BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PELAKU USAHA, IMPORTIR, PANGAN, LABEL, DAN PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-COMMERCE)
2.1 Konsumen a. Pengertian Konsumen Konsumen merupakan pihak yang memiliki peranan penting dalam transaksi penjualan barang dan/ atau jasa. Istilah konsumen sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu “consumer”, atau dalam bahasa Belanda yaitu “consument”. Secara harfiah konsumen adalah orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan; pemakai atau pembutuh.1 Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai berikut “a person who buys goods or service for personal, family, or house hold use, with no intention or resale; a natural person who use products for personal rather than business purpose”.2 Artinya bahwa konsumen adalah orang yang membeli barang atau jasa untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau rumah tangganya, dengan tidak ada niat atau dijual kembali; orang pribadi yang menggunakan produk untuk pribadi daripada tujuan bisnis. UU Perlindungan Konsumen memberikan definisi mengenai konsumen yaitu pada Pasal 1 angka 2 yang menentukan bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
1
N.H.T. Siahaan,2005, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,Grafika Mardi Yuana, Bogor, h.23. 2 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, West Publishing, St. Paul Minnesota, h. 335. 26
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Disamping itu, penjelasan pasal ini menyatakan bahwa: Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Pengertian konsumen dalan UU Perlindungan Konsumen diatas lebih luas bila dibandingkan dengan 2 (dua) rancangan undang-undang perlindungan konsumen lainnya, yaitu pertama dalam Rancangan UndangUndang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa “Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali”. Kedua dalam naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Rancangan Akademik) yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan RI menentukan bahwa, konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.3 Sementara itu, Az. Nasution memberikan batasan mengenai konsumen, yaitu: 3
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, op.cit, h.5.
1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; 2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial); 3. Konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).4 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua orang adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya ataupun untuk memelihara/ merawat harta bendanya.5 b. Hak dan Kewajiban Konsumen Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962 melaui “A special Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengen istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Comsumer Right). Deklarasi ini menghasilkan empat hak dasar konsumen (the four consumer basic rights), yang meliputi hak-hak sebagai berikut:
4
Az. Nasution, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, h. 29. 5 Ibid.
a. Hak untuk Mendapat atau Memperoleh Keamanan atau the Right to be Secured Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang/ jasa yang dikonsumsi. Misalnya konsumen merasa aman jika produk makanan atau minuman yang dionsumsinya dirasa aman bagi kesehatan. Artinya, produk makanan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi, dan sanitasi, serta tidak mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa manusia.6 b. Hak untuk Memperoleh Informasi atau the Right to be Informed Setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan komprehensif
tentang
suatu
produk
barang/jasa
yang
dibeli
(dikonsumsi). Akses terhadap informasi sangat penting karena konsumen bisa mengetahui bagaimana kondisi barang/jasa yang dikonsumsi. Jika suatu
saat
ada risiko
negatif dari produk barang/jasa
yang
dikonsumsinya, konsumen telah mengetahui hal tersebut sebelumnya. Artinya, konsumen memiliki hak untuk mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk, seperti efek samping dari mengkonsumsi suatu produk atau adanya peringatan dalam label/kemasan produk.
c. Hak untuk Memilih atau Right to Choose Setiap konsumen berhak memperoleh produk barang/ jasa dengan harga yang wajar artinya konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan
6
Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, h.24.
atau paksaan untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bisa merugikan hak-haknya. Ia harus dalam kondisi bebas dalam menentukan pilihannya terhadap barang/ jasa yang akan dikonsumsi. d. Hak untuk Didengarkan atau the Right to be Heard Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya bisa didengarkan, baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun
oleh
lembaga-lembaga
perlindungan
konsumen
yang
memperjuangkan hak-hak konsumen.7 Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh organisasi konsumen sedunia (International Organization of Comsumers UnionIOCU) ditambahkan 4 (empat) hak dasar konsumen lainnya, yaitu: a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; b. Hak untuk memperoleh ganti rugi; c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Disamping itu, masyarakat Eropa (Europese Ekonmische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati 5 (lima) hak dasar konsumen sebagai berikut: a.
Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid);
7
Ibid.
b.
Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op ming van zijn economische belangen);
c.
Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);
d.
Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming);
e.
Hak untuk di dengar (recht om te worden gehord).8
Sedangkan
dalam
Rancangan
Akademik
Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen yang dikeluarkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Departeman Perdagangan dikemukakan enam hak konsumen, yaitu empat hak dasar yang disebut pertama, ditambah dengan hak untuk mendapat barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, dan hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum yang patut.9 Hak konsumen di Indonesia kemudian lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 8 9
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, op.cit, h. 39. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, loc.cit.
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung
pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang nyaman, aman, dan yang memberi keselamatan. Oleh karena itu, konsumen harus dilindungi dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa dan harta bendanya karena memakai atau mengkonsumsi produk. Dengan demikian, setiap produk baik dari segi komposisi bahannya, dari segi desain dan konstruksi maupun dari segi kualitasnya harus diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Tidak dikehendaki adanya produk yang dapat mencelakakan dan mencederai konsumen. Karena itu pelaku usaha wajib mencantumkan label pada produknya sehingga konsumen dapat mengetahui adanya unsur-unsur yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan dirinya atau menerangkan secara lengkap perihal produknya sehingga konsumen dapat memutuskan apakah produk tersebut cocok baginya. Termasuk dalam hal ini juga bahwa pelaku usaha harus memeriksa barang produknya sebelum diedarkan sehingga makanan yang sudah daluwarsa (expired) dan tidak layak untuk dikonsumsi lagi tidak sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian, terpenuhi pulalah hak konsumen atas informasi dan hak untuk memilih. Dalam hal berproduksi pelaku usaha harus bertindak jujur dalam memberi informasi sehingga konsumen dapat memilih produk yang terbaik bagi dirinya. Informasi yang diberikan oleh pelaku usaha mengenai
produknya haruslah informasi yang jujur, benar, dan jelas sehingga tidak mengelabui atau membodohi konsumen. Karena itu pemanfaatan media informasi oleh produsen, baik dengan iklan, billboard, dan media lainnya hendaknya dilandasi kejujuran dan niat baik. Konsumen yang telah menentukan/menetapkan pilihannya atas suatu produk berdasarkan informasi yang tersedia berhak untuk mendapatkan produk tersebut sesuai dengan kondisi serta jaminan yang tertera dalam informasi.10 Apabila setelah mengkonsumsi, konsumen merasa dirugikan atau dikecewakan karena ternyata produk yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan informasi yang diterimanya, pelaku usaha seharusnya mendengar keluhan itu dan memberikan penyelesaian yang baik. Perlu ketulusan hati dari pelaku usaha untuk mengakui kelemahannya dan senantiasa meningkatkan pelayanannya kepada konsumen. Termasuk dalam hal ini adalah hak konsumen untuk mendapatkan penggantian atas kerugian yang dideritanya setelah mengkonsumsi produk tersebut atau jika produk tidak sesuai dengan perjanjian atau jika produk tidak sebagaimana mestinya. Mengingat bahwa pelaku usaha berada dalam kedudukan yang lebih kuat baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan dibanding dengan konsumen, maka konsumen perlu mendapat advokasi, perlindungan serta upaya penyelesaian sengketa secara patut atas hak-haknya. Perlindungan itu perlu dibuat dalam suatu peraturan perundang-undangan serta dilaksanakan dengan baik. Konsumen juga berhak mendapatkan pembinaan dan
10
Janus Sidabalok, op.cit, h. 41.
pendidikan mengenai berkonsumsi yang baik. Pelaku usaha wajib memberi informasi yang benar dan mendidik sehingga konsumen makin dewasa bertindak
dalam
memenuhi
kebutuhannya,
bukan
sebaliknya
mengeksplotasi kelemahan-kelemahan konsumen.11 Dalam memperoleh pelayanan, konsumen berhak juga untuk diperlakukan secara benar dan jujur serta sama dengan konsumen lainnya, tanpa adanya pembedaan berdasarkan ukuran apapun, misalnya suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya. Akhirnya konsumen berhak mendapatkan hak-hak lainnya sesuai dengan kedudukannya sebagai konsumen berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.12 Selain itu, dalam rangka melindungi konsumen secara mandiri, maka diperlukan adanya kewajiban konsumen. Mengenai kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen, yakni: a.
b.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
c. d.
Kewajiban konsumen untuk membaca sangat penting karena pelaku usaha sering menyampaikan peringatan secara jelas pada suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang disampaikan kepadanya.
11 12
Janus Sidabalok, op.cit, h. 42. Janus Sidabalok, loc.cit.
Dengan
pengaturan
bertanggungjawab
ini,
apabila
memberikan konsumen
konsekuensi menderita
pelaku
usaha
kerugian
akibat
mengabaikan kewajiban tersebut. Namun konsumen tidak dapat menuntut jika peringatan sudah diberikan secara jelas dan tegas, akan tetapi jika pelaku usaha tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan yang menyebabkan konsumen tidak membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti rugi pada konsumen yang dirugikan. Kewajiban konsumen untuk bertitikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan/ atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat melakukan transaksi dengan pelaku usaha. Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan terjadi kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi oleh pelaku usaha. Kewajiban konsumen yang ketiga ialah kewajiban membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha, hal tersebut sudah biasa dan sudah semestinya demikian. Sementara itu, kewajiban mengikuti upaya penyelesaian hukum merupakan suatu hal yang baru, sebab sebelum diundangkannya UU Perlindungan Konsumen, hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata. Sementara dalam kasus pidana tersangka/ terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/ atau kejaksaan. Kewajiban ini dianggap tepat, sebab kewajiban ini
mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.13
2.2 Pelaku Usaha a. Pengertian Pelaku Usaha Pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat UndangUndang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan sarjana Ekonomi (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak, penyedia dana lainnya, dan sebagainya. 2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/ penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri atas orang/ badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/ badan yang memproduksi sandang, orang/ usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/ usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, peransuransian, perbankan, orang/ usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya.14 Soemali, 2011, “Kewajiban Konsumen”, http://soemali.dosen.narotama.ac.id.diakses tanggal 19 Desember 2014. 14 Adrian Sutedi, op.cit, h.11. 13
3. Distributor,
yaitu
pelaku
usaha
yang
mendistribusikan
atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, klinik, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.15 Dalam UU Perlindungan Konsumen pengertian pelaku usaha diatur dalam Pasal 1 angka 3 yang menentukan bahwa: Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupu bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pada penjelasan pasal ini pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen ini, mempunyai cakupan yang luas karena meliputi penjual grosir, leveransir sampai pada pengecer, dan sebagainya. Namun dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena UU Perlindungan Konsumen membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Pengertian pelaku usaha yang yang bermakna luas tersebut, akan 15
Adrian Sutedi, loc.cit.
memudahkan konsumen korban menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunakan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan akan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat.16 b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Untuk dapat menciptakan kenyamanan bagi pelaku usaha dalam berusaha, dan sebagai penyeimbang terhadap hak-hak yang diberikan kepada konsumen, maka diberikan pula hak-hak terhadap pelaku usaha. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen, yakni: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu, sebagai konsekuensi adanya hak konsumen maka dibebankan kewajiban-kewajiban bagi pelaku usaha. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen, yakni: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 16
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, op.cit, h.9.
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Penjelasan pasal ini menentukan bahwa pada huruf c “Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen”. Selain itu pada huruf e dinyatakan “Yang dimaksud dengan barang dan/ atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan dan kerugian”. Tentang kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu.
Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun berupa instruksi.17 2.3 Importir a. Pengertian Importir Importir memikul resiko atas segala sesuatu mengenai barang yang diimpor baik resiko kerugian, kerusakan, keterlambatan dari barang yang dipesan, termasuk resiko penipuan dan manipulasi. Berdasarkan pasal 1 angka 11 Peraturan Direktur Jendral Bea dan Cukai Nomor P-08/BC/2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai (selanjutnya disebut Peraturan Ditjen Bea Cukai Tahun 2009) maka yang dimaksud importir adalah “orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan impor”. Impor adalah “kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean” (Pasal 1 angka 10 Peraturan Ditjen Bea Cukai Tahun 2009). Sementara itu kawasan pabean adalah “kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai” (Pasal 1 angka 2 Peraturan Ditjen Bea Cukai Tahun 2009). 2.4 Pangan a. Pengertian Pangan
17
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, op.cit, h. 54.
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.18 Pengertian mengenai pangan itu sendiri dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 UU Pangan yang menentukan bahwa: Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,dan/atau pembuatan makanan atau minuman. b. Jenis-Jenis Pangan Pangan dibedakan atas pangan segar dan pangan olahan: 1. Pangan Segar
Bulog, 2014, “Ketahanan Pangan”, http://www.bulog.co.id/ketahananpangan.php. diakses tanggal 17 Desember 2014. 18
Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku pengolahan pangan. Misalnya beras, gandum, segala macam buah, ikan, air segar, dan sebagainya. 2. Pangan Olahan Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi: a. Pangan Olahan Tertentu Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut. Contoh: ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk orang yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya. b. Pangan Siap Saji Pangan siap saji adalah makanan dan minuman yang sudah diolah dan bisa langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan. c. Pangan Tidak Siap Saji Pangan tidak siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutkan untuk dapat dimakan atau minuman.19 19
Cahyo Saparinto & Diana Hidayati, 2006, Bahan Tambahan Pangan, Kanisius, Yogyakarta, h. 54.
Adapula beberapa jenis pangan sebagaimana diatur dalam UU Pangan yang mana dapat dilihat pada ketentuan umum, yaitu: 1. Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal (Pasal 1 angka 15). 2. Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal (Pasal 1 angka 17). 3. Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan Pangan (Pasal 1 angka 18). 4. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan (Pasal 1 angka 19). 5. Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik (Pasal 1 angka 34). 2.5 Label a. Pengertian Label Hak untuk mendapatkan informasi adalah salah satu hak konsumen yang paling mendasar. Melalui informasi yang benar dan lengkap inilah konsumen kemudian menentukan/ memilih produk untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu, memberi informasi yang salah, menyesatkan dan tidak jujur melalui label, adalah melanggar hak
konsumen. Melanggar hak orang lain berarti pula melakukan perbuatan melanggar hukum. Label adalah informasi identitas/ jati diri dari produk yang menjadi hak milik perusahaan sebagai alat komunikasi tertulis pihak produsen dengan pihak konsumen dalam melakukan pelayanan jaminan persyaratan mutu produk dan kesehatan. Menurut Fandy Tjiptono label merupakan bagian dari suatu produk dan penjual. Sebuah label bisa merupakan bagian dari kemasan atau pula etiket (tanda pengenal) yang dicantelkan pada produk.20 Kotler menyatakan bahwa label adalah tampilan sederhana pada produk atau gambar yang dirancang dengan rumit yang merupakan satu kesatuan dengan kemasan. Label bisa hanya mencantumkan merek atau informasi.21 Lebih lanjut, Basu Swasta mendefinisikan label yaitu bagian dari sebuah barang yang berupa keterangan (kata-kata) tentang barang tersebut atau penjualnya. Jadi, sebuah label itu mungkin merupakan bagian dari pembungkusnya, atau mungkin merupakan suatu etiket yang tertempel secara langsung pada suatu barang.22 Baik pada Pasal 1 angka 3 PP Label dan Iklan Pangan serta Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala BPOM 2011 memberikan pengertian yang sama mengenai label/ label pangan. Dimana yang dimaksud label atau
Syarief, 2010, Sistem Labelling Pada Kemasan Pangan”, http://www. ocw.usu.ac.id. diakses tanggal 28 Desember 2014 21 Philip Kotler, 2000, Manajemen Pemasaran, Prenhallindo, Jakarta, h. 477. 22 Basu Swastha, 1994, Azas-Azas Marketing, Liberty, Yogyakarta, h. 141. 20
label pangan adalah “Setiap keterangan mengenai Pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada Pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan Pangan”.
b. Tujuan Pelabelan Pemberian label pangan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/ atau mengonsumsi pangan. Adapun tujuan pelabelan secara garis besar adalah sebagai berikut: 1. Memberi informasi tentang isi produk yang diberi label tanpa harus membuka kemasan. 2. Berfungsi sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen tentang hal-hal yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk tersebut terutama hal-hal yang kasat mata atau tak diketahui secara fisik. 3. Memberi petunjuk yang tepat pada konsumen hingga diperoleh fungsi produk yang optimum. 4. Sarana periklanan bagi produsen. 5. Memberi rasa aman bagi konsumen.23
2.6 Perdagangan Elektronik (E-Commerce) a. Pengertian Perdagangan Elektronik (E-Commerce)
23
Syarief, loc.cit.
Perdagangan melalui jaringan elektronik atau e-commerce dapat diaplikasikan hampir disetiap jenis hubungan bisnis. E-commerce mengizinkan produsen untuk menjual produk-produk dan jasa secara online. Calon pelanggan atau konsumen dapat menemukan website produsen, membaca dan melihat produk-produk, memesan dan membayar produk-produk secara online. Pada umumnya perdagangan elektronik (e-commerce) mengacu pada semua transaksi komersial yang melibatkan baik perseorangan maupun organisasi, berdasarkan proses elektronik dan transmisi data baik dalam bentuk teks, suara maupun visual image.24 Menurut World Trade Organization (WTO), cakupan ecommerce meliputi bidang produksi, distribusi, pemasaran, penjualan dan pengiriman barang dan atau jasa melalui elektronik. Sedangkan OECD (Organization For Economic Cooperation and Development) menjelaskan bahwa e-commerce adalah transaksi berdasarkan proses dan transmisi data secara elektronik. Selain dari dua lembaga internasional tersebut, Alliance for Global Business, suatu asosiasi di bidang perdagangan terkemuka mengartikan e-commerce sebagai seluruh transaksi nilai yang melibatkan transfer informasi, produk, jasa atau pembayaran melalui jaringan elektronik sebagai media.25
Losina Purnastuti, 2004, “Perdagangan Elektronik: Suatu Bentuk Pasar Baru Yang Menjanjikan?” Jurnal Ekonomi & Pendidikan Volume 1, Nomor 1, Februari 2004, h. 11. 25 Ade Maman Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.179. 24
b. Keuntungan dan Kerugian Perdagangan Elektronik (E-Commerce) Banyak keuntungan yang ditawarkan e-commerce yang sulit atau tidak dapat diperoleh melalui cara-cara konvensional. Pada dasarnya, keuntungan penggunaan e-commerce dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yakni keuntungan bagi pedagang dan keuntungan bagi pembeli. Menurut Joseph Luhukay (Presiden Director, Capital Market Society), keuntungan bagi pedagang (merchant) antara lain: 1. Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan
(revenuegeneration) yang sulit atau tidak dapat diperoleh melaluai cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau jasa, menjual informasi, iklan (baner), membuka cybermall, dan sebagainya; 2. Menurunkan biaya operasional, hal ini berhubungan langsung
dengan pelanggan melalui internet dapat menghemat kertas dan biaya telepon, tidak perlu menyiapkan tempat ruang pamer (outlet), staf operasional yang banyak, gudang yang besar dan sebagainya; 3. Memperpendek
product
cycle
dan
management
supplier.
Perusahaan dapat memesan bahan baku atau produk supplier langsung ketika ada pemesanan sehingga perputaran barang lebih cepat dan tidak perlu gudang besar untuk menyimpan produk-produk tersebut; 4. Melebarkan
jangkauan
(global
reach).
Pelanggan
dapat
menghubungi perusahaan/ penjual dari manapun di seluruh dunia;
5. Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui internet dapat dilakukan
selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu; 6. Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui internet pelanggan bisa
menyampaikan kebutuhan maupun keluhan secara langsung sehingga perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya.26 Sedangkan keuntungan bagi pembeli antara lain: 1. Home Shopping. Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan menjangkau toko-toko yang jauh dari lokasi; 2. Mudah melakukan. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja atau melakukan transaksi melalui internet; 3. Pembeli
memiliki
pilihan
yang
sangat
luas
dan
dapat
membandingkan produk maupun jasa yang ingin dibelinya; 4. Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan saja selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu; 5. Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit diperoleh di outlet-outlet/ pasar tradisional.27 Selain memberikan keuntungan, e-commerce juga dapat merugikan konsumen. Hal ini sejalan dengan pendapat Budi Agus Riswandi yang mengungkapkan bahwa masalah perlindungan konsumen dalam e-commerce merupakan aspek yang penting untuk
26
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law (Aspek Hukum Teknologi Informasi), Refika Aditama, Bandung, h.150. 27 Ibid.
diperhatikan, karena beberapa karakteristik khas e-commerce akan menempatkan pihak konsumen pada posisi yang lemah atau dirugikan seperti: 1. Perusahaan di internet (the internet merchant) tidak memiliki alamat secara fisik di suatu negara tertentu, sehingga hal ini akan meyulitkan konsumen untuk mengembalikan produk yang tidak sesuai dengan pesanan. 2. Konsumen sulit memperoleh jaminan untuk mendapatkan local follow up service or repair. 3. Produk yang dibeli konsumen ada kemungkinan tidak sesuai dengan persyaratan lokal (local requairments).28
28
h.62.
Budi Agus Riswandi, 2003, Hukum dan Internet di Indonesia, UII Press, Yogyakarta,