan tidak lepas dari peran korban. Sehingga korban dalam hal ini patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dan harus diperhatikan. Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum.1 Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimeand Abuses of Power mendefinisikan korban sebagai berikut: Victims” means persons who, individually, or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or ommisions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power. 2 (Terjemahan bebas penulis : Korban kejahatan diartikan sebagai orang yang secara perseorangan atau bersama-sama, menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomis atau pelemahan substansial dari hak-hak dasar mereka,melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan pelanggaran terhadap hukum
1
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, op.cit., h. 45.
2
Arif Gosita I, op.cit. h. 76.
28
29
yang berlaku di Negara-negara anggota termasuk hukum-hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat pidana). Menurut Arief Gosita yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan dan hak asasi yang menderita.3 Berbeda dengan Cohen yang dikutip Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris memberikan definisi korban, yaitu: ”victim is pain and suffering have been neglected by state, while it spends immense resources to hunt down punish the offender who is responsible for that pain and suffering”. 4 Terjemahan bebas : (Korban adalah rasa sakit dan penderitaan yang telah diabaikan oleh negara, sementara itu menghabiskan sumber daya besar untuk menghukum pelaku yang bertanggungjawab terhadap rasa sakit dan penderitaan tersebut). Mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, pengertian korban menurut Arief Gosita menunjukkan kata “mereka” yang artinya korban bukan hanya individu tetapi juga kelompok baik swasta maupun pemerintah, sedangkan menurut Cohen menegaskan bahwa korban adalah benar-benar orang yang tidak bersalah (innocent victim). Berbagai pengertian tentang korban kejahatan tersebut di atas pada prinsipnya yang merupakan korban adalah orang atau kelompok orang yang
3
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Arif Gosita II), h. 41. 4
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultoms, op.cit., h. 46.
30
dirugikan haknya karena ada tindak pidana, adapun kerugian yang diderita dapat berupa fisik, psikologis, financial ataupun kerugian dalam bentuk haknya dikurangi. Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah –milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, sebagai berikut: 1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan. 2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban. 3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan. 4. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban. 5. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.5 Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang yang diidenfikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut: 1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku. 2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menajdi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku. 3. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuata akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. 4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. 5. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
5
Dikdik M. Arief mansur & Elisatris Gultom, op.cit., h. 49.
31
6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, dan prostitusi.6
Selanjutnya Sellin dan Wolfgang menyusun tipologi berdasarkan siapa yang menjadi korban dalam suatu kejahatan, yaitu : 1. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan (bukan kelompok). 2. Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum. 3. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas. 4. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.7 Selain penggolongan tersebut di atas masih banyak lagi tipologi korban yang berkembang, tetapi sebagian besar latar belakang yang melandasi penggolongan tersebut adalah tidak saja melihat korban sebagai pihak yang ikut berperan dalam suatu kejahatan, namun juga melihat peran negara dalam terjadinya korban kejahatan. Selain jenis-jenis korban menurut parah ahli, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diatur dalam Pasal 6 secara singkat mengenal jenis-jenis korban yaitu jenis korban pelanggaran HAM berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat. Berdasarkan beberapa definisi tentang korban dan jenis-jenis korban, baik menurut para ahli dan peraturan undang-undang, penulis dalam hal ini menitik
6
Dikdik M. Arief mansur & Elisatris Gultom , loc.cit.
7
Dikdik M. Arief mansur & Elisatris Gultom, loc.cit.
32
beratkan pada perempuan sebagai korban perkosaan yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, dan perampasan hakhaknya. Pengertian perkosaan di dalam KUHP dimuat dalam Pasal 285 yang menyatakan bahwa “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seoarang wanita yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Ketentuan Pasal 285 KUHP tersebut terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut : (a). Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata, menendang, dan sebagainya sampai korban pingsan atau tidak berdaya. (b). Memaksa seoarang wanita, artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh.. (c). Bersetubuh di luar perkawinan, artinya kemaluan pria harus masuk pada lubang kemaluan wanita, sehingga mengeluarkan air mani dengan wanita yang bukan istrinya. Perkosaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan 1) paksa, kekerasan, 2) gagah, kuat, perkasa. Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan kekerasan. Tindakan ini
33
dianggap melanggar hukum yang berlaku.8 Menurut Kamus Bahasa Indonesia itu menunjukkan bahwa unsur utama yang melekat pada tindakan perkosaan adalah adanya perilaku kekerasan yang terkait dengan hubungan seksual, yang dilakukan dengan jalan melanggar hukum. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, “perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seoarang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Dalam pengertian seperti ini, apa yang disebut perkosaan, di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (ialah perbuatan seseorang yang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya), dan di lain pihak dapatlah dilihat pula sebagai suatu peristiwa (ialah pelanggaran norma-norma dan dengan demikian juga tertib sosial) ”.9 Permasalahan perkosaan kerap kali menjadikan wanita dan anak-anak sebagai korban, hal ini karena dianggap golongan lemah mental, fisik, dan sosial. Korban perkosaan adalah seorang wanita yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan. Menurut Arief Gosita, perkosaan itu dirumuskan melalui beberapa bentuk perilaku berikut : 1.
Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (objek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki diperkosa oleh wanita.
8
Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 861. 9
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, op.cit., h. 40.
34
2.
3.
Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarto tidak ada persetujuam dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku. Persetubuhan di luar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataan ada pula persetubuhan dalam perkawainan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan.10
Ketiga unsur yang dikemukakan Arief Gosita itupun menunjukkan bahwa posisi perempuan ditempatkan sebagai objek dari suatu kekerasan seksual (perkosaan). Kejahatan kekerasan seksual disebut sebagai perkosaan adanya persetubuhan yang dipaksakan, yang dilakukan seorang laki-laki kepada perempuan yang bukan istrinya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas korban perkosaan merupakan seoarang wanita yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain diluar perkawinan. 2.1.2. Macam-macam Korban Perkosaan Perkosaan dapat digolongkan dalam berbagai macam, yaitu: (1).
Sadistic Rape, perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. `
10
Arif Gosita II, op.cit., h. 12.
35
(2).
Anger Rape ,yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasiprustasi, kelemahan, kesulitan dam kekecewaan hidupnya.
(3).
Donomation Rape, yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.
(4).
Seduktive Rape, suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggaman.
Pelaku
pada
umumnya
mempunyai
keyakinan
membutuhkan paksan, oleh karen tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks. (5).
Victim Precipitatied Rape, yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
(6).
Eksploitation Rape, perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh
36
majikannya,
sedangkan
pembantunya
tidak
mempersoalkan
atau
mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.11 2.1.3. Perlindungan terhadap Korban Perkosaan Perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan adalah suatu kegiatan pengembangan hak asasi manusia dan kewajiban hak asasi manusia. Perhatian dan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan harus diperhatikan karena mereka sangat peka terhadap berbagai macam ancaman gangguan mental, fisik, dan sosial. Selain itu, kerap kali mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara, membela serta mempertahankan dirinya.12 Perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan tidak lepas dari akibat yang dialami korban setelah perkosaan. Korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga mengalami penderitaan secara psikis. Adapun penderitaan yang diderita korban sebagai dampak dari perkosaan dapat dibedakan menjadi: 1. Dampak secara fisik. 2. Dampak secara mental. 3. Dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial. Dalam konteks perlindungan terhadap korban perkosaan, adanya upaya pereventif, maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah melalui aparat penegak hukum, seperti pemberian perlindungan dari
11
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, op.cit., h. 46.
12
Arif Gosita II, loc.cit.
37
berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, bantuan hukum secara memadai, dan proses pemeriksaan dan peradilan. Perlindungan terhadap korban perkosaan juga dapat pemberian ganti rugi, dalam hal ini dikenal 2 macam ganti kerugian, yaitu : (1).
restitusi ganti kerugian oleh pihak pelaku.
(2).
kompensasi (ganti kerugian oleh pihak pemerintah, pemerintah memberi ganti kerugian meskipun pemerintah tidak salah, tetapi demi
pelayanan
terhadap
yang
dirugikan
dalam
rangka
mengembangkan kesejahtraan dan keadilan.13
2.2. Abortus (Aborsi) 2.2.1.Pengertian Abortus (Aborsi) Permasalahan abortus (aborsi ) sudah ada sejak awal sejarah manusia. Mempunyai pengertian bahwa gugurnya kandungan sebelum waktunya, menjadi sebuah kontraversi sejak jaman dahulu. Abortus tidak lepas dari perhatian dokter, ahli kesehatan dan tenaga medis lainnya karena menyangkut bayi atau janin yang berada dalam dalam kandungan dan keselamatan jiwa ibunya. Abortus tentu dilarang dan diatur dalam hukum pidana, karena merupakan suatu tindak pidana. Masalah ini diperluas lagi karena berhubungan dengan agama dan norma kesusilaan yang menyebabkan pemuka agama tidak tinggal diam. Kehamilan luar nikah memiliki hubungan yang erat dengan kasus aborsi karena posisi wanita yang cenderung sering menjadi korban dari perilaku kekerasan 13
Arif Gosita II, op.cit., h. 20.
38
seksual, perkosaan, melalui ikatan pergaulan bebas baik yang bermodus promiskuitas (hubungan seksual antara sejumlah pria dan wanita tanpa ada aturan yang mengikat). Aborsi istilah populernya adalah mengugurkan kandungan,
dimaksud
dengan perbuatan mengugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang bagaimanapun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Perbuatan memaksa kelahiran bayi atau janin sebelum waktunya ini sering disebut abortus provocatus atau kadang disingkat dengan aborsi saja.14 Sudut pandang etimologi, abortus berasal dari kata abort, artinya gugur. Sedangkan abortus atau aborsi adalah mengugurkan atau keguguran. Perbedaanya terletak pada ada atau tidaknya unsur kesengajaan, mengugurkan merupakan sengaja mengeluarkan janinnya sedangkan keguguran keluarnya janin dengan tidak disengaja sebelum waktunya lahir.15 Berdasarkan pengertian tersebut di atas pada umumnya aborsi mempunyai pengertian lahirnya buah kandungan sebelum waktunya baik karena spontan maupun perbuatan seseorang. 2.2.2. Macam-macam Abortus (Aborsi) dan Faktor Penyebabnya Tindakan aborsi menurut KUHP dikatagorikan sebagai tindakan kriminal atau abortus provocatus criminalis.
Ketentuan KUHP mengatur mengenai
14
Adami Chazawi I, loc.cit.
15
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, h. 373.
39
abortus provocatus criminalis dimuat dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, Pasal 349. Obyek kejahatan mengenai pengguguran kandungan, yang dapat berupa berbentuk makhluk yakni manusia, berkaki dan bertangan dan berkepala (voldragen vrucht) dan dapat juga belum berbentuk manusia (onvoldragen vrucht). 16
Kejahatan mengenai pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan jika
dilihat dari subyek hukumnya dapat dibedakan menjadi : (a). Pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan oleh wanita yang mengandung janin itu sendiri, diatur dalam Pasal 346 KUHP yang
menyakan
bahwa
“Seorang
perempuan
yang
sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.” (b). Pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain, yang dalam hal ini dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Tanpa persetujuan wanita yang mengandung, pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain tanpa persetujuannya diatur dalam Pasal 347 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa “Barang siapa dengan sengaja mengugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”
16
Adami Chazawi I, op.cit.h. 112.
40
2. Atas persetujuan wanita yang mengandung, pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya diatur dalam Pasal 348 ayat (1) KUHP yang
menyatkan
bahwa
“Barangsiapa
dengan
sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.” (c). Ada penguguran dan pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh orang lain, baik atas persetujuannya maupun tidak, dan orang lain itu adalah orang yang mempunyai kualitas pribadi tertentu, yaitu dokter, bidan dan juru obat, mengenai hal itu dimuat dalam Pasal 349 KUHP yang menyatakan bahwa : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan Pasal 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana jabatan yang dilakukan. Secara umum abortus dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu abortus spontan dan abortus provocatus. (1).
Abortus spontan Abortus spontan didefinisikan sebagai aborsi yang yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis yang dikenal lebih luas dengan istilah keguguran.17Adapun penyebab dari abortus spontan, yaitu:
41
(a). Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi (pembuahan) yang dapat menimbulkan kematian janin dan cacat yang menyebabkan hasil konsepsi dikeluarkan. Gangguan pertumbuhan hasil konsepsi dapat terjadi karena faktor gangguan kromosom terjadi sejak semula pertemuan kromosom, faktor lingkungan, selain itu juga karena gizi ibu yang kurang karena anemia atau terlalu pendeknya jarak kehamilan. Hal lain yang ikut mempengaruhi, yaitu: pengaruh luar, infeksi endometrium, hasil konsepsi yang dipengaruhi oleh cacat dan radiasi, faktor psikologis, kebiasaan ibu (merokok, alkohol, dan kecanduan obat). (b). Kelainan plasenta, ada banyak hal yang mempengaruhi yaitu: infeksi pada plasenta, gangguan pembuluh darah dan hipertensi. (c). Penyakit Ibu, penyakit infeksi seperti tifus abdominalis, malaria, pnemonia, sifilis dan penyakit menahun sperti hipertensi, penyakit ginjal, dan penyakit hati. (d). Kelainan rahim.18 (2).
Abortus provocatus. Abortus provocatus merupakan jenis abortus yang sengaja dilakukan, yaitu dengan cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu.19Abortus provocatus dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
17
Soekidjo Notoatmodjo, loc.cit.
18
Icesmi Sukarti K dan Margareth ZK, op.cit.,h.167.
19
Soekidjo Notoatmodjo, op.cit., h. 136.
42
1.
Abortus provocatus medicinalis Aborsi merupakan aborsi yang dilakukan dengan sengaja karena alasan medis yang sangat darurat atau jika ada indikasi bahwa kehamilan dapat membahayakan atau mengancam ibu bila kehamilan berlanjut. Dengan kata lain,demi menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya boleh dilakukan tindakan medis tertentu yang dapat saja berupa menggugurkan atau mematikan kandungan. Namun untuk melakukan aborsi harus memenuhi berbagai syarat untuk melakukan tindakan medis. Adapun syarat lainnya, yaitu: (a). harus dengan indikasi medis; (b). dilakukan oleh tenaga kesehatan keahlian dan wewenang untuk itu; (c). harus berdasarkan pertimbangan tim ahli; (d). harus
dengan
persetujuan
ibu
hamil,
suaminya,
atau
keluarganya (informed consent); dan (e). dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.20 2.
Abortus provocatus criminalis Aborsi ini merupakan pengguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja tanpa mempunyai alasan kesehatan (medis), didorong oleh alasan-alasan yang lain dan melawan hukum. Sebagian besar pelaku aborsi ini adalah wanita dan pria yang telah melakukan hubungan
20
Adami Chazawi, 2007, Malpraktek Kedokteran (Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum), Bayu Media, Malang, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi II), h.117.
43
diluar perkawinan yang mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. 3.
Unsafe Abortion Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana tindakan tersebut tidak mempunyai cukup keahlian dan prosedur standar yang aman sehingga dapat membahayakan keselamatan jiwa pasien.
Kebanyakan
pengguguran
kandungan/aborsi
dilakukan
dengan
sembunyi-sembunyi dengan cara yang berbahaya, karena secara hukum aborsi buatan tidak diizinkan kecuali atas alasan medis untuk menyelamatkan jiwa ibu. Aborsi tidak aman dapat menyebabkan berbagai akibat termasuk kematian, maka petugas kesehatan perlu mewaspadai kejadian aborsi yang tidak aman terutama kasus-kasus kehamilan remaja. Faktor yang mendorong mengapa seseorang melakukan abortus provocatus, yaitu: (a). Faktor kesehatan, yaitu apabila ada indikasi vital yang terjadi pada masa kehamilan, apabila diteruskan akan mengancam dan membahayakan jiwa Ibu dan indikasi medis non vital yang terjadi pada masa kehamilan dan berdasar perkiraan dokter, apabila diteruskan akan memperburuk kesehatan fisik dan psikologis ibu, elain itu juga didasarkan pada alasan kesehatan janin yaitu untuk menghindari kemungkinan bayi yang lahir mempunyai kelainan cacat fisik maupun mental, walaupun alasan ini sebenarnya belum bisa diterima sebagai dasar pertimbangan medis.
44
(b). Faktor sosial, tidak seluruhnya kehamilan perempuan merupakan kehamilan yang dikehendaki, artinya ada kehamilan yang tidak dikehendaki dengan alasan anak sudah banyak, hamil diluar nikah sebagai
akibat
pergaulan
bebas,
hamil
akibat
perkosaan,
perselingkuhan dan sebagainya. Perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki berusaha agar kehamilannya gugur baik melalui perantara medis (dokter) maupun di luar kewenangan pihak medis meskipun dengan resiko tinggi. (c). Faktor ekonomi, kondisi kehidupan keluarga yang kurang mencukupi di sektor ekonomi dapat menjerumuskan seseorang atau keluarga ini untuk melakukan aborsi. (d). Faktor keadaan darurat (memaksa), kehamilan akibat perkosaan yakni janin yang dikandung ibu merupakan janin akibat perbuatan jahat orang lain seperti perkosaan.21 2.2.3. Pengaturan mengenai abortus (aborsi) 1. Pengaturan mengenai abortus (aborsi) dalam KUHP Ketentuan KUHP menyebutkan, setiap tindakan aborsi dengan motif apa pun, dengan indikasi apa pun , dan dengan cara apa pun dalam usia kehamilan berapa pun adalah suatu kejahatan.22 Pengaturan tentang pengguguran kandungan atau abortus provocatus terdapat dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348 dan Pasal 21
Icesmi Sukarti K dan Margareth ZK, 2013, Kehamilan, Persalinan dan Nifas, Nuha Medika, Yogyakarta, h.138. 22
Adami Chazawi II, op.cit., h. 117.
45
349 KUHP. Uraian lebih lanjut bahwa dalam KUHP telah mengatur ancaman pidana penjara maupun denda kepada para pelaku tindak pidana abortus provocatus yang diatur dalam Pasal 346 KUHP yang ditempatkan pada Buku II Bab XIX yakni tentang kejahatan terhadap nyawa yang masing-masing perumusannya sebagai berikut : Pasal 346 KUHP, mangatakan “Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.” Ditinjau dari rumusannya, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 346 KUHP di atas itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur subjektif : dengan sengaja. b. Unsur objektif : 1. Pembuatnya : seorang wanita; 2. Perbuatan: (a). mengugurkan; (b). mematikan/membunuh;dan (c). menyuruh orang lain untuk itu; 3. Objek : kandungannya. Ada 4 (empat) perbuatan yang dilarang dalam Pasal 346 KUHP, yakni: menggugurkan kandungan, mematikan kandungan dan menyuuruh orang lain menggugurkan kandungan dan menyuruh orang lain mematikan kandungan. Adapun yang dimaksud dengan perbuatan menggugurkan kandungan (afdrijving)
46
adalah melakukakan perbuatan yang bagaimanapun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut sebelum waktunya. Perbuatan memaksa kelahiran bayi atau janin belum waktunya sering disebut dengan abortus provocatus. 23 Pengguguran dan pembunuhan kandungan tanpa persetujuan perempuan yang mengandung di atur dalam Pasal 347 ayat (1) dan (2) KUHP menyebutkan bahwa : (1).
(2).
Barang siapa dengan sengaja mengugurkan atau mematikan kandungan seoarang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Rumusan tersebut terdiri atas unsur-unsur berikut: a.
Unsur subjektif : dengan sengaja.
b.
Unsur-unsur objektif : 1.
Perbuatan : menggugurkan atau mematikan.
2.
Objeknya : kandungan perempuan.
3.
Tanpa persetujuan perempuan itu
Tanpa persetujuannya, artinya perempuan itu tidak menghendaki akibat gugurnya kandungannya itu. Tanpa persetujuan dapat terjadi dalam beberapa kemungkinan, kemungkinan yang pertama perempuan tersebut tidak mengetahui
23
Adami Chazawi I, op.cit., h. 119.
47
bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu maksudnya adalah untuk menggugurkan
atau mematikan kandungannya. Bisa juga terjadi dalam hal,
perempuan tersebut mengetahui bahwa perbuatan oleh orang lain terhadap kandungannya itu dapat berakibat gugurnya atau matinya kandungan, akan tetapi tidak berdaya karena dipaksa dengan kekerasan. Ketentuan Pasal 348 KUHP mengatur mengenai penggugurkan dan pembunuhan kandungan atas persetujuan perempuan yang mengandung. Kejahatan ini dirumuskan dalam Pasal 348 ayat (1) dan (2) KUHP yang menyebutkan bahwa : (1).
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan. Jika itu mengakibatkan matinya perempuan tersebu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(2).
Adapun unsur-unsurnya adalah: a.
Unsur Subjektif : dengan sengaja.
b.
Unsur objektif : 1.
Perbuatan : menggugurkan atau mamatikan.
2.
Objek : kandungan seoarang perempuan.
3.
Dengan persetujuannya.
Perbedaan pokok tindak pidana pada Pasal 348 KUHP dengan Pasal 347 adalah, bahwa perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan dalam Pasal 348 KUHP dilakukan dengan persetujuan perempuan yang mengandung.
48
Persetujuan artinya dikehendaki bersama dengan orang lain, disini ada 2 (dua) atau lebih orang yang mempunyai kehendak yang sama terhadap gugur atau mematikan kandungan itu. Syarat terjadinya persetujuan adalah harus ada dua pihak yang mempunyai kehendak yang sama.Tidak dipersoalkan dari mana asal atau datangnya inisiatif untuk dilakukannya pengguguran atau pembunuhan kandungan tersebut, karena yang penting adalah sebelum atau pada saat memulai perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan itu sama dikehendaki baik oleh perempuan yang mengandung maupun oleh orang yang melaksanakan perbuatan itu.24 Masalah keterlibatan seorang dokter, bidan atau ahli meramu obat-obatan dalam tindak pidana pengguguran kandungan atau menyebabkan matinya janin yang berada dalam kandungan seperti yang dimaksud dalam Pasal 346, Pasal 347, dan Pasal 348 KUHP yang telah disebutkan di atas, oleh pembentuk undangundang relah diatur dalam Pasal 349 KUHP yang menyatakan bahwa: “Jika seoarang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”. Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348 dan Pasal 349 KUHP kiranya dapat diketahui bahwa kesengajaan
24
Adami Chazawi I, op.cit., h. 122.
49
menggugurkan kandungan itu merupakan perbuatan yang terlarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, baik di dalam undang-undang maupun di dalam hukum yang tidak tertulis, tidak terdapat suatu ketentuan atau suatu asas hukum umum pun yang mengatakan, bahwa kesengajaan menggugurkan kandungan itu tidak diijinkan. 2. Pengaturan Pengaturan mengenai abortus (aborsi) di luar KUHP Pengaturan Pengaturan mengenai abortus (aborsi) di luar KUHP di temukan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang Kesehatan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 khususnya Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77 memberikan penegasan mengenai pengaturan pengguguran kandungan (abortus provocatus). Berikut ini uraian lengkap mengenai aborsi yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut : Pasal 75 menyatakan bahwa: (1). Setiap orang dilarang melakukan aborsi (2). Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3). Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan “diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
50
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76 menyatakan bahwa aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 77 menyatakan bahwa “Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut, secara umum praktek aborsi dilarang sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 75 ayat (1), namun larangan terhadap praktek aborsi dikecualiakn pada beberapa keadaan, yakni Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Pengaturan mengenai pengecualian aborsi karena indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
51
perkosaan diatur secara secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Ketentuan legalitas aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini dipe rkuat dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP Kespro yang antara lain mengatakan bahwa: (1). Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan. (2). Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Ketentuan KUHP secara tegas melarang perbuatan abortus (aborsi), dan bagi ibu serta pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Diundangkannya Undang-Undang Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi, ketentuan Undang-Undang Kesehatan tidak ada dinyatakan pencabutan terhadap Pasal 346, Pasal 347, dan Pasal 348 KUHP, namun dalam teori hukum suatu asas untuk menyelesaikan suatu konflik norma yaitu lex specialis derogat legi generalis, maka ketentuan pengecualian larangan aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan yang bersifat khusus mengenyampingkan ketentuan larangan aborsi dalam KUHP yang bersifat umum.