BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK, PERLINDUNGAN KONSUMEN, DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM 2.1.
Bank
2.1.1. Pengertian bank Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya.1 Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Di Indonesia masalah yang terkait dengan bank diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998. Berkaitan dengan pengertian bank, Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan merumuskan bahwa “bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masysrakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
2.1.2. Asas, fungsi dan tujuan bank Mengenai asas perbankan yang dianut di Indonesia dapat kita ketahui dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang
1
Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, hal. 7.
1
2
mengemukakan bahwa, “ Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. 2 Dari ketentuan pasal tersebut dapat dijelaskan lagi mengenai asas-asas dalam perbankan yaitu : a. Asas Demokrasi Ekonomi Asas demokrasi ekonomi ditegaskan dalam pasal 2 Undang-Undang Perbankan yang menyebutkan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya
berasaskan
demokrasi
ekonomi
dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Menurut penjelasan resminya yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.3 Yang berarti usaha perbankan diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. b. Asas Kepercayaan Asas kepercayaan adalah asas yang menyatakan bahwa bank harus dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabahnya. Hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana adalah hubungan pinjam meminjam uang antara debitur dengan kreditur yang dilandasi oleh asas kepercayaan. Undang-undang mengakui bahwa hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana adalah hubungan kepercayaan, yang membawa 2 3
Ibid, hal. 18. Ibid, hal. 19.
konsekuensi
bank
tidak
boleh
hanya
memperhatikan
3
kepentingan nasabah penyimpan dana. Oleh karena itu, masyarakat bisnis dan perbankan Indonesia berpendapat bahwa hubungan antar bank dan nasabah debitur bukan sekedar hubungan kontraktual belaka, melainkan juga hubungan kepercayaan.4 c. Asas Kerahasiaan Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan Lelang / Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar informasi antar bank. 5 Asas kerahasiaan mengharuskan bank merahasiakan apapun yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut dunia perbankan wajib dirahasiakan. Kerahasiaan ini bertujuan untuk kepentingan bank itu sendiri karena bank memerlukan kepercayaan masyarakat yang telah menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank apabila bank menjamin bahwa tidak akan ada penyalahgunaan pengetahuan bank tentang simpanannya.
4
Rahmadi Usman, 2001, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 60. 5 Elvina Oktavrida, 2014, “Sebutkan Apa Saja Prinsip Perbankan”, brainly.co.id, URL :http://brainly.co.id/tugas/1707783, diakses tanggal 14 Mei 2015.
4
Oleh karena itu bank harus selalu menjaga rahasia bank yang sudah diberikan nasabah. d. Asas Kehati-hatian Mengenai
apa
yang
dimaksud
dengan
prinsip
kehati-hatian
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan di atas tidak ada penjelasannya secara resmi, tetapi kita dapat mengemukakan bahwa bank dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, terutama dalam membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya wajib menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing secara cermat, teliti, dan profesional sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat.6 Bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap bank tetap tinggi, sehingga masyarakat tidak ragu menggunakan jasa bank. Mengenai fungsi perbankan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa, “Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”.7 Merujuk dari ketentuan pasal tersebut, fungsi dan tujuan bank adalah sebagai agen pembangunan dan sebagai perantara keuangan.Bank memiliki fungsi sebagai agen pembangunan yaitu sebagai lembaga yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan 6 7
Hermansyah, loc.cit. Hermansyah, op.cit, hal. 20.
5
pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Bank memiliki fungsi sebagai perantara keuangan yaitu sebagai perantara menghimpun dan penyaluran dana. Dalam hal ini bank bertindak sebagai perantara atau penghubung antara nasabah yang satu dengan yang lainnya jika keduanya melakukan transaksi. 2.2.
Perlindungan Konsumen
2.2.1. Pengertian konsumen Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai berikut “a person who buys goods or service for personal, family or house hold use, with no intention or resale; a natural person who use products for personal rather than business purpose”.8 Artinya bahwa konsumen adalah orang yang membeli barang atau jasa untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau rumah menggunakan tangga, dengan tidak ada niat atau dijual kembali; orang pribadi yang menggunakan produk untuk pribadi dari pada tujuan bisnis. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan "konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Konsumen adalah pengguna akhir dari suatu produk. Pelaku usaha adalah setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Oleh karena itu perlindungan konsumen muncul untuk 8
Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, West Publishing, St. Paul Minnesota, hal. 335.
6
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 2.2.2. Asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen Upaya perlindungan konsumen didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya dengan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : a. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. b. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil. c. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. 9 Tujuan perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 9
Abdul R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori Dan Contoh Kasus, Kencana, Ed. 2 Cet. 6, Jakarta, hal. 214-215.
7
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen. 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. 6. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 2.2.3. Hak-hak dan Kewajiban Konsumen Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditemukan adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, konsumen tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur secara terperinci mengenai hak dan kewajiban konsumen sebagaimana diuraikan berikut ini. 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa. 2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan . 3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa. 4. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan. 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaiansengketa perlindungan konsumen secara patut. 6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.10 Hak-hak konsumen yang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya. Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen sebagai berikut. 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 2.3.
Perbuatan Melawan Hukum
1.3.1. Pengertian perbuatan melawan hukum Pasal 1365 BW yang terkenal sebagai pasal yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum memegang peranan penting dalam hukum perdata. Dalam pasal 1365 BW tersebut memuat ketentuan “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan
10
Ibid, hal. 216.
9
orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”. Perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak subjek hukum lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan kepatutan yang seharusnya diperhatikan dalam kehidupan bersama terhadap integritas individu maupun harta bendanya yang merugikan pihak lain dan dalam perbuatan melawan hukum, akibat hukumnya tidak dikehendaki oleh si pelaku, tetapi akibat hukumnya diberikan oleh hukum. 11 1.3.2. Unsur-unsur dan syarat perbuatan melawan hukum Untuk mencapai suatu hasil yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur sebagai berikut : 1.
Ada perbuatan melawan hukum Sebelum tanggal 31 Januari 1919, di bawah pengaruh ajaran legisme maka, “onrechtmatigedaad” (perbuatan melawan hukum) ditafsirkan dalam arti sempit, yaitu : perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan melanggar undang-undang. Melanggar hukum adalah suatu perbuatan melanggar hak subjektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku.12
2. Ada kesalahan Apabila seseorang harus bertanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPerdata, maka
11
Achmad Ali, 2010, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, Kencana Ed. 1 Cet. 2, Jakarta, hal. 5. 12 Djaja S. Meliala, 2012, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia Ed. Rev, Cet. I, Bandung, hal. 187.
10
orang itu harus bersalah dan kesalahan itu harus dibuktikan oleh pihak yang menuntut ganti rugi atau beban pembuktian ada pada pihak penggugat (pasal 1865 KUHPerdata), namun demikian ada kalanya suatu keadaan tertentu dapat meniadakan unsur kesalahan, misalnya dalam hal adanya keadaan memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak sehat pikirannya (gila).13 Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Sehubungan dengan kesalahan ini terdapat dua kemungkinan yaitu : 1. orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja.14 2. kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masingmasing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya. 15
13
Ibid, hal. 188. Vollmar, 1984, Pengantar Studi Hukum Perdata, jilid II, cet. I, Rajawali, Jakarta, hal.458. 15 Ibid. 14
11
3. Adanya Kerugian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur tentang ganti kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melawan hukum, sedangkan Pasal 1243 KUHPerdata memuat ketentuan tentang ganti kerugian karena wanprestasi dan maka menurut Jurisprudensi ketentuan ganti kerugian karena wanprestasi dapat diterapkan untuk menentukan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum. 16 Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada dasarnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum. 4. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan adalah sebagai berikut. 1. Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat).17 2. Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dari pada perbuatan melawan hukum. 18
16
Djaja S. Meliala, op.cit, hal. 190. Djaja S. Meliala, loc.cit. 18 Djaja S. Meliala, loc.cit. 17