BAB II TINJAUAN UMUM DAN KORELASI INDEPENDENSI PERADILAN, AKUNTABILITAS PERADILAN, DAN SISTEM PENGAWASAN PERADILAN
A. Tinjauan Umum tentang Independensi Peradilan Independensi merupakan prinsip berbasis kepercayaan yang berfungsi sebagai proteksi terhadap institusi maupun seorang pemegang kekuasaan yudikatif sebagai penegak keadilan dari kemungkinan intervensi atau pengaruh dari pihakpihak yang berkepentingan, hal ini agar peradilan dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.46 Konsep dari independensi peradilan telah banyak dikemukakan oleh para pakar hukum di Indonesia, pembahasan akan dimulai dengan memberikan tujuan yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan. Bagir Manan menyatakan, 47 “Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara yang langsung atau tidak langsung melibatkan kepentingan cabang-cabang kekuasaan yang lain.” Sedangkan menurut Efik Yusdiansyah tujuan dasar dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah 48 : a. Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan di antara badan-badan penyenggara Negara, kekuasaan kehakiman yang 46
Suparman Marzuki, “Kekuasaan …” Loc.. Cit. hlm. 285. Hukum Online, “Masalah Independensi Hakim dan Rasa Keadilan Masyarakat” < http://www. hukumonline.com/klinik/detail/cl3026/masalah-independensi-hakim-dan-rasa-keadilanmasyarakat> [diakses pada 27/2/2014] 48 Efik Yusdiansyah, Implikasi keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap pembentukan Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum, Bandung : Lubuk Agung, 2010, hlm. 34. 47
Universitas Sumatera Utara
merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu; b. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah penyelenggara pemerintah bertindak dengan kekerasan atau semenamena dan menindas; c. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintah atau suatu peraturan perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakan; dan d. Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral (impartiality) dari hakim dalam memutus suatu perkara. Sedangkan untuk dapat menguji apakah tujuan dari indepedensi peradilan tersebut menurut Erhard Blakenburg dapat dilihat dari dua hal,49 Ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusanya pada hukum dan faktafakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak berperkara. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas. Sementara itu, pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik. Dari
tujuan
keberadaan
prinsip
independensi
peradilan
tersebut
menunjukan bahwa kekuasaan peradilan harus merdeka dari berbagai campur tangan atau intervensi pihak-pihak yang dapat mengganggu independensi peradilan, Salman Luthan mencoba mengartikan mendeskripsikan bentuk dari intervensi terhadap independesi tersebut dengan menamakan independesi struktural dan independensi fungsional, yaitu sebagai berikut 50 : Peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan di luar kekuasaan badan peradilan, misalnya bebas dari campur tangan eksekutif, legilatif, 49 50
Ibid. Salman Luthan, Loc. Cit. hlm. 316.
Universitas Sumatera Utara
dan campur tangan kekuatan-kekuatan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam pengertian ini termasuk pula pengertian peradilan tertentu bebas dari campur tangan peradilan lain (misalkan peradilan umum beras dari campur tangan peradilan militer), peradilan yang lebih rendah bebas campur tangan dari peradilan yang lebih tinggi kecuali melalui mekanisme upaya hukum dan pembinaan peradilan. Melengkapi konsep dari bentuk intervensi ini, selain peradilan harus independen dari intervensi lembaga negara lainya dan kekuatan sosial yang terdapat dalam masyarakat, menurut Ansyahrul, 51 Dalam mengemban tugasnya Hakim harus bebas dari berbagai tekanan kepentingan, baik eksternal (kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan kekuatan-kekuatan politik lainya), maupun internal dari lingkungan kekuasaan Yudikatif sendiri. Juga terkandung di dalamnya bebas dari pengaruh-pengaruh dari pihak-pihak yang berperkara, pihak-pihak yang berkepentingan, serta pengaruh dari kepentingan Hakim itu sendiri. Dari bentuk intervensi yang telah dibahas maka independensi peradilan dapat dilasifikasikan, menurut Richard D. Aldrich membagi kekuasan kehakiman yang merdeka ke dalam dua pengertian, 52 yaitu : “Kemerdekaan personal (personal independent) dan kemedekaan substatif (substantive independent). Kemerdekaan personal adalah kemerdekaan yang dikaitkan dengan keberadaan dari individu hakim itu sendiri. Sedangkan kemerdekaan substantif adalah kebebasan yang berkaitan dengan isi dari putusan yang akan dilakukanya.” Seide dengan pendapat ini Shimon Sheret dalam Judicial Independence : New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi Independence of Judiacry menjadi empat hal yaitu 53 : “Substantive Independence (Independensi
51
Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara, Jakarta : Mahakamah Agung RI, 2008, hlm. 179. 52 Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 33. 53 Saldi Isra, “Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 (Isi, Implikasi, dan Masa Depan Komisi Yudisial)” < http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view =article&id=98:putusan-mahkamah-konstitusi-no-005puu-iv2006-isi-implikasi-
Universitas Sumatera Utara
dalam memutus perkara), Personal Independence (misalnya adanya jaminan kerja dan jabatan), Internal Independence (misalnya Independensi dari atasan dan rekan kerja), dan Collective Independence (misalnya adanya partisipasi pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk penentuan budget pengadilan).” Lebih lanjut berdasarkan doktrin independesi peradilan dari Simon ini, menurut Saldi Isra Independensi Hakim yang tidak dapat disentuh hanyalah Independensi dalam memutus perkara (Substantive Independence). 54 Dari sudut pandang lain Salman memberikan indikator perkembangan dari independensi peradilan yang dapat dilihat independensi dalam tataran normatif dan independesi peradilan dalam tataran budaya, seperti berikut55 : a. Independensi Peradilan dalam tataran Normatif Independensi ini terkait dengan apakah norma-norma hukum memberikan perlindungan terhadap Independensi Struktural dan Fungsional dari lembaga peradilan. b. Independensi Peradilan dalam tataran Budaya Independesi ini terkait dengan sikap dan perilaku institusi, termasuk perilaku apaturnya (hakim) dalam menjalankan Indepedensi Struktural dan Independensi Fungsionalnya. Melengkapi doktrin-doktrin dari independesi peradilan, Ansyahrul menyatakan bahwa independensi peradilan, “harus bebas dari dan bebas untuk”. 56 Dari konsep tersebut jika disandingkan berbagai pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa independensi peradilan mencakup dua dimensi yaitu ‘bebas dari’ dan ‘bebas untuk’. Bebas dari maksudnya, peradilan harus independen dari berbagai intervensi dari berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain seperti : 1. Lembaga-lembaga negara lainya seperti eksekutif dan legislatif; dan-masa-depan-komisi-yudisial&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5> [diakses 3 Maret 2014] Ibid. 55 Salman Luthan, Loc. Cit.. Hlm. 317. 56 Ansyahrul, Loc. Cit. hlm. 179. 54
Universitas Sumatera Utara
2. Lembaga peradilan itu sendiri seperti atasan dan rekan kerja; 3. Pihak-pihak yang berperkara; 4. Kekuatan politik; 5. Kelompok masyarakat; 6. Media massa. 7. Kepentingan hakim sendiri. Sedangkan bebas untuk maksudnya, hakim bebas untuk mewudkan dari tujuantujuan dari peradilan yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan antara lain : 1. Merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan lainya dalam suatu negara; 2. Menguatkan check and balances diantara cabang kekuasaan negara lainya dengan kewenangan peradilan menilai keabsahan secara hukum peraturan perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat menciptakan keadilan dan kepastian hukum; 3. Menjaga agar hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki sikap dan perilaku adil, jujur, imparsial dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya; 4. Menjamin agar hakim dalam melaksanakan kewenanganya tetap berdasarkan peristiwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5. Melindungi hak-hak individu dari setiap warga negara agar tetap sesuai dengan hukum.
Universitas Sumatera Utara
B. Tinjauan Umum tentang Akuntabilitas Peradilan Akuntabilitas merupakan prinsip yang dibutuhkan untuk melengkapi independensi, seperti pada independensi peradilan, basis moral dari akuntabilitas adalah kepercayaan dari masyarakat sehingga keduanya menjadi instrumen penguat kepercayaan dari pemberi kekuasaan kepemegang kekuasaan. 57 Disinilah tujuan dari eksistensi akuntabilitas peradilan memiliki keterkaitan dengan independensi peradilan, menurut Shameela Seedat dalam Judicial Accountability Mechanism58, Akuntabilitas merupakan pelengkap independensi. Aturan konflik kepentingan, mekanisme pencegahan suap, dan pengawasan hakim merupakan contoh mekanisme akuntabilitas yang bertujuan memastikan hakim bertindak independen, imparsial, dan profesional dalam proses ajudikasi. Dengan begitu, mekanisme akuntabilitas tak bisa dilihat sebagai ancaman terhadap independensi, melainkan lebih menumbuhkan kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan. Keberadaan dari akuntabilitas tidak terlepas dari adanya kekuasaan yang dimiliki oleh suatu instansi atau seseorang, keberadaan akuntabilitas menurut Gayus Lumbun, 59 Akuntabilitas menuntut adanya kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah. Pemberi amanah dapat diartikan pihak yang mengangkat, pihak yang dilayani secara langsung maupun kepada pihak masyarakat atau publik, yang merupakan sumber utama dari kewenangan dan tanggung jawab yang diembannya. Untuk itu, pemegang amanah diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan, baik dalam bentuk keberhasilan maupun kegagalan dalam pelaksanaan tugas yang diembanya. 57
Suparman Marzuki, “Kekuasaan…” Loc.. Cit. hlm. 302. Oce Madril, “Komisi Yudisial dan Akuntabilitas Hakim”
[diakses 1 Maret 2014] 59 Gayus Lumbun, “Tetang Pembaruan Pengadilan Khusus dalam Perspektif Mahkamah Agung”, Bunga Rampai Komisi Yudisial Edisi tahun 2013, hlm. 200. 58
Universitas Sumatera Utara
Menurut Artidjo Alkostar, akuntabilitas peradilan ditujukan untuk,60 “para Hakim yang telah memiliki knowledge, skill legal technic capacity, and integrity harus dapat mempertanggung jawabkan pekerjaan profesionalnya kepada kebenaran ilmu pengetahuan, institusi, publik, hati nurani dan kepada Allah Yang Maha Kuasa.” Sedangkan Romzek menyatakan jenis-jenis dari akuntabilitas antara lain,61 “(1) akuntabilitas hukum, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang rendah dengan kontrol eskternal; (2) akuntabilitas politik, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang tinggi dan control eksternal; (3) akuntabilitas hirarki, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang rendah dan kontrol internal; (4) akuntabilitas professional, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang tinggi dan kontrol internal.” Ada beberapa pendekatan untuk lebih mamahami konsep dari akuntabilitas peradilan menurut J. Djohansjah, antara lain 62, Pendekatan pertama adalah pendekatan kultural, yang lebih menekankan pada tanggung jawab personal (personal obligation) dalam akuntabilitas. Dalam pandangan ini, esensi akuntabilitas terletak pada pengembangan komitmen dan moralitas individu, etos kerja, dan etika organisasi yang kondusif bagi pengabdian lembaga kekuasaan kehakiman kepada masyarakat.Pendekatan kedua, lebih menekankan pada aspek-aspek eskternal. Akuntabilitas kekuasaan kehakiman kepada publik sangat ditentukan oleh tekanan-tekanan eksternal yang memaksa dan menkondisikan hakim untuk mengabdi kepada kepentingan publik. Pendekatan ini tidak menjadikan komitmen individu dan nilai-nilai normatif dan dogmatik sebagai basis bagi akuntabilitas kepada publik, sekalipun tidak menolak pentingnya hal tersebut.
60
Artidjo Alkostar, “Independesi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman”, Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim seluruh Indonesia, Lombok, 2012, hlm. 3 61 J. Djohansyah, Reformasi Mahkamah Agung menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Bekasi : Percetakan KBI, 2008, hlm. 178. 62 J. Djohansjah, Loc. Cit. hlm 181.
Universitas Sumatera Utara
Menyambung ide pendekatan untuk membahas mengenai akuntabilitas peradilan tersebut, Gayus Lumbun memberikan konsep dari pembenahan prioritas jangka pendek adalah pengembangan akuntabilitas dan tranparansi khususnya pada aspek kinerja badan peradilan, diuraikan sebagai berikut 63 : Akuntabilitas dan Tranparansi dari aspek Kinerja merupakan aspek krusial yang menyangkut kinerja di lingkungan badan peradilan dalam hal penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. Secara konseptual, kegiatan pelatihan berkaitan dengan peningkatan kompetensi hakim. Akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan diklat sangatlah penting untuk menjamin bahwa kepersetaan dalam diklat relevan dengan bidang tugas dan tanggung jawabnya, dan narasumber yang berkompeten dengan kriteria yang jelas. Dari berbagai argumentasi-argumentasi mengenai akuntabilitas peradilan diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain, dasar munculnya akuntabilitas peradilan adalah karena adanya kekuasaan yang diberikan oleh pemegang kekuasaan asli yaitu rakyat kepada pemegang kekuasaan kehakiman yaitu hakim sehingga segala aktivitas dan perbuatan hakim tersebut haruslah sesuai dengan amanah yang diberikan oleh rakyat. Realisasi dari akuntabilitas ini ditujukan terutama seharusnya kepada Allah Yang Maha Esa dan hati nurani seorang hakim, namun dikarenakan hal tersebut bersifat abstrak dan sulit diukur maka diperlukan indikator lain untuk melihat akuntabilitas dari seorang hakim yaitu melalui keprofesionalanya yang tercermin dari etika dan perilaku yang dimilikinya sedangkan akuntabilitas terhadap ilmu pengetahuan, institusi dan publik dapat tercermin melalui argumentasi hukum dalam putusanya.
63
Gayus Lumbun, Loc.. Cit. hlm. 200.
Universitas Sumatera Utara
C. Tinjauan Umum tentang Sistem Pengawasan Peradilan Pengawasan diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim memiliki sikap berintegritas tinggi, jujur, imparsial, dan profesional dalam menjalankan
kewenanganya
mempengaruhi tugas
maupun
yudisialnya.
dalam
Pengawasan
keseharianya dapat
yang
mencegah
akan potensi
pelanggaran atau pengabaian independensi oleh pribadi hakim sendiri, pimpinan pengadilan, dari pihak-pihak yang berperkara, tekanan kekuatan lainya, atau dari masyarakat tertentu. Pengawasan dibutuhkan untuk menjaga akuntabilitas hakim agar
selalu
dapat
mempertanggungjawabkan
setiap
perbuatanya
hanya
berdasarkan kebenaran. 64 Urgensi dari adanya sebuah pengawasan menurut Bambang Widjajanto, “Adanya sistem pengawasan yang baik yang memuat rinci atas hal-hal penting yang perlu diawasi untuk menjaga martabat dan kehormatan kekuasaan kehakiman, adanya kode etik dan, perilaku yang applicable, tersedianya tata cara dan mekanisme pengawasan yang utuh dan solid, tersedianya orang-orang yang memiliki profesionalitas dan integritas dalam melakukan pengawasan.”65 Dalam bahasa lebih sedehana, pengawasan harus memiliki pengaturan yang jelas dan terperinci untuk dapat mencapai tujuan utama dari adanya pengawasan yaitu menciptakan hakim yang memiliki profesionalitas sesuai kode etik dan perilaku hakim. Untuk meneliti sistem pengawasan terhadap Hakim konstitusi berikut akan disampaikan konsep-konsep dari pengawasan secara umum maupun pengawasan 64 65
Suparman Marzuki, “Kewenangan… “ Loc.. Cit. hlm. 101. Bambang Widjojanto, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman : Upaya Membangun Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman, Jakarta : Komisi Yudisial, 2010, hlm 142.
Universitas Sumatera Utara
yang teradapat dalam lembaga peradilan. Paulus Effendi Lotulung memetakan suatu lembaga pengawasan sebagai berikut 66 : a. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan atau organ yang melaksanakan kontrol 1. Kontrol intern atau built in control, berarti pengawasan yang dilakukan oleh organisasi atau struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri; dan 2. Kontrol eksternal, pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisasi atau struktural berada di luar pemerintah. b. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaanya suatu kontrol 1. Kontrol a priori, yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan pengawasan kepadanya; dan 2. Kontrol a poteriori, yakni pengawasan yang baru terjadi sesudah dikeluarkan peraturan perundangan atau sesudah terjadinya tindakan atau peristiwa yang akan dikontrol. c. Ditinjau dari segi obyek yang diawasi 1. Kontrol segi hukum, adalah kontrol untuk menilai segi-segi pertimbangan yang bersifat hukum dari tindakan pemerintah; dan 2. Kontrol dari segi kemanfaatan, adalah untuk menilai tepat tidaknya tindakan pemerintah dilihat dari segi pertimbangan kemanfaatannya. Konsep selanjutnya untuk dapat mengklasifikasikan sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi, menurut Suparman Marzuki menyatakan ada tiga pendekatan Pengawasan Hakim yaitu Preemtif, Preventif, dan Represif sebagai pendekatan yang saling melengkapi, sebagai berikut 67 : a. Pengawasan dengan Pendekatan Preemtif Dijalankan dengan program-program peningkatan kapasitas (pelatihan) dan peningkatan kesejahteraan. b. Pengawasan dengan Pendekatan Preventif Dilakukan dengan pemantauan persidangan, pemantauan terhadap hakim tertentu secara rutin atau insidental. c. Pengawasan dengan Pendekatan Represif (penindakan)
66
Ahmad Basuki, “Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebagai Upaya dalam Mewujudkan Akuntabilitas Peradilan Pidana”, Jurnal Perspektif Volume XVIII No. 1 Tahun 2013 Edisi Januari, hlm. 62. 67 Suparman Marzuki, “Kewenangan… “ Loc.. Cit. hlm. 102.
Universitas Sumatera Utara
Dijalankan dengan program pemanggilan dan pemeriksaan, serta penjatuhan sanksi baik karena tindakan murni perilaku maupun putusannya. Sebagai bahan perbandingan, Ahmad Fadlil Sumadi memberikan gambaran konsep pengawasan terhadap ranah kekuasaan Mahkamah Agung, pengawasan internal dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara dan pengawas tertinggi terhadap pengadilan yang berada dibawahnya sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. 68 Pengawasan internal dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pengawasan melekat dan pengawasan fungsional, dengan penjabaran sebagai berikut69 : a. Pengawasan Melekat Merupakan fungsi pengawasan yang inheren dalam fungsi kepempimpinan pengadilan dalam perspektif manajemen atau fungsi pengadilan atasan dalam perspektif susunan kelembagaan. b. Pengawasan Fungsional Merupakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh satuan organisasi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut, yakni jika di Mahkamah Agung adalah Badan Pengawas Mahkamah Agung. Sedangkan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial jika kita ingin melihat konsep pengawasanya bisa dilihat dari pernyataan Charles Simabura yang menyatakan,70 Kehadiran Komisi Yudisial didasari ide tentang pentingnya pengawasan hakim dalam rangka melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaannya (institution reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (instrumental atau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat kita sebagai keseluruhan (ethical dan bahkan cultural reform).
68
Ahmad Fadlil Sumadi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan, Jakarta Timur : Setara Press, 2001, 180. 69 Ibid. 70 Charles Simabura. Membangun Sinergi dalam Pengawasan Hakim, Jurnal Mahkamah Konstitusi Volume 6 Nomor 2 bulan Juli tahun 2009, hlm. 47.
Universitas Sumatera Utara
Kembali ke pemikiran Ahmad Fadlil melengkapi konsep pengawasan internal, menyatakan ada dua bentuk pengawasan berdasarkan pelaksanaanya, antara lain71 : a. Pengawasan dengan Pelaksanaan Aktif dan Terus-menerus Proses pengawasan ini dilakukan secara rutin dan reguler maka penyelenggaraan fungsi pengawasan ini memerlukan pengelolaan berdasarkan fungsi-fungsi menajemen, sehingga terdapat manajemen pengawasan. Pelaksanaan Pengawasan Aktif ini digunakan untuk melaksanakan Pengawasan Internal dengan bentuk Pengawasan Melekat dan Pengawasan Fungsional seperti yang dijelaskan sebelumnya. b. Pengawasan dengan Pelaksanaan Pasif Proses pengawasan yang pelaksanaanya bergantung pada adanya pengaduan dari masyarakat. Pengaduan ini dilaksanakan dengac cara monitoring, observasi, konfirmasi, dan/atau investigasi guna menungkapkan kebenaran hal yang diadukan. Pengaduan merupakan masukan yang berasal dari pengawasan masyarakat terhadap jalanya peradilan dan perilaku hakim yang menjalalankanya. Pemimpin atau lembaga pengawas berkewajiban untuk menindaklanjuti setiap pengaduan. Kewajiban tersebut dikonstruksikan bersuber dari hak masyarakat dalam mengawasi jalanya peradilan yang baik dalam konsep negara hukum yang demokratis. Termasuk ke dalam pengawasan pasif ini adalah penerimaan laporan dari pengadilan atau pimpinan bawahan kepada pengadilan atau pimpinan yang lebih tinggi, baik laporan yang bersifat rutin maupun laporan insidentil ketika terjadi kasus. Setelah membahas urgernsi dan klasifikasi dari pengawasan dalam peradilan maka selanjutnya yang akan di sampaikan adalah mengenai objek yang akn menjadi pengawasan dalam peradilan khususnya bagi seorang hakim yaitu etika dan perilaku dari seorang hakim. Ruang lingkup pengawasan terhadap etika dan perilaku hakim ini masihlah sangat relevan dengan konsep pengawasan
71
Ahmad Fadlil Sumadi, Loc.. Cit. hlm. 182.
Universitas Sumatera Utara
terhadap peradilan secara umum, dengan berbagai alasan menurut Imam Anshori Shaleh berikut 72 : 1. Pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap hakim adalah pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum dapat berjalan dengan baik; 2. Tolak ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan hakim dalam bentuk material maupun hukum formal (rechmatigheid), serta maanfaatnya bagi kesejahteraan rakyat (doelmatigheid); 3. Ada pencocokan antara perbuatan dan tolak ukur yang telah diteteapkan; 4. Jika terdapat tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolak ukur tersebut dapat dilakukan tindakan pencegahan. Pengawasan terhadap etika dan perilaku hakim ini tidak dapat terlepas dari enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, seperti yang tercatum dalam The Bangalore Principle of Judicial Conduct, antara lain 73 : 1. Independensi (Independence Principle) Yaitu jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. 2. Ketidakberpihakan (Impartiality Prniciple) Adalah prinisip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya; 3. Integritas (Integrity Principle) Merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatanya; 4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Priciple) Adalah norma kesusilaan pribadi dan norma kesusilaan antara pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan; 5. Kesetaraan (Equality Principle)
72 73
Imam Anshori Shaleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang : Setara Press, 2014, hlm. 128. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial, ekonomi, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan yang serupa; 6. Kecakapan dan keseksamaan (Competence and Diligence Principle) Merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercerin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas professional hakim. Dari berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi dari adanya pengawasan peradilan khususnya terhadap hakim adalah untuk menjamin agar segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman haruslah dapat disesuaikan dengan peraturan yang ada, selain yang sifatnya teknis yudisial melalui adanya pengujian terhadap putusan hakim melalui tingkatan peradilan ataupun non yudusial melalui administratif peradilan, pengawasan terhadap kode etik dan perilaku yang berlaku merupakan hal yang sangat penting khususnya bagi seorang hakim. Ketika pengawasan terhadap etika dan perilaku seorang hakim telah dapat ditegakan maka setidaknya hakim telah mengikuti standard etika dan perilaku seorang yang ideal sesuai Kode Etik dan Perilaku Hakim yang telah disepakati. Pengawasan terhadap etika dan perilaku seorang hakim inilah yang dapat menjaga prinsip independensi dan akuntabilitas peradilan.
Universitas Sumatera Utara
D. Korelasi
Independesi
Peradilan,
Akuntabilitas
Peradilan,
dan
Pengawasan Peradilan Dari ketiga komponen pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu independensi peradilan, akuntabilitas peradilan, dan sistem pengawasan peradilan dapat di hasilkan sebuah korelasi yang saling menghubungkan ketiga hal tersebut. Kembali kepada konsep peradilan secara umum, Bagir Manan menyatakan ada 4 (empat) asas peradilan demokratis yaitu 74 : 1. Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), hal ini menyebabkan tidak boleh membentuk pendapat umum yang dikesankan bahwa terdakwa bersalah; 2. Larangan peradilan oleh Pers (Trial by press), tidak jarang pengadilan oleh pers ini melanggar hak pribadi dan kematian perdata atau pembunuhan karakter terhadap seseprang bahkan terhadap keluarganya; 3. Prinsip Fairness, yang mengandung makna tidak saja memuat tanggung jawab hakim untuk berlaku jujur dan tidak memihak, tetapi mengandung makna pula bahwa setiap pihak yang berperkara (termasuk terdakwa) mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara. Keadilan bukan hanya hak publik atau hak korban, tetapi juga hak mereka yang disangkakan bersalah atau sedang diadili; dan 4. Prinsip kebebasan hakim, kebebasan ini termasuk di dalamnya bebas dari rasa kebimbangan dan rasa takut hakim sebagai akibat dari adanya tekanan publik baik berupa perusakan gedung pengadilan atau penganiayaan yang ditunjukan pada hakim. Dari pendapatnya tersebut terlihat konsep independensi peradilan sangat dibutuhkan untuk menciptakan peradilan yang demokratis, lebih lanjut Bagir Manan berpendapat bahwa ada beberapa substansi dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu 75 : 1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan fungsi peradilan atau fungsi yustisial meliputi 74 75
Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 35. Ibid. hlm. 32.
Universitas Sumatera Utara
2.
3. 4.
5. 6.
memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum; Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum; Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur, dan tidak memihak; Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan sematamata melalui upaya hukum baik berupa hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri; Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman; dan Semua tindakan terhadap hakim samara-mata dilakukan menurut undang-undang.
Meski demikian, konsep independensi peradilan bukanlah tanpa batasan. Al insaanu ma’al khoto’ wal nisyaan, manusia adalah tempat salah dan lupa. Pepatah Arab tersebut memiliki korelasi dengan doktrin umum yang diungkapkan oleh Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power, courrupt absolutely. Kekuasaan cenderung dikorupsi, kekuasaan mutlak, mutlak dikorupsi. Hal inipun disadari oleh Bagir Manan yang merumuskan bahwa diperlukan batasan-batasan terhadap independensi kekuasaan kehakiman yaitu 76 : 1. Hakim hanya memutus menurut hukum, hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim dalam memutus perkara kongret harus dapat menunjuk secara tegas ketentuan hukum dalam perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan asas legalitas dari suatu negara yang berdasarkan hukum; 2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Hal ini berimplikasi bahwa hakim dapat melakukan penafsiran, melakukan konstruksi, bahkan tidak menerapkan atau mengenyampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan keadilan sehingga tidak dapat dilaksanakan dengan sewenang-wenang; 3. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kewenangan atau kebebasannya.
76
Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 35.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga dibutuhkan suatu konsep lagi untuk dapat mendampingi konsep independensi peradilan yaitu akuntabilitas peradilan. Fungsi akuntabilitas peradilan terhadap independensi peradilan ini menurut Suparman Marzuki, 77 “Keberadaan Akuntabilitas adalah untuk memastikan bahwa kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan baik, sumber daya dipakai secara patut, sekaligus untuk mencegah timbulnya “tirani yudisial” yang pada akhirnya akan menghancurkan prinsip Independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri.” Jadi fungsi dari akuntabilitas peradilan ini akan mengawal agar independensi peradilan tidak disalahgunakan oleh pemegang kekuasaan kehakiman maka segala aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Pembatasan mengenai independensi peradilan dengan adanya akuntabilitas peradilan lebih lanjut menurut Suparman Marzuki menyatakan, 78 “Tidak ada independensi tanpa pertanggungjawaban. Indepedensi dibatasi oleh asas-asas umum berperkara yang baik, oleh hukum materiil dan formil yang berlaku, kehendak para pihak yang berperkara, komitmen ketuhanan para hakim, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE dan PPH), serta nilai-nilai keadilan.” Aspek-aspek inilah yang harus dicapai untuk dapat menciptakan independensi peradilan yang akuntabel. Mengkorelasikan
antara
independensi
peradilan
dan
akuntabilitas
peradilan dengan sistem pengawasan peradilan maka pendapat Paulus E Lotolung
77
Suparman Marzuki, Kewenangan Komisi Yudisial dalam konteks Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman. Bunga Rampai Komisi Yudisial Edisi tahun 2013. Hlm. 101. 78 Suparman Marzuki, “Kewenangan… “ Loc.. Cit. hlm. 100.
Universitas Sumatera Utara
dalam makalahnya “Streghtening the Independence and Efficiency of Judiciary” berikut dapat dijadikan rujukan 79, “…perlunya independensi peradilan tidak berarti bahwa hakim tidak dapat dikritik atau diawasi. Sebagai keseimbangan dari independensi, selalu harus dapat terdapat akuntabilitas peradilan atau tanggung jawab peradilan untuk mencegah ketidakadilan. Mekanisme tu harus dikembangkan oleh lembaga peradilan itu sendiri dan masyarakat dalam pengertian untuk menjadi akuntabilitas seorang hakim.” Menanggapi doktrin tersebut Imam Anshori Shaleh memberikan pandanganya terhadap eksistensi dari pengawasan peradilan terhadap independensi dan akuntabilitas peradilan, pengawasan diharapkan, 80 1. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan. 2. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan. 3. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan dalam melaksankan tugas pokok dan fungsinya secara efektif. Dari berbagai pandangan dari ahli hukum diatas maka dapat di simpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara konsep independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan dengan pengawasan. Independensi peradilan yang merupakan prinsip dasar untuk terciptanya kekuasaan kehakiman yang professional tidak bisa berjalan dengan sendirinya, disinilah prinsip dari akuntabilitas peradilan melengkapi independensi peradilan untuk menghindari terhadap penyalahgunaan independensi peradilan tersebut. Pengejawantahan dari pertemuan konsep independensi dan akuntabilitas peradilan ini yang secara mekanisme terdapat dalam sistem pengawasan peradilan, dengan adanya pengawasan maka hakim khususnya hakim sebagai 79 80
Imam Anshori Shaleh, Loc. Cit. hlm. 127. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pemegang kekuasaan kehakiman dapat dituntut untuk selalu menjaga etika dan perilakunya agar selalu mencerminkan sikap independensi dan akuntabel sehingga hanya mendasarkan setiap berbuatannya baik di dalam dan diluar peradilan berdasarkan hukum dan kebenaran.
Universitas Sumatera Utara