Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 1, Nomor 2, Maret 2017 P-ISSN: 2528-7273 E-ISSN: 2540-9034 Artikel diterima 03 Oktober 2016, artikel direvisi 23 November 2016, artikel diterbitkan 29 Maret 2017 DOI: 10.23920/jbmh.v1n2.8 Halaman Publikasi: http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/jbmh/issue/archive
PENGATURAN SAFEGUARDS SEKTOR ANGKUTAN UDARA ASEAN DI ERA LIBERALISASI JASA Adi Kusumaningrum* Abstrak ASEAN Single Aviation Market (ASAM) telah dilaksanakan sejak 2015, dalam rangka mewujudkan ASEAN open sky policy. Meskipun demikian, masih terjadi situasi dan kondisi yang berbeda dalam penyediaan jasa angkutan udara antar negara-negara anggota ASEAN. Hal inilah yang menimbulkan sikap skeptis sebagian pihak akan keberhasilan ASAM, terutama bagi Indonesia. Market share penumpang yang didapatkan Indonesia sampai saat ini masih tertinggal dari sebagian besar negara ASEAN lainnya, bahkan kondisi tersebut makin memburuk tiap tahunnya. Bukan tidak mungkin, suatu saat ke depan industri penerbangan internasional Indonesia mengalami injury. Artikel ini akan memaparkan hasil analisa bagaimana bentuk perlindungan (safeguard) terhadap industri penerbangan nasional, yang terdapat dalam instrumen-instrumen hukum internasional di ASEAN. Pada dasarnya, safeguard adalah katup pengaman yang memungkinkan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri jika terjadi ‘injury’ karena peningkatan persaingan internasional yang dihasilkan dari komitmen liberalisasi. Lebih jauh, ASEAN hendaknya mengatur lebih lanjut jenis perlindungan dalam rangka memfasilitasi penyesuaian terhadap industri domestik jasa angkutan udara. Kata Kunci: angkutan udara, ASEAN, jasa, liberalisasi, safeguard. Abstract: ASEAN Single Aviation Market (ASAM) have been implemented since 2015, in order to achieve the ASEAN Open sky policy. Nevertheless, it is still going on different situation and conditions (asymmetric playing field) in the provision of air transport services between the Member States of ASEAN. This raises some skepticism of the benefit of ASAM, especially for Indonesia. Market share of passenger number for Indonesia is still left behind from the majority of ASEAN Countries. This condition, even worsening every year. It is not impossible if the international aviation industry of Indonesia will suffer injury. This article will present safeguard form for national aviation industry according to international legal instrument in ASEAN. Essentially, safeguards are safety valves that allow governments to temporarily protect the domestic industry if it is injured by increased international competition resulting from liberalization commitments. Furthermore, ASEAN should define the provision on conducting domestic industrial adjustment of air transport services. Keywords: air transport, ASEAN, liberalisation, safeguard, services.
* Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, email:
[email protected]
Adi Kusumaningrum Pengaturan Safeguards Sektor Angkutan Udara Asean di Era Liberalisasi Jasa
Pendahuluan Liberalisasi angkutan udara sebagai tren global yang tidak dapat dibendung dan telah berlangsung sejak tahun 1980an adalah fakta yang tidak dapat dibantah.1 Sejak the ICAO’s 4th Worldwide Air Transport Conference, liberalisasi angkutan udara mengalami perkembangan yang cukup besar terutama dalam hal akses pasar, khususnya ditingkat regional dan sub regional. Lebih dari 600 (enam ratus) perjanjian bilateral telah diamendemen antara Januari 1995 sampai dengan Desember 2001. Sekitar 70 (tujuh puluh) persen dari perjanjian dan amandemen tersebut berbentuk pengaturan tentang liberalisasi.2 Pada tingkat regional dan sub-regional, kelompok negara-negara tersebut telah menciptakan rezim peraturan multilateral yang bertujuan membina kerja sama dan liberalisasi peraturan angkutan udara antara negara anggota. Sebelum the ICAO’s 4th Worldwide Air Transport Conference, hanya ada dua pengaturan regional yaitu Uni Eropa (UE) dan Andean Pakta. Sejak tahun 1995, delapan pengaturan telah lahir dengan penyebaran di seluruh dunia (dua di Amerika, satu di AsiaPasifik, satu di Timur Tengah dan empat di Afrika). Perjanjian-perjanjian tersebut, tujuh diantaranya menyediakan liberalisasi instan atau bertahap yang mengarah pada akses pasar penuh. Beberapa pengaturan potensial lainnya juga sedang berjalan (di Eropa, Atlantik Utara, Pasifik Selatan dan Karibia).3
190
Pengaturan penerbangan sipil di beberapa negara maju terus mengalami perubahan yang cukup signifikan yakni dengan dikembangkannya liberalisasi angkutan udara internasional melalui ketentuan-ketentuan (paket kebijakan) deregulasi.4 Konsep liberalisasi seperti demikian biasa disebut dengan open sky policy. Verschoor memberikan pengertian open sky policy sebagai berikut:5 “The term Open Skies indicates a shift from the traditional exchange of traffic rights toward a system under which regulation of competition forms the core elements. As freedom is inherent to such a system, it would seem more appropriate to list what should not be allowed under such a regime instead of the present situation of a non-exhaustive list what is allowed” Menurut Verschoor istilah open sky menunjukan adanya pergeseran pertukaran hak lalu lintas dari sistem tradisional menuju sistem regulasi kompetisi dari elemen-elemen terbang. Kebebasan melekat pada sistem seperti ini, di mana membuat daftar apa yang seharusnya tidak diperbolehkan tampak lebih tepat daripada membuat daftar yang tidak lengkap tentang apa saja yang diperbolehkan. Konsep open sky policy berarti bahwa segala sesuatu diperbolehkan, kecuali yang secara tegas dilarang. Menurut Endang Saefullah Wiradipradja, open sky policy merupakan konsep kebijakan internasional yang bertujuan untuk
Ruwantissa Abeyratne, “Liberalization of Trade Air Transport Services”, Journal of World Invesment and Trade, ZDB-ID 20257181. Vol. 4., 2003, hlm. 639. 2 Ibid., hlm. 642. 3 Idem. 4 Untuk definisi Liberalisasi lihat Report of conferences, 12 Air L. 303, 306 (1987). Sedangkan definisi Deregulasi, sebagai perbandingan lihat Seth M. Warner, “Liberalize Open Sky: Foreign Invesment And Cabotage Restrictions Keep Noncitizens in Second Class”, The American University Law Review, Vol 43: 277, 1993, hlm. 279. 5 Verschoor, An Introduction to Air Law, ninth revised edition, Walters Kluwer, Netherland: 2012, hlm. 66. 1
191 mengadakan liberalisasi tentang ketentuanketentuan dibidang industri penerbangan internasional, khususnya penerbangan komersial, misalnya membuka pasar bebas bagi industri perusahaan penerbangan.6 Open sky di sini memberikan fleksibilitas atau kesempatan yang luas kepada perusahaan angkutan udara untuk dapat melaksanakan elemen-elemen hak angkut udara (traffic rights) yang diperoleh atas dasar perjanjian bilateral atau multilateral. ASEAN Open sky policy diwujudkan dengan membentuk pasar tunggal penerbangan (ASEAN Single Aviation Market/ASAM) yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2015. Dalam rangka penerapan ASAM tersebut, ASEAN telah menetapkan the Roadmap for Integration of Air Travel Sector (RIATS). Dengan disepakatinya pasar tunggal ini, setiap maskapai penerbangan yang ditunjuk oleh negara anggota ASEAN diperbolehkan untuk mengoperasikan baik jasa penumpang maupun kargo terjadwal dari negara asal menuju bandara internasional negara anggota lainnya, dan kemudian ke bandara internasional negara anggota ketiga, tanpa pembatasan kapasitas dan jadwal. ASAM memberikan peluang secara ekonomi bagi setiap negara untuk meningkatkan pemasukan maupun pembukaan lapangan kerja. Peningkatan konektivitas udara juga telah memberikan kontribusi terhadap stabilitas pertumbuhan industri pariwisata ASEAN yang rata-rata hampir meningkat 10% dalam dekade terakhir.7 Meskipun demikian, berdasarkan data
Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1, Nomor 2, Maret 2017
statistik rata-rata jumlah penumpang pesawat di ASEAN sepanjang tahun 2006 sampai 2013 dan market share jumlah penumpang pesawat di ASEAN sepanjang Tahun 2006 sampai 2013, dapat diketahui bahwa posisi Indonesia masih berada di urutan ke-6 dibandingkan 10 negara ASEAN lainnya.8 Demikian halnya dengan tahun 2015, maskapai Indonesia hanya mampu menyediakan 41 (ribu) frekuensi penerbangan dengan 18,3 juta kursi per tahun, sementara maskapai penerbangan asing menyediakan 59 (ribu) frekuensi penerbangan dengan 26.6 juta kursi per tahun.9 Dari angka tersebut diketahui pada Winter 2015/2016, maskapai Indonesia mempunyai frekuensi penerbangan 565/minggu dengan kapasitas tempat duduk 230,778/Minggu, sedangkan maskapai penerbangan asing (ASEAN) mempunyai frekuensi penerbangan 610/minggu dan kapasitas tempat duduk 234, 344/Minggu.10 Pada tahun 2014 dan 2015, pertumbuhan baik penumpang maupun kargo angkutan udara niaga berjadwal luar negeri Indonesia menunjukkan angka yang negatif. Pertumbuhan negatif jumlah penumpang, dapat dilihat pada 5 tahun terakhir (2011-2015) dengan terjadinya penurunan jumlah yang secara umum sebesar -8.89%.11 Jasa angkutan udara ASEAN masih mengalami situasi dan kondisi yang berbeda (asymmetric playing field) dalam penyediaan jasa angkutan udara masing-masing negara ASEAN, khususnya dalam hal skala usaha dan kemampuan finansial.
Endang Saefullah Wiradipradja, “Penggunaan Ruang Udara Indonesia bagi Penerbangan Internasional Berjadwal dan Masalah Open Skies Policy” dalam Shinta Dewi (eds), Perkembangan Hukum di Indonesia: Tinjauan Retrospeksi dan Prospektif, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2012, hlm. 237. 7 Building The ASEAN Community, Asean Single Aviation Market; One Sky, One Region, http://www.asean.org/storage/images/2015/ October/outreach-document/Edited%20ASAM-2.pdf,2015, diakses 1 Agustus 2016. 8 ASEAN Statistical Yearbook 2014, Jakarta: ASEAN Secretariat, July 2015. 9 Buku Statistik Angkutan Udara 2015, Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Republik Indonesia. 10 Ibid. 11 Ibid. 6
Adi Kusumaningrum Pengaturan Safeguards Sektor Angkutan Udara Asean di Era Liberalisasi Jasa
Permasalahan hukum yang dibahas dalam tulisan ini adalah Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi industri penerbangan dalam negeri di pasar tunggal penerbangan ASEAN, apabila terjadi injury? Apakah ASAM mempunyai instrumen hukum bagi perlindungan industri penerbangan dalam negeri negara-negara pesertanya? Penulis menggunakan analisis hukum yuridis dengan pendekatan perundangundangan dalam menjawab permasalahan hukum tersebut. Pendekatan perundangundangan dilakukan untuk menganalisis perjanjian-perjanjian regional maupun internasional yang penormaannya memberikan kesempatan bagi perlindungan industri dalam negeri di dalam skema liberalisasi. Beberapa perjanjian regional ASEAN yang akan dianalisis dalam artikel ini meliputi perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dalam skema ASAM, yaitu: ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Air Freight Services (ASEAN MAFLAFS), ASEAN Multilateral Agreement on Air Services (ASEAN MAAS), dan ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Passenger Air Service (ASEAN MAFLPAS). Pembahasan The Asean Single Aviation Market (ASAM) dan Gambaran Asymmetric playing field Industri penerbangan di ASEAN Kebijakan “open sky” jasa angkutan udara hard right, telah dimulai oleh Amerika Serikat sejak tahun 1975. Pada tahun itu, Amerika Serikat melakukan peninjauan kembali
12
13 14 15
192
tentang kebijakan internasionalnya khususnya dalam bidang transportasi yang berkaitan dengan kebijakan open sky policy.12 Kebijakan ini awalnya dilatarbelakangi oleh kebijakan CAB yang dirasakan memberikan kontribusi terhadap harga industri penerbangan yang tidak kompetitif, dan semakin lama dirasakan tidak banyak mendatangkan keuntungan. Oleh karena itu, pada tahun 1975, CAB merespons permasalahan tersebut dengan mengevaluasi kebijakan dan merekomendasikan kepada Kongres untuk me-deregulasi industri 13 transportasi udara Amerika Serikat. Amerika Serikat mencanangkan ADA atau Airline Deregulation Act pada tahun 1978. Hal ini dianggap sebagai A New Type of Order yang syarat dengan perkembangan teknologi dengan berbagai inovasi baru.14 Proses deregulasi angkutan udara juga terjadi di Eropa. Pada tahun 1983 Dewan Eropa mengadopsi Directive 83/416/EEC untuk meliberalisasi beberapa layanan udara antar regional dalam Komunitas Uni Eropa, tetapi negara-negara anggota masih bersikeras pada sejumlah kondisi yang membatasi. Hal ini diikuti oleh paket-paket yang lebih umum, Paket Liberaliasasi Penerbangan yang pertama disetujui pada bulan Desember 1987. Paket Liberalisasi Penerbangan yang kedua disepakati pada bulan Juli 1990, dan Paket Liberalisasi Penerbangan yang ketiga yang mengatur tentang substansi liberalisasi pasar di dalam (antar) anggota Komunitas disepakati pada tahun 1992 (Peraturan 2407/92/EC, Peraturan 2408/92/EC, Peraturan 2409/92/EC).15 Single
Wassenbergh, H.A., Public International Air Transportation Law in A New Era (Economic Regulation of International Air Carier Operation), Kluwer-Deventer, Netherland: (tanpa tahun), hlm. 145. Seth M. Warner, Op.Cit., hlm. 289. Brian F. Havel, Beyond Open Skies, A New Regime for International Aviation, Kluwer International Law, Netherland: 2009, hlm. 252. Ibid., hlm. 65-66.
193
Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1, Nomor 2, Maret 2017
European Sky (SES) dibentuk berdasarkan Regulasi EC no 549/2004, tanggal 10 Maret 2004. Regulasi ini meletakkan kerangka bagi terciptanya SES. Integrasi transportasi udara semacam ini dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari kepentingan nasional beberapa negara disektor penerbangan sipil ke dalam kesatuan kepentingan masyarakat yang lebih besar.16
Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Air Freight Services (ASEAN MAFLAFS) dengan enam protokol di Manila (20 May 2009); ASEAN Multilateral Agreement on Air Services (ASEAN MAAS) dengan enam protokol di Manila (20 May 2009); ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Passenger Air Service (ASEAN MAFLPAS) dengan dua protokol di Brunei (12 November 2010).
Pada perkembangannya Uni EropaAmerika Serikat melakukan perjanjian yang memungkinkan setiap maskapai penerbangan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk terbang antara titik di mana pun di Uni Eropa, sedangkan di Amerika Serikat hanya satu titik. Perjanjian Uni Eropa-Amerika Serikat tersebut di atas merupakan salah satu “Open sky agreement”, meliputi lalu lintas penerbangan sipil antara dua dari tiga pasar terbesar dunia.17
Isi kesepakatan dalam ASEAN MAAS secara umum adalah mengatur mengenai liberalisasi dibidang jasa angkutan udara khususnya jasa angkutan udara penumpang yang diwujudkan dalam bentuk ASEAN Open Sky Policy pada tahun 2015. Implementasi ASEAN open sky ini dilakukan secara bertahap yang tahapantahapannya ditentukan dalam protokolprotokol yang terdapat dalam ASEAN MAAS. Hal ini berarti akan terjadi persaingan bebas antar maskapai masing-masing negara dalam menggarap pasar penerbangan di kawasan ASEAN.
Pergeseran dimensi pengaturan ini pun tidak dapat dielakkan oleh Negara-negara di kawasan ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations). Konsep deregulasi di ASEAN diwujudkan dengan membentuk pasar tunggal penerbangan ASEAN (ASEAN Single Aviation Market/ASAM) pada tahun 2015.18 Pada tahun 2015 seluruh negara yang tergabung dalam ASEAN telah memiliki bandar udara internasional dan membuka seluruh wilayah ruang udaranya. Untuk mewujudkan hal ini, ASEAN telah menetapkan the Roadmap for Integration of Air Travel Sector (RIATS) yang merupakan kerangka kerja operasional yang terdiri dari 3 (tiga) agreement, yaitu: ASEAN
16
17 18
ASEAN MAFLPAS merupakan pintu terakhir menuju cita-cita ASAM. ASEAN MALPAS dapat dikatakan juga merupakan lanjutan dari ASEAN MAAS terkait dengan liberalisasi angkutan udara penumpang. Perbedaannya adalah dalam ASEAN MAAS masih mengatur liberalisasi angkutan Udara dalam kawasan ASEAN namun dengan titik ke titik kota-kota tujuan yang terbatas sedangkan dalam ASEAN MALPAS akan mengatur Open Sky atau liberalisasi angkutan udara penumpang secara penuh dengan pointpoint semua bandara internasional yang ada di
Jason R. Robin, Regionalism in International Civil Aviation: A Reevaluation of The Economic Regulation of International Air Transport in The Context of Economic Integration, Singapore Year Book of International Law and Contributors, 2010, hlm. 114. Davis Knibb, ‘Liberalisation Breaking the Bilateral Web”, Airline Business, Vol. 26, no. 5, 2010, hlm. 3. Lihat Syamsul Arifin, dkk., Mayarakat Ekonomi ASEAN 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Gramdia, Jakarta: 2012, hlm. 37.
Adi Kusumaningrum Pengaturan Safeguards Sektor Angkutan Udara Asean di Era Liberalisasi Jasa
setiap negara.19 Adapun ASEAN MAFLAFS adalah perjanjian liberalisasi dibidang cargo (freight). Karakteristik ketiga agreement ini diantaranya adalah: 1) multiple designation; 2) fleksibilitas operasional; 3) relaxed ownership dan control requirements; 4) kapasitas, frekuensi dan type pesawat yang tidak terbatas; 5). Kebebasan terbang ketiga, keempat dan kelima tidak terbatas. Penambahan volume penerbangan internasional, Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan tiga negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Thailand dan Malaysia. Berdasarkan ASEAN Yearbook 2014 dapat diketahui bahwa sepanjang tahun 2006 sampai
194
2013 market share Indonesia dibanding sepuluh negara ASEAN lainnya berada di urutan ke-6 di bawah Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina dan Vietnam. Demikian halnya jumlah kargo yang diangkut, Indonesia juga masih jauh tertinggal dari Singapura, Thailand dan Malaysia. Hal ini tentunya berkorelasi lurus dengan jumlah lalu lintas pesawat di ASEAN di mana Singapura masih menjadi negara paling banyak frekuensi penerbangan pesawatnya untuk jalur internasional disusul Thailand dan Malaysia. Berikut Grafik rata-rata jumlah penumpang pesawat rute internasional di ASEAN:
Grafik 1 Rata -Rata Jumlah Penumpang Pesawat Rute Internasional di ASEAN Sepanjang Tahun 2006 sd 2013
Sumber: data sekunder, diolah, 2016.
19
Adi Kusumanigrum, “Pelaksanaan Pasal 5 (1) Charter of The Association of Southeast Asia Nation Bidang Jasa Angkutan Udara di Indonesia”, Rechtidee Jurnal Hukum, Volume 9 Nomor 1, 2014, hlm. 47.
195 Pada winter season 2015/2016 yang berlangsung dari Oktober 2015 hingga Maret 2016, kapasitas kursi yang disediakan oleh maskapai penerbangan Indonesia lebih sedikit daripada yang disediakan oleh maskapai penerbangan asing. Maskapai Indonesia hanya mampu menyediakan 41 (ribu) dengan 18,3 juta kursi per tahun, sementara maskapai penerbangan asing menyediakan 59 (ribu) dengan 26.6 juta kursi per tahun. Data Kapasitas Angkutan Udara Niaga Berjadwal Luar Negeri ini, dapat diuraikan lebih lanjut berdasarkan rute luar negeri dari/ke Indonesia yang diangkut oleh maskapai penerbangan nasional dan ke/ dari Indonesia yang diangkut oleh maskapai penerbangan asing. Pada periode Winter 2015/2016, maskapai penerbangan Indonesia bahkan hanya mengangkut penumpang dari/ ke Malaysia, Singapura dan Timor Leste. Penerbangan tersebut hanya dilayani oleh beberapa badan usaha saja, antara lain Garuda Indonesia, Indonesia Air Asia, Lion Air, Sriwijaya Air, Travel Express dan Batik Air. Pada Winter 2015/2016, maskapai Indonesia mempunyai frekuensi penerbangan 565/minggu dengan kapasitas tempat duduk 230,778/Minggu, sedangkan frekuensi penerbangan perusahaan angkutan udara asing ke/dari Indonesia sebesar 610/minggu dengan kapasitas tempat duduk 234,344/minggu. Angka ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan karena dilihat dari jumlah kapasitas tempat duduk yang disediakan hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Di periode ini maskapai-maskapai penerbangan Singapura
20
21
22
Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1, Nomor 2, Maret 2017
masih merupakan operator asing di ASEAN yang paling banyak terbang ke Indonesia, yakni sebanyak 267 kali atau 43,8% dari seluruh frekuensi maskapai penerbangan asing ASEAN yang terbang ke Indonesia. Menurut IATA, sektor penerbangan turut membantu mempertahankan 58 juta pekerjaan dan menggerakkan 2,4 triliun US Dollar kegiatan ekonomi di seluruh dunia. Dalam 20 tahun mendatang, sektor penerbangan bisa diharapkan mendukung sekitar 105 juta pekerjaan dan menghasilkan 6 triliun US Dollar pada PDB.21 Menurut Airport Council International, pertumbuhan lalu lintas pesawat terbang (domestik dan internasional) di seluruh dunia akan naik rata-rata 2 persen per tahun. Bahkan menurut studi yang dilaksanakan oleh Japan Aircraft Development Corporation untuk kawasan Asia dapat mencapai 6 persen per tahun. Adapun laju penerbangan transportasi udara Indonesia baik domestik maupun internasional, menurut World Bank akan bertumbuh dengan laju antara 6-10 persen per tahun dalam kondisi normal, dalam arti tidak ada stimulus seperti kesepakatan ASEAN open sky.22 Akan tetapi, berdasarkan Statistik Angkutan Udara Tahun 2015, pertumbuhan baik penumpang maupun kargo angkutan udara niaga berjadwal luar negeri dalam dua tahun terakhir (2014-2015) menunjukkan angka yang negatif. Secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut:
Michelle DY, Opening ASEAN Skies: The ASEAN Single Aviatin Market, 2015, http://www.slideshare.net/MichelleDy/asean-singleaviation-market, diakses 01/08/2016. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Indonesia Berbagi Pengalaman di Forum Penerbangan Internasional, 2015, http://hubud. dephub.go.id/?id/news/detail/2757, diakses 1 Agustus 2016. Sehat Aditua F. Silalahi & Achmad Wirabrata, Op.Cit., hlm. 68.
Adi Kusumaningrum Pengaturan Safeguards Sektor Angkutan Udara Asean di Era Liberalisasi Jasa
Grafik 2 Pertumbuhan Penumpang Tahun 2011 – 2015
196
Grafik 3 Pertumbuhan Cargo Tahun 2011 – 2015
Sumber: Data sekunder, diolah, 2016. Berdasarkan Grafik 2, total produksi angkutan udara niaga berjadwal luar negeri badan usaha angkutan udara niaga nasional tahun 2011-2015, dapat diketahui bahwa koefisien regresi -8.890 (bertanda negatif), dan signifikan (Sig = 0.11 < 0.05), artinya terdapat pengaruh signifikan dan negatif antara tahun dengan pertumbuhan penumpang. Tanda negatif mengindikasikan adanya penurunan setiap tahunnya. Jadi dapat dikatakan terjadi penurunan jumlah penumpang sepanjang 5 tahun terakhir (2011-2015), dengan tingkat secara umum sebesar -8.89%. Adapun dalam Grafik 3, pertumbuhan kargo sepanjang tahun 2012 sampai 2015 koefisien regresi -17.066 (bertanda negatif), dan signifikan (Sig = 0.46 < 0.05), artinya terdapat pengaruh signifikan dan negatif antara tahun dengan pertumbuhan kargo. Tanda negatif mengindikasikan adanya penurunan setiap tahunnya. Jadi dapat dikatakan terjadi penurunan jumlah penumpang sepanjang 4 tahun terakhir (2012-
2015), dengan tingkat penurunan secara umum sebesar-17.066%. Menurut Sekretaris Jenderal Indonesian National Air Carriers Association (INACA), penyebab penurunan pertumbuhan penumpang dan kargo ini adalah perekonomian Indonesia yang tidak kunjung membaik yang akhirnya berpengaruh kepada menurunnya daya beli masyarakat terhadap tiket pesawat.23 Di lain pihak menurut Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan, rendahnya pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terus melemah, dan avtur yang tinggi jadi penyebab lesunya pertumbuhan industri penerbangan.24 Adapun menurut Ketua Bidang Penerbangan Berjadwal Indonesia National Air Carrier Association (INACA), hal tersebut disebabkan oleh penerapan aturan tarif batas bawah sebesar 40 persen dari tarif batas atas penerbangan yang pada akhirnya menyebabkan turunnya permintaan, khususnya di kelas low cost carrier
Pingkan Palilingan, Industri Penerbangan Indonesia di Jalur Menurun, 2014, http://www.cnnindonesia.com/ ekonomi/20140919171615-92-3806/industri-penerbangan-indonesia-di-jalur-menurun/, diakses 1 Agustus 2016. 24 Ibid. 23
197
Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1, Nomor 2, Maret 2017
LCC dan medium service.25 Sedangkan, menurut Ketua Umum INACA, penerapan aturan tarif batas bawah ini akan memproteksi maskapai penerbangan kecil dari aksi predator maskapai penerbangan bermodal besar yang bisa menjual tiket sesuai batas bawah secara masif.26 Dalam sistem perdagangan bebas internasional, tren pertumbuhan yang negatif sebagaimana tergambar di atas, menunjukkan bahwa bukannya tidak mungkin industri penerbangan internasional Indonesia akan mengalami kerugian suatu saat ke depan, untuk itu penulis berpendapat diperlukan instrumen hukum untuk memberikan perlindungan terhadap industri jasa penerbangan dalam negeri. Bentuk perlindungan yang penulis maksud adalah safeguard (pengamanan). Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Marek Zylicz, bahwa: “the optimize of the global air transport system cannot be achieved without multilateral liberalization. However, such liberalization will not be universally accepted unless appropriate safeguards are agreed upon to ensure that the relevant risks incurred by an individual party are not incommensurably high compared to benefits derived from the overall improvement of the system”27
25
26 27 28
29
Perkembangan Pengaturan Ketentuan Safeguard dalam Perjanjian Bidang Jasa di ASEAN WTO memberikan definisi Emergency Safeguard Measure (ESM) adalah sebagai berikut: “Essentially, safeguards are safety valves that allow governments to temporarily and on an MFN basis protect the domestic industry if it is injured by increased international competition resulting from liberalization commitments”28 Dari definisi tersebut di atas, dapat diberikan pengertian bahwa ESM pada dasarnya adalah katup pengaman yang memungkinkan bagi pemerintah untuk secara sementara dan berdasarkan prinsip non diskriminasi (Most Favourable Nation/ MFN) melindungi industri dalam negeri jika terjadi “injury” (ancaman) yang disebabkan oleh meningkatnya persaingan internasional akibat komitmen liberalisasi. Meskipun demikian, ketentuan safeguard ini dihasilkan tidak untuk membatasi persaingan dalam pasar internasional, akan tetapi sebaliknya, mengingat pentingnya penyesuaian struktural dan kebutuhan untuk meningkatkan persaingan usaha. Disepakatinya ketentuan safeguard bertujuan untuk menegakkan kembali pengendalian multilateral tentang tindakan pengamanan dan menghilangkan yang lolos dari pengendalian tersebut.29
Sinar Harapan, Pertumbuhan Penumpang Pesawat Turun 10 persen, 2015, http://www.sinarharapan.co/news/read/150122052/ pertumbuhan-penumpang-pesawat-turun-10-persen, diakses 1 Agustus 2016. Ibid. Marek Zylicz, International Air Transport Law, Martinus Nijhoff Publishers, The Netherland: 1992, hlm. 189. WTO, Further thoughts on Emergency Safeguard Mechanism: Communication from Brunei, Indonesia, Malaysia, Myanmar, The Philippines, and Thailand, JOB(04)/xxxx, February 24, 2004, para 7. Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta: 2011, hlm. 223.
Adi Kusumaningrum Pengaturan Safeguards Sektor Angkutan Udara Asean di Era Liberalisasi Jasa
Dibidang jasa, safeguard dapat diberlakukan apabila terjadi kondisi tertentu yang spesifik. Safeguard ini diberikan untuk meningkatkan perlindungan dalam rangka mengurangi ancaman serius yang sebenarnya, yang timbul sebagai konsekuensi yang tidak diinginkan atau tidak diduga sebagai akibat komitmen dan kewajiban liberalisasi yang telah disepakati dalam perjanjian perdagangan. Perlindungan ini akan bersifat “temporary” dan “extraordinary basis”.30 Negara anggota ASEAN minus Singapura merupakan pendukung utama disepakatinya ESM bidang jasa di WTO. ASEAN bersikukuh bahwa negara-negara berkembang sangat membutuhkan ESM sebagai jaring pengaman dalam melakukan pengamanan terhadap tujuan nasional yang mungkin akan terganggu sebagai implikasi dari pemberian komitmen dalam Schedule of Specific Commitment (SOC).31 Menurut ASEAN, ESM merupakan segala tindakan yang diambil oleh suatu negara anggota terhadap suplai atau konsumsi jasa dari negara anggota lain dengan pertimbangan untuk melakukan pengunduran sementara pada komitmen yang telah dibuat dengan tujuan menyelamatkan dan sekaligus memproteksi industri domestik terhadap serious injury atau ancaman sejenis.32 Oleh karena itu ESM pada perdagangan sektor barang sebagaimana diatur dalam Agreement on Safeguard masih relevan untuk diterapkan terhadap perdagangan sektor jasa dengan berbagai penyesuaian.33 Bagi 30 31
32 33 34
35
198
ASEAN, kebijakan ESM ini dapat diterapkan pada semua komitmen dan mode dibidang jasa, dengan ketentuan sebagai berikut:34 (1) dalam keadaan darurat yang tidak terduga (tanpa menentukan atau menetapkan terlebih dahulu situasi, sektor, atau mode suplai); (2) ketika suplai jasa dari pemasok asing meningkat; dan (3) industri dalam negeri mengalami injury, komunikasi tidak menyelidiki rincian teknis atau mendiskusikan perlunya perlindungan. The ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang merupakan perjanjian pokok ASEAN dibidang jasa tidak mengatur tentang hal ini. Untuk itu, perlu dipertimbangkan dengan baik penambahan ketentuan tentang ESM ini dalam ASEAN Trade in Services Agreement (ATISA) yang merupakan penyempurnaan dari AFAS. Penambahan ketentuan tentang ESM di dalam ATISA hendaknya dilakukan secara hatihati dan dengan penyusunan draf yang tepat. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penambahan ketentuan ini diantaranya adalah tentang dampak potensial pada masing-masing sektor dan mode suplai. ATISA hendaknya membatasi penggunaan ketentuan perlindungan ini bagi sektor dan mode tertentu serta situasi yang benar-benar luar biasa. Bryan Mercurio dalam penelitiannya menyatakan bahwa adapun penggunaan ketentuan safeguard ini dapat didasarkan pada situasi yang ditentukan dalam GATT.35 Di samping itu, Mercurio juga menyarankan
WTO, Further thoughts on Emergency Safeguard Mechanism, Loc.Cit. Tim Perbankan dan Enquiry Point, “ Safeguard Measures (ESM) sebagai Jaring Pengaman Kebijakan Liberalisasi Jasa”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 3, Nomor 2, 2005, hlm. 27. Ibid., hlm. 29.. Idem. Bryan Mercurio, ASEAN Service Liberalization Beyond 2015: Asessment and Recommendations, dokumen yang dipersiapkan oleh Nathan Associates Inc. untuk United State Agency for International Development (USAID), 2016, hlm. 40. Ibid, hlm. 41. Lihat juga Parashar Kulkarni, Emergency Safeguard Measures in GATS: Policy Options for South Asia, South Asian Yearbook, 2006, hlm. 269.
199 perlunya ketentuan tentang penetapan batas waktu penggunaan safeguard. Mercurio mengingatkan, betapa pun pentingnya jenis perlindungan ini, tidak dapat mengganti due diligence para peserta perjanjian. Setiap negara harus mempelajari, memahami dan menilai struktur regulasi yang diperlukan untuk setiap sektor sebelum membuat komitmen. Demikian halnya dengan kebijakan persaingan dalam negeri, harus mempunyai kerangka pengaturan yang kuat dan komprehensif.36 Unsur-Unsur Ketentuan Safeguards dalam ASEAN Single Aviation Market (ASAM) Ketiga perjanjian bidang jasa penerbangan dalam ASAM yang terdiri dari ASEAN MAFLAFS, ASEAN MAAS, dan ASEAN MAFLPAS telah menyepakati ketentuan tentang safeguard sektor angkutan udara. Ketiga perjanjian tersebut menetapkan ketentuan safeguard dengan model yang sama dalam satu pasal.37 Pasal ini menyepakati pemberlakuan ketentuan safeguard dengan menetapkan kriteriakriteria praktik anti persaingan dan pemberian bantuan dan atau subsidi negara terlebih dahulu, kemudian juga mengatur tentang mekanisme konsultasi, penyelesaian sengketa dan penolakan, pembatalan, penangguhan, pemberlakuan ketentuan-ketentuan atau pembatasan otorisasi pelaksanaan atau izin teknis suatu perusahaan angkutan udara yang ditunjuk Pihak lainnya dalam satu pasal tersebut. Bentuk perlindungan safeguard bagi sektor jasa angkutan udara domestik di ASEAN dapat diberlakukan apabila situasi “injury” yang disyaratkan dalam ESM didasarkan
36 37
Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1, Nomor 2, Maret 2017
pada alasan adanya praktik-praktik tidak adil (seperti pemberian subsidi negara yang tidak transparan serta mengganggu persaingan) atau praktik-praktik anti persaingan (dengan kriteria yang telah ditetapkan). Para Pihak sepakat bahwa praktik-praktik perusahaan angkutan udara berikut dapat dianggap sebagai praktik anti persaingan yang dapat memungkinkan dilakukannya pemeriksaan lebih mendalam: 1. Memungut harga dan tarif pada rute di tingkat yang, secara keseluruhan, tidak cukup menutupi biaya penyediaan jasa angkutan udara yang terkait; 2. Penambahan kapasitas atau frekuensi yang berlebihan dari jasa angkutan udara; 3. Praktik-praktik yang dicurigai terus berlanjut dan tidak bersifat sementara; 4. Praktik-praktik yang dipermasalahkan mempunyai dampak ekonomi yang serius atau menyebabkan kerusakan mendasar terhadap perusahaan angkutan udara lain; 5. Praktik-praktik yang dipermasalahkan mempunyai dampak ekonomi negatif yang serius atau menyebabkan kerusakan mendasar terhadap perusahaan angkutan udara lain; 6. Tindakan mengindikasikan penyalahgunaan posisi dominan pada suatu rute. Alasan lain yang dijadikan dasar para pihak dalam penggunaan safeguard jasa angkutan udara domestik dalam ASAM adalah pemberian bantuan dan/atau subsidi negara. Kebijakan pemberian subsidi ini wajib dilakukan secara transparan antar Para Pihak, dan wajib tidak mengganggu persaingan di antara perusahaan angkutan udara yang ditunjuk dari para Pihak. Para Pihak terkait wajib memenuhi keinginan Pihak lainnya, apabila diminta, dengan informasi
Idem. MAFL AFS mengatur ketentuan tentang safeguard pada Pasal 14, sedangkan MAAS Pasal 13, dan MAFLPAS pada Pasal 13.
Adi Kusumaningrum Pengaturan Safeguards Sektor Angkutan Udara Asean di Era Liberalisasi Jasa
yang lengkap mengenai bantuan di maksud dan setiap perubahan atau perpanjangan bantuan tersebut. Informasi itu wajib diperlukan dengan penuh kehati-hatian dan kerahasiaan. Bentuk tindakan safeguard jasa angkutan udara domestik dalam ketiga perjanjian open sky di ASEAN ditetapkan sebagaimana berikut ini: “Each Contracting Party shall have the right to withhold, revoke, suspend, impose conditions on or limit the operating authorizations with respect to an airline designated by another Contracting Party temporarily, should there be reasonable ground to believe that unfair or anti-competitive practices related to paragraphs 1 and 2 of this Article committed by a Contracting Party or its designated airline seriously affect the operation of its designated Airlines” Setiap agreement, kecuali ASEAN MAFLAFS, menetapkan bahwa setiap Pihak wajib mempunyai hak untuk menolak membatalkan menangguhkan, memberlakukan ketentuan-ketentuan atau membatasi otorisasi pelaksanaan atau izin teknis suatu perusahaan angkutan udara yang ditunjuk Pihak lainnya secara sementara, apabila terdapat alasan mendasar yang menganggap bahwa praktikpraktik tidak adil atau anti persaingan yang dilakukan oleh salah satu Pihak atau perusahaan angkutan udara yang ditunjuk, berdampak secara serius pada operasional perusahaan angkutan udara yang ditunjuknya. Dari ketentuan tentang safeguard dalam ASEAN MAFLAFS, ASEAN MAAS, dan ASEAN
38
200
MAFLPAS dapat dijelaskan lebih lanjut beberapa aspek terkait pengaturannya dalam ASAM: 1. Kondisi berlakunya a. Pada dasarnya ESM hanya berlaku apabila terdapat suatu situasi yang bersifat emergency sebagai akibat dari peningkatan suplai atau konsumsi suatu jasa asing yang selanjutnya menimbulkan serious injury atau ancaman yang menyebabkan serious injury terhadap industri domestik yang melakukan suplai berupa like or directly competitive services.38 Kondisi “serious injury” pada ketentuan ini dapat ditemukan pada kalimat “.......seriously affect the operation of its designated Airlines”. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa kondisi “seriously affect” dikarenakan oleh dua hal yaitu praktikpraktik anti persaingan dan pemberian bantuan dan atau subsidi negara yang tidak transparan serta mengganggu persaingan sebagaimana diatur dalam ketentuan (ayat) sebelumnya Dua alasan yang mendorong dapat dilakukannya safeguard dalam ASAM ini berbeda dengan konsep safeguard yang dimaksud dalam skema GATT-WTO. Safeguard dilakukan bukan untuk melindungi industri dalam negeri dari ketidakadilan, seperti pemberian bantuan dan atau subsidi. Pengaturan tindakan pengaman (safeguard) bertujuan untuk melakukan perlindungan terhadap industri dalam negeri dari lonjakan barang dan atau jasa impor yang merugikan atau mengancam terjadinya kerugian pada
Konsep ini persis sama dengan konsep ”like or directly competitive product” yang diatur dalam Agreement on Safeguard yang berlaku bagi barang. Lihat Tim Perbankan dan Enquiry Point, Op.Cit, hlm. 30.
201 industri dalam negeri.39 b. ESM hanya berlaku setelah dilakukan investigasi (pemeriksaan lebih mendalam) terhadap praktik-praktik anti persaingan dan pemberian bantuan dan atau subsidi negara yang tidak transparan serta mengganggu persaingan tersebut di atas. c. ESM hanya berlaku dalam periode waktu tertentu untuk mencegah atau melakukan remedy terhadap serious injury atau ancamannya dan memfasilitasi adjustment terhadap industri domestik.40 Sifat sementara pada ketentuan ini dapat ditemukan dalam kalimat “Each Contracting Party shall have the right to withhold, revoke, suspend, impose conditions on or limit the operating authorisations with respect to an airline designated by another Contracting Party temporarily,.......” Lebih lanjut ASEAN MAFLAFS, ASEAN MAAS, dan ASEAN MAFLPAS tidak mengatur penetapan batas waktu penggunaan safeguard. 2. Safeguard jasa angkutan udara dalam ASAM ini dapat dilakukan dalam rangka memberikan proteksi perusahaan angkutan udara yang ditunjuk (domestik) terhadap perusahaan angkutan udara yang ditunjuk Pihak lainnya (asing). 3. Safeguard ini dilakukan dengan cara menolak membatalkan menangguhkan, memberlakukan ketentuan-ketentuan atau membatasi otorisasi pelaksanaan atau izin
Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1, Nomor 2, Maret 2017
teknis suatu perusahaan angkutan udara yang ditunjuk Pihak lainnya (asing). 4. Kebijakan ini akan diberlakukan kepada suatu perusahaan angkutan udara yang ditunjuk Pihak lainnya (asing) yang terbukti melakukan praktik-praktik anti persaingan dan pemberian bantuan dan atau subsidi negara yang tidak transparan serta mengganggu persaingan. Kebijakan safeguard ini merupakan escape clause,41 yang kemudian diatur dalam Article XIX GATT. Unsur-unsur atau syaratsyarat penerapan tindakan safeguard, yaitu adanya perkembangan yang tidak terduga (unforeseen development), adanya peningkatan impor yang berlebihan, mengakibatkan kerugian bagi industri dalam negeri, kewenangan negara importir untuk menarik atau mengubah pemberian konsesi perdagangan dalam jangka waktu yang diperlukan.42 Apabila melihat unsurunsur kebijakan safeguard yang ditetapkan dalam GATT ini, ketentuan safeguard yang diatur dalam perjanjian-perjanjian di ASAM bukanlah kebijakan Emergency Safeguard Measure (ESM) sebagaimana dimaksudkan oleh WTO.43 Kebijakan safeguard dalam ASAM, menurut penulis, merupakan kebijakan pengaman perusahaan angkutan udara yang ditunjuk (domestik) sebagaimana dimaksud oleh Marek Zylicz,44 yang diciptakan oleh skema ASAM, di luar (dan atau terlepas) pemenuhan terhadap unsur-unsur ESM sebagaimana ditetapkan dalam GATT-WTO.
Christhophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengaman (Safeguard) dalam GATT dan WTO, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2007, hlm. 102. Lihat juga Muhammad Sood, Op.Cit., hlm. 213. 40 Ibid. 41 Lihat Imam Rizani dalam Christhophorus Barutu, Op.Cit., hlm 103. 42 Ibid. Lihat juga Article XIX GATT 1947. 43 WTO, Loc.Cit. 44 Marek Zylicz, Loc.Cit. 39
Adi Kusumaningrum Pengaturan Safeguards Sektor Angkutan Udara Asean di Era Liberalisasi Jasa
Mekanisme Penetapan Kebijakan Safeguards dalam ASEAN Single Aviation Market (ASAM) Dalam hal melaksanakan kebijakan safeguard, ketiga agreement dalam ASAM, mewajibkan para pihak melakukan konsultasi dan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada sebelum penggunaan hak untuk menetapkan kebijakan safeguard. Masih dalam pasal safeguard, masing-masing agreement menyepakati hal sebagai berikut: 1. Apabila otoritas penerbangan dari salah satu Pihak mempertimbangkan bahwa suatu pelaksanaan yang dimaksudkan atau dilakukan oleh perusahaan angkutan udara yang ditunjuk dari Pihak lain dapat menimbulkan persaingan tidak adil sebagaimana indikator yang terdapat pada ayat 1 atau setiap diskriminasi dengan menggunakan bantuan dan/atau subsidi Negara yang tidak semestinya oleh Pihak lainnya itu, otoritas penerbangan tersebut dapat meminta konsultasi sebagaimana pasal 16 (konsultasi dan perubahan) dengan maksud untuk menyelesaikan masalah dimaksud. Setiap permintaan dimaksud wajib disertai dengan pemberitahuan tentang alasan permintaan tersebut, dan konsultasi wajib dimulai dalam jangka waktu lima belas (15) hari sejak diterimanya permintaan dimaksud. 2. Apabila Para Pihak gagal mencapai penyelesaian masalah melalui konsultasi, setiap Pihak dapat mengajukan mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan Pasal 17 (Penyelesaian Sengketa) untuk menyelesaikan sengketa dimaksud. Selain itu, Pasal 4 ayat (2) masing-masing agreement dalam ASAM yang mengatur tentang Penolakan, Pembatalan, Penangguhan
202
dan Pembatasan Otorisasi juga menyatakan bahwa kecuali tindakan segera diperlukan untuk mencegah ketidakpatuhan lebih lanjut atas ayat 1 (b) dan 1 (c) dari pasal ini, hak yang diberikan oleh Pasal ini wajib dilaksanakan hanya setelah berkonsultasi dengan Pihak yang menunjuk perusahaan angkutan udara tersebut, sesuai ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam tentang Konsultasi dan Perubahan. Adapun pasal tentang konsultasi pada masing-masing agreement menetapkan sebagai berikut di bawah ini: “The aeronautical authorities of the Contracting Parties shall consult with one another from time to time with a view to ensuring the implementation of, and satisfactory compliance with, the provisions of this Agreement. Unless otherwise agreed, such consultations shall begin at the earliest possible date, but not later than sixty (60) days from the date the other Contracting Party or Parties receive, through diplomatic or other appropriate channels, a written request, including an explanation of the issues to be raised......” Ketentuan tersebut menyatakan bahwa otoritas penerbangan dari para Pihak wajib berkonsultasi satu sama lain dari waktu ke waktu dengan maksud untuk memastikan pelaksanaan, dan dipenuhinya ketentuan dalam agreement. Kecuali disepakati sebaliknya, konsultasi tersebut wajib dimulai sesegera mungkin, namun tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari dari tanggal penerimaan oleh Pihak lain atau para Pihak, melalui saluran diplomatik atau saluran resmi lainnya, permintaan tertulis termasuk penjelasan mengenai masalah yang akan dibahas. Sedangkan pasal tentang penyelesaian sengketa dari ketiga agreement dalam ASAM, mengamanatkan bahwa
203 ketentuan-ketentuan dari Protokol ASEAN tentang Peningkatan Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang dibuat di Vientiane, Laos, pada tanggal 29 November 2014 dan setiap perubahannya, wajib berlaku pada setiap sengketa yang timbul berdasarkan agreement yang bersangkutan. Pada dasarnya kebijakan ESM diambil sebagai upaya terakhir dalam menanggulangi serious injury dan dalam rangka melakukan structural adjustment apabila seluruh fleksibilitas yang ditawarkan GATS ternyata tidak ampuh. Kebijakan ESM juga didorong karena penggunaan waiver clause menjadi tidak efektif45 dalam menanggulangi serious injury yang disebabkan terlalu panjangnya prosedur administratif yang ditempuh oleh negara yang akan mengajukan ESM, sedangkan structural adjustment harus segera dilakukan. Oleh karenanya mekanisme penetapan kebijakan safeguard dalam ketiga perjanjian ASAM yang harus melalui konsultasi dan proses penyelesaian sengketa dalam ASEAN, dirasakan oleh penulis terlalu panjang dan tidak sesuai dengan konsep dasar dibentuknya kebijakan ESM dalam GATT-WTO. Penutup Safeguard merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap barang dan atau jasa dalam negeri di samping bentuk-bentuk fleksibilitas lainnya yang disediakan dalam kerangka liberalisasi. Unsur-unsur atau syaratsyarat penerapan tindakan safeguard, yaitu adanya perkembangan yang tidak terduga, adanya peningkatan impor yang berlebihan,
45
Lihat Tim Perbankan dan Enquiry Point, Op.Cit., hlm. 33.
Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1, Nomor 2, Maret 2017
mengakibatkan kerugian bagi industri dalam negeri, kewenangan negara importir untuk menarik atau mengubah pemberian konsesi perdagangan dalam jangka waktu yang diperlukan. Salah satu hal yang berbeda yang diharapkan dari bentuk perlindungan ini adalah mekanismenya yang lebih cepat dibandingkan dengan bentuk fleksibilitas lainnya, misalnya waiver clause dalam skema WTO yang membutuhkan proses panjang untuk dapat memberlakukannya. Mekanisme yang lama tentunya akan membuat bentuk perlindungan ini menjadi tidak efektif dalam menanggulangi serious injury, sedangkan structural adjustment harus segera dilakukan. Menurut penulis, pengertian dan cakupan serta mekanisme safeguard style sektor jasa angkutan udara ASEAN ini, berbeda dengan gaya pendekatan yang digunakan ASEAN dalam proposal ESM sektor jasa yang dikemukakan ASEAN selama ini. Kebijakan safeguard dalam ASAM, menurut penulis, merupakan kebijakan pengaman perusahaan angkutan udara yang ditunjuk (domestik) yang diciptakan oleh skema ASAM, di luar (dan atau terlepas) pemenuhan terhadap unsur-unsur ESM sebagaimana ditetapkan dalam GATT-WTO. Oleh karenanya, ke depan ASEAN hendaknya mengatur lebih lanjut kebijakan perlindungan ini utamanya berkaitan dengan ketentuan yang dapat digunakan dalam menentukan “seriously affect” dan periode waktu tertentu melakukan remedy dalam rangka memfasilitasi adjustment terhadap industri domestik jasa angkutan udara.
Adi Kusumaningrum Pengaturan Safeguards Sektor Angkutan Udara Asean di Era Liberalisasi Jasa
Daftar Pustaka Buku Brian F. Havel, Beyond Open Skies, A New Regime for International Aviation, Kluwer International Law, Netherland: 2009. Christhophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengaman (Safeguard) dalam GATT dan WTO, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2007. Jason R. Robin, Regionalism in International Civil Aviation: A Reevaluation of The Economic Regulation of International Air Transport in The Context of Economic Integration, Singapore Year Book of International Law and Contributors, 2010. Marek Zylicz, International Air Transport Law, Martinus Nijhoff Publishers, The Netherland: 1992. Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta: 2011. Parashar Kulkarni, Emergency Safeguard Measures in GATS: Policy Options for South Asia, South Asian Yearbook, 2006. Shinta Dewi (eds), Perkembangan Hukum di Indonesia: Tinjauan Retrospeksi dan Prospektif, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2012. Syamsul Arifin, dkk., Mayarakat Ekonomi ASEAN 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN Di Tengah Kompetisi Global, Gramedia, Jakarta: 2012. Verschoor, An Introduction to Air Law, ninth revised edition, Walters Kluwer, Netherland: 2012.
204
Wassenbergh, H.A., Public International Air Transportation Law in A New Era (Economic Regulation of International Air Carier Operation), Kluwer-Deventer, Netherlands: (tanpa tahun). Jurnal Adi Kusumanigrum, Pelaksanaan Pasal 5 (1) Charter of The Association of Southeast Asia Nation Bidang Jasa Angkutan Udara di Indonesia, Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9, no. 1, 2014. Davis Knibb, ‘Liberalisation Breaking the Bilateral Web”, Airline Business, Vol. 26, no. 5, 2010. Ruwantissa Abeyratne, Liberalization of Trade Air Transport Services, Journal of World Invesment and Trade, ZDB-ID 20257181. Vol. 4., 2003. Sehat Aditua F. Silalahi & Achmad Wirabrata, Strategi Dalam Menghadapi ASEAN Open Sky 2015, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vo. 4, no. 1., 2013. Seth M. Warner, Liberalize Open Sky: Foreign Invesment And Cabotage Restrictions Keep Noncitizens in Second Class, The American University Law Review, Vol 43: 277, 1993. Tim Perbankan dan Enquiry Point, Emergency Safeguard Measures (ESM) sebagai Jaring Pengaman Kebijakan Liberalisasi Jasa, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005.
205 Peraturan Perundang-undangan/Perjanjian Internasional: ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Air Freight Services (ASEAN MAFLAFS), 2009. ASEAN Multilateral Agreement on Air Services (ASEAN MAAS), 2009. ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Passenger Air Service (ASEAN MAFLPAS), 2010. ASEAN Framework Agreemen on Service, 1995. Implementation Framework of The ASEAN Single Aviation Market. Sumber Lain: Adi Kusumaningrum, Pelaksanaan Pasal 5 (1) Charter of The Association of Southeast Asian Nation Bidang Jasa Angkutan Udara di Indonesia, Laporan Penelitian DPP/SPP Tahun 2013: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013. Bryan Mercurio, ASEAN Service Liberalization Beyond 2015: Asessment and Recommendations, this document was prepared by Nathan Associates Inc. For review by the United State Agency for International Development (USAID), March 2016. Building The ASEAN Community, Asean Single Aviation Market; One Sky, One Region, 2015, http://www.asean.org/ storage/images/2015/October/outreachdocument/Edited%20ASAM-2.pdf, 2015. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Indonesia Berbagi Pengalaman di Forum Penerbangan Internasional, 2015, http://hubud.dephub.go.id/?id/news/ detail/2757.
Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1, Nomor 2, Maret 2017
Oentoeng Wahyoe, Kebijakan Ruang Udara Terbuka ASEAN dan Dampaknya terhadap Pengangkutan Udara Domestik Indonesia, Desertasi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2010. Indonesia Infrastructure Initiative, Indonesia’s Strategy Fer Open Skies: Initial Review and Scoping Study, Jakarta: Indonesia Infrastructure Initiative, 2010. Michelle DY, Opening ASEAN Skies: The ASEAN Single Aviatin Market, 2015, http://www. slideshare.net/MichelleDy/asean-singleaviation-market. Pingkan Palilingan, Industri Penerbangan Indonesia di Jalur Menurun, 2014, h t t p : / / w w w. c n n i n d o n e s i a . c o m / ekonomi/20140919171615-92-3806/ industri-penerbangan-indonesia-di-jalurmenurun/. Sinar Harapan, Pertumbuhan Penumpang Pesawat Turun 10 persen, 2015, http://www.sinarharapan.co/news/ read/150122052/pertumbuhanpenumpang-pesawat-turun-10-persen. WTO, Further thoughts on Emergency Safeguard Mechanism: Communication from Brunei, Indonesia, Malaysia, Myanmar, The Philippines, and Thailand, JOB(04)/xxxx, February 24, 2004.