25
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JASA, LIBERALISASI JASA, PARIWISATA, DAN ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (AFAS) 1.1
Pengertian Jasa Jasa merupakan kegiatan ekonomi berupa pelayanan yang hasilnya tidak
bersifat fisik maupun konstruksi yang ditawarkan oleh pihak lain. Hasil dari kegiatan jasa ini biasanya dirasakan oleh pihak pengguna jasa atau pelanggan memberi nilai tambah seperti kenyamanan, hiburan, peningkatan kualitas diri, kesehatan, atau berupa pemecahan atas masalah yang sedang dihadapi. Philip Kotler dan Gary Armstrong menyatakan bahwa “Jasa adalah segala aktivitas dan berbagai kegiatan atau manfaat yang ditawarkan untuk dijual oleh suatu pihak kepada pihak lain yang secara esensial jasa ini tidak berwujud dan tidak menghasilkan perpindahan kepemilikan atas apapun“.1 Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa jasa adalah suatu tindakan atau altivitas yang ditawarkan pada pihak lain dan tidak berwujud, tetapi tetap bisa dinikmati manfaatnya. 1.2
Pengertian dan Konsep Liberalisasi Jasa Literatur yang membahas mengenai liberalisasi sering menyamakan
liberalisasi dengan semakin terbukanya perekonomian suatu negara, atau suatu negara Philip Kotler dan Gary Armstrong, 2012, “Principle of Marketing”, Fourteenth Edition. Pearson Education Limited, England, http://www.andripurnama.com/index.php/manajamenpemasaran/16-pengertian-karakteristik-dan-klasifikasi-jasa, diakses 28 Juli 2015. 1
25
26
sedang menjalankan kebijakan liberalisasi bila kebijakan yang diterapkan tersebut menyebabkan perekonomian semakin berorientasi ke luar. Maksud dari kebijakan liberalisasi ini adalah kebijakan perdagangan yang diambil suatu negara yang mencerminkan pergerakan ke arah yang lebih netral, liberal atau terbuka. Secara khusus, perubahan ke arah yang semakin netral tersebut meliputi penyamaan insentif (rata-rata) diantara sektor-sektor perdagangan. Suatu rezim kebijakan dianggap menjalankan kebijakan liberalisasi bila tingkat intervensi secara keseluruhan semakin berkurang.2 Adanya liberalisasi merupakan arus pemikiran umum yang muncul sebagai respon perkembangan dunia yang sangat dinamis, progresif dan berkarakter multidimensi. Liberalisasi bukanlah isu faktual, namun selalu menjadi editorial dunia beberapa dekade terakhir. Terlepas dari suatu kebutuhan atau keinginan, liberalisasi merupakan proses yang sulit dihindari. Hampir tak ada satu negara pun yang mampu berlari dari dekapan liberalisasi, hanya mungkin derajat penerapannya bergantung pada kebutuhan, kemampuan, kemauan dan kesiapan suatu negara itu sendiri.3 Menelusuri jejak liberalisasi di era modern, tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya tiga pilar ekonomi dunia melalui bretton wood. Pilar ini terdiri dari International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), dan GATT, yang kemudian bermetamorfosis menjadi World 2
Nurchalis, 2013, Analisis Hukum Internasional Terhadap Liberalisasi Perdagangan Dibidang Jasa Oleh Negara-Negara ASEAN Melalui AFAS (Asean Framework Agreement on Services), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, hlm. 12. 3 IGN Parikesit Widiatedja, op.cit, hlm. 1.
27
Trade Organization (WTO) setelah penyelenggaraan Putaran Uruguay. Bagi sebagian negara khususnya yang berada di belahan bumi utara, liberalisasi memunculkan peluang dan harapan yang sangat menggiurkan dalam memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya. Pengertian liberalisasi perdagangan adalah kebijakan mengurangi atau bahkan menghilangkan hambatan perdagangan (tarif maupun non tarif) dalam rangka meningkatkan kelancaran arus barang dan jasa.4 Jasa telah memainkan peran yang semakin berpengaruh dalam perekonomian dan ketenagakerjaan Indonesia sejak Krisis Keuangan Asia. Dalam kedua hal tersebut, jasa kini mendominasi sektor-sektor lainnya. Sementara sebagian besar pekerjaan terkait dengan sumber-sumber permintaan domestik ketimbang internasional, pekerjaan-pekerjaan yang tercipta melalui ekspor juga signifikan baik di segmen modern maupun tradisional dari sektor tersebut. Sebagian besar profesional di Indonesia terkonsentrasi di bidang jasa, dan partisipasi mereka di beberapa sub-sektor jasa memberikan kontribusi terhadap tingkat produktivitas rata-rata yang tinggi menurut standar nasional. Pertumbuhan kelas menengah serta permintaan internasional sangat penting untuk pesatnya perkembangan sektor jasa. Keduanya mendorong perluasan jasa modern, pariwisata, transportasi dan layanan bisnis.
4 Ratnaningsih Hidayati, “Pembenahan Sektor Logistik Untuk Memperkuat Daya Saing Perdagangan Indonesia”, https://widyaiswarakementerianperdagangan.wordpress.com/2010/12/01/ liberalisasi-perdagangan-berkaca-dari-pengalaman-australia/, diakses tanggal 20 Juni 2015
28
Liberalisasi juga dapat memberikan kesejahteraan bagi negara-negara dunia ketiga (Trickle Down Effect) melalui terbukanya kesempatan atau peluang untuk mengejar ketertinggalan mereka. Beraneka ragam produk baik barang dan jasa akan dapat didistribusikan secara luas ke seluruh dunia terlebih di tengah kecenderungan masyarakat yang telah memasuki fase konsumsi tinggi. 5 Sistem dan proses dalam GATS menghendaki setiap Negara anggota menyusun komitmen liberalisasi jasa, jangka waktu pelaksanaannya dan kedalaman serta ruang lingkup beroperasinya suatu pemasok jasa asing di suatu wilayah Negara tertentu. Komitmen ini meliputi sektorsektor jasa seperti jasa perbankan, telekomunikasi, konsultasi, pariwisata, dan pengangkutan. Prinsip-prinsip utama dari persetujuan yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 1995 ini antara lain Prinsip Most Favoured National Treatment, Transparansi, dan Progressive Liberalization atau liberalisasi secara bertahap. 6 Perdagangan jasa (trade in services) adalah perdagangan yang menempatkan jasa sebagai komoditi. Jasa (services) adalah rangkaian tindakan untuk membantu orang lain memenuhi kebutuhannya. Jasa mencakup pengertian layanan atau bantuan untuk mendapatkan sesuatu (serve), suatu sistem atau pengorganisasian kegiatan untuk memenuhi kebutuhan dasar seseorang atau beberapa orang (service), dan bidang bisnis yang berkaitan dengan usaha penyediaan sesuatu, tetapi bukan barang
5
Yanuar Ikbar, 2006, Ekonomi Politik Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm. 19. HS Kartadjomena, 1996. GATS dan WTO, Sistem Forum dan Lembaga Internasional Di Bidang Perdagangan, UI Press, Jakarta, hlm.77. 6
29
(goods) bagi orang lain. Dalam pengertian perdagangan, jasa mencakup seluruh aktivitas atau usaha yang diorganisir, secara kualitas, kuantitas, dan jangka waktu tertentu, untuk membantu seseorang atau lebih, mendapatkan keinginannya, berdasarkan proses transaksi, dan imbalan tertentu (service charge).7 Pengertian jasa pariwisata sebagaimana dikemukakan oleh Jan van Harssel yang dikutip oleh Ida Bagus Wyasa Putra, dkk., yaitu: “composed of those sectors of the economic providing services such as accommodation, food and beverages, transportation and recreation”8 (suatu kegiatan penyediaan jasa akomodasi, makanan, transportasi dan rekreasi serta jasa lainnya yang terkait). Perdagangan jasa pariwisata
merupakan
aspek
perdagangan
jasa
pada
umumnya,
seperti
telekomunikasi, perbankan, angkutan, konstruksi, dan aspek-aspek jasa lainnya.9 Ruang lingkup jenis perdagangan jasa GATS yang disebutkan oleh Syahmin AK diatur dalam pasal 1 ayat (1) GATS yang berbunyi: “This Agreement applies to measures by member affecting trade in service”. Pasal ini mencoba memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan Trade in Service adalah perdagangan jasa yang dilakukan dengan cara: a. Jasa yang diberikan dari suatu wilayah negara lainnya (cross-border) misalnya jasa yang mempergunakan media telekomunikasi;
7
Ida Bagus Wyasa Putra, dkk., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Jakarta, (selanjutnya disebut Ida Bagus Wyasa Putra I), hlm. 1. 8 Jan van Harssel, Ed. D, 1994, Tourism: an Exploration, Prentice-Hall International, Inc, hlm. 5. 9 Ida Bagus Wyasa Putra I, op.cit, hlm. 2.
30
b. Jasa yang diberikan dalam suatu wilayah negara kepada suatu konsumen dari negara lain (consumption abroad) misalnya turisme; c. Jasa yang diberikan melalui kehadiran badan usaha suatu negara dalam wilayah negara lain (commercial presence) misalnya pembukaan kantor cabang bank asing; d. Jasa yang diberikan oleh warga negara suatu negara dalam wilayah negara lain (presence of natural person) misalnya jasa konsultan, pengacara dan akuntan.10 Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa cakupan perdagangan jasa yang diatur oleh GATS ini relatif luas dan universal. Sementara itu pengertian jasa meliputi semua sektor jasa, kecuali jasa yang ditentukan dalam rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan, artinya setiap jasa yang dilaksanakan tidak dengan maksud komersial atau akan bersaing dengan pemasok jasa lainnya, misalnya otoritas moneter dalam menetapkan exchange rates (pasal 1 (b) dan (c) GATS). Proses liberalisasi ini telah menyentuh sektor jasa pariwisata. Kenyataan ini telah menawarkan peluang sekaligus tantangan bagi kita bersama. Dilihat dari faktor produksi seperti modal, tanah, tenaga kerja, teknologi, dan manajemen, sektor pariwisata menjanjikan keuntungan yang maksimal sehingga dapat menjadi peluang untuk meningkatan pendapatan masyarakat dan pemerataan ekonomi secara
10
Syahmin AK, 2006, Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analitis), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 178-180.
31
keseluruhan. Namun, tendensi esploitasi komersil dalam pembangunan pariwisata yang melebihi daya dukungnya (carrying capacity), patut pula kita waspadai seiring dengan kehadiran pelaku usaha asing di Indonesia. Langkah utama dan terpenting dalam mengelola pariwisata terletak pada kemauan dan kemampuan kita dalam menetapkan suatu kebijakan yang benar-benar memprioritaskan aspek perlindungan, pengendalian, dan pemanfaatan pariwisata. Dengan demikian, pengelolaan pariwisata pun akan dilakukan secara wajar, terencana, dan berkelanjutan.11 Sektor jasa yang mampu bersaing secara internasional tergantung pada upaya untuk membuat sektor jasa menjadi lebih kompetitif, dengan mengurangi peraturan yang hanya melayani kepentingan yang sempit, dan mendorong partisipasi yang lebih besar dari investor dari dalam maupun luar negeri dan penyedia layanan di sektor jasa yang utama. Pada akhirnya, Indonesia berpeluang untuk meningkatkan penghasilan devisa, dan meningkatkan produktivitas dalam negeri di bidang jasa dengan meningkatkan mutu pekerja yang terlibat dalam kegiatan layanan di luar negeri dan memungkinkan partisipasi yang lebih besar dari profesional asing, secara selektif, di bidang-bidang utama di dalam negeri. Beberapa peluang ini dapat diwujudkan melalui perdagangan bilateral dan regional dan perjanjian investasi, seperti melalui AFAS.12
11
IGN Parikesit Widiatedja, op.cit, hlm. ix. Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, 2012, Perdagangan di Bidang Jasa dan Ketenagakerjaan: Kasus Indonesia, Kantor Perburuhan Internasional (International Labour Office), Jakarta, hlm. 2. 12
32
Perjanjian perdagangan regional ASEAN di bawah naungan AFAS telah mendorong perdagangan jasa melalui deregulasi. AFAS bertujuan membebaskan perdagangan dalam empat modus perdagangan jasa: 1. Modus 1 (penawaran lintas perbatasan) 2. Modus 2 (konsumsi di luar negeri) 3. Modus 3 (kehadiran perdagangan, atau investasi asing di bidang jasa) dan 4. Modus 4 (perpindahan orang). Perdagangan jasa melalui Modus 1 dan 2 (penawaran lintas perbatasan dan konsumsi di luar negeri) relatif terbuka untuk bisnis, baik bagi mereka yang mencari akses ke Indonesia, maupun bagi perusahaan dan konsumen Indonesia yang berinvestasi dan membeli jasa di luar negeri. Mengenai Modus 3, satu isu utamanya berkenaan dengan pembatasan investasi asing di bidang jasa di Indonesia. Kerangka regional ini merupakan kendaraan penting untuk membatasi kecenderungan proteksionis di antara kelompok-kelompok kepentingan dan nasionalis-nasionalis ekonomi di dalam negeri. Pada saat yang sama, kemajuan berjalan lambat dalam rangka menghapuskan pembatasan partisipasi asing dalam industri-industri jasa utama, misalnya pendidikan dan kesehatan, yang sangat penting untuk pengembangan sumber daya manusia dan lapangan kerja produktif. Untuk Modus 4, upaya-upaya telah dilakukan untuk mendorong perjanjian pengakuan timbal balik bagi para profesional di ASEAN. Beberapa perbaikan bermanfaat telah dilakukan melalui negosiasi akses berkenaan dengan profesi tertentu. Namun kemajuan berjalan lambat
33
dalam negosiasi bilateral maupun multilateral antara Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, terutama karena pembatasan masuk yang ketat yang ditetapkan oleh asosiasi profesi dalam kasus Indonesia. Manfaat potensial dari reformasi yang membuka industri jasa ini dan jasa lainnya untuk para profesional ASEAN lain mungkin besar, meskipun para profesional Indonesia mungkin memperoleh manfaat dari akses yang lebih bebas ke negara-negara ASEAN lainnya dalam jangka pendek dan menengah.13
1.3
Pengertian Pariwisata dan Jenis-Jenis Akomodasi Wisata Definisi pariwisata telah berkembang dalam empat periode sesuai dengan
perkembangan karakter dirinya, yaitu: periode pra-revolusi industri Inggris dan Eropa (1750an); periode pasca revolusi industri (1850-1970an); periode 1970-1990; periode 1990–sekarang.14 Pada periode yang terakhir pariwisata didefinisikan sebagai bentuk perdagangan jasa (trade in services), karena itu pariwisata masuk ke dalam kategori objek World Trade Organization Agreement, sebagaimana diatur di dalam General Agreement on Trade in Services (GATS). Konsideran
UU
Kepariwisataan
menyatakan
bahwa
kepariwisataan
merupakan integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan
13
Ibid, hlm. vii. Ida Bagus Wyasa Putra, 2010, Fungsi Hukum Dalam Pengaturan Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan Jasa, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, hlm. 443. 14
34
perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat, serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional,dan global. Dasar hukum mengenai kepariwisataan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (selanjutnya disebut UU Kepariwisataan). Dalam ketentuan umum UU Kepariwisataan, memuat beberapa istilah yang berkaitan dengan pariwisata, yaitu: 1. Wisata, adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. [Pasal 1 angka 1]; 2. Wisatawan, adalah orang yang melakukan kegiatan wisata [Pasal 1 angka 2 ]; 3. Pariwisata, adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan Pemerintah Daerah [Pasal 1 angka 3]; 4. Kepariwisataan, adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pengusaha [Pasal 1 angka 4].
35
Kepariwisataan (Tourism) bukan hal baru bagi Indonesia. Kegiatan ini telah ditempatkan sebagai objek kebijakan nasional sejak pertama kali Indonesia menentukan kebijakan pembangunan. Sejak semula pemerintah Indonesia telah menyadari karakter khas dan sifat multidimensi dari kegiatan kepariwisataan, dan karena itu kebijakan kepariwisataan ditempatkan sebagai sub-kebijakan tersendiri, yaitu kebijakan kepariwisataan, namun di bawah bidang yang berbeda-beda. Kegiatan kepariwisataan, secara esensial dan obyektif, merupakan kegiatan perdagangan jasa yang berbasis pada potensi-potensi ekonomi dan non-ekonomi, mulai dari sumber daya alam sampai sumber daya sosial-budaya masyarakat dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Kepariwisataan mengandung tiga aspek dasar yaitu: 1. Kepariwisataan sebagai suatu bentuk perdagangan jasa; 2. Hubungan kegiatan bisnis kepariwisataan dengan kebudayaan dan lingkungan hidup; dan 3. Hukum yang mengatur kegiatan perdagangan jasa pariwisata dan hubungan pariwisata dengan kebudayaan.15 Pengembangan
pariwisata
berawal
dari
pengembangan
masyarakat.
Pengembangan masyarakat menurut Supardi adalah suatu proses dimana anggota masyarakat pertama-tama mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka kemudian merencanakannya dan mengerjakan bersama-sama untuk memenuhi
15
Ida Bagus Wyasa Putra I, op.cit, hlm. 9.
36
keinginan mereka tersebut. Pengembangan masyarakat juga merupakan suatu gerakan untuk menciptakan sesuatu kehidupan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat dengan berpartisipasi aktif dan inisiatif masyarakat itu sendiri.16 Dalam melakukan pengembangan pariwisata dibutuhkan berbagai pendukung untuk memperlancar jalannya kegiatan, antara lain sumber daya manusia yang berkualitas, adanya dana yang cukup memadai, didukung sarana dan prasarana serta kebijakan dari Pemerintah Daerah yang memprioritaskan bidang pariwisata. Suatu kegiatan pengembangan pariwisata yang sudah baik tanpa adanya dukungan dari hal-hal tersebut diatas tidak mungkin dapat mencapai hasil yang diharapkan, artinya setiap pengembangan bidang pariwisata sangat membutuhkan dana serta SDM yang berkualitas, disamping ditunjang adanya sarana dan prasarana serta kebijakan dari Pemerintah Daerah. Pengembangan pariwisata dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek destinasi dan aspek market. Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk dijaga kelestarian dan keberadaannya, sehingga pengembangannya harus berdasarkan market driven. Pengembangan pariwisata memerlukan perencanaan secara nasional, regional atau provinsi dan kawasan ataupun obyek. Perencanaan secara nasional disusun berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berbagai isu dan fenomena yang berkembang. Sementara itu pengembangan pariwisata regional atau lokal didasarkan pada regulasi di daerah serta persepsi dan 16
A Supardi, 1997, Pengembangan Masyarakat Desa, Mandar Maju, Bandung, hlm. 24-27.
37
preferensi masyarakat sebagai bentuk realisasi paradigma baru yang memberdayakan masyarakat. Unsur terpenting di dalam kepariwisataan selain obyek wisata yang menjadi tujuan utama wisatawan adalah sarana akomodasi, sebagai tempat untuk beristirahat atau menginap di daerah tujuan wisata. Macam-macam tempat menginap tersebut diantaranya hotel, penginapan dan pondok wisata. 1. Hotel, adalah suatu usaha yang menggunakan bangunan yang disediakan secara khusus, dimana setiap orang dapat menginap, maka, memperoleh pelayanan dan menggunakan fasilitas lainnya dengan pembayaran. Ciri khusus dari hotel adalah mempunyai restoran langsung dibawah manajemen hotel tersebut. 2. Penginapan, adalah usaha jasa pelayanan penginapan bagi umum yang dilakukan perorangan dengan tujuan untuk rekreasi, memperluas pengetahuan dan pengalaman serta tujuan lainnya. 3. Pondok wisata, adalah usaha penginapan bagi umum yang dilakukan perorangan dengan menggunakan sebagian atau seluruh dari tempat tinggalnya (dengan pembayaran harian).17 Akomodasi adalah sesuatu yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan misalnya tempat menginap atau tempat tinggal sementara bagi orang yang bepergian. 17 Wahyu Eridiana, “Sarana Akomodasi Sebagai Penunjang Kepariwisataan di Jawa Barat”, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/195505051986011WAHYU_ERIDIANA/pariwisata_pak_wahyu.pdf, diakses pada 18 Juni 2015
38
Dalam kepariwisataan akomodasi merupakan suatu industri, jadi pengertian industri akomodasi adalah suatu komponen industri pariwisata, karena akomodasi dapat berupa suatu tempat atau kamar dimana orang-orang, baik pengunjung atau wisatawan dapat beristirahat/menginap/tidur, mandi, makan dan minum serta menikmati jasa pelayanan dan hiburan yang tersedia. Akomodasi secara umum dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: 1.
Akomodasi Komersil, yaitu akomodasi yang dibangun dan dioperasikan semata-mata untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
2.
Akomodasi Semi Komersil, yaitu akomodasi yang dibangun dan dioperasikan bukan semata-mata untuk tujuan komersil, tetapi juga untuk tujuan sosial (masyarakat yang kurang mampu).
3.
Akomodasi Non Komersil, yaitu akomodasi yang dibangun dan diopersikan semata-mata untuk tujuan non komersil, yaitu tidak mencari keuntungan atau semata-mata untuk tujuan sosial atau bantuan secara cuma-cuma, namun khusus untuk golongan/kalangan tertentu dan juga untuk tujuan tertentu.18
Menurut penjelasan yang tercantum dalam Pasal 14 huruf (f) UU Kepariwisataan dapat diketahui yang dimaksud dengan usaha penyediaan akomodasi adalah: usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, villa, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan, karavan dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan wisata. 18 Ilmu Pariwisata - Bali Tourism Destination, Tourism Knowledge and Hotel Knowledge, “Jenis-jenis Akomodasi Pariwisata” http://tugaspariwisata.blogspot.com/2011/08/jenis-jenisakomodasi-pariwisata.html, diakses pada tanggal18 Juni 2015.
39
1.4
Usaha Jasa Akomodasi Usaha sarana pariwisata merupakan sarana yang meliputi penyediaan
akomodasi, pelayanan makanan dan minuman, transportasi, rekreasi, atraksi wisata, penukaran mata uang asing dan objek wisata. Di setiap daerah pariwisata diharuskan memiliki usaha sarana pariwisata untuk menunjang kebutuhan para wisatawan selama tinggal di suatu tempat baik untuk berlibur ataupun tujuan yang lain. Penyediaan usaha sarana pariwisata banyak disediakan oleh orang-orang yang berada atau berkecimpung di dunia pariwisata, selain untuk memudahkan wisatawan, juga digunakan sebagai mata pencaharian oleh masyarakat lokal, sehingga penyediaan usaha sarana pariwisata sangat menguntungkan kedua belah pihan, baik wisatawan maupun pekerja. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 10 Tahun 2009 menyatakan bahwa: “usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.” Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No. 10 Tahun 2009 menyatakan bahwa: “Pengusaha pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata.” Mengenai usaha penyediaan akomodasi, pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi, pada pasal 1 angka 1 mengatur mengenai pengertian usaha adalah: “setiap tindakan atau kegiatan dalam
40
bidang perekonomian yang dilakukan untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.” Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 mengatur: “usaha penyediaan akomodasi yang selanjutnya disebut usaha pariwisata adalah usaha penyediaan pelayanan penginapan untuk wisatawan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya.” Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa usaha jasa akomodasi adalah suatu usaha yang menggunakan suatu bangunan atau sebagain bangunan yang disediakan secara khusus, dan setiap orang dapat menginap, makan, serta memperoleh pelayanan dan fasilitas lainnya dengan pembayaran. 1.5
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS)
1.5.1
Sejarah AFAS Seperti telah diketahui, ASEAN merupakan organisasi internasional yang
dibentuk oleh negara-negara yang berada di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa, “One of those characteristics is that international organizations are usually created between states, or rather, as states themselves are abstraction, by duly authorized representatives of states.”19
Berdasarkan uraian tersebut dapat
diketahui, salah satu karakteristik adalah bahwa organisasi internasional biasanya dibuat antara negara, atau lebih tepatnya, melihat pengertian negara sendiri abstrak, oleh wakil-wakil yang berwenang dari negara. Indonesia merupakan salah satu negara Asia Tenggara yang berperan sebagai founding father (pendiri) bersama-sama dengan Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura dalam pendirian Association South East 19
Jan Klabbers, 2009, An Introduction to International Law, cetakan ke-2, Cambrige University Press, New York, hlm. 7.
41
Nation (ASEAN) berdasarkan pada Deklarasi Bangkok tanggal 8 Agustus 1967 yang selanjutnya dikenal sebagai ASEAN. Saat ini ASEAN memiliki anggota hingga 10 (sepuluh) negara yaitu Brunei Darussalam bergabung pada tahun 1984, Vietnam bergabung pada tahun 1995, Myanmar dan Laos bergabung pada tahun 1997, dan Kamboja bergabung pada tahun 1999. Dalam pelaksanaan kerja sama dalam wadah ASEAN ini dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam 2 (dua) dokumen. Dokumen tersebut memuat prinsip- prinsip dasar dalam melaksanakan hubungan antar negara, khususnya antar negara-negara anggota ASEAN. Dokumen yang memuat prinsip tersebut adalah: 1. Dokumen pertama yang mengatur mengenai deklarasi The Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) yang mendeklarasikan agar negaranegara ASEAN berupaya meningkatkan dan menjamin pemahaman kawasan ASEAN sebagai zona aman, damai, merdeka dan netral, bebas dari campur tangan kekuatan luar. 2. Dokumen kedua, merupakan prinsip yang tercantum dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (TAC) yang mendeklarasikan bahwa negara-negara anggota dalam hubungan bernegara harus didasari prinsip saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, kesatuan wilayah, dan identitas nasional dari seluruh negara.20 Terbentuknya ASEAN Economic Community (AEC) menandai terintegrasinya ASEAN ke dalam era baru perdagangan bebas. AEC juga menandai transformasi ASEAN sebagai sebuah blok kawasan yang semula didirikan sebagai basis politik 20 Sri Fatmawati, 2007, Kerjasama Perdagangan Regional (AFTA), Kajian Ekonomi Terhadap Perdagangan Barang di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN), Yogyakarta, hlm. 118.
42
anti-komunis peninggalan perang dingin, untuk pada akhirnya berubah menjadi sebuah blok kawasan ekonomi perdagangan bebas yang sepenuhnya kapitalistik. AEC menandai prioritas baru dalam ASEAN yang dikemudikan oleh kepentingankepentingan ekonomi. ASEAN kini masuk sepenuhnya kedalam era rezim perdagangan bebas. Salah satu komponen penting dari AEC adalah ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Kesepakatan di bidang ekonomi, khususnya liberalisasi perdagangan antar anggota ASEAN selain mencakup perdagangan barang juga mencakup perdagangan jasa. Liberalisasi perdagangan jasa di ASEAN dilakukan AFAS yang ditandatangani pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-5 di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995. Kesepakatan di bidang jasa ini kemudian disahkan
melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 1995 tentang Pengesahan AFAS yaitu Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN tentang Jasa. AFAS mulai berlaku di Indonesia pada saat ditandatangani, yaitu pada tanggal 15 Desember 1995. AFAS mengatur secara tegas mengenai ketentuan perdagangan bebas di bidang jasa yaitu dalam: Article 1: “The objectives of the Member States under the ASEAN Framework Agreement on Services (hereinafter referred to as "this Framework Agreement) are: a. to enhance cooperation in services amongst Member States in order to improve the efficiency and competitiveness, diversify production capacity and supply and distribution of services of their service suppliers within and outside ASEAN
43
b. to eliminate substantially restrictions to trade in services amongst Member States c. to liberalise trade in services by expanding the depth and scope of liberalisation beyond those undertaken by Member States under the GATS with the aim to realising a free trade area in services” Terjemahannya: Tujuan negara-negara anggota di dalam Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN tentang Jasa (untuk selanjutnya disebut sebagai “Persetujuan Kerangka Kerja ini”) adalah: a. memperluas kerjasama dalam bidang jasa di antara negara-negara anggota dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, mendiversifikasi kapasitas produksi dan suplai serta distribusi jasa dari para penyedia jasa mereka di dalam dan di luar ASEAN. b. menghilangkan secara mendasar hambatan-hambatan dalam perdagangan jasa di antara negara-negara anggota c. meliberalisasi perdagangan jasa dengan mengembangkan kedalaman dan cakupan liberalisasi melampaui yang dijalankan oleh negara-negara anggota di bawah GATS dengan tujuan untuk mewujudkan daerah perdagangan bebas dalam bidang jasa) Tujuan dari dibentuknya AFAS adalah untuk meningkatkan efesiensi dan tingkat kompetitif dari negara-negara anggota ASEAN sebagai penyedia jasa. Diharuskan mengeliminasi substansi-substansi hambatan dibidang jasa antar anggota ASEAN, dan meliberalisasi perdagangan jasa dengan memperluas tingkatan dan jangkauan liberalisasi, khususnya jasa dengan tujuan utama membentuk perdagangan bebas jasa.21
21
Hadi Soesastro, 2000, A New ASEAN in a New Millenium, Centre For Strategic and International Student, Jakarta, hlm. 215.
44
1.5.2
Prinsip-prinsip AFAS Dalam perundingan liberalisasi bidang jasa, AFAS menerapkan Prinsip-
prinsip sebagaimana yang diterapkan dalam WTO. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: a. Most Favoured Nation (MFN) Treatment, kemudahan yang diberikan kepada suatu negara berlaku juga untuk semua negara lain. b. Non-discriminative, pemberlakuan hambatan perdagangan diterapkan untuk semua negara, tanpa pengecualian; c. Transparency, setiap negara wajib mempublikasikan semua peraturan, perundang-undangan, pedoman pelaksanaan dan semua keputusan/ ketentuan yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah; d. Progressive liberalization, liberalisasi secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi setiap negara anggota.22 Proses liberalisasi bidang Jasa dilakukan secara bertahap dan hati-hati dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan tingkat pembangunan ekonomi dari anggota ASEAN. Untuk itu diterapkan prinsip fleksibilitas yang disepakati oleh semua negara ASEAN (Pre-Agreed Flexibility) dan penerapan formula ASEAN minus X (ASEAN-X), maksudnya adalah negara-negara yang telah siap dapat terlebih dahulu melaksanakan liberalisasi dan negara yang belum siap dapat 22
Dirjen Kerjasama ASEAN, 2009, Integrasi Ekonomi ASEAN di Bidang Jasa, Dirjen Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 8-9.
45
bergabung kemudian ketika mereka merasa sudah cukup atau sangat siap untuk melakukan liberalisasi yang telah disepakati. Di samping itu, untuk memberikan keputusan liberalisasi, negara anggota tidak diperkenankan untuk menarik kembali komitmennya yang telah disepakati. Diharapkan nantinya menjelang tahun 2020 seluruh anggota ASEAN telah siap untuk melaksanakan liberalisasi jasa yang telah mereka sepakati lewat AFAS demi mewujudkan ASEAN Vision 2020.