BAHARI Jogja Vol.X No.17/2010
Juli 2010
PENTINGNYA PEMASARAN JASA ANGKUTAN LAUT DI INDONESIA Oleh : Cahya Purnomo Dosen Akademi Maritim Yogyakarta ABSTRAK Angkutan laut di Indonesia merupakan industri jasa yang mempunyai karakteristik pasar monopolistik, artinya pengguna jasa yang terdiri dari shipper, consignee, forwarding, dan eksportir-importir tidak bisa memilih pada jasa angkutan lain. Kondisi pasar monopolistik berakibat pada penyediaan jasa angkutan laut lebih bersifat product-oriented, pelanggan sangat tergantung pada jasa yang ditawarkan oleh perusahaan pelayaran. Fungsi pemasaran yang dijalankan oleh perusahaan pelayaran sebagai penyedia jasa angkutan laut hanya sebatas bagaimana menjual jasa angkutan laut yang ditawarkan, sehingga fungsi pemasaran tidak optimal. Karakteristik pasar demikian berimplikasi pada kepuasan pelanggan tidak terpenuhi sebagaimana yang diharapkan, mengingat tidak bisa memiligh produk lain. Fungsi pemasaran optimal mendasarkan pada bauran pemasaran yang terdiri dari product, price, place, promotion, people, process, serta customer service. Layanan pelanggan sebaiknya terukur dengan standar keandalan, daya tanggap, kepastian, empati, dan berwujud. Kata Kunci : pemasaran jasa, angkutan laut.
I.PENDAHULUAN Sebagai negara maritim, angkutan laut di Indonesia mempunyai peran strategis dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui distribusi barang antar pulau. Demikian juga untuk lingkup dunia, sarana ini merupakan transportasi utama, mengingat lautan di dunia lebih luas daripada daratan. Angkutan laut (shipping), sebagai industri jasa yang mempunyaui karakteristik pasar monopolistik tetap memerlukan peran fungsi pemasaran yang kontinyu untuk menjalin kemitraan yang baik dengan pelanggannya. Angkutan laut juga memerlukan strategi pemasaran yang tepat, artinya selama ini industri jasa yang sarana utamanya berupa kapal belum mengoptimalkan fungsi pemasaran dengan baik. Dalam banyak hal, angkutan laut di Indonesia praktis belum dapat memuaskan pelanggannya. Pelanggan angkutan laut (shipper, consignee, eksportir-importir, forwarding) selama ini tidak bisa memilih alternatif lain, mengingat sifat pasar yang monopolistik tersebut. Sifat pasar yang demikian lebih cenderung product oriented dari pada market oriented, pada hal fungsi pasar yang optimal menempatkan orientasi keduanya pada posisi yang sejajar. II. PERMASALAHAN Kondisi transportasi laut nasional saat ini masih dalam kondisi memprihatinkan. Banyak aspek yang dapat dijadikan potret kondisi tersebut. Mulai dari kelaik-lautan kapal nasional yang rata-rata berumur lebih dari 10 tahun, panjangnya birokrasi di pelabuhan-banyak dokumen, kinerja pelayanan pelabuhan yang belum baik, yang kesemuanya bermuara pada high cost economy angkutan laut nasional. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 menunjukkan bahwa angkutan laut nasional belum mampu bersaing dengan angkutan laut asing. Angkutan laut adalah industri jasa yang melibatkan banyak stakeholder, yang bentuk pasarnya lebih bersifat monopolistik mengingat hampir tidak ada pesaingnya. Angkutan laut yang berfungsi sebagai mata-rantai distribusi barang antar pulau dan atau antar negara masih tetap dianggap sebagai sarana termurah dibanding sarana lainnya, misalnya angkutan udara. Sifat pasar yang monopolistik itu yang menyebabkan perusahan angkutan laut bersifat product oriented dari pada market oriented. Pengguna jasa ini lebih “tergantung” pada produk mengingat tidak ada pilihan lain, sehingga keinginan dan kebutuhan pelanggan parktis dinomor-duakan. Pada hal kesuksesan perusahaan dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh pelanggan yang mempunyai harapan dipenuhi / dipuaskan. Salah satu faktor yang menjadi kunci sukses perusahaan jasa adalah melakukan kontrak layanan untuk mengikat konsumen (Lupiyoadi dan Hamdani, 2008). III. ANGKUTAN LAUT SEBAGAI INDUSTRI JASA Sebelum memberikan terminologi transportasi laut sebagai industri jasa ada baiknya melihat terminologi jasa lebih dahulu. Jasa adalah semua tindakan atau kegiatan yang dapat tawarkan oleh satu pihak kepada pihak lainnya yang tidak berwujud dan tidak menyebabkan kepemilikan apapun
BAHARI Jogja Vol.X No.17/2010
Juli 2010
(http://www.damandiri.or.id/file/endangsulistiariniunairbab2.pdf). Selanjutnya, beberapa hal berikut merupakan karakteristik dari jasa, yaitu intangible atau tidak terlihat. Tidak terpisahkan, antara jasa yang disediakan dengan penyedia jasa. Kemudian bervariasi, dalam hal ini adalah standar nilai dari suatu jasa terhadap pelanggan adalah berbeda-beda. Terakhir adalah mudah lenyap, karena jasa hanya ada ketika proses transaksi antara penyedia jasa dan pelanggan berlangsung, setelah itu jasa akan hilang. Berbeda halnya dengan produk yang dapat dimiliki setelah transaksi terjadi. Terminologi ini menguatkan terminologi Kotler (2002), bahwa jasa mempunyai karakteristik tak berujud, tidak dapat dipisahkan, bervariasi dan tidak dapat disimpan. Produk jasa bisa berkaitan dengan produk fisik atau sebaliknya. Perusahaan yang memberikan operasi jasa adalah perusahaan yang memberikan konsumen produk jasa baik yang berujud maupun tidak, seperti transportasi, hiburan, restoran dan pendidikan. Produk jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk barang (fisik), yaitu : intangibility, unstorability dan customization (Griffin, 1996 dalam Lupiyoadi dan Hamdani, 2008). Artinya bahwa jasa tidak dapat dilihat, diraba, didengar, dicium sebelum dibeli. Jasa tidak mengenal persediaan atau penyimpanan dan jasa sering didisain khusus untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Hal ini memberi penegasan perbedaan dengan produk fisik yang mempunyai sifat sebaliknya, yaitu dapat dilihat, bisa disimpan dan bisa dipisahkan. Sementara Zithaml dan Bitner (1996) mendifinisikan jasa dengan merangkum dari beberapa definisi, yaitu : Mencakup semua aktivitas ekonomi yang outputnya bukan produk atau konstruksi fisik, yang secara umum konsumsi dan produksinya dilakukan pada waktu yang sama, dan nilai tambah yang diberikannya dalam bentuk kenyamanan, liburan, kecepatan, dan kesehatan yang secara prinsip intangible. Angkutan laut sebagai salah satu industri jasa (produk jasa) dalam lingkup bisnis jasa (Lupiyoadi dan Hamdani, 2008), dapat diberi terminologi bahwa, angkutan di perairan adalah kegiatan mengangkut dan / atau memindahkan penumpang dan / atau barang dengan menggunakan kapal (UU No. 17 tahun 2008, pasal 1). Terminologi ini tidak secara tegas menyebut angkutan laut, namun angkutan di perairan sehingga mempunyai lingkup yang lebih luas. Kegiatan ini dilaksanakan melalui trayek, yaitu route atau lintasan pelayaran dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Beberapa poin yang penting adalah route, kepelabuhan dan kapal sebagai sarana utamanya. Masing-masing poin tersebut mempunyai aspek banyak dan saling terkait. Karena merupakan suatu sistem, maka dalam terminologi tersebut menyebut sebagai pelayaran, yang terdiri dari angkutan di perairan,kepelabuhan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. Lebih tegas dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan mendifinisikan angkutan laut sebagai kegiatan angkutan yang menurut kegiatnnya melayani kegiatan angkutan laut. Lebih jauh angkutan laut dibagi menjadi angkutan laut dalam negeri, yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia dan diselenggarkan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Kemudian angkutan laut luar negeri, yang dilakukan di pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri . Salim (2008) memberikan pengertian bahwa fungsi angkutan laut ialah pengoperasian pelayaran dalam dan luar negeri dengan menaikkan kualitas pelayanan jasa-jasa angkutan. Dalam pengertian ini selain mencakup menaikkan kualitas pelayanan juga menaikkan produktifitas, penyediaan fasilitas pelabuhan dengan sasaran utama pemerataan ekonomi nasional dalam pembangunan. Dengan merujuk pendapat Griffin (1996) di atas, maka angkutan laut merupakan produk jasa yang hanya berkaitan dengan produk non fisik saja. Jasa utama yang diselenggarakan oleh angkutan laut adalah distribusi barang, baik antar pulau maupun antar negara. Sebagai industri, angkutan laut tentu membawa manfaat peningkatan kesejahteraan masyarakat karena ketersediaan barang kebutuhan masyarakat menjadi lebih baik. Walaupun hasil produk di suatu daerah melimpah tanpa didistribusikan ke daerah lain yang lebih membutuhkan berarti tidak membawa manfaat kesejahteraan masyarakat. IV. DINAMIKA BISNIS JASA ANGKUTAN LAUT DI INDONESIA Sebelum melihat dinamika jasa angkutan laut, ada baiknya melihat dinamika bisnis jasa di dunia. Perkembangan bisnis jasa disebabkan oleh naiknya kesejahteraan masyarakat, meningkatnya golongan menengah ke atas dan kepuasan konsumen. Sebagai gambaran, di Amerika Serikat pendapatan dari jasa pribadi pada tahun 1985 lebih dari US $ 1,8 trilyun dan pengeluarannya untuk jasa mencapai 58 % dari total konsumsinya. Selanjutnya dari 87 juta penduduknya menghabiskan US $ 21.000 di sektor jasa, di mana penduduk dengan tingkat
BAHARI Jogja Vol.X No.17/2010
Juli 2010
pendapatan di atas US $ 50.000 mengkonsumsi jasa sebanyak US $ 43.600 (Lupiyoadi dan Hamdani, 2008). Golongan menegah atas menjadi kontributor terbesar konsumsi jasa. Semakin sibuk mereka akan semakin tinggi konsumsi jasanya, karena mereka menuntut untuk mendapatkan pelayanan jasa yang lebih baik lagi untuk memaksimalkan waktu yang terbatas. Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dunia tersebut maka kebutuhan produk jasa juga naik untuk meniningkatkan kenyamanan dan kepuasan hidup, hal inilah yang disebut great leap forward atau kemajuan luar biasa dalam dunia jasa. Menurut Bateson (1989), penduduk Amerika serikat yang bekerja di sektor jasa mengalami kenaikan signifikan dari 30 % tahun 1900 menjadi 74 % di tahun 1984. Lebih lanjut bahwa 58 % dari total Gross National Product dunia berasal dari sektor jasa. Penelitian lain oleh Carlzon (Brown, 1991) mengungkapkan bahwa di banyak negara hampir 70 % dari angkatan kerjanya menekuni sektor jasa. Di Indonesia industri jasa merupakan industri tersier juga terus mengalami perkembangan walaupun tidak signifikan, pada kurun waktu 1983-1994 dari 40 % menjadi 42,1 %. Demikian juga kontribusi sektor jasa terhadap Gross Domestic Product, pada kurun waktu yang sama dari 32 % naik menjadi 35 % (BPS, dalam Lupiyoadi dan Hamdani, 2008). Sementara itu untuk bisnis angkutan laut di Indonesia berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 menunjukkan bahwa angkutan laut nasional belum mampu bersaing dengan angkutan laut asing, hal itu dapat diperhatikan dalam diagram berikut :
Sumber : Studi Standardisasi di Bidang Lalu-Lintas dan Angkutan Laut, 2010
Mengacu pada diagram di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja angkutan laut nasional masih memprihatinkan sehingga memerlukan pengelolaan yang lebih profesional. Masalah ini tidak hanya merupakan beban-tanggungjawab otoritas perhubungan, dalam hal ini Direktorat Jendral Perhubungan Laut saja namun juga bagi pelaku (perusahaan pelayaran) dan lembaga terkait lainnya. Pertumbuhan angkutan laut nasional kini positif, mencapai 8.800 unit kapal di mana sebelumnya hanya 6.800 unit kapal. Hal ini akan terus dapat bertahan bahkan bisa lebih jika sektor riil terus bergerak serta kondisi nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dan harga minyak dunia pada tahun 2010 juga stabil (Ekonomi & Bisnis, Senin, 16 November 2009). Angkutan laut memegang peranan penting dalam kegiatan distribusi barang, komoditas yang diangkut tergolong besar, sekitar 90 % perdagangan luar negeri Indonesia diangkut melalui laut (Ray, 2008). Di sisi lain peran pemerintah dalam menggalakkan angkutan laut dengan diterapkannya azas cabotage, di mana pemerintah mewajibkan angkutan antara pelabuhan di dalam negeri wajib diangkut dengan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh orang Indonesia pula. Hal ini merupakan kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan industri maritim (Mingguan Maritim, 2010). V. STRATEGI PEMASARAN JASA ANGKUTAN LAUT Karakteristik jasa yang keberadaannya tidak tampak, produksi dan konsumsi bersamaan waktu, serta kurang memiliki standarisasi, menyiratkan tidak sepenuhnya pemasaran barang mampu diimplementasikan dalam jasa. Dalam jasa ngkutan laut sebetulnya dasar product oriented sama pentingnya
BAHARI Jogja Vol.X No.17/2010
Juli 2010
dengan market oriented. Artinya kualitas produk sama pentingnya dengan keinginan konsumen untuk dipuaskan. Sebagaimana di sebutkan di atas, bahwa angkutan laut di Indonesia praktis belum mampu memuaskan keinginan pelanggannya mengindikasikan dari sisi produk masih belum berkualitas sekaligus dari sisi pasar belum memenuhi harapan pelanggannya. Dominasi angkutan laut asing yang beroperasi di Indonesia kiranya cukup sebagai bukti rendahnya kualitas produk yang diinginkan pelanggan. Pelanggan angkutan laut adalah eksportir-importir, shipper, consignee serta forwarding. Eksportir-importir, shipper, consignee yang menggunakan jasa forwarding dalam meggunakan angkutan laut salah satu bukti juga dari rumitnya pengurusan angkutan laut. Artinya dari kemudahan pemakaian produk belum memenuhi harapan pelanggannya. A. BAURAN PEMASARAN JASA ANGKUTAN LAUT Bauran pemasaran merupakan fungsi utama dalam pemasaran produk. Pemasaran untuk produk barang fisik selama ini dikenal dengan 4 P : product, price, place, promotion (Kotler, 1995). Namun untuk produk jasa perlu menambahkan people, process, customer service (Lupiyoadi dan Hamdani, 2008).
1. Strategi Produk Produk merupakan keseluruhan konsep obyek atau proses yang memberikan sejumlah nilai bagi konsumen, jasa apa yang ditawarkan. Dalam hal ini jasa yang ditawarkan berupa pengangkutan barang dan penumpang dengan sarana transportasi kapal melalui route laut. Sebagai produk inti dalam angkutan laut adalah perpindahan barang dan penumpang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Sedangkan produk yang diharapkan berupa keamanan, ketepatan waktu, kemudahan prosedur serta harga yang wajar. Adapun merk dan diferensiasi produk untuk angkutan laut tidak / kurang penting mengingat tidak ada pesaingnya dari jasa angkutan lain yang dapat mengangkut dengan volume yang lebih banyak dan lebih murah. Sedangkan pengembangan citra produk akan terpenuhi kalau produk yang diharapkan dapat terpenuhi. Citra angkutan positif kalau barang dan penumpang dapat diangkut dengan aman (utuh, tidak rusak/ hilang), waktunya tepat, dokumen pengapalannya mudah diurus sekaligus biayanya wajar. Citra akan negatif jika berlaku sebaliknya. Bukti fisik jasa atau servicescapes (Yazid, 1999) atau physical evidence merupakan lingkungan tempat fisik jasa diciptakan dan langsung berinteraksi dengan konsumen. Dalam angkutan laut bukti fisik penting (essential evidence) berupa : kapal termasuk tata letak palka yang menjamin keamanan muatan, ruang penumpang yang aman-nyaman, alat bongkar muat yang baik, penangnan muatan profesional. Sedangkan bukti fisik pendukung berupa : gudang pelabuhan, dermaga tempat berlabuh, kapal pandu, kapal tunda dan dokumen muatan. Bukti fisik pendukung merupakan nilai tambah yang bila berdiri sendiri tidak berarti, sekalipun demikian peranannya sangat penting dalam proses angkutan laut. 2. Strategi Harga Strategi penentuan harga (pricing) sangat signifikan dalam pemberian nilai kepada konsumen dan mempengaruhi citra produk serta keputusan untuk membelinya (Holloway and Robinson, 1995). Penentuan harga / tarip angkutan laut di Indonesia sebetulnya telah diatur oleh INSA (Indonesia National Shipowner´s Association). Dalam rangka merebut konsumen, perusahaan-perusahaan pelayaran yang tergabung dalam asosiasi itu ternyata memasang tarip masing-masing. Dasar penting dalam penentuan tarip angkutan laut dapat mengacu pada pendapat Kotler (1995), yaitu berdasar tujuan dari penentuan tarip tersebut, yaitu : bertahan, memaksimalkan laba, memaksimalkan penjualan, prestis dan pengembalian investasi. Dari kelima dasar itu hanya tujuan prestislah yang bisa ditepiskan dalam tujuan penentuan tarip angkutan laut. Tidak ada angkutan laut di Indonesia yang menentukan taripnya untuk tujuan prestis. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan tarip angkutan laut adalah : posisi produk, segmen pelanggan, struktur biaya. Umumnya tarip angkutan laut di Indonesia tidak terpaut jauh antara perusahaan pelayaran satu dengan lainnya, mengingat posisi produk, segmen pelanggan, struktur biaya mereka sama. Posisi produk yang ditawarkan sama, yaitu angkutan laut. Segmen pelanggannya juga sama, eksportir-importir, shipper, consignee, forwarding. Kemudian struktur biayanya juga sama, yaitu : labuh, tambat, pandu, tunda, bahan bakar, awak kapal dan prosentase keuntungan untuk pemilik kapal. Sedangkan biaya bongkar-muat, terminal handling cost bisa dimasukkan bisa juga tidak, tergantung kontrak pemuatan.
BAHARI Jogja Vol.X No.17/2010
Juli 2010
Sedangkan metode penentuan tarip untuk perusahaan pelayaran umumnya menggunakan cost plus pricing, artinya semua elemen biaya dalam pengapalan dijumlahkan kemudian ditambahkan tingkat keuntungan yang diinginkan. Tingkat keuntungan yang dinginkan masing-masing perusahaan pelayaran inilah yang berbeda, yang menyebabkan tarip di antara menreka sedikit berbeda.
3. Strategi Tempat Tempat dalam penyampaian jasa merupakan gabungan antara lokasi jasa bisa disampaikan dan saluran distribusi, dalam hal ini bagaimana cara menyampaikan kepada konsumen dan di mana lokasi yang strategis. Lokasi berarti berhubungan dengan di mana perusahaan pelayaran beroperasi, yang umunya beroperasi di lingkungan atau dekat dengan pelabuhan. Menurut Lupiyoadi dan Hamdani (2008), ada tiga jenis interaksi yang mempengaruhi lokasi penyampaian jasa, yaitu : konsumen mendatangi penyedia jasa, penyedia jasa mendatangi konsumen serta konsumen dengan penyedia jasa tidak langsung bertemu. Mengingat karakteristik angkutan laut, maka lokasi penyampaian jasa termasuk jenis konsumen yang mendatangi penyedia jasa. Perusahan pelayaran harus dekat dengan pelabuhan dan konsumenlah yang harus datang ke pelabuhan. Lokasi ini tidak bisa dibalik, penyedia jasa mendatangi konsumen. Ciri khas lokasi penyedia jasa angkutan laut juga disebabkan sifat pasar yang monopolistik. Sedangkan saluran distribusi perusahaan pelayaran dapat menempuh saluran langsung, bila suatu perusahaan pelayaran di pelabuhan tertentu melayani langsung pelanggan di pelabuhan tersebut. Saluran distribusi langsung ini wujudnya adalah perusahaan pelayaran induk atau perusahaan pelayaran cabang. Kemudian bisa juga menempuh saluran tidak langsung dengan cara membuka agen di pelabuhan tertentu. Pembukaan agen didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya kontinyuitas muatan, ketersdiaan personil, ketersediaan kantor dan kepemilikan kapal. 4. Strategi Promosi Jasa angkutan laut walaupun pasarnya bersifat monopolistik, fungsi promosi tetap diperlukan. Dalam promosi yang perlu diperhatikan adalah segmen pasarnya, yaitu : shipper, consignee, eksportir-importir, forwarding. Kemudian tujuan promosi adalah menginformasikan atau mengingatkan kepada pelanggan, bahwa suatu kapal tiba dan berangkat pada hari dan tanggal tertentu berupa jadwal. Karena tujuannya mengingatkan, maka bahasa yang digunakan sebaiknya tegas, lugas. Bentuk komunikasi yang tepat adalah komunikasi non personal, artinya informasi jadwal tersebut disampaikan melalui media komunikasi umum dan tertulis. Media komunikasi yang ditempuh umumnya berupa pengumuman yang ditempel di pelabuhan, dikirim ke asosiasi pengguna jasa, misalnya asosiasi eksportir-importir, asosiasi forwarding,asosiasi perusahaan bongkar-muat. Kalaupun dimuat di media komunikasi cetak biasanya pada tabloid dan majalah tertentu yang hanya diketahui oleh kalangan terbatas yang relevan saja. 5. Strategi Personel Personel (people) pada angkutan laut adalah sangat mempengaruhi kualitas jasa yang dihasilkan. Pentingnya personel berhubungan dengan interaksi di antara sumberdaya manusia (SDM) dalam perusahaan yang dapat menghasilkan layanan berkualitas. Hal ini meliputi seleksi karyawan, pelatihan, motivasi dan promosi, termasuk SDM yang mengawaki kapal. Awak kapal yang terlibat langsung dalam pelayanan angkutan laut diperlukan syarat dan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Misalnya awak kapal yang menangani mesin diperlukan kualifikasi Ahli Teknik Tingkat IV (ATT-IV sampai ATT-I), awak kapal yang menangani navigasi diperlukan kualifikasi Ahli Nautik Tingkat IV (ANT-IV sampai ANT-I). Pemegang kualifikasi-kualifikasi tersebut harus disertai dengan berbagai sertipikat keahlian yang secara periodik harus di-up date. Personel dapat dipilah menjadi dua, personel yang berhubungan langsung dengan pelayanan angkutan laut, yaitu awak kapal. Kemudian personel yang berhubungan tidak langsung dengan pelayanan angkutan laut, yaitu karyawan perusahan yang mengurusi administarsi. Kesemuanya bertujuan memberikan kepuasan kepada pelanggan. 6. Strategi Proses Proses merupakan gabungan semua aktivitas, umumnya terdiri dari prosedur, jadwal pekerjaan, mekanisme dan hal-hal lain rutinitas dam menghasilkan jasa (Lupiyoadi dan Hamdani, 2008). Dalam angkutan laut ada proses yang wajib dilaksanakan, misalnya kapal setelah selesai muat tidak boleh berlayar
BAHARI Jogja Vol.X No.17/2010
Juli 2010
meninggalkan pelabuhan jika belum memperoleh Surat Ijin Berlayar (SIB) dari Administrator Pelabuhan. Jika akan memuat harus ada perintah pengapalan atau Shipping Instruction (SI). Demikain juga jika akan memuat / membongkar muatan, harus ada stowage plan yang menjadi pedoman kerja. Bagi pelanggan, proses pelayanan yang dikehendaki adalah yang cepat dan tidak kompleks. Dalam kenyataan, angkutan laut di Indonesia prosesnya tak semudah yang dibayangkan. Itulah mengapa para eksportir-importir menyerahkan pekerjaan ini kepada perusahaan forwarding atau Ekspedi Muatan Kapal Laut (EMKL). Apalagi eksportir-importir baru yang belum berpengalaman. Sekarang urusan kepabeanan telah dapat ditempuh dengan sistim on-line untuk memudahkan dan memperpendek proses. Namun kenyataannya belum semua pengguna jasa angkutan laut sudah siap dengan perangkat lunak itu. 7. Strategi Layanan konsumen Layanan konsumen adalah merupakan hasil dari kegiatan distribusi. Kegiatan ini meliputi pelayanan pratransaksi, saat transaksi, dan pasca transaksi. Pelayanan pratransaksi akan mempengaruhi kegiatan saat transaksi, dan pasca transaksi. Misalnya mudahnya pelanggan memperoleh kepastian jadwal kapal tiba, konsumen dilayani di tempat / kantor yang nyaman akan memberikan respon positif. Kemudian layanan pasca transaksi misalnya mudahnya memperoleh klaim seandainya muatan rusak, hilang, kurang dan terlambat tiba. B.
STANDAR PELAYANAN JASA ANGKUTAN LAUT Standar pelayanan jasa angkutan laut meliputi keandalan, daya tanggap, kepastian, empati, dan berwujud (Zithaml and Bitner, 1996). Keandalan atau reliabilitas merupakan kemampuan untuk melakukan pelayanan yang dijanjikan, unsurnya meliputi : (1) Permintaan layanan direspon dengan cepat dan selesai pada waktu yang dijanjikan, (2) Penyampaian prosedur perolehan layanan yang berlaku secara benar sejak pertama kali, (3) Menyelesaikan aktivitas layanan sesuai dengan waktu yang dijanjikan, (4) Pencatatan data layanan tanpa kesalahan. Kemudian daya tanggap (respon), merupakan kemampuan memberi pelayanan secara cepat, unsurnya meliputi : (1) Informasi tentang proses pelayanan mudah diakses, (2) Layanan dilakukan secara cepat, (3) Kesiapan merespon berbagai permintaan pelanggan. Berikutnya adalah kepastian (Jaminan), unsurnya meliputi : (1) Kesiapan merespon berbagai permintaan pelanggan, (2) Rekruitmen tenaga kerja yang berpengalaman dibuktikan dengan masa tugas, (3) Rekruitmen tenaga kerja yang berpengetahuan luas dan berketerampilan handal dibuktikan dengan tingkat pendidikan dan keahlian bersertipikat, (4) Perusahaan mampu menumbuhkan rasa percaya dari pelanggan dan (5) Perusahaan mampu membuat pelanngan merasa aman dalam berurusan dengan aktivitas angkutan laut. Kemudian empati, adalah perhatian secara individual kepada pelanggan, unsurnya meliputi : (1) Sungguh-sungguh mengutamakan kepentingan pelanggan (2) Mengingat permasalahan dan preferensi pelanggan sebelumnya. Terakhir adalah berwujud atau bukti fisik, berupa penampilan fisik, kantor, sarana dan penampilan karyawan, unsurnya meliputi : (1) Mempunyai kantor yang representati, (2) Mempunyai kapal milik sendiri dan (3) Mempunyai tenaga kerja berlatar belakang relevan dan berpengalaman cukup. VI. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas maka kesimpulannya adalah : 1. Angkutan laut Indonesia merupakan industri jasa yang mempunyai karakteristik pasar monopolistik, pelanggan terdiri dari shipper, consignee, forwarding, dan eksportir-importir tidak bisa memilih pada jasa angkutan lain. 2. Kondisi pasar monopolistik berakibat pada penyediaan jasa angkutan laut lebih bersifat product-oriented, pelanggan sangat tergantung pada jasa yang ditawarkan oleh perusahaan pelayaran. 3. Fungsi pemasaran yang berjalan hanya sebatas bagaimana menjual jasa angkutan laut yang ditawarkan, sehingga fungsi pemasaran tidak optimal. 4. Kepuasan pelanggan tidak terpenuhi sebagaimana yang diharapkan, mengingat tidak bias memiligh produk lain. 5. Fungsi pemasaran yang optimal pada angkutan laut di Indonesia harus mengacu pada bauran pemasaran : produk, harga, tempat, promosi, personal, proses dan layanan pelanggan. 6. Layanan pelanggan sebaiknya terukur dengan standar keandalan, daya tanggap, kepastian, empati, dan berwujud.
BAHARI Jogja Vol.X No.17/2010
Juli 2010
DAFTAR PUSTAKA Buku Bateson, JE., 1989, Managing Service Marketing, Dryden Press, London. Brown, SW., 1991, Service Quality Multidiciplinary and Multinational Perspective, Lenington Books, New York. Holloway, JC and Robinson, C, 1995, Marketing for Tourism, Longman Group Limited. Kotler, P., 1995, Manajemen Pemasaran, Buku Dua, Salemba Empat,
Jakarta.
Kotler, P., 2002, Marketing Management, Prentice Hall Inc, Upper Saddle River, New Jersey. Lupiyoadi, R., Hamdani, A., 2008, Manajemen Pemasaran Jasa, Salemba Empat, Jakarta. Ray, D., 2008, Reformasi Sektor Pelabuhan Indonesia dan Undang-Undang Pelayaran Tahun 2008, SENADAUSAID. Salim, HAA., 2008, Manajemen Transportasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Studi Standardisasi di Bidang Lalu-Lintas dan Angkutan Laut, 2010, Puslitbang Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan RI. Yazid, 1999, Pemasaran Jasa, Konsep dan Implementasi, Penerbit Ekonisia Fak. Ekonomi UII, Yogyakarta. Zithaml, VA., Bitner, MJ.,1996, Services Marketing, Mc. Graw-Hill. Peraturan UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan. Majalah / Koran Ekonomi & Bisnis, Senin, 16 November 2009. Mingguan Maritim, No. 581 Tahun XV, Edisi 29 Desember 2009 - 4 Januari 2010. Internet http://www.damandiri.or.id/file/endangsulistiariniunairbab2.pdf, diakses 1Juli 2010.