Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
LKPP Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Gender dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
i
ii
This document was produced with the support provided by the American people through the Millennium Challenge Corporation. The information, opinions and conclusions here do not represent the standing of the Millennium Challenge Corporation or U.S. Government.
Kata Pengantar Pemerintah Indonesia dan MCC telah menandatangani perjanjian hibah Program Compact sebesar USD 600 juta pada tahun 2011 yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi. Ketiga Proyek Compact diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan rumah tangga di wilayah program melalui peningkatan produktivitas, mengurangi biaya energi, dan meningkatkan layanan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Salah satu prioritas program Compact adalah untuk menjamin dan membuka peluang yang bermanfaat bagi partisipasi perempuan. Survei ini merupakan salah satu wujud upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam Proyek Modernisasi Pengadaan (Procurement Modernization). Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah berupaya memperbaiki efisiensi, transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan barang dan jasa pemerintah. Pendirian LKPP pada tahun 2007 membawa perubahan besar pada kelembagaan dan kebijakan dalam rangka reformasi pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia. Tiga tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 54 tahun 2010 yang bertujuan untuk memperbaiki efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran belanja publik. Indonesia juga telah berupaya untuk mengintegrasikan dimensi gender dalam program dan kegiatan pemerintah dan telah berupaya meningkatkan inisiatif seperti anggaran berbasis gender, begitu pula partisipasi politik perempuan. Mengingat semakin meningkatnya jumlah perempuan pekerja dan perempuan pengusaha maka upaya untuk memajukan perempuan pengusaha memperoleh momentumnya. Namun kendati pemerintah telah berniat untuk mengintegrasikan dimensi gender ke dalam Proyek Modernisasi Pengadaan yang didanai oleh Compact dan meningkatkan peluang untuk perempuan pengusaha, pemerintah belum memiliki data dan informasi tentang isu utama yang menjadi tantangan bagi perempuan. Laporan ini bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut dengan meningkatkan pengetahuan tentang akses dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan milik perempuan dan laki-laki dalam mengakses peluang kontrak pemerintah. Temuan dalam laporan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada pemerintah, para pelaku usaha, donor, dan sektor swasta, serta pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan perusahaan milik perempuan untuk memperoleh keuntungan dari peluang kontrak melalui proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Adapun pembelajaran dari laporan ini dimasukkan ke dalam Proyek Modernisasi Pengadaan yang didanai oleh Compact. Kami berharap agar hasil studi dan temuan dalam laporan ini dapat dipahami dan diterapkan sebagai solusi kebijakan untuk perusahaan milik perempuan di Indonesia. Dra. Nina Sardjunani, MA Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas)
iii
Kata Pengantar Pemerintah Indonesia tengah melakukan serangkaian upaya untuk memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembiayaan publik melalui modernisasi dan pengembangan sistem pengadaan. Prinsip-prinsip transparansi, keterbukaan, kesetaraan dan akuntabilitas dalam pengadaan telah ditegaskan dalam Keputusan Presiden No. 54 tahun 2010 Jo No. 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Laporan berikut menyajikan temuan awal (baseline) terkait dimensi gender dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia. Hasil temuan diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan strategi dan rencana aksi terkait dimensi gender dalam proses pengadaan pemerintah. Studi ini mengupas kesenjangan gender yang ada dalam sistem pengadaan pemerintah dan memberikan rekomendasi beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong perusahaan milik laki-laki dan perempuan, untuk berpartisipasi secara setara dalam proses pengadaan pemerintah.
iv
Secara singkat, studi ini merekomendasikan tiga area utama yang perlu difasilitasi untuk mencapai sistem pengadaan yang lebih baik, yaitu (1) formalisasi pendefinisian perusahaan milik perempuan dan laki-laki, yang selanjutnya dapat dimasukan ke dalam sistem data dan monitoring LKPP, (2) dukungan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan milik perempuan dan asosiasi bisnis perusahaan milik perempuan, dan (3) meningkatkan transparansi sistem pengadaan pemerintah dengan meningkatkan sistem e-procurement. Kami menyadari bahwa temuan studi ini tidak dapat mewakili keseluruhan populasi perusahaan yang ada di Indonesia. Hal ini terutama disebabkan karena tidak adanya data yang lengkap dan resmi terkait keberadaan perusahaan milik laki-laki dan perempuan di Indonesia. Namun sepanjang pengetahuan kami, studi ini adalah studi gender dalam pengadaan pemerintah yang pertama dan kredibel di Indonesia. Terkait hal ini, kami berharap agar semua pihak dapat memanfaatkan hasil studi ini dengan sebesar-besarnya untuk mendukung inisiatif sistem pengadaan pemerintah yang sedang kita lakukan saat ini. Akhirnya kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi yang besar kepada seluruh pihak yang mendukung studi ini, khususnya Millenium Challenge Account Indonesia (MCA-Indonesia) yang telah memberikan dukungan teknis dan pendanaan untuk studi ini. Prof. Ir. Himawan Adinegoro, Msc, DFT Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP)
Kata Pengantar Kita bersyukur atas selesainya Gender Vendor Survey (Survei Gender Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) yang merupakan salah satu upaya dalam rangka integrasi sosial dan gender dalam Program Compact Indonesia. Dokumen ini juga menandakan capaian penting bagi MCA-Indonesia, khususnya dalam pengembangan dan implementasi integrasi gender dalam Proyek Modernisasi Pengadaan yang dilaksanakan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Sepengetahuan kami, survei ini merupakan survei pertama yang pernah dilakukan di Indonesia. Data yang disampaikan bisa digunakan sebagai acuan dalam mengakomodasi isu-isu gender dalam proses pengadaan, misalnya data tentang tantangan yang dihadapi oleh perusahaan milik perempuan ketika berpartisipasi dalam proses pengadaan pemerintah. Selain itu data ini juga memberikan informasi tentang bagaimana meningkatkan kapasitas lembaga khususnya perusahaan milik perempuan agar dapat ikut berkompetisi memperoleh kesempatan kontrak pemerintah. Bagi MCA-Indonesia, hasil survei ini menjadi bahan dalam menyusun kegiatan integrasi gender dalam Proyek Modernisasi Pengadaan dimana kemudian kami memfokuskan upaya peningkatan kapasitas bagi para perempuan ahli pengadaan dan perempuan pengusaha, sebagaimana yang tercantum dalam Kerangka Integrasi Sosial dan Gender atau Social and Gender Integration Plan (SGIP). Harapan kami, semoga Gender Vendor Survey (Survey Gender Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) ini bermanfaat bagi semua pihak untuk mendukung integrasi gender dalam konteks pengadaan barang dan jasa di Indonesia.
J. W. Saputro Direktur Eksekutif Millennium Challenge Account Indonesia
v
Ucapan Terimakasih Publikasi ini dapat terlaksana berkat dukungan keuangan yang diberikan oleh Millennium Challenge Cooperation (MCC) yang bekerjasama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP) dan Millennium Compact Account – Indonesia (MCA-Indonesia). Secara keseluruhan, studi ini dipantau dan disupervisi oleh Jozefina Cutura. Tim peneliti dipimpin oleh Aang Sutrisna dan terdiri dari Rahmi Kasri, Vidia Darmawi, Ultach Enri dan Purri Andriaty. Ucapan terima kasih diberikan kepada Benjamin Bryant, Jeanmarie Meyer, dan Shreena Patel dari MCC yang telah memberikan banyak masukan dalam pelaksanaan studi ini. Sedangkan dari LKPP masukan diterima dari Sarah Sadiqa, Gusmelinda Rahmi, Hermawan, Fanni Sufiandi, Ichwan Makmur Nasution, Widya Prima Fultanegara, Ebrinda Daisy, dan Ben Burhanudin. Masukan juga diberikan oleh Dewi Novirianti dan Deddy Erianto dari MCA-Indonesia, dan resensi eksternal yang sangat membantu diberikan oleh Liz Cullen, Kai Spratt, Yulfita Raharjo, Tulus Tambunan dan Elizabeth Vazquez. Tim peneliti juga sangat berterima kasih kepada perempuan dan laki-laki pengusaha yang telah membantu dan merelakan waktu mereka untuk berpartisipasi dalam survei ini. vi
Daftar Isi Kata Pengantar Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/BAPPENAS) Kata Pengantar Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Kata Pengantar Millennium Challenge Account-Indonesia (MCA Indonesia) Ucapan Terimakasih
iii iv v vi
Daftar Isi Daftar Gambar dan Tabel
vii ix
Ringkasan Eksekutif
2
Bab 1. Pendahuluan A. Latar Belakang B. Metodologi 1. Rancangan Studi 2. Metode Penarikan Sampel 3. Lokasi dan Ijin Etik 4. Keterbatasan
10 10 12 12 13 14 14
Bab 2. Hasil A. Perbedaan Gender dalam Profil dan Karakteristik Perusahaan 1. Badan Hukum, Izin Usaha dan Lokasi Kantor 2. Kepemilikan dan Kepemimpinan 3. Omzet, Tahun Operasional, dan Produk/Jasa Utama 4. Penggunaan Teknologi Informasi dan Akses terhadap Layanan Perbankan 5. Karakteristik Pemilik dan Pekerja B. Partisipasi dan Pengalaman dalam Pengadaan Pemerintah 1. Akses Terhadap Informasi 2. Partisipasi dalam Pengadaan Pemerintah 3. Alasan Tidak Berpartisipasi Dalam Pengadaan Pemerintah 4. Hambatan-hambatan untuk Berpartisipasi dalam Pengadaan Pemerintah C. Pengalaman sebagai Penyedia 1. Manfaat sebagai Penyedia Barang dan Jasa Pemerintah 2. Hambatan sebagai Penyedia D. Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) 1. Persepsi Terhadap Sistem Pengadaan Secara Elektronik 2. Persyaratan sebagai Penyedia Pemerintah E. Peningkatan Kapasitas
16 16 16 18 19 22 25 28 28 30 34 36 39 42 43 45 45 46 47
vii
Bab 3. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan B. Rekomendasi
52 52 53
Lampiran 56 A. Referensi 56 B. Persetujuan Etik 58 C. Kuesioner 59
viii
Daftar Gambar dan Tabel Gambar Gambar 1 Gambar 2.2 Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5.
Metode Pengadaan Ketika Terakhir Kali Menjadi Penyedia 4 Distribusi Lokasi Kantor 17 Lama Beroperasi Sejak Perusahaan Didirikan 20 Alasan Tidak Pernah Mengajukan Pinjaman ke Bank 24 Distribusi Perusahaan yang Tidak Pernah Tahu Pengadaan Pemerintah Menurut Jenis SIUP 28 Gambar 2.6. Pengetahuan dan Status Pendaftaran Perusahaan di SPSE 29 Gambar 2.7. Persentase Perusahaan yang Mengetahui Adanya Peluang Perusahaan Kecil Untuk Menjadi Penyedia Barang/Jasa Hingga Rp. 2,5 Miliar 30 Gambar 2.8. Perusahaan Yang Mengikuti Tender Pemerintah Dalam 1 Tahun Terakhir Menurut SIUP 30 Gambar 2.9. Alasan Tidak Mengajukan Sanggahan 34 Gambar 2.10. Distribusi Jenis Usaha Perusahaan yang Pernah Jadi Penyedia Dalam 5 Tahun Terakhir 39 Gambar 2.11. Distribusi Metode Pengadaan Ketika Terakhir Kali Menjadi Penyedia 40 Gambar 2.12. Responden yang Merasa Ada Persyaratan Pengadaan Yang Menyulitkan 46 Gambar 2.13. Cakupan Pelatihan dan Sosialisasi Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 47
Tabel Tabel 1 Tabel 2.2 Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 2.5. Tabel 2.6. Tabel 2.7. Tabel 2.8. Tabel 2.9. Tabel 2.10. Tabel 2.11. Tabel 2.12. Tabel 2.13. Tabel 2.14. Tabel 2.15.
Alasan Tidak Pernah Mengikuti Pelelangan Umum Pemerintah 5 Jenis Badan Hukum dan SIUP 18 Distribusi Kepemilikan dan Kepemimpinan 19 Omzet Perusahaan (Dalam Jutaan Rupiah) Tahun 2011 20 Distribusi Jenis Usaha 21 Rerata Omzet Tahun 2011 (dalam Jutaan Rupiah) Menurut Jenis Usaha 22 Akses Internet 23 Akses Pinjaman Bank 23 Profil Pemilik Utama dan Pekerja 26 Rerata Jumlah Pekerja 27 Sumber Informasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 28 Frekuensi dan Nilai Paket Pelelangan yang Diikuti Dalam 1 Tahun Terakhir 31 Frekuensi dan Nilai Paket Pelelangan Umum yang Diikuti Dalam 1 Tahun Terakhir Menurut Jenis Usaha 32 Karakteristik Perusahaan yang Pernah Menjadi Pemenang Pelelangan Pemerintah 33 Alasan Tidak Mengikuti Pelelangan Umum Pemerintah 36
ix
Tabel 2.16 Tabel 2.17. Tabel 2.18. Tabel 2.19. Tabel 2.20. Tabel 2.21. Tabel 2.22.
x
Hambatan Untuk Mengikuti Pelelangan Umum Pemerintah Jenis Usaha dan SIUP Perusahaan yang Menjadi Penyedia Melalui Pelelangan Umum dan Penunjukan Langsung Manfaat Sebagai Penyedia Menurut Metode Pengadaan Saat Terakhir Menjadi Penyedia Hambatan Terbesar Saat Terakhir Kali Menjadi Penyedia Persepsi Terhadap Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Program/Kegiatan yang Dibutuhkan Untuk Meningkatkan Kapasitas Topik Pelatihan
37 41 42 43 45 48 49
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia: Ringkasan Hasil Survei tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Ringkasan Eksekutif
1
Ringkasan Eksekutif
Ringkasan Eksekutif
Studi ini dilakukan untuk mendukung Proyek Modernisasi Pengadaan, dan dilakukan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dengan dukungan dana dari Millennium Challenge Corporation (MCC) melalui MCA-Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengetahui hambatan berbasis gender yang dihadapi perusahaan dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta mengidentifikasi tindakan yang dapat membantu meningkatkan kemampuan perusahaan baik milik laki-laki maupun perempuan agar dapat bersaing secara adil dan transparan dalam mendapatkan kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah. Penelitian ini sejalan dengan komitmen pemerintah yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 70/2012 tentang proses pengadaan yang tidak diskriminatif dan perbaikan efisiensi serta efektivitas belanja publik.
2
Laporan ini menjelaskan temuan dari survei terhadap 203 perusahaan milik perempuan dan 203 perusahaan milik laki-laki. Definisi perusahaan milik perempuan dalam survei ini adalah perusahaan yang dipimpin atau dikelola oleh perempuan pemilik saham. Survei dilakukan mulai November 2012 hingga Februari 2013. Selain survei, laporan ini juga menyertakan data kualitatif dari diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam dengan beberapa narasumber, yang memberikan pemahaman lebih dalam sehubungan dengan temuan-temuan kuantitatif yang diamati. Temuan penting dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Ada perbedaan berbasis gender yang cukup penting diantara perusahaanperusahaan di Indonesia dalam hal ukuran, bidang usaha, dan bentuk atau badan hukum perusahaan. n
1
Perusahaan milik perempuan cenderung lebih kecil dari perusahaan milik lakilaki.1 Perusahaan milik perempuan yang diwawancarai dalam survey ini secara signifikan lebih kecil daripada perusahaan milik laki-laki bila diukur dari omzet tahun sebelumnya. Perusahaan milik perempuan juga lebih banyak bergerak dalam bidang perdagangan atau jasa ritel, dan lebih sedikit yang bergerak di bidang konstruksi, pertambangan, dan perdagangan umum dibandingkan perusahaan milik laki-laki. Definisi tentang perusahaan milik perempuan dalam survei ini ada di Bab 1
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Perusahaan milik perempuan lebih banyak dijalankan sebagai usaha perseorangan, dan lebih sedikit yang masuk dalam kategori perusahaan besar. n
Laki-laki pemilik perusahaan memiliki tingkat pendidikan yang sedikit lebih tinggi dibanding perempuan.
n
Perusahaan milik perempuan mempekerjakan lebih banyak pekerja perempuan dan lebih banyak memiliki manajer perempuan.
Data awal yang dikumpulkan untuk melakukan survei ini menunjukan perusahaan yang berpartisipasi dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah lebih banyak dimiliki laki-laki. n
Tim survei menghubungi 227 perusahaan yang terdaftar sebagai peserta pelelangan
umum dalam 1 tahun terakhir di SPSE 6 Kementerian/Lembaga dan provinsi Jawa Barat. Hanya ada 5 % dari 227 perusahaan tersebut yang memenuhi kriteria perusahaan milik perempuan dalam survei ini. n
Perusahaan dengan badan hukum tertentu lebih banyak berpartisipasi dalam
proses pengadaan pemerintah. PT (Perseroan Terbatas)2, yang cenderung memiliki perputaran modal dan klasifikasi ukuran perusahaan lebih besar, lebih aktif dalam pelelangan umum dibanding dua jenis perusahaan lainnya (CV dan PD). Sekitar 60% perusahaan berbentuk PT yang disurvei pernah mengikuti proses pengadaan pemerintah, sedangkan perusahaan dalam bentuk CV hanya sekitar 40%, dan hampir tidak ada yang berpartisipasi dalam proses pengadaaan pemerintah dari responden perusahaan dengan bentuk PD. Sedangkan perusahaan milik perempuan lebih sedikit yang berbentuk PT. n
Lokasi kantor juga menentukan, perusahaan yang berkantor di rumah lebih sedikit
yang mendapatkan kontrak pengadaan pemerintah, dan perusahaan seperti ini lebih banyak dimiliki perempuan. Perusahaan milik perempuan cenderung lebih kecil dan berkantor di rumah, persentase perusahaan perempuan yang berkantor di rumah pemiliknya lebih tinggi dibanding perusahaan milik laki-laki. n
Adanya hubungan antara keanggotaan asosiasi bisnis dengan keberhasilan
memenangkan kontrak pemerintah, meskipun keanggotaan tersebut tidak menjadi aturan untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sekitar setengah dari perusahaan yang pernah berpartisipasi dalam pelelangan umum diketahui juga aktif 2 PT (Perseroan Terbatas) atau perusahaan yang memiliki kewajiban terbatas yang dalam survei ini mengikuti definisi sebagaimana diatur dalam bab 1 UU Nomor 40/2007, yang berarti sebuah bisnis yang telah terdaftar sedemikian rupa untuk memastikan bahwa pemiliknya memiliki kewajiban yang terbatas. Bisnis ini dimiliki oleh pemegang saham dan dioperasikan oleh para direksi. CV atau Commanditaire Vennootschap diatur dalam pasal 19 dalam kitab undang-undang hukum dagang (KUH Dagang), yang berarti Kemitraan Terbatas, adalah sebuah bentuk kemitraan di mana kewajiban minimal salah satu mitra terbatas pada jumlah uang yang diinvestasikan dalam kemitraan. PD atau PERUSAHAAN Dagang adalah sebuah perusahaan perdagangan swasta yang merupakan badan usaha paling sederhana di Indonesia.
3
dalam sebuah asosiasi bisnis. Dimana proporsi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak pernah berpartisipasi dalam pelelangan umum atau menjadi penyedia barang/jas pemerintah. Sehingga aktif dalam asosiasi bisnis tampaknya juga memiliki dampak positif terhadap partisipasi perusahaan dalam pelelangan umum, sebuah temuan dengan implikasi gender mengingat perempuan cenderung kurang aktif dalam asosiasi bisnis. n
Rata-rata nilai paket pengadaan dari pelelangan umum yang diperoleh perusahaan
milik laki-laki lebih tinggi dari perusahaan milik perempuan. Rata-rata nilai paket pengadaan terkecil dari perusahaan milik laki-laki adalah 1,2 kali lebih tinggi daripada perusahaan milik perempuan, sementara rata-rata nilai paket pengadaan terbesarnya 2,6 kali lebih tinggi. Perbedaan ini berkaitan dengan perbedaan jenis usaha dan ukuran perusahaan yang dijalankan perusahaan milik perempuan dan laki-laki.
Ringkasan Eksekutif
Gambar 1. Metode Pengadaan Ketika Terakhir Kali Menjadi Penyedia Perusahaan milik laki-laki (n=89)
52
35
Pelelangan Umum
6
3 3
persentase
Penunjukan Langsung Perusahaan milik perempuan (n=93)
61
4
persentase n
Pengadaan Langsung
30
Seleksi Umum
6
10
Pelelangan Terbatas Pelelangan Sederhana
Ada perbedaan gender yang jelas dalam cara perusahaan milik perempuan dan laki laki mendapatkan kontrak dari pemerintah. Hampir dua pertiga (61%) dari perusahaan milik perempuan mendapatkan kontrak paket pengadaan barang/jasa pemerintah terakhir melalui pelelangan umum, sementara hanya 52% responden perusahaan milik laki-laki melaporkan mendapatkan kontrak melalui metode yang sama.
Ada beberapa perbedaan dan kesenjangan yang jelas dalam pengetahuan, pengalaman dan persepsi tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah antara perusahaan milik perempuan dan laki-laki. n
Meskipun pengadaan secara elektronik dianggap lebih positif daripada sistem
manual, sekitar setengah dari responden (47% perusahaan milik perempuan dan 59% perusahaan milik laki-laki) masih lebih suka bertemu secara langsung dengan Panitia Pengadaan. Persentase yang lebih memilih pertemuan tatap muka, lebih tinggi pada perusahaan milik laki-laki. Hal ini menunjukkan nilai hubungan personal yang lebih baik. Namun hal ini bisa jadi juga menunjukkan tingkat kenyamanan yang lebih rendah pada perempuan pengusaha untuk berhadapan langsung dengan pejabat pemerintah. Perlu dicatat bahwa persentase perusahaan milik perempuan
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
yang berpartisipasi dalam tender pemerintah dan lebih memilih pengadaan secara elektronik, lebih tinggi daripada perusahaan milik laki-laki. Survei tidak menanyakan mengapa sebagian perusahaan lebih memilih untuk bertemu langsung dengan panitia pengadaan, namun dari hasil diskusi kelompok diketahui bahwa pertemuan tatap muka dianggap dapat memberi lebih banyak kejelasan tentang pertanyaan teknis dan administrasi, dan meningkatkan kesempatan perusahaan untuk menang. n
Pengetahuan tentang peraturan pengadaan masih terbatas, terutama mengenai
Keputusan Presiden No. 54/2010 Pasal 100 yang memungkinkan perusahaan kecil menjadi penyedia dengan nilai pengadaan sampai dengan Rp. 2,5 miliar. Pengetahuan ini lebih rendah pada perusahaan perempuan. Setengah dari perusahaan milik perempuan dan 40% perusahaan laki-laki tidak tahu tentang peraturan ini. n
Adanya kesenjangan gender yang besar terkait akses perusahaan terhadap layanan
keuangan. Ketika 62% dari perusahaan milik laki-laki yang pernah ikut tender pemerintah pernah mengajukan pinjaman dari bank, namun hanya sekitar 50% perusahaan milik perempuan yang melakukannya. Data survei menunjukkan bahwa partisipasi dalam tender pemerintah dan perputaran modal tahunan berhubungan dengan ukuran perusahaan dan kemungkinan mendapatkan pinjaman dari bank. Perusahaan milik perempuan merasa dua kali lebih tidak mampu memenuhi persyaratan pinjaman dari bank dibanding perusahaan milik laki-laki. n
Hambatan utama untuk mengakses pelelangan umum pemerintah sebagaimana
disampaikan oleh responden adalah: terlalu banyak peraturan, Sistem Pengadaan Secara Elektonik (SPSE) dianggap membingungkan dan sering merepotkan, peraturan yang membingungkan, dan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara perusahaan milik perempuan dan milik laki-laki mengenai alasan yang berkaitan dengan SPSE.
Terbatasnya akses terhadap informasi, masih dilaporkan oleh perusahaan milik perempuan yang pernah berpartisipasi dalam tender (14%) sebagai hambatan yang lebih besar dibanding perusahaan milik laki-laki (hanya 1%). Ini menunjukkan kesenjangan gender yang tinggi dalam memahami informasi yang akan membantu mengakses informasi terkait pengadaan pemerintah.
5
Ringkasan Eksekutif
Tabel 1 Alasan Tidak Pernah Mengikuti Pelelangan Umum Pemerintah
n
Alasan
Perusahaan milik perempuan
Perusahaan milik laki-laki
Non Tender (n=102)
Non Tender (n=100)
Tidak tertarik Tidak yakin menang KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotism) Sulit memenuhi persyaratan Kurang keahlian Harga pagu terlalu rendah Tidak punya modal Pelaporan merepotkan Paket pengadaan tidak sesuai Paket pengadaan terlalu besar Prosesnya terlalu menyita waktu Diskriminasi lainnya Diskriminasi Jender
42 % 30 % 25 % 24 % 21 % 16 % 14 % 11 % 7 % 7 % 7 % 7 % 5 %
30 % 25 % 21 % 15 % 19 % 10 % 16 % 12 % 6% 8% 16 % 1% 0%
Sekitar seperempat dari perusahaan milik perempuan yang tidak pernah berpartisipasi
dalam pelelangan atau menjadi penyedia barang/jasa pemerintah percaya bahwa mereka tidak akan mendapatkan kontrak karena proses pengadaan hanyalah formalitas saja, dimana pemerintah telah memutuskan pemenangnya. Angka ini agak lebih tinggi daripada persepsi perusahaan milik laki-laki (21%).
6
n
Lima belas persen dari perusahaan yang di survei (baik perusahaan milik perempuan
dan laki-laki) melaporkan bahwa korupsi adalah salah satu alasan utama mereka untuk tidak berpartisipasi dalam tender pemerintah. Dalam diskusi kelompok terfokus, peserta mencatat bahwa meskipun pengadaan secara elektronik dapat menjadi cara yang efektif untuk mengurangi korupsi, namun, “ruang untuk bermanuver” masih tetap ada. n
Salah satu kendala untuk berpartisipasi dalam proses pengadaan pemerintah adalah
kurangnya keterampilan. Hanya sekitar sepertiga dari perusahaan milik perempuan dan laki-laki pernah berpartisipasi dalam pelatihan tentang pengadaan barang/ jasa pemerintah. Partisipasi ini lebih rendah pada perusahaan yang tidak memiliki pengalaman dalam tender pemerintah: sekitar sembilan dari sepuluh perusahaan tidak pernah berpartisipasi dalam pelatihan tersebut.
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Rekomendasi Tindak Lanjut Bab 3 dari laporan ini memberikan beberapa rekomendasi penting dan langkah awal untuk mengatasi kesenjangan yang telah diidentifikasi dalam laporan ini, memfokuskan pada tindakan-tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah, komunitas perempuan pengusaha, organisasi donor, dan sektor swasta untuk dapat meningkatkan peran perusahaan milik perempuan. Penerapan rekomendasi ini tidak hanya akan membantu meningkatkan kemampuan perusahaan milik perempuan untuk mendapatkan keuntungan dari peluang pengadaan pemerintah, tetapi juga akan memperkuat ekonomi Indonesia dan berpotensi menciptakan lapangan kerja. Hal tersebut bukan hanya adil dan benar, tetapi juga cerdas untuk dilakukan.
7
8
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia: Ringkasan Hasil Survei tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
BAB 1
Pendahuluan
9
Bab 1 - Pendahuluan A. Latar Belakang
BAB 1 - pendahuluan
Perempuan pengusaha di Indonesia merupakan kontributor penting bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik, dari 2 juta unit usaha mikro, 40.8% dikelola oleh perempuan.3 Dari jumlah total 5,3 juta karyawan yang bekerja di perusahaan berukuran kecil dan industri rumah tangga, 45% dari pekerja tersebut adalah perempuan.
10
The Asia Foundation melaporkan bahwa perempuan memiliki 35% usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia. Di wilayah Asia/Pasifik, Indonesia menempati urutan teratas dalam hal jumlah perempuan sebagai pemilik UKM,4 meskipun salah satu alasan tingginya kewirausahaan di kalangan perempuan dapat dihubungkan dengan rendahnya kesempatan kerja di sektor formal bagi perempuan. Perempuan pengusaha lebih mungkin ditemukan pada sektor usaha kecil dan mikro dibandingkan pada perusahaan skala besar. Menurut data Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), dari enam belas ribu anggota di tahun 2006, sekitar 85% terkonsentrasi di usaha-usaha kecil, 12% di perusahaan menengah dan hanya 3% pada perusahaan skala besar. Ada sekitar 3.500 koperasi perempuan, yang merupakan 30% dari jumlah total koperasi di Indonesia.5 Sebagian besar dari mereka berada di luar Jakarta dan 82% perempuan pemilik atau pengelola perusahaan kecil menengah memiliki pendapatan bulanan kurang dari 50 juta rupiah.6 Lebih dari 90% perempuan yang memiliki atau mengelola perusahaan kecil menengah menggunakan tabungannya untuk membangun bisnis mereka. Selain itu, banyak perempuan pengusaha yang memiliki pengetahuan terbatas tentang akses ke lembaga keuangan dan masih mendaftarkan usaha mereka atas nama suami mereka. Survei ini tidak mengeksplorasi masalah ini secara mendalam. Sementara sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah tidak secara eksplisit mendiskriminasi perempuan, akses penyedia barang dan jasa terhadap sumber daya pengadaan dan peluang tender bervariasi, dimana perusahaan milik perempuan sering kehilangan peluang-peluang yang tersedia. Usaha kecil – dimana perempuan lebih banyak berkiprah – mungkin secara khusus paling dirugikan karena kurangnya kapasitas dan kemampuan mereka untuk memenuhi persyaratan pelelangan. Lebih jauh, dominasi perusahaan milik perempuan pada tingkat perusahaan kecil dan mikro – karena ukuran dan modal perusahaan – juga membatasi kemampuan mereka untuk memenuhi persyaratan tender dan menangkap peluang-peluang kontrak bisnis. Peraturan-peraturan yang ada lebih mendukung usaha-usaha di sektor formal, sedangkan kebanyakan perempuan memiliki bisnis di sektor informal. 3 Anwar 2009. 4 Mastercard Worldwide Insights: http://www.masterintelligence.com/ 5 Anwar 2009. 6 IFC 2011.
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pemerintah Indonesia belum secara aktif mencari penyedia barang dan jasa atau mengelola data/statistik terkait perusahaan milik perempuan baik dalam proses pendaftaran usaha dan pengajuan penawaran/pelelangan. Sebetulnya, hanya beberapa negara yang sudah melakukannya. Amerika Serikat dan India adalah dua contoh negara yang secara sistematis mengumpulkan data perusahaan dengan mayoritas pemilik perempuan selama pendaftaran perusahaan dan ketika proses pengadaan pemerintah. Dokumentasi yang masih sangat terbatas dari proses pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia membuat sulit mendapatkan pemahaman yang akurat mengenai sejauh mana peluang dan hambatan dalam pengadaan pemerintah untuk perusahaan milik perempuan dan laki-laki di Indonesia. Ditambah lagi dengan fakta bahwa Indonesia belum memiliki definisi yang konsisten mengenai perusahaan milik perempuan yang dapat digunakan untuk pengumpulan data, sehingga hampir tidak ada data terkait perusahaan milik perempuan dalam proses pengadaan. Oleh karenanya bisa dipahami mengapa respon yang tepat terkait rendahnya peran perusahaan milik perempuan tidak mudah dilakukan. LKPP mendapat dukungan dari MCC untuk pelaksanaan Proyek Modernisasi Pengadaan yang berfokus pada reformasi dan modernisasi sistem pengadaan. Proyek ini akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengeluaran dan belanja publik melalui pengembangan dan modernisasi sistem pengadaan nasional dan pengadaan pemerintah daerah. Sementara pemerintah berkomitmen untuk mengintegrasikan gender dalam proyek ini, kurangnya data berdasarkan jenis kelamin secara komprehesif pada penyedia barang dan jasa (yang ada dan berpotensi) menjadi hambatan untuk mencapai suatu sistem pengadaan yang inklusif. Penelitian dan laporan ini adalah suatu usaha untuk mengisi kesenjangan ini. Survei ini dilakukan atas permintaan LKPP, dan sepengetahuan kami, ini adalah survey terkait gender dalam pengadaaan barang dan jasa pemerintah yang pertama dilaksanakan di Indonesia. Harapannya survei ini dapat membangun pengetahuan dasar dan data mengenai perusahaan yang dikelola/milik perempuan dan laki-laki yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai masalah utama dan hambatan-hambatan yang dihadapi perusahaan terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah dan kemudian menyusun tindak lanjut yang tepat untuk mengatasi tantangan-tantangan yang diidentifikasi sehingga sistem pengadaan bisa lebih efektif, efisien dan inklusif. Penelitian ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam Peraturan Presiden No.70/2012 tentang proses pengadaan yang tidak diskriminatif bagi peningkatan efisiensi dan efektifitas pengeluaran dan belanja publik. Dengan mengisi kesenjangan pengetahuan dalam subyek ini, survey juga dimaksudkan bagi penggunaan secara umum diantara kalangan praktisi, aktivis gender, dan perusahaan yang berusaha memperkuat kemampuan perusahaan yang dimiliki oleh perempuan untuk mendapatkan keuntungan dari pengadaan barang dan jasa pemerintah.
11
B. Metodologi 1. Rancangan Studi Studi ini menggabungkan survei kuantitatif yang menggunakan kuesioner terstruktur dengan informasi kualitatif melalui kajian literatur, wawancara individu dan diskusi kelompok terfokus pada pemilik perusahaan yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Kami membedakan antara perusahaan milik perempuan dan yang bukan, juga antara perusahaan yang pernah berpartisipasi dalam proses pengadaan atau menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah dalam 5 tahun terakhir dan yang tidak pernah. Sehingga ada 4 kelompok responden yang diperbandingkan, yaitu: 1.
BAB 1 - pendahuluan
2.
12
3. 4.
Perusahaan milik perempuan yang pernah berpartisipasi dalam proses pengadaan atau pernah menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah; Perusahaan milik perempuan yang tidak pernah berpartisipasi dalam proses pengadaan atau tidak pernah menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah. Perusahaan milik lak-laki yang pernah berpartisipasi dalam proses pengadaan atau pernah menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah. Perusahaan milik laki-laki yang tidak pernah berpartisipasi dalam proses pengadaan atau tidak pernah menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah.
Mengingat hingga kini definisi tentang perusahaan milik perempuan belum ada di Indonesia, maka kami melakukan beberapa diskusi dan menarik beberapa pengalaman dan contoh yang ada (best practices) di tingkat internasional untuk menyusun sebuah definisi operasional perusahaan milik perempuan untuk tujuan studi ini. Kami mengadakan diskusi kelompok terfokus pada November 2012, dihadiri oleh pakar-pakar yang relevan, termasuk perempuan pengusaha, perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), perwakilan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), Kementerian Koperasi dan UKM, LKPP, dan MCC. Berdasarkan masukan yang didapat, studi ini mendefinisikan perusahaan milik perempuan di Indonesia berdasarkan dua pertimbangan terkait kepemilikan dan manajemen/control pada perusahaan. Perusahaan milik perempuan adalah: a) Sebuah perusahaan yang dipimpin dan dikelola oleh satu atau lebih perempuan, dan b) Sebuah perusahaan dimana perempuan pengelola memiliki saham dalam struktur kepemilikan perusahaan. Dua pertimbangan di atas mensyaratkan perusahaan milik perempuan harus mempunyai kedua karakteristik ini, yaitu terutama dikelola oleh satu atau lebih perempuan dan perempuan pengelola tersebut memiliki saham dalam perusahaan. Daftar perusahaan yang digunakan untuk mencari responden diperoleh dari perusahaan yang pernah menjadi pemenang pelelangan umum melalui sistem pengadaan secara elektronik (SPSE) di Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kementerian
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, LKPP, Bappenas dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta perusahaan yang ada dalam Data Daftar Perusahaan Indonesia (DDPI) yang beralamat di sekitar Jakarta dan Bandung. 2. Metode Penarikan Sampel Ukuran minimum sampel untuk setiap kelompok responden dihitung dengan menggunakan metode estimasi proporsi populasi dengan presisi mutlak tertentu mengikuti rumus berikut:
Jadi dengan presisi mutlak (d) 10% dan tingkat keyakinan (1-α) 95%, maka jumlah minimum yang harus diperoleh bagi setiap kelompok responden adalah 97 perusahaan. Dengan ukuran sampel yang kecil, maka tidak setiap respon akan signifikan secara stastistik. Mengingat tidak ada batasan dan ketersediaan daftar populasi yang jelas, pengambilan sampel dilakukan dengan tidak memberikan kesempatan yang sama pada semua perusahaan (non probability), sehingga penelitian ini dapat memenuhi jumlah minimum responden dalam setiap kelompok yang akan diperbandingkan (quota-sampling). Penelitian ini tidak menggunakan penarikan sampel secara acak (random sampling) (baik perusahaan milik laki-laki maupun perempuan) karena sejak awal sudah jelas perusahaan milik perempuan hanyalah bagian yang sangat kecil dari penyedia yang ada saat ini, dan dari jumlah total perusahaan yang berhasil dihubungi. Tahap pengumpulan data kuantitatif yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Memilih secara sistematis 1,368 perusahaan yang terdaftar pada daftar pemenang tender umum pada SPSE yang dipilih (1,229 perusahaan) dan DDPI dengan alamat di sekitar Jakarta dan Bandung (31,665 perusahaan). Pada tahap ini, kami tidak menggunakan nilai tender sebagai kriteria bagi seleksi responden. 2. Menghubungi perusahan terpilih dan meminta informasi awal untuk pengelompokan terkait dengan klasifikasi responden. 3. Meminta kesediaan perusahaan untuk diwawancarai. 4. Wawancara dengan perusahaan yang bersedia dan memenuhi persyaratan sebagai bagian dari kelompok responden. Diskusi kelompok terarah dan wawancara individu dilakukan dengan peserta dari perusahaan yang mewakili semua kelompok responden. Rincian metodologi pengambilan sample dapat dilihat di Lampiran D.
13
3. Lokasi dan Ijin Etik Penelitian ini dilakukan dengan sampling perusahaan yang berlokasi di Jakarta dan sekitarnya serta yang berlokasi di Bandung dan sekitarnya. Bandung dipilih secara sengaja ke dalam sampling sebagai upaya untuk meningkatkan cakupan wilayah, sekaligus inisiatif awal untuk berkoordinasi dengan lokasi yang akan menjadi bagian dari Proyek Modernisasi Pengadaan. Kami menyadari bahwa survei ini memiliki bias perkotaan, karena keterbatasan waktu, kapasitas dan pendanaan. Mengacu pada UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Ilmu Terapan dan Teknologi, studi ini juga telah mendapat persetujuan etik. Persetujuan etik untuk pelaksanaan survei, wawancara, dan diskusi kelompok terfokus telah disetujui dan dikeluarkan oleh Universitas Atmajaya.
BAB 1 - pendahuluan
4. Keterbatasan
14
Survei ini tidak mengambil sampel secara acak dari perusahaan yang pernah dan tidak pernah mengikuti proses pengadaan atau menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah. Akan tetapi, survei ini mengupayakan adanya jumlah responden perusahaan milik perempuan dan laki-laki yang seimbang, untuk memungkinkan melihat perbedaan berdasarkan kepemilikan perusahaan (kuota sampling). Upaya awal kami menghubungi 227 perusahaan yang pernah menjadi penyedia barang/ jasa pemerintah menemukan bahwa hanya sekitar 5% dari total penyedia yang dihubungi memenuhi kriteria studi ini sebagai perusahaan milik perempuan. Sehingga jika studi ini hanya mengandalkan jumlah responden yang hanya 5%, maka tidak akan memiliki jumlah responden perusahaan milik perempuan yang cukup, untuk menemukan dan menganalisis analisis hambatan dan tantangan yang dihadapi masing-masing kelompok. Konteks penelitian dan metode sampling yang dibicarakan di atas memiliki dampak pada cakupan dan keterwakilan, yaitu penelitian ini tidak memberikan kesempatan yang sama pada semua perusahaan di wilayah studi. Termasuk adanya bias pada hasil penelitian sehubungan dengan lokasi studi. Hal ini harus selalu diingat dalam menginterpretasikan hasil survei ini.
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia: Ringkasan Hasil Survei tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
BAB 2
Hasil
15
Bab 2 - Hasil
BAB 2 - HASIL
Bagian Hasil memberikan deskripsi resensi dan rangkuman data yang telah dihimpun melalui survei, wawancara dan diskusi kelompok terfokus, sebagaimana yang diuraikan dalam bab sebelumnya. Selain analisis deskriptif atas temuan-temuan, dalam analisis tertentu, disajikan poin-poin yang relevan dari studi-studi lain dan tabulasi silang variabel-variabel untuk memperkaya informasi deskriptif.
16
Studi ini telah menghubungi 1.368 perusahaan, dimana 1.075 (79%) diantaranya memberi tanggapan. Dari 1.075 perusahaan yang merespons, 325 (30%) memenuhi kriteria sebagai perusahaan milik perempuan. Ini sejalan dengan Survei Perusahaan yang dilakukan Bank Dunia di Indonesia, yang melaporkan bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam kepemilikan adalah 31%.7 Diantara 1.075 perusahaan, 406 (38%) bersedia diwawancarai. Dalam sampel final kami, ada 101 perusahaan milik perempuan dan 103 perusahaan milik laki-laki yang pernah mengikuti pelelangan umum atau pernah menjadi penyedia barang/jasa pemerintah, 102 perusahaan milik perempuan dan 100 milik lakilaki tidak pernah berpatisipasi dalam pelelangan umum dan juga tidak pernah menjadi penyedia barang/jasa pemerintah.
A. Perbedaan Gender dalam Profil dan Karakteristik Perusahaan 1. Badan Hukum, Izin Usaha dan Lokasi Kantor
Badan usaha dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) dua kali lebih banyak terdapat di perusahaan milik perempuan yang pernah berpartisipasi dalam pelelangan umum atau menjadi penyedia barang/jasa pemerintah (59%) dibandingkan dengan perusahaan yang tidak pernah berpartisipasi (27%). Perbedaan bentuk badan hukum PT diantara kelompok yang pernah dan tidak pernah berpartisipasi mengikuti pelelangan pemerintah lebih rendah di kalangan perusahaan milik laki-laki (61% dan 45%). Hal ini mungkin terjadi karena persyaratan untuk mendirikan PT lebih sulit dipenuhi para pengusaha dengan modal awal yang terbatas, yang umumnya dialami para perempuan pengusaha. Meskipun peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah tidak menentukan persyaratan untuk jenis badan hukum perusahaan, panitia pengadaan sering mewajibkan para peserta 7
The World Bank 2011.
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
pelelangan memiliki badan hukum perusahaan berbentuk PT, yang dianggap merupakan badan hukum yang lebih tepat dan lebih baik daripada CV karena dianggap sebagai subyek hukum yang mandiri dengan kekayaan yang terpisah dari para pendirinya. Perusahaan milik perempuan lebih banyak berkantor di rumah. Persentasi perusahaan milik perempuan yang dijalankan di rumah pemilik hampir 10% lebih tinggi daripada perusahaan milik laki-laki. Alasan untuk hal ini bervariasi namun sesuai dengan pengalaman dan pola yang ada di banyak negara, dimana perempuan lebih mungkin mempunyai bisnis rumahan. Salah satu alasan mungkin berkaitan dengan motivasi awal untuk memulai bisnis. Perempuan pengusaha lebih tertarik memulai bisnis untuk menambah penghasilan keluarga sambil mengelola atau mengawasi “pekerjaan domestik” (Tambunan, 2009). Alasan lain mungkin terkait dengan tipe bisnis yang cenderung dirintis oleh perempuan: yakni bisnis seperti produksi makanan atau perdagangan sederhana yang lebih mudah dijalankan dari rumah (Tambunan, 2012). Selain itu, modal mereka yang lebih rendah juga merupakan suatu faktor, karena perusahaan milik perempuan cenderung lebih kecil dan mempunyai modal awal kecil atau akses yang kurang untuk pinjaman. Masalah ini membuat pilihan untuk mempunyai kantor di luar rumah menjadi terbatas dan mahal. Sekalipun survei ini tidak menanyakan alasan-alasan ini secara mendalam, kecenderungan banyaknya bisnis perusahaan milik perempuan berbasis-rumah mengisyaratkan bahwa peraturan yang meminta suatu usaha untuk mempunyai kantor di luar rumah sebenarnya secara tidak langsung menjadi bias terhadap perusahaan milik perempuan
Pernah tender / jadi penyedia
Tidak pernah tender & tak jadi penyedia
Gambar 2.2 Distribusi Lokasi Kantor
Milik laki-laki (n=100)
32
Milik perempuan (n=102)
41
Milik laki-laki (n=103)
30
Milik perempuan (n=101)
39
persentase
33
35 36
36 27
25
Rumah pemilik Kantor disewa Kantor milik pemilik
37 35
Sebagian besar perusahaan milik perempuan memiliki SIUP Kecil, baik yang pernah maupun tidak pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia barang/jasa pemerintah. Perusahaan milik perempuan dalam survei ini lebih banyak yang memiliki ijin usaha kecil daripada perusahaan milik laki-laki. Pada saat yang sama, mereka lebih sedikit mempunyai izin usaha besar (13% vs 26% untuk perusahaan milik lakilaki).
17
Mayoritas perusahaan milik perempuan yang pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah adalah perusahaan kecil, dimana 49% perusahaan milik perempuan memiliki surat ijin usaha kecil, 34% menengah dan hanya 18% memiliki SIUP besar. Sebaliknya, perusahaan milik laki-laki yang pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia bagi pemerintah mempunyai distribusi yang merata dari segi jenis surat ijin usaha: 36% ijin usaha kecil, 28% sedang, dan 36% besar. Sehingga bisa dikatakan perusahaan milik laki-laki yang pernah berpartisipasi dalam pelelangan atau menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah dua kali lebih besar daripada perusahaan milik perempuan. Tabel 2.2. Jenis Badan Hukum dan SIUP Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=101 n=102 n=203 n=103 n=100 n=203
BAB 2 - HASIL
Deskripsi
18
Badan Hukum Perusahaan
Perseroan Terbatas (PT) Perserikatan Komanditer (CV) Perusahaan Dagang (PD)
59 % 40 % 1 %
27 % 43 % 65 % 52 % 8 % 4 %
61 % 45 % 53 % 39 % 48 % 43 % 0 % 7 % 3 %
Jenis SIUP
Kecil Menengah Besar
49 % 34 % 18 %
53 % 51 % 39 % 36 % 8 % 13 %
36 % 47 % 41 % 28 % 38 % 33 % 36 % 15 % 26 %
2. Kepemilikan dan Kepemimpinan Partisipasi perempuan dalam kepemimpinan di posisi puncak (sebagai direktur utama) dan pada manajemen menengah (manajer/ supervisor) di perusahaan milik perempuan adalah 3 kali lebih tinggi dibanding pada perusahaan milik laki laki. Hasil ini mirip dengan Survei Perusahaan yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 2011 yang menemukan bahwa partisipasi perempuan dalam kepemimpinan di perusahaan milik perempuan 4 kali lebih tinggi daripada di perusahaan milik laki-laki. Di antara perusahaan milik perempuan, saham pemimpin perempuan lebih tinggi pada kelompok yang tidak pernah mengikuti pelelangan dan tidak pernah menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah (81%) dibanding kelompok perusahaan yang pernah mengikuti pelelangan pemerintah (69%). Kepemilikan saham perempuan di dalam suatu perusahaan berkorelasi dengan ukuran perusahaan. Semakin kecil perusahaan, kendali perempuan semakin besar. Di tingkat nasional, menurut data Badan Pusat Statistik proporsi perempuan yang memiliki bisnis kecil dan industri rumah tangga berkurang seiring dengan pertumbuhan bisnis dan modal.8 Situasi ini juga tercermin dalam hasil studi kami, dimana data menunjukkan bahwa persentasi kepemilikan saham oleh perempuan menurun dari 77% pada perusahaan kecil menjadi 71% dan 55% pada perusahaan dengan SIUP menengah dan besar. Perusahaan milik perempuan jauh lebih mungkin melibatkan para anggota keluarga lainnya sebagai pemilik, dan juga 3-4 kali lebih mungkin mendapatkan perusahaannya dari 8 BPS, 2008
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
warisan dibanding perusahaan milik laki-laki. Tambunan (2010) mencatat bahwa fenomena perusahaan warisan sebagai sebuah “kewiraswastaan yang dipaksa,” di mana keterlibatan anggota-anggota keluarga lainnya sebagai pemegang saham mungkin mempunyai dampak pada keberlanjutan perusahaan milik perempuan, karena mereka mungkin kurang termotivasi untuk memperbaiki atau melakukan inovasi produk/jasa dan mungkin lebih puas dengan dengan kinerja perusahaan yang sekarang. Studi kami tidak menyelidiki lebih jauh isu kinerja ini, dan kami tidak mempunyai data untuk memastikan atau mengetahui lebih lanjut implikasi-implikasi “usaha warisan” pada kinerja perusahaan perempuan. Tabel 2.3. Distribusi Kepemilikan dan Kepemimpinan Deskripsi Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=101 n=102 n=203 n=103 n=100 n=203 Dipimpin oleh perempuan 69 % 81 % 75 % 3 % 4 % 3 % Partisipasi perempuan di manajerial 90 % 91 % 91 % 28 % 29 % 29 % Partisipasi perempuan di kepemilikan 100 % 100 % 100 % 29 % 18 % 24 % Rerata saham milik perempuan 63 % 81 % 72 % 10 % 8 % 9 % Partisipasi keluarga dalam kepemilikan 51 % 40 % 46 % 34 % 23 % 29 % Jumlah Pemilik 1 2 3 >3
25 % 31 % 20 % 25 %
Riwayat kepemilikan Memulai usaha sendiri Perusahaan warisan Membeli perusahaan Tanpa investasi (misal karena pernikahan) Tidak tahu
79 % 85 % 82 % 12 % 13 % 12 % 7 % 0 % 3 % 1 % 2 % 1 % 1 % 0 % 0 %
47 % 36 % 36 % 33 % 15 % 17 % 2 % 13 %
31 % 41 % 14 % 13 %
48 % 39 % 27 % 34 % 15 % 14 % 8 % 10 %
86 % 89 % 88 % 3 % 5 % 4 % 6 % 2 % 4 % 3 % 0 % 1 % 2 % 4 % 3 %
3. Omzet, Tahun Operasional, dan Produk/Jasa Utama Perusahaan milik laki-laki mempunyai omzet 4,4 kali lebih besar daripada perusahaan milik perempuan (omzet 2011). Perbedaan perputaran modal diantara perusahaan milik perempuan dan milik laki-laki menjadi lebih lebar pada kelompok perusahaan yang tidak pernah mengikuti pelelangan dan tidak pernah menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah, dimana pada 2011 perusahaan milik laki-laki mempunyai perputaran modal/omzet 4,3 kali lebih tinggi daripada perusahaan milik perempuan. Kesenjangan tersebut hanya 1,8 kali lebih tinggi perusahaan laki-laki pada kelompok perusahaan yang pernah mengikuti pelelangan pemerintah atau pernah menjadi penyedia bagi pemerintah. Bahkan di dalam kelompok perusahaan dengan izin bisnis kecil yang 9
Tambunan 2012.
19
pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia bagi pemerintah, perputaran modal perusahaan milik perempuan 1,5 kali lebih besar dibanding perusahaan milik laki-laki. Perusahaan yang pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia barang dan jasa bagi pemerintah mempunyai omzet tahun 2011 yang lebih besar dibanding perusahaan yang tidak berpartisipasi. Perbedaannya lebih tampak di kalangan perusahaan milik perempuan. Pada kelompok perusahaan milik perempuan, omzet rerata dari perusahaan yang telah berpatisipasi dalam tender pemerintah atau menjadi penyedia barang dan jasa bagi pemerintah adalah 8,3 kali lebih tinggi dibanding yang tidak pernah mengikuti pelelangan dan tidak pernah menjadi penyedia, sementara perbedaan omzet rerata yang terjadi di antara kelompok perusahaan milik laki-laki hanya 3,6 kali lebih tinggi.
Dalam keseluruhan jumlah sampel studi, perusahaan milik perempuan cenderung berumur agak lebih muda dibandingkan perusahaan milik laki-laki, meskipun secara umum, baik perusahaan laki-laki maupun perempuan yang pernah mengikuti pelelangan pemerintah telah lebih lama berdiri dibanding yang belum pernah mengikuti pelelangan pemerintah. Rerata lama tahun beroperasi dari perusahaan milik perempuan yang pernah dan yang tidak pernah mengikuti pelelangan pemerintah secara berurutan adalah 11 dan 8 tahun, dibandingkan dengan 13 dan 9 tahun untuk perusahaan milik laki-laki.
Gambar 2.3. Lama Beroperasi Sejak Perusahaan Didirikan Tidak pernah tender & tak jadi penyedia
20
Klasifikasi Perusahaan Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=99 n=96 n=195 n=97 n=92 n=189 Total 13,904 1,679 3,732 25,508 7,143 16,568 SIUP Kecil 1,558 440 982 1,101 637 839 SIUP Menengah 2,145 1,566 1,835 3,701 2,958 3,281 SIUP Besar 23,383 11.329 20,008 69,914 40,431 58,419
Pernah tender / jadi penyedia
BAB 2 - HASIL
Tabel 2.4. Omzet Perusahaan (Dalam Jutaan Rupiah) Tahun 2011
Milik laki-laki (n=100)
10
39
16
persentase
35
< 1 tahun 1-5 tahun
Milik perempuan (n=102)
2
47
Milik laki-laki (n=103)
2
31
Milik perempuan (n=101)
1
39
24 23 23
27 44 37
> 5-10 tahun > 10 tahun
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Selain itu, rerata omzet juga bertambah seiring dengan pertambahan jumlah tahun beroperasi, dari kira-kira 400 juta rupiah per tahun dalam kelompok perusahaan yang berumur kurang dari 1 tahun hingga hampir 25 miliar rupiah pada kelompok perusahaan yang telah beroperasi 10 tahun atau lebih. Ada perbedaan gender yang substansial dalam tipe perusahaan yang dimiliki perempuan dan laki-laki. Produk dan jasa utama perusahaan milik perempuan sebagian besar cenderung berupa katering, barang-barang yang tidak tahan lama dan perdagangan umum. Temuan ini sejalan dengan studi yang dilakukan Tulus Tambunan mengenai perempuan pengusaha UKM di Indonesia yang menyimpulkan bahwa perempuan lebih mungkin mempunyai bisnis di bidang jasa, industri makanan dan perdagangan sederhana dibanding di bidang transportasi atau konstruksi karena modal awal yang terbatas dan syarat teknologinya yang tidak terlalu rumit. 10 Temuan ini perlu ditafsirkan dengan hati-hati karena ada perbedaan lokasi studi yang sangat mempengaruhi hasilnya. Studi Muller di Aceh, misalnya, menemukan bahwa sebagian besar usaha milik perempuan ditemukan di bidang pertanian (65%), jasa (13%), perdagangan (12%) dan industri (8%).11 Pola ini semakin rumit oleh perbedaan fenomena desa dan kota, dimana perusahaan yang ada di wilayah perdesaan lebih berkaitan dengan rangkaian bisnis pertanian seperti pengolahan hasil panen, pengolahan makanan, dan lain sebagainya. Di wilayah-wilayah perdesaan, perusahaan milik perempuan lebih mungkin bergerak di bidang produksi makanan/ hasil pertanian, yang secara tradisional dianggap sebagai dunia pekerjaan perempuan dan lebih mudah diakomodasi dengan produksi berbasis-rumahan. Tabel 2.5. Distribusi Jenis Usaha Jenis Usaha Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=101 n=102 n=203 n=103 n=100 n=203 Jasa Katering/Kebersihan 13 % 25 % 19 % 9 % 13 % 11 % Produksi barang tidak tahan lama 14 % 25 % 19 % 5 % 14 % 9 % Perdagangan Umum 5 % 21 % 13 % 12 % 20 % 16 % Jasa Konsultan Teknis 17 % 6 % 11 % 13 % 6 % 9 % Jasa Kontruksi 13 % 6 % 9 % 17 % 9 % 13 % Jasa Konsultan 11 % 3 % 7 % 7 % 6 % 6 % Perdagangan Alat Kesehatan 10 % 0 % 5 % 14 % 2 % 8 % Perdagangan Alat Tulis 7 % 1 % 4 % 2 % 1 % 1 % Jasa Penyewaan/Keamanan/Perjalanan 2 % 5 % 3 % 4 % 5 % 4 % Produksi barang tahan lama 1 % 5 % 3 % 4 % 8 % 6 % Perdagangan Alat Berat/Kelistrikan 4 % 1 % 2 % 5 % 5 % 5 % Jasa Percetakan 3 % 1 % 2 % 6 % 8 % 7 % Perdagangan bahan bangunan/kimia 1 % 2 % 1 % 5 % 3 % 4 %
10 Tambunan 2012. 11 Muller, Claudia 2006
21
Distribusi jenis usaha pada kelompok perusahaan yang pernah mengikuti pelelangan atau pernah menjadi penyedia barang dan jasa bagi pemerintah berbeda menurut gender pemilik perusahaan, di mana perusahaan milik perempuan kebanyakan bergerak di bidang jasa konsultasi, disusul oleh produksi (barang-barang yang tidak tahan lama) dan perusahaan milik laki-laki paling banyak di bidang jasa konstruksi, disusul oleh pedagangan umum (sebagian besar persediaan dan peralatan medis). Tabel 2.6 di bawah menunjukkan bahwa omzet tahun 2011 untuk berbagai jenis usaha cukup bervariasi pada empat kelompok responden. Perusahaan milik perempuan yang memiliki omzet tahun 2011 tertinggi bergerak dalam usaha jasa-konstruksi, sementara pada kelompok perusahaan milik laki-laki, perusahaan dengan jenis usaha perdagangan umumlah yang memiliki omzet tahun 2011 paling tinggi. Tabel 2.6. Rerata Omzet Tahun 2011 (dalam Jutaan Rupiah) Menurut Jenis Usaha
BAB 2 - HASIL
Jenis Usaha Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender
22
Jasa Kontruksi Jasa Percetakan Perdagangan Alat Kesehatan Perdagangan Umum Produksi barang tidak tahan lama Jasa Konsultasi Jasa Penyewaan/Keamanan/Perjalanan Jasa Konsultan Teknis Perdagangan bahan bangunan/kimia Perdagangan Alat Berat/Kelistrikan Perdagangan Alat Berat/Kelistrikan Produksi barang tahan lama Perdagangan Alat Tulis
17,318 1,717 12,268 10,338 110 7,781 5,119 5,119 2,270 3,841 3,527 8,245 422 3,247 3,414 2,025 3,200 8,005 964 2,976 3,018 1,270 2,602 300 3,100 2,167 2,221 1,000 1,977 2,062 1,447 1,657 400 1,110 992 669 150 604
2,731 1,700 2,450 1,320 400 754 10,553 2,400 10,009 119,885 21,365 60,070 4,921 2,037 2,838 18,717 460 9,588 3,825 500 1,978 3,807 7,112 4,851 5,123 6,667 5,784 4,800 16,915 11,531 11,456 5,455 7,910 153,163 3,511 53,395 188 157 177
4. Penggunaan Teknologi Informasi dan Akses terhadap Layanan Perbankan Penggunaan internet dan website sebagai bagian dari usaha, lebih tinggi di kalangan perusahaan yang pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia barang dan jasa bagi pemerintah. Tidak ada perbedaan yang signifikan di antara perusahaan milik perempuan dan milik laki-laki dalam frekuensi penggunaan internet dan kepemilikan situs perusahaan, meskipun perusahaan laki-laki yang pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia bagi pemerintah lebih tinggi persentasenya dalam kepemilikan situs perusahaan dibanding perusahaan milik perempuan (48% vs 40%). Pada kedua kelompok responden, kepemilikan situs internet perusahaan berkorelasi dengan ukuran izin bisnis mereka (SIUP). Hanya 24% perusahaan dengan ijin usaha kecil yang mempunyai website perusahaan, dibandingkan dengan 40% perusahaan dengan izin usaha sedang dan 69% perusahaan dengan izin usaha besar.
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tabel 2.7. Akses Internet Akses Internet Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=101 n=102 n=203 n=103 n=100 n=203 Frekuensi penggunaan internet Tidak pernah 2 % 15 % 8 % 2 % 13 % 7 % Kadang-kadang 19 % 33 % 26 % 20 % 29 % 25 % Selalu 78 % 52 % 65 % 77 % 58 % 67 % Memiliki situs perusahaan
40 % 34 % 37 %
48 % 30 % 39 %
Akses dan penggunaan jasa keuangan menunjukkan adanya kesenjangan gender yang signifikan. Proporsi perusahaan milik perempuan yang pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia bagi pemerintah dan pernah mengajukan pinjaman dari bank lebih rendah daripada perusahaan milik laki-laki (50% vs 62% untuk laki-laki), meskipun demikian tingkat keberhasilan untuk mendapatkan pinjaman pada perusahaan perempuan yang pernah mengajukan lebih tinggi daripada perusahaan milik laki-laki. Situasi serupa dihadapi oleh kelompok perusahaan yang tidak pernah mengikuti pelelangan dan tidak pernah menjadi penyedia bagi pemerintah, di mana perusahaan milik perempuan juga lebih sedikit yang mengajukan pinjaman bank, namun mempunyai tingkat kesuksesan yang lebih tinggi jika mereka mengajukannya. . Tabel 2.8. Akses Pinjaman Bank Pinjaman Bank Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=101 n=102 n=203 n=103 n=100 n=203 Pernah mengajukan pinjaman 50 % 45 % 47 % 62 % 41 % 52 % Pengajuan pinjaman disetujui 48 % 44 % 46 % 53 % 39 % 46 %
Secara keseluruhan, perusahaan yang memiliki izin usaha besar (64%) lebih banyak mengajukan pinjaman bank daripada perusahaan yang memiliki izin usaha sedang (48%) dan kecil (45%). Temuan ini sejalan dengan Survei Perusahaan Bank Dunia 2011 yang menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan sangat berhubungan dengan pinjaman bank atau fasilitas kredit, dimana 47% perusahaan besar mendapat pinjaman, sementara hanya 28% perusahaan berukuran sedang dan 17% perusahaan berukuran kecil yang mendapatkannya. Karena itu tidaklah mengherankan jika terjadi kesenjangan akses jasa keuangan terhadap perusahaan milik perempuan yang mayoritas pada level perusahaan yang lebih kecil. Selain itu, pinjaman reguler dari bank-bank komersial menghendaki setidaknya dua tahun operasi bisnis yang menunjukkan keuntungan.12 12 Dipta, I Wayan 2011.
23
Proporsi terbesar perusahaan milik perempuan yang pernah mengajukan pinjaman bank berasal dari perusahaan dengan jenis usaha perdagangan umum (sebagian besar di bidang peralatan medis dan peralatan kantor), jasa rental/travel (67%) dan usaha produksi barangbarang yang tidak tahan lama (63%). Untuk perusahaan milik laki-laki, proporsi terbesar berasal dari perusahaan percetakan (75%), produksi barang-barang yang tahan lama (67%), dan konstruksi (63%).
Perusahaan milik perempuan yang tidak pernah mengajukan pinjaman bank, dua kali lebih banyak mengatakan bahwa mereka tidak bisa memenuhi persyaratan untuk mendapat pinjaman dibanding perusahaan milik laki-laki. Gambar 2.4. Alasan Tidak Pernah Mengajukan Pinjaman ke Bank Tidak pernah tender & tak jadi penyedia
24
Kira-kira separuh perusahaan milik perempuan dan laki-laki yang berkantor di rumah pernah mengajukan pinjaman bank dan sebagian besar permohonan mereka disetujui. Sedangkan 57% perusahaan milik perempuan yang mempunyai kantor selain di rumah pemilik, juga pernah mengajukan pinjaman bank, jumlah ini sedikit lebih rendah disbanding perusahaan milik laki-laki dalam kelompok yang sama (62%).
Pernah tender / jadi penyedia
BAB 2 - HASIL
Rerata omzet tahunan perusahaan milik perempuan yang pernah mengajukan pinjaman bank dan menjadi penyedia bagi pemerintah adalah Rp 9,1 miliar – hanya sepertiga dari rerata omzet tahunan perusahaan milik laki-laki yang pernah mengajukan pinjaman (Rp 25,7 miliar). Situasi serupa juga ditemukan pada kelompok perusahaan milik perempuan yang tidak pernah mengikuti pelelangan pemerintah, dimana rerata omzet adalah Rp 1,3 miliar atau 30% dari perusahaan milik laki-laki dengan kategori yang sama (Rp 4,1 miliar).
Milik laki-laki (n=52)
77
Milik perempuan (n=50)
72
15
persentase Tidak butuh
8
Takut
14
14
Milik laki-laki (n=37)
89
8
Milik perempuan (n=44)
91
0 9
3
Tak bisa memenuhi persyaratan
Sembilan dari sebelas perusahaan milik perempuan yang melaporkan tidak dapat memenuhi persyaratan administrasi pinjaman bank adalah perusahaan kecil (dengan izin usaha kecil).
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
5. Karakteristik Pemilik dan Pekerja Pola distribusi usia pemilik utama perusahaan adalah relatif sama di antara semua kelompok responden, dengan kelompok usia rata-rata antara 35 dan 44 tahun. Persentase pemilik perusahaan milik perempuan yang sebelumnya pernah mempunyai perusahaan lain lebih rendah dibanding perusahaan milik laki-laki. Tiga puluh empat persen pemilik perusahaan milik perempuan yang penah mengikuti pelelangan juga pernah mempunyai perusahaan lain, dibandingkan dengan 43% perusahaan milik lakilaki. Kesenjangan dalam kepemilkan perusahaan sebelumnya sedikit lebih rendah pada perusahaan milik laki-laki dan perempuan yang tidak penah mengikuti pelelangan dan tidak pernah menjadi penyedia bagi pemerintah. Secara umum tingkat pendidikan terakhir pemilik utama relatif sama antara perusahaan milik laki-laki dan perempuan, walaupun demikian tingkat pendidikan pemilik perusahaan pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia barang/jasa pemerintah sedikit lebih tinggi dibanding perusahaan yang tidak pernah mengikuti pelelangan pemerintah. Ada hubungan yang kuat antara keanggotaan asosiasi bisnis dan partisipasi dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Persentase perusahaan milik perempuan yang mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia bagi pemerintah dan juga anggota suatu asosiasi usaha 2,8 kali lebih tinggi dibanding perusahaan yang tidak pernah ambil bagian dalam pelelangan dan tidak pernah menjadi penyedia bagi pemerintah. Perbedaan tersebut hanya 1,6 kali di antara perusahaan milik laki-laki. Oleh karena itu, keanggotaan asosisasi bisnis menjadi lebih penting bagi perusahaan milik perempuan untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam mengikuti proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dibanding bagi perusahaan milik laki-laki. Kurangnya keanggotaan asosiasi bisnis dapat mengurangi kesempatan bagi perusahaan milik perempuan untuk melakukan penawaran pada pelelangan pemerintah karena paket penawaran tertentu menghendaki sang pemilik atau perusahaan menjadi anggota asosiasi tertentu (lihat bagian Persyaratan sebagai Penyedia pemerintah). Perusahaan milik perempuan mempekerjakan 1,7 kali lebih banyak perempuan daripada perusahaan milik laki-laki, dan juga mempunyai rerata jumlah keseluruhan karyawan yang lebih tinggi. Pada saat yang sama rerata persentase pekerja paruh-waktu relatif serupa di antara perusahaan milik perempuan dan laki-laki, yang kira-kira seperempat dari jumlah total pekerja. Hal ini mungkin berkaitan dengan fakta bahwa mayoritas perusahaan milik perempuan beroperasi dalam industri dengan teknologi rendah dan membutuhkan banyak tenaga kerja (padat karya). Suatu studi yang dilakukan pada 2006 mengenai peran perempuan dalam perusahaan kecil dan menengah menunjukkan hampir semua responden perempuan pengusaha (97%) menyatakan bahwa motivasi utama mereka adalah untuk menciptakan pekerjaan.13 13 Cooperation and SME Review Jurnal No.1 2006.
25
Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun perusahaan milik perempuan lebih kecil namun cenderung lebih banyak menyerap tenaga kerja. Fakta bahwa perusahaan milik perempuan lebih banyak mempekerjakan perempuan adalah temuan yang penting, dan juga didukung oleh riset internasional yang mengindikasikan gejala perusahaan perempuan sebagai ”faktor pengganda perempuan pekerja” – suatu kecenderungan perusahaan milik perempuan dalam menciptakan pekerjaan untuk para perempuan lainnya. Kecenderungan positif ini merupakan pertimbangan penting bagi negara yang sedang berusaha meningkatkan potensi pekerjaan dan partisipasi tenaga kerja perempuan. Jika perusahaan perempuan yang telah ada menunjukkan potensi penyerapan tenaga kerja perempuan yang cukup tinggi, maka meningkatkan penciptaan kesempatan bisnis untuk perusahaan milik perempuan adalah salah satu strategi yang berpotensi meningkatkan tenaga kerja perempuan.
BAB 2 - HASIL
Tabel 2.9. Profil Pemilik Utama dan Pekerja
26
Profil Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=101 n=102 n=203 n=103 n=100 n=203 Umur < 25 tahun 4 % 2 % 3 % 1 % 1 % 1 % 25 - 34 tahun 13 % 21 % 17 % 14 % 19 % 16 % 35 - 44 tahun 30 % 43 % 36 % 33 % 50 % 41 % 45 - 54 tahun 36 % 24 % 30 % 35 % 20 % 28 % +55 tahun 18 % 11 % 14 % 17 % 9 % 13 % Riwayat kepemilikan perusahaan Pernah memiliki perusahaan
34 % 23 % 28 %
43 % 28 % 35 %
Pendidikan tertinggi Universitas SLTA ke bawah
79 % 70 % 74 % 19 % 29 % 24 %
81 % 73 % 77 % 18 % 23 % 21 %
Anggota asosiasi perusahaan/ pengusaha
51 % 19 % 35 %
53 % 34 % 44 %
Rerata hari kerja < 1-2 hari/minggu < 2-4 hari/minggu Setiap hari
11 % 8 % 9 % 31 % 27 % 29 % 58 % 65 % 62 %
14 % 12 % 13 % 22 % 24 % 23 % 63 % 64 % 64 %
Pekerja Rerata jumlah pekerja Rerata % pekerja perempuan Rerata % pekerja laki-laki
83 29 56 31 % 33 % 32 % 25 % 22 % 24 %
55 46 51 20 % 18 % 19 % 26 % 24 % 25 %
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Secara umum, rerata jumlah pekerja sejalan dengan ukuran surat ijin usaha (SIUP) – semakin besar SIUP, semakin banyak pekerja yang dimiliki suatu perusahaan. Di kalangan perusahaan dengan SIUP yang besar dan pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah, ada perbedaan besar dalam jumlah rerata pekerja antara perusahaan milik perempuan dan laki-laki: perusahaan milik perempuan mempunyai rerata jumlah pekerja yang lebih besar daripada perusahaan milik laki-laki (384 vs 120 pekerja). Perusahaan milik perempuan dengan jumlah pekerja yang banyak sebagian besar berada di bidang usaha produksi barang-barang yang tidak tahan lama, sementara perusahaan milik laki-laki, mereka bekerja di sektor produksi barang-barang tahan lama. Tabel 2.10. Rerata Jumlah Pekerja Profil pemilik utama dan pekerja Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender Jenis SIUP Besar Menengah Kecil
384 31 275 22 50 37 14 12 13
120 178 137 24 36 31 14 12 13
Type of product/services Produksi barang tidak tahan lama Perdagangan Alat Berat/Kelistrikan Jasa Katering/Kebersihan Jasa Percetakan Jasa Konsultan Jasa Konsultan Teknis Jasa Kontruksi Perdagangan bahan bangunan/kimia Produksi barang tahan lama Perdagangan Alat Kesehatan Perdagangan Umum Jasa Penyewaan/Keamanan/Perjalanan Perdagangan Alat Tulis
476 57 207 29 22 28 28 28 28 28 8 23 23 18 22 18 31 21 23 11 19 6 22 16 11 17 16 14 0 14 14 12 13 7 9 9 6 9 6
70 115 103 33 76 54 27 32 30 11 16 14 33 24 29 16 60 30 47 32 42 21 78 42 328 33 132 11 44 15 158 33 80 25 9 16 3 1 2
27
B. Partisipasi dan Pengalaman dalam Pengadaan Pemerintah 1. Akses Terhadap Informasi
BAB 2 - HASIL
Cara perusahaan milik perempuan dan laki-laki menemukan peluang dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah berbeda secara substansial. Perusahaan milik perempuan yang pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia bagi pemerintah dan menyebutkan iklan pelelangan di koran sebagai sumber informasi hampir dua kali lebih banyak daripada perusahaan milik laki-laki. SSumber informasi mengenai kesempatan menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah yang paling sering disebutkan oleh para responden baik perusahaan milik perempuan maupun laki-laki adalah internet/SPSE dan pemberitahuan dari teman/orang lain. Temuan menarik lainnya dari studi ini ialah bahwa persentase perusahaan milik laki-laki yang menyebutkan Pengawai Negeri Sipil (PNS) sebagai sumber informasi mengenai peluang untuk menjadi penyedia lebih tinggi daripada perusahaan milik perempuan (30% vs 23%).
28
Tabel 2.11. Sumber Informasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Sumber Informasi Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=101 n=102 n=203 n=103 n=100 n=203 Internet / SPSE 57 % 7 % 32 % 57 % 13 % 35 % Diberitahu teman 50 % 37 % 43 % 47 % 35 % 41 % Iklan di koran 31 % 9 % 20 % 17 % 8 % 13 % Kenal PNS 23 % 13 % 18 % 30 % 11 % 21 % Tidak pernah tahu 2 % 51 % 27 % 1 % 48 % 24 %
Separuh dari perusahaan yang tidak pernah mengikuti pelelangan dan belum pernah menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah tidak mengetahui peluang dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa alasan untuk tidak berpartisipasi dalam tender pemerintah bukan semata-mata soal kapasitas perusahaan dalam memenuhi persyaratan pelelangan, tapi juga karena kurangnya akses informasi Semakin rendah jenis ijin usaha (SIUP), semakin besar proporsi yang tidak mempunyai informasi mengenai pengadaan pemerintah. Situasi ini berlaku baik bagi perusahaan milik perempuan dan laki-laki sebagaimana terlihat pada gambar di bawah Gambar 2.5. Distribusi Perusahaan Yang Tidak Pernah Tahu Pengadaan Pemerintah Menurut Jenis SIUP
SIUP Besar SIUP Menengah SIUP Kecil
19
27
28
Perusahaan milik perempuan
10
27
31
Perusahaan milik laki-laki
persentase
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dua pertiga perusahaan yang pernah mengikuti pelelangan atau pernah menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah telah terdaftar di dalam sistem pengadaan secara elektronik (SPSE), sementara bagi perusahaan yang tidak pernah berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah, hanya kurang dari 10% yang terdaftar.
Pernah tender / jadi penyedia
Tidak pernah tender & tak jadi penyedia
Gambar 2.6. Pengetahuan dan Status Pendaftaran Perusahaan di SPSE
Milik laki-laki (n=100) Milik perempuan (n=102)
9 9
32 26
Ya, sudah mendaftar di SPSE
59
Ya, belum mendaftar di SPSE
65
Milik laki-laki (n=103
66
Milik perempuan (n=101)
64
23 19
Tidak ada yang tahu
11 17
persentase
Persentasi perusahaan milik perempuan yang tidak mengetahui dan tidak mendaftarkan perusahaan mereka di dalam sistem pengadaan secara elektronik lebih tinggi daripada perusahaan milik laki-laki. Peraturan pemerintah sebenarnya telah mencakup ketentuan untuk membantu memfasilitasi akses untuk tender pemerintah bagi perusahaan kecil. Ketentuan ini diuraikan dalam Peraturan Presiden No 54/2010 (lihat kotak di bawah ini).
Peraturan yang mendukung perusahaan kecil Pembaharuan peraturan pengadaan di Indonesia, bermula dengan Keputusan Presiden No. 80/2003 yang memperkenalkan prosedur pelelangan umum yang memberi ruang lebih banyak bagi UKM. Peraturan-peraturan pengadaan yang lebih baru (Perpres No 54/2010) juga mengatur metode penawaran sederhana, dimana minimal tiga penyedia potensial diundang untuk mengajukan penawaran dan kemudian diberitahukan tentang keputusan pemerintah dalam batas waktu pengajuan. Peraturan Presiden No. 70/2010, Pasal 100 menetapkan bahwa untuk proyek bernilai hingga Rp 2,5 miliar dialokasikan bagi perusahaan kecil. Hanya 8% perusahaan milik perempuan yang tidak pernah mengikuti pelelangan dan tidak pernah menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah yang mengetahui tentang peraturan tersebut, dibandingkan dengan 24% perusahaan milik laki-laki dengan kategori yang sama. Pada kelompok perusahaan yang pernah mengikuti pelelangan atau menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah, perbedaan dalam hal pengetahuan mengenai peraturan tersebut tidak besar, hanya 7% saja.
29
Gambar 2.7. Persentase Perusahaan Yang Mengetahui Adanya Peluang Perusahaan Kecil Untuk Menjadi Penyedia Barang/Jasa Hingga Rp. 2,5 Miliar
53%
60%
milik perempuan (n=101)
milik laki-laki
(n=103)
Pernah tender / jadi penyedia
8%
24%
milik perempuan (n=102)
milik laki-laki
(n=100)
Tidak pernah tender & tak jadi penyedia
Perempuan pengusaha yang kami ajak bicara selama diskusi kelompok terarah mengkonfirmasi situasi ini. Sebagian besar peserta melaporkan bahwa informasi dari pemerintah mengenai peraturan ini kurang dan mereka mendapatkannya melalui “belajar sambil bekerja.”
BAB 2 - HASIL
Menurut seorang peserta:
30
“Saya mendapat kontrak ini ketika saya menawar dengan memakai suatu perusahaan (PT) yang mempunyai izin bisnis besar, tetapi ketika menandatangani kontrak, ternyata kontrak ini diharuskan untuk perusahaan kecil, panitia menawarkan untuk “meminjam” CV temannya agar dapat memenuhi peraturan.” Distribusi informasi pengadaan pemerintah melalui media dianggap sudah baik. Temuan studi/penilaian atas sistem pengadaan pemerintah memberi skor maksimal bagi indikator “informasi pengadaan yang diumumkan dan didistribusikan melalui media yang tersedia.”14 2. Partisipasi dalam Pengadaan Pemerintah Lebih dari separuh (52%) perusahaan milik perempuan yang berpartisipasi dalam proses pengadaan pemerintah adalah perusahaan dengan SIUP kecil, hanya 18% yang mempunyai SIUP besar. Sementara itu untuk perusahaan milik laki-laki, distribusi ukuran SIUP relatif sama, sebagaimana terlihat dalam Gambar di bawah. Ini menunjukkan bahwa ukuran SIUP penting bagi perusahaan milik perempuan. Gambar 2.8. Perusahaan Yang Mengikuti Tender Pemerintah Dalam 1 Tahun Terakhir Menurut SIUP SIUP Besar SIUP Menengah SIUP Kecil
18
30
52
Milik perempuan (n=79)
14 OECD 2007.
39
24
37
Milik laki-laki (n=84)
persentase
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Secara keseluruhan, perusahaan milik laki-laki mengikuti pelelangan dengan nilai paket yang lebih besar. Rerata nilai paket pelelangan terendah yang diikuti perusahaan milik laki-laki adalah 1,2 kali lebih besar dibanding perusahaan milik perempuan, sementara rerata nilai paket pengadaan tertingginya adalah 2,6 kali lebih tinggi dibanding perusahaan milik perempuan. Perbedaan ini juga berkaitan dengan jenis dan klasifikasi ijin usaha yang berbeda. Tabel 2.12. Frekuensi dan Nilai Paket Pelelangan Yang Diikuti Dalam 1 Tahun Terakhir
Perusahaan milik perempuan (n=79)
Perusahaan milik laki-laki (n=84)
Pernah mengikuti tender pemerintah dalam 1 tahun terakhir
78%
84%
Rerata jumlah tender yang diikuti dalam 1 tahun terakhir Semua 3,9 SIUP Besar 4,9 SIUP Menengah 3,9 SIUP Kecil 3,5
3,7 4,8 3,2 2,8
Rerata jumlah paket pengadaaan terkecil yang diikuti (dalam jutaan rupiah) Semua 1,370 1,671 SIUP Besar 5,909 3,097 SIUP Menengah 565 1,401 SIUP Kecil 272 327 Rerata jumlah paket pengadaaan terbesar yang diikuti (dalam jutaan rupiah) Semua 4,025 10,374 SIUP Besar 13,648 25,577 SIUP Menengah 3,938 8,842 SIUP Kecil 788 906
Secara rata-rata (lihat Tabel 2.12), perusahaan yang disurvei melaporkan sekitar 3,8 kali mengikuti pelelangan dalam 12 bulan terakhir dengan nilai kontrak berkisar diantara Rp 1,37 miliar hingga Rp. 4 miliar (untuk perusahaan milik perempuan) dan Rp. 1,67 miliar hingga Rp. 10,37 miliar (untuk perusahaan milik laki-laki). Studi ini juga menunjukkan bahwa perusahaan milik perempuan mengikuti lebih banyak pelelangan umum pemerintah dibanding perusahaan milik laki-laki, tetapi nilai paket pelelangan yang diikuti lebih tinggi pada perusahaan milik laki-laki. Distribusi lokasi pelelangan umum yang diikuti perusahaan milik perempuan dan laki-laki relative sama. Hampir sepertiga adalah di kementerian atau lembaga-lembaga tingkat pusat, sementara sisanya tersebar di 24 kabupaten/kota di 8 propinsi untuk perusahaanperusahaan milik perempuan dan 11 propinsi untuk perusahaan milik laki-laki. Perusahaan milik perempuan yang lebih aktif dalam mengikuti pelelangan umum adalah perusahaan dalam bidang usaha penyediaan peralatan kantor, jasa konsultan, dan Jasa Konsultan Teknis proyek konstruksi dengan jumlah rerata pelelangan umum yang diikuti per tahun secara berurutan (6,6, 5,9 dan 5,5 pelelangan). Sedangkan pada
31
kelompok perusahaan milik laki-laki, yang paling aktif mengikuti pelelangan umum adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa konsultan, konsultan teknis, dan perdagangan peralatan dan bahan medis.
BAB 2 - HASIL
Tabel 2.13. Frekuensi dan Nilai Paket Pelelangan Umum Yang Diikuti Dalam 1 Tahun Terakhir Menurut Jenis Usaha
32
Jenis Usaha Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Jumlah Nilai Nilai Jumlah Nilai Nilai Tender Min Max Tender Min Max Tender* Tender* Tender* Tender* Perdagangan Alat Tulis 6.6 121 347 2.0 183 315 Jasa Konsultan 5.9 424 1,414 8.9 3,407 12,037 Jasa Konsultan Teknis 5.5 372 2,305 5.5 600 46,490 Jasa Kontruksi 4.6 6,333 12,608 3.5 369 1,238 Produksi barang tidak tahan lama 3.6 233 2,303 3.2 389 1,550 Perdagangan Alat Kesehatan 2.3 1,213 4,125 5.0 1,334 5,277 Perdagangan Umum 2.2 475 4,750 2.2 904 6,256 Jasa Katering/Kebersihan 2.1 517 2,606 1.7 462 1,390 Produksi barang tahan lama 2.0 200 400 3.8 30,075 45,125 Jasa Penyewaan/Keamanan/Perjalanan 1.5 50 100 2.3 2,167 3,333 Jasa Percetakan 1.3 1,500 15,000 1.7 244 375 Perdagangan Alat Berat/Kelistrikan 1.0 450 750 2.5 798 2,275 Perdagangan bahan bangunan/kimia 1.0 150 400 1.2 1,037 1,732 *dalam jutaan rupiah
Secara total hanya sekitar 11% perusahaan milik perempuan dan 13% perusahaan milik lakilaki yang menjadi responden dan pernah mengikuti pelelangan umum dalam satu tahun terakhir tidak pernah memenangkan pelelangan sama sekali. Hanya satu dari sembilan perusahaan milik perempuan yang tidak pernah memenangkan kontrak pengadaan adalah perusahaan dengan SIUP besar, sementara di kalangan perusahaan milik laki-laki, empat dari sebelas perusahaan yang memiliki SIUP besar tidak pernah memenangkan pelelangan umum pemerintah. Perusahaan milik perempuan dengan SIUP Besar, memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibanding perusahaan milik laki-laki. Ada beberapa perbedaan diantara perusahaan milik perempuan dan laki-laki yang berkaitan dengan pengalaman mereka tidak memenangkan tender. Ketika 21% perusahaan milik perempuan menyebutkan isu-isu administratif sebagai penyebab tidak memenangkan pelelangan, hanya 17% perusahaan milik laki-laki mengutip alasan yang sama. Tidak memenuhi persyaratan teknis disebutkan oleh 11% perusahaan milik laki-laki tetapi tidak disebutkan oleh perusahaan milik perempuan. Isu-isu seperti ‘harga yang ditawarkan lebih mahal’ dan dugaan korupsi atau proses pengadaan yang tidak transparan disebutkan oleh 36% perusahaan milik perempuan dan 28% perusahaan milik laki-laki. Selain itu, 7% perusahaan milik perempuan dan 6% perusahaan milik laki-laki tidak mengetahui sebab tidak memenangkan pelelangan umum terakhirnya. Mekanisme sanggah di sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah satu upaya untuk menjamin transparansi . Di Indonesia, telah ada peraturan untuk pengajuan sanggah baik kepada panitia pengadaan maupun lembaganya dengan hak untuk membawanya
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
hingga ke pengadilan. Akan tetapi, survei ini menemukan bahwa mayoritas responden beranggapan bahwa penyampaian sanggah tidak akan efektif. Hanya 1 responden dalam studi ini yang pernah mengajukan sanggah terhadap keputusan panitia pengadaan. Yang lainnya tidak pernah mengajukan sanggah dan menyebutkan alasan-alasan berikut: 69% perusahaan milik perempuan dan 53% perusahaan milik laki-laki menganggap hal itu tidak berguna dan lebih suka menyimpan energi mereka karena merasa adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kurangnya transparansi dan takut dimasukan dalam daftar hitam. Patut dicatat bahwa perasaan-perasaan seperti itu jauh lebih lazim pada perusahaan milik perempuan. Sisanya menerima keputusan atau menyadari bahwa mereka tidak berhak memenangkan pelelangan, atau tidak tahu bagaimana cara mengajukan sanggah. Tabel 2.14. Karakteristik Perusahaan yang Pernah Menjadi Pemenang Pelelangan Pemerintah Karakteristik
Perusahaan milik perempuan (n=85)
Perusahaan milik laki-laki (n=84)
Lokasi kantor Rumah pemilik Kantor yang disewa Kantor milik pemilik
40 % 25 % 35 %
30 % 38 % 32 %
Badan Hukum CV PT
44 % 55 %
42 % 58 %
Jenis SIUP Besar Menengah Kecil
19 % 31 % 51 %
37 % 25 % 38 %
Jenis Usaha Jasa Konsultan Teknis Produksi barang tidak tahan lama Jasa Katering/Kebersihan Jasa Kontruksi Perdagangan Alat Kesehatan Jasa Konsultan Perdagangan Alat Tulis Perdagangan Umum Perdagangan Alat Berat/Kelistrikan Jasa Percetakan Perdagangan bahan bangunan/kimia Jasa Penyewaan/Keamanan/Perjalanan Produksi barang tahan lama
19 % 13 % 12 % 12 % 11 % 11 % 8 % 5 % 4 % 4 % 1 % 1 % 1 %
14 % 5% 6% 19 % 15 % 8 % 1 % 11 % 4% 6% 4% 2% 5%
Lainnya Omzet tahun 2011 (dalam jutaan rupiah) Rerata pekerja perempuan Rerata jumlah pemilik Keluarga sebagai pemilik Pemilik anggota asosiasi
5,409 32 % 2.5 52 % 56 %
30,241 19 % 2 35 % 58 %
33
“Idealnya dokumen pemenang tender dapat diakses oleh peserta lain, sehingga hasil evaluasi panitia pengadaan dapat transparan dan digunakan sebagai “amunisi” untuk mengajukan sanggah.” (Partisipan dalam FGD dengan para pengusaha laki-laki)
BAB 2 - HASIL
Gambar 2.9. AlasanTidak Mengajukan Sanggahan
34
Perusahaan milik laki-laki
53
Perusahaan milik perempuan
69
37
persentase
11
Percuma saja Bisa menerima keputusan
23
8
Tidak mengetahui prosedurnya
Temuan ini mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa banyak perusahaan milik perempuan tidak tertarik pada pelelangan umum pemerintah. Diskusi kelompok terfokus juga mengkonfirmasi hal ini. Laki-laki dan perempuan pemilik perusahaan mengatakan bahwa pengadaan secara elektronik belum transparan, namun mereka mengeluhkan kesulitan untuk memberikan bukti mengenai adanya KKN. Seperti yang diuraikan oleh seorang responden FGD mengenai mekanisme untuk penanganan sanggah, sebagian besar keluhan yang diajukan sejauh ini tidak mempunyai bukti yang kuat, dan sering kali hanya ungkapan kekecewaan para peserta lelang saja. 3. Alasan Tidak Berpartisipasi Dalam Pengadaan Pemerintah Proporsi perusahaan milik perempuan yang tidak tertarik dengan pengadaan pemerintah dan merasa bahwa persyaratan untuk tender terlalu rumit lebih tinggi dibanding perusahaan milik laki-laki. Separuh dari perusahaan milik perempuan yang tidak tertarik pengadaan pemerintah adalah perusahaan dengan SIUP kecil. Perusahaan ini cenderung merasa bahwa persyaratan menjadi penyedia terlalu rumit. Distribusi alasan mengapa beberapa perusahaan tidak mengikuti proses pengadaan pemerintah relatif sama antara perusahaan milik perempuan dan laki-laki. Tiga alasan utama yang sering disebutkan adalah: a. tidak tertarik; b. tidak yakin menang; dan c. korupsi, kolusi, nepotisme. Akan tetapi, ada beberapa perbedaan pada perusahaan milik laki-laki dan perempuan. Perusahaan milik perempuan jauh lebih banyak menyebutkan ‘tidak tertarik’ sebagai alasan mereka untuk tidak berpartisipasi (42% vs 30%). Mereka juga lebih percaya bahwa mereka tidak akan menang (30% vs 25%). Perempuan pemilik perusahaan juga lebih banyak menyebutkan bahwa mereka akan kesulitan memenuhi persyaratan dibanding laki-laki pemilik perusahaan (24% vs 15%).
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Di sisi lain, perusahaan milik laki-laki, dua kali lebih banyak yang menyatakan bahwa ‘hal itu membuang-buang waktu mereka’ (16% vs 7%). Selain itu, sekitar seperempat perusahaan milik perempuan percaya bahwa mereka tidak akan mendapat kontrak pengadaan dari pemerintah karena KKN, dan pelelangan umum hanyalah suatu proses formalitas, pemerintah telah memutuskan siapa pemenangnya. KKN juga dilaporkan oleh seperlima perusahaan milik laki-laki (21%) sebagai salah satu alasan untuk tidak berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah. Para peserta dalam diskusi kelompok terfokus menyampaikan pesan yang sama. Mereka merasa bahwa ada beberapa kelemahan yang dapat digunakan untuk mengakali sistem pengadaaan. Perusahaan yang lebih berpengalaman (para pemain lama) akan lebih tahu bagaimana melakukannya. Menurut seorang partisipan, suatu perusahaan dapat melobi tiga orang yang terlibat dalam proses pengadaan misalnya Kuasa Pemegang Anggaran (KPA), Unit Layanan Pengadaan (ULP), dan pengelola LPSE. Di antara mereka, unit yang paling penting ialah ULP karena mereka mempunyai otoritas untuk menentukan pemenang. Peserta tersebut menjelaskan lebih lanjut bahwa sulit untuk mengendalikan pemenang dengan metode seleksi yang termurah dibandingkan dengan metode seleksi merit poin. “Proses seleksi menggabungkan skor dari proposal teknis dan finansial (merit poin: 80:20). Metode ini membuka peluang kolusi karena individu yang berkepentingan di pemerintahan dan “pemain lama” dapat bekerja sama untuk menentukan poinpoin yang dijadikan penilaian,” jelas sang peserta. Integritas personel ULP menjadi kunci keberhasilan dalam mengidentifikasi praktik buruk di dalam sistem pengadaan. Meningkatkan kapasitas peserta pelelangan agar dapat memenuhi semua syarat adalah resep utama lainnya. Proporsi perusahaan yang menyebutkan bahwa ada terlalu banyak persyaratan dan proses yang rumit dalam pengadaan pemerintah lebih tinggi pada responden perusahaan milik perempuan (24%) dibanding perusahaan milik laki-laki (15%). Kecenderungan ini diperkuat dalam wawancara perorangan, seperti ketika seorang responden melukiskan lingkungan interaksi dengan ULP dan peserta pelelangan lainnya yang tidak bersahabat bagi perempuan. Lima persen perusahaan milik perempuan melaporkan diskriminasi gender sebagai alasan utama untuk tidak mengajukan penawaran dalam pelelangan umum pemerintah. Dalam diskusi kelompok terfokus, ada responden melaporkan kisah lainnya: Seorang responden mengatakan bahwa didalam perusahaannya (bekerja di sektor MICE /Meetings, incentives, conferences, and exhibitions) yang dimiliki oleh dua lakilaki dan dua perempuan, negosisasi biasanya dilakukan oleh para pemilik laki-laki, “Tetapi ini hanya karena saya tidak suka melakukan pembicaraan dan mitraku lebih bagus dalam bernegosisasi dengan panitia pengadaan dibanding aku.”
35
Tabel 2.15 menguraikan alasan-alasan selanjutnya yang disebutkan baik oleh perusahaan milik laki-laki maupun perusahaan milik perempuan untuk tidak berpartisipasi dalam pelelangan umum pemerintah..
BAB 2 - HASIL
Tabel 2.15. Alasan Tidak Mengikuti Pelelangan Umum Pemerintah
36
Alasan
Perusahaan milik perempuan
Perusahaan milik laki-laki
Non Tender (n=102)
Non Tender (n=100)
Tidak tertarik Tidak yakin menang KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) Sulit memenuhi persyaratan Kurang keahlian Harga pagu terlalu rendah Tidak punya modal Pelaporan merepotkan Paket pengadaan tidak sesuai Paket pengadaan terlalu besar Prosesnya terlalu menyita waktu Diskriminasi lainnya Diskriminasi Gender
42 % 30 % 25 % 24 % 21 % 16 % 14 % 11 % 7 % 7 % 7 % 7 % 5 %
30 % 25 % 21 % 15 % 19 % 10 % 16 % 12 % 6% 8% 16 % 1% 0%
4. Hambatan-hambatan untuk Berpartisipasi dalam Pengadaan Pemerintah Satu dari tiga responden merasa aturan dan persyaratan pengadaan barang dan jasa pemerintah terlalu banyak dan membingungkan. Para laki-laki dan perempuan pengusaha menyepakati secara umum mengenai hambatan utama untuk mengakses pengadaan yang didanai pemerintah (lihat Tabel 2.15). Kedua kelompok menyebutkan empat isu berikut sebagai hambatan utama mereka: 1) 2) 3) 4)
Terlalu banyak peraturan, SPSE membingungkan dan sering menyusahkan, Peraturan yang membingungkan dan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Secara khusus, sekitar 30%-39% dalam tiap kelompok melaporkan banyaknya peraturan yang tumpang-tindih dan menciptakan inkonsistensi sebagai sebagai alasan utama untuk tidak berpatisipasi dalam pengadaan pemerintah. Tiga dari empat perusahaan milik perempuan yang telah berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah melaporkan beberapa hambatan selama proses pengadaan, dengan distribusi yang sama dalam masing-masing jenis SIUP. Selain itu, perusahaan milik perempuan yang bekerja di sektor konstruksi melaporkan hambatan yang paling banyak dalam proses tender (24%), disusul dengan jasa katering/kebersihan (16%), penyedia peralatan medis dan obat-obatan (14%), jasa konsultan (12%), dan Jasa Konsultan Teknis proyek-proyek konstruksi (10%).
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tabel 2.16. Hambatan-hambatan untuk Berpartisipasi dalam Pengadaan Pemerintah Hambatan untuk mengikuti Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=101 n=102 n=203 n=103 n=100 n=203 Terlalu banyak aturan 30 % 36 % 33 % 30 % 39 % 34 % Peraturan membingungkan 13 % 33 % 23 % 18 % 27 % 23 % SPSE menyulitkan 24 % 10 % 17 % 25 % 11 % 18 % KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotism) 15 % 6 % 10 % 15 % 5 % 10 % Informasi terbatas 3 % 14 % 8 % 1 % 11 % 6 % Tidak punya modal 0 % 7 % 3 % 2 % 6 % 4 % Kapasitas internal terbatas 2 % 4 % 3 % 4 % 8 % 6 % Persyaratan membingungkan 3 % 2 % 2 % 4 % 7 % 5 % Harga terlalu rendah 1 % 2 % 1 % 1 % 0 % 0 % Pelaporan membingungkan 1 % 1 % 1 % 1 % 0 % 0 % Lainnya 7 % 5 % 6 % 7 % 8 % 7 %
Tidak ada perbedaan signifikan di antara perusahaan milik perempuan dan laki-laki mengenai alasan-alasan yang berkaitan dengan SPSE. Akan tetapi, pada kelompok perusahaan yang pernah mengikuti pelelangan pemerintah, keluhan akan SPSE yang membingungkan dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan yang tidak pernah mengikuti pelelangan umum. Menariknya, hambatan utama untuk berpatisipasi dalam pengadaan pemerintah tidak tampak mempunyai dimensi gender, dan tanggapan baik perusahaan milik laki-laki dan perempuan secara umum sama. Akan tetapi, terbatasnya akses kepada informasi masih dilaporkan oleh perusahaan milik perempuan yang pernah mengikuti pelelangan (14%) sebagai suatu isu yang lebih besar daripada oleh perusahaan milik laki-laki (hanya 1%), yang mengindikasikan hambatan-hambatan terkait gender dalam mengakses informasi pada pelelangan umum pemerintah Menurut Survei Perusahaan oleh Bank Dunia tahun 2011, perusahaan besar lebih dipengaruhi oleh korupsi di Indonesia. Tiga puluh lima persen perusahaan besar, 13% perusahaan berukuran kecil dan 28% berukuran sedang pernah diminta untuk menyuap. Perusahaan besar menghadapi kesulitan yang sama untuk mendapatkan pasokan listrik atau izin pembangunan. Lagipula, kepercayaan bahwa sistem peradilan yang jujur dan tidak korupsi lebih rendah di kalangan perusahaan besar daripada perusahaan-perusahaan kecil (52% vs. 71%).
37
Dalam studi ini, adanya korupsi dilaporkan sebagai isu yang lebih sering disebut oleh perusahaan-perusahaan yang pernah mengikuti pelelangan umum atau menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah (angka ini dua kali lipat dibanding perusahaan-perusahaan yang tidak mengikuti proses pengadaan). Suatu jumlah responden yang signifikan (15% perusahaan-perusahaan milik perempuan maupun laki-laki) melaporkan bahwa korupsi adalah salah satu alasan utama mereka untuk tidak berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah. Para responden diskusi kelompok terfokus juga menyebutkan bahwa meskipun pengadaan secara elektronik merupakan suatu cara efektif untuk mengurangi korupsi, akan tetapi, masih tersisa “ruang” untuk bermanuver.
BAB 2 - HASIL
.
38
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
C.
Pengalaman sebagai Penyedia
Sembilan dari sepuluh responden perusahaan (baik milik perempuan maupun laki-laki) yang pernah mengikuti pelelangan umum ternyata juga pernah mempunyai pengalaman sebagai penyedia barang dan jasa pemerintah dalam 5 tahun terakhir. Bidang usaha dari perusahaan milik perempuan yang pernah menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah adalah dari yang paling banyak adalah Jasa Konsultan Teknis (18%), jasa konstruksi (14%), produksi barang tidak tahan lama (14%), dan katering (12%). Sedangkan untuk perusahaan milik laki-laki berupa jasa konstruksi (18%), Perdagangan Alat Kesehatan (15%) serta konsultan teknis (13%). Gambar 2.10. Distribusi Jenis Usaha Perusahaan Yang Pernah Jadi Penyedia Dalam 5 Tahun Terakhir
Perusahaan milik laki-laki (n=92) Produksi barang tahan lama Perdagangan bahan bangunan/kimia Jasa Percetakan Jasa Penyewaan/Keamanan/Perjalanan Perdagangan Alat Berat/Kelistrikan
Perusahaan milik perempuan (n=93) 3 1 4 1 5 2 4 2 6 3
39
9 4
Perdagangan Umum Perdagangan Alat Tulis Perdagangan Alat Kesehatan Jasa Konsultan Jasa Katering/Kebersihan Produksi barang tidak tahan lama Jasa Kontruksi Jasa Konsultan Teknis
2 8 15 10 8 11 8 12 5 14 18 14 13 18
Hampir dua pertiga (61%) perusahaan milik perempuan menyatakan bahwa paket pengadaan barang dan jasa terakhir bagi instansi pemerintah diperoleh melalui pelelangan umum, sementara hanya 56% dari perusahaan milik laki-laki yang mendapatkan kontrak melalui metode yang sama. Hal ini mengindiksaikan bahwa perusahaan milik perempuan mampu bersaing dan jika pengadaan barang dan
jasa pemerintah lebih transparan dan lebih dapat diakses, perusahaan milik perempuan mungkin bisa mendapat peluang yang lebih baik. Oleh karena itu, peningkatan transparansi dan akses kepada informasi yang yang lebih baik akan membantu secara signifikan meningkatkan akses perusahaan milik perempuan terhadap informasi pengadaan pemerintah, karena perusahaan-perusahaan milik perempuan terbukti mampu bersaing melalui lelang umum. Gambar 2.11. Distribusi Metode Pengadaan Ketika Terakhir Kali Menjadi Penyedia persentase
Perusahaan milik laki-laki (n=89)
52
35
Pelelangan Umum
6
3 3
Pengadaan Langsung Penunjukan Langsung
Perusahaan milik perempuan (n=93)
61
30
Seleksi Umum
6
10
Pelelangan Terbatas
BAB 2 - HASIL
Pelelangan Sederhana
40
Lebih dari separuh (58%) perusahaan milik perempuan yang mendapat kontrak melalui pelelangan umum pemerintah, mempunyai SIUP kecil, sementara di kalangan perusahaan milik laki-laki, distribusinya relatif sama dalam tipe SIUP masing-masing, yakni 39% di kalangan SIUP besar, 26% SIUP sedang and 35% SIUP kecil. Hal ini mencerminkan fakta bahwa mayoritas perusahaan milik perempuan yang pernah mengikuti pelelangan umum dan menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah adalah perusahaan-perusahaan dengan SIUP kecil. Berdasarkan jenis usaha, di kalangan perusahaan milik perempuan yang pernah menjadi penyedia melalui lelang umum, proporsi tertinggi adalah perusahaan jasa konsultan teknis konstruksi (25%), jasa konstruksi (16%), dan produksi barang tidak tahan lama (12%). Sedangkan pada perusahaan milik laki-laki, persentase tertinggi berasal dari perusahaan jasa konstruksi (24%), disusul oleh penyedia peralatan kesehatan (20%) dan konsultan teknis (13%). Metode pengadaan kedua tertinggi adalah penunjukan langsung. Persentase perusahaan milik perempuan (30%) yang pernah ditunjuk secara langsung sebagai penyedia lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan milik laki-laki (35%). Menariknya, ketika 39% perusahaan milik laki-laki yang menerima penunjukan langsung adalah perusahaan besar, hanya 18% dari perusahaan milik perempuan yang menerima penunjukan langsung adalah perusahaan besar — umumnya perusahaan milik perempuan yang mendapatkan penunjukan langsung adalah perusahaan yang lebih kecil.
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tabel 2.17. Jenis Usaha dan SIUP Perusahaan Yang Menjadi Penyedia Melalui Pelelangan Umum dan Penunjukan Langsung Alasan
Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Penunjukan Tender Penunjukan (n=57) (n=28) (n=46) (n=31)
Jenis SIUP Besar Menengah Kecil
21 % 21 % 58 %
18 % 46 % 36 %
39 % 26 % 35 %
39 % 26 % 35 %
Jenis Usaha Jasa Konsultan Teknis Jasa Kontruksi Produksi barang tidak tahan lama Perdagangan Alat Kesehatan Jasa Katering/Kebersihan Perdagangan Alat Tulis Jasa Konsultan Perdagangan Umum Perdagangan Alat Berat/Kelistrikan Jasa Penyewaan/Keamanan Jasa Percetakan Produksi barang tahan lama Perdagangan bahan bangunan/kimia
25 % 16 % 12 % 11 % 9 % 7 % 7 % 5 % 4 % 2 % 2 % 2 % 0 %
11 % 4 % 21 % 11 % 21 % 7 % 14 % 4 % 4 % 0 % 4 % 0 % 0 %
13 % 24 % 7 % 20 % 4 % 0 % 9 % 4 % 2 % 2 % 7 % 4 % 4 %
13 % 3 % 3 % 16 % 13 % 0% 10 % 13 % 10 % 6 % 6 % 3 % 3%
Para peserta diskusi kelompok terfokus melaporkan bahwa sebagian besar pernah mendapat paket pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui metode penunjukan langsung. Penunjukan langsung lebih disukai oleh sebagian perusahaan yang merasa tidak cukup “mampu bersaing” dan dianggap sebagai jawaban bagi kerumitan proses pelelangan umum. Seorang peserta diskusi kelompok terfokus melaporkan persyaratan yang memberatkan yang tidak memungkinkan perusahaan kecil memenuhi kualifikasi dan menjadi pemenang. Contohnya, dalam sektor konsultansi, untuk berpartisipasi dalam proses pelelangan umum, bahkan untuk kategori perusahaan kecil, diwajibkan mempunyai konsultan/tenaga ahli tetap. Perusahaan kecil tidak dapat memenuhi hal ini karena mereka membayar para tenaga ahli berdasarkan kebutuhan pekerjaan, dan akan merugikan bila mempunyai para tenaga ahli yang bekerja penuh-waktu untuk perusahaan itu. “Saya menyadari bahwa tidak memiliki kapasitas untuk menang dalam tender pemerintah. Saya akan memilih untuk penunjukan langsung,” kata salah seorang responden. Strategi ini, bagaimana pun, sangat membutuhkan kapasitas dalam “melobi” dan jejaring kerjasama dengan pejabat pemerintah, bukan hanya kapasitas teknis. Ini wilayah di mana perempuan pengusaha melaporkan dalam diskusi kelompok terfokus tentang keraguraguan untuk terlibat lebih jauh, mereka menyatakan cenderung menyerahkan hal seperti itu kepada mitra bisnis atau staf laki-laki.
41
Salah satu responden merasa bahwa pengguna (pemerintah) lebih suka berbicara dengan laki-laki daripada perempuan. “Saya bekerja pada bisnis pengendalian hama. Semua staf saya adalah laki-laki kecuali tiga perempuan untuk pekerjaan administrasi. Ketika saya bernegosiasi dengan staff pemerintah, dulu saya pernah ditanya “Apakah benar Anda direkturnya?” Tidakkah kamu tidak merasa malu bekerja dengan hama?” Tampaknya mereka tidak percaya pada saya bekerja di sektor tersebut. Ketika saya minta ayah saya untuk menolong saya bernegosiasi, semua berjalan seperti biasa, tetapi ketika saya mengundang mereka ke pertemuan, mereka berkata, “Ok, dimana kita akan makan siang?” Jadi saya merasa sedikit dilecehkan dan memutuskan untuk tidak melakukan negosiasi itu”
BAB 2 - HASIL
1. Manfaat sebagai Penyedia Barang dan Jasa Pemerintah
42
Perusahaan milik perempuan merasa bahwa meningkatkan keuntungan dan reputasi perusahaan adalah keuntungan terbesar sebagai penyedia barang dan jasa pemerintah. Selain itu 54% perusahaan milik perempuan menyatakan pendapatan yang stabil sebagai suatu keuntungan, dibandingkan dengan 37% perusahaan milik laki-laki, meskipun proporsi pendapatan dari pengadaan pemerintah di kedua kelompok relatif sama (42% perusahaan milik perempuan dan 40% perusahaan milik laki-laki). Untuk perusahaan milik perempuan, keuntungan signifikan lainnya adalah meningkatnya reputasi perusahaan. Lima puluh sembilan persen perusahaan milik perempuan menganggap ini sebagai keuntungan, dibandingkan dengan 47% perusahaan milik laki-laki. Tabel 2.18. Manfaat Sebagai Penyedia Menurut Metode Pengadaan Saat Terakhir Menjadi Penyedia Manfaat sebagai Penyedia Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Penun Semua Tender Penun Semua jukan jukan n=57 n=28 n=85 n=46 n=31 n=77 Persepsi Peningkatan pendapatan dan keuntungan 60 % 64 % 59 % 63 % 65 % 61 % Meningkatkan reputasi perusahaan 63 % 61 % 59 % 46 % 58 % 47 % Pendapatan yang stabil 58 % 50 % 54 % 39 % 35% 37 % Menambah variasi produk/jasa 26 % 29 % 25 % 20 % 32 % 22 % Meningkatkan volume usaha 25 % 32 % 25 % 20 % 32 % 22 % Omzet Rerata omzet 2011 (dalam jutaan rupiah) % Omzet dari kontrak sebagai penyedia
6,617 5,607 5,722 42 % 34 % 42 %
42,336 19,022 25,508 43 % 34 % 40 %
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Rerata omzet tahun 2011 antara perusahaan yang terakhir kali menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah melalui lelang umum lebih tinggi dari pada perusahaan yang mendapatkan kontrak pengadaan terakhir melalui penunjukan langsung. Rasio ini lebih tinggi diantara perusahaan milik laki-laki (2,2 : 1) dibandingkan dengan perusahaan milik perempuan (1,2 : 1). Perusahaan yang pernah mengikuti pelelangan umum menerima peluang menjadi penyedia yang berulang. Perusahaan milik laki-laki yang pernah memenangkan pelelangan umum memiliki rerata 2,5 proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam dua belas bulan terakhir, sedangkan pada perusahaan milik perempuan rerata 2,7 proyek pengadaan. Proyekproyek tersebut memberikan kontribusi yang signifikan (hingga 40%) terhadap pendapatan tahunan mereka. Bahkan, hal ini memberikan kontribusi untuk stabilitas pendapatan bagi perusahaan, baik untuk perusahaan milik perempuan dan laki-laki. Ini menunjukkan tingginya nilai dalam mempromosikan kesempatan-kesempatan menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah pada sejumlah besar perusahaan-perusahaan, terutama di antara perusahaan milik perempuan, sebagai sumber pertumbuhan dan kestabilan usaha. 2. Hambatan sebagai Penyedia Perusahaan milik perempuan menyatakan bahwa “pembayaran” dan “faktor internal” adalah hambatan terbesar mereka sebagai penyedia barang dan jasa pemerintah, dan mereka lebih mungkin menyatakan kesulitan-kesulitan tersebut daripada perusahaan milik laki-laki (lihat Tabel 2.19). Pada saat yang sama, perusahaan milik laki-laki jauh lebih mungkin menyatakan “waktu yang terbatas” untuk memenuhi kewajiban sebagai penyedia barang dan jasa pemerintah sebagai hambatan (16% vs 3% perusahaan milik perempuan menyatakan ini sebagai suatu hambatan). Di antara kedua kelompok, perusahaan yang mendapatkan kontrak melalui penunjukan langsung melaporkan lebih sedikit masalah dalam memenuhi kewajiban kontrak pengadaan mereka dibandingkan dengan perusahaan yang mendapatkan kontrak pengadaan melalui lelang umum. Tabel 2.19. Hambatan Terbesar Saat Terakhir Kali Menjadi Penyedia Hambatan Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Penun Semua Tender Penun Semua jukan jukan n=55 n=27 n=82 n=45 n=30 n=75 Tidak ada Pembayaran Masalah internal (kapasitas produksi /Sumberdaya/modal) Faktor eksternal (cuaca/proses/impor & vendor) Lainnya Administrasi Keterbatasan waktu
24 % 33 % 24 % 27 % 11 % 21 %
20 % 37 % 26 % 9 % 20 % 13 %
11 % 11 % 16 % 7 % 4 %
11 % 16 % 20 % 13 % 11 %
11 % 15 % 11 % 19 % 0 %
14 % 11 % 16 % 10 % 3 %
3 % 17 % 0 % 7 % 17 %
9% 15 % 11 % 10 % 16 %
43
BAB 2 - HASIL
Di antara perusahaan milik perempuan, penyelesaian pembayaran dilaporkan sebagai suatu persoalan oleh perusahaan yang mendapat kontrak terakhirnya melalui pelelangan umum daripada melalui penunjukan langsung (27% yang melalui pelelangan umum dibandingkan dengan 11% yang melalui penunjukkan langsung). Sedangkan pada kelompok responden perusahaan milik laki-laki, masalah penyelesaian pembayaran dilaporkan lebih sering di antara perusahaan yang memenangkan kontrak terakhir mereka melalui penunjukan langsung (20% dibandingkan dengan 9%).
44
Secara keseluruhan, perusahaan dengan SIUP kecil 3,5 kali lebih mungkin mengalami hambatan dalam menyelesaikan kewajiban administrasi sebagai penyedia pemerintah dari pada perusahaan dengan SIUP lebih besar (13% vs 4%). Mereka hampir dua kali lebih mungkin untuk menyatakan faktor internal sebagai hambatan (14% vs 8%). Perusahaan dengan SIUP kecil sedikit lebih banyak menyebutkan mekanisme pembayaran pemerintah sebagai suatu hambatan (23% vs. 17%). Sebaliknya, 4,4 kali lebih banyak perusahaan dengan SIUP yang lebih besar menemukan bahwa hambatan eksternal seperti berurusan dengan penyedia, cuaca dan proses impor yang menjadi masalah, dibandingkan dengan perusahaan dengan SIUP lebih kecil (26% vs 6%). Masalah-masalah yang dilaporkan ini kemungkinan berhubungan dengan jenis paket pengadaan yang dikerjakan perusahaan besar dan kecil, dan perbedaan-perbedaan jenis kontrak yang mereka menangkan.
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
D. Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) 1. Persepsi Terhadap SPSE Sekitar 9 dari 10 perusahaan yang pernah mengikuti sistem pengadaan secara elektronik merasa bahwa sistem tersebut mempermudah dan memperbaiki proses pengadaan. Tabel 2.20. Persepsi Terhadap Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Persepsi Responden Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender Persepsi terhadap SPSE n=101 n=102 n=203 n=103 n=100 n=203 Mempermudah 68 % 31 % 50 % 84 % 30 % 58 % Mempersulit 9 % 3 % 6 % 6 % 1 % 3 % Tidak pernah menggunakan 23 % 66 % 44 % 10 % 69 % 39 % Persepsi SPSE vs Sistem Manual Lebih baik Lebih buruk Sama saja
n=78 n=35 n=113
n=93 n=31 n=124
77 % 74 % 76 % 5 % 6 % 5 % 18 % 20 % 19 %
84 % 81 % 83 % 2 % 0 % 2 % 14 % 19 % 15 %
Persepsi metode pengadaan yang lebih baik n=78 n=35 n=113 Bertemu langsung panitia 47 % 51 % 49 % Secara elektronik 50 % 37 % 46 % Tidak tahu 3 % 11 % 5 %
n=93 n=31 n=124
59 % 42 % 55 % 37 % 45 % 39 % 4 % 13 % 6 %
SPSE juga dirasakan lebih baik daripada sistem manual oleh mayoritas kedua kelompok perusahaan, meskipun demikian persentase perusahaan milik perempuan (77%) yang merasa SPSE lebih baik sedikit lebih rendah dibanding perusahaan milik laki-laki (84%). Perusahaan milik perempuan yang melaporkan proses SPSE yang cukup sulit lebih banyak dibanding perusahaan milik laki-laki (9% vs 3%). Diantara perusahaan pernah mengikuti pelelangan umum, 23% perusahaan milik perempuan menyatakan tidak pernah menggunakan sistem pengadaan elektronik, dua kali lipat dari perusahaan milik laki-laki (10%). Data ini menarik karena akses internet antara perusahaan milik perempuan dan laki-laki tidak berbeda (78% perusahaan milik perempuan dan 77% perusahaan milik lakilaki melaporkan selalu memiliki akses internet di kantor mereka dan hampir setengah dari mereka memiliki situs internet perusahaan). Hal ini menunjukkan potensi yang tinggi dan ruang untuk mendidik dan membuat perusahaan milik perempuan terbiasa dengan proses SPSE. Temuan yang menarik, perusahaan laki-laki juga lebih banyak memilih pertemuan langsung, dengan panitia pengadaan. Meskipun SPSE dirasa lebih baik daripada sistem
45
manual, hampir setengah responden (47% perusahaan milik perempuan dan 59% perusahaan milik laki-laki) masih lebih memilih bertemu secara langsung dengan ULP/ Panitia Pengadaan. Ini merupakan temuan menarik bahwa persentase perusahaan milik perempuan yang berpartisipasi dalam tender pemerintah dan lebih memilih SPSE lebih tinggi daripada perusahaan milik laki-laki dalam kategori yang sama.
2. Persyaratan sebagai Penyedia Pemerintah Perusahaan milik perempuan, yang menyebut prosedur dan persyaratan pengadaan barang/jasa pemerintah menyulitkan, lebih sedikit dibanding dengan perusahaan milik laki-laki. Gambar 2.12. Responden yang Merasa Ada Persyaratan Pengadaan yang Menyulitkan Perusahaan milik perempuan
46
Lebih jauh, menurut peserta diskusi, transisi dari prosedur manual ke prosedur SPSE merupakan perubahan yang sangat positif dalam sistem pengadaan. Pada waktu lalu, dengan prosedur manual, instansi pemerintah memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan pemenang dari proses pelelangan, terlepas dari kualitas peserta yang mengajukan penawaran dan metode pengadaan. Sekarang ini, dengan SPSE, keputusan pertama dibuat berdasarkan harga termurah dan jika penawar harga lebih tinggi dipilih, justifikasi yang kuat harus dibuat dan diumumkan. “Melihat hanya dengan harga termurah mungkin tidak akurat, terutama karena panitia penyeleksi tidak berkewajiban untuk memeriksa keaslian dokumen pendukung,” kritik salah satu responden.
Perusahaan milik laki-laki
BAB 2 - HASIL
Peserta diskusi kelompok terfokus sangat menghargai SPSE dalam hal mengurangi beban administrasi. Mereka semua sepakat bahwa persyaratan administrasi dapat dengan mudah dipenuhi oleh perusahaan milik perempuan ataupun laki-laki. Selain itu, SPSE yang sekarang dirasa semakin obyektif. Namun, mereka juga mengatakan bahwa masih ada beberapa celah untuk mengakali sistem.
Tender (n=101)
32%
Non-Tender (n=102)
39%
Tender (n=103)
39%
Non-Tender (n=100)
41%
Secara keseluruhan, perusahan dengan izin usaha lebih kecil menyatakan bahwa mereka mempunyai lebih banyak kesulitan untuk memenuhi persyaratan sebagai penyedia, di mana persentase perusahaan dengan izin usaha besar, menengah, dan kecil yang merasa kesulitan secara berurutan adalah 35%, 37% and 40%. Kesulitan dalam memenuhi persyaratan administrasi (69%) dalam menjadi penyedia dicatat lebih sering daripada persyaratan teknis (31%).
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Perusahaan milik perempuan (74%) lebih banyak menyebut persyaratan administrasi sulit daripada perusahaan milik laki-laki (65%). Persyaratan administrasi yang paling sering dianggap mempersulit proses adalah jaminan bank, menjadi anggota asosiasi, dan berpengalaman menjadi penyedia barang/jasa pemerintah. Persyaratan menjadi anggota asosiasi tertentu dan berpengalaman penyedia pemerintah khususnya merugikan perusahaan milik perempuan karena mereka mungkin tidak banyak menjadi anggota asosiasi. Lebih jauh, studi ini menunjukkan, perusahaan milik perempuan kurang mendapatkan kontrak pemerintah di waktu lalu, persentase mereka hanya 5% dari total penyedia yang dihubungi pada tahap awal studi ini. Adapun persyaratan teknis, sertifikasi, dan jumlah tenaga ahli, tingkat komponen dalam negeri dari barang yang ditawarkan, spesifikasi dan jaminan penjualan, juga dilaporkan sebagai hal yang sulit dipenuhi.
E. Peningkatan Kapasitas Perusahaan milik perempuan cenderung lebih sedikit menghadiri pelatihan atau sosialisasi peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah daripada perusahaan milik laki-laki.
Perusaan milik perempuan
Perusaan milik laki-laki
Gambar 2.13. Cakupan Pelatihan dan Sosialisasi Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Total (n=203) Non Tender (n=100)
20
Non Tender (n=102) Tender (n=101)
64
6 7
87
34
Tender (n=103)
Total (n=203)
16
19
Hanya sosialisasi Tidak pernah
24 7
Pelatihan
42
persentase
74
25
93 37
10
53
Salah satu kendala dalam penggunaan SPSE adalah kurangnya keterampilan dan pemahaman terhadap proses pengadaan. Survei ini menemukan bahwa hanya sepertiga perusahaan milik perempuan dan laki-laki pernah berpartisipasi dalam pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah. Enam puluh empat persen perusahaan laki-laki dan 74% perusahaan perempuan pernah menghadiri pelatihan tersebut. Jumlah yang tidak mengikuti pelatihan lebih tinggi di antara perusahaan yang tidak pernah berpartisipasi dalam tender pemerintah: hampir 9 dari 10 perusahaan yang tidak pernah berpartisipasi dalam pelatihan atau sosialisasi sistem pengadaan dan persentase semakin tinggi pada perusahaan milik perempuan.
47
Tabel 2.21 menyajikan ringkasan persepsi responden tentang topik pelatihan yang penting bagi mereka. Studi ini secara konsisten menunjukkan minat perusahaan milik perempuan dan laki-laki untuk informasi tambahan mengenai peluang UKM dalam mengakses pengadaan pemerintah, diikuti dorongan bagi kemitraan antara perusahaan kecil dan besar. Tabel 2.21. Program/Kegiatan Yang Dibutuhkan Untuk Meningkatkan Kapasitas
BAB 2 - HASIL
Program/kegiatan yang dibutuhkan Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=98 n=96 n=194 n=96 n=98 n=194
48
Pelatihan/sosialisasi tentang peraturan Informasi pengadaan yang lebih mudah diakses Peningkatan sistem pembayaran dan menghapus jaminan penawaran SPSE yang lebih baik dan pelatihannya Proses yang transparan dan bebas KKN Mentoring agar bisa memenuhi persyaratan Belum membutuhkan
41 % 35 % 38 % 8 % 16 % 12 %
35 % 40 % 38 % 10 % 12 % 11 %
9 %
11 % 10 %
7 %
14 % 11 %
15 % 9 % 7 % 10 %
5 % 7 % 10 % 15 %
16 % 13 % 8 % 10 %
2 % 8 % 7 % 16 %
10 % 8 % 9 % 12 %
9% 10 % 8% 13 %
Peningkatan kapasitas yang secara khusus melihat kendala yang dihadapi perempuan telah dilakukan oleh berbagai donor, LSM, dan Pemerintah Indonesia. Satu contoh adalah progam Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang disebut PERKASA, yang tujuannya adalah: 1. 2. 3.
Memperkuat kegiatan ekonomi perempuan Memperluas akses terhadap modal bagi perempuan yang terlibat dalam usaha kecil dan menengah Kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan bagi perempuan
Namun, sepanjang pengetahuan kami, tidak ada peningkatan kapasitas yang secara khusus disesuaikan untuk membantu perusahaan milik perempuan untuk lebih baik memahami peraturan dan persyaratan proses pengadaan pemerintah yang dilakukan saat ini. Mengingat temuan di atas, pelatihan-pelatihan seperti itu akan memberikan kontribusi yang besar. Dalam hal topik pelatihan yang diinginkan dan kegiatan peningkatan kapasitas lainnya, seperti digambarkan di Tabel 2.22, peluang usaha bagi UKM dan informasi mengenai proses pengadaan adalah dua topik utama yang diusulkan oleh responden di seluruh kelompok. Bagaimana mengembangkan kemitraan dengan perusahaan besar secara konsisten diusulkan sebagai satu topik oleh perusahaan yang belum pernah berpartisipasi dalam proses tender. Hal ini menunjukkan nilai dari mempromosikan pemberdayaan bagi perusahaan yang belum pernah mengikuti pelelangan pemerintah melalui pengembangan kemitraan dengan perusahaan besar.
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tabel 2.22. Topik Pelatihan Materi pelatihan Perusahaan milik perempuan Perusahaan milik laki-laki Tender Non Total Tender Non Total Tender Tender n=101 n=102 n=203 n=103 n=100 n=203 Tertarik mengikuti pelatihan Bagaimana mendapatkan informasi pengadaan Strategi untuk menjadi penyedia barang/jasa pemerintah Persyaratan minimum menjadi penyedia Sistem Pengadaan Secara Elektronik Proses mengajukan sanggah
86 % 54 % 70 % 62% 50 % 56 %
79 % 65 % 72 % 47 % 59 % 53 %
57 % 44 % 51 %
54 % 54 % 54 %
41 % 47 % 44 % 63 % 41 % 52 % 49 % 29 % 39 %
32 % 50 % 41 % 41 % 50 % 47 % 39 % 41 % 40 %
49
50 BAB 3 - Kesimpulan dan Rekomendasi
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia: Ringkasan Hasil Survei tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
BAB 3
Kesimpulan dan Rekomendasi
51
Bab 3 Kesimpulan dan Rekomendasi
BAB 3 - Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Kesimpulan
52
Survei ini telah menunjukkan sejumlah kesenjangan gender dan peluang yang mungkin dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan perusahaan milik perempuan dan laki-laki, baik berukuran besar dan kecil untuk mengakses peluang tender pemerintah. Karena survei tidak mengambil sampel secara acak dari semua perusahaan dan memiliki bias wilayah, maka temuan-temuan ini mungkin tidak mewakili semua situasi populasi perusahaan di Indonesia. Dukungan tambahan kepada perusahaan milik perempuan akan memberi manfaat yang besar kepada perusahaan milik perempuan, mengingat baru 5% dari peserta pelelangan umum pemerintah yang memenuhi kategori sebagai perusahaan milik perempuan, dan dengan nilai paket pengadaan yang lebih kecil daripada perusahaan milik laki-laki. Pada saat yang sama, perusahaan milik perempuan menunjukkan potensi yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dan secara khusus meningkatkan peluang kerja bagi perempuan lain, mengingat kecenderungan perusahaan milik perempuan untuk mempekerjakan perempuan lain dalam perusahaan mereka. Dengan tingkat partisipasi angkatan kerja bagi perempuan Indonesia yang cukup rendah yakni 45%, ini seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah. Memiliki izin usaha (SIUP) jelas merupakan masalah yang sangat penting terlebih pada perusahaan milik perempuan. Survei ini menunjukkan bahwa salah satu faktor penentu keberhasilan partisipasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah diantara perusahaan milik perempuan adalah ukuran SIUP – dimana perusahaan besar mengalami keberhasilan lebih tinggi. LKPP, dengan dukungan dari MCA-Indonesia dan MCC, saat ini sedang melaksanakan Proyek Modernisasi Pengadaan, dan hasil survei menunjukkan sejumlah peluang dan tindak lanjut untuk proyek tersebut. Pada saat yang sama, berbagai lembaga donor, instansi
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
pemerintah, serta sektor swasta mempunyai kepentingan dalam mendukung potensi dan kewirausahaan perempuan, dan meningkatkan peran perusahaan milik perempuan sebagai penyedia barang/jasa pemerintah. Serangkaian tindakan yang kami usulkan di bawah ini adalah pembelajaran utama dari hasil studi yang ditujukan pada berbagai pemangku kepentingan. Sebagian besar rekomendasi ditujukan kepada pemerintah sebagai penerima utama laporan ini, namun kami juga menyertakan rekomendasirekomendasi bagi pihak lain yang juga memiliki kepentingan.
B. Rekomendasi Pemerintah (LKPP dan lembaga terkait lainnya): n
Mengadopsi definisi resmi tentang perusahaan milik perempuan. Setelah definisi resmi disepakati oleh pemerintah, definisi itu sebaiknya dimasukkan dalam sistem data yang dapat melacak akses terhadap peluang kontrak pemerintah, dengan pembagian jenis kelamin pemilik perusahaan yang dimasukkan pada aplikasi penyedia berkala dan dilaporkan oleh badan yang relevan, seperti ULP atau instansi pemerintah pengadaan barang/jasa.
n
Secara teratur melaporkan dan mempublikasikan data terpilah untuk melihat sejauh mana perusahaan milik perempuan dan lakilaki menerima tender pemerintah. Pada saat ini, informasi ini belum dikumpulkan, yang menyebabkan adanya kesenjangan informasi dan keterbatasan pemerintah untuk mengambil tindakan yang sesuai. Publikasi laporan ini tidak hanya akan membantu mengurangi kesenjangan informasi, tetapi juga meningkatkan transparansi dan memungkinkan pemahaman yang lebih akurat tentang hambatan yang dapat mengurangi partisipasi aktif perusahaan milik perempuan.
n
Meningkatkan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai sarana untuk meningkatkan partisipasi perempuan. Data survei menunjukkan bahwa perusahaan milik perempuan lebih banyak mendapat kontrak mereka melalui lelang umum daripada perusahaan milik laki-laki, sementara perusahaan milik laki-laki lebih memungkinkan mendapat kontrak melalui penunjukan langsung.
n
Perbaikan yang berkelanjutan sistem pengadaan secara elektronik (SPSE) sangat direkomendasikan karena dianggap lebih baik daripada sitem manual. Penegakan peraturan tentang integritas PNS dibutuhkan untuk memastikan kualitas sistem pengadaan secara elektronik karena setengah dari responden masih menganggap pertemuan secara langsung dengan Panitia Pengadaan/ULP penting dan berharga.
53
Lebih aktif menghubungkan perusahaan besar dengan UKM, dan meningkatkan pelaksanaan Peraturan Presiden No.70/2012. Hal ini akan membantu menegakkan peraturan yang ada dan mendukung perusahaan lebih kecil, dimana perusahaan milik perempuan lebih memungkinkan ditemukan, untuk mendapatkan keuntungan dari peluang-peluang kontrak.
n
Melaksanakan peningkatan kapasitas yang menyasar lebih banyak perusahaan milik perempuan. Penelitian kami jelas menunjukkan kesenjangan pengetahuan dan keyakinan dalam menangani dan berinteraksi dengan proses pengadaan. Penjangkauan ke dan pelatihan bagi komunitas perempuan pengusaha, untuk mengungkapkan dan mengklarifikasi proses, akan membantu mengatasi hambatanhambatan ini.
n
Memfasilitasi dialog yang berkelanjutan dan mengembangkan hubungan yang lebih formal antara perusahaan milik perempuan dan asosiasi bisnis perempuan dan badan pemerintah, termasuk ULP. Memfasilitasi dan memungkinkan asosiasi perempuan terkait dengan instansi pemerintah dan unit pengadaan barang/ jasaakan meningkatkan pertukaran informasi, memungkinkan kebutuhan komunitas bisnis perempuan didengar, dan juga memperkuat kemampuan perempuan untuk mengambil keuntungan melalui hubungan-hubungan ini.
BAB 3 - Kesimpulan dan Rekomendasi
n
Perusahaan milik perempuan
54
n
Lebih proaktif dalam asosiasi bisnis karena keanggotaan dalam asosiasi meningkatkan jaringan dan akses ke informasi yang dapat membawa keberhasilan dalam memenangkan tender pemerintah. Penguatan kualitas asosiasi bisnis dan partisipasi perempuan dalam kelompok ini adalah cara yang strategis dalam meningkatkan akses perusahaan pada informasi serta target peningkatan kapasitas untuk mengatasi hambatan-hambatan yang diidentifikasi dalam survei.
n
Membantu pemerintah meningkatkan sistem pengadaan dengan aktif memberikan umpan balik yang diajukan secara anonim.
n
Memperoleh manfaat dari berbagai sesi diskusi untuk berbagi informasi dan peningkatan kapasitas yang ditawarkan untuk meningkatkan pendidikan dan pengetahuan tentang bagaimana berkompetisi yang lebih baik untuk mendapatkan kontrak.
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Mitra Pembangunan n Mendukung reformasi kebijakan dan peningkatan kapasitas untuk meningkatkan kebijakan dan praktek pengadaan barang/jasa dan meningkatkan transparansi dan kejujuran. Penelitian baru-baru ini mengenai politik ekonomi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah menyoroti kecenderungan kemunduran transparansi, dan meningkatnya politik korupsi. Hal ini penting bagi lembaga bantuan untuk terus bekerja dengan pemerintah pada semua tingkat – nasional, provinsi, dan kabupaten – untuk mempromosikan kinerja pemerintah yang transparan. Ini juga dapat mencakup performa kerja pada isu seperti mekanisme penanganan sanggah atau pengumpulan data terpilah. n
Mendukung peningkataan kapasitas yang berfokus pada perusahaan milik perempuan dan meningkatkan kemampuan mereka untuk memahami dan berkompetisi lebih efektif pada peluang-peluang kontrak di sektor swasta maupun pemerintah.
n
Mendukung penguatan asosiasi bisnis perempuan dan peluang jaringan. Sebagaimana data kami menunjukkan, keanggotaan asosiasi penting untuk jaringan dan mencari tahu peluang-peluang yang tersedia. Akan tetapi perusahaan milik perempuan lebih sedikit terlibat dalam asosiasi seperti itu, sehingga sering kehilangan kesempatan yang ada.
55
Lampiran Referensi
56
Anwar, Sri Danti. 2009. “The Role of Women in SMEs in Indonesia.” .Chapter excerpted from: “The Role of SMEs in Poor Power Empowerment: Lessons Learned and Sharing Experiences.” APEC, ATCWG.. Berninghausen, Jutta. 2008. “Gender and Trust in Indonesia” http://www.hs-heilbronn. de/3294740/Berninghausen_paper.pdf Dipta I Wayan. Mengangkat Peran Perempuan Pengusaha Dalam Mengatasi Pengangguran http://www.smecda.com/deputi7 International Finance Corporation (IFC). 2011. “Strengthening Access to Finance for WomenOwned SMEs in Developing Countries.” IFC, Washington, DC. JICA. 2011. “Country Gender Profile: Indonesia.” JICA. Lili Yan Ing and Gonzalo Varela. 2012. “Constraints on Productivity and Investment in Indonesia’s Manufacturing Sector: Survey-based Analysis of Business Constraints.” Policy Note 4 (73125). World Bank, Jakarta. Mangunsong, Frieda. 2011. “Faktor Intrapersonal, Interpersonal, dan Kultural Pendukung Efektivitas Kepemimpinan Perempuan Pengusaha dari Empat Kelompok Etnis di Indonesia” Peraturan Menteri Perdagangan no. 46/M-DAG/PER/9/2009. Müller, Claudia. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perempuan Pengusaha dalam Mendirikan dan Mengembangkan Usahanya di Propinsi NAD. ILO, Jakarta OECD. 2007. “Snapshot Assessment of Indonesia’s Public Procurement system, Piloting OECD/ DAC Procurement JV Baseline Indicator (BLI) Benchmarking Methodology.” OECD. 2011. Report on the Gender Initiative: Gender Equality in Education, Employment and Entrepreneurship. Meeting of the OECD Council at Ministerial Level Paris, 25-26 May 2011 Studi Peran Serta Perempuan dalam Pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi.” Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM no. 1 year I , 2006. Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan. 2009. Women Entrepreneurship in Asian Developing Countries: Their Main Constraints and Personal Reasons. Trisakti University, Jakarta. Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan..2012. Perempuan Pengusaha Di UMKM Di Indonesia: Motivasi Dan Kendala. Asia Foundation. 2012. Gender in Indonesia, Factsheet. World Bank. 2011. Indonesia Enterprise Surveys 2011, Indonesia Country Note Series No. 14. Vasquez, Elizabeth A, and Dewi Novirianti. 2011. “Applying a Gender Lens to the Governance-Procurement Modernization Project in Indonesia.” MCC, Washington DC (unpublished). Seibel, Hans Dieter and Gloria Almeyda. 2002. ”Women and Men in Rural Microfinance: The Case of Uganda”, April, Development Research Center, University of Cologne. Seymour N.2001. “Women entrepreneurs in the developing world”, CELCEE Digest No. 01-04, Kansas City, Center for Entrepreneurial Leadership, Clearinghouse on Entrepreneurship Education, August (http://www.celcee.edu/).
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Sinha A. 2003. Experience of SMEs in South and South-East Asia, Washington, D.C. SEDF and World Bank. Vazquez, Elizabeth A. and Adrew Sherman. 2013. “Buying for Impact: How to Buy from Women and Change our World.” (http://www.BuyingforImpact.com)
57
Persetujuan Etik
58
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Kuesioner C. Kuesioner! Interview!information! 1! 2! 3! 4! 5! 6! 7!
No.!Wawancara!+ Tanggal!Wawancara!+ Nama!Pewawancara! Nama!pemberi!informasi! Jabatan!pemberi!informasi! Kuesioner!di!periksa!oleh! Tanggal!pemeriksaan!+
! ! ! ! ! ! !
/!
!
/!
!
Tanggal/Bulan/Tahun!
/!
!
/!
!
Tanggal/Bulan/Tahun!
Terimakasih!karena!telah!berpartisipasi!dalam!wawancara!ini.!Informasi!yang!didapatkan!dari!penelitian!ini!akan! membantu!Lembaga!Kajian!Kebijakan!Pengadaan!Pemerintah!(LKPP)!untuk!memahami!lebih!baik!mengenai! Hambatan!Perusahaan!untuk!Menjadi!Penyedia!Barang/Jasa!Pemerintah.!Hanya!apabila!kita!mengetahui!situasi!dan! masalah!yang!dihadapi!oleh!perusahaan,!maka!kita!akan!mengetahui!apa!yang!perlu!dilakukan!untuk!memberikan! dukungan.! Informasi!yang!diberikan!pada!penelitian!ini!bersifat!rahasia!dan!tidak!akan!disajikan!secara!individual.!
Bapak/Ibu!juga!bisa!memutuskan!untuk!tidak!melanjutkan!partisipasi!dalam!penelitian!ini!sewaktuWwaktu!dalam! proses!wawancara!karena!alasan!apapun.!Penelitian!ini!juga!sudah!mendapatkan!persetujuan!komisi!etik!Universitas! Atmajaya! ! !
Profil Perusahaan 1 2 3 4
5 6 7
8
Nama Responden & Jenis Kelamin
Jabatan Responden
……………………………… L / P ……………………………………………………..…. Nama Badan Usaha/Badan Hukum Responden ………………………………………………………………………………………………… Alamat/Nomor Telpon/Fax/Email ……………………………………………………………………………………………………………………. Provinsi …………………………….……Kab/Kota ………..……………………….. Mikro Besar Klasifikasi Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) yang Kecil Tidak punya SIUP dimiliki perusahaan ini? Menengah Tidak tahu Rumah pemilik Rumah keluarga pemilik Status!kepemilikan!kantor!utama!berupa? Kantor yang disewa Kantor milik pemilik Lainnya ………………………….. Tahun berapa perusahaan ini didirikan .... ……………………………………………. Nama! pemegang! saham,! Jenis! Kelamin! dan! Persentase! kepemilikan! saham! serta! statusnya! sebagai! Pengelola! atau!Bukan!Pengelola!di!perusahaan!ini 1.!………………………..…!!!L!/!P!..……!%!!!!!P!/!BP! 3.!.!………………………..…!!!L!/!P!..…!%!!!!!P!/!BP! 2.!………………………..…!!!L!/!P!..……!%!!!!!P!/!BP! 4.!.!………………………..…!!!L!/!P!..…!%!!!!!P!/!BP! Apakah ada anggota keluarga pemilik utama yang menjadi pemegang saham perusahaan ini? PILIH!SEBANYAK!MUNGKIN!YANG!SESUAI CHECK AS MANY AS APPLY
!"!
Suami/Istri Orang tua Anak/Anak-anak Anggota keluarga lainnya Tidak ada Tidak tahu
Gender!&!Government!Procurement!in!Indonesia.!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Summary!of!Survey!Findings!on!Access!to!Procurement!Opportunities,!Key!Barriers!and!Trends!
59
9
10
11
12
13
14
60
15
16 17
< 25 Thn 25 – 34 Thn 35 – 44 Thn 45 – 54 Thn 55 + Thn Tidak Menjawab
Kategori umur pemilik utama perusahaan?
Berapa perusahaan yang pemilik utama miliki sebelum perusahaan ini
0
1
2+
Tidak tahu
SD SLTP Apa tingkat pendidikan terakhir pemilik utama SLTA perusahaan? Akademi/S1 S2/S3 Tidak Menjawab Memulai perusahaan sendiri Membeli perusahaan ini Mewarisi perusahaan ini Bagaimana pemilik utama mendirikan perusahaan ini Memilikinya tanpa investasi sendiri (contohnya melalui pernikahan) Tidak Menjawab Apakah pemilik utama perusahaan ini menjadi 1. ………………………………..…… anggota/pengurus asosiasi/organisasi pengusaha 2. ………………………………..…… tertentu? Tidak ada Tidak tahu < 1 hari 1 – 2 hari Berapa hari dalam 1 minggu biasanya pemilik utama >2 – 5 hari menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan ini? Setiap hari Tidak Menjawab Jasa perjalanan Tekhnologi Produksi barang tidak tahan Produksi barang tahan lama Apa produksi/jasa utama yang lama (makanan, pakaian, kerajinan) (Mesin, baja, ban, dll) perusahaan ini hasilkan? Perdagangan Restoran/katering Lainnya ………………………………………………… Omzet Tahunan Perusahaan Tahun 2011 Rp. ……………………………………. Kategori Karyawan L P Berapa banyak karyawan yang bekerja di perusahaan Karyawan penuh waktu ini, diluar pemilik? Karyawan paruh waktu Manajer/Supervisor/Pimpinan
Pengalaman Mengikuti Pelelangan
18
Darimana perusahaan kesempatan menjadi pemerintah?
19
Apakah di perusahaan ini ada yang mengetahui cara mendaftar sebagai penyedia barang/jasa pemerintah dengan menggunakan SPSE?
20
Apakah perusahaan ini pernah ikut pelelangan/tender pemerintah
21
Kenapa perusahaan ini tidak pernah ikut pelelangan /tender pemerintah?
!!!
ini mengetahui adanya penyedia barang/jasa di
Diberi tahu orang Iklan di koran Pegawai di lembaga pemeritah Internet/SPSE Lainnya - ………………………………… Tidak pernah tahu Ya, Sudah mendaftar di SPSE Ya, Belum mendaftar di SPSE Tidak ada yang mengetahui
Kurangnya keahlian/tidak tahu Paket tidak sesuai
! Ya Lanjut ke ! 23
! Tidak
Tidak yakin akan menang Birokrasi
Gender!&!Government!Procurement!in!Indonesia.!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Summary!of!Survey!Findings!on!Access!to!Procurement!Opportunities,!Key!Barriers!and!Trends!
Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei Tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
22 23
24
Persyaratan sulit dipenuhi Korupsi Paket pengadaan terlalu besar Diskriminasi gender Tidak cukup modal Diskriminasi lainnya Harga terlalu murah Tidak dapat pinjaman Ketentuan dan Persyaratan sulit Pelaporan merepotkan dipenuhi Tidak sebanding dengan waktu Tidak tertarik yang dibutuhkan Lainnya - ………………………………………………………………….. Bisakah anda jelaskan lebih detil pilihan alasan di atas, Lanjut ke ! 30 Kapan terakhir kali perusahaan ini pelelangan/tender pemerintah pemerintah
mengikuti
Berapa banyak pelelangan pemerintah yang anda ikuti dalam 12 bulan terakhir? Dan dilembaga pemerintah mana saja?
25
…………. 1. 2. 3. 4.
……. Pelelangan di …………………… ……. Pelelangan di ………………………………… ……. Pelelangan di ………………………………… ……. Pelelangan di ………………………………… Tidak pernah ikut pelelangan 1 tahun terakhir Lanjut ke ! 26
! Berapa rata-rata nilai paket pelelangan yang pernah perusahaan ini ikuti dalam 1 tahun terakhir? Rp. ………………………s/d Rp….…………………… ! Ya Lanjut ke ! 30 Tidak memenuhi syarat administrasi Tidak memenuhi syarat teknis Tidak memenuhi non-teknis
26
Apakah perusahaan ini pernah lolos mengikuti pelelangan pemerintah
27
Apakah yang menjadi dinyatakan tidak lolos?
28
penyebab
perusahaan
ini
Bisakah anda jelaskan lebih detil pilihan penyebab di atas
Apakah anda pernah mengajukan sanggahan terhadap proses pelelangan yang anda ikuti 29
Bulan/tahun yang lalu
Jika Ya, bagaimana hasilnya?
! Ya
! Tidak
! Tidak
Jika Tidak, mengapa tidak melakukan sanggah?
30
Hambatan terbesar apa yang perusahaan ini hadapi agar bisa secara efektif mengikuti pelelangan pemerintah?
Peraturan membingungkan Terlalu banyak peraturan SPSE membingungkan dan kompleks Lainnya ……………………………………
Pengalaman sebagai penyedia barang dan jasa pemerintah 31
32
33
34
1. …….………………..……………………………… 2. …….………………..……………………………… Tidak pernah menjadi penyedia dalam 5 tahun terakhir. Lanjut ke ! 37 Barang - ..........…………………………….. Jenis pengadaan apa yang paling sering perusahaan ini Jasa - …………………………………... dapatkan dari pelelangan/seleksi umum pemerintah? Konstruksi - ………………………… Lainnya - …………………………………… Berapa % pendapatan dari pengadaan pemerintah terhadap total omzet perusahaan dalam 1 ……… % tahun terakhir? Pelelangan Umum Sayembara/kontes Melalui metode pengadaan apa saja perusahaan ini Pelelangan terbatas Seleksi umum terpilih menjadi penyedia ? ! Pelelangan sederhana ! Seleksi terbatas ! Penunjukan langsung ! Seleksi langsung Dilembaga pemerintah mana saja perusahaan ini pernah menjadi penyedia barang/jasa dalam 5 tahun terakhir
!"!
Gender!&!Government!Procurement!in!Indonesia.!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Summary!of!Survey!Findings!on!Access!to!Procurement!Opportunities,!Key!Barriers!and!Trends!
61
Pengadaan langsung Lainnya ………… Pendapatan yang stabil - Steady revenue stream Peningkatan pendapatan dan keuntungan Apakah manfaat paling besar yang perusahaan ini Menambah variasi produk/jasa yang dihasilkan 35 dapatkan dengan menjadi penyedia barang/jasa Meningkatkan volume usaha dan jumlah karyawan. pemerintah? Meningkatkan reputasi perusahaan Lainnya - …………………………………… Hambatan! terbesar! apa! yang! perusahaan! ini! hadapi! saat! terakhir! kali! menyelesaikan! kewajiban! sebagai! 36! penyedia!barang/jasa!pemerintah?!! ! Sistem Pengadaan Secara Elektronik
37! Bagaimana pendapat anda tentang penerapan sistem
SPSE?
Dibandingkan dengan sistem manual, bagaimana
! Mempermudah ! lebih baik
38! pendapat anda tentang SPSE? jelaskan
Penjelasan pilihan diatas
39! Apakah anda merasa lebih baik bertemu langsung
dengan ULP/Panitia Pengadaan atau melalui elektronik
Dampak peraturan pengadaan 40
41
62
!
! Lebih buruk
! bertemu langsung
Apakah! anda! tahu! bahwa! ada! peraturan! pemerintah! yang! ! memberi! peluang! pada! perusahaan! kecil! untuk! menjadi! penyedia! barang/jasa! hingga!Rp.!2,5!M! Adakah persyaratan tertentu yang menyulitkan perusahaan ini untuk ikut pelelangan pemerintah? Sebutkan
! Tidak tahu Lanjut ke ! 40
Mempersulit
! Sama saja ! Tidak tahu
! Elektronik ! Ya
! Tidak
1. …….………………..……………………………… 2. …….………………..……………………………… 3. …….………………..……………………………… Tidak ada
Teknologi Informasi dan Jasa Keuangan 42 43
44
Bagaimana anda menggambarkan tingkat penggunaan internet oleh perusahaan ini Apakah perusahaan ini memiliki website? Apakah perusahaan ini mendapatkan pinjaman dari Bank? Jika!Ya,!bagaimana!hasilnya?!! ! Jika!Tidak,!mengapa!tidak!mengajukan?!! !
! !
Tidak pernah Kadang-kadang Selalu Tidak menjawab ! Ya ! Ya
! Tidak ! Tidak
! !
Tidak Menjawab Tidak Menjawab
Peningkatan Kapasitas
Ya - Yes Hanya Sosialisasi ! Tidak pernah Program/kegiatan!atau!bantuan!apa!saja!yang!perusahaan!ini!butuhkan!agar!dapat!mengikuti!tender/pelelangan! 46! secara!efektif!atau!menjadi!penyedia!barang/jasa!pemerintah?! ! Peraturan!atau!situasi!apa!saja!yang!harus!dibuat!atau!diperbaiki!oleh!pemerintah!agar!perusahaan!ini!mau!dan! 47! mampu!mengikuti!tender/pelelangan!secara!efektif!atau!menjadi!penyedia!barang/jasa!pemerintah?! ! 45
Apakah anda/staff perusahaan ini pernah mengikuti pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah
!"!
Gender!&!Government!Procurement!in!Indonesia.!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Summary!of!Survey!Findings!on!Access!to!Procurement!Opportunities,!Key!Barriers!and!Trends!
Gender dan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Ringkasan Hasil Survei tentang Peluang Akses, Hambatan dan Kecenderungan Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Proses Pengambilan Sampel
1,229 perusahaan peserta pelelangan di SPSE 6 KL dan Jawa Barat
31, 665 perusahaan dari DDPI yang beralamat di Jabodetabek dan Bandung
1,368 perusahaan dihubungi 227 menjadi responden --> 5% perusahaan milik perempuan
1,075 merespon --> 30% perusahaan milik perempuan 63
203 perusahaan milik perempuan
101 pernah mengikuti tender pemerintah
102 tidak pernah mengikuti tender pemerintah
203 perusahaan milik laki-laki
103 pernah mengikuti tender pemerintah
100 tidak pernah mengikuti tender pemerintah
LKPP Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah