BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM (ONRECHTMATIGE DAAD)
A. Sejarah dan Perkembangan Perbuatan Melawan Hukum Perkembangan sejarah hukum tentang perbuatan melawan hukum di negeri Belanda sangat berpengaruh terhadap perkembangan di Indonesia, karena berdasarkan asas korkondansi, kaidah hukum yang berlaku di negeri Belanda akan berlaku juga di negeri jajahannya, termaksud di Indonesia. Di negeri Belanda perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) periode sebagai berikut:11 1)
Periode sebelum tahun 1838 Kodifikasi pada tahun 1983 membawa perubahan besar mengenai
pendapat tentang makna dan ruang lingkup dari pengertian onrechtmatige daad. Pada waktu itu dianut pendirian bahwa onwetmatig , yang berarti bahwa suatu perbuatan baru dianggap melawan hukum bilamana perbuatan itu adalah bertentangan dengan ketentuan undang – undang. 12 Sampai dengan kodifikasi Burgerlijk Wetboek (BW) di negeri Belanda pada tahun 1838, maka ketentuan seperti Pasal 1365 KUH Perdata di Indonesia saat ini belum tentu ada di Belanda. Karenanya kala itu, tentang perbuatan melawan hukum ini, pelaksanaannya belum jelas dan belum terarah.
11
Ibid, Hal. 30 M.A Moegni Djojodirdjo, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta Pusat, hal. 28 12
14 Universitas Sumatera Utara
2) Periode antara tahun 1838 – 1919 Setelah BW Belanda dikodifikasi, maka mulailah berlaku ketentuan dalam Pasal 1401 (yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Meskipun kala itu sudah di tafsirkan bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum, baik perbuatan suatu (aktif berbuat) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain, baik yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 1366 KUH Perdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919 dianggap tidak termaksud ke dalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya merupakan tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain. 3) Periode setelah tahun 1919 Dalam tahun 1919 terjadi suatu perkembangan yang luar biasa dalam bidang hukum tentang perbuatan melawan hukum khususnya di negeri Belanda, sehingga demikian juga di Indonesia. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup kaku, kepada perkembangan yang luwes. Perkembangan tersebut terjadi dengan diterimanya penafsiran luas terhadap perbuatan melawan hukum oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) negeri Belanda, yakni penafsiran terhadap Pasal 1401 BW Belanda, yang sama dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Putusan Hoge Raad adalah terhadap kasus Lindenbaum versus Cohen.
Universitas Sumatera Utara
Kasus Lindenbaum versus Cohen tersebut pada pokoknya berkisar tentang persoalan persaingan tidak sehat dalam bisnis. Baik Lindenbaum maupun Cohen adalah sama – sama perusahaan yang bergerak di bidang percetakan yang saling bersaing satu sama lain. Dalam kasus ini, dengan maksud untuk menarik pelanggan – pelanggan dari Lindenbaum, seorang pegawai dari Lindebaum di bujuk oleh perusahaan Cohen dengan berbagai macam hadiah agar pegawai Lindenbaum tersebut mau memberitahukan kepada Cohen salinan dari penawaran – penawaran yang dilakukan oleh Lindenbaum kepada masyarakat, dan memberi tahu nama – nama dari orang – orang yang mengajukan order kepada Lindenbaum. Tindakan Cohen itu akhirnya tercium oleh Lindenbaum. Akhirnya Lindenbaum menggugat Cohen ke pengadilan Amsterdam dengan alasan bahwa Cohen telah melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad) sehingga melanggar Pasal 1401 BW Belanda, yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Ternyata langkah Lindenbaum untuk mencari keadilan tidak berjalan mulus. Memang di tingkat pengadilan pertama Lindenbaum dimenangkan, tetapi di tingkat banding justru Cohen yang di menangkan, dengan alasan bahwa Cohen tidak pernah melanggar suatu pasal apapun dari perundang – undangan yang berlaku. Dan pada tingkat kasasi turunlah putusan yang memenangkan Lindenbaum, suatu putusan yang terkenal dalam sejarah hukum, dan merupakan tonggak sejarah tentang perkembangan yang revolusioner tentang perbuatan melawan hukum tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dalam putusan tingkat kasasi tersebut, Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar undang – undang yang tertulis seperti yang ditafsirkan saat itu, melainkan juga termasuk kedalam pengertian perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan: a. Yang melanggar hak orang lain b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden),atau d. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain. 13 Dengan demikian dengan terbitnya putusan Hoge Raad dalam kasus Lindenbaum versus Cohen tersebut, maka perbuatan melawan hukum tidak hanya dimaksudkan sebagai yang perbuatan yang bertentangan dengan pasal – pasal dalam perundang – undangan yang berlaku, tetapi juga termasuk perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat. Dengan demikian sejak tahun tersebut, perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang – undang saja, tetapi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat sampai sekian perumusan hukum, dalam arti sempit atau pun bertentangan dengan
13
Ibid, hal. 32
Universitas Sumatera Utara
kesusilaan maupun berhati – hati sebagaimana sepatutnya di dalam lau lintas masyarakat atau barang orang lain. 14 Perkembangan yang revolusioner dari pengertian perbuatan melawan hukum di negeri Belanda sejak tahun 1919 tersebut, kemudian juga masuk ke Indonesia (dahulu Hindia Belanda) berdasarkan asas konkordansi, yakni asas yang memberlakukan setiap hukum di negeri Belanda ke negeri jajahannya, termasuk Indonesia. Secara klasik, yang dimaksud dengan “perbuatan” dalam istilah perbuatan melawan hukum adalah : 1) Nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum. 2) Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunyai hak untuk melakukannya. 3) Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan, padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.
Dahulu, pengadilan menafsirkan “melawan hukum” sebagai hanya pelanggaran dari pasal – pasal hukum tertulis semata – mata (pelanggaran perundang – undangan yang berlaku), tetapi sejak tahun 1919 terjadi perkembangan di negeri Belanda, dengan mengartikan perkataan “melawan hukum” bukan hanya untuk pelanggaran perundang – undangan tertulis
14
Ibid, hal. 221
Universitas Sumatera Utara
semata – mata, melainkan juga melingkupi atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat. (lihat putusan Hoge Raad Belanda tanggal 31 Januari 1919 dalam kasus Lindenbaum versus Cohen). Dengan demikian sejak tahun 1919 tindakan onrechtmatige daad tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai onwetmatige daad saja. 15 Sejak tahun 1919 tersebut, di negeri Belanda, dan demikian juga di Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, yakni mencakup salah satu dari perbuatan – perbuatan sebagai berikut : 1) Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain. 2) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. 3) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. 4) Perbuatan yang bertentangan dengan kehati – hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik. Berikut penjelasan untuk masing – masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut: 1. Perbuatan yang Bertentangan dengan Hak Orang Lain Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain (inbreuk op eens anders recht) termasuk salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365 KUH Perdata. Hak – hak yang dilanggar tersebut adalah hak – hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hak – hak sebagai berikut :
15
Ibid, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
a) Hak – hak pribadi (persoonlijkheidscrechten). b) Hak – hak kekayaan (vermogensrecht). c) Hak – hak kebebasan. d) Hak atas kehormatan dan nama baik.
Berikut ini beberapa putusan Mahkamah Agung Negeri Belanda (Hoge Raad) tentang perbuatan melawan hukum yang menyangkut tentang perbuatan yang melanggar hak orang lain, antara lain adalah putusan Hoge Raad tanggal 10 Maret 1972. Putusan ini mempertimbangkan apakah akibat negatif dari tindakan seseorang sedemikian besar sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum.
2. Perbuatan yang Bertentangan dengan Kewajiban Hukumnya Sendiri Juga termasuk ke dalam kategori perbuatan melawan hukum jika perbuatan
tersebut
bertentangan
dengan
kewajiban
hukum
(rechtsplicht) dari pelakunya. Dengan istilah “kewajiban hukum”, yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Jadi, bukan hanya bertentangan dengan hukum tertulis (wettelijk plicht), melainkan juga bertentangan dengan hak orang lain menurut undang – undang ( wettelijk recht). Karena itu pula, istilah yang dipakai untuk perbuatan melawan hukum adalah onrechtmatige daad, bukan onwetmatige daad.
Universitas Sumatera Utara
3.
Perbuatan yang Bertentangan dengan Kesusilaan Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Karena itu, manakala dengan tindakan melanggar kesusilaan itu telah terjadi kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat menuntut ganti rugi berdasarkan atas perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata). Dalam putusan terkenal Lindenbaum v. Cohen (1919), Hoge Raad menganggap tindakan Cohen untuk membocorkan rahasia perusahaan dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan, sehingga dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan hukum.
4.
Perbuatan yang Bertentangan dengan Kehati – hatian atau Keharusan dalam Pergaulan Masyarakat yang Baik Perbuatan yang bertentangan dengan kehati – hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik ini atau disebut dengan istilah zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal – pasal dari hukum tertulis, mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip – prinsip kehati – hatian atau keharusan dalan pergaulan masyarakat. Keharusan dalam masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
B. Unsur – Unsur dari Perbuatan Melawan Hukum Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur – unsur sebagai berikut: 1) Adanya suatu perbuatan 2) Perbuatan tersebut melawan hukum 3) Adanya kesalahan dari pihak pelaku 4) Adanya kerugian bagi korban 5) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Berikut ini penjelasan bagi masing – masing unsur dari perbuatan melawan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut : a. Adanya Suatu Perbuatan Kata perbuatan meliputi perbuatan positif, yang bahasa aslinya “daad” (Pasal 1365 KUH Perdata) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa aslinya bahasa Belanda “nalatigheid” (kelalaian) atau “onvoorzigtigheid” (kurang hati – hati) seperti ditentukan dalam Pasal 1366 KUH Perdata. Dengan demikian, Pasal 1365 itu untuk orang – orang yang betul – betul berbuat, sedangkan Pasal 1366 itu untuk orang yang tidak berbuat. Pelanggaran dua pasal ini mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu mengganti kerugian. 16
16
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan adalah perbuatan yang nampak secara aktif, juga termasuk perbuatan yang nampak secara tidak aktif artinya tidak nampak adanya suatu perbuatan, tetapi sikap ini bersumber pada kesadaran dari yang bersangkutan akan tindakan yang harus dilakukan tetapi tidak dilakukan. 17 Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku ( karena ada juga kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Karena itu, terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa
yang
diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak.
b. Perbuatan tersebut Melawan Hukum Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum tersebut diartikan dalam arti yang seluas – luasnya, yakni meliputi hal – hal sebagai berikut: a. Perbuatan yang melanggar undang – undang yang berlaku, b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zedeen), atau
17
Achmad Ichsan, 1969, Hukum Perdata, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, hal. 250
Universitas Sumatera Utara
e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschap-pelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed). Jadi, perbuatan itu harus melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan oleh undang – undang. Dengan demikian, melanggar hukum (Onrechtmatig) sama dengan melanggar undang – undang (Onwetmatig). 18
c. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku Kesalahan dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengandung semua gradasi dari kesalahan dalam arti “sengaja” sampai pada kesalahan dalam arti “tidak sengaja” (lalai). Menurut hukum perdata, seorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan / tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan / tidak dilakukan itu tidak terlepas dari dapat tidaknya hal itu dikira – kirakan. Dapat dikira – kirakan itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira – ngirakan dalam keadaan tertentu itu perbuatan seharusnya dilakukan / tidak dilakukan. Dapat dikira – kirakan itu harus juga diukur secara subjektif, artinya apa yang justru orang itu dalam kedudukannya dapat mengira – ngirakan bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan / tidak dilakukan. 19
18 19
Ibid, hal. 253 Ibid, hal. 256
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu kesalahan dalam arti objektif adalah seseorang dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena berbuat kesalahan, apabila ia bertindak dari pada seharusnya dilakukan oleh orang – orang dalam keadaan itu dalam pergaulan masyarakat. Kesalahan dalam arti subektif adalah melihat pada orangnya yang melakukan perbuatan itu, apakah menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan artinya fisik orang itu normal atau masih kanak – kanak. 20 Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum tersebut, undang – undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar para pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Jikapun dalam hal tertentu diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan tersebut (strict liability), hal tersebut tidak didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan kepada undang – undang lain. 21 Karena Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur “kesalahan”(schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur – unsur sebagai berikut: 20 21
Ibid, hal. 255 Ibid, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
a) Ada unsur kesengajaan, atau b) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan c) Tidak
ada
alasan
pembenar
atau
alasan
pemaaf
(recht-
vaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain – lain. d. Adanya Kerugian Bagi Korban Dalam perbuatan melawan hukum, unsur – unsur kerugian dan ukuran penilaiannya dengan uang dapat diterapkan secara analogis. Dengan demikian, penghitungan ganti kerugian dalam perbuatan melawan hukum didasarkan pada kemungkinan adanya tiga unsur
yaitu biaya, kerugian yang
sesungguhnya, dan keuntungan yang diharapkan (bunga). Dan kerugian itu dihitung dengan sejumlah uang. 22 Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial, yang juga akan dinilai dengan uang. 23
22 23
Ibid, hal. 256 Ibid, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
e. Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dengan Kerugian Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah sebab dari suatu kerugian, maka perlu diikuti teori “adequate veroorzaking” dari Von Kries. Menurut ini yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini kerugian. Jadi antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung. Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari perbuatan melawan hukum.Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira – kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini. 24 Selanjutnya agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep “sebab kira – kira” (proximate cause). Proximate cause merupakan bagian yang paling
24
Ibid, hal. 14
Universitas Sumatera Utara
membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum.
C. Teori dalam Perbuatan Melawan Hukum Ada 2 teori yang berkembang dalam perbuatan melawan hukum yaitu: 1. Teori Schutznorm dalam perbuatan melawan hukum Teori schutznorm atau disebut juga dengan ajaran “relativitas” ini berasal dari hukum Jerman, yang dibawa ke negeri Belanda oleh Gelein Vitringa. Kata “schutz” secara harafiah berarti “perlindungan”. Sehingga dengan istilah “schutznorm” secara harafiah berarti “norma perlindungan”. Teori schutznorm ini mengajarkan bahwa agar seseorang dapat dimintakan tanggung jawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum vide Pasal 1365 KUH Perdata, maka tidak cukup hanya menunjukkan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul. Akan tetapi perlu juga ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut dibuat memang untuk melindungi (schutz) terhadap kepentingan korban yang dilanggar. Teori schutz
disebut juga dengan istilah “teori relativitas” karena
penerapan dari teori ini akan membeda – bedakan perlakuan terhadap korban dari perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini jika seseorang melakukan suatu perbuatan, bisa melakukan perbuatan melawan hukum bagi korban X, tetapi mungkin bukan merupakan perbuatan melawan hukum bagi korban Y.
Universitas Sumatera Utara
Sungguhpun begitu, pro dan kontra terhadap teori schultznorm ini sangat kental. Di negeri Belanda, para ahli hukum yang mendukung diterapkannya teori schultznorm ini antara lain adalah Telders, Van der Grinten, dan Molengraaf. Bahkan putusan Hoge Raad lebih banyak yang mendukung teori schultznorm ini. Sebaliknya, para ahli hukum Belanda yang menentang
penerapan
teori
schultznorm
ini,
antara
lain
adalah
Scholten,Ribius,dan Wetheim. Bahkan ada yang berpendapat (misalnya Meyers di negeri Belanda) bahkan schultznorm ini hanya tepat diberlakukan terhadap perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Namun demikian, penerapan teori ini sebenarnya dalam kasus – kasus tertentu sangat bermanfaat karena alasan – alasan sebagai berikut: 1. Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tidak diperluas secara tidak wajar 2. Untuk menghindari pemberian ganti rugi terhadap kasus dimana hubungan antara perbuatan dan ganti rugi hanya bersifat normatif dan kebetulan saja 3. Untuk memperkuat berlakunya unsur “dapat dibayangkan”(forseeability) terhadap hubungan sebab akibat yang bersifat kira – kira (proximate causation).
2. Teori Aanprakelijkheid dalam perbuatan melawan hukum Teori aanprakelijkheid atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan teori “ganggu gugat” adalah teori untuk menentukan siapakah yang harus
Universitas Sumatera Utara
menerima gugatan (siapa yang harus digugat) karena adanya suatu perbuatan melawan hukum. Pada umumnya, tetapi tidak selamanya, yang harus digugat/menerima tanggung gugat jika terjadi suatu perbuatan melawan hukum adalah pihak pelaku perbuatan melawan hukum itu sendiri. Artinya dialah yang harus digugat ke pengadilan dan dia pulalah yang harus membayar ganti rugi sesuai putusan pengadilan. Dalam beberapa situasi, seseorang boleh bertanggung jawab untuk kesalahan perdata yang dilakukan orang lain, walaupun perbuatan melawan hukum itu bukanlah kesalahannya. Hal semacam ini dikenal sebagai pertanggungjawaban yang dilakukan orang lain atau vicarious liability.25 Ada kalanya si A yang melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi si B yang harus digugat dan mempertanggungjawabkan atas perbuatan tersebut. Terhadap tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain ini dalam ilmu hukum dikenal dengan teori tanggung jawab pengganti (vicarious lability). Teori tanggung gugat ini atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain, dapat dibagi kepada 2 (dua) kategori sebagai berikut: 1. Teori tanggung jawab atasan (Respondeat Superior, a superior risk bearing theory), dan 2. Teori tanggung jawab pengganti yang bukan dari atasan atas orang – orang dalam tanggungannya. 25
S.B. Marsh and J. Soulsby (Abdulkadir Muhammad), 2006, Hukum Perjanjian), PT. Alumni, Bandung, hal. 203
Universitas Sumatera Utara
3. Teori tanggung jawab pengganti dari barang – barang yang berada di bawah tanggungannya. KUH Perdata memperinci beberapa pihak yang harus menerima tanggung gugat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak lain, yaitu sebagai berikut: 1. Orang tua atau wali bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh anak – anak dibawah tanggungannya atau dibawah perwaliannya (Pasal 1367 KUH Perdata). 2. Majikan bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh pekerjanya (Pasal 1367 KUH Perdata). 3. Guru – guru sekolah bertanggung gugat atas tindakan murid – muridnya (Pasal 1367 KUH Perdata). 4. Kepala – kepala tukang bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan tukang – tukangnya (Pasal 1367 KUH Perdata). 5. Pemilik binatang bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh binatang piaraannya itu (Pasal 1368 KUH Perdata). 6. Pemakai binatang bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh binatang yang dipakainya (Pasal 1368 KUH Perdata). 7. Pemilik sebuah gedung bertanggung gugat atas ambruknya gedung karena kelalaian dalam pemeliharaan atau karena
Universitas Sumatera Utara
cacat dalam pembangunan maupun tataannya (Pasal 1369 KUH Perdata)
D. Hubungan Sebab Akibat dalam Perbuatan Melawan Hukum 1) Hubungan sebab akibat (the darling of academic mind). Ilmu tentang sebab akibat ini disebut dengan causaliteitsleer. Banyak kalangan ahli mencoba menstrukturalkan masalah, tetapi kelihatannya tidak pernah kelihatan hasil yang memuaskan, sementara dalam praktek peradilan, hubungan sebab akibat bergerak sangat cepat kearah yang sangat luas, hampir – hampir tanpa suatu pedoman karena rumitnya teori yuridis dan aplikasi dari masalah hubungan sebab akibat ini, maka doktrin tentang hubungan sebab akibat ini menjadi menarik untuk ditelaah secara akdemik, sehingga doktrin ini dijuluki sebagai the darling of academic mind. Masalah hubungan sebab akibat ini menjadi isu sentral dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum karena fungsinya adalah untuk menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Hubungan sebab akibat merupakan faktor yang mengaitkan antara kerugian seseorang dengan perbuatan dari orang lain. Masalah utama dalam hubungan sebab akibat ini adalah seberapa jauh kita masih menganggap hubungan sebab akibat sebagai hal yang masih dapat diterima oleh hukum. Dengan perkataan lain, kapankah dapat dikatakan bahwa suatu kerugian adalah fakta (the fact) atau kemungkinan (proximate), dan kapan pula dianggap terlalu jauh (too remote).
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa konsep “penyebab kira – kira”(proximate cause), yang merupakan bagian yang sangat krusial dari masalah hubungan sebab akibat ini, bahkan barangkali yang paling krusial diantara seluruh bagian dari hukum tentang perbuatan melawan hukum, banyak mendapat penolakan dari pendekatan secara logika. Itulah sebabnya bagian dari perbuatan melawan hukum ini disebut the darling of the academic mind. Menurut HLA Hart, tahap pertama dalam dispute mengenai kasus – kasus perbuatan melawan hukum, adalah untuk menginterpretasi hukum tentang fakta apakah yang masih diketengahkan untuk menunjukkan bahwa fakta tersebut mempunyai kaitannya dengan kerugian.
Metode yang disarankan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah sebagai berikut: a. Jika perbuatan yang melawan hukum tersebut mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi. b. Jika perbuatan yang melawan hukum tersebut tidak perlu mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi. c. Jika perbuatan tergugat tidak perlu ada kesalahan, tetapi mesti mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi.
2) Hubungan sebab akibat yang faktual
Universitas Sumatera Utara
Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini. Selanjutnya agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep “sebab kira – kira”(proximate cause). Proximate cause
merupakan bagian yang paling
membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. Kadang – kadang untuk penyebab jenis ini sering disebut dengan
legal cause, atau dengan pengertiannya sedikit
bervariasi sering juga disebut dengan: a. Direct cause b. Natural and probable consequence cause c. Natural, direct and immediate cause d. Natural and unbroken cause e. Natural and continuosus cause f. Unbroken chain of cirmumstance g. Responsible cause
Universitas Sumatera Utara
Di negeri Belanda, untuk proximate cause ini sering disebut dengan istilah adequate veroorzaking. Sering didefenisikan bahwa proximate cause merupakan sesuatu yang dalam sekuensi alamiah tidak dicampuri oleh penyebab
independent, menghasilkan akibat yang merugikan tersebut.
Kadang – kadang proximate cause diartikan juga sebagai konsekuensi yang mengikuti sekuensi yang tidak terputus tanpa suatu penyebab lain yang mengintervensi (intervening) terhadap perbuatan ketidakhati – hatian yang asli. 3) Hubungan sebab akibat yang dikira – kira (proximate cause) Selain dari doktrin penyebab secara faktual, digunakan juga doktrin “penyebab kira – kira (proximate cause) dalam menetapkan sejauh mana perilaku
perbuatan
melawan hukum mesti bertanggung
jawab atas
tindakannya itu. Karena adalah layak dan adil jika seseorang diberikan tanggung jawab hanya terdapat akibat yang dapat diramalkan akan terjadi (foreseen), maka konsep proximate cause menempatkan elemen “sepatutnya dapat diduga” (forseeability) sebagai faktor utama. Jadi A bertanggungjawab atas tindakannya kepada B jika dia sepatutnya dapat menduga bahwa karena perbuatannya itu, B akan mendapat kerugian. Konsep forseeability dalam proximate cause ternyata tidak ada hubungannya dengan kedekatan ruang dan waktu. Akan tetapi bagian terbesarnya, konsep proximate cause berhubungan dengan “kepentingan umum” (public policy), yakni seberapa jauh public policy tersebut menghendaki agar tanggung jawab tersebut diletakkan atas si pelaku perbuatan melawan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, para pihak pertama konsep proximate cause memperluas tanggungjawab tergugat dari hanya sekedar tanggung jawab secara faktual, tetapi di lain pihak konsep
proximate cause membatasi tanggung jawab
pelakunya, dengan jalan tidak mempertimbangkan segala akibat yang dikategorikan sebagai akibat yang “terlalu jauh” (too remote). Meskipun kadang kala terdapat kasus dimana seorang pelaku perbuatan melawan hukum tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara proximate cause (karena tidak memenuhi unsur forseeability), tetapi dapat dimintakan tanggung jawabnya secara penyebab faktual.
E. Beberapa Putusan Pengadilan tentang Perbuatan Melawan Hukum Berikut beberapa putusan pengadilan tentang perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: a. Putusan Hooge Raad (Negeri Belanda) Tanggal 21 Januari 1919 Putusan yang merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) ini menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1401 BW Belanda (sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) adalah bukan hanya melanggar undang – undang yang tertulis (wet), melainkan termasuk juga perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 212K/SIP/1958 Tanggal 22 November 1958. Bahwa apabila seorang ahli waris menjual harta dalam boedel warisan yang belum dibagi tanpa pengetahuan dan tanpa persetujuan dari ahli waris lainnya, padahal dia (penjual) tahu bahwa disamping dia, masih ada ahli waris lainnya, maka perbuatan menjual tersebut termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum. c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 558K/SIP/1971 Tanggal 4 Juni 1973. Bahwa seorang pegawai dari perusahaan (perusahaan bus) yang mengetahui atau patut akan bahaya (kebakaran) dari suatu perbuatan (mengisi bensin dengan ember diluar pompa bensin), tetapi tetap saja melakukannya, maka dia dianggap bersalah karena perbuatan melawan hukum, sehingga majikannya haruslah bertanggung jawab untuk mengganti kerugian. d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 610K/1968 Tanggal 23 Mei 1970. Bahwa jika penggugat meminta ganti rugi yang besarnya tidak layak, maka hakim dengan kekuasaannya sendiri dapat menghitung sendiri besarnya ganti rugi yang layak, dan hal ini tidak bertentangan dengan pasal 178 ayat (3) HIR (ex aequo et bono). Dalam hal ini cara perhitungan ganti rugi dilakukan dengan membagi 2 (dua) selisih jika
Universitas Sumatera Utara
dikalkulasi dengan harga emas pada waktu kejadian dengan harga emas pada waktu digugat. e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 104K/SIP/1968 Tanggal 1 Maret 1969. Bahwa tindakan tergugat yang sekonyong – konyong masuk (menyerobot) kepekarangan dan memasang patok dengan maksud untuk mendirikan bangunan padahal tempat tersebut disewa oleh penggugat tanpa seizin penggugat selaku penyewa, maka tindakan penyerobotan oleh tergugat tersebut dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Universitas Sumatera Utara