Laporan Hasil Kajian Liberalisasi Jasa Keuangan Indonesia Dalam Menghadapi Paket Ke-6 Perundingan Liberalisasi Jasa Keuangan ASEAN
Pusat Kebijakan Regiional dan Bilateral
Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan 2012
Daftar Isi
Bab I
Pendahuluan (3)
Bab II Perdagangan Jasa Keuangan Non Bank dan Arah Pembangunan Nasional Indonesia (6) Bab III Analisis Keterbukaan Sektor Jasa Keuangan Non-Bank ASEAN (15) Bab IV Prospek Sektor Perasuransian Indonesia Di Tengah Tantangan Integrasi Jasa Keuangan ASEAN (24) Bab V Prospek Sektor Pasar Modal Indonesia Di Tengah Tantangan Integrasi Jasa Keuangan ASEAN (42) Referensi (54)
2
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Arus Bebas Jasa (Free Flows of Services), termasuk Jasa Keuangan di dalamnya, telah dicanangkan oleh para pemimpin negara-negara ASEAN sebagai salah satu pilar utama dari pembentukan satu pasar tunggal dan basis produksi di kawasan Asia Tenggara, yang disebut sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community atau AEC). Pemercepatan pembentukan AEC dari tahun 2020 menjadi 2015 memberikan tambahan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan agar tenggat waktu tersebut dapat terpenuhi.
Cetak biru AEC 2015 menyebutkan bahwa liberalisasi sektor jasa dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan penyediaan jasa oleh pemasok ataupun pendirian jasa baru lintas negara di kawasan ASEAN dengan tetap tunduk pada regulasi domestik. Mekanisme perundingan liberalisasi jasa termasuk jasa keuangan dilakukan melalui AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services). Dalam mekanisme AFAS terdapat ketentuan bahwa komitmen yang sudah disepakati tidak bisa ditarik kembali kecuali negara yang bersangkutan bersedia memberikan kompensasi yang memadai kepada semua negara lain yang dirugikan. Di samping itu terdapat pula penerapan pre-agreed flexibility guna memberikan ruang kebijakan bagi negara-negara ASEAN dalam upayanya memenuhi
komitmen
liberalisasi
jasa
dengan
tetap
memperhatikan
tujuan
pembangunan nasional masing-masing.
Forum perundingan untuk sektor jasa keuangan tidak berada dalam forum CCS (Coordinating Committee on Services) sebagaimana sektor jasa lain pada umumnya, namun dalam forum tersendiri yang berada di bawah kementerian atau regulator jasa keuangan yakni WC-FSL (Working Committee on Financial Services Liberalisation). Pemisahan forum perundingan untuk jasa keuangan dilakukan mengingat masingmasing negara berkepentingan untuk melindungi perekonomiannya dari gejolak yang berdampak merugikan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjaga
3
stabilitas sektor keuangannya.
Proses perundingan jasa keuangan disepakati akan
dilandasi atas dua prinsip. Prinsip pertama, liberalisasi ditempuh melalui formula ASEAN minus X yang memungkinkan negara yang telah siap untuk melakukan liberalisasi terlebih dahulu dan selanjutnya diikuti oleh negara lain yang telah siap bergabung. Prinsip kedua, liberalisasi dilakukan dengan memperhatikan tujuan nasional dan tingkat pembangunan ekonomi dan sektor keuangan masing-masing negara.
Pelaksanaan liberalisasi jasa keuangan di Indonesia dalam forum internasional perundingan jasa saat ini dilakukan oleh dua regulator yang berbeda. Bank Indonesia selaku regulator
perbankan bertanggung jawab atas proses liberalisasi sektor jasa
keuangan perbankan, sementara itu Bapepam-LK, Kementerian Keuangan mengemban tanggung jawab dalam proses liberalisasi sektor jasa keuangan non-perbankan. Sektor non-perbankan dimaksud mencakup pasar modal, perasuransian, pembiayaan dan penjaminan, dana pensiun, dan reksadana. Sektor jasa keuangan yang dibahas dalam kajian ini adalah jasa keuangan non-perbankan.
Prioritas sektor jasa keuangan yang dibahas dalam kajian adalah jasa keuangan nonperbankan, khususnya pasar modal dan perasuransian. Pemfokusan dilakukan mengingat kedua sektor tersebut mendominasi komitmen sektor jasa keuangan nonbank di WTO dan ASEAN, dan keterbatasan waktu dan sumber daya.
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Menganalisis
keterbukaan sektor jasa keuangan non-bank ASEAN berdasarkan
komitmen liberalisasi jasa keuangan non-bank paket ke-5 2) Menganalisis prospek, keunggulan dan kelemahan sektor jasa keuangan non-bank yang utama yaitu asuransi dan pasar modal antara Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya.
4
1.3 Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah metode eksploratif deskriptif dan komparatif. Hasil kajian merupakan kombinasi dari hasil eksplorasi dan komparasi dari studi intensif pada berbagai data dan literatur, publikasi resmi regulator dan pelaku sektoral, publikasi media, dan Focus Group Discussion (FGD) dengan regulator dan pelaku usaha. FGD sudah pernah dilakukan pada bulan Oktober-November 2010 dalam format diskusi mendalam dengan pihak regulator dan asosiasi pelaku usaha.
5
BAB 2 Perdagangan Jasa Keuangan Non Bank dan Arah Pembangunan Nasional Indonesia
2.1 Klasifikasi Sektoral Perdagangan Jasa Keuangan Non Bank Klasifikasi sektoral perdagangan jasa keuangan non bank yang digunakan dalam proses perundingan liberalisasi jasa merupakan bagian dari klasifikasi sektoral perdagangan jasa UN CPC (Central Product Classification) W/120. Secara garis besar klasifikasi sektoral UN CPC diikhtisarkan sebagai berikut (penjelasan pada Lampiran A) : Tabel 2.1 UN CPC (Central Product Classification) W/120 untuk sektor jasa keuangan non-bank SECTION 7 Financial and related services; real estate services; and rental and leasing services Division 71 Financial intermediation, insurance and auxiliary services 711 Financial intermediation services, except investment banking, insurance services and pension services 7110 Financial intermediation services, except investment 71100 banking, insurance services and pension services 712
Investment banking services 7120 Investment banking services 713 Insurance and pension services (excluding reinsurance services), except compulsory social security services 7131 Life insurance and pension services (excluding reinsurance services) 71311 Life insurance and individual pension services 71312 Group pension services 7132 Accident and health insurance services 71320 7133 Non-life insurance services (excluding reinsurance services) 71331 Motor vehicle insurance services 71332 Marine, aviation, and other transport insurance services 71333 71334 71335 71336 71339 714
Freight insurance services Other property insurance services General liability insurance services Credit and surety insurance services Other non-life insurance services Reinsurance services 6
7141 71410 7142 71420 7143 71430 715 7151 71511 71512 71519 7152 71521 71522 71523 7153 71531 71532 71533 7154 71541 71542 71549 7155 71551 71552 71553 71559 716 7161 71610 7162 71620 7163 71630 7169 71690 Sumber : UN dan WTO
Life reinsurance services Accident and health reinsurance services Other non-life reinsurance services Services auxiliary to financial intermediation other than to insurance and pensions Services related to investment banking Mergers and acquisition services Corporate finance and venture capital services Other services related to investment banking Brokerage and related securities and commodities services Securities brokerage services Commodity brokerage services Processing and clearing services of securities transactions Portfolio management, trust and custody services Portfolio management services Trust services Custody services Services related to the administration of financial markets Financial market operational services Financial market regulatory services Other financial market administration services Other services auxiliary to financial intermediation Financial consultancy services Foreign exchange services Financial transactions processing and clearinghouse services Other services auxiliary to financial intermediation n.e.c. Services auxiliary to insurance and pensions Insurance brokerage and agency services Insurance claims adjustment services Actuarial services Other services auxiliary to insurance and pensions
7
2.2 Metode Penyusunan Komitmen Liberalisasi Jasa Proses penyusunan komitmen liberalisasi jasa suatu negara, dilakukan merujuk pada GATS (General Agreement on Trade in Services). Komitmen secara umum yang berlaku untuk seluruh sektor diletakkan di dalam Komitmen Horisontal (Horizontal Commitment), sedangkan yang berlaku spesifik untuk suatu sektor tertentu diletakkan di dalam Skedul Komitmen Spesifik (Schedule of Spesific Commitment). Baik Komitmen Horisontal maupun Skedul Komitmen Spesifik dilakukan melalui empat moda, yaitu -
moda 1 (pasokan lintas batas/Cross Border Supply)
-
moda 2 (konsumsi di luar negeri / Consumption Abroad)
-
moda 3 (kehadiran komersial / Commercial Presence)
-
moda 4 (kehadiran orang perseorangan / Presence of Natural Persons)
Gambar 2-1 Moda 1 (pasokan lintas batas/Cross Border Supply)
Sumber : Warouw (2010)
Dalam moda 1, jasa diberikan dari wilayah suatu negara anggota ke dalam wilayah negara anggota lain. Kegiatan perdagangan moda 1 banyak dilakukan melalui media pos, telekomunikasi, dan internet. Contoh produk yang diperdagangkan adalah laporan konsultan, market research info, dan tele-medical advice.
8
Gambar 2.2 Moda 2 (konsumsi di luar negeri / Consumption Abroad)
Sumber : Warouw (2010)
Pada moda 2, jasa diberikan dalam wilayah suatu negara anggota kepada penerima jasa dari negara anggota lain. Dalam kegiatan perdagangan dengan moda 2, penerima jasa menerima jasa di negara di mana jasa itu diberikan. Contoh produk dari moda tersebut adalah jasa pariwisata, pasien yang berobat di negara lain, dan mahasiswa yang menempuh studi di luar negeri.
Gambar 2-3 Moda 3 (kehadiran komersial / Commercial Presence)
Sumber : Warouw (2010)
9
Selanjutnya pada moda 3, jasa diberikan oleh penyedia jasa dari suatu negara anggota, melalui kehadiran komersial, di wilayah negara anggota lain. Sebagai contoh perdagangan melalui moda ini adalah perusahaan asing melakukan kegiatan jasa di suatu negara melalui pembukaan cabang, usaha patungan, manajemen hotel, dan kantor konsultan lokal.
Gambar 2-4 Moda 4 (kehadiran orang perseorangan / Presence of Natural Persons)
Sumber : Warouw (2010)
Kemudian pada moda terakhir yakni moda 4, jasa diberikan oleh penyedia jasa dari suatu negara anggota, melalui kehadiran orang perseorangan (natural persons) dari negara anggota, di wilayah negara lain. Dalam hal ini individu penyedia jasa pergi ke negara lain di mana jasa itu diberikan kepada penerima jasa/klien. Contoh dari perdagangan moda ini adalah
konsultan, akuntan, insinyur, perawat medis, perawat lansia atau pekerja asing
yang dipekerjakan oleh perusahaan untuk memberikan jasanya kepada penerima jasa lokal.
2.3 Keterbukaan sektor jasa keuangan melalui liberalisasi dan keterkaitannya dengan pembangunan Berbagai studi terkait liberalisasi jasa keuangan memperlihatkan bahwa keterbukaan di sektor jasa keuangan berdampak positif bagi pembangunan. Studi Mattoo, Rathindran dan Subramanian (2006) dengan studi kasus 60 negara menemukan bukti ekonometrik yang 10
kuat bahwa keterbukaan sektor jasa keuangan mempengaruhi secara positif kinerja pertumbuhan ekonomi jangka panjang.1 Selanjutnya studi Wang, Shen dan Liang (2006) mendapati bahwa derajat keterbukaan komitmen GATS sektor jasa keuangan di moda 1, moda 2, dan moda 3 berbanding lurus dengan tingkat pendapatan suatu negara. Artinya bahwa negara dengan komitmen membuka sektor jasa keuangan yang makin besar pada umumnya memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. 2 Sejauh ini belum ditemukan suatu studi liberalisasi jasa keuangan dan dampaknya pada ekonomi yang mengambil studi kasus jasa keuangan non-bank. Berbeda halnya dengan studi terkait topik tersebut dengan studi kasus jasa keuangan perbankan yang sudah banyak dilakukan dan relatif mudah ditemukan. 3
2.4 Keterbukaan sektor jasa keuangan dan pentingnya regulasi Semakin terbuka rejim sektor jasa keuangan suatu negara akan makin penting sektor tersebut diregulasi, mengingat meningkatnya kompleksitas dan variasi transaksi, produk, dan isu jasa keuangan yang ada. Keterbukaan rejim perdagangan jasa keuangan tanpa keberadaan regulasi yang ketat dan berhati-hati hanya akan meningkatkan kerentanan stabilitas keuangan dan ekonomi negara tersebut terhadap guncangan krisis. Makna liberalisasi di GATS WTO bukanlah deregulasi, karena liberalisasi dalam GATS WTO didefinisikan dan diatur dalam kesepakatan bersama, dan dilengkapi dengan komponen economic cooperation dan technical assistance. Krisis ekonomi terjadi bukan disebabkan oleh liberalisasi, namun karena ketiadaan kerangka regulasi yang ketat dan berhati-hati. Sejauh ini tidak ada hasil riset yang menyimpulkan bahwa krisis ekonomi yang pernah terjadi disebabkan oleh pemberlakuan kompetisi.
2.5 Dukungan Liberalisasi Jasa Keuangan Non Bank AEC terhadap Tujuan Pembangunan Nasional Proses liberalisasi jasa keuangan non perbankan di Indonesia mesti selaras dengan tujuan dan strategi pembangunan nasional sebagaimana tercermin dalam Rencana Pembangunan
11
Jangka Menengah 2009-2014 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014, dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2009-2014 yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40 /KMK.01/2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014. Di samping itu mengingat liberalisasi jasa keuangan non bank dalam konteks AEC 2015 merupakan bagian dari perdagangan Indonesia dengan negara mitra di kawasan ASEAN, maka proses liberalisasinya tidak bisa lepas dari tujuan kebijakan perdagangan internasional secara umum. (lihat Gambar 2.5)
12
Gambar 2.5 Dukungan Perdagangan Jasa Keuangan Non Bank Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Tujuan Pembangunan Nasional Indonesia
Tujuan dan Strategi Pembangunan Nasional 2010-2014 Pembangunan nasional yang mendorong pertumbuhan, bersifat inklusif, menciptakan kesempatan kerja, dan tetap menjaga lingkungan hidup (pro-growth, pro-poor, pro-job, dan pro-environment)
Strategi Pembangunan Sektor Jasa Keuangan Non Bank 2009 - 2014 Terwujudnya industri Pasar Modal dan Jasa Keuangan Non Bank sebagai penggerak perekonomian nasional dan berdaya saing global.
Industri Pasar Modal dengan nilai transaksi saham harian tumbuh dari 2.5% (2009) menjadi 3% (2014)
Industri Pembiayaan dan Penjaminan dengan pertumbuhan dana yang dikelola tetap sebesar 10% selama tahun 2009 - 2014
Industri asuransi dengan dana yang dikelola tumbuh dari 6% (2009) menjadi 10% (2014)
Industri dana pensiun dengan dana yang dikelola tumbuh dari 5% (2009) menjadi 15% (2014)
Industri Reksa Dana dengan unit penyertaan Reksa Dana naik dari 36% (2009) menjadi 366% (2014)
Tujuan Kebijakan Perdagangan Internasional Meningkatkan pertumbuhan ekspor Indonesia
Permintaan domestik dan kawasan ASEAN
Penawaran domestik dan kawasan ASEAN
Meningkatnya permintaan terhadap seluruh Jasa Keuangan Non Bank
Meningkatnya penawaran terhadap seluruh Jasa Keuangan Non Bank
13
2.6 Liberalisasi dan Integrasi Jasa Keuangan ASEAN Dalam rangka pembentukan ASEAN sebagai sebuah basis produksi dan pasar tunggal, maka liberalisasi sektor jasa termasuk sektor jasa keuangan menjadi suatu langkah strategis. Khusus di sektor keuangan dan moneter, liberalisasi jasa keuangan menjadi salah satu langkah terpenting dalam pelaksanaan peta jalan integrasi keuangan ASEAN atau yang lebih dikenal dengan singkatan RIA-Fin (Roadmap for Monetary and Financial Integration of ASEAN). Pada tanggal 12-13 Juli 2011, di Kuala Lumpur, Malaysia telah dilaksanakan pertemuan ASEAN Working Committee-Financial Services Liberalization (WC-FSL) ke-31 guna membahas agenda-agenda penting liberalisasi jasa keuangan selanjutnya sebagai salah satu bagian terpenting dalam rangka mewujudkan integrasi keuangan ASEAN dan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Pertemuan WC-FSL tersebut diselenggarakan back to back dengan pertemuan working committee bidang lainnya terkait RIA-Fin yaitu bidang capital account liberalization serta capital market development. Pertemuan WC-FSL ke-31 tersebut di atas merupakan bagian dari rangkaian perjalanan panjang perundingan yang telah dilaksanakan selama lebih dari 15 tahun. Rangkaian perundingan tersebut telah menghasilkan berbagai kesepakatan pembukaan pasar jasa keuangan yang selanjutnya dituangkan dalam protokol dan schedule of commitment (SoC). Sejak putaran perundingan jasa termasuk jasa keuangan di dalamnya digulirkan pertama kali melalui penandatanganan AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services) pada tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand, hingga kini tercatat telah empat protokol dan SoC tambahan khusus sektor jasa keuangan yang telah disepakati dan diimplementasikan. Dengan
protokol dan SoC AFAS tahun 1995 terhitung sebagai
perundingan putaran pertama bagi sektor jasa keuangan, maka keempat protokol dan schedule of commitment berikutnya khusus di sektor jasa keuangan dihitung sebagai protokol dan SoC paket kedua, ketiga, keempat, dan kelima di bawah AFAS.
14
BAB 3 Analisis Keterbukaan Sektor Jasa Keuangan Non-Bank ASEAN Analisis keterbukaan dapat dilakukan salah satunya dengan pendekatan indeks keterbukaan sektoral. Komitmen liberalisasi dapat dijadikan rujukan untuk mengukur keterbukaan sektoral tersebut. Negara yang memiliki nilai indeks keterbukaan sektoral yang tinggi dapat dikatakan memiliki tingkat komitmen sektoral yang tinggi, sedangkan negara dengan nilai indeks keterbukaan sektoral rendah berarti memiliki tingkat komitmen sektoral yang rendah. Tingkat komitmen sektoral yang tinggi mencerminkan sektor tersebut bersifat relatif terbuka dari unsur-unsur pembatasan melalui regulasi, dan tingkat komitmen sektoral yang rendah merefleksikan sektor tersebut cenderung bersifat tertutup/terbatas/restriktif melalui pemberlakuan regulasi-regulasi pembatasan. Claessens
dan
Glaessner
(1998)
telah
melakukan
kajian
berjudul
“Internationalization Of Financial Services In Asia”. Dalam kajian yang dilakukan pra krisis ekonomi 1998 tersebut, Claessens dan Glaessner (1998) melakukan pemeringkatan tingkat keterbukaan negara-negara di Asia termasuk beberapa negara ASEAN, di sektor jasa keuangan.
Terdapat dua
sektor
jasa keuangan non-bank yang dimasukkan dalam
pemeringkatan keterbukaan yaitu sektor asuransi dan sektor pasar modal. Metode pemeringkatan dilakukan dengan memberikan nilai indeks sektoral suatu negara berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan sebelumnya pada tiga bidang regulasi yaitu regulasi pembatasan pada 1) pendirian perusahaan dan kepemilikan, 2) aktivitas usaha 3) tempat tinggal Indeks bernilai antara 1 hingga 5 dengan nilai indeks 5 untuk yang paling terbuka dan nilai indeks 1 untuk yang paling tertutup. Patut dicatat bahwa hasil penelitian Claessens dan Glaessner (1998) dilakukan sebelum komitmen liberalisasi jasa keuangan ASEAN disepakati, bahkan sebelum perundingan liberalisasi jasa keuangan WC-FSL mulai dilakukan pada awal 2002. Oleh karena itu, sangat kuat kemungkinan bahwa basis kajian tingkat komitmen tersebut adalah komitmen negara-negara ASEAN di tingkat multilateral WTO pada putaran Uruguay yang disepakati pada tahun 1995. 15
Disebutkan dalam kajian Claessens dan Glaessner (1998),
Indonesia memiliki
komitmen sektor asuransi yang cukup terbuka dan berada dalam peringkat kedua berdasarkan tingkat komitmen yang
diberikan di bawah Singapura yang menduduki
peringkat pertama. Sementara itu, Claessens dan Glaessner (1998) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki komitmen sektor pasar modal yang paling terbuka di kawasan ASEAN. Dapat dipahami bahwa keterbukaan sektor asuransi Singapura berada jauh di atas negara-negara ASEAN lainnya sejalan dengan kebijakan jangka panjang pemerintah Singapura yang menargetkan negaranya menjadi salah satu pusat keuangan internasional. Walau demikian, keterbukaan sektor asuransi Indonesia jauh di atas Malaysia yang berada di peringkat terbawah, dan setara bila dibandingkan dengan Filipina dan Thailand. Di Asia, keterbukaan sektor asuransi Singapura hanya kalah dari Hongkong yang memiliki nilai indeks 4.4. Industri sektor jasa keuangan non bank Indonesia baik asuransi, pasar modal, dan lembaga keuangan non bank lainnya dinyatakan boleh dimiliki asing dengan batas kepemilikan asing bergantung pada hukum dan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Aturan batas kepemilikan bisa diatur dan diubah (sejauh tidak berlaku surut) menurut kepentingan Indonesia . Penilaian Claessens dan Glaessner (1998) tersebut di atas akan digunakan sebagai basis penilaian keterbukaan sektor asuransi dan pasar modal saat ini. Keterbukaan sektoral sektor asuransi dianalisis berdasarkan hasil pemetaan sektor asuransi Paket Kelima Liberalisasi Jasa Keuangan ASEAN sebagaimana terlampir pada Lampiran A, dan untuk sektor pasar modal berada pada Lampiran B (in progress). Selama perjalanan waktu sejak penyelesaian Putaran Uruguay tahun 1995 hingga paket kelima Financial Services Liberalization tahun 2011 telah terjadi peningkatan komitmen oleh kelima negara utama ASEAN dari tiga hal pokok yang dijadikan dasar penilaian indeks, yaitu 1) pendirian perusahaan dan kepemilikan, 2) aktivitas usaha, dan 3) domisili/lokasi
16
3.1 KETERBUKAAN SEKTOR ASURANSI Tabel 3-1. Tingkat Keterbukaan Sektor Asuransi Negara-Negara Utama ASEAN Hingga Tahun 1998 No. Negara
Indeks Keterbukaan Sektor
1.
Singapura
4.1
2.
Indonesia
3.1
3.
Filipina
2.9
4.
Thailand
2.8
5.
Malaysia
2.1
Sumber : dikutip dari Claessens dan Glaessner (1998)
1) pendirian perusahaan dan kepemilikan, -
Singapura (Moda 3) Pemerintah Singapura melonggarkan batasan bagi industri asuransi jiwa, non jiwa, dan reasuransi dan retrosesi asing dengan dikeluarkannya komitmen memperbolehkan pendirian cabang atau anak perusahaan asing di Singapura.
-
Indonesia Tidak ada perubahan.
-
Filipina (Moda 3) Pemerintah melonggarkan batasan kepemilikan dari sebelumnya 40% menjadi mayoritas hingga 70%. Penambahan kepemilikan bisa dilakukan dengan mengakuisisi perusahaan asuransi lokal yang ada, atau menanamkan modal di sebuah perusahaan asuransi lokal yang baru.
-
Thailand Tidak ada perubahan.
-
Malaysia Tidak ada perubahan.
2) aktivitas usaha -
Singapura (Moda 3) 17
Aktivitas penggunaan (termasuk melalui investasi) dana yang berasal dari jaminan sosial, dana pensiun publik, dan skema tabungan wajib dikecualikan dari komitmen (lebih restriktif) -
Indonesia Tidak ada perubahan.
-
Filipina Tidak ada perubahan.
-
Thailand Tidak ada perubahan.
-
Malaysia (Moda 3) Memasukkan operator takaful internasional yang merupakan asuransi non-jiwa syariah ke dalam komitmen dengan persyaratan sama dengan asuransi non-jiwa.
3) lokasi tempat tinggal -
Singapura Tidak ada perubahan.
-
Indonesia Tidak ada perubahan.
-
Filipina Tidak ada perubahan.
-
Thailand Tidak ada perubahan.
-
Malaysia Tidak ada perubahan.
Secara keseluruhan, peningkatan keterbukaan paling tinggi dilakukan oleh Singapura yang mengijinkan perusahaan asuransi jiwa, non jiwa, dan reasuransi dan retrosesi asing dari ASEAN mendirikan cabang atau anak perusahaan di Singapura. Berikutnya adalah Filipina yang menaikkan batasan kepemilikan dari sebelumnya 40% menjadi mayoritas hingga 70%. Penambahan kepemilikan bisa dilakukan dengan mengakuisisi perusahaan asuransi lokal yang ada, atau menanamkan modal di sebuah perusahaan asuransi lokal yang baru. Selanjutnya adalah Malaysia memberikan ijin untuk operator takaful internasional 18
yang merupakan asuransi non-jiwa syariah untuk masuk. Indonesia tidak memberikan peningkatan komitmen.
Tabel 3-2. Tingkat Keterbukaan Sektor Asuransi Negara-Negara Utama ASEAN Saat Ini No.
Negara
Skor
Indikator 1
Awal
Indikator
Indikator
Skor
Peringkat
2
3
Akhir
Saat Ini
1.
Singapura
4.1
+ 0.4
0
0
4.5
1
2.
Indonesia
3.1
0
0
0
3.1
3
3.
Filipina
2.9
+0.5
0
0
3.4
2
4.
Thailand
2.8
0
0
0
2.8
4
5.
Malaysia
2.1
0
+0.1
0
2.2
5
Catatan : Indikator 1 : pendirian perusahaan dan kepemilikan Indikator 2 : aktivitas usaha Indikator 3 : lokasi tempat tinggal
3. 2 SEKTOR PASAR MODAL Tabel 3-3. Tingkat Keterbukaan Sektor Pasar Modal Negara-Negara ASEAN Hingga Tahun 1998 No. Negara
Komitmen
1.
Indonesia
3.5
2.
Singapura
2.7
3.
Malaysia
2.5
4.
Filipina
2.4
5.
Thailand
2.0
Sumber : dikutip dari Claessens dan Glaessner (1998)
1) pendirian perusahaan dan kepemilikan, -
Singapura Tidak ada perubahan 19
-
Indonesia (Moda 3) Tidak ada perubahan
-
Filipina Tidak ada perubahan
-
Thailand Perusahaan perantara pedagang efek, penjamin efek, penasihat efek (moda 3) : Kepemilikan diijinkan hingga 100% modal disetor dari sebelumnya 49%.
Pengelola aset (moda 3): Kepemilikan diijinkan hingga 100% modal disetor. Untuk pengelola aset, setelah 5 tahun minimal 50% modal disetor harus dimiliki lembaga keuangan yang didirikan menurut hukum Thailand spesifik yang berlaku. Persyaratan sebelumnya
: maksimal 25% tahun untuk lima tahun pertama dan
maksimal 49% untuk seterusnya.
-
Malaysia Penjamin Efek (Moda 3) : Keseluruhan kepemilikan asing di perusahaan penjamin efek diijinkan sebesar maksimal 70% dari sebelumnya 30%. Manajemen Aset (tunai atau portofolio, semua bentuk manajemen investasi kolektif, layanan kustodian dan penyimpanan terkait)(Moda 3) : Ketentuan yang mengatur batas minimal kelolaan dana lokal oleh perusahaan pengelola dana asing dan batas minimal dana kelolaan perusahaan asing tersebut di luar Malaysia dihapus. Ketentuan bahwa sumber dana lokal dibatasi pada dana lembaga dan skema investasi kolektif selain unit reksadana dihapus.
Ketentuan pembatasan jumlah
maksimal 10 perusahaan pengelola dana asing (dengan maksimal kepemilikan asing sebanyak 70%) yang dapat diberikan ijin oleh Komisi Sekuritas dihapus.
2) aktivitas usaha -
Singapura (Moda 3) 20
Agen penempatan efek (Moda 3) : Berbeda dengan sebelumnya, Bursa Efek Singapura (SGX-ST) akan menerima anggota bursa baru. Anggota baru tersebut akan dapat bertransaksi langsung dalam efek berdenominasi $S dari perusahaan Singapura dengan investor penduduk Singapura dengan nilai minimum $$150,000. Sebelumnya, hanya dimasukkan ke dalam kelompok broker asing non anggota bursa dengan transaksi dengan investor penduduk Singapura minimum $S 5 juta. Manajemen Aset (tunai atau portofolio, semua bentuk manajemen investasi kolektif, pengelolaan dana pensiun, layanan kustodian dan penyimpanan dan wali amanat terkait)(Moda 3) : Aktivitas penggunaan (termasuk melalui investasi) dana yang berasal dari jaminan sosial, dana pensiun publik, dan skema tabungan wajib dikecualikan dari komitmen -
Indonesia (Moda 4) Menurut UU Ketenagakerjaan dan Imigrasi, kini diijinkan juga untuk manajer dan tenaga ahli/konsultan (transfer dalam perusahaan) namun berdasarkan economic need test. Sebelumnya hanya diijinkan untuk direktur.
-
Filipina Batas maksimal kepemilikan asing di bank investasi dinaikkan menjadi
51% dari
sebelumnya 49%. -
Thailand Tidak ada perubahan
-
Malaysia Penjamin Efek (Moda 3) : Bank Islam internasional sudah diijinkan menjadi penjamin efek seperti perusahaan lokal atau patungan, namun terbatas hanya menjamin efek berdenominasi mata uang asing. Layanan perantara pedagang efek (termasuk analisis dan referensi kredit, konsultasi dan pengelolaan portofolio investasi, dan riset pasar) (Moda 2 dan Moda 4) :
21
Ketentuan bahwa perdagangan pada bursa efek Malaysia harus ditransaksikan melalui perusahaan lokal yang merupakan anggota bursa dihapus. (Moda 2) Tidak ada batasan bagi jumlah perwakilan asing dari sebelumnya tidak ada komitmen (Moda 4). Layanan pedagang perantara bursa komoditas (Moda 3) Ketentuan batas persentase kepemilikan asing di perusahaan patungan dihapus. Ketentuan economic need tests bagi kantor perwakilan asing dihapus.
3) tempat tinggal (in progress) -
Singapura Tidak ada perubahan
-
Indonesia Tidak ada perubahan
-
Filipina Tidak ada perubahan
-
Thailand Tidak ada perubahan
-
Malaysia Tidak ada perubahan.
Secara keseluruhan, negara dengan keterbukaan sektoral yang paling meningkat adalah Thailand, diikuti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Indonesia di urutan terakhir. Peningkatan drastis dilakukan oleh Thailand yang mengijinkan perusahaan
perantara
pedagang efek, penjamin efek, dan penasihat efek dimiliki asing ASEAN hingga 100% modal disetor. Untuk perusahan pengelola aset, asing ASEAN boleh memiliki hingga 100% modal disetor, dengan ketentuan setelah 5 tahun minimal 50% modal disetor harus dimiliki lembaga keuangan yang didirikan menurut hukum Thailand spesifik yang berlaku. Malaysia mengikuti di belakang Thailand. Peningkatan paling drastis terjadi untuk perusahaan
penjamin efek yang boleh dimiliki asing ASEAN sebesar maksimal 70% dari
sebelumnya 30%. 22
Singapura berada di bawah Malaysia dengan peningkatan paling signifikan terjadi pada agen penempatan efek asing ASEAN yang akan diijinkan menjadi anggota Bursa Efek Singapura (SGX-ST), walau tidak dijelaskan skema waktunya. Agen tersebut akan dapat bertransaksi langsung dalam efek berdenominasi $S dari perusahaan Singapura dengan investor penduduk Singapura dengan nilai minimum $$150,000. Filipina berada di urutan keempat berkat peningkatan batas kepemilikan asing ASEAN untuk bank investasi dari 49% menjadi 51%. Indonesia berada di urutan terakhir dengan peningkatan keterbukaan yang ambigu pada Moda 4, karena masih harus berdasarkan economic need test.
Tabel 3-4. Tingkat Keterbukaan Sektor Pasar Modal Negara-Negara Utama ASEAN Saat Ini No.
Negara
Skor
Indikator 1 Indikator 2
Indikator 3
Awal
Skor
Peringkat
Akhir
Saat Ini
1.
Indonesia
3.5
0
+0.1
0
3.6
2
2.
Singapura
2.7
+0.2
0
0
2.9
3
3.
Malaysia
2.5
+0.3
0
0
2.8
4
4.
Filipina
2.4
+0.2
0
0
2.6
5
5.
Thailand
2.0
+2.3
0
0
4.3
1
Catatan : Indikator 1 : pendirian perusahaan dan kepemilikan Indikator 2 : aktivitas usaha Indikator 3 : lokasi tempat tinggal
23
BAB 4 Prospek Sektor Perasuransian Indonesia Di Tengah Tantangan Integrasi Jasa Keuangan ASEAN Integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community ditargetkan dicapai pada tahun 2015, dengan tujuan menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, sejahtera, memiliki daya saing yang tinggi, dan terintegrasi dengan perekonomian global. Integrasi ekonomi dicapai melalui terciptanya satu pasar tunggal dan basis produksi yang di dalamnya terdapat aliran barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja yang bebas serta aliran modal yang lebih bebas. Integrasi dapat terwujud bila mengedepankan kesetaraan pembangunan ekonomi, berkurangnya tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi di antara negara-negara anggota ASEAN. Bila ASEAN Vision 2020 sebelumnya menargetkan tahun 2020 sebagai batas waktu integrasi, pemercepatan dari target tahun 2020 ke 2015 telah menjadi kata putus para kepala negara ASEAN dalam Cebu Declaration pada tanggal 13 Januari 2007 guna menghadapi tingkat persaingan yang makin ketat dari pihak lain terutama China dan India. Berbagai sektor mesti terus berbenah diri, tidak ketinggalan pula sektor perasuransian di mana sektor ini telah menjadi bagian dari sektor jasa keuangan yang diliberalisasi. Batas waktu 2015 dan 2020 merupakan tonggak waktu pemenuhan target liberalisasi sektor jasa keuangan di mana hambatan-hambatan sudah harus dihapus secara substansial dengan tetap memberikan ruang bagi negara-negara anggota untuk tetap mempertahankan fleksibilitas yang telah disepakati bersama. Dalam suatu pasar tunggal yang terintegrasi nantinya, terlepas dari ‘status perusahaan lokal’ yang pada sebagian negara anggota wajib dikenakan, perusahaan asuransi yang berbasis di suatu negara ASEAN tidak lagi dihadapkan pada aturan pembatasan untuk masuk dan mendirikan usaha di negara anggota ASEAN lainnya. Selama perusahaan tersebut dapat memenuhi regulasi yang non-diskriminatif yang ditetapkan oleh regulator perasuransian dari negara tuan rumah, perusahaan tersebut harus diijinkan untuk mendirikan dan menjalankan bisnis perasuransian. Bagi perusahaan asuransi asing yang berdomisili di wilayah ASEAN, dalam aspek kepemilikan usaha nantinya tidak ada lagi pembatasan kepemilikan mayoritas harus dimiliki warga atau penduduk lokal. Sektor tenaga
24
kerja perasuransian akan terkena imbasnya pula, mengingat akan terjadi aliran tenaga kerja secara bebas di wilayah ASEAN begitu negara anggota menandatangani kesepakatan Mutual Recognition Arrangement jasa profesional tertentu yang terkait dengan perasuransian. Untuk menghadapi persaingan tersebut, pembenahan ke dalam adalah suatu hal yang mutlak dilakukan. Untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing sektor jasa keuangan non-bank di mana perasuransian termasuk bagian di dalamnya, Bapepam-LK selaku regulator telah merumuskan Master Plan Pasar Modal Dan Industri Keuangan Non Bank 2010 – 2014. Terdapat lima tujuan yang ingin dicapai dalam kurun waktu tersebut, yaitu 1) sumber pendanaan yang mudah diakses, efisien, dan kompetitif, 2) sarana investasi yang kondusif dan atraktif serta pengelolaan risiko yang handal, 3) industri yang stabil, tahan uji, dan likuid, 4) kerangka regulasi yang menjamin adanya kepastian hukum, adil, dan transparan, 5) infrastruktur yang kredibel, dapat diandalkan, dan berstandar internasional. Penataan kesiapan sektor perasuransian menghadapi liberalisasi tidak baru dimulai sejak Indonesia memberikan komitmen liberalisasi jasa untuk forum regional ASEAN saja, tapi telah dimulai lebih awal lagi melalui komitmen Indonesia di forum multilateral World Trade Organization (WTO) dan tindakan liberalisasi secara unilateral melalui serangkaian kebijakan pro liberalisasi melalui perangkat regulasi sektoral maupun keseluruhan sektor melalui regulasi mengenai Daftar Negatif Investasi. Komitmen liberalisasi di WTO yang masih berlaku efektif hingga kini adalah komitmen liberalisasi pada putaran Uruguay tahun 1995, sedangkan regulasi mengenai Daftar Negatif Investasi terakhir adalah Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2010.
4.1 Permasalahan Untuk menghadapi tantangan integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 yang kini tinggal tidak sampai tiga tahun lagi, permasalahan yang perlu dijawab adalah bagaimanakah posisi sektor perasuransian Indonesia kini di kawasan ASEAN? Apakah prospek yang dimiliki sektor perasuransian Indonesia dalam menjawab tantangan di tingkat kawasan tersebut? Bab ini akan berupaya menjawab dua permasalahan penelitian tersebut di atas. Dua tujuan yang akan dicapai melalui penelitian ini: pertama, memetakan kondisi terkini sektor perasuransian Indonesia di antara sesama negara anggota ASEAN; dan kedua, menganalisis
25
prospek sektor perasuransian Indonesia dalam upayanya menjawab tantangan integrasi di kawasan ASEAN.
4.2 Metodologi Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian eksploratif deskriptif dan komparatif. Data penelitian bersumber dari data statistik perasuransian yang dapat diperoleh dari CEIC dan situs resmi regulator perasuransian negara-negara ASEAN, yaitu : 1) Indonesia : Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan 2) Malaysia : Bank Negara Malaysia 3) Singapura : Monetary Authority of Singapore 4) Philippines : Komisyon Ng Seguro Sementara itu data-data yang diperoleh dari regulator negara-negara ASEAN lainnya tidak dapat digunakan sebagai pembanding. Sementara itu data ekonomi masing-masing negara diperoleh dari World Bank. Data perjanjian liberalisasi jasa keuangan sektor asuransi putaran Uruguay berasal dari World Trade Organization, sedangkan data perjanjian liberalisasi jasa keuangan sektor asuransi ASEAN berasal dari ASEAN Secretariat. Berbagai literatur dan sumber-sumber bacaan terkait liberalisasi jasa keuangan dan liberalisasi jasa keuangan sektor asuransi menjadi sumber referensi penelitian ini.
4.3 Definisi dan Klasifikasi Asuransi Menurut Salim (2005), asuransi adalah suatu kesediaan (oleh individu atau badan hukum) untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil yang sudah pasti di masa sekarang sebagai pengganti kerugian-kerugian besar yang belum pasti di masa datang. Kerugian kecil yang sudah pasti adalah dalam bentuk cicilan pembayaran atau pembayaran sekaligus premi kepada perusahaan asuransi, sedangkan pengganti atau kompensasi kerugian adalah dalam bentuk pembayaran klaim pertanggungan oleh perusahaan asuransi. Sedangkan Commission on Insurance Terminology of the American Risk and Insurance Association mendefinisikan asuransi sebagai pengumpulan kerugian-kerugian yang tidak ditimbulkan dengan sengaja melalui pemindahan risiko kerugian tersebut kepada perusahaan asuransi, di mana perusahaan bersedia untuk memberikan pertanggungan 26
kerugian finansial kepada pihak penderita kerugian melalui tindakan pembayaran sejumlah uang atau melakukan jasa tertentu terkait risiko kerugian tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi tidak mesti dimaksudkan mengganti seluruh kerugian yang terjadi, namun lebih dimaksudkan untuk mengkompensasi kerugian yang diderita nasabah berdasarkan kesepakatan pertanggungan antara perusahaan asuransi dan nasabah, sehingga paling tidak nasabah tidak terbebani kerugian seketika dalam jumlah besar . Dalam definisi di atas disebutkan empat unsur dalam asuransi, yaitu : (1) pengumpulan risiko, (2) pemindahan risiko, (3) pertanggungan kerugian, (3) pembayaran sejumlah uang. Menurut Salim (2005), asuransi dapat digolongkan sebagai berikut : 1.
Asuransi kerugian (asuransi umum), yaitu asuransi pada hak milik, kebakaran, dan lainlain.
2.
Asuransi varia (marine insurance, asuransi kecelakaan, asuransi mobil dan pencurian)
3.
Asuransi jiwa (life insurance), yaitu yang menyangkut kematian, sakit, cacat, dan lainlain. Sedangkan Magee (1964) mengklasifikasikan asuransi dalam dua kelompok, yaitu
jaminan sosial (social insurance) dan asuransi sukarela (voluntary insurance). Jaminan sosial diwajibkan oleh pemerintah untuk dimiliki oleh setiap warga negara atau penduduk di suatu negara. Tujuannya adalah supaya setiap orang mempunyai jaminan untuk hari tuanya, jaminan saat sakit, dan jaminan saat menganggur. Bentuk ini dilaksanakan dengan ‘paksa’, misalnya dengan memotong persentase tertentu dari gaji pegawai setiap bulannya. Sedangkan asuransi sukarela adalah asuransi yang bersifat tidak ada paksaan, dan umumnya bersifat komersial atau mencari keuntungan. Asuransi umum atau asuransi kerugian dan asuransi jiwa berada dalam kategori ini. Rejda (2008) mengklasifikasikan asuransi ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) asuransi swasta, (2) asuransi pemerintah. Asuransi swasta terbagi atas dua kelompok asuransi yaitu (1) asuransi jiwa dan kesehatan (life and health insurance), (2) asuransi kerugian atau asuransi umum (property and liability insurance). Dari berbagai klasifikasi tersebut di atas, asuransi secara umum dapat digolongkan ke dalam : 1) asuransi jiwa, 2) asuransi kerugian atau asuransi umum, dan 3) asuransi pemerintah. Berikut akan dijelaskan secara ringkas gambaran umum mengenai ketiganya.
27
Asuransi Jiwa Asuransi jiwa memberikan santunan kematian bagi pihak pewaris yang ditunjuk oleh tertanggung selaku nasabah bila si tertanggung wafat. Asuransi kesehatan menawarkan polis jaminan kesehatan bagi individu atau kelompok, yang mencakup biaya medis saat tertanggung menderita sakit atau cedera. Selain itu baik asuransi jiwa maupun asuransi kesehatan menawarkan polis jaminan santunan tetap secara rutin bagi tertanggung selaku nasabah yang mengalami cacat baik sementara maupun permanen akibat kecelakaan baik kecelakaan kerja atau kecelakaan lainnya. Contoh perusahaan asuransi jiwa di Indonesia adalah Panin Life, Prudential, dan AxaMandiri. Asuransi jiwa popular di Indonesia melalui produk unit link dengan investasi. Saat ini jumlah perusahaan yang bergerak di bidang asuransi jiwa dan kesehatan berjumlah 46 perusahaan.
Asuransi Kerugian atau Asuransi Umum Asuransi kerugian atau asuransi umum memberikan kompensasi finansial kepada pemilik dari suatu hak milik/properti atas kerusakan atau kerugian yang diderita akibat berbagai macam peril (penyebab kerugian atau kerusakan terhadap hak milik) seperti kebakaran, petir, hujan badai, angin tornado. Selain itu asuransi ini juga memberikan perlindungan atas kerusakan yang diderita pihak lain sebagai dampak kerusakan yang terjadi pada hak milik tertanggung selaku nasabah. Sebutan lain untuk property and liability insurance adalah property and casualty insurance. Contoh perusahaan asuransi kerugian di Indonesia adalah PT. Panin Insurance Tbk,, PT. Asuransi Axa Indonesia, PT.Asuransi Ramayana Tbk., PT. Asuransi Harta Aman Perdana Tbk., PT. Asuransi Jasa Tania Tbk., PT. Zurich Insurance Indonesia, PT. Asuransi Allianz Utama Indonesia, dan PT. Lippo General Insurance Tbk. Saat ini telah terdapat 87 perusahaan yang bergerak di bidang asuransi umum/kerugian. Cakupan polis asuransi yang ditawarkan secara komersial oleh asuransi umum atau asuransi kerugian secara umum dibagi dua, yaitu (1) lini polis personal, (2) lini polis komersial. Lini polis personal mencakup asuransi mobil pribadi (private passenger auto insurance), asuransi rumah pribadi (homeowners insurance), asuransi proteksi bencana (personal umbrella liability insurance), dan asuransi kapal pribadi (boatowners insurance). Lini polis komersial mencakup variasi polis yang amat banyak, antara lain asuransi kebakaran dan bencana lain yang terkait (fire and allied insurance), asuransi kerugian komersial bermacam risiko termasuk risiko kerusakan alat dan kejahatan (commercial 28
multiple-peril insurance), asuransi kewajiban umum yang melindungi dampak kerusakan properti dan dampaknya terhadap pihak lain (general liability insurance), dan asuransi mobil komersial (commercial auto insurance).
Asuransi Pemerintah Asuransi pemerintah dapat dibagi atas dua kelompok yaitu asuransi sosial dan program asuransi pemerintah lainnya. Contoh asuransi sosial adalah asuransi jiwa dan kesehatan bagi pekerja swasta yang diselenggarakan PT. Jamsostek, dan asuransi jiwa dan kesehatan bagi pegawai pemerintah yang diselenggarakan oleh PT. Taspen dan PT. Askes.
4.4 Analisis Sektor Perasuransian Indonesia Sektor perasuransian sebagai bagian dari sektor jasa keuangan Indonesia memiliki peran strategis dalam penciptaan kestabilan perekonomian Indonesia melalui aspek pengelolaan risiko. Perekonomian Indonesia sebagaimana perekonomian lainnya tidak dapat lepas dari ketidakpastian atau risiko, yang bila tidak dikendalikan dampak dari terjadinya risiko tersebut dapat membuat perekonomian menjadi tidak stabil, terguncang, bahkan di tingkat mikro dapat menyebabkan kehancuran bagi pelaku ekonomi. Melalui sektor perasuransian, para pelaku ekonomi dapat memindahkan sebagian atau seluruh kerugian yang dideritanya, sehingga walau terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian, aktivitas ekonomi sehari-hari tetap dapat terus dilanjutkan sebagaimana biasa. Untuk keseluruhan industri asuransi Indonesia, tingkat pertumbuhan aset mencapai 36% per tahun, dengan total aset mencapai US$ 33,9 miliar atau setara dengan Rp 319 Triliun (kurs US$ 1 = Rp 9.404). Angka pertumbuhan yang tinggi tersebut menunjukkan potensi pasar perasuransian domestik yang masih amat besar.
Pertumbuhan industri
perasuransian diyakini akan terus tumbuh positif. Setidaknya terdapat dua alasan dari keyakinan tersebut. Pertama, potensi pasar domestik yang masih sangat besar, di mana sampai saat ini baru 15% masyarakat Indonesia yang sudah memanfaatkan asuransi. Dengan kata lain, terdapat sekitar 85 persen potensi pasar yang belum tersentuh. Kedua, pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang mengalami peningkatan yang signifikan yang akan berpengaruh pada kebutuhan asuransi.4
29
Gambar 4-1. Perkembangan Tingkat Penetrasi dan Tingkat Densitas Perasuransian Indonesia
Sumber : Isa Rachmatarwata (2010)
Tingkat penetrasi asuransi Indonesia menunjukkan grafik yang cenderung terus meningkat dan membaik dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan tingkat pendapatan masyarakat Indonesia.
Bila pada tahun 2005 dari US$ 100
pendapatan
nasional Indonesia terdapat US$1.92 yang digunakan untuk membayarkan premi asuransi, angka tersebut terus naik hingga pada tahun 2009 dari US$ 100 pendapatan nasional sebanyak US$2.65 telah dipakai untuk pembayaran premi asuransi. Dengan dikonversi ke rupiah dapat dijelaskan demikian. Pada tahun 2005 dari Rp 1.000.000 pendapatan nasional Indonesia terdapat Rp19.200 yang digunakan untuk membayarkan premi asuransi. Angka tersebut terus naik hingga pada tahun 2009 dari Rp 1.000.000 pendapatan nasional terdapat sebanyak Rp 26.500 yang telah dipakai untuk pembayaran premi asuransi Perkembangan tingkat densitas juga menunjukkan tren peningkatan yang stabil dengan perkecualian pada waktu krisis tahun 2008. Bila pada tahun 2005 nilai premi per
30
kapita Indonesia sebesar US$ 22.26 (ekivalen dengan Rp 218.816) maka pada tahun 2009 telah tumbuh berlipat ganda menjadi US$ 48.02 (setara dengan Rp 451.580). Baik tingkat penetrasi dan tingkat densitas asuransi Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan produk asuransi sebagai sarana investasi dan pengelolaan risiko masih rendah, sehingga potensi perasuransian Indonesia masih amat besar untuk tumbuh. Potensi pertumbuhan yang tinggi juga dapat dilihat dari besarnya premi asuransi yang direasuransikan keluar Indonesia, yang menjadi salah satu penyebab defisit pada neraca pembayaran asuransi nasional. Banyak keluarnya premi asuransi untuk direasuransikan di luar negeri dikarenakan tingkat retensi atau kemampuan menanggung risiko perusahaan asuransi nasional masih sangat rendah. 5
Statistik Perusahaan Asuransi Jumlah perusahaan asuransi terdaftar di Indonesia amat banyak karena jumlahnya mencapai ratusan. Dari data yang diperoleh dari Bapepam-LK (September 2010)1, tercatat terdapat 141 perusahaan asuransi konvensional terdaftar dan 46 perusahaan asuransi syariah terdaftar di Indonesia. Dari sekian banyak perusahaan asuransi konvensional, perusahaan asuransi umum berjumlah 89 perusahaan, perusahaan asuransi jiwa berjumlah 46 perusahaan, perusahaan reasuransi berjumlah 4 perusahaan, perusahaan asuransi khusus PNS/ABRI berjumlah 3 perusahaan, perusahaan asuransi dan jaminan sosial pekerja berjumlah 2 perusahaan. Dari jumlah perusahaan dan unit asuransi syariah yang ada, perusahaan asuransi umum berjumlah 1 perusahaan, perusahaan asuransi jiwa berjumlah 3 perusahaan, perusahaan reasuransi berjumlah 3 perusahaan, unit asuransi umum syariah berjumlah 22 unit, dan unit asuransi jiwa syariah berjumlah 17 unit. Dari 89 perusahaan asuransi umum atau kerugian yang terdaftar, 70 perusahaan di antaranya merupakan perusahaan swasta nasional dan 19 perusahaan lainnya merupakan perusahaan patungan antara swasta nasional dan pihak asing. Dari 46 perusahaan asuransi jiwa yang terdaftar di regulator, perusahaan swasta nasional berjumlah 29 perusahaan, sedangkan sisanya 17 perusahaan merupakan perusahaan patungan.
1
Isa Rachmatarwata (2010)
31
Di samping perusahaan dan unit asuransi, terdapat pula lembaga dan profesi penunjang asuransi yang penting dalam pengelolaan dan pelaksanaan bisnis perasuransian yaitu broker reasuransi, agen asuransi, konsultan aktuaria, dan penilai kerugian. Jumlah broker reasuransi yang tercatat ada 23 perusahaan, agen asuransi tercatat 13 agen, konsultan akturia terdaftar 28 konsultan, dan penilai kerugian tercatat berjumlah 28 penilai.
Gambar 4-2. Perkembangan Aset Perusahaan Asuransi Konvensional
40
US$ miliar
30
9.31 6.75
20 10 0
4.09 2.07 5.49 2.28
5.71 3.03
3.54
7.88
10.84
9.35
3.16
3.18
2.77
5.45
6.08 3.63
14.55 4.27
2005 2006 2007 2008 2009 asuransi dan jaminan sosial pekerja asuransi khusus PNS/ABRI Sumber : Isa Rachmatarwata (2010)
Tabel 4-3. Perkembangan Aset Perusahaan Asuransi Syariah Tahun Kategori
2005
2006
2007
2008
2009
Jumlah aset (US$ miliar)
0.070
0.105
0.160
0.169
0.322
Sumber : Isa Rachmatarwata (2010) Untuk asuransi konvensional, industri asuransi jiwa mencatat tingkat pertumbuhan aset yang paling mengesankan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 41% per tahun, hampir dua kali lipat rata-rata pertumbuhan industri asuransi umum dan reasuransi. Sementara itu, industri syariah yang masih merupakan industri baru memiliki prospek yang cerah seiring dengan pencatatan pertumbuhan aset yang progresif mencapai 90% per tahun. Secara nominal, pertambahan aset asuransi jiwa konvensional selama kurun waktu lima tahun berada di posisi paling atas dengan jumlah pertambahan melampaui angka US$ 9 32
miliar, diikuti pertambahan aset asuransi dan jaminan sosial pekerja sebesar lebih dari US$ 5 miliar.
Gambar 4-4 Perkembangan Investasi Perusahaan Asuransi Konvensional
3.05
2009 2008
2.19
2007
2.13
2006
1.9
2005
1.6 0
13.13
4.41
8.28
2.98
9.74 6.9 4.62
1.97
5
5.86
3.02 2.6
8.97
6.59
5.56
3.98 10
15
20
25
30
dalam US$ miliar asuransi umum & reasuransi asuransi khusus PNS/ABRI
asuransi jiwa asuransi dan jaminan sosial pekerja
Sumber : Isa Rachmatarwata (2010)
Sebagian besar dari aset perusahaan asuransi ditanamkan dalam bentuk investasi. Investasi tersebut pada umumnya dalam bentuk surat-surat berharga seperti deposito berjangka, portofolio saham, obligasi, reksadana dan penyertaan saham. Sisa aset lain di luar investasi dapat dalam bentuk kas dan bank, piutang, aset tetap, biaya dibayar dimuka, dan aset pajak tangguhan. Investasi menjadi bagian dari aset perusahaan asuransi yang penting dikarenakan dengan berinvestasi nantinya perusahaan dapat mengembangkan pendapatan premi yang diperolehnya menjadi aset yang terus tumbuh, menyisihkan sebagian untuk membayar klaim dan sebagian lagi untuk cadangan, serta membayar kegiatan operasionalnya. Investasi perusahaan asuransi jiwa menjadi investasi yang paling tinggi tingkat pertumbuhannya per tahun (46%) diikuti oleh asuransi dan jaminan sosial pekerja (31%). Pertumbuhan investasi asuransi jiwa sangat pesat. Bila tahun 2005 baru sebesar US$4,6 miliar, maka pada tahun 2009 telah berada di atas US$ 13 miliar. Pertumbuhan investasi industri asuransi konvensional mencatat angka yang baik (36%), di mana pada tahun 2005 33
nilai investasi baru sebesar US$ 12 miliar dan pada tahun 2009 telah bertambah dengan cepat menjadi hampir US$ 30 miliar atau setara dengan Rp 278 Triliun.
Gambar 4-5. Perkembangan Pendapatan Premi Perusahaan Asuransi Konvensional
12
0.54
1.46
10 0.32
US$ miliar
8
0.76 0.29
6
6.43
0.63 0.24
0.47
4 2
0.4
0.79
4.84
4.6
3.05
2.27 1.92
2.2
2.35
2.38
2.65
2005
2006
2007
2008
2009
0 asuransi umum & reasuransi
asuransi jiwa
Sumber : Isa Rachmatarwata (2010) Tingkat pertumbuhan pendapatan premi asuransi khusus PNS/ABRI melampaui asuransi konvensional lainnya. Tercatat pertumbuhan pendapatan premi asuransi khusus PNS/ABRI berada di posisi teratas dengan rata-rata 53% per tahun, diikuti asuransi jiwa sebesar 46% per tahun. Industri asuransi domestik secara keseluruhan mencatat tingkat pertumbuhan cukup tinggi sebesar 32%, tidak jauh berbeda dengan angka pertumbuhan aset industri asuransi yang sebesar 36%. Sebagaimana dengan pertambahan asetnya, industri asuransi jiwa juga mencapai pertambahan nominal pendapatan premi paling tinggi dengan lebih dari US$ 4 miliar. Dalam hal ini kinerja industri asuransi jiwa konsisten baik dalam pertumbuhan nilai aset maupun pertumbuhan perolehan premi. Asuransi khusus PNS/ABRI mengikuti dengan pertambahan premi hampir US$ 1 miliar. Total perolehan premi dari industri perasuransian Indonesia mencapai US$ 11,1 miliar atau ekivalen dengan Rp 104 Triliun.
34
4.5 Sektor Perasuransian Indonesia dalam Integrasi Jasa Keuangan Pembukaan sektor jasa keuangan Indonesia dari penanaman modal asing telah dimulai jauh sebelum putaran Uruguay diselesaikan tahun 1995 seiring dengan dibukanya keran penanaman modal asing di Indonesia. Gelombang pertama liberalisasi terjadi seiring disahkannya Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, diikuti gelombang kedua pada periode 80-an dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Juni 1983 (PAKJUN 1983) dan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988). Kebijakan deregulasi dan liberalisasi tersebut menghilangkan peran bank sentral (Bank Indonesia) dan sistem keuangan nasional diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Walau sejauh ini tidak dapat ditemukan literatur atau kajian yang mengupas kapan sektor perasuransian khususnya dibuka untuk asing, dapat diduga bahwa pembukaan sektor perasuransian dilakukan bersamaan atau tidak lama berselang setelah kebijakan deregulasi dan liberalisasi tersebut di atas diluncurkan pemerintah. Surat Presiden Amerika Serikat Bill Clinton kepada Presiden Soeharto sebelum penyelesaian putaran Uruguay tahun 1995 yang mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan komitmen jasa keuangan di WTO sama dengan peraturan di sektor jasa keuangan yang berlaku merupakan salah satu dokumentasi Tim Koordinasi Bidang Jasa Departemen Keuangan yang menguatkan.2 Pada saat itu, pemerintah Indonesia telah membuka amat lebar pintu sektor jasa keuangan bagi pihak asing di mana pemerintah telah memberikan komitmen di WTO yang mengikatkan diri pada regulasi domestik yang memberikan keleluasaan kepada pihak asing untuk menguasai 80% kepemilikan di sektor perasuransian. Dari Direktori Perasuransian yang diterbitkan oleh Bapepam-LK, Kementerian Keuangan, tercatat beberapa perusahaan asuransi internasional yang beroperasi di Indonesia yang namanya tidak asing lagi di telinga masyarakat seperti AXA dari Perancis, dan Allianz dari Jerman telah memasuki pasar asuransi kerugian nasional. Di samping keempat nama tersebut tercatat pula beberapa nama perusahaan asing lain, yaitu Nipponkoa, Sompo, dan Tokio Marine yang berasal dari Jepang; MAA dan Zurich Insurance yang berasal dari Swiss ; China Taiping dari China; LIG dari USA, QBE dari Australia, dan Samsung dari Korea Selatan. 2
Hasil konsultasi dengan Sekretariat Tim Koordinasi Bidang Jasa-Departemen Keuangan
35
Sementara itu untuk segmen asuransi jiwa, beberapa nama yang sudah dikenal masyarakat adalah AIA dan Cigna dari Amerika Serikat, AXA dari Perancis, Manulife dari Kanada, Prudential dari Inggris, Avrist dari perusahaan asing gabungan dari Jerman dan Jepang, CIMB Sun dari perusahaan
asing gabungan dari Malaysia dan Kanada,
Commonwealth dari Australia, Great Eastern dari Singapura, dan MAA dari Malaysia. Komitmen liberalisasi sektor jasa keuangan Indonesia di semua forum regional termasuk ASEAN, tidak bisa lepas dari komitmen liberalisasi perdagangan yang dirundingkan di forum perundingan WTO mengingat komitmen WTO selalu menjadi starting point dan base commitment perundingan. Dengan demikian sandaran negara-negara ASEAN dalam memulai perundingan akan selalu didasarkan pada SoC masing-masing di perundingan WTO.
Integrasi Jasa Keuangan Indonesia di ASEAN Komitmen liberalisasi jasa keuangan Indonesia di forum ASEAN dimulai pada tahun 1998 di putaran pertama perundingan AFAS dengan pemberian komitmen WTO plus pada sektor jasa keuangan perbankan. Pada sektor tersebut, kantor cabang bank asing di Indonesia atau bank patungan asing diperbolehkan membuka kantor perwakilan di kotakota besar di Indonesia. Selain Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Ujung Pandang (kini Makassar), Denpasar, Batam, dalam putaran pertama AFAS tersebut Indonesia membuka sebagai tambahan tiga kota besar lainnya yaitu di Padang, Manado, dan Ambon. Sementara itu, dalam akuisisi kepemilikan bank lokal di Indonesia, foreign equity participation oleh bank asing masih tidak berubah sebagaimana komitmen Indonesia di WTO yaitu tidak boleh melebihi 49%. Untuk sektor jasa keuangan non-perbankan seperti asuransi, pasar modal, dan lembaga pembiayaan, Indonesia belum memberikan komitmen WTO plus-nya pada putaran pertama AFAS. Sejak putaran perundingan kedua forum WC-FSL sebagai forum perundingan khusus untuk sektor jasa keuangan dibentuk. Pada putaran tersebut, komitmen
sektor jasa
keuangan non-perbankan Indonesia masih sama persis dengan komitmen di WTO. Sementara itu, sektor perbankan menambah komitmen liberalisasinya dengan memberikan pihak asing keleluasaan untuk memiliki saham bank lokal yang tercatat di bursa efek hingga 51%. Di samping itu ibukota propinsi lain juga dibuka bagi kantor-kantor bank asing sepanjang permohonan pembukaan tersebut lulus dari economic needs test. Kesepakatan perundingan kedua ini ditandatangani pada tanggal 6 April 2002 di Yangon, Myanmar. 36
Sektor jasa keuangan perbankan kembali memberikan penambahan komitmen pada kesepakatan putaran perundingan ketiga yang disahkan pada tanggal 6 April 2005 di Vientiane, Laos. Bila sebelumnya hanya diijinkan memiliki satu kantor cabang pembantu dan satu kantor pemasaran tambahan, sejak putaran ketiga bank asing diperbolehkan memiliki dua kantor cabang pembantu dan dua kantor pemasaran tambahan. Sektor jasa keuangan non-perbankan tetap tidak memberikan penambahan komitmen. Penambahan komitmen liberalisasi di sektor keuangan non-perbankan baru diberikan Indonesia pada kesepakatan putaran keempat perundingan WC-FSL yang disahkan pada tanggal 4 April 2008 di Danang, Vietnam. Sejak putaran keempat, moda 1 jasa anjak piutang (factoring) dibuka tanpa hambatan sama sekali, sehingga jasa anjak piutang negaranegara ASEAN lainnya diijinkan untuk membuka layanan jasa anjak piutang di negaranya melalui layanan online atau jarak jauh bagi nasabah-nasabah korporat maupun perorangan di Indonesia. Sementara itu, sektor non-perbankan pada putaran perundingan tersebut tidak menambah komitmen liberalisasinya lebih jauh lagi. Kondisi sektor jasa keuangan Indonesia yang relatif paling terbuka dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya menyebabkan Indonesia tidak membuka lagi pasar jasa keuangannya lebih jauh lagi pada kesepakatan putaran perundingan kelima WC-FSL yang ditandatangani pada tanggal 4 Mei 2011 lalu di Hanoi, Vietnam. Keterbukaan tersebut masih ditambah lagi oleh keberadaan regulasi domestik melalui penerbitan regulasi terkait Daftar Negatif Investasi (DNI), di mana saat ini untuk perbankan dan non perbankan pihak asing diperbolehkan memiliki hingga masing-masing 99% dan 80%-85% saham perusahaan domestik. Dalam hal ini, Indonesia cenderung menunggu respon negara-negara ASEAN untuk melonggarkan sektor jasa keuangan domestiknya agar dapat lebih seimbang dengan komitmen Indonesia.
37
4.6 Prospek Perasuransian Indonesia di ASEAN
Gambar 4-6 Perbandingan Jumlah Aset Industri Asuransi ASEAN (2008-2009) 120
103
US$ Billions
100
84
80 2008
60 40
41 42 25
2009
31 10 11
20 INDONESIA
MALAYSIA
SINGAPURA PHILIPPINES
Sumber : Regulator Perasuransian Negara Masing-Masing di ASEAN
Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran menilai kekuatan industri perasuransian adalah dari jumlah asetnya. Sementara itu kekuatan permodalan pada umumnya selaras dengan kekuatan aset. Oleh karena itu walau tidak diperoleh data permodalan, paling tidak kekuatan industri di ASEAN sudah dapat terefleksikan dari jumlah aset tersebut. Dilihat dari jumlah aset tersebut, industri perasuransian Indonesia masih kalah kuat dan besar dibandingkan Singapura dan Malaysia, namun masih unggul dibandingkan Filipina (Gambar 4-6). Menjadi hal yang menarik mencermati bahwa jumlah premi industri asuransi Indonesia di dua tahun terakhir dari data terkini lebih unggul dibandingkan Singapura yang secara faktual memiliki kekuatan aset terbesar di ASEAN (Gambar 4-7). Industri perasuransian di Indonesia baru tumbuh belakangan dibandingkan industri perasuransian Singapura. Oleh sebab itu dapat dipahami secara logis jika akumulasi aset industri perasuransian Singapura telah begitu besar dibandingkan aset industri perasuransian Indonesia. Jumlah pendapatan premi Indonesia yang lebih besar dibandingkan Singapura pada tahun 2008-2009 bisa dipahami demikian. Pertumbuhan jumlah premi di Indonesia yang makin pesat dapat dilihat dari konteks laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil di Indonesia yang kemudian melahirkan jumlah kalangan menengah baru yang signifikan. 38
Dalam laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang berjudul "The Rise of Asia's Middle Class 2010" disebutkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia tumbuh pesat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pada 1999 kelompok kelas menengah baru 25 persen atau 45 juta jiwa, namun satu dekade kemudian melonjak jadi 42,7 persen atau 93 juta jiwa. Sedangkan jumlah kelompok miskin berkurang dari 171 juta jiwa menjadi 123 juta jiwa. Mohammad Ikhsan, seorang pengamat ekonomi menyebutkan bahwa kelas menengah sebagian besar terdiri dari kalangan profesional di sektor jasa dan industri dan hidup di perkotaan. Kelas ini memiliki kecenderungan menghabiskan dana untuk pendidikan dan layanan kesehatan yang berkualitas.6
Kecenderungan tersebut selaras dengan
keberadaan perusahaan-perusahaan asuransi di Indonesia yang banyak menawarkan variasi produk-produk asuransi jiwa yang dikaitkan dengan pendidikan, kesehatan, dan investasi.
US$ Billions
Gambar 4-7 Perbandingan Jumlah Premi Industri Asuransi ASEAN (2008-2009) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 -
8.6 8.3
5.6
6.1 5.0 5.1 2008 2009 2.0 1.9
INDONESIA
MALAYSIA
SINGAPURA PHILIPPINES
Sumber : Regulator Perasuransian Negara Masing-Masing di ASEAN
Pasar Indonesia ke depan masih sangat prospektif, dan jauh lebih prospektif dibandingkan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Ketertinggalan rasio premi dibandingkan PDB di satu sisi memperlihatkan ketertinggalan pembangunan sektoral Indonesia, namun sisi positifnya adalah pasar perasuransian Indonesia belum jenuh dan masih dapat tumbuh tinggi, berbeda dengan pasar Malaysia terlebih Singapura. (Gambar 48 dan 4-9). Sebagai perbandingan, persentase premi jiwa dan non-jiwa Indonesia dibandingkan PDB baru 1,1% dan 0,52%. Berarti secara total, persentase premi Indonesia dibandingkan 39
PDB baru 1,62%. Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan Singapura (5%; 1,1%; total 6,1%) dan Malaysia (2,9%; 1,38%; total 4,28%), dan hanya unggul dibandingkan Filipina (0,7%; 0,41%; total 1,11%).
Gambar 4-8 Perbandingan persentase premi jiwa terhadap PDB di ASEAN (2008-2009) 5.8% 6.0%
5.0%
5.0%
%PDB
4.0%
2.9% 2.6%
3.0% 2.0%
2008 2009
1.3% 1.1%
0.7%
0.7%
1.0% 0.0%
INDONESIA
MALAYSIA
SINGAPURA
PHILIPPINES
Sumber : Regulator Perasuransian Negara Masing-Masing di ASEAN
Gambar 4-9 Perbandingan persentase premi non-jiwa terhadap PDB di ASEAN (2008-2009) 1.38% 1.25%
1.40%
1.10% 1.10%
1.20% 1.00%
%PDB
0.80% 0.60%
0.60%
2008 0.52% 0.40%
0.41%
2009
0.40% 0.20% 0.00% INDONESIA
MALAYSIA
SINGAPURA
PHILIPPINES
Sumber : Regulator Perasuransian Negara Masing-Masing di ASEAN
Ketertinggalan Indonesia tersebut dipertegas oleh data rata-rata pengeluaran tiap penduduk yang digunakan untuk membayar premi asuransi (Gambar 4-10). Indonesia 40
sangat jauh tertinggal dibandingkan Singapura dan Malaysia, dan hanya unggul dibandingkan Filipina. Satu orang Indonesia menyisihkan US$ 43.06 (2009) untuk premi asuransi, sangat kalah jauh dibandingkan satu orang Singapura yang menyisihkan US$ 3,001.86 dan satu orang Malaysia yang menyisihkan US$ 314.47 dari anggaran rumah tangganya.
Gambar 4-10 Perbandingan Jumlah Pengeluaran Premi Asuransi Per Kapita di ASEAN (2008-2009) 3,725.23
4,000
US$ per kapita
3,500
3,001.86
3,000 2,500 2008
2,000
2009
1,500 1,000 500
43.06 39.31
314.47 331.92 19 18
INDONESIA
MALAYSIA
SINGAPURA PHILIPPINES
Sumber : Regulator Perasuransian Negara Masing-Masing di ASEAN
41
BAB 5 Prospek Sektor Pasar Modal Indonesia Di Tengah Tantangan Integrasi Jasa Keuangan ASEAN Integrasi jasa keuangan sektor pasar modal di ASEAN dapat dikatakan terjadi apabila: (1) Investor dapat menjual dan membeli sekuritas di setiap pasar modal di negara-negara ASEAN tanpa ada pembatasan/restriksi; (2) Intermediaries dapat menawarkan jasanya ke seluruh wilayah ASEAN tanpa ada pembatasan/restriksi; (3) Para regulator di negara-negara ASEAN membuat kesepakatan kerja sama dari pertukaran informasi sampai dengan penegakan aturan bersama (joint enforcement); dan (4) Perusahaan/badan usaha dapat meningkatkan permodalannya dimana pun di wilayah ASEAN dan pembiayaan yang lebih murah dengan biaya transaksi yang lebih rendah (Ismail, 2012). Kondisi tersebut di atas adalah kondisi yang ekstrim ketika pasar modal ASEAN telah telah terintegrasi secara penuh. Sementara kondisi saat ini masih sangat jauh dari kondisi ideal tersebut. Salah satu kendala yang dihadapi adalah adanya perbedaan kondisi dasar atau tahap perkembangan pasar modal yang mencolok diantara negara-negara ASEAN, dari yang sudah teramat maju seperti Singapore sampai yang baru pada tahap inisiasi seperti Brunei Darusalam. Bahkan diantara Negara ASEAN-5 pun masih terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Bab ini akan menyajikan profil sektor pasar modal di ASEAN dan melakukan analisis kesiapan integrasi pasar modal ASEAN dan tahapan-tahapan yang perlu ditempuh menuju proses integrasi tersebut.
5.1 Profil Perkembangan Sektor Pasar Modal ASEAN Untuk kebutuhan analisis ternyata tidak hanya disparitas kemajuan pasar modal di antara negara-negara ASEAN yang cukup besar, ketersediaan data pun menjadi masalah krusial. Tabel berikut memberikan gambaran ketersediaan data yang ada. Dari tabel tersebut terlihat bahwa Brunei, Kamboja dan Myanmar tidak ada datanya karena memang pasar modal di negara tersebut belum terbentuk. Sementara Vietnam dan Laos datanya masih belum lengkap mengingat kedua negara ini masih dalam tahap awal pengembangan pasar
42
modalnya, Vietnam mulai tahun 2000 dan Laos baru mulai tahun 2007. Oleh karenanya analisis akan difokuskan pada negara-negara ASEAN-5.
Tabel 5-1 Ketersediaan Data di Sektor Pasar Modal NEGARA
Jenis Data
RI
MAL
SIN
THA
PHI
Share Price Index (IFS)
√
V
V
V
V
V
Financial sector (World Bank)
V
V
V
V
V
V
Index
V
V
V
V
V
Market capitalization
V
V
V
V
V
V
Turnover / Trade
V
V
V
V
V
V
PER
V
V
V
V
V
V
V
V
Div. Yield No of listed companies
V
V
V
New issues of securities
V
V
V
BRU
VIE
CAM
LAO
MYN
V
V
V V
Sumber : Pencarian di CEIC
Pasar modal di Negara ASEAN-5 mengalami perkembangan yang sangat pesat jika dilihat dari kapitalisasi pasar domestiknya sebagaimana terlihat dalam Grafik XX. Dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2011, kapitalisasi pasar domestik berlipat ganda. Malaysia dan Singapore mengalami peningkatan sekitar dua kali lipat, Philippine mendekati tiga, Thailand hampir mendekati empat, bahkan Indonesia mengalami kenaikan lebih dari lima kali lipat. Gambar 5-1 Domestic market capitalization (USD billion) 598 1999 2011 396
390
268 165
140 64
Indonesia
198 57
42
Malaysia
Philippine
Singapore
Thailand
Sumber: World Federation of Exchanges 2011, diolah
43
Namun demikian jika membandingan data kapitalisasi pasar domestik (domestic market capitalization), total nilai perdagangan saham (total value of share trading) dan kecepatan turnover domestik (turnover velocity) maka akan terlihat perbedaan tahap pertumbuhan pasar modal di negara-negara ASEAN-5. Tabel 5-2 menunjukkan bahwa pasar modal Singapore termasuk yang paling maju, dengan nilai kapitalisasi pasar dan total nilai perdagangan saham yang terbesar. Sementara tiga Negara berikutnya, yaitu Thailand, Malaysia dan Indonesia memiliki kondisi yang hamper sama. Namun Thailand walaupun nilai kapitalisasi pasarnya terendah untuk ketiga negara ini tetapi memiliki total nilai perdagangan saham dan kecepatan turnover yang paling tinggi. Sementara Philippines berada pada urutan buncit. Tabel 5-2 Indikator Tahap Pertumbuhan Pasar Modal ASEAN-5 (2011) Domestic Market Capitalization
Total Value of Share Trading
($ Million)
($ Million)
Indonesia
390,106.89
109,420.83
28.05%
Malaysia
395,623.82
135,527.06
34.26%
Philippines
165,066.42
27,762.26
16.82%
Singapore
598,272.70
285,118.24
47.66%
Thailand
268,488.82
222,605.22
82.91%
Turnover velocity (domestic)
Sumber: World Federation of Exchanges 2011, diolah
Dilihat dari aspek pertumbuhan kapitalisasi pasar domestik selama periode 20072012, terlihat bahwa pasar modal negara-negara ASEAN-5 mengalami pertumbuhan yang searah (Lihat Grafik XX). Pada tahun 2008 ketika terjadi krisis keuangan global, semua negara mengalami pertumbuhan negative pada kapitalisasi pasarnya. Indonesia merupakan negara yang mengalami dampak yang paling signifikan dalam hal ini. Pada tahun 2009 dan 2010, pasar modal ASEAN-5 kembali tumbuh dengan pesat. Tahun 2011, mungkin sebagai dampak pelambatan ekonomi di negara-negara Eropa, pasar modal ASEAN-5 bereaksi beragam atas kondisi ini. Pasar modal Singapore dan Thailand mengalami pertumbuhan negative, Thailand dan Philippines mengalami stagnasi, sementara Indonesia justru mengalami pertumbuhan positive walau cukup tipis.
44
Gambar 5-2 Pertumbuhan domestic market capitalization (USD billion)
700 600 500 400 300 200 100 0 2007
Philippine
2008
Thailand
2009
Indonesia
2010
Malaysia
2011
Singapore
Sumber: World Federation of Exchanges, diolah
Jika dilihat dari perkembangan jumlah perusahaan yang tercatat di bursa saham ASEAN-5 maka akan diperoleh informasi sebagai berikut: 1. Ada tiga negara yang memiliki perusahaan asing yang listed di bursa sahamnya, yaitu: Singapore, Malaysia dan Philippine. Ini bisa jadi ukuran keterbukaan pasar sahamnya. Singapore menjadi pasar saham yang paling terbuka jika dilihat dari komposisi perusahaan asing yang listed di bursa sahamnya. Bahkan jumlahnya relatif besar, hamper sama dengan jumlah perusahaan domestiknya. Sementara Malaysia dan Phillipine masih relatif sedikit. Malaysia menunjukkan perkembangan yang semakin terbuka, walau skalanya masih sangat kecil. 2. Indonesia dan Thailand sama-sama tidak memiliki perusahaan asing yang listed di bursa sahamnya. Namun keduanya memiliki trend pertumbuhan jumlah perusahaan yang tercatat di bursa saham secara konsisten sepanjang tahun dan signifikan. 3. Singapore mewakili pasar saham yang sudah relative matang dan terbuka. Selain dari komposisi perusahaan asing yang tercatat di bursa yang cukup besar, terlihat juga dari fluktuasi jumlah perusahaan yang tercatat di bursa, baik perusahaan domestik maupun asing.
45
4. Malaysia, walaupun semakin terbuka yaitu dengan adanya pertumbuhan jumlah perusahaan asing yang tercatat di bursanya, tetapi jumlah perusahaan domestic yang listed justru mengalami penurunan sepanjang lima tahun terakhir (2007-2011). Tabel 5-3 Perkembangan Jumlah Perusahaan yang Tercatat (Listed) di Bursa 2007
2008
2009
2010
2011
383
396
398
420
440
0
0
0
0
0
983
972
952
948
932
3
4
7
8
8
242
244
246
251
251
2
2
2
2
2
Domestic
472
455
459
461
462
Foreign
290
312
314
317
311
Domestic
523
525
535
541
545
0
0
0
0
0
Domestic Indonesia Foreign Domestic Malaysia Foreign Domestic Philippine Foreign Singapore
Thailand Foreign
Sumber: World Federation of Exchanges, diolah
Beberapa data tersebut hanya memberikan gambaran pemetaan awal kondisi pasar modal Indonesia dalam kedudukannya diantara pasar modal negara-negara ASEAN-5. Bagian berikutnya akan coba membahas lebih lanjut indikator keterbukaan pasar modalnya, sebagai landasan analisis kesiapan Indonesia apakah akan segera bergabung dalam integrasi pasar modal ASEAN yang akan dimulai (linkage) pada tahun 2013 atau akan menundanya.
5.2 Indikator Keterbukaan dan Integrasi Pasar Modal ASEAN-5 Selain jumlah perusahaan asing yang tercatat di bursa sahamnya sebagaimana telah disajikan dalam Tabel XX di atas, ada beberapa data lain yang secara sederhana dapat digunakan sebagai indikator keterbukaan dan integrasi pasar modal ASEAN-5 sebagaimana yang digunakan oleh Singh (2009) dalam Tabel XX. Dari indikator-indikator tersebut terlihat pemegang portofolio lintas negara masih relative rendah. Singapore misalnya sebagai contoh negara yang relatif tinggi tingkat
46
keterbukaannya, dengan 267 perusahaan asing yang tercatat di bursanya dan hanya 19% rasio total ekuitas yang dipegang di Negara ASEAN dibanding dengan total ekuitas yang dikuasai asing, namun tidak ada satu pun perusahaan Singapore yang tercatat di bursa luar negeri. Hal yang sangat berbeda dengan Indonesia yang 73% dari kapitalisasi pasarnya dikuasai asing, tidak ada satu pun perusahaan asing yang tercatat di bursa saham Indonesia. Namun demikian tercatat ada lima perusahaan yang tercatat di bursa luar negeri pada tahun 2005. Tabel 5-4 Indikator openness and integration in ASEAN (2005/6) Indicator
Indonesia Malaysia Philippines Singapore Thailand
Non-resident holdings of equity as % of market capitalization
73
17
61
44
34
Number of domestic companies listed abroad
5
26
0
0
2
Number of foreign listing
0
4
2
267
0
Equity holdings in ASEAN as % of total equity assets held abroad
65
43
3
19
24
Equity holdings of ASEAN investors as % of total non-resident bookings
24
19
6
1.5
13
Sumber: Singh (2009)
Tabel ini sebetulnya kembali mengkonfirmasi bahwa tidak hanya masalah perbedaan tingkat keterbukaan dan integrasi tetapi juga masalah disparitas tahapan pertumbuhan pasar saham di negara-negara ASEAN-5 inilah yang harus menjadi pertimbangan dalam proses integrasi pasar saham dan liberalisasi sector pasar modal di ASEAN. Grafik XX berikut memberikan gambaran upaya-upaya integrasi ASEAN. Integrasi ASEAN, seperti tertuang dalam ACMF Implementation Plan 2015, adalah lebih memfasilitasi arus lintas batas, membuka pasar untuk pemain dari negara-negara ASEAN lainnya, dan memperluas jangkauan ke basis investor yang lebih luas. Tidak seperti Uni Eropa, di mana pendekatan mereka untuk integrasi difokuskan pada harmonisasi penuh hukum nasional, peraturan dan operasi dalam rangka memfasilitasi akses lintas batas - pendekatan ASEAN adalah melalui proses menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk akses lintas batas.
47
Gambar 5-3 ASEAN Integration Efforts
Regulator pasar modal di ASEAN telah mencoba untuk mencapai tujuan ini dengan berfokus pada kesepahaman dan harmonisasi sebagai mekanisme untuk mendorong integrasi regional. Kesepahaman adalah pragmatis karena adanya pengakuan dan akomodasi perbedaan dalam kerangka peraturan dari masing-masing negara, dan memungkinkan akses ke yurisdiksi lain tanpa harus melakukan penyeragaman dalam peraturan di seluruh negara ASEAN. Hal ini akan mengurangi beban regulasi dan membuat partisipasi lintas batas lebih efisien. Mengingat bahwa pasar modal ASEAN berada pada tahap perkembangan yang berbeda, yang mengakibatkan perbedaan besar dalam praktek pasar, pengembangan kelembagaan dan peraturan standar, hukum dan proses, maka sebuah pendekatan khusus perlu dilakukan dalam proses integrasi ini. Hal ini berarti bahwa negara-negara ASEAN yang siap akan memulai pada tahap pertama melalui pengaturan bilateral didasarkan pada serangkaian pedoman atau kerangka kerja, sedangkan negara lain akan melakukan pendekatan yang lebih bertahap untuk mengejar inisiatif integrasi ini sampai tingkat kesiapan yang dibutuhkan oleh masing-masing negara yang bersangkutan. 48
5.3 Daya saing Pasar Modal Indonesia Meskipun terjadi krisis ekonomi global pada akhir tahun 2008 dan awal 2009, selama tahun 2010, kondisi ketahanan sektor keuangan Indonesia relatif tetap terjaga. Dari sisi pasar modal, terjaganya stabilitas ekonomi dan meningkatnya kinerja pasar modal regional ikut mendorong kinerja pasar modal dalam negeri. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (yang dihitung dengan indeks dasar 2005 = 100)meningkat dari 185,05 pada akhir tahun 2009 menjadi 344,72 pada akhir tahun 2010. Penguatan tersebut juga tidak terlepas dari perkembangan kondisi fundamental makroekonomi yang positif. Kondisi fundamental makroekonomi yang kuat tercermin antara lain dari stabilitas nilai tukar yang terjaga, prospek pertumbuhan ekonomi yang positif dan perbaikan peringkat menuju tingkat investasi (investment grade).
Gambar 5-4. Perkembangan Indeks Bursa Negara-Negara ASEAN (Indeks Dasar 2005=100) 1,000.000 900.000 800.000 700.000
INDONESIA
600.000
MALAYSIA
500.000
SINGAPURA
400.000
THAILAND
300.000 200.000
PHILIPPINES VIETNAM
100.000 0.000
Dari sisi jumlah perusahaan yang listing, pada tahun 2010 jumlah perusahaan yang listing di Pasar Modal Indonesia mencapai 420 perusahaan. Dibandingkan dengan negaranegara lainnya di kawasan ASEAN, jumlah perusahaan yang listing di Indonesia menduduki urutan keempat setelah Malaysia (957 perusahaan), Thailand (541 perusahaan) dan Singapura (461 perusahaan).
49
Gambar 5-5. Jumlah Perusahaan yang Listing di Pasar Modal Tahun 2010 VIETNAM PHILIPPINES THAILAND SINGAPURA MALAYSIA INDONESIA 0
200
400
600
800
1,000
1,200
Meskipun dari sisi jumlah perusahaan yang listing di Pasar Modal, Indonesia hanya menduduki peringkat keempat, indeks bursa Indonesia cukup bagus. Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Philipina yang mencapai 403,28. Sementara itu indek bursa Malaysia pada tahun 2010 mencapai 167,53, Singapura 133,91, Thailand 148,51 dan Vietnam 163,52. Daya saing indeks bursa ini sejalan dengan daya saing Indonesia dalam Global Competitiveness Index (CGI). Menurut CGI, pada 2010-2011daya saing Indonesia mengalami kenaikan tertinggi sebanyak 10 peringkat di antara negara-negara kelompok G20. Posisi ini menghantarkan Indonesia pada posisi 44 dari 139 negara. Kenaikan peringkat daya saing Indonesia paling tinggi di antara negara G20, mengalahkan Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan. Meskipun indeks bursa Indonesia menduduki peringkat kedua di antara Negaranegara di kawasan ASEAN, kapitalisasi pasar modal Indonesia berada Malaysia (USD 410.534,13 juta) dan Singapura (USD 370.090,94). Sedangkan kapitalisasi Negara-negara kawasan ASEAN lainnya jauh di bawah Indonesia (lihat gambar 5-6).
50
Gambar 5-6 Kapitalisasi Pasar (dalam juta USD) 450,000.000 400,000.000 350,000.000 INDONESIA
300,000.000
MALAYSIA
250,000.000
SINGAPURA 200,000.000
THAILAND
150,000.000
PHILIPPINES
100,000.000
VIETNAM
50,000.000 2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
0.000
Rendahnya kapitalisasi pasar modal Indonesia berkaitan erat dengan rasio stock yang diperdagangkan terhadap Gross Domestic Produk-GDP). Rasio Stock Traded Terhadap GDP di Indonesia pada tahun 2010 hanya mencapai 18,34 perswen, sementara itu Malaysia telah mencapai 37,93 persen dan Singapura 126,69 persen. Meskipun rasio Stock Traded terhadap GDP relatif kecil, Indonesia mampu mengalahkan Thailand dan Vietnam yang memiliki rasio lebih tinggi. Hal ini terlihat dari indeks bursa dan market capitalization maupun aliran modal asing yang masuk ke bursa yang akan dibahas lebih lanjut.
51
Tabel 5-5 : Rasio Stock Traded Terhadap GDP (dalam prosen)
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
INDONESIA MALAYSIA SINGAPURA THAILAND PHILIPPINES VIETNAM 7.126 86.480 71.729 33.925 19.869 14.136 172.102 46.178 24.383 30.803 19.897 153.034 66.711 16.042 24.761 11.117 41.412 61.572 19.326 14.015 14.217 61.293 118.611 33.927 23.899 8.672 62.373 98.671 18.951 10.115 6.025 22.387 74.000 30.904 4.128 6.666 27.391 63.544 37.526 3.814 6.293 45.494 94.268 67.704 3.140 0.041 10.731 47.998 74.148 67.628 4.010 0.138 14.657 36.254 95.537 50.632 6.744 0.166 13.394 42.744 126.868 48.673 9.200 1.756 26.117 80.369 216.675 43.814 19.584 17.695 21.692 38.414 143.045 42.839 9.915 4.647 21.379 37.790 137.600 51.169 10.215 6.846 18.335 37.930 126.692 68.355 13.415 28.384
Dari berbagai data di atas, nampak bahwa daya saing Pasar Modal Indonesia masih kalah dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN. Meskipun indeks bursa dan kapitalisasi pasar bursa Indonesia cukup bagus diantara negara-negara ASEAN, akan tetapi nilai perdagangan masih jauh di bawah negara-negara ASEAN. Rendahnya daya saing Pasar Modal Indonesia terefleksi pula pada aliran modal asing yang masuk ke bursa Pasar Modal. Pada tahun 1995 aliran modal asing yang masuk ke bursa di Indonesia mencapai 5,2 persen terhadap GPD dan tahun 2010 turun drastis menjadi 2,13 persen. Aliran modal asing yang masuk ke Indonesia jauh di bawah Philipina (3,37 persen), Malaysia 3,27 persen) dan Vietnam (2,39 persen).
52
Tabel 2: Financing via International Capital Markets (Persented Gross Inflows of GDP) 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
INDONESIA MALAYSIA 5.200 4.646 5.927 3.703 8.131 5.942 0.103 3.070 0.851 5.566 0.283 5.301 0.306 5.902 0.576 9.282 1.996 5.425 1.856 8.215 2.284 4.661 2.374 5.886 2.145 7.770 3.096 2.222 2.353 5.780 2.128 3.271
SINGAPURA THAILAND PHILIPPINES VIETNAM na 4.377 4.816 0.000 na 4.639 4.199 0.000 na 4.677 4.690 2.065 na 3.015 5.262 0.856 na 1.872 7.704 4.776 na 1.707 8.132 1.991 na 0.350 3.591 1.347 na 0.877 7.544 2.392 na 2.222 7.718 na 1.852 6.874 na 2.686 7.520 na 2.551 8.327 na 0.834 6.078 na 0.511 1.592 na 0.257 4.334 na 1.129 3.369
53
REFERENSI
Bapepam-LK.2010. Buku Perasuransian 2009. Djali Gafur.2011. Jebakan Liberalisasi di Indonesia. Kolom Opini Kompasiana harian Kompas. (http://politik.kompasiana.com/2011/05/15/jebakan-liberalisasi-di-indonesia/) http://www.jiwasraya.co.id/detailberita.php?id=253&lang=id http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_type=0&article_category=20 http://www.jiwasraya.co.id/detailberita.php?id=253&lang=id http://news.okezone.com/read/2012/05/18/58/631253/kelas-menengah-dan-semangatberbagi Isa Rachmatarwata (2010),
Data Collection and Monitoring of Insurance Industry,
Indonesian Case. Presentasi Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK pada OECD Asia Regional Seminar ”Enhancing Transparency and Monitoring Insurance Market” di Kualalumpur, 23-24 September 2010 Laporan Delri pada pertemuan Committee on Trade in Financial Services, Jenewa, 21-22 Mei 2011 Warouw, Adolf. 2010. Perdagangan Jasa Dalam Kerangka WTO Dan GATS. Presentasi pada Pelatihan tentang WTO, GATS dan Domestic Regulation, Batam, 5 Agustus 2010.
54
LAMPIRAN Lampiran A Pemetaan Sektor Asuransi Paket Kelima Liberalisasi Jasa Keuangan ASEAN Lampiran B Pemetaan Sektor Pasar Modal Paket Kelima Liberalisasi Jasa Keuangan ASEAN (in progress) Lampiran C Penilaian Derajat Keterbukaan Menurut Claessens (1998)
55
Endnotes 1
Laporan Delri pada pertemuan Committee on Trade in Financial Services, Jenewa, 21-22 Mei 2011 ibid 3 ibid 4 http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_type=0&article_category=20 5 http://www.jiwasraya.co.id/detailberita.php?id=253&lang=id 6 http://news.okezone.com/read/2012/05/18/58/631253/kelas-menengah-dan-semangat-berbagi 2
56