BAB II ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA
A.
Sejarah Liberalisasi Perdagangan Dalam bentuk idealnya, konsep perdagangan bebas30 atau
liberalisasi perdagangan adalah suatu keadaan dimana perusahaan dan individu bebas untuk menjual barang atau jasa melampaui batas wilayah negaranya. Ini berarti termasuk di dalamnya adalah kebebasan untuk mendirikan perusahaan di negara lain dan bagi individu untuk bekerja di negara lain. Dengan perdagangan bebas tidak ada lagi hambatan yang dibuat oleh suatu negara dalam melakukan suatu transaksi perdagangan dengan negara lainnya. Negara-negara di dunia atau yang terlibat langsung dalam perdagangan bebas mempunyai hak untuk menjual produk baik barang ataupun jasa terhadap negara lain tanpa harus dibebani oleh batasanbatasan pajak atau bea masuk. Dengan
adanya
perdagangan
bebas,
diharapkan
interaksi
antarnegara dalam perdagangan menjadi lebih intensif tanpa harus dibatasi oleh peraturan yang membelenggu di dalam negeri negara tujuan. Adanya liberalisasi merupakan arus pemikiran umum yang muncul sebagai respon perkembangan
dunia
yang
sangat
dinamis,
progresif
dan
berkarakter
30
Perdagangan bebas merupakan sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dan World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. Penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan yang diterapkan pemerintah dalam perdagangan antar individual dan perusahaan-perusahaan y a n g b e r a d a d i n e g a r a y a n g b e r b e d a http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_bebas, diunduh pada 20 Oktober 2013
18 Universitas Sumatera Utara
19
multidimensi.31 Liberalisasi bukanlah isu faktual, namun selalu menjadi editorial dunia beberapa dekade terakhir. Dalam
perspektif
perdagangan,
liberalisasi
merupakan
proses
pengurangan hingga pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan nontarif, secara terstruktur, sistematis dan berskala masif antarnegara, pada pelaksanaan transaksi perdagangan, khususnya terkait arus pergerakan barang dan jasa. Pada rumusan yang lebih sederhana, setiap individu memiliki kebebasan untuk bertransaksi dengan siapa saja, ke mana saja dan kapan saja tanpa adanya suatu hambatan atau batas-batas tertentu. Sekian lama perdagangan internasional dibidang jasa kurang mendapat perhatian dalam teori perdagangan. Jasa dianggap sebagai barang "non-traded" dan memiliki potensi pertumbuhan yang minimal. Ekspansi sektor jasa dianggap hanya sebagai produk sampingan khususnya dari pertumbuhan sektor industri manufaktur. Non-tradability dari jasa timbul karena transaksi jasa mensyaratkan adanya interaksi langsung antara produsen dan konsumen (perusahaan dan rumah tangga). Biaya transaksi, entah itu diukur dalam waktu, jarak, prosedur imigrasi, bea cukai, dan lain sebagainya, dianggap terlalu besar untuk memungkinkan terjadinya sebuah transaksi jasa. Terlebih lagi, kompleksnya hubungan atau transaksi ini disebabkan adanya kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi yang pesat akhir-akhir ini sangat signifikan meningkatkan tradability dan internasionalisasi dari komoditi 31
Karakter multidimensi ini berdasarkan pada sebuah teori yang dikemukakan oleh Talcott Parson. Proses perkembangan liberalisasi dalam fase awal akan mempengaruhi orientasi ekonomi dan struktur politik hingga menjalar pada struktur sosial. Pada fase terakhir, kondisi ini akan merombak tatanan budaya suatu komunitas tertentu.
Universitas Sumatera Utara
20
jasa. Sehingga dengan perkembangan dewasa ini, para pelaku dagang tidak perlu bertemu secara langsung dengan rekanan dagangannya. Kontribusi dan peran perdagangan jasa bahkan diyakini semakin besar dan strategis di masa datang. Apabila dilihat dari sejarahnya, konsep liberalisasi perdagangan jasa bukan berasal dari kebudayaan asli bangsa Indonesia, maka fenomena seperti ini nampaknya sulit untuk dipahami dan diterima oleh masyarakat.
Selain itu,
nampaknya ada persoalan dalam hal konsistensi diseminasi informasi dan peningkatan keahlian dan wawasan mengenai masalah ini di berbagai bidang kehidupan, sehingga isu liberalisasi perdagangan jasa selalu dianggap sebagai sesuatu yang baru. Terlepas dari kondisi tersebut, liberalisasi perdagangan jasa merupakan fakta yang perlu dipahami oleh masyarakat karena pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan keseharian masyarakat itu sendiri.32 Paham liberalisasi perdagangan berkembang dengan pesat di Eropa sejak abad 19. Pada priode perdagangan bebas 1815-1914 diwarnai oleh kekuatan landasan filsafat perdagangan liberal berdasarkan atas teori keunggulan komparatif, bahwa suatu negara akan mengkhususkan diri pada produksi dan ekspor, sebab negara tersebut mempunyai biaya yang lebih rendah daripada negara mitra dagangnya.33 Apabila ditinjau dari pendekatan historis, liberalisasi berakar dari gagasan sebuah paham pada abad XIX yang belakangan dikenal sebagai 32
Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). WTO sendiri mulai beroperasi secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995. 33 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2011) , hlm.31
Universitas Sumatera Utara
21
liberalisme. Paham yang dipelopori oleh Adam Smith ini menegaskan filsafat individualistik dalam pemikiran ekonomi. Menurutnya, teori pembagian kerja atau spesialisasi dianggap sebagai kunci pertumbuhan ekonomi yang terus menerus. Pemikiran yang demikian menghendaki adanya dukungan solid dari pasaran barang produksi dengan manifestasinya perluasan wilayah sebagai dalih untuk memperluas pasar, bahkan dengan bantuan pemerintah sekalipun.34 Teori yang di kemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations“ 35 membantah pendapat dari kaum merkantilistis yang mengatakan, bahwa melakukan hambatan perdagangan adalah jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara. Menurut Adam Smith, kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan dengan seminimal mungkin. Dengan sistem perdagangan bebas, sumber daya yang akan digunakan secara efesien, sehingga kesejahteraan yang akan di capai akan lebih optimal.36 Liberalisasi perdagangan internasional mulai mengalami pertumbuhan yang sangat pesat pada abad ke-19 sehingga memberikan keuntungan dalam bidang ekonomi di Eropa. Tetapi kebebasan 34
Adam Smith dalam Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal. (Medan; Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005) ,hlm 43. 35 Adam Smith menulis bukunya dan lebih dikenal dengan singkatan “The Wealth of Nation” bukunya yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme.dengan teorinya yang disebut “invisible hand” “tangan tak terlihat” (baca; TanganTuhan) dalam kegiatan perekonomian masyarakat. Secara umum, banyak pihak menerjemahkan konsep the invisible hand-Adam Smith sebagai mekanisme pasar, kegiatan otonom yang dilaksanakan oleh masing-masing pelaku ekonomi untuk kepentingannya sendiri guna memenuhi penawaran dan permintaan (supply and demand) yang otomatis mengendalikan kegiatan yang optimal bagi semua pihak yang melakukan kegiatan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah (non-intervensi) 36 Ibid, hlm 31-32.
Universitas Sumatera Utara
22
perdagangan tersebut belum dapat dinikmati oleh bangsa lainnya diluar Eropa, terutama di Asia dan Afrika. Hal ini disebabkan karena waktu itu Asia dan Afrika merupakan wilayah kolonial atau jajahan negara-negara Eropa, sehingga dalam sektor perdagangan, bangsa Asia dan Afrika tidak mendapatkan kesempatan dan kebebasan yang sama seperti bangsa Eropa. Dengan demikian yang memegang kekuasaan ekonomi maupun politik pada periode liberal ini adalah bangsa Eropa, sebaliknya bangsa Asia dan Afrika tidak mempunyai kekuasaan dan politik di negerinya sendiri. Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antar negara atau disebut dengan perdagangan internasional termotivasi oleh paham dan teori yang dikemukakan oleh Adam Smith, yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin. sedangkan yang disebutkan oleh Hugo Grotius, diistilahkan dengan “Laissez Faire”37, yang dapat didefinisikan "bebas melakukan apa yang engkau inginkan" atau bebas dari campur tangan pemerintah untuk membantu orang miskin, pengontrolan upah buruh, bantuan atau subsidi pertanian Teori yang dikemukakan oleh Adam Smith diatas disebut dengan “Teori Keunggulan Absolut” teori yang mendasarkan asumsi bahwa setiap negara memiliki keunggulan absolut nyata terhadap mitra dagangnya. 37
Huala Adolf, "Hukum Perdagangan Intemasional, Prinsip-prinsip dan Konsepsi dasar"http://pasca.uma.ac.id/adminpasca/upload/Elib/MHB/1%20HUKUM%2OPERDAGANGAN%20 INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF,diakses pada tanggal 21 Oktober2013.
Universitas Sumatera Utara
23
Menurut teori ini, suatu negara yang mempunyai keunggulan absolut relatif terhadap negara mitra dagangnya dalam memproduksi barang atau komoditi tertentu, akan mengekspor komoditi tersebut ke negara mitra yang tidak memiliki keunggulan absolut (absolut disanvantage). Demikian pula sebaliknya, sehingga dalam sistem perdagangan bebas, diantara negara-negara mitra dagang tersebut akan memiliki nilai ekspor yang sama dengan nilai impornya. Dengan sistem perdagangan bebas, sumber daya akan digunakan secara lebih efesien, sehingga kesejahteraan yang akan dicapai lebih optimal. Namun dalam kenyataannya yang justru terjadi di Eropa adalah ketidakadilan dan kesenjangan sosial antara pengusaha yang kaya raya dengan kaum buruh atau petani miskin. 38 Apabila ditinjau dari perspektif perdagangan, liberalisasi menekankan pada platform kebebasan individu atau peran rakyat secara aktif, dengan peran negara yang negatif dalam transaksi perdagangan. Merujuk teori dari maestro ilmu negara, George Jellinek, liberalisasi juga memungkinkan adanya hubungan atau interaksi dengan seluruh negara, tanpa adanya suatu pembatasan tertentu dalam produksi, distribusi hingga pemasaran suatu produk barang dan jasa. Dalam perspektif hukum, sistem hukum yang dianut pun memberikan ruang proteksi optimal bagi kemerdekaan individu dengan mengutamakan prinsip kebebasan (Principle of Freedom), prinsip persamaan hak (Principle of Legal Equality) serta prinsip timbal balik (Principle of Reciprocity). Sejalan dengan fungsinya sebagai social engineering dan social empowering, materi muatannya 38
Ibid, hlm. 4-5
Universitas Sumatera Utara
24
diterjemahkan untuk meluruskan paradigma yang mengabdi pada perhintungan laba tersebut. Bahkan, keadilan menjadi variable yang dituntut dari kemerdekaan individu.39 B.
Proses Perkembangan Liberalisasi Perdagangan Dalam perjalanannya, perkembangan liberalisasi perdagangan
melalui beberapa periode yang cukup panjang. Berikut adalah periodesasi dari proses perkembangannya. a. Periode Merkantilisme Pola pikir yang berkembang pada abad ke-16 dan ke-17 adalah merkantilisme, dimana kegiatan ekonomi harus dipusatkan pada upaya memperoleh sumber daya atau kekayaan sebanyak mungkin guna mendukung kekuatan politis maupun militer. Dengan adanya kekuatan militer yang tangguh, pemerintah pusat dapat dengan mudah melakukan ekspansi teritorial ke negara lainnya. Ekspansi ini dimaksudkan juga untuk menguasai sumber daya alam negara yang ditaklukkan, terutama untuk mendapatkan logam mulia (emas dan perak). Jadi menurut pola merkantilisme, kekayaan didefinisikan dalam bentuk logam mulia. Untuk itu, perdagangan harus senantiasa mencapai surplus dalam bentuk emas guna membiayai kepentingan politik, militer dan ekspansi politik.40 Paham merkantilisme ini yang memotivasi negara-negara Eropa untuk melakukan ekspansi hingga Asia dan Afrika untuk memperoleh 39
Sukarmi, Implikasi Ketentuan Anti dumping dan Subsidi bagi Indonesia. Makalah dengan judul: Penyuluhan dan Penyebaran Informasi tentang Implementasi Peraturan Anti Dumping dan Subsidi. Malang, 2005, hlm 2. 40 Ibid, hlm. 30
Universitas Sumatera Utara
25
sumberdaya yang lebih besar dalam ekspor mereka. Secara efektif, paham merkantilisme berpijak pada pangkal tolak bahwa kesejahteraan perekonomian suatu negara dapat dicapai bila negara tersebut memiliki cadangan emas yang besar, yang dapat dicapai dengan mengekspor lebih banyak daripada mengimpor. Dengan demikian maka surplus ekspor melalui peningkatan ekspor dan pembatasan impor, merupakan tujuan utama, dan bukan peningkatan pendapatan nasional atau kesejahteraan masyarakat.41 Paham merkantilisme, telah banyak menghasilkan kemajuan ekonomi dan politik untuk negara-negara Eropa sebagai Nation-State dibawah raja. Kegiatan navigasi dan eksplorasi kontinental telah memperluas kekuasaan teritorial negara-negara tersebut. Tetapi pangkal tolak dari persepsi tersebut pada dasarnya bersifat konfliktual, sehingga walaupun terjadi peningkatan kekayaan dikalangan negara-negara utama di Eropa, sistem tersebut tidak stabil sehingga letak benih-benih kegagalan merkantilisme yang mencegah terwujudnya sistem perdagangan dunia yang koheren dan stabil. b. Zaman Keemasan Perdagangan Bebas 1815-1914 ( Abad 19 ) Apabila ditinjau dari perspektif sejarah ekonomi, periode liberal yang mencakup masa sejak akhir perang Napoleon tahun 1815 hingga saat meletusnya perang dunia I pada tahun 1914, merupakan satu abad yang gemilang dilihat dari segi perdagangan internasional. Selama satu abad, perdagangan dunia berjalan dengan bebas dengan rintangan dan pembatas yang minim. Periode ini merupakan periode perdagangan dunia berjalan dengan menganut paham liberal 41
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
26
dimana setiap negara dapat menyesuaikan kegiatan perdagangannya dibidang dimana terdapat keunggulan komparatif. Namun demikian, sisi lain yang perlu dikemukakan. Pada satu pihak perdagangan bebas pada abad ke 19 yang secara faktual menimbulkan laju pertumbuhan yang pesat, lebih banyak menguntungkan pihak Eropa. Kebebasan berdagang yang dinikmati orang Eropa tidak dinikmati oleh orang lain, terutama orang Asia. Dalam menulis sejarah ekonomi, para ilmuan barat sering melupakan hal ini.42 Kebebasan perdagangan tersebut tidak dapat dinikmati oleh bangsa lainnya diluar Eropa, terutama Asia maupun Afrika. Hal ini disebabkan karena Asia maupun Afrika merupakan wilayah kolonial atau jajahan dari negara-negara Eropa, sehingga dalam bidang perdagangan bangsa Asia dan Afrika tidak mendapatkan kesempatan dan kebebasan sama seperti bangsa Eropa. Dengan demikian yang memegang kekuasaan ekonomi maupun politik pada periode liberal ini adalah bangsa Eropa, sebaliknya bangsa Asia maupun Afrika tidak mempunyai kekuasaan maupun politik di negaranya sendiri.43 Namun demikian, beberapa ahli berpendapat bahwa secara makro angka dan bukti empiris menunjukkan bahwa sistem perdagangan bebas mampu mengangkat
laju
pertumbuhan
ekonomi,
sehingga
berdampak
pada
kesejahteraan masyarakat pada negara-negara yang terlibat dalam kegiatan transaksi perdagangan tersebut. Berkaitan dengan itu pula, melihat kepada perspektif masa depan secara makro, diharapkan pada tahun-tahun 42 43
Ibid, hlm. 20-21 Muhammad Sood, Op.Cit., hlm.31
Universitas Sumatera Utara
27
mendatang adalah terjadinya hal yang sama, tetapi kali ini orang Asia telah menjadi tuan rumah di negaranya masing-masing juga akan dapat turut menikmati hasil dari keterbukaan pasar dunia. Secara skematis paham liberalisme yang mewarnai perekonomian dunia pada abad ke-19 mencakup: 44 1. Perubahan utama yang bersifat fundamentalis dan yang merupakan landasan yang bertolak belakang dengan merkantilisme adalah peran utama yang dipegang oleh mekanisme pasar sebagai penggerak dalam kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang rasional “dikendalikan” oleh suatu “tangan tak terlihat atau invisible hand yang tak lain adalah kegiatan otonom yang
dilaksanakan
oleh
masing-masing
pelaku
ekonomi
untuk
kepentingannya sendiri guna memenuhi penawaran dan permintaan (supply and demand) yang otomatis mengendalikan kegiatan yang optimal bagi semua pihak yang melakukan kegiatan ekonomi. 2. Agar mekanisme pasar ini dapat bergerak sesuai dengan logika permintaan dan penawaran, maka hambatan terhadap kegiatan ekonomi dalam bentuk regulasi dan berbagai jenis larangan yang menimbulkan distorsi pasar harus dihapus. Mengingat betapa ekstensifnya larangan dan regulasi yang berlaku dalam periode merkantilisme. Maka keinginan untuk menghapus regulasi merupakan tuntutan yang mendesak. 3. Kegiatan perdagangan antar bangsa dapat berkembang secara saling menguntungkan,
karena
perbedaan
sturuktur
secara
alamiah
akan
44
H.S Kartadjoemena, Op.Cit., hlm.23-24
Universitas Sumatera Utara
28
menimbulkan
spesialisasi
bagi
masing-masing
pihak
yang
akan
memusatkan perhatian dibidang ini dimana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif. Dengan kata lain, bila masing-masing negara memusatkan
kegiatan
dibidang
dimana
negara
tersebut
memiliki
keunggulan komparatif maka setiap negara akan mencapai atau mendekati titik optimal. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas yang menjadi dasar dan landasan pemikiran,
maka
kebijaksanaan
paham
liberalisme
ini
dapat
diidentifikasikan dengan beberapa ciri:45 1. Menghapus segala jenis larangan dalam melakukan kegiatan ekonomi yang di berlakukan pada periode merkantilisme. 2. Mengadakan penurunan tarif atau bea masuk terhadap impor agar terjadi penigkatan perdagangan antar negara. 3. Membuat jaringan yang meningkatkan perdagangan antar semua pihak yang berminat untuk berdagang. 4. Menerapkan sistem pembayaran untuk mempermudah transaksi dan menentukan nilai tukar yang dapat diterima oleh semua pihak, yang pada waktu itu berarti memilih standar emas. 5. Membolehkan dan bahkan menganjurkan lalulintas dan peredaran modal keluar maupun kedalam negeri sesuai dengan permintaan dan penawaran. 6. Memperbolehkan lalulintas tenaga kerja dan sumber daya manusia.
45
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
29
Periode Zaman keemasan liberalisasi perdagangan mulai berakhir sejak meletusnya perang dunia pertama pada tahun 1914. Namun dibalik perang dunia pertama tersebut, ternyata telah mempercepat muncul fragmentasi dan disintegrasi ekonomi di negara-negara Eropa yang mengganggu kegiatan ekonomi. c. Fragmentasi dan Disintegrasi di Eropa Sistem perdagangan internasional yang menitik beratkan pada landasan liberalisme, mulai mengalami fragmentasi selama satu abad setelah mengalami era keemasan dari tahun 1914 hingga 1945. Pasar bebas dan perdagangan bebas mulai menghadapi berbagai macam distorsi sebagai akibat diterapkannya
kebijaksanaan
yang
menyimpang
dari
paham
liberal.
Kebijaksanaan distortif yang mengarahkan perekonomian kepada kegiatan yang mengesampingkan mekanisme pasar Perang Dunia I pada tahun 1914 hingga berakhirnya perang dunia II tahun 1945 merupakan periode disintegrasi karena tidak terciptanya suasana yang dapat mengembalikan sepenuhnya keadaan dan sistem yang berlaku pada periode zaman keemasan perdagangan internasional ataupun sistem alternatif yang lebih baik. Dalam perkembangannya, yang timbul adalah kebijaksanaan perekonomi nasional yang sempit dan semakin meningkatnya nasionalisme yang berbentuk negatif, bukan berbentuk patriotisme yang konstruktif. Selama perang dunia I (1914-1918), negara-negara Eropa telah melakukan langkah-langkah swasembada dalam segala bidang berkaitan dengan suasana ketegangan yang semakin meningkat. Untuk mengembangkan sektor
Universitas Sumatera Utara
30
pertanian, negara-negara Eropa menerapkan larangan impor, subsidi, dan peningkatan tarif. Hal ini menimbulkan distorsi perdagangan internasional disektor pertanian, sehingga menimbulkan ketegangan dengan negara-negara mitra dagang, baik di Eropa maupun diluar Eropa. Tahun 1922 hingga 1927 perekonomian dunia masih mengalami pertumbuhan, hal ini disebabkan karena adanya peningkatan investasi yang cukup besar di Amerika Serikat, terutama dibidang industri otomotif, perluasan penggunaan tenaga listrik disertai pengembangan proyek tenaga listrik, dan peningkatan yang pesat di bidang konstruksi di Amerika Serikat. Pada 1929 terjadi krisis secara menyeluruh di Amerika Serikat yang diakibatkan situasi investasi dalam bidang-bidang penting mengalami kolaps atau kebangkrutan (Great Deppression). 46 Berbagai sektor kapasitas produksinya telah jauh melampaui permintaan, sehingga kelanjutan rencana investasi dibidang tersebut tidak diperlukan sebelum permintaan meningkat. Akibat dari depresi tersebut menimbulkan reaksi kongres di Amerika Serikat, terutama dari sektor pertanian untuk menerapkan kebijaksanaan proteksi di sektor pertanian. Menurut pandangan anggota-anggota kongres dari sektor pertanian, bahwa perkembangan indusri di Amerika Serikat sebagai akibat dari adanya proteksionisme. Karena itu apabila dikehendaki 46
Great Deppression atau yang disebut juga Kegagalan Perbankan, krisis yang melanda Amerika Serikat di Hal ini mengakibatkan penurunan kegiatan industrial pada 1929 yang disusul dengan terjadinya kolaps dibursa saham. Kejadian ini semakin meluas melanda Amerika Serikat, dan dalam waktu yang relatif singkat, perkembangan dalam investasi, produksi industri, kesempatan kerja semakin berkurang. Hal ini memberikan pengaruh buruk terhadap pendapatan nasional Amerika Serikat. http://academia.edu/1232423/Krisis_Dalam_Sistem_Finansial_Internasional.html diakses pada 22Januari 2014.
Universitas Sumatera Utara
31
pertumbuhan yang sama pesatnya di sektor pertanian, maka diperlukan pula tingkat bea masuk yang tinggi. Kebijakan proteksi tersebut tidak hanya disektor pertanian akan tetapi telah menjalar pula ke sektor-sektor lainnya yang mencakup sektor manufaktur. Adanya kebijaksanaan proteksionisme pada sektor penting di Amerika Serikat tentunya memberikan dampak yang kurang baik terhadap arus pergerakan barang dan jasa, terutama dalam hal hubungan dengan negara-negara mitra dagangnya, baik di Eropa maupun di Asia.47 Tahun 1930 hingga awal perang dunia II ada berbagai upaya untuk menghidupkan kembali sistem perdagangan lingkup dunia yang lebih terbuka walaupun tidak seperti yang berhasil diterapkan pada abad ke 19. Ada berbagai upaya yang sifatnya mengukur pemenuhan kebutuhan (stop-gap measure) seperti legislasi Amerika Serikat untuk mengadakan perundingan agar negara-negara mitra dagang secara resiprokal dapat menurunkan bea masuknya dengan serangkaian perundingan bilateral. Untuk itu kongres AS menerapkan legislasi Reciprocal Trade Agremeent
Act
1934.
Sekurang-kurangnya
langkah
tersebut
telah
menanamkan benih upaya bagi penerapan sistem perdagangan yang lebih terbuka agar setelah perang dunia II berakhir, upaya tersebut dapat secara serius dimulai kembali. Namun penerapan system perdagangan yang lebih terbuka hanya dapat dilakukan setelah perang dunia ke II berakhir.48
47 48
Ibid, hlm 36-37. Ibid, hlm 32-33
Universitas Sumatera Utara
32
d. Periode Pasca Perang Dunia II49 Pada akhir perang dunia II 1945, negara-negara sekutu sebagai pihak pemenang perang mulai mengambil upaya untuk membenahi sistem perekonomian dan perdagangan internasional. Berbagai analisis telah dilakukan untuk
mencegah
terulangnya fragmentasi
yang
terjadi
dalam
sistem
perekonomian dunia pada tahun 1930-an. Negara-negara sekutu menghendaki kembali penerapan elemen-elemen positif yang terdapat pada periode zaman keemasan perdagangan internasional dengan menanamkan landasan-landasan yang memungkinkan peningkatan kegiatan perdagangan internasional yang lebih terbuka. Negara-negara tersebut bermaksud untuk menciptakan organisasi-organisasi internasional yang dapat secara aktif turut menciptakan aturan main dalam perdagangan internasional berdasarkan kerjasama antar negara. Negara-negara sekutu sepakat untuk menerapkan sistem hubungan internasional yang lebih teratur dan lebih menjamin perdamaian dan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Secara minimal yang ingin di capai adalah
pencegahan
ekses-ekses
tindakan
sepihak
yang
tidak
menguntungkan bagi masyarakat dunia, seperti tindakan-tindakan negatif yang diambil dalam periode antara kedua perang dunia oleh banyak negara, yang akibatnya membawa sistem perekonomian ke arah malapetaka ekonomi, politik, sosial, politik dan sosial telah diciptakan Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sengan serangkaian badan-badan dibawahnya. 49
Ibid, hlm 33-34
Universitas Sumatera Utara
33
Melalui Konfrensi Bretton Woods tahun 1944,50 penanganan masyarakat internasional dibidang keuangan dan moneter relatif cepat dengan di setujuinya pembentukan International Monetery Fund (IMF) dan dalam waktu yang bersamaan, masyarakat internasional juga berhasil mendirikan Bank Dunia atau International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang bertujuan mangadakan rekonstruksi bagi negara-negara yang mengalami kerusakan akibat perang dunia II, Berbeda dengan bidang finansial dan keuangan, perkembangan institusional dibidang perdagangan internasional tidak terlampau lancar. Negaranegara peserta konvensi tidak berhasil mendirikan organisasi internasional. Rencana pendirian International Trade Organization (ITO)51 yang diharapkan akan menjadi wadah untuk menangani masalah perdagangan internasional pun tidak mencapai kata sepakat. Karena berbagai pertimbangan politis, utamanya karena penolakan kongres AS atas pendirian ITO mengakibatkan terjadinya kekosongan institusional di bidang perdagangan.52 Dengan kekosongan institusional tersebut, maka GATT yang semula merupakan perjanjian internasional menjadi satu-satunya perjanjian di bidang perdagangan yang telah mendapatkan disepakati. Maka pada tahun 1947, GATT menjadi satu-satunya organisasi internasional yang mengatur masalah 50
Pada waktu berlangsungnya Perang Dunia II, negara-negara sekutu khususnya Amerika Serikat dan Inggris, memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga ekonomi internasional, sehingga diselenggarakannya Konfrensi Bretton Woods (1944) dengan tujukan untuk persoalanpersoalan moneter dan aturan-aturan mengenai perdagangan barang-barang ( trade in goods ). 51 Lihat lebih lanjut, latar belakang dibentuknya International Trade Organization (ITO) sebagai cikal bakal dari GATT, pada; Huala Adolf, Op.Cit, hlm 102-105. 52 Pada tahun 1947, Amerika Serikat memutuskan untuk tidak meratifikasi Piagam International Trade Organization (ITO) karena adanya suatu orgamisasi perdagangan international dikhawatirkan akan mengurangi kedaulatan AS di bidang perdagangan.
Universitas Sumatera Utara
34
perdagangan internasional, sekurang-kurangnya bagi negara-negara yang menjadi anggota. Karena perdagangan antar negara anggota telah merupakan 80% dari perdagangan di seluruh dunia. Pada periode antara tahun 1950-1973, sistem perdagangan internasional menjadi lebih terbuka dan telah banyak menghasilkan kesejahteraan ekonomi. Laju pertumbuhan ekspor lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan PDB. Dengan demikian, perkembangan setelah tahun 1973 menimbulkan kehawatiran dibandingkan periode sebelumnya. Melemahnya
pertumbuhan
ekonomi
dan
meningkatnya
pengangguran di negara maju menjadi sebuah kekhawatiran secara politis, bahwa akan ada pihak-pihak dari negara maju tersebut yang akan menghendaki proteksionisme, sehingga kemajuan dalam liberalisasi pada periode sebelum 1973 akan dirusak. Timbul upaya memperkuat sistem multilateral yang dapat meningkatkan kesejahteraan semua negara di dunia dimulai periode ini. Upaya tersebut terwujudkan dalam serangkaian perundingan Uruguay round yang telah berhasil merumuskan serangkain perjanjian perdagangan multilateral. e. Periode Pasca Perang Dingin Pada awal tahun 1990-an pemikiran bahwa mekanisme pasar merupakan instrument yang efesien untuk melakukan kegiatan ekonomi semakin diterima secara global. Selain itu, semakin ada kesadaran mengenai terbatasnya kemampuan sektor pemerintah untuk memecahkan semua masalah ekonomi.53 53
H.S Kartadjoemena, GATT Dan WTO (Sistem, Forum dan Lembaga Internasional Dibidang Perdagangan), (Jakarta; Universitas Indonesia (UI-Press), 2002), hlm 40.
Universitas Sumatera Utara
35
Segi bidang ekonomi, perkembangan di Asia Timur telah mengubah peta dan berangsur pusat kegiatan ekonomi yang dinamis mulai semakin lebih terpusat di Asia, atau minimal di Asia pasifik dengan perkembangan hubungan ekonomi yang semakin intensif, baik hubungan transpasifik antar Asia pada satu pihak dan Amerika Utara pada pihak lain, maupun hubungan intra Asia– Pasifik yang juga semakin meningkat. Bagian Eropa barat proses integrasi ekonomi dan politik yang berjalan sejak akhir perang dunia II telah mewujudkan masyarakat Eropa yang semakin terintegrasi dengan perjajanjian Maastricht, yang membuat Eropa barat semakin mengarah kepada unifikasi politik maupun ekonomi. Eropa tengah, negara-negara yang pada periode perang dingin merupakan bagian dari Uni Soviet (Hungaria, Polandia, Cekoslovakia) juga semakin terintegrasi ke dalam sistem Eropa barat. Begitu pula dengan negaranegara di kawasan Baltik yang semakin masuk kedalam zona Deutsche Mark kedalam kegiatan ekonominya54 Dengan demikian maka kekuatan ekonomi pada periode ini terpusat pada tiga kekuatan besar, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang yang pada gilirannya akan diimbangi oleh Cina. Pada periode ini, kemudian timbul rivalitas baru antara negara-negara, namun dalam bidang ekonomi. Pada periode paska perang dingin ini ada kesempatan sistem perekonomian dunia untuk dapat menikmati kebebasan transaksi yang pernah terwujud pada waktu zaman keemasan perdagangan dunia pada abad ke-19, dimana dunia menyaksikan kebebasan gerak dibidang barang, jasa, modal, 54
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
36
teknologi, dan migrasi tenaga kerja. Terjadinya kebebasan gerak bagi berbagai faktor produksi untuk mencari kesempatan melakukan kegiatan yang telah menimbulkan laju pertumbuhan perdagangan yang tinggi.55 Jejak liberalisasi di era modern56, sampai dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya tiga pilar ekonomi dunia melalui Bretton Woods. Pilar
ini
terdiri
dari IMF
(International
Monetary
Fund),IBRD
(International Bank for Reconstruction and Develpoment), dan GATT yang kemudian bermetamorfosis menjadi WTO (World Trade Organization) setelah penyelenggaraan Putaran Uruguay. Beberapa kalangan mengatakan ketiga pilar yang berdiri pada tahun 1944 tersebut sebagai formalisasi atau pembadanan dari ideologi liberalisme. Pasalnya, liberalisasi ditengarai sebagai kristalisasi kehendak negara maju dalam era kolonialisme baru dengan menumpang kendaraan melalui ketiga pilar ekonomi tersebut. C. Aturan Internasional Terhadap Liberalisasi Perdagangan Sektor Jasa dalam Kerangka WTO dan Kerangka ASEAN 1. Liberalisasi Perdagangan Jasa dalam Kerangka WTO 1.1 Aturan Perundingan Uruguay Round WTO Persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan (General Agreement on Ttarrif and Trade) yang kemudian disingkat dengan GATT merupakan suatu perjanjian perdagangan multilateral yang disepakati pada tahun 1948, yang tujuan pokoknya ialah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna tercapainya kesejahteraan umat manusia. Lebih lanjut GATT 55
Ibid, hlm 41 Kekuatan ekonomi pada periode ini terpusat pada tiga kekuatan besar, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang yang pada gilirannya akan diimbangi oleh Cina. 56
Universitas Sumatera Utara
37
bertujuan untuk menjaga agar perdagangan dunia dapat menjadi semakin terbuka supaya arus perdagangan dapat berkembang dengan mengurangi hambatan-hambatan dalam bentuk tarif maupun non tarif .57 GATT menyelenggarakan putaran-putaran perundingan untuk membahas isu-isu hukum perdagangan dunia. Sejak berdiri (1947), GATT telah menyelenggarakan delapan putaran. Putaran terkahir Uruguay Round berlangsung dari kota Jenewa, Swiss. Pertemuan contracting parties GATT tingkat menteri yang diikuti oleh 108 negara, yang pertama kali dilaksanakan tanggal 20 september 1986 di Punta Del Este, Uruguay untuk meluncurkan perundingan perdagangan multilateral. Perundingan tersebut dilaksanakan selama 7 tahun, beberapa kali hingga selesai 15 April 1994 di Marakesh, Maroko yang kemudian melahirkan World Trade Organisation (WTO) yang memberikan pengaturan lebih lengkap dan konprehensif dibidang perdagangan. Rangkaian perundingan ini kemudian biasa dikenal dengan nama Perundingan Uruguay round.58 Inisiatif meluncurkan Putaran Uruguay ini disebabkan karena tidak terlaksananya komitmen yang telah disepakati dalam putaran Tokyo (1979)59 dan GATT Ministerial Meeting tahun 1982. Setelah putaran Tokyo diselesaikan tahun 1979, terlihat bahwa apa yang telah disepakati dalam rundingan tersebut 57
Syahmin A.K, Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analitis), (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm 41. 58 Sejarah dan perkembangan GATT hingga Putaran Uruguay dalam buku: Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam perdagangan Internasional, ( Jakarta; Rajawali Pers, 1995 ), hal 1-43. 59 Perundingan yang menghasilkan ketentuan-ketentuan yang mencangkup anti-dumping, subsidi dan ketentuan non-tarif atau masalah-masalah sektoral. Putaran Tokyo (1973-1979) menghasilkan enam kesepakatan yang tertuang dalam dokumen berjudul the Tokyo Round Codes.
Universitas Sumatera Utara
38
banyak sekali yang tidak dilaksanakan. Keadaan perekonomian dunia yang sangat buruk pada waktu itu tidak memungkinkan negara-negara peserta putaran Tokyo untuk secara konsekuen melaksanakan semua komitmen yang telah disepakati dalam putaran Tokyo, terutama kesepakatankesepakatan mengenai non-tarrif barrier.60 Kemudian dalam rangka Uruguay round ini, sebagai pedoman untuk melakukan perundingan telah dirumuskan Deklarasi Punta Del Este yang merupakan suatu pegangan mengenai tujuan, substansi maupun cara-cara atau modalitas perundingan.
61
Setelah putaran ini ditetapkan, para peserta segera
membentuk suatu struktur perundingan (Negotiating Structure) guna menangani setiap aspek putaran ini. struktur ini pada pokoknya terdiri dari tiga badan utama, yaitu (1) The Trade Negotiations Committee (TNC) yang bertujuan untuk mengawal seluruh jalannya putaran; (2) The Group of Negotiations on Goods (GNG) yang bertujuan untuk mengawasi semua subjek pembahasan kecuali jasa; dan (3) The Group of Negotiation on Service (GNS), badan yang bertujuan untuk mengawasi perundingan bidang Jasa.62 Pada tanggal 15 April, 1994 di Marrakesh, Maroko, para menteri menandatangani hasil perjanjian Uruguay Round. Mengenai isi dari perjanjian tersebut, isi perjanjian putaran Uruguay terbagi dalam lima belas kelompok. Empat dari perjanjian tersebut berupa ketentuan baru dalam GATT. Teks Hukum Tersebut adalah Pengaturan Perdagangan Penanaman Modal (Trade Related Investment Measures atau TRIMs), Perdagangan Jasa (Trade in 60
Syahmin A.K, Op.cit, hlm 202 H.S Kartadjoemena, Op.cit, hlm 202 62 Syahmin A.K, Op.cit, hlm 204
61
Universitas Sumatera Utara
39
Service), Perdagangan Hak Milik Intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights), dan Pembentukan Organisasi Perdagangan Multilateral (Multilateral Trade Organisation). Sedangkan teks perjanjian lainnya seperti Rules of origin, Pre-Shipment Inspection, anti dumping, subsidi, halanganhalangan
teknis
lainnya
dalam
perdagangan dan lainnya sifatnya
memperkuat ketentuan GATT yang sudah ada.63 Peter van den Bossche menyebut hasil Uruguay round dalam hal sebagai pembentuk WTO dalam buku mereka sebagai WTO Agreement. Perjanjian ini hanya memiliki 16 pasal dan menjelaskan secara lengkap fungsi-fungsi
WTO,
perangkat-perangkatnya,
keanggotaannya,
dan
prosedur pengambilan keputusan. Tetapi dalam perjanjian yang singkat itu juga terlampir sembilan belas perjanjian internasional yang merupakan satu kesatuan dan menjadi bagian dari WTO Agreement.64 Perjanjian mengenai liberalisasi perdagangan jasa kerangka WTO, melalui GATS diwujudkan dengan lampiran 1b. Kartadjoemena dalam bukunya merangkum beberapa elemen penting yang dihasilkan oleh Uruguay Round yang telah di tandatangani di Marakesh, Maroko65. Salah satunya perjanjian umum di bidang jasa atau trade in service, telah disepakati sebagai kerangka umum, atau Framework Agremeent. Untuk menentukan aturan permainan yang berlaku untuk perdagangan jasa.66
63
Syahmin A.K, Op.cit, hlm 215-216. Peter van Den Bossche (dkk), Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 2010 ) hlm 3-4. 65 H.S Kartadjoemena, Op.cit, hlm 41. 66 Perlu di tekankan bahwa sektor jasa-jasa, (yang termasuk jasa perbankan, jasa telekomunikasi, keuangan, konsultasi, parawisata, angkutan laut, udara, dan darat dan sebagainya) termasuk dalam naungan perjanjian ini. 64
Universitas Sumatera Utara
40
Perjanjian pada Lampiran 1,2 dan 3 adalah perjanjian Multilateral dan mengikat seluruh anggota WTO. Lampiran 4 berisi dua perjanjian plurilateral yang mengikat anggota WTO yang secara tegas menyetujuinya. WTO Agreement, 95 persen berisi Schedules of Concession (Jadwal Konsesi Dalam Perdagangan Barang) dan Schedule of Specific Commitments (Jadwal Komitmen Khusus Dalam Perdagangan Jasa).67 Agenda Putaran Uruguay sangat luas sehingga menjadikan putaran perundingan ini yang paling ambisius dalam sejarah GATT. Tidak hanya meliputi perdagangan barang (termasuk didalamnya perdagangan tekstil dan hasil pertanian yang sering menimbulkan sengketa) akan tetapi juga meliputi berbagai jenis jasa, trade-related aspects of intellectual property rights, trade related investment measures dan juga persoalan safeguard yang cukup pelik. Semua ini merupakan topik penting dan sebagian besar sifatnya sangat teknis dan mengandung perubahan-perubahan yang cukup mendasar.68 Dalam bidang jasa, walaupun kerangka perjanjian yang terurai secara lengkap dalam bentuk Framework Agrement dan beberapa perjanjian sektoral telah diselesaikan, perundingan masih tetap harus dilangsungkan untuk menentukan secara spesifik komitmen negara masing-masing dalam proses liberalisasi sektor jasa.69 Khusus dalam menyusun komitmen untuk mengadakan liberalisasi dibidang jasa, masing-masing negara peserta harus merinci komiten yang akan 67
Ibid, hlm 5. Hata, Perdagangan Internasional dalam sistem GATT dan WTO, (Bandung; PT. Refika Aditama, 2006) hlm 5-6. 69 H.S Kartadjoemena, Op.cit, hlm 32. 68
Universitas Sumatera Utara
41
diterapkan dan selanjutnya akan didaftarkan dalam Schedule of Commitment negara masing-masing. Berkaitan dengan ini, dapat pula dikemukakan bahwa pihak negara-negara maju telah mengemukakan permintaannya terhadap Indonesia mengenai liberalisasi dibidang jasa-jasa yang merupakan kepentingan mereka. Indonesia berupaya mengakomodasi permintaan tersebut. Hal tersebut di Jakarta
diselesaikan
oleh
Dirjen
Lembaga
Keuangan,
Departemen
Keuangan, selaku kordinator dari instansi-instansi yang berwenang dibidang jasa-jasa.70 1.2.
Jadwal
Komitmen
dalam
Perdagangan
Jasa
(Schedule
of
Commitments) Perjanjian dibidang jasa yang dihasilkan dalam perundingan Uruguay round terutama terurai didalam General Agreement on Trade in Service (GATS) yang merupakan kerangka Utama atau Framework Agreement. Dokumen utama ini mencakup aturan permainan yang berlaku secara umum bagi semua sektor dibidang jasa-jasa. Dalam GATS sebagai Framework Agreement tercantum prinsipprinsip
dasar
yang
merupakan
landasan
aturan
permainan
dalam
perdagangan internasional dibidang jasa. Perjanjian umum ini sangat diperlukan sebagai kerangka yang secara sistematik menentukan cakupan dari kegiatan yang diatur secara umum.71
70 71
Ibid., hlm 40. Ibid, hlm 232.
Universitas Sumatera Utara
42
Definisi perdagangan jasa menurut GATS terdiri atas empat jenis yang tergantung pada pemasok dan konsumen pada saat transaksi dilakukan. Sesuai dengan Pasal I ayat 2 GATS disebutkan modalitas pasokan (Mode of supply): “ For the purposes of this Agreement, trade in services is defined as the supply of a service: (a) from the territory of one Member into the territory of any other Member; (b) in the territory of one Member to the service consumer of any other Member; (c)by a service supplier of one Member, through commercial presence in the territory of any other Member; (d) by a service supplier of one Member, through presence of natural persons of a Member in the territory of any other Member. Perjanjian dibidang jasa-jasa merupakan salah satu hasil utama dari putaran Uruguay, perjanjian ini merupakan perjanjian baru yang secara khusus dan lengkap yang menentukan aturan main dibidang perdagangan jasa-jasa. Perjanjian ini mempunyai cakupan yang sama luasnya dengan perjanjian dibidang barang (trade in goods) yang terurai di dalam perjanjian GATT yang dirumuskan pada tahun 1947 dengan berbagai penyesuaian-penyesuaian pada periode selanjutnya. Pada bidang jasa, pada akhir Perundingan Uruguay Round hasil yang dikeluarkan adalah:72 a. Framework Agreement b. Initial Commitments. c. Sektoral Annex, yang terdiri dari: annex untuk Article II Exemption, annex untuk Movement of Natural persons supplying Sevice, annex untuk financial Service, annex untuk Telecomunication, annex untuk air Transportation Service, dan annex Mengenai Negotiations on Basic Telekomunications. 72
Ibid, hlm 234.
Universitas Sumatera Utara
43
d. Ministerial Decisions dan Understanding, yang terdiri dari Decision ofI Institutional Arrangements for the GATS, Decisions on Certain Dispute settlement Procedures for GATS, Decisions concerning Pharagraph (b)
of
Article
XIV,
Decicion
on
Negotiation
on
Basic
Telecomunications, Understanding on commitments in Financial Sevice, Decisions Concerning Kemudian untuk penerapan dalam pelaksanaan hasil dari perjanjian tersebut dalam bentuk langkah-langkah untuk menerapkan liberalisasi, diperlukan adanya Schedule of Commitments (SOC) yang dibuat oleh masing-masing negara peserta, yang secara eksplisit menyatakan komitmen negara-negara peserta pada sektor jasa-jasa. SOC yang merupakan bagian integral dari perjanjian, menyantumkan secara eksplisit sektor-sektor yang terbuka serta jenis-jenis transaksi yang boleh dilakukan oleh Foreign Service Provider atau pemasok jasa asing.73 Schedule of Commitments (SOC) yang dibuat oleh masing-masing negara peserta untuk menyatakan komitmen sektor jasa-nya dalam penerapan liberalisasi diatur dalam artikel XX ayat (1): Each Member shall set out in a schedule the specific commitments it undertakes under Part III of this Agreement. With respect to sectors where such commitments are undertaken..” Kartadjoemena Commitments
bahwa
menjelaskan
dalam
perumusan
proses SOC,
pengisian tahap
Schedule
pertama
of
adalah
73
Ibid. hlm 244-245
Universitas Sumatera Utara
44
mencantumkan sektor-sektor dimana negara peserta bersedia melakukan komitmen. Setiap negara-negara peserta wajib menegaskan sektor-sektor yang akan dibuka atau telah dibuka terhadap pihak asing. Prinsip yang berlaku dalam teknik pengisian SOC adalah prinsip positive list.74 Dengan demikian pada sektor dimana negara yang bersangkutan tidak bersedia untuk membuka dalam kerangka perjanjian, maka sektor tersebut tidak termasuk dalam daftar yang akan diliberalisasikan pada tahap itu. Dengan kata lain penunjukan mengenai sektor-sektor yang akan dibuka menerapkan prinsip positive list. Setelah negara-negara peserta menyatakan sektor-sektor yang prinsipnya akan dibuka untuk pihak asing dan tunduk pada aturan permainan Putaran Uruguay, negara yang bersangkutan tersebut kemudian mencantumkan dalam Schedule of Commitment transaksi dan ruang gerak yang boleh dilakukan oleh Foreign Service Providers atau pemasok jasa asing dalam sektor yang ditentukan. Dengan kata lain, melakukan kesepakatan untuk menjadi bahan negosiasi untuk saling tukar menukar konsesi, antara negara yang bersangkutan dengan pemasok jasa asing. Apabila pembatasan kegiatan transaksi dalam sektor ini tidak tercantum, perjanjian menganggap tidak ada pembatasan atau larangan. Dengan kata lain dalam tahapan penyusunan Schedule Of Commitments, pembatasannya diterapkan dengan sistem negative list. Pelanggaran
dalam
pelaksanaan
komitmen
yang
telah
dijanjikan dalam SOC akan menimbulkan sengketa. Apabila suatu negara, 74
Ibid. hlm 245
Universitas Sumatera Utara
45
melalui mekanisme penyelesaian sengketa dianggap melanggar, maka terbuka untuk negara lain untuk melakukan retaliasi yang dibenarkan oleh perjanjian. Apabila negara yang merasa dirugikan adalah negara yang memiliki kekuatan besar dibidang ekonomi dan perdagangan, bentuk retaliasinya juga terasa besar.75 1.3. Prinsip-Prinsip Dasar GATS Beberapa prinsip dasar di bidang Trade ini Goods (barang) dalam GATT diterapkan juga dalam konteks perdagangan di bidang Trade in Services (jasa) melalui kerangka perjanjian GATS. Berikut ini beberapa prinsip-prinsip dasar dalam liberalisasi jasa yang terdapat dalam GATS. a. Most Favoured-Nation Treatment ( MFN ) Prinsip MFN merupakan sebuah asas bahwa bila ada kemudahan yang diberikan kepada suatu negara, maka kemudahan tersebut juga harus di berikan kepada negara lainnya. Ini juga merupakan prinsip utama dalam perdagangan barang yang ada dalam GATT yang juga di gunakan dalam perdagangan jasa (GATS).76 Sedangkan tujuan utama dari kewajiban perlakuan MFN adalah untuk menjamin kesamaan kesempatan atas jasa yang “sejenis” dan pemberi jasa ( service suppliers ) “sejenis” , tanpa memerdulikan asal atau tujuan dari jasa-jasa atau pemberi jasa dari anggota WTO. Sesuai yang tercantum pada Pasal II:1.
75 76
Ibid, hlm 246. Syahmin A.K, Op Cit, hlm 184-185.
Universitas Sumatera Utara
46
“ ..Each member shall accord immediately and unconditionally77 to services and service suppliers of any other Member treatment no less favourable than that it accords to like services and service suppliers of any other country.” Oleh karena itu, suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Satu negara anggota yang bersangkutan boleh tidak menerapkan syarat tambahan untuk memeberikan keuntungan kepada negara anggota lainnya, dan anggota tersebut Prinsip ini tampak dalam Pasal 2 terkait pada perjanjian mengenai jasa. Singkatnya, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua Negara menikkmati keuntungan dari suatu kebijaksanaaan perdagangan. Namun demikian, dalam pelaksanaaannya prinsip ini mendapat pengecualiannya, khususnya dalam menyangkut kepentingan negaraa sedang berkembang. Jadi berdasarkan prinsip itu, suatu negara anggota pada pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan sama terhadap produk jasa di negara anggota lainnya.78 b. Transparansi Prinsip Transparansi ini diatur dalam pasal III GATS yang mewajibkan
semua
anggota
mempublikasikan
semua
peraturan
perundangan, pedoman pelaksanaan, serta semua keputusan dan ketentuan yang
77 Dalam GATS, MFN atau dikenal juga dengan prinsip non diskriminasi merupakan suatu kewajiban umum (general obligation). Kewajiban ini bersifat segera (immediately) dan otomatis (unconditionally). Prinsip ini tidak berlaku terhadap transaksi-transaksi komersial diantara anggota GATT yang secara teknis bukan merupakan impor atau ekspor “produk-produk” seperti pengangkutan internasional, pengalihan paten, lisensi, dan hak-hak tak berwujud lainnya atau aliran modal. 78 Huala Adlof, Hukum Perdagangan Internasional, Op Cit, hlm 109.
Universitas Sumatera Utara
47
berlaku secara secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang mempunyai dampak pada pelaksanaan GATS. “Each Member shall publish promptly and, except in emergency situations, at the latest by the time of their entry into force, all relevant measures of general application which pertain to or affect the operation of this Agreement. International agreements pertaining to or affecting trade in services to which a Member is a signatory shall also be published.” Selain itu, juga diwajibkan untuk memberitahukan Council For the Trade and Service (salah satu badan dalam WTO) atas setiap perubahan atau dikeluarkannya peraturan perundangan yang baru yang berdampak terhadap perdagangan jasa yang dicantumkan dalam SOC. Pemberitahuan ini minimal dilakukan sekali dalam setahun.79 Notifikasi terhadap Council For the Trade and Service diatur dalam Pasal III ayat 3: “Each Member shall promptly and at least annually inform the Council for Trade in Services of the introduction of any new, or any changes to existing, laws, regulations or administrative guidelines which significantly affect trade in services covered by its specific commitments under this Agreement.” c. Peningkatan
partisipasi
negara
yang
sedang
berkembang
(Developed Country) Secara prinsip sistem WTO tidak membedakan antara negara maju dan negara berkembang. Namun demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu kepada negara-negara berkembang diberikan perlakuan khusus. Hal ini dapat dilihat dari perlakuan khusus yang diberikan kepada negara sedang berkembang dalam 79
Syahmin A.K, Op.Cit, hlm191-192.
Universitas Sumatera Utara
48
penyampaian SOC. Penyampaian SOC ini merupakan salah satu syarat untuk dapat menjadi original member WTO (pasal 11 WTO). Kepada negara sedang berkembang (least developing country), Indonesia tak termasuk kriteria ini, diberikan waktu sampai dengan April 1995, sedangkan untuk negara lainnya batas waktu penyerahan adalah 15 Desember 1993.80 Aturan-aturan dalam WTO Agreement telah memeberi aturan yang seimbang antara hak dan kewajiban bagi negara pesertanya. Bagi negara yang sedang berkembang, meskipun aturannya tidak jelas dan tidak member “muatan” yang jelas, tetapi yang penting aturan khusus untuk negara yang sedang berkembang sudah ada.81 Apabila negara berkembang tersebut memahami aturanaturannya sehingga dapat memahami dan memanfaatkan aturan-aturan tersebut bagi kepentingan perdagangannya. Selain itu, kepada negara sedang berkembang juga diberi kemudahan
dalam
rangka
meningkatkan
partisipasinya
melalui
perundingan SOC yang menyangkut; peningkatan kapasitas jasa dalam negeri dan efesiensi serta daya saing sektor jasa dalam negeri antara lain melalui akses kepada teknologi secara komersial, perbaikan akses terhadap jaringan distribusi dan informasi; dan liberalisasi akses pasar untuk sektor-sektor dan cara pemasokan yang menjadi kepentingan bagi ekspor negara berkembang, sesuai dengan Pasal IV ayat (1) GATS:
80
Ibid, hlm 192-194 Ketidaktegasan pengaturan untuk kepentingan negara sedang berkembang sebenarnya juga adalah kelemahan dari aturan WTO Agreement itu sendiri. 81
Universitas Sumatera Utara
49
“The increasing participation of developing country Members in world trade shall be facilitated through negotiated specific commitments, by different Members pursuant to Parts III and IV of this Agreement” Kemudahan lainnya yang diberikan kepada negara yang sedang berkembang adalah dalam rangka negosiasi selanjutnya untuk mebuka pasar. Kepada mereka diberikan fleksibilitas yang cukup untuk untuk membuka sektor yang lebih sedikit, melakukan perluasan akses pasar secara bertahap sejalan dengan situasi pembangunannya. (pasal XIX ayat (2) GATS). “The process of liberalization shall take place with due respect for national policy objectives and the level of development of individual Members, both overall and in individual sectors. There shall be appropriate flexibility for individual developing country Members for opening fewer sectors, liberalizing fewer types of transactions, progressively extending market access in line with their development situation and, when making access to their markets available to foreign service suppliers, attaching to such access conditions aimed at achieving the objectives referred to in Article IV.” Selanjutnya, dalam rangka membantu negara sedang berkembang, negara maju diwajibkan untuk mendirikan “contact point” untuk membantu negara berkembang dalam mengakses informasi82 mengenai pasar masing-masing negara maju. “Developed country Members, and to the extent possible other Members, shall establish contact points within two years from the date of entry into force of the WTO Agreement to facilitate the access of
82
Aspek-aspek akses informasi dalam membantu negara berkembang, meliputi; Aspek komersial dan teknis dari pemasok jasa (commercial and technical aspects of the supply of services); Pendaftaran, pengakuan dan cara memperoleh kualifikasi professional (registration, recognition and obtaining of professional qualifications); dan Tersedianya teknologi jasa (the availability of services technology). (pasal IV (2) GATS).
Universitas Sumatera Utara
50
developing country Members' service suppliers to information, related to their respective markets..” d. Liberalisasi Bertahap Liberalisasi bertahap tersebut dilakukan dengan mewajibkan semua angota WTO untuk melakukan putaran negosiasi yang berkesinambungan yang dimulai paling lambat lima tahun sejak berlakunya perjanjian WTO (sejak 1 januari 1995). Negosiasi tersebut harus dilakukan dengan mengurangi atau menghilangkan measures (ukuran) yang dapat berdampak buruk terhadap perdagangan Jasa. Meskipun demikian, proses liberalisasi harus dilakukan dengan tetap menghomati kepentingan nasional dan tingkat pembangunan masingmasing (Pasal XIX ayat(1) GATS). Ketentuan dalam pasal XIX dapat digunakan oleh negara maju untuk menekan negara berkembang untuk melakukan perundingan selanjutnya.83 “In pursuance of the objectives of this Agreement, Members shall enter into successive rounds of negotiations, beginning not later than five years from the date of entry into force of the WTO Agreement and periodically thereafter, with a view to achieving a progressively higher level of liberalization. Such negotiations shall be directed to the reduction or elimination of the adverse effects on trade in services of measures as a means of providing effective market access. This process shall take place with a view to promoting the interests of all participants on a mutually advantageous basis and to securing an overall balance of rights and obligations.” Komitmen yang telah diberikan dalam rangka perundingan putaran Uruguay, dan telah menjadi annex dari GATS, pada prinsipnya tidak boleh ditarik, diubah dan/atau dikurangi. Perbaikan hanya dimungkinkan apabila dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan komitmen. Penarikan dan/atau 83
Syahmin A.K, Op.Cit, hlm 195
Universitas Sumatera Utara
51
perubahan komitmen yang diberikan hanya dapat dilakukan dengan pembayaran kompensasi kepada anggota yang dirugikan (Pasal XXI GATS).84 “..At the request of any Member the benefits of which under this Agreement may be affected (referred to in this Article as an "affected Member") by a proposed modification or withdrawal notified under subparagraph 1(b), the modifying Member shall enter into negotiations with a view to reaching agreement on any necessary compensatory adjustment.” e. Proteksi Terhadap Komitmen Khusus (Protecting Through Specific Commitments ) Dalam hal proteksi, perdagangan jasa berbeda dengan barang. Dalam perdagangan jasa, proteksi dengan menggunakan pembatasan tarif tersebut tidak bisa dilaksanakan karena jasa-jasa itu sendiri, sehingga tidak dapat dihambat melalui tarif. Oleh karena itu, proteksi yang dapat dilakukan dalam perdagangan jasa adalah dalam bentuk SOC yang dibuat masingmasing negara sesua dengan keadaan negara tersebut yang kemudian dirundingkan dengan mitra dagangnya.85 SOC ini diatur pada bagian III yang terpisah dari bagian II GATS yang merupakan general obliagation. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Schedule of Commitment bukan merupakan automatic obligation, Tetapi merupakan specific obligation. Artinya yang menjadi kewajiban adalah sesuai dengan yang tecantum dalam SOC negara yang bersangkutan. Dalam bagian III GATS mengenai komitmen khusus (specific commitments) dikenal tiga macam komitmen, yaitu: 84
85
Ibid, hlm 196 Ibid, hlm 186
Universitas Sumatera Utara
52
e. Komitmen Akses Pasar ( Market Acces ) f. Komitmen Perlakuan Nasional ( National Treatment ) g. Perlakuan Tambahan ( Additional Treatment ) Tiap SOC yang dibuat oleh setiap negara yang bersangkutan, tiga macam komitmen ini digabung menjadi satu paket prinsip yang terkandung dalam SOC tersebut. SOC dari masing-masing negara sesuai dengan Pasal XX (3) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari GATS. SOC sebagai aturan main dalam GATS diterapkan oleh negara peserta, sesuai dengan Pasal XX paragraph 3; “ Schedules of specific commitments shall be annexed to this Agreement and shall form an integral part thereof.” Kaitannya
dengan
komitmen
kebijakan
proteksi
dalam
komitmen khusus negara anggota, sesuai dengan pasal 6 aturan GATS/WTO diwajibkan membuat aturan nasional sesuai aturan WTO, dengan syarat aturan domestik harus transparan tidak menjadi beban bagi penyedia jasa, atau menurunkan kualitas jasa yang disediakan akibat diterapkannya prosedur/perizinan di bidang jasa suatu negara. Dalam pasal 6 ayat 4, 86 negara anggota WTO diminta untuk mengembangkan disiplin-disiplin yang diperlukan untuk menjamin peraturan perundang-undangan
nasional disebut dengan domestic
regulation, 87 86
Pasal 6 ayat 4 GATS, ; “Domestic Regulation”, “With a view to ensuring that measures relating to qualification requirements and procedures, technical standards and licensing requirements do not constitute unnecessary barriers to trade in services, the Council for Trade in Services shall, through appropriate bodies it may establish, develop any necessary disciplines.” 87 Mahmul Siregar (dkk), Cabotage Principle Pada Regulasi Jasa Angkutan dalam Perairan Indonesia dari Perspektif Sistem Perdagangan Multilateral WTO/GATS, Law Review Volume XII No.2, November 2012. Hlm 208.
Universitas Sumatera Utara
53
Negara anggota membuka pasarnya untuk mitra dagang negara
anggota
lainnnya
yang
dalam
perumusan
regulasinya
berkewajiban untuk memperhatikan konsistensi atau syarat-syarat antara hukum nasional negara anggota tersebut dengan ketentuan yang ada dalam GATS yang dinyatakan melalui SOC. Prinsip ini bertujuan sebagai ukuran dalam tahapan liberalisasi dengan membuat batasanbatasan melalui SOC sesuai dengan aturan hukum nasional negara anggota. Dalam penerapan peraturan nasionalnya jangan sampai menimbulkan hambatan dalam perdagangan jasa. Dengan demikian SOC tersebut mengikat bagi negara yang membuatnya. Dengan SOC ini, tercermin juga suatu prinsip, yaitu prinsip liberalisasi dalam perdagangan jasa dilakukan secara bertahap (progressive liberalization) sesuai dengan keadaan dan kemampuan negara masing-masing. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal XIX GATS. e. Integrasi Ekonomi Kerja sama regional telah lama dipandang sebagai pengecualian dari klausula MFN dalam perjanjian perdagangan. Meskipun demikian, WTO secara prinsip tidak melarang anggotanya untuk bergabung dengan organisasi kerjasama ekonomi regional atau mengadakan perjanjian liberalisasi perdagangan jasa antara dua atau lebih negara, asal saja memenuhi beberapa kriteria yang rinci dan kompleks sebagaimana diatur dalam pasal V GATS. 1.4 Pengaturan Mengenai Akses Pasar (Market Acces) Akses pasar atas jasa dari negara-negara lain ke dalam pasar anggota WTO dapat, dan sering terjadi, dihalangi atau dilarang masuk dengan
Universitas Sumatera Utara
54
berbagai cara. Seperti perdagangan pada perdagangan barang, perdagangan atas jasa juga merupakan subyek pembatasan. Produksi dan konsumsi jasa adalah subyek regulasi domestik yang sangat luas jangkaunnya. Hambatan pada perdagangan jasa utamanya merupakan akibat dari regulasi-regulasi nasional. Hukum WTO dan GATS khususnya, menyediakan peraturan disiplin pada hambatan perdagangan jasa.
Pembedaan harus dilakuakan antara
hambatan terhadap akses pasar dan hambatan lainnya dalaam perdagangan jasa.88 Peraturan atas hambatan pada akses pasar tercantum dalam pasal XVI GATS. Pasal XVI:2 GATS berisi sebuah daftar yang panjang mengenai hambatan-hambatan
akses
pasar.
Daftar-daftar
mengenai
lima
jenis
pembatasan kuantitatif seperti pembatasan pada jumlah pemberi/pengirim jasa yang mungkin aktif pada suatu pasar tertentupembatasan pada jumlah total operasi jasa dan pembatasan pada partisipasi modal asing dalam perusahaanperusahaan pemberi jasa. dan satu jenis ketentuan yang menghambat pemberian jasa adalah bentuk-bentuk gtertentu dari badan hukum atau modal bersama (Joint Venture).89 Hambatan –hambatan akses pasar ini secara khusus menghambat akses pasar bagi jasa dan pemberi jasa asing. Tetapi, sering hambatan akses pasar membatasi akses untuk kedua belah pihak, baik jasa maupun pemberi jasa dan domestik. Oleh karena itu, tindakan non-diskriminasi juga tercakup dalam konsep “hambatan akses pasar”. Tetapi, tindakan-tindakan yang 88 89
Peter van Den Bossche (dkk), Op, Cit. hlm 35. Ibid. hlm 36.
Universitas Sumatera Utara
55
menghalangi akses pasar dengan menerapkan persyaratan seperti kualitas jasa atau kualifikasi pemberi jasa adalah bukan merupakan hambatanm untuk akses pasar dalam pengertian pasal XVI. GATS tidak menyediakan larangan umum atas hambatan atas pasar yang tercantum pada pasal XVI. Ketika satu anggota membuat komitmen atas akses pasar, anggota tersebut mengikat diri pada tingkatan akses pasar yang telah ditentukan dalam Schedule of Specific Commitments (sesuai dengan pasal XVI:1) dan setuju untuk tidak menerapkan hambatan akses pasar manapun yang dapat memebatasi akses ke pasar melebihi dari tingkatan atas akses pasar yang telah ditentukan (Pasal XVI:2). Pasal XVI (1); ”With respect to market access through the modes of supply identified in Article I, each Member shall accord services and service suppliers of any other Member treatment no less favourable than that provided for under the terms, limitations and conditions agreed and specified in its Schedule. (2); “In sectors where market-access commitments are undertaken, the measures which a Member shall not maintain or adopt either on the basis of a regional subdivision or on the basis of its entire territory, unless otherwise specified in its Schedule.” Komitmen-komitmen atas akses pasar sering didampingi oleh persyaratan dan pembatasan
(untuk jasa-jasa tertentu). Oleh karena itu,
memungkinkan bahwa beberapa hambatan atas akses pasar diizinkan walaupun kenyataannya komitmen terhadap akses pasar telah dibuat atas sektor jasa tersebut. Komitmen atas akses pasar saat seperti yang dirundingkan pada Putaran Uruguay, tidak terlalu sulit dicapai. Hampir semua anggota WTO telah berkomitmen hanya untuk memelihara tingkatkan yang telah ada atas akses pasar.
Universitas Sumatera Utara
56
Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bahwa Pasal XIX GATS memanggil para anggota untuk memulai perundingan-perundigan baru atas perdagangan jasa, atau perundingan atas komitmen akses pasar (dan perlakuan nasional) tidak lebih lambat dari 5 tahun sejak berlakunya WTO agreement.
1.5 Ketentuan Mengenai Integrasi Regional Ketentuan WTO juga mengatur mengenai pengecualian atas integrasi regional.90 Kesepakatan integrasi regional (RIAs) telah menjadi isu penting dalam ranah integrasi ekonomi.91 Kesepakatan tersebut, yang memberikan perlakuan khusus pada kelompok negara tertentu, telah memunculkan isu kompatibilitas kesepakatan tersebut dengan GATT/WTO.92 Dalam beberapa tahun terakhir, perjanjjian integrasi regional antara anggota WTO semakin berkembang. Tetapi, terdapat suatu kekhawatiran banyaknya customs union93 dan area perdagangan bebas (Free Trade Area) yang pada hakekatnya mendiskriminasi anggota WTO yang bukan bagian dari
90
Pasal XXIV GATT 1994 untuk perjanjian integrasi regional berkaitan perdagangan barang dan pada Pasal V GATS, berkaitan dengan integrasi regional berkaitan perdagangan sektor jasa, memperbolehkan anggota WTO untuk melakukan perdagangan bebas dengan lebih cepat diantara anggota-anggota tertentu yang membentuk suatu kelompok. 91 Proses integrasi ekonomi dilandasi oleh konsep dasar bahwa manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari proses tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya atau resiko yang mungkin dihadapi apabila tidak terlibat dalam proses tersebut. Akan hal tersebut, banyak pengambil kebijakan mencoba menempuh kebijakan liberalisasi perdagangan atau mencapai integrasi ekonomi dengan negara lain. 92 Dalam studi yang dilakukan Sekretariat WTO (1995) menyimpulkan bahwa kesepakatan regional merupakan upaya untuk saling melengkapi ketimbang sebagai alternatif usaha untuk menciptakan perdagangan dunia yang lebih bebas. 93 Penyatuan beberapa negara dalam satu kesatuan, teori customs union oleh Viner, orang pertama yang meletakan dasar-dasar teori custom union yang mempresentasikan pokok-pokok teori tradisional integrasi ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
57
organisasi regional tersebut, yang dicurigai dapat menimbulkan ancaman terhadap sistem perdagangan multilateral. Pada Pasal V GATS mempunyai persyaratan yang sama dengan Pasal XXIV GATT 1994. Menurut ketentuan ini, suatu tindakan yang seharusnya dilarang oleh GATS, dan yang terutama bertentangan dengan kewajiban MFN yang diatur dalam Pasal II GATS dibenarkan bila: 1. Tindakan tersebut diberlakukan sebagai bagian dari sebuah perjanjian yang meliberalisasikan perdagangan di bidang jasa yang memenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan dalam Pasal V. 2. Jika tindakan tersebut tidak diperbolehkan, anggota WTO tersebut tidak dapat terlibat dalam perjanjian yang meliberalisasikan perdagangan di bidang jasa tersebut. Dalam kenyataanya Pasal XXIV GATT 1994 dan Pasal V GATS seringkali diabaikan, meskipun setiap anggota WTO yang ingin membentuk suatu perjanjian integrasi regional berkewajiban untuk melakukan notifikasi dan komite di WTO yang menangani di bidang Regional Trade Agreement harus melakukan telaah agar sesuai dengan ketentuan WTO. 2. Liberalisasi Perdagangan Sektor Jasa Dalam Kerangka ASEAN 2.1 Latar Belakang Perdagangan Bebas Regional ASEAN Perkembangan ekonomi kawasan global dewasa ini cukup berpengaruh terhadap ekonomi regional. Arus globalisasi membuat perubahan mendasar dalam tata dunia internasional terlebih pada aspek ekonomi. Salah satu ciri perkembangan ekonomi global adalah adanya liberalisasi arus barang,
Universitas Sumatera Utara
58
jasa, modal dan investasi. Adanya liberalisasi ini membuat sistem perekonomian dunia menjadi terbuka dimana terintegrasinya pasar keuangan secara internasional. Proses liberalisasi menyebabkan perekonomian global semakin terpadu (integrated) dan terindepedensi juga semakin kuat.94 Keadaan ini sangat berpengaruh signifikan dalam perkembangan ekonomi kawasan Asia Tenggara. Perdagangan bebas di tingkat bilateral dan kawasan regional disebut sebagai BFTA (Bilateral Free Trade Agreement) dan RTA (Regional Trade Agreement), keduanya kemudia biasa dikenal sebagai FTA (Free Trade Agreement) atau Perjanjian Perdagngan Bebas. Perlu dipahami bahwa aturan di FTA baik yang bersifat bilateral maupun regional, berinduk kepada perjanjian (agreement) di WTO yang berssifat multilateral. Hal ini selalu ditekankan di setiap klausul kesepakatan FTA. Integrasi ekonomi Asia Tenggara95 ini sesuai dengan ketentuan perjanjian
WTO dengan
tujuan
saling
menguntungkan dengan
cara
pemberlakuan tarif yang lebih rendah sesama anggota bila dibandingkan dengan non-anggota (Prefential Trade Agreement/ASEAN PTA)96 antar negara-negara anggota sekawasan ini. Tetapi menemukan kendala, belum
94
J. Soedjati Jiwandono, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung; Kata pengantar, 1999) 95 Tujuan bagi integrasi ekonomintersebut diantaranya adalah penghapusan tarif, kebebasan bergerakdari kaum professional, kebebassan bergerak dari modal, serta penyederhanaan prosedur kepabeanan. Untuk itu diperlukan pembentukan kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas (FTA) yang merupakan strategi kunci bagi ASEAN untuk mendapatkan akses pasar yang lebih besar ke mitra dagang ASEAN serta guna menarik investasi ke dalam ASEAN. 96 Persetujuan Pengaturan Perdagngan Preferensi ASEAN (PTA) Manila, Filiphina, tanggal 24 Februari 1977 dan mulai diberlakukan tahun 1978.
Universitas Sumatera Utara
59
dapat memberikan tingkat preferensi yang memadai, rendahnya tingkat komplementaritas, sehingga kurang mendukung upaya perdagangan.97 Saat ini di tingkat regional ASEAN sudah dibuat payung bagi rezim perdagangan bebas yang komprehensif yang memayungi semua perjanjian perdagangan bebas, didalamnya ada AFTA (ASEAN Free Trade Area).98 AFTA merupakan mekanisme dan regionalisme dengan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. Kesepakatan merealisasikan AFTA ini dilakukan melalui skema yang disebut “Commmon Effective Prefential Tariffs” (CEPT).99 Realisasi AFTA melalui CEPT merupakan jalur perdagangan bebas dalam bidang barang (trade in goods) dengan mekanisme penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN. Sedangkan dalam bidang jasa (trade in service) melalui kerangka perjanjian AFAS sebagai upaya melakukan liberalisasi dengan tingkat lebih tinggi. Dalam area jasa, deklarasi Konvensi Bangkok menyepakati untuk meningkatkan kerjasama dan kebebasan perdagangan dibidang jasa melalui perwujudan ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS). Perjanjian ini khususnya berusaha meningkatkan efesiensi dan tingkat kompetitif dari anggota 97
Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, (Jakarta; PT. Tatanusa, 2007), hlm 14. 98 AFTA adalah hasil kesepakatan para kepala negara ASEAN dalam ASEAN Summit IV di singapura pada bulan Januari 1992 ketika ditandatanganinya “Singapore Declaration and Agreement for Enchacing ASEAN Economic Cooperation”. 99 Commmon Effective Prefential Tariffs (CEPT), suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui penurunan tariff hingga 0-5%. Penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatanhambatan non-tarif lainnya.
Universitas Sumatera Utara
60
ASEAN sebagai penyedia jasa, khususnya mengeliminasi
pembatasan
perdagangan dibidang jasa antar anggota ASEAN, dan meliberalisasi perdagangan jasa dengan memperluas tingkatan dan lingkup dari liberalisasi melampaui yang telah ada di dalam GATS (General Agreement Trade in Service) dengan tujuan sebuah area perdagangan bebas dibidang jasa.100 Para memimpin ASEAN telah mengesahkan AFAS pada KTT ke-5 ASEAN tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand, dan Indonesia telah meratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 1995, dimana AFAS antara lain berisi kesepakatan untuk101: a. Meningkatkan kerjasama dibidang jasa diantara negara-negara ASEAN dalam rangka meningkatkan efesiensi dan daya saing, diversifikasi kapasitas produksi serta pemasokan dan distribusi jasa, baik antara penyedia jasa di ASEAN maupun diluar ASEAN. b. Menghapus hambatan perdagangan dibidang jasa secara substansial antar negara ASEAN. c. Meliberalisasi perdagangan bidang jasa dengan memperdalam dan memperluas cakupan liberalisasi yang telah dilakukan oleh negaranegara dalam kerangka GATS/WTO, dengan tujuan mewujudkan perdagangan bebas dibidang jasa. Sedangkan sesuai Artikel I AFAS:102 a. to enhance cooperation in services amongst Member States in order to improve the efficiency and competitiveness, diversify production capacity and 100
Hadi Soesastro, A New ASEAN in a New Millenium, (Jakarta; Centre for Strategic and International Student, 2000 ) hlm. 215. 101 Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa, Jakarta, 2009, hlm 7 102 httpwww.asean.orgcommunitiesasean-economic-communityitemasean-frameworkagreement-on-services.html, diakses pada tanggal 21 Januari 2014.
Universitas Sumatera Utara
61
supply and distribution of services of their service suppliers within and outside ASEAN; b. to eliminate substantially restrictions to trade in services amongst Member States; and c. to liberalise trade in services by expanding the depth and scope of liberalisation beyond those undertaken by Member States under the GATS with the aim to realising a free trade area in services. Dalam proses perudingan, sektor jasa memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan proses perundingan liberalisasi sektor barang. Pada sektor barang, perundingan liberalisasi dilakukan dengan penurunan tariff dan non tarif. Sementara di perdagangan jasa, perundingan dilakukan dengan melakukan pengurangan atau penghjjilangan hambatan dalam empat cara ketersediaan jasa dari penyedia jasa kepada pengguna jasa (mode of supply). Kempat mode of supply dalam perdagangan jasa adalah sebagai berikut:103 1. Mode1 (cross-border-supply) merupakan jasa yang diberikan secara langsung oleh penyedia jasa luar negeri dengan pengguna dalam negeri. Contohnya pertimbangan hukum yang diberikan oleh pengacara di luar negeri lewat surat atau telepon. 2. Mode 2 (consumption abroad) merupakan jasa yang diberikan oleh penyedia Jasa diluar negeri kepada konsumen domestik setelah konsumen tersebut berpindah secara fisik ke negara penyedia jasa. Contohnya pasien Indonesia berobat ke rumah sakit di Singapura. 3. Mode 3 (commercial Presence) merupakan jasa yang disediakan dengan kehadiran penyedia jasa dari luar negeri kepada konsumen di negara konsumen. Contoh : pendirian rumah sakit milik Singapura di Indonesia. 103
Lihat “ASEAN Framework Agreement on Service”,Fact Sheet ASEAN, Public Affairs Office of the ASEAN Secretariat, Jakarta, 26 Februari 2009
Universitas Sumatera Utara
62
4. Mode 4 (movement of individual service providers) merupakan penyediaan jasa langsung berupa tenaga kerja asing yang memiliki keahlian tertentu kepada konsumen di negara konsumen, contohnya dokter Singapura melakukan praktik di Indonesia. Pengesahan protokol AFAS akan melengkapi perangkat hukum secara nasional pelaksanaan persetujuan terkait dengan perdagangan jasa di Indonesia. Adapun peraturan terkait dengan protokol AFAS, adalah: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Oeganization (persetujuan pembentukan organisasi Perdagangan Dunia). 2. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 1995 tentang pengesahan ASEAN Framework Agreement on Services (persetujuan perdagangan bidang jasa di ASEAN). 3. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Internasional. 4. Keputusan Presiden Nomor61 Tahun 1998 tentang Perusahaan Pembiayaan. 5. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 1999 tentang perubahan atas PP Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Pengansuransian. 2.2 Prinsip-Prinsip dalam AFAS Dalam perundingan liberalisasi bidang jasa, AFAS menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang diterapkan dalam WTO. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :104
104
Aida S Budiman (dkk), Masyarakat EKonomi ASEAN 2015, (Jakarta; PT.Elex Media Komputindo, 2008), hlm 8-9.
Universitas Sumatera Utara
63
a. Most Favoured Nation (MFN) Treatment- kemudahan yang diberikan kepada suatu negara berlaku juga untuk semua negara lain. b. Non discriminative, pemberlakuan hambatan perdagangan diterapkan untuk semua negara, tanpa pengecualian; c. Transparancy, setiap negara wajib mempublikasikan semua peraturan, perundang-undangan,
pedoman
pelaksanaan
dan
semua
keputusan/
ketentuan yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah; d. Progressive liberalization, liberalisasi secara bertahap sesuai dengan tinggat perkembangan ekonomi setiap negara anggota. Kemudian dalam komitmen liberalisasi perdagangan jasa dilakukan dalam empat derajat liberalisasi yang berbeda-beda, yaitu113: a. None, artinya terbuka penuh atau tidak ada hambatan dan pembatasan pada sektor jasa tersebut. b. Bound with limitations; artinya liberalisasi dengan pembatasanpembatasan tertentu yang disebutkan dalam komitmen, dimasa yang akan dating, pembatasan ini dapat dibuka lebih lanjut. c. Unbound, artinya tidak ada komitment, dikarenakan adanya aturanaturan yang tidak sejalan dengan akses pasar atau perlakuan pasar. d. No commitment, tidak ada komitmen karena memang secara teknis tidak dimungkinkan. Untuk sektor jasa, ASEAN harus mengijinkan upaya liberalisasi sektor jasa keuangan dari negara anggota untuk menjamin pengembangan
Universitas Sumatera Utara
64
sektor keuangan dan menjaga stabilitas keuangan dan sosial ekonomi. Maka negara anggota akan berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai berikut:105 a. Liberalisasi (melaui formula ASEAN minus X) dimana negara-negara yang telah siap dapat terlebih dahulu melaksanakan liberalisasi dan negara yang belum siap dapat bergabung kemudian; dan. b. Proses liberalisasi harus sesuai dengan tujuan kebijakan nasional dan tingkat pembangunan ekonomi serta sektor keuangan di setiap negara anggota. Mengenai
komitmen
dalam
liberalisasi
sektor
jasa,
AFAS
mempunyai kesamaan dalam hal negosiasi setiap anggotanya menawarkan pembukaan sektor jasa mana yang akan di kontribusikan dalam rangka peningkatan liberalisasi. Aturan AFAS mengenai spesifik komitmen (specific commitments) diatur dalam artikel IV, ayat 1 yang berbunyi: “Member States shall enter into negotiations on measures affecting trade in specific service sectors. Such negotiations shall be directed towards achieving commitments which are beyond those inscribed in each Member State's schedule of specific commitments under the GATS and for which Member States shall accord preferential treatment to one another on an MFN basis.“ Dalam pemberian komitmen di AFAS, negara anggota diharuskan untuk memberikan tingkat komitmen yang lebih baik untuk sesama anggota ASEAN dibandingkan dengan komitmennya dalam GATS/WTO, serta membuka lebih banyak sektor atau sub-sektor, berdasarkan prinsip MFN. Sehingga AFAS dikenal juga dengan Istilah GATS Plus.106
105
Ibid, hlm 12-13 Komitmen dalam rangka AFAS adalah GATS Plus artinya komitmen Indonesia dan negaranegara anggota ASEAN untuk liberalisasi sektor perdagangan jasa pada tingkat ASEAN lebih besar dari[pada komitmen yang diberikan pada tingkat GATS/WTO. 106
Universitas Sumatera Utara
65
2.3 Mekanisme Pelaksanaan AFAS107 Mekanisme liberalisasi perdagangan Jasa AFAS dilakukan melaui rangkaian negosiasi dibawah Coordinating Committee on Service (CCS), yang didirikan pada Januari 1996. Badan ini bertanggung jawab kepada ASEAN Economic Meeting (AEM) melaui Senior Officials Meeting (SEOM). Berdasarkan Artikel XI (1) (2): 1. The SEOM shall carry out such functions to facilitate the operation of this Framework Agreement and further its objectives, including the Organisation of the conduct of negotiations, review and supervision of the implementation of this Framework Agreement. 2. The ASEAN Secretariat shall assist SEOM in carrying out its functions, including providing the support for supervising, coordinating and reviewing the implementation of this Framework Agreement. Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, dibentuklah sebuah komite yang disebut dengan Coordinating Committee on Service (CCS) yang betugas menyusun modalitas untuk mengelola negosiasi liberalisasi jasa dalam AFAS.108 CCS mengordinasikan enam kelompok kerja yang terdiri dari bisnis, konstruksi, kesehatan, transportasi laut, parawisata, serta telekomunuikasi dan teknologi informasi. Untuk sektor jasa lainnya, sejak1999 proses perundingan dikordinasikan secara terpisah dibawah masing-masing kementrian yang menangani sektor tersebut.109 Perundingan liberalisasi jasa ASEAN dilakukan dalam putaran perundingan dengan kurun waktu sekitar tiga tahun. Putaran pertama dilakukan 107
Uraian mengenai mekanisme AFAS, lihat; Aida S Budiman, Op.Cit. hlm 130-131 Integrasi Ekonomi ASEAN di Bidang Jasa, Op.Cit, hlm 23. 109 Sebagai contoh sektor transportasi melalui Air Transport Working Group (ATWG), dan sektor jasa keuangan melalui Working Committee on Financial Service Liberalisation (WC-FSL) under AFAS. 108
Universitas Sumatera Utara
66
pada 1996-1998, dengan mengadopsi pendekatan permintaan dan penawaran (Request and Offer Approach), dimulai dengan pertukaran informasi antar anggota ASEAN tentang komitmen yang telah dibuat dalam GATS dan rezim perdagangan jasa yang diberlakukan di negara masing-masing. Putaran kedua dilakukan pada 1999-2001 dengan mengadopsi Common subsektor Approach, yakni pendekatan yang didasarkan pada komitmen yang telah disetujui oleh minimal empat negara ASEAN, baik dalam GATS maupun dalam AFAS. Jika suatu sub-sektor jasa telah memiliki komitmen lebih dari empat negara, maka subsektor jasa tersebut harus terbuka diseluruh negara anggota dengan memberlakukan prinsip Most Favoured Nation (MFN). Putaran ketiga dilakukan pada 2002-2004 dengan pendekatan Modified Common sub-sector Approach. Pada dasarnya pendekatan ini sama dengan Common subsektor approach tetapi negara yang berkomitmen dikurangi dari empat negara menjadi tiga negara. Pada putaran kali ini ASEAN juga mulai menggunakan formula ASEAN minus negara X. Putaran keempat dimulai pada 2005 dan telah dicapai kesepakatan dengan ditandatangani “Protocol to Implement the Fourth Package of Commitment on Financial Service Under the ASEAN Framework Agreement on Service” pada The 12th ASEAN financial Minister meeting (AFMM) di Danang, Vietnam tanggal 4 April 2008.110
110
Ibid, hlm 24.
Universitas Sumatera Utara