1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kerangka Teori
1.
Judicial Activism Dalam Proses Peradilan
1.1.
Tradisi Peradilan Pra Modern dan Lahirnya Peradilan Modern Dalam tradisi kuno, apa yang disebut peradilan1 sangat mengandalkan pada
kekuasaan yang tidak terbagi-bagi “totalitarianisme”. Peradilan dalam tradisi-tradisi awal kehidupan manusia dikendalikan melalui pendekatan status “rules of status”. Ini berarti bahwa apa yang adil ditentukan oleh siapa yang memegang kendali kekuasaan yang pada awalnya memang lebih bersifat fisik dan absolut. Status penguasa diberikan kepada figur-figur yang kuat secara fisik yang ditunjuk sebagai pemimpin gerombolan masa komunitas tersebut. Dalam pendekatan status, peradilan dipegang oleh penguasa fisik yang sering direpresentasikan oleh seorang “hakim” yang kerap bertindak sekaligus sebagai polisi dan jaksa. Mereka yang kuat secara fisik selalu menjadi pemenang dalam pertarungan di Pengadilan. Oleh karena itu, tidak mengheranan pribadi atau kelompok yang pernah disakiti ini melakukan pembalasan dendam berdarah “bloedwraak” terhadap pribadi atau kelompok lainnya. Tradisi inilah yang digambarkan dalam naskah hukum disebut sebagai tradisi main hakim sendiri “eigenrichting”. Tradisi eigenrichting adalah tradisi hukum rimba yang menempatkan kekuatan otot (fisik) di atas rasio. Tradisi eigenrichting sendiri 1
Istilah peradilan dan pengadilan berasal dari kata dasar adil yang memperoleh imbuhan dan awalan (prefiks) pe dan per serta akhiran (sufiks) an. Di kalangan para sarjana terdapat silang pendapat dalam memberikan dan mempergunakan istilah pengadilan dan peradilan. Pendapat yang membedakan pengadilan dengan peradilan mengatakan bahwa pengadilan merupakan terjemahan dari rechtbank atau court maksudnya menunjuk pada wadah, badan, lembaga atau institusi. Sedangkan peradilan merupakan terjemahan dari rechtspraak atau judiciary digunakan untuk menunjuk fungsi, proses atau cara memberikan keadilan seperti dilakukan pengadilan, dalam SF Marbun, op.cit., hlm. 50.
2
dibenarkan dalam peradilan-peradilan primitif. Tradisi eigenrichting dalam peradilanperadilan kuno tersebut dibenarkan atas dasar tujuan emosional2. Upaya untuk mengakhiri tradisi “eigenrichting” dalam sistem peradilan dan sistem hukum pada umumnya, tercatat sebagai prestasi tersendiri dalam perjalanan sejarah hukum. Apabila mengikuti teori Maine, peralihan tradisi ini sudah membawa hukum ke dalam perimbangan kepentingan dalam bentuk kontrak. Selanjutnya John Gilisen dan Frits Gorle3 menyatakan larangan eigenrichting seiring dengan pengukuhan kebiasaan-kebiasaan sebagai instrumen dalam upaya penyelesaian perselisihan dan pendirian badan-badan peradilan primitif. Padahal hukum dalam arti paling hakiki adalah upaya rasionalitas terhadap kekuasaan fisik. Sebagaimana Max Weber menggunakan ukuran tingkat rasionalitas dalam mengkonstruksi hukum. Tingkat rasionalitas sebuah masyarakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu. Weber membagi tiga tingkat rasionalitas yakni substantif-irasional, substantif dengan sedikit kandungan rasional dan rasional penuh. Pada saat peradaban manusia masih sangat sederhana (primitif), sistem peradilannya sangat kuat
menampilkan sisi-sisi irrasional. Hukum hanya
berupa intuisi, tanpa aturan. Pada tipe yang substantif dengan sedikit kandungan rasional (berupa aturan umum yang serba informal). Tipe ini dimiliki oleh masyarakat yang bertopang pada adat dan kebiasaan tradisional. Sedangkan ketika peradaban mulai maju (sebagaimana masyarakat di dunia Barat saat itu) maka sistem peradilan makin menunjukkan sisi-sisi rasionalitas. Hukum mengambil sosok dalam bentuk aturan-aturan rinci, khusus dan terkodifikasi . Ada tiga macam acara yang menandai prosedur hukum yang primitif sebagaimana dikemukakan oleh Weber yaitu Pertama, ada peradilan lynch keagamaan (penghukuman tanpa didahului pemeriksaan pengadilan dan biasanya 2
Shidarta, Tradisi Peradilan Pra-Modern, dalam Pendulum Antinomi Hukum, Shidarta dan Jufrina Rizal (ed), Genta Publishing, Yogyakarta, 2014, hlm. 58 3 Ibid. hlm. 60
3
pidana mati). Kedua, ada tata cara perdamaian antara kelompok-kelompok yang bertali persaudaraan (cikal bakal dari penyelesaian perdata). Ketiga, ada arbitrase dalam pertikaian oleh kepala rumah tangga yang tidak diikat oleh batasan-batasan atau prinsip-prinsip resmi (asal mula hukum administrasi) . Pendekatan prosedur beracara pada era primitif terlalu ketat dan formalistis. Maksudnya adalah yang diutamakan adalah kebenaran formal belaka karena pembuktian-pembuktian yang diajukan pada akhirnya harus dipulangkan pada penilaian sepihak dari hakim yang biasanya dirangkap oleh si pemegang kekuasaan. Sistem peradilan primitif sebagaimana digambarkan oleh Weber disadari mempunyai banyak kelemahan. Pada masa itu muncul dua kubu pemikiran antara Socrates (469-399) dan kaum sofis yang antara lain diwakili oleh Protagoras (480411 SM) dan Gorgias (480-380). Socrates meyakini ada kebenaran objektif, tapi sebaliknya dengan Protagoras dan Gorgias. Menurut Protagoras, manusia adalah ukuran kebenaran dan kebaikan. Gorgias bahkan lebih jauh lagi berpendapat bahwa kebenaran bukanlah utama. Menurut Gorgias yang utama adalah kemampuan meyakinkan (retorika). Puncak dari perikaian di atas adalah apa yang disebut dengan peradilan Socrates. Socrates dituduh meracuni pikiran orang-orang muda Athena oleh Meletus dan orator Lycon. Kemudian Socrates dibawa ke pengadilan Agora (Court of the Heliast). Peradilan model ini sudah mengenal sistem juri sejumlah antara 200 orang hingga 2.500 orang. Saat itu ada 500 juri yang memberikan suara dalam kasus Socrates. Sebanyak 280 orang menyatakan bersalah dan layak dihukum sedangkan sisanya 220 orang menyatakan Socrates tidak bersalah . Sistem peradilan juri inilah yang selanjutnya berkembang di dalam lingkungan sistem hukum Anglo saxon dan Anglo America. Sementara di wilayah Eropa Kontinental, sistem juri telah ditinggalkan akibat pengaruh hukum Romawi yang datang kemudian. Dalam rangka mempertahankan wilayah kekuasaannya yang sangat luas, Romawi menerapkan sentralisme pemerintahan. Oleh karena itu kodifikasi dan unifikasi hukum diperkenalkan, sehingga lahirlah kitab-kitab hukum yang menjadi
4
cikal bakal legislasi ala Eropa Kontinental. Pemerintahan termasuk sistem peradilan, masih dijalankan melalui gaya aristokrat. Para hakim (praetor) memegang kekuasaan tunggal untuk menafsirkan fakta dan hukum serta menjatuhkan sanksi menurut pemikirannya sendiri. Model peradilan Gaya Romawi tersebut sudah mengalami modifikasi dari waktu ke waktu, namun sisa-sisa penerapannya dengan memberi kekuasaan paling besar kepada hakim masih dijumpai dalam sistem peradilan Eropa Kontinental. Hakim adalah orang yang dianggap paling tahu hukum (asas ius curia novit). Sebagai konsekwensinya, hakim tidak boleh menolak untuk menerima suatu perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya (asas non-liquet). Seiring dengan pertambahan anggota komunitas, ukuran status fisik mulai berubah. Pengakhiran tradisi eigenrichting menunjukkan suatu perkembangan dalam sejarah sistem peradilan umat manusia. Pengendalian kekuasaan mulai dibagi-bagi berdasarkan konsensus dan mengarah pada pertimbangan fungsional. Sebagaimana dikatakan oleh Emile Durkheim, dikatakan bahwa pola interaksi sosial demikian adalah solidaritas organis, mengganti pola solidaritas mekanis yang muncul pada era primitif. Sebagaimana Durkheim4 membangun teorinya tentang hukum di bawah tema “pembagian kerja” yang tercermin dalam judul karya utamanya : “De la division du Travail” sebagai berikut : He made a distinction between two types of such social solidarity or cohesion: 1. Mechanical soidarity
– which he said was to be found in small-scale
homogeneous societis. Here, he believed, most law would be o a penal and repressie nature, since te entiretty of society woud take an interest in criminal activity and wouls seek to reprress and deter it.
4
Cavendish Law Cards, Jurisprudence, Cavendish Publishing Limited, Great Britain, 1997, hlm. 128
5
2. Organic solidariy – to be found in more heterogeneous and differentiated societies where there is a greater division of labour. In such societies there is less of a common societal reaction to crime and the law becomes less repressive and more restitutive.
Henry S. Maine menyebut perubahan tersebut sebagai pergerakan dari status ke kontrak atau “movement from status to contract”. Teori Maine tidak lepas dari telaah studi perbandingan mengenai perkembangan sistem hukum yang bervariasi di berbagai belahan dunia. Dalam kondisi yang masih statis, hukum bersumber dari perintah pribadi yang dikeluarkan para penguasa yang konon berasal dari ilham ilahi, serta keputusan-keputusan dari minoritas kaum bangsawan yang merumuskan adatistiadat menurut hukum. Kemudian disusul era kitab undang-undang tapi masih tetap didominasi oleh ketergantungan hubungan berdasarkan status. Perkembangan ke arah kontrak muncul bersamaan dengan kesadaran untuk meninggalkan secara bertahap ketergantungan berdasarkan status. Sebagai gantinya tumbuh kebebasan berkehendak dan bergerak5. Hal inilah yang dikemudian hari diadopsi oleh J.J. Rousseau dengan kontrak sosialnya. Sebagaimana dikemukakan di atas, peradilan pun dalam tradisi-tradisi awal kehidupan manusia dikendalikan melalui pendekatan status dan akhirnya berganti kepada pendekatan kontrak. Dalam pendekatan status, peradilan dipegang oleh penguasa fisik yang sering direpresentasikan oleh seorang hakim tunggal yang kerap bertindak sekaligus sebagai polisi dan jaksa. Mereka yang kuat (secara fisik) selalu menjadi pemenang dalam pertarungan di pengadilan. Dengan demikian, peradilan pada masa paling awal peradaban manusia dilakukan untuk mencari keadilan punitif belaka atau lebih lazim disebut keadilan vindikatif (justicia vindicativa).
5
Dalam Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 104
6
Penguasa-penguasa dalam peradaban kuno sudah memandang perlunya mengkaitkan kekuasaan yang dimilikinya dengan kekuasaan mistis supranatural. Dengan demikian dalam Kitab Hammurabi menggunakan pelbagai teori teokrasi untuk mendukung pembenaran-pembenaran tindakan penguasa. Dalam hal ini penguasa menjalankan kekuasaannya atas dasar kekuasaan yang diberikan oleh para dewa atau Tuhan. Peradilan pun dianggap menjalankan fungsinya atas
nama
kekuasaan supranatural tersebut6. Sistem peradilan dewasa ini tidak terlepas dari akar tradisi Barat 7. Sebagaimana dalam sejarah pembabakan filsafat hukum, masa masuknya pengaruh Barat seringkali dijadikan indikator zaman baru (modern) bagi negara yang bersangkutan. Misalnya di India memulai zaman modernnya pada tahun 1757 yakni terhitung sejak masuknya bangsa Inggris ke negeri tersebut. Sementara zaman modern di Cina baru dimulai sekitar tahun 19008. Dalam sistem peradilan yang paling sederhana, figur di pengadilan cukup berpusat pada hakim yang notabene adalah juga penguasa politik. Sistem peradilan demikian juga sangat mengandalkan sifat kharismatik sang hakim. Sebagaimana Weber membagi tiga tipe otoritas yang niscaya terdapat dalam masyarakat manusia sebagai berikut : “He saw law as going through three ideal stages of development :
Dalam naskah akhir Kitab Hammurabi terdapat kalimat : “Hammurabi raja hukum, yang kepada Syamsy telah menganugerahkan undang-undang”. Pandangan ini nampaknya masih tetap melekat dalam banyak sistem peradilan di berbagai negara hingga saat ini dalam Shidarta, Tradisi Peradilan Pra-Modern, op.cit., hlm. 58 7 Walaupun peradaban timur sudah lebih dahulu berkembang dengan adanya budaya bangsa Mesir sekitar abad ke-28 dan 27 SM jauh sebelum bangsa Romawi yang baru mulai pada abad ke-6 dan 5 SM, ibid., hlm. 55 8 Portugis sebagai bangsa Barat pertama yang hadir disana, sudah masuk dan menetap di wilayah Macao sekitar tahun 1500. Rupanya akses kebudayaan Barat di Cina tidak semudah akses di India, ibid. 6
7
1. Charismatic – where leality arises from harismatis revelation- ie as a grift of grace – through ‘law prophets’, who are rulers believed to have extraordinary personal qualities. The law which they propound is supported by an administrative apparatus of close aides or ‘disciples’ 2. Traditional – where charisma may become institutionalised through descent and the law-making powers pass to a successor. Law is then supported by tradition and inherite status as in the case of new monarchies 3. Rational – where there is a ‘systematic elaboration of law and professionalised administration of justice by persons who have received their legal training in a learned and formally logical manner’. In this case the authority of law is based on the accepted legitimacy of the law-givers, rather than on charisma. There is a rationalised legal order which dominates in an empersonal fashion”9.
Masing-masing tipe otoritas tersebut, menentukan model penyelenggaraan hukum (baik law-making, law-finding, maupun law-enforcement). Dalam rezim otoritas kharismatik, tidak terdapat pembuatan hukum. Namun yang ada hanyalah penemuan hukum lewat intuisi dan bisikan supranatural. Akibatnya penerapan hukum hanya mengandalkan kebijaksanaan etis moral yang unik dari tokoh kharismatik. Oleh karena sifatnya sangat individual dan penuh misteri, bisa jadi penerapan hukum didasarkan
pada
emosi,
intuisi
dan
rasa
pribadi
sang
pengadil.
Weber menyebutkan keadilan yang dikejar dalam sistem seperti ini sebagai keadilan kadi atau keadilan Solomonian. Peradilan kadi10 adalah peradilan yang sangat arbiter 9
Cavendish Law Cards, op.cit., hlm. 127 Khadi justice adalah istilah yang diperkenalkan oleh Max Weber untuk sistem peradilan yang dilaksanakan oleh umat Islam sejak zaman khulafa’ar-rasyidin dan mulai sedikit demi sedikit ditinggalkan ketika datang era stagnasi fikih bersamaan dengan tertariknya sebagian umat Islam kepada sistem peradilan modern. Dalam transliterasi Arab-Indonesia 10
8
dan karena itu juga dinilai sebagai peradilan yang paling tidak rasional. Putusanputusan peradilan ini sepenuhnya dipercayakan kepada kearifan sang pengadil, tanpa dirasakan perlunya untuk dikontrol oleh keniscayaan sistem 11. Peradilan tipe kedua ialah peradilan empirik. Weber mengatakan bahwa peradilan ini terbilang peradilan yang lebih rasional, sekalipun belum sepenuhnya. Dalam peradilan empirik ini, sang hakim memutus perkara dengan cara beranalogi; keputusan-keputusan terdahulu dalam perkara-perkara serupa dicoba dicari dan dirujuk, untuk kemudian ditafsir guna menemukan relevansinya dengan perkaraperkara yang tengah ditangani. Sedangkan peradilan dalam hukum modern adalah peradilan yang harus dinilai paling rasional. Sebagaimana definisi Weber bahwa peradilan rasional adalah peradilan yang bekerja atas dasar asas-asas dan kerja sebuah organisasi birokrasi yang hasilnya
memiliki daya berlaku yang universal, tidak
seperti halnya peradilan kadi dan peradilan yang sifatnya lebih partikularistik. Menurut Weber pula, hukum barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang paling rasional, ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional di bidang kehakiman dan kepengacaraan. Dalam perkembangannya, hukum Barat yang modern itu akan kian terlembagakan melalui proses-proses birokratisasi yang berlangsung ditubuh aparataparat negara, dan dengan begitu juga kian rasional sifatnya, dengan isi keputusankeputusan yang boleh didugakan kelugasan dan kepastiannya 12. Koridor kekuasaan demikian longgarnya, sehingga lama-lama disadari bahwa tanpa ada pembatasan, kekuasaan itu mudah disalahgunakan. Menyerahkan hukum ke tangan hakim yang lalim pada hakikatnya sama saja dengan membawa hukum di tangan penyamun yang “main hakim sendiri”. Upaya untuk mengakhiri tradisi main
istilah tersebut ditulis dengan Qadi Justice. Para ahli sosiologi hukum di Indonesia menyebut sebagai Peradilan Kadi, Mukhtar Zamzami, Mencari Jejak Hukum Progesif Dalam Sistem Khadi Justice, dalam Varia Peradilan Tahun XXIV No. 286 September 2009 11 Bernard L. Tanya, dkk, op.cit., hlm. 123 12 Ibid. hlm. 124
9
hakim sendiri atau eigenrichting13 dalam sistem peradilan dan sistem hukum pada umumnya merupakan peralihan tradisi membawa hukum ke dalam perimbangan kepentingan dalam kontrak. Sebagaimana menurut Henry S. Maine dengan teorinya “Movement from Status to Contract”. Hukum hanyalah hasil ikutan dari kondisi struktural (sosial-ekonomi) masyarakat. Wajah hukum akan berubah seiring perubahan stuktur sosial-ekonomi masyarakat itu. Perkembangan sistem hukum modern tidak dapat dilepaskan dari kelahiran industrialisasi kapitalistik. Weber dalam bukunya “Wirtschaft und Gesellschaft” melihat kapitalisme sebagai sebab terjadinya perubahan dalam tipe hukum tradisional menjadi modern. Kapitalisme menuntut suatu tatanan normatif dengan tingkat dapat diperhitungkan “calculability” yang tinggi sebagaimana berdasarkan penelitian Weber terhadap sistem-sistem hukum yang ada pada waktu itu. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hanya hukum modern yang rasional yang mampu memberikan tingkat perhitungan yang dibutuhkan14. Selanjutnya hukum semakin menampakkan karakteristiknya sebagai teknologi pada hukum modern. Hukum modern dengan stukturnya yang rasional, prosedural dan formil memungkinkan timbulnya penyakit teknologi pada lembaga pengadilan yaitu teknologi untuk memenangkan perkara. Dalam hukum modern, pengadilan menjadi mesin dan banyak orang telah menyerahkan nasibnya pada mesin-mesin hukum tersebut. Hukum telah menjadi teknologi dan pengadilan menjadi mesin15.
13
Tradisi eigenrichting dibenarkan dalam peradilan-peradilan primitip yaitu sekitar 4.000 tahun yang lalu yakni dalam kitab hukum tertua yang ditemukan dalam sejarah yaitu Kitab Hammurabi. Hammurabi adalah raja Babilonia yang hidup sekitar tahun 1800 SM. Kitab Hammurabi dianggap sebagai kitab hukum tertua di dunia, sekaligus menunjukkan pencapaian tingkat peradaban Mesopotamia yang sudah sangat tinggi saat itu, dalam Sidharta, op.cit., hlm. 57 14 Widodo Dwi Putro, Kritik Proyek Justice For The Poor, dalam Jurnal Arena Hukum Volume 6 Nomor 2, Agustus 2012, Universitas Brawijaya : Malang, hlm. 149 15 Agus Rahardjo, Teknologisasi Hukum, dalam Jurnal Pro Justitia, Volume 28 Nomor 1, Universitas Parahiyangan : Jakarta, hlm. 9
10
Sistem peradilan modern yang menempatkan fungsi peradilan terpisah dari eksekutif, mengemuka setelah Charles Montesquieu (1689-1755) mengemukakan konsep pemisahan kekuasaan “separation of powers”. Dengan demikian sistem peradilan modern yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan baru lahir pada abad 18 yang diakselerasi melalui pemikiran Montesquieu. Pemikiran Montesquieu (bersama dengan John locke) memberi pengaruh besar pada para founders Amerika terekspresi dalam Revolusi Amerika 1870. Dalam Konstitusi Amerika (1787) memang sejak awal mensyaratkan adanya pemisahan kekuasaan mengikuti doktrin Montsqueieu yaitu orang (penguasa) yang sama tidak boleh duduk dalam beberapa tempat sekaligus. Oleh karena itu eksekutif (presiden) tidak boleh merangkap di legislatif (konggres) dan yudikatif (mahkamah agung) demikian pula sebaliknya. Gagasan pemisahan kekuasaan di Amarika Serikat didekati dengan konsep saling kontrol “check and balance”. Masing-masing fungsi kekuasaan tadi membuat pembagian agar satu sama lain tidak saling merampas kekuasaan atau menjadi dominan. Dalam konteks Amerika Serikat, eksekutifnya tidak sekedar menjalankan hukum melainkan juga diberi kekuasaan veto atas semua rancangan undang-undang, ikut memilih para hakim dan pegawai peradilan, membuat perjanjian, memastikan semua hukum dijalankan, memilih panglima tertinggi militer dan memberikan amnesti. Legislatif juga diberi kekuasaan menyetujui semua hukum tingkat federal, mengesahkan semua peradilan federal yang lebih rendah dan dapat membatalkan veto presiden. Yudikatif diberikan kewenangan untuk menyidangkan kasus-kasus hukum termasuk sengketa antar lembaga negara, serta menafsirkan undang-undang dan konstitusi. Inilah yang dikenal dengan sistem pembagian kekuasaan “a system of shared power” atau lazim disebut dengan istilah “division of power”. Gagasan pembagian kekuasaan itu sendiri sebenarnya dapat dilacak sejak Aristoteles memandang bahwa pembagian kekuasaan merupakan syarat bagi keteraturan negara.
11
Peradilan Administrasi Negara16 sebagai suatu lembaga yang lahir pada masa perkembangan sistem hukum modern, telah dikembangkan berdasarkan kebutuhan sistem hukum modern yang terdiri dari proses-proses formal. Proses formal ini diantaranya birokrasi, administrasi, transformasi, maupun sub-sub sistem membentuk jalinan prosedur yang merupakan jantung dari hukum. Sub sistem tersebut secara sinergis membentuk satu jalinan sistem Peradilan Tata Usaha Negara, oleh karenanya diantara sub sistem tersebut harus bersifat
integratif, dan tidak boleh bersifat
kontradiktif satu dengan yang lain17. Peradilan Tata Usaha Negara yang memiliki otoritas untuk melakukan pengawasan yuridis terhadap perbuatan tata usaha negara yang dinilai merugikan hak-hak warga masyarakat, tak lain merupakan konsekwensi dari pemikiran yang dilembagakan mengenai perlunya pemisahan kekuasaan tersebut18. Kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara terkait dengan sejarah Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat dilepaskan dengan Peradilan Administrasi Perancis atau paham negara hukum “rechtsstaat” versi Eropa Kontinental yang merupakan cikal bakal Peradilan Administrasi di sebagian besar negara-negara dunia. Pada waktu kerajaan di bawah kekuasaan Raja Hugo Capet (kurang lebih tahun 967 AC) dibentuk lembaga Curia Regis lebih nampak sewaktu Louis le Saint (1226-1270) memerintah yaitu Curia Regis berperan sebagai pembantu Raja yang diberi wewenang : Pertama, 16
Terdapat berbagai macam istilah peradilan administrasi. Timbulnya bermacam-macam istilah tersebut dimungkinkan akibat terjemahan dari administrative rechtspraak yang diterjemahkan antara lain: peradilan tata usaha, peradilan tata usaha negara, peradilan tata usaha pemerintah, peradilan administrasi, peradilan administratif, dan peradilan administrasi negara. Pada saat RUU dibahas di DPR, penggunaan istilah ini telah memperoleh perhatian dan pembahasan yang cukup mendalam. Masing-masing pihak mengemukakan alasannya dengan berbagai argumentasi sehingga pada akhirnya diperoleh kesepakatan untuk mempergunakan istilah Peradilan Tata Usaha Negara, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk mempergunakan istilah Peradilan adminisrasi negara, lihat dalam SF Marbun, op. cit., hlm. 53 17 Yos Johan Utama, Menggugat Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Akses Warga Negara Untuk Mendapatkan Keadilan Dalam Perkara Administrasi Negara (Suatu Studi Kritis Terhadap Penggunaan Asas-Asas Hukum Adminstrasi Negara dalam Peradilan Adminstrasi), dalam Jurnal Ilmu Hukum Volume 10 Nomor 1 Maret 2007, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, hlm. 28 18 Willy Riawan Tjandra, op. cit., hlm. 76
12
memberikan nasihat kepada raja, ketika menetapkan kebijaksanaan berlakunya jenis mata uang. Kedua, bertindak sebagai Mahkamah Banding terhadap putusan-putusan hakim di daerah para feodal kecil19. Pada masa monarki absolut, Curia Regis itu berubah menjadi Conseil du Roi sebagai badan penasehat raja dalam masalah-masalah pemerintah, administrasi dan keuangan. Pada saat Louis XIV memerintah, ke dalam Conseil du Roi dimasukkan beberapa orang ahli yang menjalankan fungsi yang berbeda-beda dalam beberapa formasi. Salah satu formasi itu disebut Le Conseil d’Etat prive oudes parties yang diberi tugas yurisdiksional. Pada tahun 1789 pecahlah Revolusi Perancis yang menentang kesewenang-wenangan raja. Rakyat menuntut persamaan hak dengn tidak melihat kedudukan atau keturunan sehingga timbul semboyan liberte, egalite dan fraternite (kebebasan, persamaan hak dan persaudaraan). Pada tahun 1789 pecah revolusi Perancis, pada saat kekuasaan dipegang oleh Napoleon Bonaparte yang terkenal dengan kodifikasinya yang disebut Code Napoleon. Agar kesewenang-wenangan raja tidak terulang kembali, Napoleon Bonaparte tahun 1799 mengubah lembaga Conseil du roi (dewan penasihat raja) menjadi C’onseil d’Etat (Dewan Penasehat Negara). Dalam perkembangannya Conseil d’Etat menjadi berfungsi ganda sebagai penasihat dan berfungsi yudikatif. Akhirnya Conseil d’Etat berfungsi sebagai puncak dari lembaga peradilan administratif/tribunal administratif. Perkembangan Conseil d’Etat menjadi puncak dari badan-badan peradilan administrasi yang muncul sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan menjalankan suatu pemerintahan yang baik, merupakan suatu konsekwensi logis dari ketentuan hukum dasar yang berlaku sejak Revolusi yang menjadi pemisah mutlak antar kekuasaan 19
Dahnial Khumarga, Persamaan Dan Nuansa Perbedaan Antara Corak Peradilan Tata Usaha Negara Perancis, Belanda Dan Indonesia, dalam Jurnal Volume 01 No. 1 Juli 2001, Universitas Pelita Harapan, hlm. 14 tersedia di http://dspace.library.uph.edu:8080/handle/ diakses pada Sabtu 4 April 2015 Pkl.17.05
13
eksekutif administrasi dengan kekuasaan yudikatif (Trias Politika dari Montesquieu). Jadi di Perancis, lembaga peradilan administrasi banyak memegang peranan dalam kehidupan ketatanegaraan sehari-hari. Fungsi peradilan administrasi ialah menangani persoalan (hukum) yang terjadi antara pemerintah di satu pihak dengan warganya di pihak lain. Hal ini juga merupakan fenomena yang biasa terjadi di beberapa negara Eropa Barat bahkan di benua Afrika seperti Aljazair dan Maroko. Kondisi serupa juga sudah membudaya di negara Belanda. Setelah 1848 dalam Grondwet Negara Belanda berdasarkan Pasal 163 ayat (2) ditentukan bahwa sengketa wewenang antara administrasi dengan kekuasaan kehakiman akan diatur dalam undang-undang. Ketentuan tersebut pada dasarnya sama dengan bunyi Pasal 165 Grondwet Negara Belanda tahun 1815. Namun ternyata Pasal 163 ayat (2) itu dalam kenyataannya tidak pernah dilaksanakan. Sehingga sampai tahun 1887, Rajalah yang berhak memutuskan segala perselisihan di bidang pemerintahan. Namun selanjutnya kekuasaan raja itu menjadi terbatas sejak Grondwet tahun 1887 karena wewenang memutus perselisihan tersebut diserahkan kepada Raad van State. Untuk keperluan itu dibentuklah Komisi Negara tahun 1894 yang menyebutkan perkara-perkara apa yang termasuk wewenang peradilan administrasi. Selanjutnya karena Komisi Negara tersebut menimbulkan banyak badan yang melakukan peradilan administrasi, maka pada tahun 1905 diajukan tiga Rancangan Undang-undang yang isinya antara lain mengatur hukum acara administrasi dalam buku Wet Boek van Administratieve Rechtsvordering. Oleh karena banyak timbul pertentangan terhadap rancangan undang-undang tersebut di atas, akhirnya pada tahun 1931 oleh J. Donner (selaku Menteri Kehakiman) dibentuk sebuah Komisi yang disebut Komisi Koolen tahun 1932. Akhirnya rancangan undang-undang tersebut ditarik kembali, hingga kemudian tahun 1947 dibentuk Komisi Negara yang diketuai S.J.R. de Monchy. Komisi tersebut bertugas mencari dan menentukan hakikat dari peningkatan perlindungan hukum terhadap penguasa tanpa mengubah apa yang telah ada sebagaimana telah terdapat perlindungan hukum yang dilakukan
14
oleh hakim biasa, maupun melalui
badan-badan tertentu antara lain Raden van
Beroep, Ambtearengerechten dan raden van Boerop voor de Directe Belastingen. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa administratief beroep yang telah ada tetap dipertahankan dan ternyata hasil Komisi de Monchy itu merupakan hasil Komisi Koolen yang disempurnakan dengan memberikan klasifikasi bagi administratieve rechtspraak20. Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia tidak terlepas dari keadaan di masa lampau yang memiliki nilai historis yakni asal mula berdirinya lembaga peradilan administrasi di Perancis, walaupun landasan berdirinya lembaga Peradilan Tata Usaha Negara
tersebut
berbeda. Peradilan Administrasi di Perancis didirikan sebagai akibat dari kekuasaan raja yang absolut dan adanya kesewenang-wenangan raja sehingga menimbulkan ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa/raja. Akhirnya raja membentuk lembaga penasehat raja, yang pada mulanya memiliki tugas utama sebagai penasihat raja, namun lama kelamaan akhirnya berfungsi ganda sebagai lembaga penasehat raja sekaligus sebagai lembaga yudikatif. Sedangkan keberadaan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia adalah sebagai tuntutan Negara Kesejahteraan “welfare state” sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar RI 194521. Perkembangan hukum tata usaha negara “administrative law” dan Peradilan tata usaha negara di Amerika Serikat yang mempunyai tradisi common law, memang sangat berbeda dari tradisi civil law di Eropa Kontinental. Lembaga peradilan administrasi di Eropa berkembang dalam lingkungan sistem peradilan civil yang dipandang sangat penting kedudukannya mulai abad ke-19. Sedangkan di Amerika, lembaga ini berkembang dalam dan dari lingkungan badan-badan eksekutif. Oleh 20
Ibid., hlm. 16 Konsekwensi logis negera welfare state yaitu adanya campur tangan pemerintah yang begitu besar terhadap segala kehidupan masyarakat. Campur tangan yang besar dari pemerintah tersebut seringkali menimbulkan benturan kepentingan antara kepentingan umum dengan kepentingan warga negara sehingga menimbulkan sengketa. Sengketa tersebut diatasi melalui lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, ibid., hlm. 19 21
15
karena pentingnya kedudukan lembaga peradilan administrasi negara di Eropa Barat “administratieve rechtsspaak”, Julius Sahl merumuskan menjadi salah satu ciri penting negara hukum “rechtspraak” dalam arti klasik. Menurut Stahl, negara yang tidak memiliki lembaga peradilan administrasi negara, tidak dapat disebut sebagai negara hukum “rechtsstaat”22. Selanjutnya dalam tradisi “common law” di Inggris dan juga Amerika Serikat tidak dikenal adanya lembaga peradilan tersendiri di bidang hukum administrasi. Hal ini dikarenakan yang tumbuh dalam praktik adalah pelembagaan fungsi-fungsi mengadili itu dalam lingkungan eksekutif pemerintahan melalui badanbadan yang menjalankan fungsi quasi-peradilan. “Quasi-judicial administrative agencies” dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh badan administrasi negara “an action by an administrative agency” dengan ciri-ciri dapat melakukan : (1) Ascertain certain facts (2) Hold hearings (3) Weigh evidence (4) Make conclution from the facts as a basis for their official action and (5) exercises discretion of a judicial nature. Badan-badan administrasi semacam ini banyak sekali tumbuh di Amerika Serikat. Upaya hukum lanjutan atau banding atas putusan “quasi-judicial administrative agencies” tersebut biasanya juga tetap terbuka untuk dibawa ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum seperti “district court” sehingga secara
praktis lembaga peradilan tata usaha negara tersebut tetap tidak dapat
dilepaskan dari dan merupakan bagian integral dari sistem peradilan pada umumnya23.
1.2.Keaktifan Hakim (Judicial Activism) Dalam Putusan Hakim 22
Jimly Asshiddiqie, Pengadilan Khusus, Tersedia di http://jimly.com.makalah/namafile/126/PENGADILANKHUSUS_02.PDF.hlm.11 diakses 20 April 2015 Pkl. 22.00 WIB 23 Ibid.
16
Pengertian Judicial Activism24 adalah suatu filosofi dari pembuatan putusan peradilan dimana para hakim mendasarkan pertimbangan-pertimbangan putusan, antara lain pada pandangan hakim terhadap perkembangan baru atau kebijakan publik yang berkembang dan sebagainya. Pertimbangan tersebut menjadi arahan bagi hakim dalam memutus kasus karena adanya perkembangan baru atau berlawanan dengan putusan-putusan sebelumnya dalam kasus yang sama. Istilah Judicial Activism sangat populer
di
negara-negara
dengan
tradisi
common
law25.
Namun
dalam
perkembangannya juga dianut dalam negara-negara dengan tradisi bukan common law26. Pengertian judicial activism bisa dilihat dalam Black’s Law Dictionary27 sebagai berikut : “Judicial activism as a philosophy of judicial decision-making whereby judges allow their personal views about public policy among other factors to guide their decisions…
24
Istilah judicial activism dikenal dalam doktrin common law Anglo Saxon dan sangat populer dalam sistem ini. Sebagaimana istilah yang dikemukakan oleh James E. Bond bahwa :…”judicial restraint” versus “judicial activism” or “non-interpretivist” versus “interpretivist”. Dalam sistem common law dituntut ke”aktif”an hakim untuk pembentukan hukum dibandingan dengan legislatif. Apabila untuk menyelesaikan suatu sengketa dirasakan bahwa hakim atau pengadilan harus menggunakan suatu aturan baru atau mengubah suatu aturan yang lama, disitulah hakim menciptakan hukum “judge made law” dengan kata lain putusan hakim adalah hukum. 25 Common law adalah hasil kerja para hakim sejak 1066 (mulai pemerintahan William the Conguoror) dan baru tersusun lengkap selama kurang lebih tiga abad. Common law adalah hasil seleksi dari hukum kebiasaan lokal masing-masing daerah dalam wilayah Inggris. Disebut common law karena hukum yang disusun para hakim (dari berbagai hukum lokal) berlaku sama untuk seluruh wilayah Inggris (unifikasi hukum tidak tertulis). Blackstone (commentaries) yang paling berjasa melakukan kompilasi, klasifikasi dan menyusun secara sistematik common law sebagai sebuah sistem hukum. Kompilasi Blackstone sangat berpengaruh dalam masa perjuangan kemerdekaan dan di masa awal perkembangan hukum Amerika Serikat, dalam Bagir Manan, Judicial Precedent dan Stare Decisis (Sebagai Pengenalan), Varia Peradilan No. 347 Oktober 2014, hlm. 2 26 Gu Peidong, A Study on Several Issues of Active Justice, China Legal Science 2010-04 Tersedia di http://en.cnki.com.cn/Article-en/CJFDTOTA-ZGFX201004003.htm diakses pada hari Rabu 10 Januari 2014 Pkl. 20.30 WIB. 27 Http://en.m.wikipedia.org/wiki/judicial_activism diakses pada hari Minggu, 30 Agustus 2014 Pkl. 10.00 WIB
17
Judicial activism describes judicial rulings suspected of being based on personal or political considerations rather than on existing law. It is sometimes used as an antonym of judicial restraint ”
Terkait dengan pengertian judicial activism, Richard A. Posner dengan mengutip pendapat Oliver Wendell Holmes menyampaikan bahwa hakim membuat hukum (tidak hanya menemukan dan menerapkan hukum) : “to resolve the dispute the court must create a new rule or modify a old one, that is law creation. Judges defending themselves from accusations of judicial activism sometimes say they do not make law, they only apply it. It is true that in our system judge are not supposed to and generally do not make new law with the same freedom that legislatures can and do; they are, in Oliver Wendell Holmes’ phrase, confined from molar to molecular motions. The qualification is important, but the fact remains that judge make, and do not just find and apply law 28.
Ronald Dworkin menyebut istilah Judicial Activism sebagai filosofi pengambilan putusan sebagai berikut : I shall call these two philosophies by the names they are given in the legal literature-the programs of judicial activism and judicial restraint-though it will be plain that these names are in certain ways misleading29. Dalam negara dengan sistem hukum anglo saxon, istilah judicial activism sangat populer. Hal ini terlihat dalam Judicial activism di India merupakan suatu kebutuhan atau “the oxygen of the rule of law” :
28 29
Bryan A. Garner (ed), 2004, Black’s Law Dictionary, eighth edition, Thomson West Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, op. cit., hlm. 137
18
“Justice is the bread of the nation-it is always hungry for it. And, it is wellknown that justice delayed is justice denied. The role of judicial activism in india has been to rovide a safeguard to the common man and indigent aginst an intensive system. This noble task, taken upon itself by the courts, has provided succour, relief and requisite legal remedies to the needy and deprived, over the past few years of judicial intervention and cementing”.30
Demikian halnya dengan Judicial activism di Amerika Serikat, juga dapat dilakukan dalam rangka pengadilan melindungi kaum minoritas di suatu negara “The origins of judicial activism in the protection of minorities. Judicial activism in support of the rights and interests of Blacks no longer would rise the special questions it once had.31 Judicial activism juga dikenal di China yang tidak menganut tradisi civil law dan juga tradisi common law. Sebagaimana dikemukakan Kelik Wardiono32 bahwa sistem hukum Cina berkembang menurut alur sejarahnya sendiri terlepas dari perkembangan sistem hukum anglo saxon (anglo-american), maupun civil law (eropa-continental). Meskipun pada titik tertentu terlihat adanya persinggungan di antara sistem-sistem hukum tersebut. Akan tetapi sistem hukum Cina terbangun dengan pondasi sumber
30
Vikrant Pachnanda, The Judicial Shelter-Activism or Overreach ?, dalam India Law Jornal http://www.indialawjournal.com/volume1/issue_1/judicial_hallow_activism.html diakses pada hari Rabu 10 Desember 2014 Pkl. 23.10 WIB 31 Robert M. Cover, The Origins of Judicial Activism in the Protection of Minorities, The Yale Law Journal, Volume 91 Number 7, June 1982, hm. 1287 diakses pada hari Rabu 10 Desember 2014 Pkl. 23.30 WIB. 32 Di sepanjang alur sejarah perjalanan model pembangunan hukum di Cina mengalami pergantian antara suatu tatanan hukum berbasiskan undang-undang yang mendasarkan pada paham Marxismeleninisme dengan sistem hukum yang berbasis moral (etika umum) dengan mendasarkan pada pendekatan tradisional Cina. Pada tahap akhir perkembangan Cina menganut kembali paham legalisme tanpa mengingkari ideologi Mao dan menempatkan hukum secara subordinatif pada tujuan-tujuan politik, Kelik Wardiono, Sistem Hukum Cina: Sebuah Tatanan Yang Terkonstruksi dalam Lintasan Li dan Fa, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Volume 15 Nomor 1 Maret 2012, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta, hlm.71
19
hukum, asas, lembaga dan pranata yang berbeda dengan sistem hukum lain di dunia sehingga tampil sebagai sebuah sistem hukum tersendiri. Demikian halnya dengan judicial activism juga terdapat dalam hukum Cina, namun dalam pelaksanaannya berbeda dengan Judicial Activism di negara barat (Amerika Serikat). Hal ini dikemukakan oleh Gu Peidong dalam “A Study on Several Issues of Active Justice” sebagai berikut: “As a judicial notion and practice, the Chinese style judicial activism has a theoritical link with the western style judicial activism and has as well presented some similar features as a phenomenon. Nevertheless, owing to the different political and judicial systems in different states, the Chinese style judicial activism and western style judicial activism is somehow different. In general. The chinese style judicial ativism should be viewed as an unique from in the context of the worldwide rule by law milieu. The western style judicial activism is coupled with judicial independence, a more eager pursuit for the explicit rules of social behaviors and a more mature proffesional judiciary. Therefore, different Chinese circumstances call for a restrained judicial activism with a different model in practice. Meanwhile, renovation and development is required and the corresponding safeguarding mechanism needs to be established: firstly, a harmoniusly interactive relation between judiciary and politics should be sought; secondly, a mechanism should be set up for the effective supervision conducted by the higest judicial body over the lower courts; thirdly, an effective and orderly internal judicial adjudicating mechanism should be established”33.
Lebih lanjut Zhang Zhi melalui tulisannya menegaskan konsep keadilan di China lebih ditekankan pada positive justice, sebagai berikut :
33
Gu Peidong, loc.cit.
20
“Judicial activism is an exotic phrase and it has the particular context and implication, which is quite distinct from its use in China. Judicial activism emphasized by chinese justice is on the basis of judicial duties fulfillment which is not the expansion of justice and does not have normal constraint of judicial restrain. Accordiningly, in terms of the general function from of Chinese justice the more appropriate expression should be positive justice”34.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Yang Jianjun sebagai berikut :
“Fundamentalist sense of judicial activism refers to the core of the administration of justice in the process of legislatived justice. The term judicial activism introduced to China was given a lot of new meaning after then, the Chinese legal circles about the understanding of what is judicial activism is diverse, very inconsistent, and most people carried out according to their own understanding of elucidate many of them accresion, distortions of the definition, or even incorrectly relaying erroneous theories of the fallacy. Dynamic administration of justice in China, started there wa not only inagequate theoritical foundation for the defects, are also facing a judicial career and the judicial activism of the sharp conflict of contradictions. But the transformation of social reality also demand that china must be accompanied by the two tasks, i e. The full practice of judicial proffesionalism and the chinese-style
34
Zhang Zhi, The Function From of Chinese Justice: Judicial Activism or Positive Justice?, Journal of Renmin University of China 209-06 Tersedia di http://en.cnki.com.cn/Article-en/CJFDTOTAZGFX20090010.htm diakses pada hari Rabu 14 Januari 2015 Pkl. 23.30 WIB.
21
judicial activism. Although there are many inadequacies, the emergence of judicial activism question is still worthy of serious threatment”35.
Pelaksanaan judicial activism di Indonesia dilakukan dalam rangka mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang tersebut mewajibkan36 pada para hakim untuk menggali hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sudikno Mertokusumo menyampaikan bahwa kata menggali diasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Dengan demikian hukumnya itu ada tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan. Sebagaimana Scholten mengatakan bahwa “di dalam manusia itu sendirilah terdapat hukumnya”. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya 37. Implementasi pasal ini juga menjadi penting karena sejalan dengan adanya imbauan Carbonnier bahwa : “Demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun, dituntut adanya para hakim yang berpikir”38. Terkait adanya kewajiban hakim untuk menggali hukum dan rasa keadilan masyarakat dikarenakan hukum sebagai suatu skema dinamis yang terus bergerak. Hal ini sejalan dengan pemikiran Eugen Ehrlich39 bahwa titik berat perkembangan 35
Yang Jianjun, The Development of Judicial Activism in China, Journal of Northwest University of Political Science and Law, 2010-01, Tersedia di http://en.cnki.com.cn/Article-en/CJFDTOTALDOUB201001008.htm diakses pada hari Rabu 14 Januari Pkl. 13.30 WIB. 36 Kata wajib mempunyai makna harus (1) melakukan, (2) harus melaksanakan, (3) sudah semestinya, lihat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2008. 37 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, ctk. Kelima, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm. 47. 38 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Juicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), ctk. Kelima, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 479. 39 Hadi Suyoto, Komitmen Hukum Dan Kritik Legalisme Bagi Hakim, Varia Peradilan XXV No. 293 April 2010, hlm 65
22
hukum tidak terletak dalam perundang-undangan juga tidak dalam keputusan pengadilan maupun ilmu pengetahuan di bidang hukum akan tetapi dalam masyarakat itu sendiri. Selanjutnya Eugen Ehrlich menyimak bahwa kebiasaan yang hidup dalam komunitas-komunitas lokal bisa saja hadir bersamaan dengan hukum resmi diundangkan oleh negara, baginya hukum undang-undang negara itu selalu berkenaan dengan masalah sengketa dan gugatan yang berakhir dengan jatuhnya putusan di Pengadilan. Semantara itu hukum kebiasaan yang hidup dalam alam kesadaran rakyat setempat itu lebih berkenaan dengan ihwal perdamaian dan gotong royong yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Satjipto Rahardjo40 juga mengemukakan bahwa hukum bukanlah suatu skema yang final “finite scheme” namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Oleh karena itu hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan. Konsep pengertian hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law yang demikian dipengaruhi oleh suatu aliran filsafat pada peralihan abad ke 19-20 yaitu aliran filsafat Pragmatis. Filsafat pragmatis merupakan aliran filsafat yang menekankan orientasi perhatian terhadap kenyataan. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam undangundang, melainkan apa yang dilakukan oleh aparat penyelenggara hukum, polisi, jaksa, hakim atau siapa saja yang melakukan fungsi pelaksanaan hukum. Pencetus pemikiran tersebut adalah Oliver Wendell Holmes (1841-1935) dalam karangannya yang terkemuka The path of law. Menurut Holmes, seorang ahli hukum harus menghadapi gejala kehidupan sebagai suatu kenyataan yang realistis. Yang menentukan nasib pelaku kejahatan bukan rumusan sanksi dalam undang-undang melainkan pertanyaan-pertanyaan dan keputusan hakim.
40
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2010, hlm. 1.
23
Selain Holmes, John Chipman Gray dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa hakim-hakim Amerika bukanlah pribadi yang bebas anasir non hukum dalam menjatuhkan putusan-putusannya. Selain unsur logika sebagai faktor utama pengambilan keputusannya, mereka juga sangat dipengaruhi oleh subjektifitas pribadinya, prasangka, dan unsur-unsur non logika lainnya. Asumsi Gray diperkuat dalam berbagai alasan historis dengan menunjukkan besarnya pengaruh politik, ekonomi dan kualitas individu hakim Amerika dan Inggris dalam memutuskan perkara-perkara yang ditanganinya. Sebagaimana diungkapkan Oliver Wendell Holmes bahwa hukum bukanlah closed logical system melainkan open logical system. “The life of the law has not been logic:it has been experience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, intuitions of public policy, avowed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellowmen, have had a good deal more to do than the sylogism in determining the rules by which men should be governed. The law embodies the story of a nations development through many centuries, and it cannot be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of book of mathematics”41
Holmes memaknai formalisme sebagai aliran yang menekankan cara berpikir hukum yang formal dan logika-deduksi seperti matematika. Formalisme hukum tidak dapat dilepaskan dengan ajaran Christopher Langdell pada akhir abad ke-19. Langdell mendudukkan ilmu hukum termasuk dalam kelompok ilmu eksakta yang bekerja seperti hukum-hukum fisika atas dasar hubungan sebab-akibat. Pola hubungan sebab akibat itu dapat dipelajari di perpustakaan hukum dengan menganalisis kasus-kasus seperti halnya fisikawan menggunakan laboratorium
41
Steven J. Burton, Judging in Good Faith, Cambridge University Press, New York, 1992, hlm. 3
24
Selanjutnya penegasan dari pemikir hukum realis lainnya adalah William James yang menegaskan pentingnya penghindaran diri dari segala hal yang seolah-olah berkesan mutlak dan asli. Perhatian hendaklah lebih diarahkan pada apa yang nyata. Hal-hal yang sifatnya lebih ekstrem datang dari John Dewey dan Jerome Frank. Menurut Dewey,
logika bukanah unsur tunggal dalam penciptaan hukum
(perwujudan hukum dalam kenyataan) melainkan sekedar petunjuk arah belaka. Sementara Frank dengan metode psikoanalitisnya menegaskan bahwa untuk alasanalasan psikologis sebenarnya setiap perkara memerlukan penciptaan hukum sendiri. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya. Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, diperlukan adanya institusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman “judicative power”. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bagir Manan42 : “...that judges, individually and collectively, must respect and honor the judicial office as a public trust and strive to enhance and maintain confidence in our legal system. The judge is an arbiter of facts and law for the resolution or dispute and a highly visible symbol of goverment under the rule of law” ...para hakim, baik perseorangan maupun bersama-sama wajib menghormati dan menjunjung tinggi badan peradilan sebagai sebuah lembaga kepercayaan publik dan berusaha sekuat-kuatnya membesarkan dan memelihara kepercayaan sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Hakim adalah seorang arbiter baik menyangkut fakta-
42
Bagir Manan, Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim Sebagai Penjaga Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka, dalam Majalah Varia Peradilan No. 282 Mei 2009, hlm. 8
25
fakta atau hukum untuk menyelesaikan sengketa dan menampakkan diri sebagai simbol utama negara berdasarkan hukum.
Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim. Soejono Koesoemo Sisworo mengemukakan bahwa tugas hakim dirumuskan “paling anggun” yaitu alat kekuasaan yang merdeka yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia yang pada setiap keputusannya wajib memuat kalimat kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa”. Dalam melaksanakan kekuasan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajiban sebagaimana telah diatur dalam perundangundangan. Setelah memahami tugas dan kewajiban selanjutnya hakim harus berupaya secara
profesional
dalam
menjalankan
dan
menyelesaikan
pekerjaannya.
Profesionalitas seorang hakim dilaksanakan dengan peran aktif dari hakim melalui pilihan pengambilan putusan yang menggunakan adanya keaktifan hakim (judicial activism) dalam proses peradilan. Peradilan sebagai suatu proses harus terdiri atas unsur-unsur tertentu yaitu: (1) adanya aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan (2) Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit (3) Ada sekurang-kurangnya dua pihak dan (4) Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan. Menurut Sjahran Basah bahwa unsur-unsur peradilan itu lebih lengkap mencakup pula adanya hukum formal dalam rangka penerapan hukum “rechtoepassing” dan menemukan hukum “rechtsvinding” in concreto. Dengan demikian Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menurut hukum, menemukan hukum
26
in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal43. Hukum dalam wujud putusan hakim hanya mengikat pihak-pihak tertentu saja. Hal ini berbeda dengan hukum yang dibuat lembaga legislatif dalam wujud undangundang yang mengikat secara umum. Sehubungan dengan hukum dalam arti produk lembaga legislatif dan hukum dalam arti putusan hakim memiliki kelebihan dan kelemahan.
Undang-undang
lebih
menjamin
kepastian
hukum
sedangkan
kelemahannya adalah lamban dan statis. Sedangkan putusan hakim kadar kepastiannya lebih rendah dibandingkan dengan undang-undang, tetapi kadar elastisitasnya jauh lebih tinggi daripada undang-undang. Anggota legislatif boleh membuat undang-undang apa saja berdasarkan kewenangannya, tetapi pada akhirnya di tangan hakim tafsir yang menentukan arti setiap frasa, setiap kata, setiap kalimat dalam rumusan perundang-undangan sehingga undang-undang itu hidup, berkembang tidak ketinggalan zaman. Sebagaimana Ronald Dworkin44 mengatakan bahwa setiap kali hakim memutus suatu perkara, maka saat itu ia sedang berteori tentang apa hukum itu. Selanjutnya melalui putusanputusan hakim yang berkualitas dan kreatif dapat melakukan berbagai terobosan hukum. Terobosan hukum yang dilakukan oleh hakim menjadi penting karena menurut R. Dworkin tidak semua kasus hukum yang komplek dan sulit atau hard cases dapat secara langsung ditemukan jawabannya dalam hukum positif yang tersedia. Dalam hard cases diperlukan kemampuan menganalisis, menginterpretasi dan melakukan terobosan hukum untuk mendapat jawaban yang tersedia. Meskipun demikian, para hakim bukan dan seharusnya tidak, menjadi pembuat hukum. Oleh 43
Nawa Angkasa, Analisis Kedudukan Dan Fungsi Yudikatif Sebagai Pemegang Kekuasaan Kehakiman Dalam Sistem Negara Hukum Di Indonesia, dalam Jurnal Studi Keislaman No. 01 JanuariJuni 2013, hlm. 11 44 Dalam H.M. Fauzan, Merebut Kepercayaan Publik Terhadap Pengadilan, dalam Varia Peradilan Nomor 266 Januari 2008, hlm. 53
27
karena itu bagi R. Dworkin tetap dibutuhkan teori yang lebih memadai untuk menangani kasus berat. Apabila hakim tidak boleh membuat hukum sementara hakim dihadapkan kasus berat, bagaimana terobosan hukum bisa dimungkinkan ? Dworkin menjawab pertanyaan dengan memberi perbedaan yang jelas antara argumen prinsip (argument of principles) dan argument kebijakan (argument of policies). Disebut argument kebijakan ketika hakim berusaha mempertanggungjawabkan keputusan dengan menunjukkan manfaat bagi komunitas politik secara keseluruhan. Sementara argumentasi prinsip adalah argumen hakim yang membenarkan putusan karena pada dasarnya menghormati atau melindungi hak-hak individu atau kelompok. Setiap kasus baik
hard cases maupun clear cases pada hakikatnya unik sehingga
memerlukan interpretasi hukum yang baru atau dengan kata lain tidak pernah ada dua perkara yang sepenuhnya serupa. Para hakim bukanlah legislator karena tugasnya adalah melakukan ajudikasi (adjudication) atau memeriksa dan mengadili. Tugas membuat undang-undang itu ada dalam ranah legislasi. Kendatipun demikian pada akhirnya hakimlah yang menentukan apa yang dikehendaki oleh undang-undang. Sebagaimana pendapat Dworkin yang dikutip Satjipto Rahardjo, Hakim sesungguhnya juga “membuat hukum” pada tingkatan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan hakim memutuskan hukum itu tidak dilakukan dengan membaca teks (textual reading) melainkan menggali moral dibelakangnya (moral reading). Hal ini juga terlihat dalam sejarah yang panjang bahwa hakim hanya menerapkan hukum atau hakim hanya mulut undang-undang. Sebagaimana dikemukakan oleh Mathias Klatt sebagai berikut : Anglo-American Legal philosophy has long struggled with how to differentiate legislation and adjudication. Traditionally, the judiciary is supposed to interpret and to apply the law rather than invent and make new law, the latter task being exclusively reserved for the legislature. This old ideal of the judges as ‘bouche de la
28
loi’ was rigidly adhered to in England, for example, during the ‘age of strict literalism’, that is, between 1830 and 1950. The judiciary was seen as merely the enforcing agent for decisions already made by the legislature. According to this view, adjudication did not involve any creativity. Rather, it consisted of mere retrieval of the ‘fixed’ meaning of a norm. This can be called the discovery model of judicial interpretation, in which the accompanying literalist method of legal reasoning exercises near-absolute predominance45.
Terkait hukum dalam arti undang-undang sebagai produk legislatif (produk politik) sehingga perlu interpretasi dari hakim. Sebagaimana dikemukakan dalam Ahmad Rifai46 bahwa bangunan sistem hukum Indonesia adalah undang-undang sebagaimana dalam civil law system dimana hakim adalah pelaksana undang-undang bukan pembuat undang-undang (hukum) sebagaimana yang dilakukan para hakim yang menganut common law system, namun para hakim di Indonesia bisa melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) melalui putusan-putusannya. Hal tersebut dapat dilakukan sepanjang para hakim tidak boleh menabrak isi dan falsafah peraturan perundang-undangan. Interpretasi menjadi penting dikarenakan ada banyak kepentingan dalam proses pembuatan undang-undang sebagaimana dijelaskan Antonin Scalia dan Bryan A. Garner47 sebagai berikut : “…when necessary to achieve favorable consequences for certain targeted groups of people, such as monorities, women, factory workers, the poor, homeowners, busnesspeople, tenants, landlords, taxpayers, government workers, children….”. Selain itu asumsi yang dibangun saat perumusan undang45
Mathias Klatt, Making The Law Explicit The Normativity of Legal Argumentation, Hart Publishing, Oxford and Portland Oregon, 2008, hlm. 18 46 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 129 47 Antonin Scalia & Bryan A. Garner, Reading Law: The Interpretation of Legal Texts, Thomson/West, United States of America, 2012, hlm. 1
29
undang telah pula bergeser. Sebagaimana dikemukakan Harifin A. Tumpa 48 bahwa suatu hukum positif selalu memiliki keterbatasan waktu, ruang dan keadaan. Disinilah letak, fungsi dan peranan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan. Penyimpangan terhadap suatu peran hukum yang telah ada dapat dilenturkan penafsirannya. Hal ini sejalan dengan fungsi hakim wajib mencari nilai-nilai keadilan dalam penerapan hukum yang bersifat progresif dan responsif. Namun suatu kaidah hukum yang terjadi karena ada faktor-faktor yang eksepsionil tersebut di atas, tidak dapat diartikan berlaku umum, seolah-olah menggantikan kaidah yang telah diatur dalam undang-undang tersebut karena hakim bukan pembentuk undang-undang. Kaidah yang terjadi secara eksepsionil tersebut hanya berlaku secara kasuistis. Hakim mempunyai peranan mewujudkan total justice49 yaitu mendekatkan atau menjembatani keadilan dan kepastian atau legal justice and moral justice yang dalam praktik tidak mudah. Aharon Barak50 mengemukakan bahwa hakim yang baik adalah hakim dengan legitimasi yang dimilikinya mampu membuat dan menciptakan hukum lebih dari sekedar hukum yang dapat menjembatani hukum dengan masyarakatnya yaitu : “A good judge, is a judge who, within the bounds of the legitimate possibilities at his dispose, makes the law that, more than other law, he is authorized to make, best bridges the gap between law and society and best protect the constitution and its values”.
48
Harifin A. Tumpa, Problem Hukum Keluarga Antara Realita Dan Kepastian Hukum, dalam Varia Peradilan Nomor 286 September 2009, hlm. 5 49 Cita ideal keadilan yang dikeluarkan pengadilan adalah apa yang digagas oleh Lawrence M. Friedman yaitu Total Justice. Konsep tersebut sekaligus merupakan kritik terhadap sistem pengadilan di Amerika Serikat yang dinilai terlalu banyak pengacara (to many lawyers) terlalu banyak hukum (too much law) dan terlalu banyak perkara di pengadilan (to much litigation), Artidjo Alkostar, Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Varia Peradilan Tahun XX No. 38 Juli 2005 50 Jimly Maruli, Dicari: Putusan Yang Progresif, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXV No. 293 April 2010, hlm. 78
30
Oleh karena itu memerlukan kearifan dengan naluri yang tinggi serta hati nurani yang jernih yang dapat diperoleh dengan pengalaman yang cukup, ilmu pengetahuan yang luas disertai kejujuran. Sebagaimana dikemukakan Mackenzie51 bahwa ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu : Pertama, Teori Keseimbangan yaitu keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan penggugat, kepentingan tergugat. Kedua, Teori Pendekatan Seni atau Intuisi. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan hakim. Ketiga, Teori Pendekatan Keilmuan. Titik tolak teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan putusan harus dilakukan secara sistematis dan penuh kehati-hatian. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu sengketa, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus diengkapi dengan ilmu pengethuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya. Keempat, Pendekatan pengalaman. Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapi sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan. Kelima, Teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok pekara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk 51
Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 249 Bulan Agustus 2006, Ikahi, Jakarta, 2006, hlm. 7
31
menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Keenam, Teori Kebijaksanaan. Teori ini dapat digunakan oleh hakim agar putusanputusan yang dijatuhkan dapat memenuhi dimensi keadilan yaitu keadilan formil dan keadilan substantif sekaligus. Keaktifan hakim (judicial activism) seorang hakim dapat dilihat dalam perspektif behavioral jurisrudence52. Salah satunya adalah Richard A. Posner dalam buku “How Judge Think” menyampaikan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi hakim yaitu yang sifatnya personal yaitu : “Ringing changes on the political might seem to exhaust the possible nonlegalist factors in adjudication. It does not begin to. The possible other factors (call them personal) include personality traits, or temperament (and thus emotionallity at one end of the temperament spectrum and emotional detachment at the other end) which are more or less innate personal characteristics”53.
Selain faktor yang sifatnya personal juga dari faktor lembaga “Institutional factors such as how clear or unclear the law is, salary and workload, and the structure of judicial promotion also influence judicial behavior”. Selain itu dari aspek penguasaan ilmu, Richard A. Posner54 menambahkan bahwa hakim ”bukan profesor” dengan penguasaan ilmu yang umum tidak seperti professor dengan ilmu yang khusus (spesialis) sebagai berikut : “…Realism about judges is sorely lacking
52
Studi ilmu hukum perilaku (behavioral jurisprudence) adalah suatu studi yang mempelajari tingkah laku aktual hakim dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipeajari dalam interaksi dan interelasi antara orang-orang yang terlibat dalam tahap-tahap dalam pengambilan keputusan tersebut satu sama lain. Oleh karena itu, pusat perhatian bukan pada hukum tertulis dan putusan hakim yang bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan orang-orang yang terlibat dalam peranan-peranan sosial tertentu dalam pengambilan keputusan hukum. dalam Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Citra Aditya, Bandung, 2007, hlm. 32 53 Richard A. Posner, How Judges Think, op.cit., hlm. 10 54 Ibid., hlm. 377
32
there. Law is taught as if judges were second class professors, professors manquélegal analysts lacking the specialized knowledge of the law professor”. Selanjutnya dikatakan hakim bekerjanya seperti “komputer” (mesin) bahwa : “The motivations and constraints operating on judges and the judicial mentality that results, are ignored, as if judges were computers rather than limited human intellects navigating seas of uncertainty…”. Pola pikir hakim sebagai “pelayan mesin” yang demikian juga disampaikan oleh Jerome Frank55 sebagai berikut : “Hukum bukanlah mesin dan para hakim bukanlah pelayan mesin. Tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada seperangkat aturan yang sudah ditentukan dan ditetapkan sama bagi seluruh masyarakat. Tindakan manusia bukanlah satuan matematis yang sama; posisi perseorangan tidak bisa dihilangkan seperti dalam persamaan-persamaan aljabar karena persamaan yang setara dikedua sisi bisa berubah. Hidup memberontak terhadap semua usaha yang terlalu menyederhanakan hukum.Kasus-kasus baru akan terus memberikan aspek-aspek baru…aturan-aturan abstrak yang sudah disusun itu harus diubah dan disesuaikan, rumus-rumus yang statis dihidupkan”.
Pola pikir hakim atau Satjipto Rahardjo56 mengistilahkan cara berhukum yang positif-legalistis sudah seperti mesin otomatis. Beliau mengutip pendapat Paul Scholten yang menyebut sebagai “hanteren van logische figuren” Oliver Wendell Holmes menyebut sebagai “ a book of mathematics”. Cara hukum demikian adalah ibarat menarik garis lurus antara dua titik. Titik yang satu adalah (pasal) undangundang dan titik yang lain adalah fakta yang terjadi. Segalanya berjalan secara linier. 55
Jerome Frank, Hukum & Pemikiran Modern. ctk. Nusa Cendekia. Bandung, 2013, hlm. 179. Terjemahan dari Jerome Frank, Law and The Modern Mind, Anchor Books Donbeday & Company, Inc, New York, 1963, Penerjemah Rahmani Astuti. 56 Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif : Aksi Bukan Teks, dalam Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti (ed) . Ctk.kedua. Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi. 2010. hlm. 3
33
Keaktifan hakim (judicial activism) menjadi penting dalam rangka mewujudkan keadilan sebagaimana Satjipto Rahardjo dengan mengutip Paul Scholten bahwa keadilan itu (memang) ada di dalam undang-undang, tetapi (masih) harus ditemukan “het recht is in de wet, maar het moet nog gevonden waeden”. Selain itu “judicial passivity” seorang hakim juga dari pola kerja seorang hakim yang hanya (terbiasa) menerima perkara, sebagaimana Richard A. Posner57 sebagai berikut :…The curious judicial passivity that result from judges being accustomed simply to decide whatever is brought to them to decide, rather than to initiate anything …”.
Demikian juga H.L.A. Hart 58 yang mengemukakan bahwa :
“…sistem hukum sepenuhnya atau bahkan pada pokoknya terdiri atas peraturanperaturan.
Tidak
diragukan
lagi
bahwa
pengadilan
memang
mengemas
persidangannya selalu ada pilihan dengan kesan tertentu bahwa keputusan-keputusan mereka adalah konsekuensi perlu dari peraturan-peraturan tertentu yang maknanya pasti dan jelas…Dalam kasus-kasus yang paling penting selalu ada pilihan…..tradisi bahwa hakim “memungut” dan “tidak membuat hukum” dan mereka menyajikan keputusan-keputusan mereka seolah-olah semuanya itu adalah deduksi yang dibuat secara lancar dari peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya tanpa ada campur tangan untuk memilih di pihak hakim”.
57
Richard A. Posner. How Judges Think, hlm. 377 H.L.A.Hart. Konsep Hukum, ctk. Kelima, Bandung, 2013, hlm. 19, Terjemahan dari H.L.A. Hart, The Concept of Law, Clarendon Press-Oxford, New York, 1977, Penerjemah M. Khozim. 58
34
Keaktifan hakim (judicial activism) perlu dilakukan melalui pertimbanganpertimbangan dalam putusan dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis. Para hakim diminta untuk melakukan apa yang menjadi intisari fungsi yudisial. Apabila dilakukan dengan benar, tugas hakim tidaklah mudah. Hakim harus menyeimbangkan kepentingankepentingan manusia yang saling bertentangan agar tercapai situasi sosial yang baik. Dengan kata lain apabila kekuasaan hukum ini tidak dilaksanakan secara baik maka masyarakat akan menderita59. 1.3.Putusan Hakim Yang Berkeadilan Peradilan Administrasi Negara
adalah salah satu pilar penting dalam
pengejawantahan prinsip-prinsip negara
hukum
yang memberikan jaminan
perlindungan hukum yang cukup terhadap kekuasaan negara yang besar sebagai konsekwensi welfare state. Dalam rangka memberikan perlindungan tersebut dibutuhkan satu media atau institusi keadilan yang dapat digunakan sebagai akses bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan60 tersebut. Lembaga pengadilan ini secara simbolik telah menjadi wujud dari pemberlakuan hukum dan keadilan secara nyata. Salah satunya adalah Pengadilan Tata Usaha Negara yang memberikan akses keadilan bagi para pencari keadilan di bidang tata usaha negara 61.
59
Jerome Frank, op. cit., hlm. 180 Kata keadilan dalam bahasa Inggris adalah justice yang berasal dari bahasa latin iustitia. Kata justice memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu (1) secara atibutif berarti suatu kualitas yang adil dan fair (sinonimnya justness) (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukumnya (sinonimnya judicature) dan (3) orang yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara dibawa ke pengadian (sinonimnya judge, jurist, magistrate). Sedangkan kata adil dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab al’adl yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan katakata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm dsb. dalam Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, dan John Rawls), Tersedia di http//safaat.lecture.ub.ac.id 61 Yos Johan Utama, Menggugat Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Akses Warga Negara Untuk Mendapatkan Keadilan Dalam Perkara Administrasi Negara (Suatu Studi Kritis Terhadap Penggunaan Asas-Asas Hukum Administrasi dalam Peradilan Administrasi, dalam Jurnal 60
35
Penegakan hukum administrasi dilakukan oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Tugas pokok hakim Pengadilan Tata Usaha Negara adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan setiap sengketa tata usaha negara yang diajukan kepadanya. Namun kadangkala fungsi lembaga Peradilan Tata Usaha Negara dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat seringkali harus berhadapan dengan diskursus pilihan antara keadilan dan kepastian hukum. Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. Sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo62 bahwa hukum demikian bunyinya, maka harus dijalankan (kepastian hukum) tapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil lex dura sed tamen scripta hukum itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya. Hakim dalam semua tingkatan menduduki posisi sentral dalam proses peradilan. Dalam posisi yang sentral itulah diharapkan dapat menegakkan hukum dan keadilan. Persoalan yang perlu diselesaikan oleh hakim adalah bagaimana keadilan yang bersifat abstrak yang berisi nilai-nilai tertentu dapat dijadikan pegangan dalam penerapannya. Pekerjaan untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan ke dalam bentuk-bentuk konkrit sehingga diterima oleh masyarakat, merupakan pekerjaan para penegak hukum terutama para hakim. Esmi Warassih63 mengemukakan bahwa hakim diharapkan memiliki kemampuan menterjemahkan nilai-nilai keadilan dalam persoalan-persoalan yang dihadapkan kepadanya melalui putusan-putusannya. Penerapan konsep abstrak ke dalam rumusan-rumusan hukum dan selanjutnya bagaimana penerapannya ke dalam masyarakat sering menimbulkan persoalan khususnya persoalan yang menyangkut keadilan karena hukum merupakan makna simbolik yang memerlukan interpretasi lebih lanjut. Oleh karena itu persoalan keadilan pun yang dirumuskan orang tergantung dari sisi mana melihatnya. Ilmu Hukum Volume 10 Nomor 1 Maret 2007, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, hlm. 26 62 Sudikno Mertokusumo, op.cit. hlm. 90 63 Esmi Warassih, op.cit., hlm. 18
36
Sebagaimana dicontohkan keadilan di bidang kekeluargaan tidak akan sama dengan masalah keadilan di bidang pidana, bidang ketatanegaraan dan seterusnya, sehingga wajah keadilan bersifat dimensional. Dalam negara Pancasila, konsep keadilan hukum yang multidimensional tersebut dicakup dengan satu istilah yaitu Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keadilan disini memiliki arti yang sempurna karena tidak hanya menyangkut pembagian sumber daya saja tetapi harus merujuk pada persoalan akhlak64. Hanya hakim yang baik65 yang diharapkan dapat menghasilkan putusan yang berkualitas. Putusan hakim yang berkualitas merupakan cerminan kepiawaian dan kemampuan hakim di dalam memutus perkara. Salah satu aspek yang harus dimiliki seorang hakim dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya adalah profesionalisme sebagaimana dikemukakan Roscoe Pond bahwa tidak berjalannya penegakan hukum sebagaimana yang diharapkan, lebih banyak disebabkan karena faktor sumber daya manusia, bukan karena faktor hukum itu sendiri. Hal ini sejalan dengan Beijing Statement of Principls of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region yang menetapkan bahwa sikap profesionalisme hakim dibangun oleh tiga pilar utama yaitu nilai-nilai kecakapan (competence), kejujuran (integrity) dan kemerdekaan (independence) yang dipergunakan menegakkan kebenaran dan keadilan. Selanjutnya profesionalisme hakim diukur antara lain dari mutu putusannya66. Profesionalisme hakim dilihat dari sudut putusan yang dibuat akan dilihat dengan melihat beberapa kriteria yaitu : Pertama, pengetahuan, penguasaan serta 64
Ibid, hlm. 19 Sebagaimana dikemukakan oleh Mustafa Abdullah bahwa terdapat banyak pandangan tentang kiteria hakim baik antara lain, memiliki kemampuan hukum (legal skill), berpengalaman yang memadai, memiliki integritas, memiliki kesehatan yang baik, mncerminkan keterwakilan masyarakat, memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbahasa dan menulis, mampu menegakkan hukum negara dan bertindak independen dan imparsial dan memiliki kemampun administratif dan efisien dalam Laporan Penelitian Putusan Hakim Tahun 2007, Tersedia di http://komisiyudisial.go.id 66 Ibid, hlm. 2 65
37
pengembangan secara sistematik, metodik dan rasional asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum baik tingkat lokal, nasional, transnasional maupun internasional serta pada tataran hukum dasar atau bidang-bidang hukum pada sektorsektor kehidupan manusia dalam putusan-putusan yang dibuat. Kedua: kemampuan berpikir yuridik dari hakim yaitu kemampuan menalar (reasoning) dalam kerangka tatanan hukum yang berlaku (baik dalam tataran lokal, nasional, transnasional maupun internasional) untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam pergaulan hidupnya dengan mengacu pada upaya mewujudkan cita-hukum (rechtsidee) yang mencakup idea tentang kepastian hukum predikbilitas kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam masyarakat melalui kaidahkaidah hukum. Ketiga: kemahiran yuridik mencakup keterampilan, atau kemahiran dalam menelusuri dan menemukan bahan-bahan hukum (legal materials), kemampuan untuk menangani bahan-bahan hukum yang ada (penggunaan doktrin dan yurisprudensi). Keempat, kesadaran serta komitmen profesional yang mencakup upaya penumbuhan sikap, kepekaan dan kesadaran etik profesional khususnya berkenaan dengan pembebanan profesi hukum sebagai profesi yang berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat serta profesi hukum sebagai profesi yang terhormat “officium nobile”67. Dalam rangka hakim membuat putusan yang berkualitas sebagaimana terurai di atas,
pintu masuknya tetap melalui “teks” dalam hal ini undang-undang atau
kodifikasi sebuah regulasi. Namun hal tersebut hanyalah starting point bagi hukum untuk mengelaborasi suatu perkara sehingga dapat ditempatkan pada “konteksnya”. Penempatan “teks pada konteks” atau sebaliknya penyandingan “konteks ke dalam teks” secara sederhana dalam persidangan disebut sebagai proses pembuktian perkara dengan instrumen alat buktinya. Oleh karena sebuah regulasi hanya sebagai starting point maka kewajiban hakim pada tahap berikutnya adalah mengintepretasikan regulasi tersebut dengan tidak menutup kemungkinan terserapnya nilai-nilai dan 67
Ibid. hlm. 9
38
aspirasi serta opini yang berkembang dalam masyarakat. The laws in books akan bersinggungan dengan the living law dimana putusan hakim ikut serta menentukan isi dan arah perkembangan hukum Indonesia. Hakim dapat menggali dan menemukan nilai-nilai hukum yang baik dan benar sesuai dengan Pancasila dan “according to the law of civilized nation...”68 Adapun otoritas memutus perkara ada pada hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh konstitusi. Sebagaimana diungkapkan Gerhard Robbes69 bahwa secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu : Pertama, hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan. Kedua, tidak seorangun termsuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oeh hakim dan Ketiga, tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. Terkait dengan putusan hakim, Oemar Senoadji70 mengungkapkan bahwa putusan ibarat “mahkota” bagi seorang hakim. Bagi seorang raja, mahkota merupakan lambang kewibawaan dan kebesaran, bagi seorang hakim, putusannya merupakan lambang kewibawaan dan kebesarannya. Antara putusan dan hakim merupakan dua hal yang tidak terpisahkan karena putusan pengadilan adalah produk hakim maka putusan berkualitas mencerminkan hakim yang berkualitas. Kualitas seorang pemahat dilihat dari detail patung pahatannya. Jimly Maruli71 mengemukakan bahwa kualitas arsitek diukur dari cita rasa bangun ruangnya. Hakim dan karyanya yaitu putusan, tak dapat terus berdiam diri di menara gading, teralienasi dari masyarakatnya. Tugas hakim dalam menciptakan putusan
68
Jimly Maruli, Dicari: Putusan Yang Progresif, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 293 April 2010, hlm. 81 69 Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Majalah Hukum Varia Peradilan, Edisi No. 249 Bulan Agustus 2006, IKAHI, Jakarta, 2006, hlm. 5 70 Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 83 71 Jimly Maruli, op.cit., hlm. 83
39
yang progresif bukan hanya meng-gathuk-gathuk-kan pasal-pasal. Ada tugas yang lebih mulia yaitu membuat putusan yang berkaidah pada asas mengadili menurut hukum the law in books tetapi progresif pada masyarakat beserta stuktur kehidupannya the living law dengan tetap menggerakkan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka rechterlije organisatie. Sejalan dengan hal tersebut, Busthanul Arifin 72 mengungkapkan bahwa tugas hakim dalam mewujudkan keadilan tidak terlepas dari putusan yang dihasilkan. Seorang hakim haruslah learned in law dan juga skilled in law yaitu selain memahami benar-benar substansi dan arti hukum, juga dia harus terampil dalam penerapan hukum itu. Di tangan hakim ilmu hukum menjadi applied science. Para hakimlah yang memberi nyawa dan hidup pada pasal-pasal undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang terdiri dari huruf-huruf mati karena yang dihadapi sehari-hari sebagai tugasnya adalah hubungan-hubungan hukum dari manusia yang hidup dalam masyarakat yang terus berubah. Oleh karena itu hakim “are forever condemmed for the rest of their lives to continue studying the law”. Sebagaimana diungkapkan James C. Reymond73 bahwa teknik membuat putusan yang baik adalah seni “art” bukan sekedar hanya ilmiah “science”. Oleh karena seni maka seseorang dapat sepanjang hidupnya mengembangkan dan melalui proses belajar senantiasa mengarah naluri keindahannya. Demikian juga James E. Bond dalam bukunya yang berjudul The Art of Judging yang menyampaikan bahwa : ada dua perbedaan styles of judging antara judicial craftsmen dan judicial statesmen yaitu “Judicial craftsmen look backward for guidance : to the text of the constitution, the original understanding of the text and historical experience. Judicial statesmen look forward: to moral and political ideals and notions of the public good”.
72
dalam Busthanul Arifin, Sepanjang Jalan Kenangan Bersama Bismar Siregar, sang Hakim, Varia Peradilan No. 282 Mei 2009, hlm. 67 73 Menurut Mr. Sutan Muhammad Syah bahwa putusan seorang hakim adalah suatu karya seni atau karya budaya, ibid., hlm. 67
40
Tugas yang diemban oleh aparat penegak hukum sebagaimana dikemukakan oleh Immanuel Kant74 merupakan “kewajiban kategoris” atau “kewajiban mutlak” dan tidak mengenal istilah “dengan syarat”. Tugas adalah tugas, wajib dilaksanakan. Pelaksanaan tugas hakim adalah dalam rangka “mendistribusikan” keadilan. Hakim melalui penanganan suatu sengketa melaksanakan distribusi keadilan bagi negara atau masyarakat, dan para pihak. Bagi pencari keadilan yang mendambakan keadilan hukum terhadap perkaranya pada hakim maka putusan berkualitas adalah putusan yang dapat mewujudkan keadilan atau putusan yang mencerminkan rasa keadilan yang dapat dilaksanakan dan dapat diterima atau memuaskan pencari keadilan. Persoalan keadilan75 sendiri tidak akan pernah selesai secara tuntas dibicarakan orang, bahkan persoalan keadilan semakin mencuat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena tuntutan dan kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Adapun perbedaan interpretasi dan pemahaman terhadap norma hukum disebabkan perbedaan budaya hukum para pelaku (stakeholders) baik penegak hukum, birokrat maupun warga masyarakat. Keadilan memiliki ragam makna sebagaimana diuraikan M. Quraish Shihab 76 diantaranya : (1) adil dalam arti sama. Persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak (2) adil dalam arti seimbang. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang didalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian (3) Perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian ini didefinisikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberi pihak lain
74
Bernard L. Tanya. Penegakan Hukum Dalam Terang Etika. ctk. Pertama. Genta Publishing. Yogyakarta. 2011. hlm. 25 75 Keadilan sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan, keserasian dan keselarasan yang membawa ketenteraman di dalam hati orang yang apabila diganggu akan mengakibatkan kegoncangan, Sukarno Aburaera, Menakar Keadilan Dalam Hukum, Makalah Pidato pada upacara pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Imu Huum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada hari Senin 6 November 2006 di Makasar, hlm. 56 76 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, ctk. Kedua, Mizan, Bandung, 2013, hlm. 152
41
haknya melalaui jalan yang terdekat (4) Adil yang dinisbatkan kepada ilahi. Adil disini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Dalam The Encyclopedia Americana, Dictionary of Philosophy, makna keadilan menjadikan definisi keadilan beragam pula. Pemahaman keadilan menjadi lebih jelas apabila terlebih dahulu memahami hukum. Sebagaimana dikemukakan Esmi Warassih77 bahwa pada hakikatnya hukum selalu mengandung nilai-nilai abstrak yang menjadi dasar bagi hukum untuk mengatur perilaku manusia. Adapun yang menjadi ukuran tidak cukup hanya memakai landasan yuridis saja melainkan perlu dilengkapi dengan landasan filosofis dan landasan sosiologis.
Keadilan bukan
sesuatu yang dapat diperoleh hanya melalui proses penalaran atau logika saja melainkan melibatkan seseorang secara utuh. Hukum memiliki dimensi nilai-nilai etika moral yang mewujud dalam asas-asas hukum dan tertuang dalam norma-norma serta terumuskan dalam aturan-aturan. Oleh sebab itu seorang hakim dalam menjalankan tugasnya mencari kebenaan untuk menentukan kesalahan seseorang tidak cukup hanya memakai landasan yuridis semata tetapi juga landasan filosofis dan sosiologis. Terkait dengan kewajiban hakim menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat Bagir Manan 78 menungkapkan bahwa ungkapan ini enak didengar namun dari teori hukum sekalipun, bukan sesuatu yang mudah dipahami apalagi dalam praktik. Salah satu indikator pelaksanaan kewajiban hakim memperhatikan nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah upaya membuat putusan yang mampu 77
Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya, Semarang 14 April 2001 78 Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XX No. 238 Juli 2005, hlm. 12
42
memberi kepuasaan kepada para pencari keadilan. Dari sudut pandang mengadili menurut hukum, upaya menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dilakukan dengan menemukan hukum “rechtsvinding”. Sebagaimana dikemukakan Paulus Effendi Lotulung 79 bahwa ada benang merah dalam penegakan hukum oleh hakim melalui proses peradilan. Dalam penegakan hukum, hakim menegakkan undang-undang, padahal menegakkan hukum tidak semata hanya menegakkan undang-undang. Hukum dibuat tidak semata untuk ditegakkan. Oleh karena putusan hakim tidak dijatuhkan di ruang hampa, melainkan untuk memberikan keadilan. Penegakan hukum selain untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap masyarakat sehingga ada ketertiban juga harus dapat mewujudkan keadilan. Oleh sebab itu, dalam penegakan hukum diperlukan sensivitas hakim terhadap rasa keadilan untuk menjembatani antara kepastian hukum dan rasa keadilan tersebut. Pelaksanaan tugas hakim dalam rangka memberi keadilan80 bagi masyarakat dan pencari keadilan maka hakim dapat menggunakan kekuasaan yang luas sebagai judge made law. Apabila perundang-undangan tidak mempunyai jawaban dan tidak pula ada putusan pengadilan mengenai perkara yang sejenis yang akan diputuskan maka hakim akan mencari jawabannya pada pendapat sarjana hukum. Jika pendapat ahli hukum tidak diketemukan untuk dijadikan pedoman oleh hakim untuk memutus perkara maka hakim dibenarkan untuk menemukan hukum dengan jalan interpretasi dan konstruksi hukum, kalau perlu mengadakan contra legem terhadap pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang telah ada dan hakim dapat menjawab segala masalah hukum baru yang muncul.
79
Paulus Effendi Lotulung, ibid. hlm. 87 Yang ditegakkan hakim (sebagai aparat penegak hukum dan keadilan) adalah dua nilai yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisah-pisahkan yang itu hukum dan keadilan. Dengan kata lain bahwa keadilan itu merupakan salah satu unsur konstitutif dari (hakekat pengertian) hukum. lihat dalam Soejono Koesoemo Sisworo, op.cit. hlm. 5 80
43
Contra legem sebagaimana diuraikan diatas adalah putusan pengadilan yang mengesampingkan, tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan dengan pasal undang-undang, sepanjang pasal undang-undang terebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat. Sebagaimana pemikiran critical legal studies maka hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik dan hukum tidaklah netral serta bebas nilai. Dengan kata lain hukum sejak pembuatan hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-pemihakan atau hukum sering disalahgunaan terutama untuk mempertahankan status quo dan kepentingankepentingan kelompok tertentu. Apabila hakim menemukan pasal-pasal demikian maka dengan dikesampingkan pasal-pasal tersebut bahkan putusan yang dijatuhkan bertentangan dengan pasal-pasal tersebut demi terciptanya keadilan81. Salah satu alasan pentingnya judicial activism dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara berlakunya asas dominis litis yakni hakim aktif dalam proses persidangan dalam rangka untuk menemukan kebenaran materiil. Penerapan asas dominus litis pada gilirannya memungkinkan hakim menyimpang asas larangan ultra petita dalam putusan yaitu hakim dapat menjatuhkan putusan terhadap hal-hal yang tidak diminta (dituntut) oleh penggugat yang justru merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan hukum penggugat yang dinamakan reformation in peius. Pengertian Reformatio in peius adalah diktum putusan yang justru tidak menguntungkan penggugat82. Adriaan Bedner mengartikan reformation in peius yaitu : “Reformatio in peius means that a citizen appeals against a decision-either at the instance which issued the decision, a special instance for administratie appeal of the administrative court-and that the outcome of the appeal puts him in a worse situation 81
Dasar hakim bertindak contra legem dalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 2 (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 82 Buku II Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, 2009, hlm. 82
44
than he was before appealing. For instance, the decision is that he has to pay a retribution of 100 euros and then the appellate institution finds that he must pay 200 euros. This is not allowed in the Netherlands, unless it concerns an appeal to the authority that issued the original decision”83.
Kendati demikian, harus diperhatikan bahwa reformation in peius84 hanya diterapkan apabila dinyatakan oleh undang-undang yang memungkinkan. Sudah seharusnya hakim tidak terbelenggu oleh sekat-sekat formalitas sepanjang demi satu tujuan yaitu Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Irah-irah tersebut mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencari keadilan. Pengertian keadilan mempunyai banyak makna. Keadilan sebagaimana dikemukakan Bismar Siregar85 bukanlah keadilan hukum (undang-undang) melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dikatakan karena keadilan hukum sifatnya nisbi atau relatif karena buatan manusia yang memiliki keterbatasan, kekurangan dan kelemahan. Selain itu karena: Pertama, keadilan hukum adalah cerminan moral dan perasaan keadilan masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Kedua, keadilan hukum adalah cerminan dari kompromi politik dalam masyarakat. Sedangkan keadilan
83
dalam Tri Cahaya Indra Permana, Reformatio In Peius, tersedia di http://www.ptunsurabaya.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=106&Itemid=167 84 Buku II Mahkamah Agung mencontohkan putusan yang bersiat reformatio in peius adalah dalam kasus kepegawaian. Penggugat mohon agar Keputusan TUN yang digugat berupa penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun (jenis hukuman disiplin sedang) dinyatakan batal atau tidak sah, tetapi oleh hakim dinyatakan dalam diktum putusannya keputusan TUN yang digugat dibatalkan dan diperintahkan kepada Tergugat agar menerbitkan keputusan TUN yang baru berupa pemberhentian tidak atas permohonan Penggugat, sebab fakta pelanggaran disiplin yang dilakukan Penggugat terbukti jenis pelanggaran disiplin berat. 85 Antonius Sudirman, op.cit., hlm.160
45
Tuhan bersifat mutlak dan abadi karena merupakan ciptaan Tuhan sendiri. Hakikat keadilan Tuhan Yang Maha Esa adalah keadilan yang dilandai oleh kebersamaan dalam suasana kasih sayang yaitu keadilan tidak mengenal keberpihakan yang tidak proporsional. Adapun makna keadilan sebagaimana dikutip oleh Harifin A. Tumpa 86 bahwa menurut Socrates adalah “justice if only was knew what it was”, Lord Denning seorang Hakim Agung Inggris menyatakan “All I would suggest is that justice is not somethig you can see. It is not temporal but eternal. How does man know what is justice. It is not the product of his intellect but of his spirit”. Sedangkan Clerence Darrow mengungkapan bahwa: “There is no such thing as justice. In fact, the word cannot be defined. Jusice like life, cannot be adequtely defined. Justice is define mist, and is something, inexorable connected to the state of being”. Dengan demikian “Justice mens diferent things to different people. There is legal justice and moral justice”. Sedangkan konsep keadilan yang dikembangkan John Rawls adalah justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran), jadi prinsip keadilan yang paling fair itulah yang harus dipedomani. Menurut John Rawls87 ada dua prinsip dasar keadilan yaitu keadilan yang formal dan keadilan yang substantif sebagai berikut : “The first statement of the two principles reads as follows. First : each person is to have an equal right to the most extensive scheme of equal basic liberties compatible with a similar sheeme of liberties for others. Second : social and economics inequqlities are to be arranged so that they are both (a) reasonaby expected to be everyone’s advantage and (b) attached to positions and offices open to all”.
86
Harifin A. Tumpa, Hukum Keluarga Antara Realita Dan Kepastian Hukum, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXIV No. 28 September 2009 87 John Rawls, A theory Of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, 1971, hlm. 52-53
46
Bagan 1 Teori Keadilan Rawls
Human Rationality Capacity To Make Choices
Social contract – Overlapping consensus
47
Veil of Ignorance
Original Position – Constitutional Conference
Reflective Equilibrium
Justice of Fairnes - Two Principles of justice - Procedural Fairness
Sumber : Cavendish Law Cards, 1997
Dalam “justice as fairness”, Rawls menguraikan mengenai posisi atau peran yang dimainkan keadilan dalam tatanan sebuah masyarakat. Menurut Rawls bahwa keadilan itu merupakan keutamaan pertama dari sebuah institusi sosial. Rawls menganalogkan keadilan seperti kebenaran dalam sebuah sistem pemikiran. Oleh karena itu sebuah masyarakat yang teratur baik “well-ordered”, jika masyarakat yang bersangkutan diatur secara efektif oleh sebuah konsepsi keadilan umum. Hal itu mengandaikan bahwa Pertama, setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang-orang lan juga menerima prinsip-prinsip keadilan yang sama “everyone accepts and knows that the others the same principles of justice”. Kedua, institusi sosial secara umum diketahui puas dengan prinsip keadilan yang ditawarkan Rawls “the basic social institutions generally satisfy and are generally known to satisfy these principles”. Sehubungan dengan hal tersebut konsep keadilan yang ditawarkan oleh
48
Rawls secara eksplisit termasuk kategori teori keadilan yang deontologis88. ”Justice as fairness” harus dipandang bahwa para pihak di dalam keadilan awalnya sebagai sesuatu yang rasional dan tidak ada kepentingan yang saling bertolak belakang. Prinsip-prinsip keadilan John Rawls seperti terurai di atas merupakan suatu hasil dari persetujuan asali “the original agreement”. Oleh karena prinsip-prinsip ini akan diterima oleh orang-orang rasional yang terikat lebih jauh pada kepentingan mereka sendiri dalam kedudukan awal yang sama untuk menentukan hal-hal fundamental persekutuan mereka. Prinsip-prinsip ini pula yang kemudian akan memberi kekhususan pada jenis-jenis kerja sama sosial dan bentuk pemerintahan yang mau dibangun. Cara melihat prinsip keadilan sebagai persetujuan asali yang kemudian disepakati bersama dalam menentukan persetujuan-persetujuan lainnya inilah yang disebut keadilan sebagai kewajaran “justice as fairness”89. Dalam kedudukan asali itu pribadi-pribadi yang terlibat dalam kerjasama sosial memilih secara bersama-sama prinsip-rinsip yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dasar dan harus menentukan pula pembagian keuntungan sosial. Syarat-syarat yang dijadikan pertimbangan mereka untuk memilih dan memutuskan prinsip-prinsip keadilan adalah suatu “keadilan adil” atau “circumstance of justice”. Syarat-syarat ini dibagi dua hal yaitu Pertama, ada keadaan objektif yang membuat kerjasama itu dimungkinkan dan diperlukan “there are the objective circumstances which make human cooperation both possible and necessary”. Kedua, adanya suatu keadaan dimana kelangkaan dan kekurangan mereka mengerti “there is the condition of moderate scarcity understood to cover a wide range of situations”. Melalui syarat-syarat tersebut mereka sebagai orang-orang yang mempunyai kebebasan mulai memilih dan memutuskan prinsip-prinsip keadilan dalam situasi “tabir kegelapan” atau “veil of ignorance” yaitu situasi yang membuat mereka
88 89
Frans J. Rengka, Dialog Hukum Dan Keadilan, Genta, Yogyakarta, 2014, hlm. 23 Ibid., hlm. 25
49
seakan-akan kehilangan kemampuan untuk mengenal diri mereka sendiri. Mereka tidak tahu lagi bagaimana berbagai kemungkinan itu akan mempengaruhi mereka secara khusus. Oleh karena itu, mereka wajib mengevaluasi prinsip-prinsip yang dipilihnya didasarkan pada pertimbangan umum. Dalam keadaan tabir kegelapan “veil of ignarance” diandaikan
bahwa tak seorangpun dari mereka mengetahui
posisinya di dalam masyarakat, posisi sosial mereka, keuntungan dalam pembagian modal-modal dan kemampuan-kemampuan kodrati, intelegensi dan kekuatannya 90. Berdasarkan penjelasan proses penemuan keadilan secara bersama-sama melalui persetujuan asli itu, Rawls memberikan suatu prinsip keadilan yang perlu dalam masyarakat. Pertama, tiap orang harus memiliki hal yang sama atas kebebasan seluas mungkin sesuai dengan kebebasan yang sama untuk semua orang. Kedua, ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial dan ekonomis harus diatur sedemikian rupa sehingga ketidaksamaan-ketidaksamaan itu diharapkan secara masuk akal menjadi keuntungan bagi setiap orang dan terikat pada kedudukan dan jabatan yang terbuka bagi semua orang. Dalam mencapai keadilan “access to justice”, sebagaimana diuraikan di atas, harus menempuh cara yang berliku dikarenakan jalan menuju kesana membutuhkan sarana yang bersifat ekonomis dan intelektual91. Sedangkan keadilan merupakan suatu nilai yang teramat tinggi kedudukannya dalam masyarakat, oleh karena itu perlu mendapat pelayanan yang sebaik-baiknya bagi mereka yang mencarinya. Dengan demikian keadilan dan pemberian keadilan merupakan masalah yang kompleks dan rumit. Manajemen keadilan yang bijaksana tentu akan menanganinya sesuai dengan kompleksitas tersebut. Oleh sebab itu, model khadi-justiz sebagaimana disebut Weber adalah suatu istilah teknis yang menunjuk pada suatu bentuk 90
Ibid., hlm. 27 Sebagaimana hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk formal, dengan prosedur-prosedur dan dengan birokrasi penyelenggaraan hukum. Materi hukum dirumuskan secara terukur dan formal dan diciptkan pula konsep-konsep baru serta konstruksi khusus, dalam Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2010, hlm.223 91
50
administrasi keadilan yang tidak berorientasi pada peraturan-peraturan hukum formal rasional. Sebagaimana dalam sistem peradilan yang paling sederhana, figur di pengadilan cukup berpusat pada hakim yang notabene adalah juga penguasa politik. Sistem peradilan demikian juga sangat mengandalkan sifat kharismatik sang hakim. Sebagaimana Weber92 membagi tiga tipe otoritas yang niscaya terdapat dalam masyarakat manusia yaitu kharismatik, tradisional dan rasional. Masing-masing tipe otoritas tersebut, menentukan model penyelenggaraan hukum (baik law-making, lawfinding, maupun law-enforcement). Dalam rezim otoritas kharismatik, tidak terdapat pembuatan hukum. Namun yang ada hanyalah penemuan hukum lewat intuisi dan bisikan
supranatural.
Akibatnya
penerapan
hukum
hanya
mengandalkan
kebijaksanaan etis moral yang unik dari tokoh kharismatik. Oleh karena sifatnya sangat individual dan penuh misteri, bisa jadi penerapan hukum didasarkan pada emosi, intuisi dan rasa pribadi sang pengadil.
Weber
menyebutkan keadilan yang dikejar dalam sistem seperti ini sebagai keadilan kadi atau keadilan Solomonian. Peradilan kadi adalah peradilan yang sangat arbiter dan karena itu juga dinilai sebagai peradilan yang paling tidak rasional. Putusan-putusan peradilan ini sepenuhnya dipercayakan kepada kearifan sang pengadil, tanpa dirasakan perlunya untuk dikontrol oleh keniscayaan sistem. Administrasi keadilan khadi-justiz dewasa ini telah digantikan oleh suatu lembaga yang diorganisasikan secara rasional. Lembaga tersebut adalah badan peradilan modern yang kini telah merupakan bagian dari suatu birokrasi nasional. Usaha memperoleh keadilan sekarang ini menjadi semakin jauh dari masyarakat umum disebabkan karena persoalan yang bersifat teknis hukum, prosedur dan sebagainya.
Kemunculan hukum
modern membuka
pintu bagi
masuknya
permasalahan yang tidak ada sebelumnya yaitu kepastian hukum. Nilai keadilan dan 92
Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 123
51
kemanfaatan secara tradisional sudah ada sejak dulu, tetapi kepastian hukum adalah sesuatu yang baru yaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik. Dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan, hakim dituntut mewujudkan keadilan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) dimana hakim mempunyai tanggung jawab yang melekat pada tugas sebagai hakim untuk aktif dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Kedudukan hakim dalam peradilan di Indonesia menurut Bismar Siregar 93 bukan sekedar penerap hukum dan pemutus perkara saja namun hakim ditempatkan sebagai penggali, penemu dan pencipta hukum dan keadilan. Adapun implementasi pasal tersebut sejalan dengan imbauan Carbonnier bahwa “demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun, dituntut adanya para hakim yang berpikir”94. Perubahan paradigma legalistik menjadi paradigma yang lebih memihak pada “ legal justice”, “moral justice” dan “social justice” ini merupakan “desirata” atau kebutuhan utama dalam dunia peradilan. Dikatakan sebagai kebutuhan utama karena sejak munculnya wacana hukum modern sesuai undang-undang pada umumnya adalah aparat penegak hukum polisi, jaksa, hakim. Sebagaimana Oliver Wendell Holmes95 mengatakan bahwa : “The life of law has not been logic; it has been experience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, institutions of public policy avoewed or unconscious even the prejudices wahich judges share with their fellowmen, have had a good deal more to do than the syllogism in determining the rules by which men should be governed”.
93
Antonius Sudirman, op. cit., hlm. 167 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) …, op. cit.,hlm. 479 95 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, op.cit. hlm 7, Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) …, op. cit.,hlm. 479 94
52
Konsep keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahadjo 96 bukanlah keadilan distributif dan keadilan korektif menurut Aristoteles. Hal ini dikarenakan konsep Aristoteles tentang keadilan hanya berfokus pada terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara merata dan bagaimana meraih proses legal terhadap perseteruan masyarakat. Keadilan timur bertalian dengan kepuasaan spiritual dan religisiusitas, hanyut dalam rezim musyawarah dan sifat gotong royong. Pendapat diatas sejalan dengan perspektif hukum kodrat klasik sebagaimana pemikiran Plato, Aristoteles, Cicero, Gaius, Aulus Gellius, Pomponius yakni sebuah perjalanan menggapai yang abstrak, transedental, metafisis. Kebenaran sejati itulah yang ingin direkonstruksikan dalam dunia hukum manusia yaitu Pertama, hukum harus mengejar konsepsi utopis seperti kebenaran dan keadilan. Kedua, hukum mempunyai saripati jiwa, ruh dan spirit yang tersembunyi di dalamnya. Ketiga, hukum memiliki dasar falsafah yang memiliki dua dimensi yakni universalisme (yang lebih ditonjolkan sebagai matematika filsafat hukum kodrat) dan partikularisme (sebagai wajah keaslian dari sebuah lokalitas). Hakim dalam praktik menangani suatu perkara di pengadilan, tidak terlepas dari dan dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut. Sebagaimana dikemukakan M. Syamsudin97 bahwa hakim akan selalu bergumul dan berdialog dengan sistem nilai yang bersemayam alam kejiwan dan mentalitas hakim terebut. Hakim akan memilih nilai-nilai apa yang dipentingkan dan yang diutamaan terhadap suatu perkara yang dihadapkan kepadanya. Selanjutnya proses penanganan perkara oleh hakim di Pengadilan tidak hanya urusan teknis yuridis dan prosedural penerapan peraturan semata-mata, namun melibatkan orientasi nilai-nilai yang dianut oleh hakim. Dalam proses menjatuhkan suatu putusan, terjadi poses berpikir, menimbang-nimbang dan dialog hakim dengan nilai-nilai yang bersemayam di dalam alam kejiwaan hakim 96
Awaludin Marwan, Satjipto Rahardjo Sebuah Biografi Intelektual & Pertarungan Tafsir Terhadap Filsafat Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2013, hlm. 344 97 M. Syamsudin, Rekonstruksi Perilaku Etik Hakim Dalam Menangani Perkara Berbasis Hukum Progresif, dalam Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 18 Oktober 2011 hlm. 132
53
tersebut. Hakim akan memilah dan memilih niai-nilai apa yang akan diwujudkan. Perwujudan dan pilihan terhadap nilai-nilai tersebut dalam praktik sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang meliputi : tingkat kepentingan, pengetahuan, kebutuhan hidup, lingkungan dan kebiasaan serta karakter pribadi hakim. Faktor-faktor tersebut akan sangat menentukan arah hakim dalam memutuskan perkara98. Secara normatif, hakim diberikan kebebasan oleh hukum untuk mengadili sesuai dengan keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Hakim bebas memutuskan perkara berdasarkan pikiran dan hati nuraninya dan juga bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisial. Namun demikian, apa yang terjadi dalam praktik terjadi banyak pengaruh terhadap hakim dalam mengambil putusan, sebagaimana Richard Posner99 mengemukakan : “...The possible other factors (call them personal) include personality traits, or temperament (and thus emotionality at one end of the temperament spectrum and emotional detachment at the other end), which are more or less innate personal characteristics”.
Satjipto Rahardjo100 membuat penggolongan hakim di Indonesia menjadi dua tipe yaitu: Pertama, tipe hakim yang apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal dan peraturan untuk mendukung putusan itu. Kedua: tipe hakim yang apabila memutus terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap putusan perutnya.
98
Ibid. hlm. 133 Ricard A. Posner, How Judges Think, Cambridge Massachusetts, Harvard University Press, 2010, hlm. 10 100 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, op.cit., hlm. 198 99
54
Selanjutnya M. Syamsudin 101 menggolongkan ada tiga tipologi perilaku hakim dalam menangani perkara dengan karakteristiknya masing-masing yaitu Pertama, tipologi perilaku hakim yang pertama adalah hakim yang aktif menawarkan penyelesaian perkara dengan meminta imbalan materi. Kedua, tipologi hakim yang selalu mengikuti arah angin, jika diberi hadiah oleh pihak-pihak yang berkepentingan diterima, kalau tidak diam saja. Golongan ini yang paling banyak jumlahnya. Hakim ini digolongkan sebagai hakim pragmatis. Ketiga, hakim yang aktif menolak pemberian apapun dari pihak-pihak tertentu, akan tetapi golongan ketiga ini sangat sedikit jumlahnya. Hakim ini dikategorikan sebagai hakim idealis. Apabila dibuat tabel nampak sebagai berikut : Tabel 1: Tiga Kecenderungan (orientasi) Perilaku Etik Hakim Dalam Menangani Perkara
Materialis
Pragmatis
Idealis
Sangat dipengaruhi oleh Sangat dipengaruhi oleh Sangat dipengaruhi oleh orientasi pada nilai-nilai orientasi kebendaan menangani perkara
dalam yang
pada
situasi orientasi pada nilai-nilai
menguntungkan ideal
dalam menangani perkara
hukum
dalam
menangani perkara
Selanjutnya, terdapat konstruksi perilaku etik hakim berbasis hukum progresif dengan dimensi dan ciri-ciri sebagai berikut : 101
M. Syamsudin, op cit. hlm. 134
55
Tabel 2 : Konstruksi Baru Perilaku Etik Hakim Berbasis Hukum Progresif
Dimensi Pandangan Dasar
Ciri-Ciri -
Hakim mempunyai pandangan bahwa hukum untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk hukum
-
Hakim mempunyai pandangan bawa hukum bukan institusi yang mutlak dan final, karena hukum selalu berada dalam proses menjadi
-
Hakim harus menolak status-quo manakala menimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat
-
Hakim harus memandang hukum tidak lepas dari relevansi sosial
-
Hakim
harus
mempunyai
spirit
untuk
membebaskan cara berpikir hukum yang legal Cara Berpikir
positivism -
Hakim harus peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional maupun global
-
Hakim
harus
memaknai
kontekstual (progresif)
hukum
secara
56
-
Hakim harus bersikap imparsial (tidak memihak) dan hanya memihak pada kebenaran
Cara Kerja -
Hakim
harus
dapat
melakukan
perubahan
dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan -
Peraturan yang buruk bukan menjadi penghalang bagi hakim untuk menghadirkan keadilan bagi rakyat dan pencari keadilan;
-
Hakim harus mempunyai multiple intelegence: kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ)
Kalifikasi Pribadi -
Hakim harus
mempunyai kepribadian yang
luhur dan menjunjung tinggi moralitas -
Hakim harus mempunyai sifat-sifat sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (terbuka) dan fatonah (cerdas)
-
Hakim harus berorientasi untu mewujudkan hukum yang adil secara subtantif dan bukan sebatas keadilan prosedural (ideal)
-
Hakim tidak beperilaku materialis dan pragmatis dalam menjalankan profesi;
Orientasi Kerja
57
Sumber : M. Syamsudin, 2011
Kehadiran hukum progresif sangat penting dalam konteks penegakan hukum, terutama bagi hakim di pengadilan. Putusan hakim yang adil akan menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Putusan hakim yang adil akan menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Putusan hakim yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha
Esa”
menunjukkan
kewajiban
menegakkan
keadilan
yang
dipertanggungjawabkan secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga secara horisontal kepada semasa manusia102. Kriteria hakim progresif menurut Artidjo Alkostar 103, tidak dapat lepas dari kualifikasi standar tinggi yang mencakup penguasaan kompetensi keilmuan, kecakapan profesional dan kualitas kepribadian yang dilekatkan pada hakim sebagai subjek penegak hukum. Dari predikat tersebut dituntut konsekuensi etis munculnya putusan hakim yang menunjukkan adanya kecerdasan moral, intelektual dan emosional. Putusan yang dihasilkan dapat memberikan pencerahan rokhani bagi pihak yang berperkara, mempererat kohesi sosial dalam tata pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan prasyarat tertentu bagi hakim progresif dalam bertugas melakukan mandat hukum. Dalam posisinya sebagai aparat negara, hakim wajib menegakkan keadilan hukum “legal justice” agar dalam menghadapi godaan dan tantangan atau tidak berkompromi dengan kebatilan dan merugikan rakyat. Peran dan tugas hakim bukan hanya sekedar pembaca deretan huruf dalam undangundang yang dibuat oleh badan legislatif, tetapi dalam putusannya memikul tanggung jawab menjadi suara akal sehat dan mengartikulasikan sukma keadilan dalam 102 103
Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Mahkamah Agung RI, 2007 hlm. 1 dalam M. Syamsudin, ibid, hlm. 138
58
kompleksitas dan dinamika kehidupan masyarakat. Hakim progresif akan mempergunakan hukum yang terbaik dalam keadaan yang paling buruk. Putusan-putusan hakim mempunyai arti dan kedudukan yang tersendiri yaitu sebagai sarana pembaharuan hukum “vonis as a tool as law reform” atau lebih luas lagi putusan hakim sebagai sarana rekayasa sosial ”vonis as a tool as social engineering”104. Pemikiran peran penting putusan pengadilan dalam pembaruan hukum dan masyarakat harus direspon secara cermat oleh hakim dan hakim agung dalam memeriksa dan memutus perkara. Peran tersebut dapat dijalankan jika terdapat konsistensi penerapan hukum dalam putusan pengadilan. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Indonesia mempunyai peran penting dalam upaya mewujudkan konsistensi penerapan hukum di Indonesia. 2. Penemuan Hukum Oleh Hakim 2.1.Pengertian Penemuan Hukum Politik pembaruan sistem nasional sejak reformasi hingga Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) masih didasarkan pada paradigma civil law yang menempatkan
peraturan
perundang-undangan
sebagai
satu-satunya
sarana
pembaruan. Meskipun didalamnya mendorong kualitas putusan pengadilan tetapi RPJP belum memberikan ruang bagi putusan pengadilan sebagai sarana perubahan. Kondisi demikian, bertolak belakang dengan perkembangan praktik hukum selama
104
Pada masa lalu, peran hakim dalam pengembangan dan pembaharuan hukum di Indonesia belum berjalan optimal. Pembaruan hukum lebih didominasi lembaga legislatif dan eksekutif melalui undangundang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun apabila dilihat kebelakang, sejak dulu putusan pengadilan telah menghasilkan putusan penting (landmark decision) sebagai bentuk penemuan hukum. Hal ini penting karena yang perlu ditekankan adalah bukan pada siapa yang mendominasi pembaruan hukum, melainkan bagaimana hukum dan keadilan dapat ditegakkan, Imam Soebechi, Putusan Hakim Dalam Pembaruan Hukum, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No. 347 Oktober 2014, hlm. 24
59
ini dimana peraturan perundang-undangan belum mampu secara optimal mengikuti dinamika masyarakat105. Belum optimalnya fungsi peraturan perundang-undangan dalam melakukan pembaruan hukum dan masyarakat memberi ruang pada Mahkamah Agung mengisi kekosongan hukum. Pada posisi demikian Binsar M. Gultom 106 mengemukakan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya berada pada posisi pelaksana peraturan perundang-undangan semata melainkan berperan dalam penemuan hukum. Begitu strategisnya fungsi hakim sesuai independensinya maka hakim mempunyai hak prerogatif untuk: (1) menafsirkan peraturan perundang-undangan (2) mencari dan menemukan dasar-dasar hukum (3) mencipta hukum baru apabila menghadapi kekosongan perundang-undangan (4) bahkan dibenarkan melakukan contra legem apabila ketentuan suatu pasal perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan umum (5) memiliki otonomi yang bebas mengikuti yurisprudensi. Hakim dalam memutus perkara tidak hanya mampu menggali, mencari dan menemukan nilai-nilai hukum dalam kehidupan masyarakat secara teoritis, namun harus mampu dan ahli menggali peristiwa dari fakta hukum yang terjadi di persidangan, lalu mengaitkannya dengan sumber-sumber hukum dan ajaran teori hukum serta peraturan hukum yang berlaku. Hal inilah yang disebut penemuan hukum atau rechtvinding lalu dirumuskannya melalui pertimbangan hukum dalam putusannya motivering vonis lewat putusan ini yang disebut menciptakan hukum atau rechtschepping. Menurut DHM Meuwissen107, Penemuan hukum adalah keseluruhan berpikir dari seorang hakim dengan suatu metode (penemuan hukum) mengantarkan dan membawanya kepada suatu putusan hukum ataupun pengembangan hukum dan 105
Ibid., hlm. 27 Binsar M. Gultom, Peran Hakim Sebagai Pembaharu Hukum Untuk Mewujudkan Pengadilan Yang Bersih, Majalah Hukum Varia Peradilan No. 331 Juni 2013, hlm. 136 107 Soejono Koesoemo Sisworo. op. cit.. hlm. 8 106
60
pertumbuhan hukum. Dalam arti yang khusus, penemuan hukum ialah proses dan karya yang dilakukan oleh hakim yang menetapkan benar atau tidak benar menurut hukum dalam suatu situasi konkrit yang diujikan pada hati nurani. Paulus Effendi Lotulung108 mengemukakan bahwa penemuan hukum diartikan juga sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum das sollen yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit das sein tertentu. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkan dan untuk dicari hukumnya. Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum pada umumnya melekat pada profesi hakim. Selain itu hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo109, hal dikarenakan mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam bentuk putusan. Adapun hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan juga sumber hukum. Putusan hakim adalah penerapan peraturan hukum yang berlaku pada fakta hukum tersebut. Oleh karena itu, Ahmad Mujahidin110 menyampaikan bahwa hakim harus memilih aturan hukum yang berlaku yang akan diterapkan, menginterpretasinya untuk menentukan (menemukan) model perilaku yang tercantum dalam aturan hukum tersebut serta menentukan maknanya guna menetapkan wilayah penerapannya dan mengintepretasi semua fakta yang diajukan dalam persidangan oleh para pihak yang berperkara untuk menentukan fakta-fakta tersebut dapat dijadikan sebagai fakta hukum yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah penerapan aturan hukum yang ada. 108
Hakim harus menguasai benar berkaitan dengan penemuan hukum dikarenakan hakim dianggap mengetahui hukumnya (ius curia novit) maka hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan oleh pihak-pihak dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Konsekwensi asas ius curia novit bagi hakim adalah di dalam memutus perkara harus memuat alasan dan dasar putusan berupa hukum tertulis atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili, Paulus Effendi Lotulung, op. cit. hlm. 15 109 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Ctk. Kelima, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2014, hlm. 50 110 Ahmad Mujahidin, Antara Penerapan Dan Keadilan, Majalah Varia Peradilan No. 347 Oktober 2014, hlm. 33
61
Dalam sistem yang berlaku di Indonesia 111, metode penemuan hukum rechtvinding sebagai salah satu atau bentuk tehniko yuridik yang dihasilkan oleh kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi knowledge and experience. Sebagaimana menurut J.M. Polak bahwa penemuan hukum sesungguhnya memiliki pelbagai segi yang bersifat logis-rasionil-ilmiah tapi sekaligus juga intuitif-irrasional. Rasional-ilmiah intellectual dalam arti hakim (seharusnya) berkemampuan mengenal dan memahami kenyataan kejadiannya (fakta dan positanya) dan peraturan hukumnya yang berlaku dan akan diperlakukan beserta ilmunya; logis-intellektual dalam penerapan peraturan hukum normatif terhadap kasus posisinya harus mengindahkan hukum logika, baik yang formil maupun yang materiil; sedangkan aspek intuitif-irrasionalnya adalah terletak dalam hal penemu hukum (hakim) itu melibatkan, menggunakan dan mendambakan perasaannya yang halus dan murni mendampingi ratio dan logika sehingga bersama-sama mewujudkan rasa keadilan yang dibimbing oleh hati nurani, sehingga mengejawantahkan putusan yang adil berdasarkan kebenaran. Hati nurani atau geweten/conscience of man berfungsi sebagai faktor yang dapat mencegah dan menjaga penemuan hukum dari penalaran permasalahan yang (mungkin
sekali)
serba
tidak
pasti/wilekeurig/arbitrair.
Sebagaimana
lebih
dikonkritkan adanya rasa teposliro dengan mulatsiro. Kemampuan ini sekiranya pada akhirnya harus ditingkatkan terus dengan selalu di-asah dan di-asuh sehingga menerima hidayah dan inayah dari Tuhan Seru Sekalian Alam. Sebagaimana
111
Sistem hukum di Indonesia pada umumnya terkena pengaruh sistem hukum civil law (Eropa Kontinental). Civil law sebagai hukum yang berasal dari beberapa universitas dan hukum Romawi adalah peraturan yang didasarkan pada dan secara terus menerus berusaha mencari solusi bagi sebuah permasalahan di hadapan pengadilan sedangkan common law dengan pendekatannya yang konkrit dan berdasarkan pada pengadilan, berusaha mencari jawaban-jawaban pragmatis untuk diketengahkan di hadapan Pengadilan. Perkara menjadi sumber utama common law, sedangkan undang-undang dan hukum yang terkodifikasi menjadi bagian-bagian yang membentuk civil law lihat dalam Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum, ctk. Ketiga, Nusa Media, Bandung, 2012, hlm. 55. Terjemahan Peter de Cruz, Comparative Law in Changing World, London-Sydney : Cavendish Publishing Limited, London-Sydney, 1999. Penerjemah Narulita Yusron.
62
dikemukakan oleh Paul Scholten112 bahwa penemuan hukum sebagai Rechvinden is altijd tegelijk intellectueel en intuitief zedelijk werk. Kemampuan mengambil suatu putusan
yang dimiliki seorang hakim
sebagaimana pendapat Josef Esser113 diperoleh selama pendidikan dan karir yang dijalaninya. Oleh karena itu, kematangan pengetahuan dan pengalaman dari hakim sangat penting dalam mengambil suatu putusan. Apapun metode pendekatan yang akan dipakai oleh hakim pada penemuan hukum adalah bertemunya methodenwahl in der Rechtsfindung. Uraian argumentasi pertanggungjawaban semestinya dipaparkan dalam ratio decidendi dan dimana perlu juga dalam obiter dicta dari putusan. Argumentasi dan motivasi merupakan sumber bagi legitimasi dari suatu putusan. Oleh karena itu harus dibuat se-akseptabel mungkin untuk pihak-pihak yang berperkara, masyarakat maupun forum ilmiah. 2.2.Aliran-aliran Penemuan Hukum Dalam praktik penemuan hukum dikenal beberapa aliran penemuan hukum114 dengan karakteristik dan ciri-cirinya masing-masing sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat. Masing-masing aliran penemuan hukum sebagai berikut 115: a. Aliran legisme Pembagian hukum dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Lahirnya hukum tertulis tentunya pada saat tatkala orang mulai pandai
112
Penemuan hukum bukanlah semata-mata reinelogishe Arbeit, dalam Soejono Koesoemo Sisworo, op. cit., hlm. 8 113 Ibid., hlm. 10 114 Lahirnya aliran-aliran penemuan hukum pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan mngenai apa yang mrupakan (satu-satunya) sumber hukum. Jadi aliran-aliran itu merupakan aliran-aliran tentang teori atau ajaran sumber hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo. Op. Cit. h. 94 115 Lihat Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, op. cit. hlm. 9, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, op. cit. hlm. 94, dan Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, op. cit., hlm. 75
63
menulis dan membaca. Hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis sudah lama dikenal pada saat orang hidup bermasyarakat. Sebelum tahun 1800 SM sebagian besar hukum yang digunakan pada saat itu adalah hukum kebiasaan. Sedangkan hukum tertulis untuk pertama kalinya dalam sejarah adalah undang-undang Hamurabi pada zaman Kerajaan Babilonia Irak pada sekitar tahun 1950 SM. Hukum kebiasaan sumbernya adalah kebiasaan sehari-hari yang didasarkan pada pandangan dan kesadaran orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan bahwa kebiasaan itu adalah memang seharusnya ditaati. Sejalan dengan kemajuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang makin lama makin luas, orang mulai merasa tidak puas dengan hukum yang tidak tertulis. Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum kebiasaan. Di Eropa muncul gerakan kodifikasi sekitar abad 19 dengan berupaya menuangkan semua hukum secara lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Perancis pada akhir abad 18 diadakan kodifikasi undang-undang yang dicontoh oleh seluruh Eropa. Di Belanda kodifikasi hukum dilakukan pada tahun 1838 M. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai dengan lahirnya aliran legisme. Aliran legisme merupakan garis paling ekstrim dari positivisme hukum yang mengidentikkan hukum hanya sebagai hukum positif, sehingga tidak ada norma hukum di luar hukum positif. Konsekwensi aliran ini adalah hakim hanya menjadi corong atau terompet undang-undang. Pembatasan ini dikarenakan pengalaman bangsa Eropa sendiri dimana pada masa lampau kebebasan hakim yang tak terbatas membawa ketidakpastian hukum. Sikap awal aliran ini menganggap pengadilan sebagai imam dari hukum “the priests of the law”, tempat penyimpanan hukumhukum kuno “The repositories of its ancient rules”, putusan-putusan kemudian disaring “disstilled” dalam sebuah jalan misterius oleh hakim “inscrinio pectoris sui” atau “all law in the shrine of his breast” atau hukum bersemayam dalam dada.
64
Bahkan hakim tidak pernah menciptakan hukum baru, melainkan hanya menyatakan penerapan baru dari aturan-aturan lama.116. Sesuai dengan teori Montequieu ataupun Rousseau, aliran legisme berpendapat bahwa kedudukan pengadilan adalah pasif. Ia hanya terompet undang-undang, ia hanya bertugas melakukan sesuatu hal yang konkrit dalam peraturan undang-undang dengan jalan silogisme hukum, secara deduksi yang logis. Pengadilan tidaklah merupakan penentu “determinant” pembentuk hukum. Satu-satunya adalah badan pembentuk undang-undang saja. Penganut teori ini antara lain Montequieu, Rousseau, Robbespierre, Fenenet, Rudolf Van Jhering, G. Jellineck. Carre de Malberg, H. Nawiastski dan Hans Kelsen. Para ahli hukum dari tradisi kontinental pada dasarnya berada pada arus besar “mainstream” pemikiran bahwa “law as it is written in the book”. Pada negara yang berkiblat pada tradisi kontinental, hakim dalam menyelesaikan perkara harus terlebih dahulu kepada undang-undang daripada sumber hukum lainnya. Dalam sejarah kolonial hukum Indonesia, melalui asas konkordansi, sistem kontinental ini oleh kolonial Belanda kemudian ditanamkan kedalam konstelasi hukum di Hindia Belanda (Indonesia) untuk menggantikan secara berangsur sistem hukum terdahulu yang berasarkan tradisi-tradisi lokal. Pengaruh sistem hukum Belanda yang berlangsung dalam kurun waktu lama, membuat bangsa Indonesia terbiasa dengan sistem hukum tertulis dan terkodifikasi. Corak tradisi hukum kontinental ini tumbuh berkembang dibawah pengaruh ajaran positivisme hukum yang kemudian menjadi pohon utama yang menaungi sistem hukum Indonesia sampai sekarang117. Pemikiran positivisme sudah ada pada masa sebelum masehi. Aliran legisme (Fa Zia) dipraktikkan di Cina pada masa kaisar Han Feizi (meninggal tahun 233 SM). Han Feizi merumuskan bahwa negara akan aman bila tidak didasarkan
116 117
Dalam Widodo Dwi Putro, op. cit., hlm. 142 Widodo Dwi Putro, op.cit., hlm. 30
65
moralitas pemimpin, tetapi pada kesadaran seluruh warga negara akan kodrat dan posisinya. Kesadaran seperti ini hanya mungkin bila kodat dan posisi individu warga negara dirumusan dalam hukum yang dilengkapi sanksi yang keras bagi pelanggarnya dan ganjaran rewards bagi yang mematuhinya. Hanya dengan cara ini seorang pemimpin tidak peru repot-repot menyelenggarakan pemerintahannya Teori positivisme hukum juga tumbuh di daratan India, terutama dikembangkan Kautilya pada masa Kerajaan Candragupta (abad ke-4 SM). Kautalya percaya bahwa sistem monarkhi mempunyai manfaat lebih dibanding dengan bentuk pemerintahan lain. Pengaturan tatanan duniawi tergantung hukum raja “the king’s Rod”. Satjipto Rahardjo118 menyebutkan bahwa pemikiran positivisme hukum muncul pada abad ke 19. Penggunaan tolok ukur ini mengacu pada terjadinya revolusi industri di Inggris. Revolusi ini menimbulkan gelombang industrialisasi di Eropa sekaligus menandai kelahiran jaman modern dan oleh karena itu pemikiran positivisme seringkali diidentikkan dengan hukum modern. Seiring dengan perkembangan tersebut muncul pula negara modern. Dalam negara modern muncul kelas sosial borjuis yang membutuhkan pelayanan hukum yang tidak dapat dilayani oleh pemikiran hukum alam ataupun hukum kodrat. Hal ini dikarenakan doktrin positivisme lahir sebagai penolakan terhadap mazhab hukum kodrat. Mereka menolak hukum kodrat karena terlalu metafisik dan idealistis sehingga gagal memberikan kepastian hukum. Salah satu tokoh yang memberi perhatian pada perkembangan hukum dalam jaman modern adalah Max Weber. Max Weber melihat pentingnya hukum sebagai mekanisme untuk mengantarkan perkembangan masyarakat menuju kepada masyarakat modern. Perkembangan masyarakat Eropa pada waktu itu bergerak kepada tingkat pengorganisasian yang terpusat, rasional dan birokratis sehingga terlihat hubungan antara hukum modern dengan negara modern. Hukum modern yang
118
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 267
66
rasional adalah hukum yang telah dipositifkan. Hukum yang demikian trmasuk dalam ranah kajian ilmu hukum masuk dalam kategori pemikiran positivisme hukum. Hakim menafsirkan hukum positif secara monotafsir karena yang dicari adalah kebenaran objektif. Monotafsir adalah metode tafsir yang hanya bersumber pada teks formal, ketat atau rigid sehingga diasumsikan tidak menyimpang dari orisinal teks. Sebagaimana Hans Kelsen menjelaskan tentang penafsiran dalam buku “The Pure Theory of Law” dimana Hans Kelsen meragukan metode penafsiran hanya mengarah pada hasil yang mungkin, yang tidak pasti dan tidak pernah mengarah pada hasil yang langsung benar. Secara ketat, Kelsen mengingatkan bahwa norma-norma moral dan keadilan harus dihindari dalam penafsiran. Tujuan Kelsen membakukan metode penafsiran yang ketat agar penafsiran hukum mencapai kepastian. Ronald Dworkin119 kurang sepakat dengan cara pandang klasik tersebut. Dworkin mengingatkan bahwa seorang hakim ketika dihadapkan pada kasus konkrit tidak saja berurusan dengan masalah teknis (prosedural semata), tetapi juga berhadapan dengan substansi hukum. Ketika seorang hakim mempersoalkan masalah etika, bukan lagi bertanya tentang prosedur teknis penyelesaian hukum, tetapi juga mempersoalkan substansi hukum apakah adil atau tidak. b.
Mazhab Historis Pemikiran hukum abad ke 19 mendapat pengaruh yang sangat kuat dari
revolusi Perancis dan akibat-akibatnya yang sangat memprihatinkan. Keadaan tersebut membuat kebanyakan ahli pikir berusaha lari dari kenyataan dan mengarahkan kekaguman mereka pada kehidupan masa lampau yang gemilang. Di antara kebanyakan orang yang berorientasi ke masa lampau, terdapat ahli pikir yang mencoba membebaskan diri dari pengaruh itu. Mereka antara lain Friedrich Karl von Savigny. Pemikirannya tentang hukum yang kemudian dikenal dengan sebutan
119
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, Universal Law Publishing, 1999, hlm. 1
67
mazhab hukum historis dikembangkan dalam bukunya yang diberi judul Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (seruan zaman kini terhadap undang-undang dan ilmu hukum) yang diterbitkan pada tahun 1814. Kebangkitan pemikiran Savigny tentang hukum hakikatnya merupakan reaksi kerasnya terhadap undang-undang Perancis dan tata pemerintahan Perancis yang dipaksakan di Jerman Barat Daya. Hukum Jerman yang berlaku ketika itu merupakan formulasi ganda antara hukum asli Jerman lampau dengan hukum Romawi120. Istilah volkgeist sendiri diperkenalkan pertama kali oleh murid Savigny yaitu G. Puchta. Ucapan Savigny yang terkenal adalah : “des Rechtwird nich gemacht, es ist und wird met dem Volke”. Bagi Savigny : “All law is the manifestation of this common consciousness” (semua hukum merupakan manifestasi dari kesadaran umum ini). Sebagaimana digambarkan Savigny bahwa hukum itu mirip bahasa dimana keduanya berkembang secara bertahap dari karakteristik-karakteristik suatu masyarakat. Hukum dan bahasa berkembang ketika suatu masyarakat berkembang dan keduanya musnah ketika suatu masyarakat kehilangan individualitasnya, hukum tidak diciptakan negara. Ciri khas kaum historis, hukum adalah ketidakpercayaan mereka pada pembuatan undang-undang, ketidakpercayaan mereka terhadap kodifikasi121. Dalam abad 20 disadari bahwa undang-undang tidaklah lengkap. Nilai-nilai yang dituangkan dalam undang-undang tidak lagi sesuai dengan perkembangan kehidupan bersama. Ternyata terdapat kekosongan-kekosongan dan ketidakjelasan dalam undang-undang. Perkembangan ini di Nederland dimulai pada akhir abad ke 19. Judge made law dan hukum kebiasaan dapat melengkapi undang-undang. Sejak itu pula hukum kebiasaan dan yurisprudensi dianggap sebagai unsur-unsur sistem hukum. 120
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Jakarta : Fikahati Aneska, 2012, hlm. 111 121 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum...., op. cit., hlm. 83
68
Berlawanan dengan pandangan legisme yaitu bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum adalah pandangan Mazhab Historis yang dipelopori oleh Von Savigny (1779-1861). Mazhab Historis
berpendapat bahwa hukum itu
ditentukan secara historis, hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan waktu tertentu “Das Recht Wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke”. Kesadaran hukum “volkgeist” yang paling murni terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum terutama merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktikpraktik yang terdapat dalam kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas. Para yuris harus mengembangkan dan mensistematisasi keyakinan dan praktik-praktik ini. Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum kebiasaan yang tidak cocok dengan kehidupan modern. Sebelum mengkodifikasikan hukum harus mengadakan penelitian yang mendalam lebih dahulu. Perundang-undangan menyusul pada tingkat terakhir setelah ilmuwan hukum berhasil mengungkapkan roh volkgeist. Persoalan bagaimana merumuskan sebagai rumusan hukum merupakan pekerjaan para teknolog hukum. Bagi Savigny, pembuat hukum harus setia pada volkgeist. Oleh karena itu, suatu tatanan hukum (termasuk dalam wujud perundang-undangan) tidak bisa bersifat universal dan hukum selalu bersifat kontekstual bagi bangsa tertentu 122. Apabila dilihat dalam konteks zamannya, teori Savigny menentang dua kekuatan yang berkuasa pada zaman itu yaitu Pertama, Rasionalisme dari abad ke-18 dengan kepercayaannya kepada hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama, yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, berciri khas nasional dan sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Sebagaimana dikemukakan G.W. Paton “the historical school in part was a result of that surge of nationalism that arose at the end of the eighteenth century” Kedua, kepercayaan dan semangat revolusi Perancis dengan pemberontakannya terhadap kekuasaan dan tradisi, kepercayaannya pada akal dan 122
Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, op.cit., hlm.96
69
kekuasaan
kehendak
manusia
atas
keadaan-keadaan
dan
pesan-pesan
kosmopolitannya123. Mazhab historis juga merupakan bentuk penolakan atas pemikiran hukum alam. Di sisi lain juga juga menyatakan bahwa hukum sebagai produk lembaga legislatif pada dasarnya merupakan bentuk kesewenang-wenangan namun hukum berkembang sebagai bentuk respon yang bersifat impersonal serta ditemukan dalam semangat masyarakat suatu bangsa. Hal ini dikemukakan ole Lloyd’s Freeman sebagai berikut : “Savigny rejected natural law..Law was not the result of an arbritary act of legisltor but developed as response to the impersonal powers to be found in the people’s national spirit”124. Sebagaimana dicontohkan oleh Savigny bahwa perkembangan hukum Romawi merupakan penuntun hukum yang bijaksana karena pembentukannya dilakukan melalui adaptasi bertahap sampai tahap pembentukan kodifikasi yang final. Dalam proses tersebut, peran ahli hukum begitu menentukan terutama dalam membaca semangat zaman dan konteks sosial kontemporer sebagai landasan adaptasi hukum itu sendiri. Dengan demikian Savigny memandang ilmu hukum sebagai panduan reformasi hukum dan kesadaran umum merupakan sumber hukum yang utama, c.
Begriffsjurisprudenz Ketidakmampuan pembentuk undang-undang meremajakan undang-undang
pada waktunya merupakan alasan untuk memberi peran aktif kepada hakim. Dari hakim diharapkan dapat menyesuaikan undang-undang pada keadaan baru. Yuriprudensi mulai memperoleh peranan sebagai sumber hukum. Demikian pula hukum kebiasaan memperoleh kembali perannya sebagai sumber hukum. Sebaliknya
123
lihat Himawan Estu Bagijo, Hukum Sebagai Produk Sejarah, dalam Jurnal Perspektif Volume XV No. 2 Tahun 2010 Edisi April, hlm. 161 124 Ibid. hlm. 162
70
para sarjana mulai bersikap kritis terhadap undang-undang. Begriffsjurisprudenz adalah a school of german jurist which believed that ideal laws are based on a logical analysis of legal concept125” Sebagaimana pendapat Hans-Peter Haferkamp126 sebagai berikut : “Begriffsjurisprudence is a polemical German term for a conseptual and mathematical orientation in jurisprudence, which is accused of being remote from reality. No jurist has ever called hismself a follower of the Begriffsjurisprudenz (Begriffsjurist). Begriffsjurisprudence is assigned to threeinterrelated elementary positions, which are critized as being misleading (1) that the given law contains no gaps (2)that the given law can be traced back to a logically organized system of concepts (pyramid concepts) (3) that new law can be logically deduced from superordinate legal concepts, which themselves are found inductively (method of inversion)”
Dalam pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematik hukum “The term Begriffsjurisprudenz was first used in 1884 by Rudolph von Jhering as a catchword against contemporary Pandektistik (pandectism)”. Setiap putusan baru dari hakim harus sesuai dengan sistem hukum. Berdasarkan kesatuan yang dibentuk oleh sistem hukum, maka setiap ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang lain sehingga ketentuan-ketentuan undangundang itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal ialah apabila sistem yang ada itu berbentuk piramida dengan pada puncaknya suatu asas 125
Ludwig von Mises Institute, Begriffsjurisprudenz, Tersedia di http://wiki.miss.org/wiki/Begriffsjurisprudenz diakses Senin, 4 Mei 2015 Pkl. 12.05 WIB 126 Hans-Peter Haferkamp, Begriffsjurisprudenz/Jurispredence of Concepts, Enzyklopadie zur Rechtsphilosophie, April 6, 2011, Tersedia di http://www.enzyklopaedie-jurisprudene-of-concepts, diakses Senin, 4 Mei 015 Pkl. 13.00 WIB
71
utama.
Dari
situ
dapat
dibuat
pengertian-pengertian
baru
“Begriff”.
Dikembangkanlah sistem asas-asas dan pengertian-pengertian umum yang digunakan untuk
mengkaji
undang-undang.
Oleh
karena
itu
teori
ini
disebut
Begriffsjurisprudenz, suatu nama yang diberikan Von Jhering pada aliran ini Menurut aliran ini bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangnnya sendiri karena undang-undang memiliki daya meluas. Hukum dipandang sebagai satu sistem tertutup dimana pengertian hukum tidaklah sebagai sarana, tetapi sebagai tujuan. Pekerjaan hakim dianggap sebagai pekerjaan intelek di atas hukum-hukum rasional dan logis. Kepastian hukum merupakan tujuan dari aliran ini sehingga keadilan dan kemanfaatan hukum bagi warga masyarakat diabaikan. Penggunaan hukum logika yang dinamakan sillogisme menjadi dasar utama aliran ini dan hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor yaitu peraturan hukumnya dan premise minor yaitu peristiwanya. Contoh, siapa mencuri dihukum, A terbukti mencuri maka A harus dihukum. Jadi, rasio dan logik ditempatkan dalam ranah yang istimewa. Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio. Model pemikiran seperti ini, menurut Satjipto Rahardjo127 bersifat lebih melihat ke dalam yaitu analisa dari sistem dan isi, penafsiran makna-makna dari peraturan dan yang sejenisnya. Inilah yang dimaksud dengan melihat hukum sebagai sistem yang logis-konsisten-tertutup. Cara berpikir dari positivisme-dogmatik ataupun analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek adalah cara berpikir serial thinking yaitu yang didasarkan pada IQ. Cara berpikir ini merupakan cara yang paling sederhana, bersiat linier, logis dan dispassionate. Keunggulan dari serial thingking dan IQ adalah accurate, precise dan
127
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 1977, hlm. 43
72
reliabe. Cara berpikir ini menjadi landasan Newtonian Science yang bersifat linier dan deterministik. Dalam konteks positivisme hukum, unsur-unsur dan cara berpikir ini adalah peraturan dan logika. Hasil analisis diperoleh dengan berangkat dari peraturan yang diolah dengan menggunakan logika, dengan mengabaikan unsur lingkungan sehingga keadilan yang diperoleh adalah keadilan logika peraturan atau formal justice128. Adapun kritik terhadap aliran ini terutama berpendapat bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio tetapi juga merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi manusia yang kadang-kadang bersifat irrasional. d.
Interessenjurisprudenz Sebagai reaksi terhadap Begriffjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di
Jerman. Interessejurisprudenz yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1892) suatu aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan (interessen) yang difiksikan.
Oleh
karena
itu
aliran
ini
disebut
interessejurisprudenz.
Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad ke 20 di Jerman. Sebagaimana dijelaskan Remus Titiriga129 bahwa : “Interessenjuriprudenz from Germany belongs to an approach based on balance or proportionality (rationality of conflicting consideration) which is a dominant mode o legal reasoning of our time. The major thinkers responsible for creating this appoach were Olier Wendell Holmes in the United States, Rene Demogue in France and Phillipp von Heck in Germany. Although the technique of conflicting considerations has a rich Euroean genealogy, it received it most elaborate from in the Unites States 128
Agus Rahardjo, op. cit., hlm. 12 Remus Titiriga, The Jurisprudence of Interests (Interessenjurisprudenz) from Germany: History, Accomplishments Evaluation, International Journal of Law, Language and Discourse, Volume 3.1, June 2013. Tersedia di http://papers.ssrn.com./sol/papers.cfm?abstrac_id=2011479 diakses Sabtu, 9 Mei 2015 Pkl. 21.10 WIB 129
73
between 1940 and 1970. In the early fifties, the constitutional Court of Germany and later the European Union Court of Justice or European Court of Human Rights, adopted the technique of proportionality as their usual technique”
Aliran ini berpendapat bahwa undang-undang jelas tidaklah lengkap. Undangundang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum. Oleh karena itu hakim bukan sekedar menerapkan undang-undang saja, tetapi juga mencakup memperluas dan membentuk peraturan dalam putusan hakim. Bahkan dalam rangka mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim boleh menyimpang dari undang-undang demi kemanfaatan masyarakat. Oleh karena itu hakim mempunyai freies ermessen. Ukuran dengan kesadaran hukum dan keyakinan warga masyarakat, tergantung pada ukuran darai keyakinan hakim, di mana kedudukan hakim bebas mutlak. Menurut aliran interessenjurisprudenz bahwa suatu peraturan hukum tidak boleh dipandang oleh hakim sebagai sesuatu yang formil logis belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya yaitu tujuan hukum pada dasarnya adalah melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan “interessen” atau kebutuhan hidup yang nyata. Dalam putusannya, hakim harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, hakim harus memahami
kepentingan
sosial,
kepentingan
moral,
kepentingan
ekonomi,
kepentingan kultural ataupun kepentingan-kepentingan lainnya dalam suatu peristiwa konkrit tertentu yang disodorkan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Peluang kesewenang-wenangan hakim dalam aliran ini dapat saja terjadi karena hakim merupakan manusia biasa yang mungkin saja tidak terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh sekelilingnya termasuk kepentingan pribadi, keluarga dan
74
sebagainya. Menurut aliran ini pula, hakim tidak hanya boleh
untuk mengisi
kekosongan undang-undang saja, namun hakim bahkan boleh menyimpanginya e.
Sociologische rechtsschule Aliran ini tidak menyetujui hakim diberikan freies ermessen atau menolak
adanya kebebasan dari hakim dalam melakukan penemuan hukum, namun demikian hakim bukan hanya sekedar corong undang-undang yang hanya menerapkan undangundang semata, tetapi hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat. Menurut aliran ini,
dalam melaksanakan tugasnya hakim tetap
mempunyai kebebasan tetapi kebebasan yang terikat “gebonded-vrijheid” atau keterikatan yang bebas “vrij-gebondenheid”. Tugas hakim hanyalah menyelaraskan undang-undang dengan keadaan zaman. Oleh karena itu, Hakim seyogyanya mendasarkan putusan sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup di dalam masyarakat. Hanya putusan hakim yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakat merupakan hukum dalam makna sebenarnya.130. Sociologische rechtsschule
menekankan perlunya para hakim memiliki
wawasan pengetahuan yang luas bukan sekedar ilmu hukum dogmatik belaka tetapi seyogyanya mendalami juga ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, antropologi, politik, ekonomi dsb. Sebagaimana diungkapkan bahwa seorang hakim yang tidak belajar ekonomi dan sosiologi, sangat cenderung menjadi musuh masyarakat dan seorang hakim yang tidak belajar sejarah dan preseden adalah merupakan suatu kesombongan sekaligus “ketolololan”131.
130
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 34 131 Ibid. hlm. 35
75
f. Freirechbewegung Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman. Reaksi itu dimulai oleh Kantorowicz (1877-1940) yang dengan nama samaran Gnaeus Flavius dalam tahun 1906 menulis Der Kampf um die Rechtswisswnschaft. Aliran baru ini disebutnya freirechtlich (bebas) dan dari situlah timbul istilah Freirechtbewegung. Freirechbewegung merupakan ajaran penemuan hukum bebas, yaitu penemuan hukum yang tidak secara ketat terikat pada undang-undang tetapi lebih menekankan pada kepatutan. Pada prinsipnya pandangan atau dasar pemikiran aliran ini yaitu : Pertama, Kodifikasi itu tidak mungkin lengkap, tidak seluruh hukum terdapat dalam undangundang, karena disamping undang-undang masih terdapat umber-sumber lain untuk menemukan hukumnya. Kedua, Tiap pemikiran yang melihat hakim sebagai subsumptie automaat dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyata. Ketiga, Peran undang-undang adalah subordinatie yaitu undang-undang bukanlah tujuan bagi hakim tetapi sekedar sebagai sarana. Hakim tidak hanya mengabdi kepada fungsi kepastian hukum tetapi mempunyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Dalam hal
undang-undang
bertentangan
dengan
rasa
kedilan,
hakim
berwenang
menyimpangi undang-undang tersebut. Hakim tidak semata-mata berperan sebagai penafsir undang-undang tetapi juga sebagai pencipta hukum. g.
Open System Van Het Recht
Hukum sebagai suatu sisem terbuka “open system van het recht” dikemukakan oleh Paul Scholten. Konsep tersebut merupakan reaksi terhadap pendapat, bahwa hukum itu merupakan kesatuan yang tertutup secara logis. Ajaran ini hendak mempertahankan keutuhan dari sistem hukum sebagai suatu sistem perundangundangan dengan menjaga kemurnian kualifikasinya sebagai suatu sistem hukum
76
tertulis. Sistem itu tidak boleh berubah dan diubah selama pembuat undang-undang tidak mengubahnya. Segi positif dari ajaran yang demikian iu terletak pada nilai kepastiannya yang besar dan segi negatifnya terletak pada sifatnya yang statis. Bagi Scholten, hukum merupakan satu sistem yang semua aturan saling berkaitan. Aturan-aturan itu dapat disusun secara sistematik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya. Hakim bekerja atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru. Disamping itu sistem hukum itu logis dan tidak tertutup. Sistem itu juga tidak statis karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut. Oleh karena itu penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi. Konsep penemuan hukum oleh hakim terutama dipelopori oleh aliran sistem terbukanya hukum “open system van het recht” Paul Scholten, dimana ia mengatakan : a. Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah sebelum badan pembuat undang-undang mengubahnya. Artinya undang-undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah bunyi kata-katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkrit yang ada. b. Keterbukaan
sistem
hukum
berhubungan
dengan
persoalan
kekosongan dalam hukum, dimana ada dua macam kekosongan hukum, yaitu : 1. Kekosongan dalam hukum yaitu manakala hakim mengatakan bahwa ia menjumpai suatu kekosongan, karena tidak tahu bagaimana ia harus memutuskan;
77
2. Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu yang terjadi manakala dengan konstruksi dan penalaran analogipun problemnya tidak terpecahkan sehingga hakim harus mengisi kekosongan itu seperti ia berada pada kedudukan pembuat undang-undang dan memutuskan sebagaimana kiranya pembuat undang-undang itu akan memberikan keputusannya dalam menghadapi kasus seperti itu. Scholten menyarankan agar pikiran tentang kekosongan dalam hukum sebagaimana tersebut diatas ditinggalkan saja dan tidak membuat perbedaan lagi antara penerapan hukum oleh hakim dan pembuatan hukum oleh pembuat undangundang. Di dalam penerapan hukum juga dijumpai masalah penilaian dan tidak hanya menangani pengkotak-katikan pengertian-pengertian logis belaka. Dalam penerapan hukum selalu dijumpai adanya hal-hal baru yang ditambahkan. Keputusan yang dilakukan
oleh hakim pada akhirnya merupakan suatu lompatan dari penalaran
secara logis pada suatu penilaian. Alasan lain yang menjadi dasar dari konsep Scholten adalah bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan norma-norma. Norma-norma itu merupakan peristiwa sejarah, oleh karena ditetapkan oleh badan-badan dan kekuatan-kekuatan yang konkrit terdapat di dalam masyarakat pada suatu waktu tertentu, seperti pembuat undang-undang, kebiasaan bahkan juga tingkah laku hukum dari masyarakat. Berdasarkan alasan-alasan itulah Scholten mengemukakan pendapatnya bahwa hukum itu merupakan sistem yang terbuka yang tidak hanya melihat ke belakang pada perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang ke depan dengan memikirkan konsekuensi-konsekuensi suatu keputusan hukum bagi masyarakat yang diaturnya. h.
Penemuan hukum modern
78
Penemuan hukum modern lahir sesudah Perang Dunia II, Dibawah pengaruh eksistensialisme dan merupakan kritik terhadap pandangan hakim sebagai subsumptie automaat. Dasar pemikiran atau pandangan ajaran in diantaranya adalah : a. Positivisme
undang-undang/legisme
sebagai
model
subsumptie
automaat tidaklah dapat dipertahankan; b. Yang menjadi titik tolak bukan pada sistem perundang-undangan tetapi masalah kemasyarakatan konkrit yang harus dipecahkan; c. Tujuan pembentuk undang-undang dapat digeser, dikoreksi tetapi tidak boleh diabaikan; d. Penemuan hukum modern berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat dipertahankan pelbagai jawaban dalam sistem yang sama; e. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia maka dalam menemukan harus diperhatikan pula perkembangan masyarakat dan perkembangan tekhnologi; f. Metode penafsiran yang digunakan terutama teleogis, yang lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang dari pada bunyi katakatanya saja. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka pandangan penemuan hukum modern ini dapat digolongkan dalam pandangan “gesystematiseerd probleemdenken” atau pandangan yang problem oriented dari ajaran freirechtbewegung, dimana pencari keadilan lebih diutamakan. i.
Aliran Critical Legal Studies
79
Selama kurang lebih 30 tahun, terhitung sejak tahun 1920-an, The Realistic Jurisprudence tampil merajai perbincangan-perbincangn untuk menyuarakan pendapat yang berseberangan dengan paham formalisme132 sebagaimana dianut para lawyers profesional Amerika133. Setelah itu hampir 30 tahun pula lamanya, suarasuara keras anti formalisme terdengar kian lirih dan hampir seperti tidak akan terdengar lagi. Namun secara tiba-tiba, gerakan-gerakan sosial politik yang sebagian dipicu oleh memuncaknya Perang Vietnam meningkat pada tahun 1970 an untuk mengekspresikan perlawanan kepada kebijakan pemerintah, yang pada waktu itu serasa aman-aman saja di bawah naungan hukum formalisme. Kebijakan-kebijakan yang sekalipun dibenarkan secara formal oleh hukum namun ternyata tidak berselaras dengan tuntutan realitas yang ada pada waktu itu dengan segera mengundang tampilnya sejumlah ahli hukum yang kritis134. “Critical Legal Studies is most often associated with controversial claim that all legal doctrine is necessarily indeterminate.In the are of analytic jurisprudence, critical legal scholars have critized liberal rights theory by stressing the economic and social interdependence of legal persons. They therefore argue that the liberal ideals of freedom to act without harming others and freedom to transact with consenting others, are self-defeating”135.
132
Paham formalisme hukum (legal formalism) mendominasi pendidikan dan praktik hukum di Amerika Serikat sampai dengan pertengahan tahun 1970. Paradigma ini sama dengan positivisme hukum yang muncul di Eropa Barat pada abad 19. Seperti halnya dengan positivisme hukum, paham formalisme hukum menganggap hukum sbagai sebuah sistem yang netral, objektif dan otonom, dalam Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap..., op.cit., hlm. 100 133 Pendekatan formalisme hukum hanya menyiapkan mahasiswa sebagai tukang dan menjadi bagian dari sekrup kapitalisme. Para lawyer yang bekerja untuk korporasi hanya melayani klien yang mau membayarnya tanpa kritis mempertanyakan tentang keadilan dan ketidakadilan, ibid, hlm 101 134 Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial Dan Hukum, Malang: Setara Press, 2013, hlm. 132 135 Guyora Binder, Critical Legal Studies, Buffalo Legal Studies Research Paper No. 2012-023, ed.2010. Tersedia di http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1932927 diakses Senin, 11 Mei 2015 Pkl. 10.30 WIB
80
Sesuai dengan namanya maka aliran ini mengkritik secara konsepsional teori hukum tradisional yang berlaku pada saat ini. Aliran critical legal studies ini lahir di Amerika Serikat yang dibidani oleh sejumlah Profesor hukum yang berhaluan post modern136 dari universitas terkemuka antara lain Universitas Havard pada akhir dekade 1970 an. Sebagai arus utama teori hukum kritis pada waktu ini cukup masif mempengaruhi kebijakan publik Amerika dan membuka kesadaran warganya untuk anti perang Vietnam. Beberapa lawyer, yuris, akademisi, dan aktor di bidang hukum berkumpul untuk mengumandangkan sebuah paradigma oposisi pemerintah terhadap perang Vietnam. Disana berkumpul Unger, Abel, Heller, Horwits, Kennedy Macaulay, Rosenblatt, Trubek dan Tushnet. Merekalah yang mendesain bahwa hukum barangkali sebagai institusi yang tidak dapat diberikan kepercayaan lagi. Milovanovic menyebutkan adanya tiga tahap perkembangan pemikiran kritis di bidang praktik dan teori hukum (yang dikenal dengan nama “The Critical Legal Studies Movement” dengan inisial CLS). Dikatakan olehnya bahwa pada awalnya sepanjang belahan pertama dasawarsa 1970 an, gerakan CLS ini barulah merupakan suatu seri serangan awal yang penuh kritik pada praktik dan ajaran klasik kaum formalis. Pada tahap yang kedua yaitu sepanjang belahan kedua dasawarsa 1970 an, gerakan CLS sudah mulai berprakarsa mengkritiki kasus-kasus lewat berbagai analisis yang hasinya pada tahap berikutnya telah diintegrasikan untuk menghasilkan konsep, teori dan metode baru dalam kajian hukum CLS tidak lagi hanya sebatas suatu gerakan akan tetapi juga tumbuh kembang sebagai aliran baru dalam ilmu hukum. Apabila dalam tahap awal nama Kennedy yang sering disebut sebagai tokoh eksponennya dan pada tahap kedua nama Kairys yang dikedepankan, pada tahap ketiga nama Unger yang acapkali disebut sebagai nama penting137.
136
Roberto M. Unger, Law and Modern Society : Toward a Critism of social Theory,Terjemahan : Dariyanto dan Dertan Sri Widowatie, 2010, Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, hlm. 134. 137 Ibid., hlm. 135
81
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa “Critical Legal Studies” merupakan suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri “leftist138 dengan orientasi yang sama dengan orientasi politik “neo marxist” tetapi kemudian dikembangkan juga oleh para praktisi hukum. Gerakan ini lahir karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktik hukum yang ada pada dekade 1970 an, khususnya terhadap teori dan praktik hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut : Pertama, Terhadap pendidikan hukum, Kedua: Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum dan Ketiga: Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada. Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970 an yang merupakan hasil dari suatu konfederasi tahun 1977 di Amerika Serikat. Pada saat hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa walaupun metode dan fokus berbeda, juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti Jerman, Perancis, dan Inggris. Critical Legal Studies di Inggris lahir pada tahun 1984 dengan adanya konferensi yang membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori “law in books” dengan hukum dalam kenyataan “law in action” dan kegagalan dari hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Konferensi tersebut dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies yang dilakukan oleh suatu organizing commitee yang beranggotakan para ahli hukum yaitu : Abel, Heller, Hoewitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet dan Unger. Gerakan Critical Legal Studies ini lahir dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam dekade 1960an. Meskipun gerakan-gerakan tersebut bervariasi dalam konsep, fokus dan metode yang digunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan atau kesejajaran tesis mereka. Pertama-tama para eksponen 138
Roberto M. Unger, The Critical Legal Studies Movement, Terjemahan : Narulita Yusron, 2012, Gerakan Studi Hukum Kritis, Bandung : Nusa Media
82
Critical Legal Studies tidak percaya akan paradigma kaum positivis-formalis yang mengidealkan hukum sebagai suatu institusi yang dapat dikonstruksi dan dikelola sebagai suatu otoritas yang mampu bertindak netral. Idealisme hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah disepakati, yang dengan demikian akan memiliki kekuatan internal guna mengikat siapapun dan dari pihak manapun (termasuk yang menciptakan hukum itu sendiri), tidaklah bisa diterima begitu saja. Sekalipun hukum formal merupakan hasil kesepakatan namun dipertanyakan apakah benar-benar bersifat netral dan akan dapat ditegakkan lewat suatu silogisme yang objektif oleh badan yudisial yang konon diidealkan sebagai institusi yang juga berposisi independen dan tidak akan memihak Dengan kata lain,
ajaran Critical Legal Studies ini memiliki beberapa
karakteristik umum sebagai berikut : a. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral; b. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu; c. Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual
dengan batasan-batasan
tertentu. Oleh karena itu aliran ini banyak berhubunan dengan emansipasi kemanusiaan; d. Aliran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentukbentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benarbenar objektif. Oleh karena itu ajaran ini menolak keras ajaranajaran dalam aliran positivisme hukum. e. Ajaran Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktik dan menolak juga perbedaan antara fakta “fact” dan
83
nilai “value” yang merupakan karakteristik dari faham liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni “pure theory” tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial yang praktis. Perkembangan selanjutnya dari Critical Legal Studies adalah dengan munculnya generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk merekonstruksi kembali realitas sosial yang baru. Generasi kedua tersebut sekarang ini muncul dalam wujud Feminist Legal Theorist “fem-crit” dan critical race theorist (race-crit) dan yang masuk lebih jauh di bidang hukum adalah radical ciminology. Dewasa ini aliran-aliran seperti itu telah mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat sudah sangat sadar bahwa hukum yang ada sekarang bukanlah pelindung “protector” melainkan sudah menjadi penindas “oppressor”. Pembaharuan hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional di Indonesia seringkali diamati dalam perspektif studi hukum kritis139. Hal ini dikarenakan pembaharuan hukum erat sekali dengan kebijakan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional. Pembaharuan hukum dalam perspektif studi hukum kritis dengan mengutip pendapat Duncan Kennedy melalui metode elektisnya lebih memberi perhatian pada upaya bagaimana mengungkapkan doktrin hukum yang diciptakan dan bagaimana ia berfungsi mensahkan suatu sistem sosial tertentu. Oleh karena itu, hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah melainkan merupakan resultante dari berbagai proses interaksi dan negosiasi berbagai kepentingan diantara faksi-faksi dalam masyarakat dan negara. Memahami pembaruan hukum haruslah diarahkan kepada realitas kekuatan-kekuatan sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat. j.
139
Teori Hukum Progresif
Diana E. Rondonuwu, Menggagas Pembaharuan Hukum Melalui Studi Hukum Kritis, Jurnal Lex et Societatis, Vol. II/No. 3/April/2014, Universitas Sam Ratulangi, Manado, hlm. 101
84
Kata progresif berasal dari progress yang berarti kemajuan. Hukum diharapkan mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum sendiri. Selanjutnya bahwa hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum. Sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo140 bahwa cara berhukum bermacam-macam. Cara berhukum yang positif-legalistis adalah menerapkan berdasarkan undang-undang
“alles binnen de kader van de wet” atau mengeja
undang-undang. Dihadapkan pada cara berhukum tersebut di atas, maka hukum progresif bekerja sangat berbeda. Cara berhukum memang dimulai dari teks tetapi tidak berhenti hanya sampai disitu melainkan mengolahnya lebih lanjut. Cara berhukum menurut hukum progresif dibangun dengan tidak sekedar melibatkan ciri berpikir linier, tetapi juga melibatkan rasa-perasaan dan kecerdasan meta-rasional. Mengutip pendapat Paul Scholten141 bahwa dalam pembuatan putusan-putusan hukum lalu terjadi suatu lompatan “een sprong”. Soetandyo Wignjosobroto142 mengungkapkan tentang paham progressisme adalah paham yang bertolak dari suatu paradigma saintisme yang empirik dan positif yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat dalam permasalahan ekonomi, sosial politik dan hukum. Menurut progressisme bahwa perubahan macam apapun yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, jejak langkahnya sudah pasti akan selalu berarah ke bentuk dan substansi yang secara kodrati akan lebih baik daripada yang sudah-sudah. Di Amerika Serikat, ajaran atau sikap progresivisme dipelopori oleh Hakim Agung Oliver Wendell Holmes, Louis Brendeis dan Benjamin Cardozo sekitar atau hampir seratus tahun yang lalu. Progresivisme dari para hakim tersebut berkenaan 140
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Berdamai dengan Alam, Jurnal Hukum Progresif, Volume 3 Nomor 2 (Oktober 2007) 141 Satjipto Rahardjo dalam Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, op. cit.,hlm. 5 142 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, hlm.7
85
dengan penerapan (pemaknaan) Undang-Undang Dasar dan konstitusionalisme. Tetapi ada pula yang mempersoalkan ajaran ini karena hukum menjadi semata-mata kehendak hakim yang dapat mengancam kepastian hukum. Menurut pandangan ini, progresivisme tidak menjadikan misalnya Undang-Undang Dasar sebagai the living constitution, sehingga dikatakan the living constitution adalah the dead faith. Dalam kenyataan, hukum yang hidup adalah putusan-putusan hakim yang menjadi semacam common law di Inggris. Apabila ditinjau dari maksudnya, progresivisme tidak lain cara menafsirkan hukum (Undang-Undang Dasar). Progresivisme menolak anggapan bahwa hukum itu berlaku tanpa dibatasi waktu (no time bound). Selain itu progresivisme tidak dapat menerima penafsiran yang disebut originalis atau tekstual, melainan kontekstual atau kontemporer. Konsekwensi lebih jauh dari progresivisme jika dikaitkan dengan judicial review membawa pengadilan ke dalam proses politicking. Sebagaimana Bradley C.S. Watson143 menulis : “In many ways, the judiciary and in particular Supreme Court of the United States, has become the most politically controversial branch of goverment. It has undoubtedly become the locus of attention for those concerned with what are often referred to as the culture wars. How and why this has come to be case is a fascinating story. It is the story that finds its beginning in the transformation of American political thought that commenced in the dae nineteenth century, and it has continued apace throughout the twentieth and twenty-first. This transformation led in a word, to progressivis”. Dalam banyak hal, pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat secara praktik telah menjadi cabang pemerintahan yang paling kontroversial. Tidak diragukan, Mahkamah Agung menjadi pusat bagi orang-orang yang tertarik pada apa yang disebut perang budaya. Bagaimana dan mengapa hal ini menjadi persoalan merupakan suatu kisah yang menarik. Suatu kisah yang bermula dari perubahan143
Bagir Manan, Menurut Majelis Mahkamah Agung Hukuman Mati Bertentangan Dengan UUD 1945, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Nomor 328 Maret 2013, hlm. 14
86
perubahan (transformasi) aliran-aliran politik di Amerika Serikat yang dimulai pada abad ke 19 dan berlanjut ke abad 20 dan 21. Perubahan-perubahan ini membawa pada satu kata yakni progresivisme.
Bagir Manan144 mengemukakan bahwa ajaran progresivisme hukum apabila melihat akar-akarnya serupa dengan ajaran hukum bebas “freie rechtslehre” dan sociological jurisprudence (Ehrlich dan Jhering) dan yang oleh Pound dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai a tool of social engineering. Satjipto Rahardjo145 membandingkan positivisme dan hukum progresif yaitu apabila positivisme hukum melihat hukum sebagai sesuatu yang final, maka hukum progresif mengatakan sebaliknya bahwa hukum tidak bisa disebut sebagai tipe hukum yang mutlak dan selesai. Institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi “law at process, law in the making”. Hukum progresif diibaratkan sebagai papan petunjuk yang selalu memperingatkan, hukum itu harus terus menerus merobohkan, mengganti, membebaskan hukum yang mandek karena tidak mampu melayani lingkungan yang berubah. Jalan yang dilalui oleh hukum progresif itu sejalan dengan apa yang dilewati oleh hukum kodrat. Cara berhukum adalah mencari sebuah hakikat dari sebuah sistem hukum yang asli dalam jalinan idea-idea yang terkelupas. Bagi Plato sebagaimana yang diajarkan dalam sejarah filsafat barat, mengajarkan bahwa negara itu bukanlah sebuah institusi tanpa tujuan. Paling tidak fungsi negara adalah menjaga keselamatan bersama. Sebuah negara dipimpin oleh seorang filsuf-raja karena dialah yang mengetahui banyak hal dan mempunyai tingkatan kebijaksanaan level tinggi.
144
Ibid. hlm. 15 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun, dalam Jurnal Progresif Volume 2 No. 1 Tahun 2006, hlm. 1 145
87
Filsafat hukum progresif dalam perspektif hukum kodrat klasik memiliki titik keselarasan yang cukup fundamental. Dalam bingkai pemikiran Socrates, Plato, Aristoteles, Cicero, Gaius, Aulus Gellius, Pomponius yakni sebuah perjalanan menggapai yang abstrak, transendental, metafisis dst. Kebenaran sejati itulah yang ingin direkonstruksikan dalam dunia hukum manusia. Pertama, hukum harus mengejar konsepsi utopis seperti kebenaran dan keadilan. Kedua, hukum mempunyai saripati jiwa, ruh dan spirit yang tersembunyi di dalamnya. Ketiga, hukum memiliki dasar falsafah yang memiliki dua dimensi yakni universalisme yang lebih ditonjolkan sebagai matematika filsafat hukum kodrat dan partikularisme sebagai wajah keaslian dari sebuah lokalitas. Hukum untuk manusia adalah sebuah utopia146 dan hukum untuk manusia merupakan sebuah adagium yang ditekankan Satjipto Rahardjo. Utopia dikatakan penting selaras dengan pemikiran Santos tentang utopia adalah syarat mutlak yang diperlukan bagi gerakan sosial mengidentifikasi dirinya, menetapkan tujuannya, memasang strategi politik dan menaklukkan lawan-lawannya. Utopia dalam benak merupakan panggilan jiwa bagi proyek surga duniawi tentang keyakinan sebuah emansipasi diantara manusia. Oleh karena itu, gerakan sosial yang murni melakukan counter-hegemoni atas tirani negara dan imperialisme pasar147. Hukum progresif sesungguhnya adalah sebuah pedang teori hukum kritis yang bersifat ke-Indonesia-an148. Apabila banyak pandangan teori hukum kritis diletakkan berbagai kalangan kiri yang selalu bermula dari pertentangan kelas, wacana neoimperialisme, anti-kapitalisme maka Satjipto Rahardjo mengawali teori hukum
146
Hukum untuk manusia adalah sebuah utopia, adapun gambaran tentang utopia dapat dilihat dalam “Law and the Utopian Imagination” sebagai berikut : “The term “utopia” first appeared in Sir Thomas More’s eponymous novel of 1516, but the concept predated More by two millennia, finding its first and most influential elaboration in the pages of Plato’s Republic...”, Lawrence Douglas, Austin Sarat, Martha Merrill Umphrey, Law and the Utopian Imagination:An Introduction”, dalam Law ang the Utopian Imagination, Lawrence Douglas (ed) Stanford University Press, California, 2014, hlm. 2 147 Dalam Awaludin Marwan, Satjipto Rahardjo...., hlm. 251 148 Ibid., hlm. 361
88
kritisnya dari sudut diskursus hukum dan masyarakat sehingga memunculkan namanama yang tidak lazim yang dikenal dalam tradisi hukum kritis seperti Nonet, Selznick, Freidman, Skolnick, Schwartz. Selanjutnya agar memudahkan pemahaman tentang hukum progresif maka penulis mengambil tentang identifikasi hukum progresif sebagaimana dikemukakan Yudi Kristiana sebagai berikut : Tabel 3 Identifikasi Hukum Progresif
No
IDENTIFIKA
.
SI
1
Asumsi
HUKUM PROGRESIF
1. Hukum bukan
untuk
manusia,
sebaliknya.
kehadiran untuk
hukum dirinya
melainkan
Maka bukan sendiri,
untuk
sesuatu
yang lebih luas dan besar. Itulah
sebabnya
terjadi
permasalahan
dalam
hukum
hukumlah
di maka
yang
ditinjau
dan
bukan
manusia
dipaksa-paksa
ketika
harus
diperbaiki yang untuk
dimasukkan ke dalam skema
89
hukum 2. Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making) 2
Tujuan
2. Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia
3
Spirit
3. 1. Pembebasan terhadap tipe, cara berfikir, asas dan teori yang selama ini dipakai 4. 2. Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan persoalan.
4
Progresivitas
1. Bertujuan untuk kesejahteraaan dan kebahagiaan manusia dan karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making) 2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat baik lokal, nasional maupun global 3. Menolak
status
quo
manakala
menimbulkan
dekandensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan
rakyat
sehingga
menimbulkan
perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penasiran pogresif terhadap hukum
90
5
Karakter
1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik
berat
kajian
hukum
yang
semula
menggunakan optik hukum menuju ke perilaku 2. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat
dengan
manusia dan masyarakat, meminjam istilah Nonet & Selznick, bertipe responsif 3. Hukum progresif terbagi paham dengan legal realism karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. 4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pond yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum 5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam karena peduli terhadap hal-hal yang meta-juridikal 6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan Critical Legal Studies namun cakupannya lebih luas.
91
5.
Sumber : Yudi Kristiana : 2007 : 44 Menurut
Hwian
Christianto149,
peran
penting
hukum
progresif
bagi
pembangunan hukum di Indonesia sebagai berikut : Pertama, hukum progresif merupakan hukum yang membebaskan. Salah satu peran hukum progresif adalah melakukan terobosan dalam kegiatan penafsiran hukum terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Hukum progresif pada dasarnya tetap mengakui pentingnya ketentuan hukum yang berlaku. Hukum progresif pada dasarnya tetap mengakui pentingnya ketentuan hukum yang tertulis dan tidak terikat secara normatif, tapi bebas melakukan terobosan pemikiran hukum demi keadilan. Bagi penegak hukum progresif, sumber hukum adalah rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kecerdasan spiritual yaitu peran hati nurni dalam menangani setiap kasus hukum yang dihadapkan kepadanya. Kedua, hukum progresif merupakan solusi atau strategi jalan tengah yaitu solusi terhadap kondisi hukum Indonesia. Solusi utama yang ditawarkan adalah perubahan paradigma serta orientasi dalam memandang hukum kepada kebutuhan masyarakat (manusia). Sedangkan sebagai sebuah strategi jalan tengah pada dasarnya hukum progresif tidak secara mutlak menolak hukum tertulis, hanya memberikan porsi lebih banyak pada pentingnya faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian rakyat sebagai tujuan utama dari hukum. Ketiga, hukum progresif sebagai gerakan
pembebasan
(dalam
semua
tahapan
penegakan
hukum).
Sebagai
dikemukakan Satjipto Rahardjo150 bahwa konsep hukum progresif menuntut hukum selalu “bergerak” dalam mengimbangi perkembangan kebutuhan manusia yang membutuhkan jaminan dan perlindungan hukum. Hukum tidak boleh terbelenggu 149
Hwian Christianto, Penafsiran Hukum Progresif dalam Perkara Pidana, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 23 Nomor 3, Oktober 2011, hlm. 483 150 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun, dalam Jurnal Hukum Progresif , Volume 2 No. 1 tahun 2006, hlm. 1
92
dalam pola pikir apa yang dikatakan undang-undang melainkan membuka diri dan hati untuk menemukan keadilan. Hukum progresif masih terus menerus menegaskan sosoknya “contour”. Hukum progresif ingin menerobos kemerdekaan dan status quo dalam rangka hukum setia melayani kemanusiaan. Salah satu yang dilakukan adalah merobohkan, membebaskan “rule breaking” dan kemudian membangun yang baru “rule-making”, semua berlangsung dalam satu kesinambungan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa hukum progresif sangat relevan disimak dan dipertimbangkan melihat realitas kondisi hukum dan penegakan hukum di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh A. Mukthie Fadjar 151 yang menyebutkan ada beberapa indikator yaitu : (1) Hasil reformasi konstitusi (Perubahan UUD 1945 tahun 1999-2001) belum mampu untuk melahirkan suatu sistem ketatanegaraan dan sistem hukum yang mengedepankan supremasi hukum yang mengedepankan supremasi hukum, menghormati HAM dan berkeadilan sosial, (2) Pembentukan hukum baik melalui proses legislasi maupun melalui yurisprudensi belum mampu menghasilkan hukum yang berparadigma Pancasila, (3) Institusi-institusi penegak hukum kehilangan kredibilitasnya dan bahkan institusi-institusi baru seperti KPK, MK yang semula sangat diandalkan mulai dijangiti penyakit degeneratif, (4) Manajemen penegakan hukum yang kacau balau karena arogansi sektoral yang melahirkan konflik kelembagaan, (5) Lembaga-lembaga pendidikan tinggi hukum yang menjadi pemasok utama sumber daya manusia pembentuk dan penegak hukum memang produktif dalam kuantitas tetapi belum bagus dari segi kualitas dan integritas, (6) Pengaruh kekuatan dan kekuasaan politik masih sangat kental dalam penegakan hukum sehingga sering membuat mandul hukum dan penegakkannya. Penemuan hukum dilakukan oleh hakim berawal dari peristiwa konkrit yang dihadapkan kepada hakim untuk diputuskan. Dalam konteks dengan sistem penemuan hukum di Indonesia, pembentuk undang-undang tidak memprioritaskan pada salah
151
A. Muktie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 122
93
satu metode penemuan hukum. Oleh karena itu, para hakim bebas menentukan metode yang dianggap paling tepat, meyakinkan dan memuaskan. Hakim dalam hal ini bersikap otonom dalam menentukan pilihannya. Bahkan dalam putusan-putusan pengadilan pun, hakim tidak pernah menegaskan alasan penggunaan metode penemuan hukum tertentu, bahkan tidak jarang menggunakan gabungan atau lebih dari satu jenis metode penemuan hukum152. Hakim dalam menghubungkan antara teks undang-undang dengan suatu peristiwa konkrit yang diadilinya, wajib menggunakan pikiran dan nalarnya untuk memilih metode penemuan hukum apa yang paling relevan untuk diterapkannya dalam suatu perkara karena ketepatan penggunaan metode tersebut akan mempengaruhi putusan. Hal ini dikarenakan putusan hakim tersebut dapat dinilai adil dan bermanfaat oleh warga masyarakatnya. Seorang yuris yang baik tidak hanya membutuhkan sekedar kemampuan membaca seperti orang lain tetapi harus mampu menafsirkan dengan tepat apa yang dibaca. Putusan hakim memang hukum, bukan sekedar sumber hukum153. Sejak digagasnya konsep hukum progresif sebagaimana terurai di atas, berbagai pemikiran untuk menggunakan hukum progresif dalam tahapan proses hukum mulai bergulir termasuk didalamnya penemuan hukum progresif yang memiliki tiga karakteristik utama154, yaitu : Pertama, penemuan hukum yang bersifat visioner dengan melihat permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan melihat case by case. Kedua, penemuan hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan “rule breaking” dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap berpedoman pada hukum, kebenaran daan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya. Ketiga, penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga 152
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Prespekif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Bandung, hlm. 92 153 Ibid. hlm. 93 154 Hwian Christianto, op.cit., hlm. 491
94
dapat membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti saat ini. Secara faktual tidak dapat ditentukan metode penemuan hukum yang bagaimanakah yang dapat digunakan hakim dalam melakukan penemuan hukum yang sesuai dengan karakteristik penemuan hukum yang progresif karena dalam setiap perkara atau kasus mempunyai bentuk dan karakteristik yang berlainan sehingga hakim akan menggunakan metode penemuan hukum yang sesuai dengan kasus yang dihadapinya “case by case”. Seorang hakim (dalam hal ini Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara) pada saat menghadapi kasus-kasus konkret yang harus diadili, dimana hukum yang bersifat statis atau yang menimbulkan ketidakjelasan dalam masyarakat yang senantiasa berkembang maka diperlukan kemampuan berpikir pada hakim untuk mencari hukum dan menemukan hukum solusi dalam kasus yang dihadapi yang harus dipecahkan dan diputuskan secara cepat dan adil. Dalam kerangka berpikir demikian judicial activism dilakukan oleh hakim dan peradilan untuk menjawab dan mengisi kekosongan hukum dalam mengikuti perkembangan dan dialektika hukum dalam masyarakat sehingga putusan-putusan peradilan dapat mencerminkan rasa keadilan. 2.3. Metode Penemuan Hukum Kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis berada di belakang perubahan masyarakat. Bahkan tidak jarang memunculkan kepincangan “tension” antara tuntutan hukum dan tuntutan masyarakat. Salah satu cara meniadakan tension sebagaimana tersebut di atas dilakukan denan membentuk kaidah baru. Walaupun tersedia cara mekanisme membentuk kaidah baru namun tidak mudah dilakukan. Hal ini dikarenakan makin tinggi tingkat suatu kaidah hukum, makin tidak mudah membentuk, mengubah atau mengganti yang sudah ada. Di lain pihak, masyarakat senantiasa berubah dan peritiwa hukum yang harus diselesaikan terjadi setiap waktu. Pembentukan kaidah hukum baru tidak menjadi sarana efektif memecahkan masalah.
95
Sebagaimana dikemukakan Bagir Manan155 bagi hakim ada dua hal yang dihadapi, yaitu : Pertama, hakim wajib memutus menurut hukum. Setiap putusan harus didasarkan pada kaidah hukum tertentu yang telah ada pada saat peristiwa hukum terjadi (bukan saat akan memutus). Kedua, hakim dilarang menolak memutus atas alasan tidak tersedia kaidah hukum, atau auran yang ada tidak jelas. Ketiga, hakim wajib memutus dengan cepat mengingat ungkapan yang mengatakan “justice delayed justice denied”. Dalam rangka mengatasi permasalahan yang demikian maka hakim disediakan instrumen yang mengatur cara-cara menyelesaikan peristiwa hukum menurut hukum secara hukum, tepat dan tidak terlambat yang dinamakan penemuan hukum. Dalam literatur dikenal macam-macam penemuan hukum “rechvinding atau legal finding” yaitu interpretasi atau penafsiran, konstruksi, analogi, penghalusan hukum rechtsverfining,
legal
refinary
dan
menciptakan
atau
membentuk
hukum
rechtschepping, law making, law creating. Hal ini agak berbeda dengan di negaranegara yang mengikuti tradisi Inggris atau Amerika Serikat dimana dalam sejumlah buku “textbooks” yang dijumpai satu tema yaitu penafsiran “interpretation”. Dari penafsiran tersebut terpancar seperti analogi, penghalusan “narrowing”, penciptaan hukum dll. Hakim bukan satu-satunya yang menemukan hukum melalui penfsiran dsb namun peranan hakim sangat penting. Hal ini dikarenakan Pertama, hakim yang mewujudkan hukum dalam arti konkit. Melalui putusan hakim, ketentuan undangundang (hukum) yang abstrak menjadi suatu kenyataan. Wujud hukum konkrit yaitu ada yang kalah, ada yang menang, ada yang dihukum atau bebas dsb. Kedua, hakim bukan hanya menyatakan atau menetapkan hukum bagi yang berperkara tetapi dapat mencipakan hukum yang berlaku umum. Ketiga, hakim menjamin aktualisasi hukum termasuk mengarahkan perkembangan hukum. 155
Bagir Manan, Beberapa catatan Tentang Penafsiran, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No. 285 Agustus 2009, hlm.6
96
Dalam rangka menemukan hukum tersebut hakim memerlukan ilmu bantu berupa metode penemuan hukum156 dikarenakan : (1) Tidak pernah ada satu peristiwa hukum yang tepat serupa dengan lukisan dalam undang-undang (peraturan perundang-undangan). Dalam memutus (hakim dilarang menolak memutus), hakim harus menemukan kesesuaian antara fakta dan hukum. Hal ini dilakukan dengan cara merekonstruksi fakta (melalui bukti-bukti) sehingga memenuhi unsur-unsur yang dimuat dalam undang-undang (hukum) atau melakukan penafsiran agar suatu kaidah hukum secara wajar dapat dikenakan atau diterapkan pada suatu fakta hukum. (2) Suatu perbuatan tidak tercakup dalam kata atau kata-kata ordinary word yang disebut dalam undang-undang (3) Tuntutan keadilan. Hakim bukan corong (mulut) undangundang “spreekbuis van de wet, bouche de la loi, the mouth of laws”. Sebagai “arbiter” hakim wajib menyelesaikan suatu perkara dengan adil. (3) Keterbatasan makna bahasa dibandingkan dengan gejala atau peristiwa yang ada atau terjadi dalam masyarakat, baik peristiwa hukum, politik, ekonomi maupun sosial. Dalam upaya menemukan putusan yang benar, hakim wajib memperimangkan berbagai gejala atau peristiwa yang belum tentu tercakup dalam ketentuan yang berlaku (4) Bahasa dapat diartikan berbeda pada setiap lingkungan masyarakat (5) Secara sosiologis, bahasa atau kata atau kata-kata dapat berbeda makna (6) Pengaruh perkembangan masyarakat (7) Transformasi atau resepsi konsep hukum asing yang dipergunakan dalam praktik hukum Pengaruh berbagai teori baru di bidang hukum, seperti sociological jurisprudence, feminist legal theory dsb. (8) Ketentuan atau bahasa atau kata atau kata-kata dalam undang-undang tidak jelas, bermakna ganda, tidak konsisten bahkan ada pertentangan atau ketentuan tidak nalar (unreasonable). Walaupun banyak sebab yang mendorong melakukan penafsiran, namun tidak berarti hakim dapat melakukan penafsiran secara tanpa batas yaitu 157 : (1) Dalam hal kata atau kata-kata dan susunan kaidah sudah jelas, hakim wajib menerapkan undang-
156 157
Ibid., hlm. 11 Ibid. hlm. 12
97
undang menurut bunyi dan susunan kaidah kecuali didapati hal-hal seperti inkonsistensi, pertentangan atau ketentuan tidak dapat menjangkau peristiwa hukum yang sedang diadili, atau dapat menimbulkan ketidakadilan, bertentangan dengan keyakinan yang hidup dalam masyarakat, kesusilaan atau kepentingan umum yang lebih besar (2) Wajib memperhatikan maksud dan tujuan pembentukan undangundang kecuali maksud dan tujuan sudah usang, terlalu sempit sehingga perlu ada penafsiran yang lebih longgar (3) Penafsiran semata-mata dilakukan demi memberi kepuasan kepada pencari kadilan. Kepentingan masyarakat diperhatikan sepanjang tidak bertentangan dengan dengan kepentingan pencari keadilan (4) Penafsiran semata-mata dilakukan dalam rangka aktualisasi penerapan undang-undang bukan untuk mengubah undang-undang (5) Mengingat hakim hanya memutus menurut hukum, maka penafsiran harus mengikuti metode penafsiran menurut hukum dan memperhatikan asas-asas hukum umum, ketertiban hukum, kemaslahatan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (6) Dalam penafsiran, hakim dapat mempergunakan ajaran hukum sepanjang ajaran tersebut relevan dengan persoalan hukum yang akan diselesaikan dan tidak merugikan kepentingan pencari keadilan (7) Penafsiran harus bersifat progresif yaitu berorientasi ke masa depan “future oriented”, tidak menarik mundur keadaan hukum di masa lalu yang bertentangan dengan keadaan yang hidup dan perkembangan hukum. a. Metode
Interpretasi
(penafsiran)
Hermeneutika Yuridis Metode penemuan hukum yang umumnya digunakan oleh hakim adalah metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Selain itu ada metode hermeneutika hukum yang dianggap sebagi metode baru dalam teori penemuan hukum 158. Secara etimologi, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan atau menginerpretasi. Maka kata benda heremenia secara harfiah dapat
158
Ahmad Rifai, op.cit., hlm.135
98
diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Dari kata kerja hermeneuein dapat ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya yaitu (1) mengungkapkan kata-kata (2) menjelaskan dan (3) menerjemahkan159. Istilah ini diambil dari mitologi Yunani pada tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu fungsi hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan yang dipergunakan oleh pendengarnya. Oleh karena itu hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai ”proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti.. Demikian juga Sayyed Hossein Nashr160 memakai kata ”hermes” untuk sebutan Nabi Idris yang bertugas menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa ”langit” dapat dipahami oleh manusia yang berbahasa ”bumi”.
Hermeneutika
merupakan metode atau fundamen dan dasar penalaran manusia untuk menambah kejelasan dari suatu bahasa, sehingga bahasa yang digunakan itu dapat dimengerti. Pada abad akhir-akhir ini, Schleiermacher menghidupkan kembali topik tentang hermeneutika. Dan ini dikumandangkan lebih luas lagi oleh penulis biografinya, yaitu Wilhelm Dilthey. Pada zaman ini, hermeneutik telah diangkat oleh beberapa filsuf, diantaranya Hans Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida.
159
Ahmad Zaenal Fanani, Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum Dalam Putusan Hakim, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXV No. 297 Agustus 2010, hlm. 55 160 Ibid. hlm. 56
99
Menurut
Bernard
Sidharta161,
Arief
mula
pertama
hermeneutika
itu
dikembangkan adalah sebagai metode atau seni untuk menafsirkan teks. Kemudian lewat karya Scleiermacher dan Wilhelm Dilthey mengembangkan dan menggunkan herneneutika sebagai metode untuk ilmu-ilmu manusia khususnya ilmu sejarah. Hans-Georg Gadamer dalam bukunya “Truth and Method” mengilustrasikan secara singkat bahwa pada mulanya hermeneutika berkembang antara lain dibawah pengaruh inspirasi Ilmu Hukum. Sebagaimana diresepsi oleh Kodifikasi Yustisianus “corpus iuris iustiniani” dari abad keenam. Di Italia pada abad ke-12 timbul kebutuhan pada suatu metode yang membuat teks-teks yuridikal yang berlaku dari suatu periode historikal terdahulu lewat intepretasi dapat diterapkan untuk suatu jenis (tipe) masyarakat yang sama sekali berbeda 162. Selanjutnya
hermeneutika
hukum
menurut
C.W.
Maris
mengalami
perkembangan pesat dan signifikan baru di era abad ke 20. Hermeneutika hukum hadir mengambil posisi tengah antara dua tendensi (kecenderungan) yang saling berlawanan dan inhern dalam pandangan dunia secara ilmiah atau pandangan ilmiah tentang dunia “scientific worldview, wetenschappelijke wereldbeeld” yaitu antara tendensi nihilistik dengan tendensi emansipatorik di satu pihak. Di pihak lain, hermeneutika hukum juga berada pada posisi antara filsafat “Positivisme logikal” dengan ”Rasionalisme Kritikal”163. Positivisme Logikal (termasuk tendensi Nihilistik) dan Rasionalisme Kritikal (termasuk tendensi emansipatorik) keduanya mempropagandakan ideal ketunggalan ilmu
berdasarkan
model
keilmualaman.
Sedangkan
para
penentangnya
menyampaikan bahwa sesungguhnya metode keilmualaman tidak memadai untuk mempelajari tindakan (perilaku) manusia. Dengan demikian ilmu-ilmu sosial akan 161
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Stuktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm.
71 162
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Sejarah Filsafat & Metode Tafsir, Universitas Brawijaya Press, Malang, 2011, hlm. 89 163 Ibid., hlm. 90
100
mensyaratkan (menuntut) suatu jenis metode tersendiri yaitu metode mengerti atau memahami “versteheen” dengan mengintepretasi atau disebut juga hermeneutika. Metode intepretasi atau hermeneutika yuridis adalah suatu metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundangundangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa kongkrit tertentu. Secara spesifik teori penafsiran dalam hukum saat ini digunakan lebih terbatas dalam memahami realitas hukum. Adapun pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa harus undang-undang. Hal ini dikarenakan penafsiran yang paling kontekstual adalah undang-undang. Saat ini tidak ada negara yang tidak memiliki undang-undang atau pada umumnya undang-undang ditempatkan sebagai sumber dari segala kegiatan penafsiran, khususnya untuk memecahkan berbagai persoalan hukum dalam masyarakat. Sebagaimana dicontohkan dan dikatakan Satjipto Rahardjo dengan istilah “hyperregulated”, dimana dalam konteks tersebut undang-undang di Indonesia menjadi sangat sentral. Semua kegiatan penafsiran difokuskan kepada teks undang-undang dan nampaknya tidak ada aspek kehidupan yang tidak diatur oleh undang-undang164. Undang-undang muncul sebagai suatu kebutuhan dari semakin menguatnya eksistensi negara modern yang memerlukan bentuk-bentuk pengaturan modern pula. Teks yang ditulis dalam bentuk undang-undang muncul menggantikan tradisi lisan. Dengan demikian ada pergeseran perilaku masyarakat ketika peradaban teks menggantikan peradaban lisan dan bagi orang hukum penganut formalisme (legistik), teks undang-undang dipandang lebih bermakna ketimbang tradisi lisan. Menurut kaum formalisme hukum, teks yang sudah diformalkan lebih memiliki kepastian karena teks termapankan dalam bentuknya. Hal ini berbeda apabila melihat hermeneutika Ricoeur dalam tradisi lisan, peran pengucap menjadi sangat sentral
164
Anthon F. Susanto, Dekonstruksi Hukum Eksplorasi Teks Dan Model Pembacaan, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 64
101
karena tradisi lisan terikat kepada pengucap, namun dalam tradisi teks, teks adalah otonom dan terlepas dari si pengucap atau si pembuat aturan165. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa ajaran interpretasi atau penemuan hukum ini telah lama dikenal166 yang disebut hermeneutika yuridis atau metode yuridis. Sebahagian kalangan akademisi hukum menganggap bahwa aliran realisme dalam ilmu hukum adalah puncak kemenangan ilmu hukum dalam mengembangkan dirinya secara empiris, tetapi dengan munculnya postmodernisme di pertengahan abad ke- 20 muncul juga aliran critical legal studies. Aliran critical legal studies pada prinsipnya mencoba untuk mengembangkan aspek radikal dari realisme hukum
dalam
postmodernisme,
critical
race
theories
dan
critical
marxist menerapkannya ke dalam kerangka berpikir dari marxism, khususnya dalam hal kritikan kaum marxism terhadap pemikiran kaum liberal. Pemikiran hukum liberal ini mengajarkan bahwa hukum dibuat oleh parlemen yang mewakili suara dari rakyat, sedangkan dalam memutus perkara, hakim paling jauh hanya menafsirkan hukum, bukan membuat hukum. Oleh karena itu gerakan critical study menggunakan pisau analisis berupa hermeneutika. Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim tetapi juga oleh peneliti hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus (konflik) dan peraturanperaturan hukum167. Sebagaimana dikemukakan Jazim Hamidi bahwa letak penting dan kebaruan hermeneutika hukum terutam bagi para hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata penerapan peraturanperaturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan 165
Ibid, hlm. 63 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, ctk. Kelima, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2014, hlm. 73 167 Penemuan hukum bukanlah merupakan ilmu baru, tetapi telah lama dikenal dan dipraktikkan selama ini oleh hakim, pembentuk undang-undang dan para sarjana hukum yang tugasnya memecahkan masalah-masalah hukum. Walaupun penemuan hukum pada dasarnya merupakan kegiatan dalam praktik hukum namun penemuan hukum tidak dapat dipisahkan dari ilmu (teori) hukum. Dengan kata lain, praktiknya praktik hukum dan ilmu hukum itu saling memerlukan satu sama lain, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op.cit., hlm. 1 166
102
pembentukan hukum. Bagi para penegak hukum yang lain seperti jaksa, polisi maupun para advokat/pengacara, hermeneutika hukum juga penting artinya terutama pada saat mereka membuat tuntutan atau dakwaan (untuk jaksa), melakukan penyidikan (untuk polisi) dan mendampingi klien dalam membela perkaranya (untuk pengacara). Hal ini dikarenakan tugas hakim, jaksa, polisi dan pengacara itu termasuk melakukan interpretasi atas teks hukum/peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar pertimbangan serta interpretasi atas peristiwa dan fakta hukum itu sendiri. Para ilmuwan hukum juga sangat berkepentingan dengan hermeneutika hukum karena pada saat diminta kesaksiannya sebagai saksi ahli dalam suatu perkara di pengadilan. Saksi ahli harus memberikan pendapat hukumnya secara jujur, benar dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai kapasitas ilmunya 168. Sebagaimana pengertian hermeneutika dari Paul Ricoeur bahwa setiap orang boleh menafsirkan teks undang-undang yaitu siapa saja yang dapat membaca undang-undang dan tidak terbatas ruang dan waktu. Menurut Ricoeur, yang terjadi adalah seorang pembaca membuka dirinya dihadapan teks yang juga membuka diri. Makna sebuah teks tidak ada dibalik atau di belakangnya, melainkan ada di depannya. Fungsi pembacaan tersebut akan terlihat lebih nyata misalnya dalam proses peradilan, ketika semua pihak seperti hakim, jaksa, pengacara/advokat, polisi dan terdakwa melakukan pembacaan terhadap undang-undang. Dalam proses tersebut terjadi apa yang disebut dengan proses penjelasan (explanation) dan pemahaman (understanding)169. Selanjutnya Ricoeur menguraikan bahwa penjelasan atau pemahaman tidak bekerja secara dikotomis dan tidak dapat dipisahkan. Penjelasan (explanation) adalah cara kerja yang menghubungkan metafor terhadap teks yaitu pembakuan bahasa lisan kepada bahasa tulis, sementara interpretasi “interpretation” ialah cara kerja teks ke matafor yaitu transkripsi dari bahasa tulis ke bahasa lisan. Pada explanation ini teks 168 169
Jazim Hamidi, op. cit., hlm. 37 Anthon F. Susanto, op.cit., hlm. 68
103
undang-undang dipandang sebagai meaning, sebuah sistem tanda yang memiliki konstelasi internal yang baku dan objektif170. Terkait penafsiran yang dilakukan oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju kepada penerapan atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat. Dengan demikian tugas penting dari hakim adalah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkan. Sebagaimana Francois Geny yang membangun teori tentang metode penafsiran hukum. Lewat karya utamanya : Methode d’interpretation et sources en droit prive positif dengan mengkritik cara penafsiran rasionalisme abad ke 18 dan ke 19 yang terlampau deduktif dan formal. Menurut Geny, metode rasionalisme tersebut beranjak dari pengandaian yang keliru bahwa undang-undang itu sempurna adanya. Sebuah undang-undang tidak pernah mampu dengan sempurna mempesentasikan keutuhan realitas yang ada dalam bentangan kehidupan sosial171. Lebih lanjut Geny mengemukakan bahwa sangat tidak logis untuk menarik garis lurus begitu saja antara konsep-konsep umum yang abstrak dalam undang-undang dengan kasus-kasus riil dalam dunia empiris. Hal ini dikarenakan banyak faktor dan variabel yang ikut mewarnai profil sebuah kasus. Penafsiran yang benar adalah panduan yang proporsional antara roh hukum dan konteks kasus. Langkah pertama adalah memperhatikan maksud pembentuk undang-undang waktu undang-undang itu dibuat. Kemudian perlu diberi perhatian akan situasi masyarakat waktu undangundang itu dibentuk yakni kebutuhan atau susunan sosial zaman itu. Pada saat yang
170 171
Ibid. hlm. 69 Bernad L. Tanya, op. cit. hlm. 179
104
bersamaan perlu pula diperhatikan logika internal dan sistematika undang-undang itu sendiri172. Kajian hermeneutika hukum dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum stukturalis atau behavioralis yang terlalu empirik sifatnya. Kajian hermeneutika hukum juga telah membuat kesempatan kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata, menggunakan paradigma positivisme atau metode logis formal saja. Selain itu, hermeneutika hukum juga menganjurkan agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para pencari keadilan. Sebagai aliran yang relatif khas bagi ilmu-ilmu humaniora, maka hermeneutika bertolak dari manusia sebagai makhluk budaya yaitu makhluk yang memiliki idealisme, keinginan dan kebutuhan. Makhluk yang senantiasa memberi jawaban pada diri dan lingkungannya lewat tindakannya baik yang eksplisit maupun implisit. Dengan demikian aliran ini menempatkan manusia sebagai subjek untuk dijadikan perspektifnya. Walaupun hermeneutik pada awalnya merupakan disiplin memahami teks, namun tetap dalam kerangka pemahaman tentang tindakan manusia. Teks yang dikaji selalu dipahami dalam konteks “sistem situasi” manusia, seperti : latar belakang kemunculan teks itu, identitas si pembuat teks, aksara dan bahasa yang digunakan, bahan yang digunakan untuk media teks tersebut, maksud/tujuan teks itu dsb. Perhatian utama bukan pada teks itu sendiri sebagai teks tetapi pada mosaik maknawi manusia di balik teks itu173. Metode hermeneutika ini tidak banyak atau jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan
172 173
Ibid. 180 Bernard L. Tanya dkk., Teori Hukum..., hlm. 215
105
begitu dominannya metode penalaran dan konstruksi hukum yang sangat legalistik formal sebagai metode penemuan hukum yang telah mengakar cukup lama dalam sistem peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan sebagian besar hakim belum familir dengan metode ini. Hal ini disayangkan arena sesensi hermeneutika hukum terletak pada pertimbangan triangle hukumnya yaitu suatu metode mengintrepretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat semata teks saja, tetapi juga konteks hukum itu dilahirkan serta bagaimanakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini dan masa mendatang174. Terkait hukum dalam arti undang-undang sebagai produk legislatif (produk politik) sehingga perlu interpretasi dari hakim, ada banyak kepentingan dalam proses pembuatan undang-undang. Sebagaimana pendapat Moh. Mahfud MD bahwa undang-undang merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing sehingga sangat dimungkinkan ada beberapa nilai hukum yang hidup dan rasa keadilan masyarakat yang terabaikan, sehingga tidak masuk dalam formulasi rumusan undang-undang175. Undang-undang merupakan produk politik dengan berbagai macam kepentingan juga dikemukakan Antonin Scalia dan Bryan A. Garner sebagai berikut :“…when necessary to achieve favorable consequences for certain targeted groups of people, such as minorities, women, factory workers, the poor, homeowners, busnesspeople, tenants, landlords, taxpayers, government workers, children….”176
174
Ahmad Rifai, op. cit., hlm. 89 Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia. LP3ES. Jakarta, 1998, hlm. 7 176 Antonin Scalia dan Bryan A. Garner, Reading Law : The Interpretation of Legal Texts”, Thomson/West, United States of America, 2012, hlm. 1 175
106
Lebih lanjut Antonin Scalia dan Bryan A. Garner 177 mengemukakan ada tiga belas kesalahan terkait dengan intepretasi “Thirteen falsilities exposed” sebagai berikut : 1.
The false notion that the spirit of a statute should prevail over its letter
2.
The false notion that the quest in statutory interpretation is to do justice
3.
The false notion that when a situation is not quite covered by a statute, the court should reconstruct what the legiskature would have done had it confronted the issue
4.
The half-truth that consequences of a decision provide the key to sound interpretation
5.
The false notion that words should be strictly construed
6.
The false notion that tax exemptions-or any other exemptions for that matter-should be strictly construed
7.
The false notion that remedial statutes should be liberally construed
8.
The false notion that a statute cannot oust courts of jurisdiction unless it does so expressly
9.
The false notion that commitee report and floor speeches ar worthdhile aids in statutory construction
10. The false notion that the purpose of interpretation is to discover intent 11. The false notion that the plain language of a statute is the “best evidence” of legislative intent
177
Ibid., hlm. 341
107
12. The false notion that lawyers and judges, not being historians, are unqualified to do the historical research that originalism requires 13. The false notion that the Living Constutition is an exeption to the rule that legal texts must be given the meaning they bore when adopted.
Secara umum, metode interpretasi (penafsiran) hukum dapat dikelompokkan yaitu : Tabel 4 Metode Interpretasi (Penafsiran) Hukum
No. Nama Interpretasi
Keterangan
1
Penafsiran menurut bahasa, antara lain
Gramatikal (objektif)
108
dengan melihat definisi leksikalnya 2
Otentik
Penafsirn
menurut
batasan
yang
dicantumkan dalam peraturan itu sendiri, yang biasanya diletakkan dalam bagian penjelasan, rumusn ketentuan umumnya, maupun dalam salah satu rumusan pasal lainnya. 3
Teoleologis (sosiologis)
Penafsiran
berdasarkan
tujuan
kemasyarakatan 4
Sistematis (logis)
Penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya
5
Historis (subjektif)
Penafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu (sejarah undangundang)
6
Komparatif
Penafsiran dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu sistem hukum dengan peraturan yang ada pada sistem hukum lainnya
7
Futuristis (antisipatif)
Penafsiran
dengan
mengacu
kepada
rumusan dalam rancangan undang-undang atau rumusan yang dicita-citakan (ius constituendum) 8
Restriktif
Penafsiran degan mmbatasi cakupan suatu
109
ketentuan 9
Ekstensif
Penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan
10
Interdisipliner
Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisa masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum
11
Multidisipliner
Dalam interpretasi multidisipliner, seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberpa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum
Sumber : Bambang Sutiyoso, 2012 Metode-metode interpretasi di atas secara sederhana dapat dikelompokkan berdasarkan dua pendekatan yaitu “the textualist approach (focus on text)” dan “the purposive approach” (focus on purpose). Interpretasi gramatikal dan otentik termasuk kategori pendekatan pertama, sementara metode interpretasi lainnya mengacu kepada pendekatan kedua. Pendekatan dengan memperhitungkan keadaankeadaan tertentu dapat disamakan dengan purposive approach178. Sebagaimana Aharon Barak dalam buku Purposive Interpretation in Law mengemukakan bahwa : The word “text” is not limited to a written text. For purpose of interpretation, any behavior that creates a legal norm is a “text”179. b.
Metode Argumentasi (Penalaran Hukum, redering atau reasoning)
178
Bambang Sutiyoso, op. cit., hlm. 134 Aharon Barak, Purposive Interpretation In Law, Princeton University Press, United States of America, 2007, hlm. 1 179
110
Metode argumentasi disebut juga dengan metode penalaran hukum, redering atau reasoning. Metode ini dipergunakan apabila undang-undang tidak lengkap. Dalam rangka melengkapi maka dipergunakan metode argumentasi dan teori argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar suatu argumentasi yang jelas dan rasional180. Suatu tradisi yang sudah sangat lama dalam argumentasi hukum adalah pendekatan formal logis. Dalam analisa rasionalitas proposisi dikembangkan tiga model logika yaitu logika silogistis, logika proposisi, logika predikat. Sedangkan analisis penalaran dikembangkan logika diontis. Kata logika sebagai istilah berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Penalaran adalah satu bentuk pemikiran, adapun bentuk pemikiran yang lain adalah pengertian atau konsep (conceptus, concept), proposisi atau pernyataan (propositio, statement) dan penalaran (ratio cinium, reasoning).Tidak ada proposisi tanpa pengertian (konsep) dan tidak ada penalaran tanpa proposisi.181 Arti penting makna logika bagi hukum dipaparkan oleh A. Soeteman dan P.W. Brouwer182 yaitu satu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan kata lain adalah suatu “conditio sine qua non” agar suatu keputusan diterima adalah apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi. Argumentasi yuridis merupakan satu model argumentasi khusus. Ada dua hal yang menjadi dasar kekhususan argumentasi hukum yaitu Pertama, Tidak ada hakim ataupun pengacara yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup ataupun statis akan tetapi merupakan satu 180
Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, 2011, hlm. 13 181 Ibid. hlm. 14 182 Ibid. hlm. 17
111
perkembangan yang berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan norma-norma baru. Dengan demikian orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas-asas yang terdapat dalam hukum positif untuk mengambil keputusan-keputusan baru. Kedua, dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum berkaitan dengan kerangka prosedural yang didalamnya berlangsung argumentasi rasional dan diskusi rasional. Menurut Kenneth J. Vandevelde183, ada lima langkah penalaran hukum yaitu : (1) “Indentify the applicable sources of law, usually statutes and judicial decisions” Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, (2) “Analyze these source of law to determine the applicaple rules of law and the policies underlying those rules“. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut, (3) “Synthesize the applicaple rules of law and the policies underlying those rules”. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang koheren yakni stuktur yang mengeompokkan aturan-aturan khusus di bawah aturan umum (4) “Research the available facts”. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (5) “Apply the structure of rules to the facts to ascertain the rights or duties created by the facts, using the policies underlying the rules to resolve difficult cases”. Menerapkan stuktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu dengan menggunakan kebijakan yang teretak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit. Sidharta184 menyimpulkan ada enam langkah utama penalaran hukum yaitu (1) mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu stuktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi; (2) menghubungkan (mensubsumsi) stuktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam 183 184
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 156 Ibid. hlm. 157
112
peristilahan yuridis (legal term); (3) menyeleksi sumber hkum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules) sehingga dihasilkan suatu stuktur (peta) aturan yang koheren; (4) menghubungkan stuktur aturan dengan stuktur kasus; (5) mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin; (6) menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir. Dalam
penalaran hukum atau legal reasoning dikembangkan melalui
formula IRAC (Issue, Rule, Analysis dan Conclusion). Menurut Peter Suber185 dari Philosopy Department-Earlham University yaitu bentuk-bentuk dasar dari balokbalok pembentuk dari analisis hukum. Formula ini merupakan proses yang harus dilalui setiap praktisi hukum pada saat memikirkan dan mencermati setiap permasalahan hukum. IRAC merupakan model penalaran hukum yang baik dan banyak memberikan kemudahan bagi praktisi hukum. Namun, para praktisi hukum ini seringkali melupakan bagian terpenting dari formula IRAC yaitu analisis. Bagan 2 : Segitiga IRAC
FACTS Fakta-fakta
3
185
1
Sebagaimana disarikan oleh H.M. Arsyad Sanusi, Mempelajari Rahasia Legal Reasoning/Penalaran Hukum Melalui Formula IRAC, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXIII No. 270 Mei 2008, hlm. 10
113
RULES Aturan hukum
ISSUES Isu Hukum
2
Segitiga IRAC di atas menekankan pada Analisis dengan menggunakan faktafakta hukum (facts), permasahan atau isu hukum (issues)186 dan aturan hukumnya (rules) sebagai balok-balok pembentuk analisis hukum. Analisis hukum ini merupakan produk akhir seekigus tujuan utama dari segitiga IRAC, namun peran fakta-fakta hukum dalam membentuk analisis tetap menjadi fokus perhatian. Langkah-langkah dalam segitiga IRAC adalah sebagai berikut, Langkah Pertama: mencermati isu hukum. Fakta-fakta hukum dari suatu perkara merupakan petunjuk bagi permasalahan atau isu hukum (issues) yang bersangkutan, Langkah Kedua: (rule) Aturan hukum mana yang diterapkan187. Permasalahan atau isu hukum tersebut diatur oleh suatu aturan hukum (rules) yang berlaku. Secara mekanis, permasalahan atau isu hukum menentukan aturan hukum manakah yang akan diterapkan 186
Kunci untuk dapat mencermati suatu isu hukum adalah kemampuan untuk mengidentifikasi fakta hukum apa memunculkan isu hukum apa. Oleh karena hukum itu sangat kompleks maka setiap pembatasan atau penambahan suatu fakta hukum. Pertanyaan-pertanyaan untuk dinyatakan pada saat membaca kertas perkara (terkait dengan isu hukunya) : Fakta-fakta dan keadaan-keadaan apa sajakah yang membawa para pihak ke pengadilan ? Adakah kata-kata di dalam fakta hukum tersebut yang dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi permasalahan atau isu hukum terkait ? Apa sajakah yang tidak dapat dikategorikan sebagai isu hukum yang patut menjadi fokus perhatian. Ibid., hlm. 11 187 Aturan hukum dimaksud dapat berupa common law yang dibentuk dan dikembangkan oleh Pengadilan atau dapat pula berupa aturan-aturan hukum tertulis yang dibuat legislatif atau pembuat undang-undang. Pertanyaan-pertanyaan untuk ditanyakan pada saat membaca berkas perkara terkait aturan hukum (rule) : Elemen-elemen apa saja yang dapat membuktikan keberlakuan aturan hukum yang didakwakan? Apa saja pengecualian bagi pemberlakuan aturan hukum tersebut? Keluarga sistem hukum (family of legal system) yang manakah yang menjadi sumber dari aturan hukum tersebut ? Apakah bersumber dari common law, peraturan perundang-undangan atau yang lain ? Adakah kebijakan publik, freiz ermessen dan sebagainya yang menjadi dasar di balik aturan hukum yang diterapkan tersebut ?., ibid. hlm 12
114
terhadapnya. Langkah 3: Analisis sebagai seni dalam berpraktik hukum. Membentuk analisis hukum dilakukan dengan membandingkan antara fakta-fakta hukum dengan aturan hukum yang berlaku.
Kesalahan terbesar yang sering terjadi adalah bahwa
hakim dan para praktisi hukum lainnya cenderung hanya menyoroti permasalahan atau isu hukumnya saja kemudian mengutip aturan-aturan hukum yang hendak diterapkan, tanpa membuat atau melakukan analisis sama sekali. Padahal yang terpenting bukanlah sekedar menemukan hukumnya saja melainkan juga menerapkan aturan hukum tersebut terhadap serangkaian fakta atau keadaan yang dijumpai. Analisis merupakan bagian terpenting dari formula IRAC karena disinilah terjadi proses berpikir yang sesungguhnya 188. Langkah Keempat : kesimpulan-mengambil sikap. Kesimpulan merupakan bagian terpendek dari rangkaian langkah-langkah dalam formula IRAC. Kesimpulan dapat berupa kalimat sederhana ya atau tidak atau kalimat yang menyatakan apakah aturan hukum tertentu dapat diterapkan terhadap serangkaian fakta hukum tertentu pula189.
188
Pertanyaan-pertanyaan untuk ditanyakan pada saat membaca berkas perkara (terkait dengan analysis) : Fakta hukum apakah yang dapat membantu membutikan unsur-unsur suatu aturan hukum? Mengapa suatu fakta hukum dianggap relevan ? Bagaimana fakta hukum tersebut dianggap memenuhi unsur-unsur dari aturan hukum tersebut? Jenis-jenis fakta hukum apasajakah yang dapat diterapkan terhadap aturan hukum tersebut ? Adakah argumentasi yang bertolak belakang untuk mendapatkan solusi lain ?. ibid.,hlm. 13 189 Pertanyaan-pertanyaan untuk ditanyakan pada saat membaca berkas perkara (terkait dengan conclusion) : Proses beracara perkara tersebut ? Apakah pendirian anda tersebut berbeda dengan aturan hukum positif ? Bagaimana pengaruh pendirian anda tersebut terhadap proses beracara perkara tersebut? Apakah dakwaan/gugatan dalam perkara tersebut ditolak, dikuatkan atau diminta untuk dilakukan persidangan ulang ? Setujukah anda dengan hasil yang diperoleh dalam perkara tersebut ?. ibid.,hlm. 14
115
c.
Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)
Metode eksposisi tidak lain adalah metode konstruksi hukum yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian (hukum) bukan untuk menjelaskan barang190. Metode konstruksi hukum akan digunakan oleh hakim pada saat dia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum atau kekosongan undangundang “wet vacuum”. Tujuan dari konstruksi hukum adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Sebagaimana adanya prinsip hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya asas “ius curia novit”. Hakim harus terus menggali dan menemukan hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana terurai di atas, ada tiga macam metode penemuan hukum yaitu penafsiran atau hermeneutik yuridis, argumentasi atau penalaran hukum dan eksposisi atau konstruksi hukum. Adapun perbedaannya sebagai berikut : Tabel 5 : Metode Penemuan Hukum Metode
Interpretasi Metode
Argumentasi Metode
Eksposisi
(Penafsiran)
(Penalaran Hukum, redering (Konstruksi Hukum)
Hermeneutika Yuridis
atau Reasoning)
190
Bos sebagaimana dikutip Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 69
116
Menafsirkan terhadap
teks
Metode
ini
dipergunakan
perundang-
apabila
undang-undang
undangan
yang
lengkap oleh karena
tidak
agar
itu untuk melengkapi
jelas
perundang-
dipergunakan metode
undangan tersebut
Argumentasi
dapat
diterapkan
terhadap peristiwa
tersimpul dalam undangundang. Hakim
menyesuaikan undang
:
undang-
dengan hal-hal
nyata di masyarakat.
J.
undang-undang dapat
menurut
arti
dijalankan katanya,
hakim harus menafsirkan Logemann
Hakim harus tunduk pada kehendak
pembuat
untuk
Metode eksposisi akan
saat dihadapkan pada situasi
lima
adanya
kekosongan uu
penalaran -
hukum :
Prinsip hakim tidak boleh
1. Mengidentifikasi
mungkin,
biasanya
berupa
peraturan
(identify
untuk
diselesaikan
ada
atau
belum
mengaturnya dan -
Hakim
harus
menggali
the
aplicable sources of
menemukan
law)
yang
hidup
berkembang 2. Menganalisis
terus dan hukum dan di
tengah-tengah
sumber
hukum
tersebut
untuk
menetapkan aturan hukum
dengan
dalih hukumnya tidak
perundangundangan
menolak
perkara
putusan pengadilan Apabila
bukan
menjelaskan barang.
sumber hukum yang
Tugas
pengertian
digunakan hakim pada Kenneth
langkah
Rekonstruksi pikiran yang
tidak
kata-kata atau membentuk
-
menguraikan Von Savigny
Bos :
metode untuk menjelaskan
Vandevelde
konkrit tertentu
tidak
yang
masyarakat
Rudolph
Von
117
undang-undang,
hakim
mungkin
tidak boleh menafsirkan
kebijakan
uu
aturan
secara
sewenang-
wenang
dalam tersebut
(analyze the sources of law) 3. Mensintesiskan
menafsirkan
ditentukan
oleh
undang-undang bersangkutan, perkara
aturan
materi
tempat
diajukan
dan
menurut zamannya
subsumptif 2.
kedalam
stuktur
yang
koheren
yakni
stuktur
yang
mampu
Dlm konstruksi boleh ada pertentangan
membantah dirinya sendiri
dibawah yang jelas tentang sesuatu hal
aturan
umum tidak boleh ada pertentangan
into
the logis didalamnya atau tidak
4. Menelaah
sistematis/logis 3. 4 .
membantah
dirinya
coherent sendiri
a
structure);
3. Interpretasi
logis
didalamnya atau tidak boleh
aplicable rule of law boleh
gramatikal
semua
khusus
(synthesize
2. Interpretasi
melihat
mampu memberi gambaran
aturan-aturan
1. Interpretasi:
melakukan konstruksi hukum
melihat semua bidang hukum
mengelompokkan
Macam Metode
Ada 3 syarat utama untuk
hukum positif
tersebut
yang
Jhering
bidang hukum hrs mampu
Polak
Cara
dan
Dlm konstruksi boleh ada fakta- pertentangan
logis
fakta yang tersedia didalamnya atau tidak boleh the membantah dirinya sendiri
(research available facts)
mampu memberi gambaran
I
5. Menurut
stuktur yang jelas tentang sesuatu hal
n
aturan
tersebut tidak boleh ada pertentangan
t
kepada
e
untuk
fakta-fakta logis didalamnya atau tidak memastikan boleh
membantah
dirinya
118
r
hak dan kewajiban sendiri
p
yang
r
fakta-fakta
e
dengan
t
menggunakan
a
kebijakan
s
terletak
i
aturan-aturan
timbul
dari itu
yang dalam
memecahkan kasus-
o
kasus sulit (apply
s
the
t
rules to the facts)
i s 4. I n t e r p r e t a s
structure
verbal
prinsipal
dan
verbal melengkapi 2. metode eksposisi yang
h
r
yaitu : 1. metode eksposisi verbal :
hukum dalam hal
o
Metode eksposisi dibagi 2
of
tidak verbal : metode representasi
119
i
t e l e o l o g i s / s o s i o l o g i s 5. I n t e r
120
p r e t a s i
k o m p a r a t i f 6. I n t e r p r e t a
121
s i
a n t i s i p a t i f / f u t u r i s t i s 7. I n t
122
e r p r e t a s i
r e s t r i k t i f 8. I n t e r p r e
123
t a s i
e k s t e n s i f 9. I n t e r p r e t a s i
124
o t e n t i k
a t a u
s e c a r a
r e s m i 10. I n t
125
e r p r e t a s i
i n t e r d i s i p l i n e r 11. I n t
126
e r p r e t a s i
m u l t i d i s i p l i n e r 12. I n t
127
e r p r e t a s i
d a l a m
p e r j a n j i a n
128
3. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara 3.1.Sengketa Tata Usaha Negara a. Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara Seiring dengan perkembangan konsep negara hukum modern, kebutuhan akan perlindungan hukum semakin penting dan mutlak. Dalam negara hukum modern, keterlibatan negara turut campur hampir di setiap aspek kehidupan masyarakat semakin besar sehingga menimbulkan konsekwensi administrasi negara memerlukan kekuasaan dan kebebasan yang semakin besar pula. Agar kekuasaan dan kebebasan tersebut tidak disalahgunakan dan perlindungan hukum tetap terjamin, maka perlu dilakukan pengawasan terhadap administrasi negara. Pengawasan dapat dilakukan melalui pengawasan ekstern dan pengawasan intern. Pengawasan ekstern dapat dilakukan antara lain melalui pengawasan politik, pers dan pengawasan hukum melalui pengadilan (dalam bidang administrasi, pengawasan dapat dilakukan melalui Peradilan Administrasi). Sedangkan pengawasan intern dapat dilakukan melalui badan-badan di lingkungan pemerintah sendiri baik melalui atasan yang mempunyai hubungan hirarkhis maupun melalui suatu panitia yang terdiri dari beberapa orang ahli dalam bidang tertentu. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa semakin meluasnya tugas administrasi negara dan semakin besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh administrasi negara, ternyata dapat menimbulkan persoalan besar dalam lapangan Hukum Administrasi Negara. Persoalan utamanya adalah bagaimana melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh administrasi negara tersebut. Berbagai cara dapat dilakukan untuk melaksanaan pengawasan administrasi negara
129
antara lain constitusional control, political control, judicial and legal control, technical control, social control dan administrative control. Pengawasan secara konstan terhadap pemerintah melalui pengawasan pengadilan dinyatakan oleh H.W.R. Wade191 yaitu : “...Hukum administrasi berkaitan dengan salah aspek masalah kekuasaan. Sejak beratus-ratus tahun terakhir konsepsi mengenai keadaan yang benar dari kegiatan pemerintah telah berubah. Kecuali membatasi dirinya untuk mempertahankan ketertiban umum, hukum pidana dan beberapa hal umum lainna, negara modern juga melaksanakan
pelayanan
sosial
dan
mengupayakan
pengaturan
kegiatan
perdagangan...”
Demikian pula perlunya pengawasan khusus yang dilakukan melalui peradilan administrasi merupakan bagian penting dalam Hukum Administrasi sebagaimana dikemukakan E.C.S. Wade and Phillips192 bahwa “...Pengawasan yudisial terhadap pelaksanaan kekuasaan oleh administrator atau oleh peradilan administrasi negara merupakan bagian yang paling sulit dan sangat mendasar dalam Hukum administrasi...”. Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pilar penting dalam pengejawantahan prinsip-prinsip negara hukum. Lahirnya lembaga Peradilan Tata Usaha Negara merupakan keputusan historis193 yang didasarkan suatu tekad untuk
191
Dalam S.F. Marbun, op. cit. hlm. 86 Ibid. hlm. 87 193 Salah satu perubahan terpenting dalam sistem hukum Indonesia pada dasawarsa terakhir adalah pendirian peradilan tata usaha negara (PTUN dan PTTUN). Perlindungan hukum dan supremasi hukum (yang merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh pengadilan-pengadilan tersebut) adalah konsep-konsep yang tidak lazim dikaitan dengan rezim Orde Baru yang otoriter dan bagi banyak pihak, pendirian pengadilan tersebut merupakan kejutan. Adriaan W. Bedner, Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, ctk. Pertama, HuMa Van Vollenhoven Institute KITLV-Jakarta, Jakarta, 2010, hlm. 1. Terjemahan dari Adriaan W.Bedner, Administrative Courts in Indonesia: a socio-legal study, Van Vollenhoven Institute, 1995, Penerjemah Indra Krishnamurti 192
130
mewujudkan dan menegakkan negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang harus menjamin: Pertama, persamaan kedudukan semua warga dalam hukum. Kedua, menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur, adil, bersih, efisien dan berwibawa. Ketiga, memberi perlindungan hukum kepada rakyat dengan memungkinkan rakyat dapat menggugat pemerintah melalui aparaturnya di bidang Tata Usaha Negara. Dengan demikian, Peradilan administrasi mempunyai peran sebagai lembaga kontrol atau pengawas agar tindakan-tindakan hukum dari pemerintah (bestuur) tetap berada dalam rel hukum, disamping sebagai pelindung hak warga masyarakat terhadap penyalahgunaan wewenang atau kesewenang-wenangan oleh aparatur pemerintahan atau “controle de administration et la protection des citoyens” 194. Sebagai suatu lembaga kontrol terhadap pemerintah “judicial control”, pengawasan yang dilakukan oleh peradilan administrasi dengan ciri-ciri meliputi : Pertama, bahwa pengawasan itu bersifat external control karena dilakukan oleh suatu lembaga yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Kedua, pengawasan itu lebih menekankan pada tindakan represif atau lazim disebut control a-posteriori dan pengawasan itu bertitik tolak pada segi legalitas dari tindakan pemerintah yang dikontrol yaitu penilaian apakah tindakan tersebut bersifat rechtmatig atau tidak195. Dengan kata lain bahwa dalam rangka memberikan perlindungan atas pelanggaran terhadap hak-hak individu, kepada warga diberikan hak atau kesempatan untuk menggugat pemerintah melalui peradilan baik melalui peradilan umum maupun peradilan administrasi. Adanya perlindungan terhadap hak-hak individu inilah yang menjadi latar belakang peradilan administrasi di negara-negara Barat yang menganut konsep rechtstaat yang liberal dan demokratis.196
194
Paulus Effendi Lotulung, Jakarta, hlm.9 195 Ibid. hlm.8 196 S.F. Marbun, ibid., hlm. 25
Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Salemba Humanika,
131
Apabila melihat konteks negara di Indonesia yang merupakan Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, lahirnya dan dibentuknya lembaga Peradilan administrasi adalah selain karena adanya jaminan hak perseorangan dalam masyarakat, juga karena adanya jaminan perlindungan harkat dan martabat masyarakat pada umumnya. Pelaksanaan pemberian perlindungan terhadap hak-hak perseorangan itu harus disesuaikan dengan pandangan hidup dan falsafah Pancasila197. Keberadaan peradilan administrasi merupakan salah satu karakteristik dari rechsstaats gedachte di Indonesia. Falsafah Pancasila meletakkan hak dan kewajiban asasi warga masyarakat dalam keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Dengan demikian secara filosofis bahwa tujuan pembentukan peradilan administrasi adalah untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak perorangan dan hak-hak masyarakat secara serasi, seimbang dan selaras antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum198. Hal inilah yang membedakan Peradilan Tata Usaha Negara dengan peradilan administrasi di negara-negara maju dan menganut paham individualismeliberalisme199 serta berlatar belakang falsafah dan budaya serta sosial politik yang berbeda seperti di Perancis, Belanda dan Jerman. Namun demikian, paham 197
Sebagaimana termuat dalam konsideran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara Pancasia dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang serta selara antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dan para warga masyarakat. 198 S.F. Marbun, ibid. hlm. 25 199 Perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa paham individualisme-liberalisme atau sistem demokasi kapitalis menjadi penyebab krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat sejak tahun 1930an, sebagaimana dikemukakan Richard A. Posner: ...the first really frightening and dangerous economic crisis since the Great Depression of the 1930’s, this depession already has had profound economic, political, institutional and intellectual consequences and the consequences may continue to be felt for many years to come.” Richard A. Posner, The Crisis Of Capitalist Democracy, Harvard University Press, Cambridge, Masachusetts and London, England, 2010, hlm. 1
132
individualistik dalam praktik negara-negara tersebut, tidak berlaku secara mutlak. Hal ini terlihat dalam perkembangan yurisprudensi dari conseil d’Etat, ada kecenderungan untuk melihat kepentingan umum atau kepentingan orang banyak yang harus dilindungi. Peradilan Administrasi di negara-negara yang sedang berkembang “developing countries” mengemban tugas yang jauh lebih berat daripada negara-negara yang sudah mapan “settled”. Menurut Paulus Effendi Lotulung200, hal ini disebabkan peradilan administrasi negara harus dapat menjaga keseimbangan yang harmonis dan selaras antara perlindungan terhadap kepentingan umum dan pelayanan umum “public service” dengan perlindungan terhadap kepentingan individu. Dengan kata lain kepentingan pembangungan yang menyangkut kehidupan orang banyak dan kepentingan umum tidak oleh dihambat oleh kepentingan individu. Sebaliknya hakhak individu pun tidak boleh dilanggar secara sewenang-wenang dengan dalih untuk kepentingan umum dan pembangunan. Ada dua istilah yang seolah berhadap-hadapan yaitu antara kepentingan individu “individual interest” dengan kepentingan umum “public interest” namun tidak selamanya kedua kemungkinan itu tidak sejalan. Keberadaan ngara dan penyelenggara negara bukanlah untuk meniadakan salah satunya tetapi lebih untuk mencari keseimbangan diantara kedua kutub tersebut tanpa harus meniadakan yang satu atau yang lainnya. Dalam sistem kenegaraan Indonesia maka pendulum dari kedua kutub tersebut berada pada titik yang lebih mendekati kutub kepentingan umum. Hal ini bisa terlihat dalam UUD 1945 bahwa kolektivitas, kebersamaan, gotong royong lebih diutamakan dari kepentingan-kepentingan yang lebih sempit.
200
Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 61
133
Demikian pula secara tradisional nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat cenderung lebih menekankan kebersamaan daripada individualisme201. b. Unsur-unsur Sengketa Tata Usaha Negara Persoalan pokok negara hukum adalah persoalan kekuasaan khususnya persoalan kewenangan atau wewenang202. Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara 203. Adapun yang dimaksud sengketa Tata Usaha Negara 204 adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka sengketa tata usaha negara terdiri dari beberapa unsur205, yaitu : Pertama, sengketa timbul dalam bidang tata usaha negara. Istilah sengketa206 mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara. Sedangkan yang dimaksud Tata usaha Negara 207 adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah. 201
Sedangkan yang dimaksud
Y. Warella, Kepentingan Umum Dan Kepentingan Perseorangan, Dialogue JIAKP, 2004, hlm. 382. Tersedia di ejournal.undip.ac.id 202 Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi. Wewenang dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Setiap kebijakan atau tindak pemerintah harus bersumber atau bertumpu atas kewenangan yang sah, baik dari sumber attribusi, delegasi maupun mandat, lihat dalam Yudhi Setiawan dan Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, Cacat Yuridis Dalam Prosedur Sebagai Alasan Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Jurnal Equality Volume 13 Nomor 1 Februari 2008, Universitas Sumatera Utara : Medan, hlm. 1 203 Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 204 Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 205 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 6 206 Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 207 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
134
dengan urusan pemerintahan sebagai kegiatan yang bersifat eksekutif208. Kegiatan yang bersifat eksekutif sebagaimana teori Trias Politika adalah kegiatan yang bersifat pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Namun, tata usaha negara tidak hanya melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan kegiatan yang bersifat pelaksanaan peraturan perundang-undangan tetapi juga melaksanakan fungsi untuk menyelesaikan urusan pemerintahan yang penting dan mendesak yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan fungsi yang terakhir ini berkaitan dengan adanya kebebasan bertindak freis Ermessen, discretionary power atau pouvoir discretionare yang menjadi wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Terkait dengan hal ini, Phillipus Hadjon mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif. Nampaknya istilah eksekutif begitu populer digunakan tanpa menyadari kontradiksi yang terdapat dalam pengertian itu sendiri. Pada dasarnya pemerintah tidak hanya melaksanakan undangundang tetapi atas dasar Freis Ermessen dapat melakukan perbuatan-perbuatan lainnya meskipun belum diatur secara tegas oleh undang-undang209. Kedua, sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Ketiga, sengketa tersebut timbul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Antara sengketa Tata Usaha Negara dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara selalu harus ada hubungan sebab akibat. Tanpa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, tidak mengkin sampai terjadi adanya sengketa Tata Usaha Negara. Apabila memperhatikan pengertian sengketa Tata Usaha Negara tersebut di atas, maka sengketa tata usaha negara adalah sengketa di bidang hukum publik sehingga mempunyai konsekwensi yaitu: Pertama, Putusan Peradilan Tata Usaha Negara sifatnya atau berlakunya adalah erga omnes artinya berlaku kepada siapa saja, yang berbeda dengan putusan Peradilan Umum mengenai perkara perdata yang hanya 208
Penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Phillipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, hlm. 138 209
135
berlaku untuk para pihak yang berperkara saja. Kedua, dimungkinkan adanya putusan ultra petita pada putusan Peradilan Tata Usaha Negara sehingga dimungkinkan pula adanya reformatio in pieus. Dalam pengertian sengketa Tata Usaha
Negara
sebagaimana
dimaksud
di
atas
maka
termasuk
sengketa
kepegawaian210 3.2.Keputusan Tata Usaha Negara a. Ruang Lingkup Keputusan Tata Usaha Negara Suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah produk yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara (Jabatan Tata Usaha Negara) berdasarkan wewenang yang ada padanya “attributie” atau diberikan padanya dalam bidang urusan pemerintaha “delegate”. Selanjutnya yang dimaksud urusan pemerintahan ialah kegiatan yang bersifat eksekutif (tidak termasuk di dalamnya kegiatan yang bersifat legislatif dan yudikatif)211. Salah satu kunci yang penting dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah adanya wewenang atau kewenangan yang selalu harus ada dan yang menjadi dasar berpijak bagi pejabat Tata Usaha Negara untuk dapat melakukan tindakan-tindakan hukum yaiu menerbitkan keputusan-keputusan Tata Usaha Negara sebagai salah satu instrumen yuridis dalam menjalankan pemeritahan. Wewenang dalam menjalankan urusan pemerintahan tersebut dapat dilakukan melalui perbuatan
210
Pengertian sengketa tata usaha negara terdapat dalan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 termasuk sengketa kepegawaian. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 ditentukan bahwa sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara 211 Tentang administrasi pemerintahan, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 menyebutkan bahwa administrasi pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan lingkup administrasi pemerintahan tidak hanya aktifitas yang dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan di lingkup lembaga eksekutif saja melainkan mencakup semua aktifitas badan/pejabat pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan di lingkup lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan/pejabat pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
136
atau tindakan yang bersiat atau menurut hukum publik, maupun yang bersifat atau menurut hukum privat. Salah satu sisi yang terpenting dalam penerapan wewenang menurut hukum publik tersebut terutama dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara adalah penerapan wewenang tersebut membawa akibat atau konsekwensi hukum yaitu lahirnya hak dan kewajiban yang bersifat hukum publik bagi warga masyarakat yang bersangkutan, kewenangan mana dapat dipaksakan secara sepihak
(bersifat
unilateral). Pada dasarnya, wewenang hukum publik dikaitkan selalu pada jabatan publik yang merupakan organ pemerintahan “bestuur organ” dan menjalankan wewenangnya dalam fungsi pemerintahan yang dalam segala tindakannya selalu dilakukannya demi kepentingan umum atau pelayanan umum “public service”212. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundag-undangan yang berlaku. Rumusan ini sedemikian luasnya sehingga yang berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah apa saja dan siapa saja yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku pada suatu saat melaksanakan urusan pemerintahan maka menurut undang-undang dapat dianggap berkedudukan sebagai badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karena itu yang menjadi pegangan atau ukuran bukan kedudukan stuktural/organisatoris dari organ atau pejabat yang bersangkutan dalam stuktur atau susunan pemerintahan melainkan ditekankan pada fungsi yang dilaksanakan pada waktu itu yaitu fungsi pemerintahan. Apabila pada saat itu yang dilaksanakan adalah urusan pemerintahan berdasarkan perundangundangan yang memberikan wewenang kepadanya, pada saat itu ia termasuk pejabat Tata Usaha Negara sekalipun secara stuktural organisatoris bukan termasuk dalam jajaran pemerintah/eksekutif sehingga dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.
212
Paulus Effendi otulung, op. cit., hlm. 28
137
Paulus Effendi Lotulung mengemukakan bahwa pandangan demikian sejalan pula dengan Mr. Nicolai di Belanda yang menulis buku berjudul “Bestuursrecht” yang menguraikan tentang pengertian organ pemerintah yang terkandung dalam AWB “Algemen wet Bestuursrecht”. Dikatakan bahwa pembuat UU AWB bermaksud melalui kategori yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1a memperluas pengertian organ pemerintah “bestuurs organ” sehingga meliputi juga instansiinstansi yang sebetulnya secara struktural tidak masuk dalam kategori organ pemerintah, tetapi pada saat tertentu menjalankan fungsi pemerintah/eksekutif. Dalam beberapa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia dapat dilihat perkembangan sebagaimana disebut diatas, dimana pengertian urusan pemerintahan dilihat lebih pada aspek fungsinya bukan semata-mata pada aspek stuktural organisasi atau segi formalnya. Kendati demikian, tidak boleh dilakukan bahwa bagaimanapun juga harus ada peraturan sebagai landasan kewenangan untuk bertindak dalam urusan atau fungsi pemerintahan tersebut, hal mana dinyatakan pada persyaratan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (asas legalitas)213. Bagi Hakim Tata Usaha Negara, pengertian beschikking yang merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang berfungsi sebagai instrumen yuridis pemerintahan yang digunakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melaksanakan tugas kewajiban di bidang urusan pemerintahan itu sangat penting artinya, karena hanya penetapan tertulis saja yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun dengan diundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 maka kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara menjadi lebih luas. Keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha 213
Pasal 1 Angka (2) UU PTUN yang berbunyi : Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ibid., hlm 29
138
Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata214. Namun dengan berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 dimaknai sebagai215 : (a) penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual (b) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif dan penyelenggara negara lainnya (c) berdasarkan ketentuan perundangundangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (d) bersifat final dalam arti lebih luas (e) keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum: dan/atau keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat. Sedangkan format penuangan Keputusan Tata Usaha Negara, semula berdasarkan Undang-undang Pengadilan Tata Usaha Negara hanya keputusan tertulis, selanjutnya diperluas216 bahwa Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat keputusan berbentuk elektronis yang berkekuatan hukum sama dengan keputusan yang tertulis. Jika keputusan dalam bentuk tertulis tidak disampaikan maka yang berlaku adalah keputusan dalam bentuk elektronis. Akan tetapi, dalam hal terdapat perbedaan antara keputusan dalam bentuk elektronis dan keputusan dalam bentuk tertulis, yang berlaku adalah keputusan dalam bentuk tertulis217. Adapun ruang lingkup Keputusan Tata Usaha Negara 218 sebagai berikut :
214
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undangundang Nomor 51 Tahun 2009 215 Pasal 87 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 216 Pasal 38 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 217 Lihat Imam Soebechi, Peratun Dan Kontrol Hukum Secara Utuh (Catatan Awal Tentang Undangundang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dalam Subur M.S. dkk (ed), Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer, Genta Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 8 218 Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
139
(1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku “onwetmatige”. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, apabila keputusan itu : a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat procedural/formal “vormsgebreken” Contoh : Dalam kasus kepegawaian, sebelum keputusan pegawai dikeluarkan, seharusnya pegawai yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri. b. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang besifat materiil/substansial “inhoudsgebreken”. Dalam praktik, ini adalah mnyangut isi keputusan yang bertentangan dengan peraturan dasarnya atau dengan peraturan yang lebih tinggi. Contoh : Keputusan Tata Usaha Negara tentang Izin Mendirikan Bangunan yang tidak sesuai dengan RUTRK “beslemmingsplam”, Izin prinsip suatu perusaaan pertambangan yang tidak sesuai dengan AMDAL, Sertifikat Hak Atas Tanah yang tidak sesuai dengan peruntukannya atau diterbitkan kapada orang yang salah “error in pesona/error in objecto” dan sebagainya c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usah Negara yang tidak berwenang “bevoegdheidsgrebeken”. Ketidakwenangan ini dapat berupa : 1) Ketidakwenangan tentang materi “onbevoegdheid ratione materiale”, yaitu apabila materi/substansi Keputusan Tata Usaha Negara itu bukan menjadi wewenang dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkannya (kompetensi absolut) 2)
Ketidakwenangan tentang tempat/wilayah “onbevoegdheid ratione loci”, yaitu
apabila kewenangan untuk menerbitan Keputusan Tata Usaha Negara itu bukan
140
termasuk dalam wilayah hukum dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkannya, melainkan termasuk kewenangan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di wilayah lain (kompetensi relatif) 3)
Ketidakwenangan tentang waktu “onbevoegdheid ratione tempori” yaitu
apabila keputusan Tata Usaha Negara itu diterbitkan belum atau telah lewat waktu (kedaluwarsa) dari yang ditentukan menurut peraturan yang berlaku (2) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik “Algemene Beginselen van Behoorljk Bestuur/The Principles of the Good Administration”. b. Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara Apabila melihat ruang lingkup keputusan tata usaha negara tersebut di atas, maka ditemukan unsur-unsurnya, yaitu : Pertama, Penetapan tertulis. Keputusan tata usaha negara ditentukan berupa penetapan tertulis219 dan istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya 220. Adapun ketentuan ini dikecualikan yaitu bentuknya memang tidak tertulis tetapi disamakan atau dianggap sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
Keputusan Tata Usaha Negara
ditentukan harus tertulis dikarenakan untuk kemudahan bagi pembuktian. Namun bentuk formal suatu penetapan tertulis tidak menjadi syarat mutlak agar suatu
219
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha jo. Undangundang Nomor 51 Tahun 2009 220 Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 3 tersebut dapat diketahui bahwa menurut pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tidak ada Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak tertulis atau menurut pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 semua Keputusan Tata Usaha Negara harus dengan bentuk tertulis, kecuali Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
141
penetapan tertulis dapat disebut atau termasuk Keputusan Tata Usaha Negara. Oleh karena bentuk formal dari suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak menjadi syarat mutlak agar penetapan tertulis tersebut dapat disebut atau termasuk Keputusan Tata Usaha Negara 221. Lebih lanjut disebutkan bahwa sebuah memo atau nota akan merupakan suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara apabila sudah jelas badan atau pejabat tata usaha negara mana yang mengeluarkan, maksud serta mengenai hal apa isi dari memo atau nota itu, kepada siapa memo atau nota itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya. Istilah penetapan dalam penetapan tertulis tersebut menunjuk pada isi hubungan hukum yang ditetapkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang dapat berupa: (1) kewajiban-kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau untuk membiarkan sesuatu (2) pemberian suatu subsidi atau bantuan (3) pemberian izin (4) pemberian suatu status. Kedua, dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha negara berupa penetapan tertulis tersebut diatas harus dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata usaha negara yaitu badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku222 atau dengan kata lain Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Ukuran atau kriteria agar suatu badan atau pejabat disebut sebagai badan atau pejabat tata usaha negara adalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, badan atau pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Ketiga, berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada ketentuan hukum tata 221 222
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
142
usaha negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain 223. Tindakan hukum tata usaha negara adalah tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan terhadap seseorang atau badan hukum perdata. Oleh karena tindakan hukum dari Badan atau Pejabat tata usaha negara tersebut atas dasar peraturan perundang-undangan menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan, maka dapat dikatakan tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang menimbulkan
akibat hukum mengenai urusan pemerintahan saja yang merupakan tindakan hukum tata usaha negara. Empat, Bersifat konkrit, individual dan final. Bersifat konkrit, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya keputusan Tata Usaha Negara tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju. Apabila yang dituju itu lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan, umpama keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama yang terkena keputusan tersebut. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersiat final, karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud definitif adalah sudah tidak dapat diubah lagi, artinya dengan diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut sudah menimbulkan akibat hukum yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Jadi mutlak dilaksanakan atau sudah tidak ada lagi tindakan upaya hukum alternatif yang bisa ditempuh (apabila itu menimbulkan kerugian terhadap pihak yang bersangkutan) kecuali dengan gugatan.
223
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
143
Lima, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Pengertian menimbulkan akibat hukum adalah menimbulkan akibat hukum tata usaha negara karena penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara. Akibat hukum Tata Usaha Negara tersebut dapat berupa : (1) menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada “declaratoir”. (2), menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru “constitutief”. (3) menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada dan menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru
3.3.Asas-asas umum Pemerintahan Yang Baik a. Latar Belakang Pada saat konsep rechtstaat dan konsep the rule of law diintroduksi pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, suasana ketika itu sangat didominasi oleh gagasan yang menyatakan negara tidak boleh turut campur dalam urusan kehidupan warganya, kecuali dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketertiban, keamanan dan hubungan luar negeri. Adapun tampilnya peranan negara dalam negara nachwakerstaat yang lahir dan berkembang seiring dengan faham ekonomi liberal yang dilandasi oleh slogan laissez faire laissez aller artinya apabila setiap orang diberi kebebasan mengurus ekonominya masing-masing, maka ekonomi negara akan sehat dengan sendirinya dan negara tidak terlibat mencampuri urusan ekonomi warganya. Faham libralisme sebagaimana tersebut di atas menimbulkan akibat negatif dan mencapai puncak krisisnya pada tahun 1930 yakni krisis ekonomi yang melumpuhkan ekonomi
144
sebagian besar negara-negara di dunia. Sejak saat itulah keterlibatan dan campur tangan negara secara perlahan mulai masuk dalam kebidupan masyarakat. Teori negara kesejahteraan atau negara tipe welfare state mulai mengalami perkembangan pesat dan kehadiran serta peranan hukum administrasi juga semakin dirasakan arti pentingnya. Kepekaan hukum administrasi terhadap perkembangan politik semakin menemukan aktualisasinya. Tujuan pokok negara ini tidak saja terletak pada pelaksanaan hukum semata, tetapi juga mencapai keadilan sosial “social gerechtigheid” bagi seluruh rakyat. Konsepsi negara hukum modern menempatkan eksistensi dan peranan negara pada posisi kuat dan besar. Hal ini dikarenakan suatu negara hukum modern mengharuskan setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas hukum dan bersamaan dengan itu kepada pemerintah diserahi pula peran, tugas, dan tanggung jawab yang luas, berat dan kompleks serta rumit. Namun seiring dengan pemberian tugas dan tanggungjawab yang besar itu ternyata dalam praktiknya dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Suatu tindakan hukum pemerintahan dapat dinilai sangat baik
“doelmatig”
apabila sesuai dan masuk dalam pengertian rumusan wewenang pemerintahan yang diberikan oleh undang-undang yang bersangkutan. Namun apabila cara penggunaan wewenang dengan cara yang bersifat sewenang-wenang maka dari segi hukum tindakan demikian sebagai bersifat melawan hukum. Oleh karena itu perlu dasar wewenang dalam peraturan perundang-undangan dan juga pelaksanaan wewenang tersebut dilakukan benar-benar menurut norma-norma keadilan hukum. Kata lain adalah segala tindakan pemerintah hendaknya menurut hukum baik in appearance maupun in reality. Indroharto224 menambahkan bahwa kesulitannya adalah walaupun tiap wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara selalu dirumuskan dalam peraturan tertulis tapi kenyataannya terdapat berbagai ragam rumusan mengenai 224
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm.87
145
modalitas pelaksanaan wewenang pemerintahan yang bersangkutan. Dalam hal demikian maka teori hukum dan yurisprudensi peradilanlah yang harus menetapkan sampai seberapa jauh tepatnya wewenang tersebut boleh dilakukan. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada saat melakukan suatu tindakan hukum pemerintahan harus menelusuri wewenangnya dalam peraturan hukum tertulis atau hukum tidak tertulis yang berlaku. Dalam menggunakan wewenang ini harus selalu berpedoman pada ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh teori hukum serta jurisprudensi yang diantaranya adalah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik 225. Pengertian good governance sendiri ada beberapa macam diantaranya menurut UNDP good governance adalah suatu hubungan sinergi antara negara, sektor swasta (pasar) dan masyarakat yang berlandaskan pada sembilan karakteristik yakni : partisipasi, rule of law, transparansi, sikap responsive, berorientasi konsensus, kesejahteraan/kebersamaan, efektif dan efisien, akuntabilitas dan visi strategis. Sementara itu pengertian good governance menurut Caroline G. Hernandez226 bahwa: “In general, governance can be good or bad: good when collective goals are served well, the processes of decision making are observed, governors performs their functions and exercise their power properly and the organization is sustained. It is bad when only the goal of a few, especially the governors are served, precribed
225
Istilah algemene beginselen van behoorlijk bestuur atau the general principles of good administration yang diterjemahkan oleh para sarjana dengan berbagai istilah. Ada yang menterjemahkan beginselen dengan prinsip-prinsip, dasar-dasar atau asas-asas, sedangkan istilah behoorlijk diterjemahkan dengan yang sebaiknya, yang baik, yang layak atau yang patut. Ada sarjana yang menterjemahkan dengan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik (selanjutnya disingkat AUPB) atau layak atau yang patut (selanjutnya disingkat AUPL). Dalam kepustakaan administrasi Indonesia, algemene beginselen van behoorlijk bestuur tersebut populer dengan sebutan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 226 Lihat Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2015, hlm. 166
146
processes are breached, power and entitlements are abused and when the organization’s survival is threatened or the organization fragment or dies”.
Pada dasarnya good governance adalah merupakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, teratur, tertib, tanpa cacat dan berwibawa. Oleh karena itu Nomensen Sinamo227 mengemukakan bahwa tindak lanjut untuk mewujudkan pemerintahan yang baik “good governance” dan bersih “clean governance” dengan mengaktualisasikan secara efektif asas-asas umum pemerintahan yang baik yang digunakan sebagai hukum tidak tertulis dengan melalui pelaksanaan hukum dan penerapan hukum serta pembentukan hukum. Kebebasan Badan atau Pejabat Tata usaha Negara untuk menentukan kebijaksanaan sendiri berdasarkan diskresi sebagaimana tersebut selalu merupakan kebebasan menurut undang-undang yang tidak mutlak sifatnya. Norma-norma tidak tertulis Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik tetap berlaku terhadap keputusankeputusan yang diambil berdasarkan wewenang yang diskresioner tersebut. Normanorma tersebut dapat ditemukan dalam teori hukum, praktek yurisprudensi peerintahan maupun peradilan, dan juga ke dalam kesadaran akan norma-norma moral dan keadilan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan yang dihadapi bukan persoalan wetmatigheid saja (ada dasar dalam peraturan atau tidak) tetapi juga persoalan rechtmatigheid (menurut hukum atau tidak, adil atau tidak, patut atau tidak, tepat atau tidak, benar atau tidak)228. Munculnya Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana tersebut di atas, tidak lepas dari adanya konsep negara welfare state sebagai pengganti negara nachwakerstaat. Adapun peranan negara nachwakerstaat atau negara penjaga malam lahir dan berkembang seiring dengan faham ekonomi liberal yang dilandasi oleh 227 228
Ibid., hlm. 167 Indroharto, op. cit., hlm. 89
147
slogan laissez faire laissez aller yang artinya apabila setiap orang diberi kebebasan mengurus ekonominya masing-masing maka ekonomi negara akan sehat dengan sendirinya dan negara tidak terlibat mencampuri urusan ekonomi warganya. Akibat negatif dari faham liberalisme ini mencapai puncak krisisnya pada tahun 1930 yakni timbulnya krisis ekonomi yang melumpuhkan ekonomi sebagian besar negara-negara di dunia, sehingga untuk mengatasi krisis ekonomi ini diperlukan keterlibatan negara. Sejak saat inilah keterlibatan dan campur tangan negara secara perlahan
mulai
merambat merasuki kehidupan masyarakat. Konsep negara hukum klasik dalam arti negara hukum formil sebagaimana diintroduksi oleh Immanuel Kant dan Fichte mulai ditinggalkan dan diganti dengan konsep negara kesejahteraan atau welfare state atau lazim disebut dengn istilah social legality atau social rechtsstaat yang sifat dan coraknya berbeda sama sekali dengan konsep negara hukum klasik. Teori Negara Kesejahteraan atau negara tipe welfare state mulai mengalami perkembangan pesat dan kehadiran serta peranan hukum administrasi juga semakin dirasakan arti pentingnya. Kepekaaan hukum administrasi terhadap perkembangan politik semakin menemukan aktualisasinya. Konsep Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik terkait dengan upaya-upaya untuk meningkatan perlindungan hukum “rechtsbecherming” bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan yang menyimpang. Selain itu juga untuk mengawal agar tercipta tindak pemerintahan “bestuurs handlingen” yang bersih (absah). Sandaran perlindungan hukum bagi rakyat tidak hanya terdapat pada ketentuan hukum tertulis melainkan juga terdapat pada ranah teks hukum yang tertulis. Pengakuan terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai bagian dari norma hukum pemerintahan dan perlindungan hukum warga adalah konsekwensi berkembangnya konsep negara hukum. Dalam konsep negara hukum dewasa ini, mewajibkan negara untuk menyelenggarakan kepentingan umum dalam arti yang seluas-luasnya atau juga disebut negara hukum “welvaartsstaat”, “welfare state”. Peran negara hukum kesejahteraan berlandaskan dalil “staats bemoeienis”
148
yaitu negara dan pemerintah terlibat aktif dalam mewujudkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat (kesejahteraan umum), di samping menjaga ketertiban dan keamanan “trust en orde”. Saat ini peran itu ditambah lagi yaitu terselenggaranya pemerintah yang bersih 229. Pemerintahan yang bersih “good governance” merupakan ideologi lama yang baru mendapat tempat ketika kondisi negara sudah dalam keadaan kacau baik di bidang politik, ekonomi, sosial hukum dan administrasi termasuk didalamnya mekanisme/proses dan lembaga-lembaga yang menanganinya. Prinsip ini merupakan prinsip yang mengetengahkan keseimbangan antara masyarakat “society” dengan negara “state” serta negara dengan pribadi-pribadi “personals”. Artinya setiap kebijakan publik “public policy” harus melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta230. Pada waktu membahas rancangan undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Kehakiman yang mewakili Pemerintah mengemukakan bahwa dalam praktik ketatanegaraan maupun dalam Hukum Tata Usaha Negara di Indonesia belum mempunyai kriteria tentang “algemene beginselen van ehoorlijk bestuur” tersebut yang berasal dari negara Belanda231. Berdasarkan keterangan pemerintah tersebut bahwa pemerintah belum setuju jika sampai asas umum pemerintahan yang baik dijadikan sebagai alasan gugatan
atau dasar pengujian
Keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan batal atau tidak sah. Namun, ternyata tidak berapa lama setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dinyataan mulai diterapkan secara efektif tanggal 14 Januari 1991, sudah ada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan dengan menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara dengan alasan bertentangan dengan asas 229
Ridwan, Memunculkan Karakter Hukum Progresif Dari Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Solusi Pencarian Dan Penemuan Keadilan Substantif, dalam Jurnal Hukum Pro Justitia, April 2009, Volume 27 No. 1 hlm. 78 230 Nuraini, Pemberantasan Korupsi Melalui Good Governance, dalam Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Volume 13 Nomor 3 Tahun 2013, hlm. 19 231 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm. 92
149
umum pemerintahan yang baik, seperti misalnya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang tanggal 16 Juli 1991 No. 06/PTUN/G/PLG/1991 232. Dengan demikian ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) huru b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 sebenarnya hanya meneguhkan atau memberi dasar hukum tertulis saja terhadap praktik yang sudah berlaku sebagai dasar pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara. b. Sumber-Sumber Hukum Administrasi Negara Penguasaan ilmiah macam dan seluk beluk sumber hukum sangat penting untuk pembentukan law making naupun penerapan hukum law applying. Dalam pembentukan, sumber hukum penting untuk menjamin ketertiban susunan hukum dan isi hukum legal structure and legal substance. Penguasaan sumber hukum dimaksudkan untuk menjamin penggunaan hukum yang cepat ketika memecahkan suatu persoalan hukum233. Ada dua macam sifat sumber hukum yaitu sumber hukum yang bersifat formal “formele rechtsbronen” dan sumber hukum yang bersifat materiil ”materiele rechtsbronen”234. Sumber-sumber Hukum Administrasi dibedakan antara sumber hukum administrasi materiil menunjuk pada faktor-faktor yang mempengaruhi isi dari suatu undang-undang misalnya agama, filsafat, sejarah, sosiologis, antropologis dan lain-lain. Sedangkan sumber hukum administrasi Indonesia formil adalah berbagai bentuk aturan hukum yang ada yang oleh Utrecht dikelompokan ke dalam: undang-undang, praktik (konvensi), yurisprudensi dan doktrin (pendapat para ahli
232
Jazim Hamidi, Yurisprudensi tentang Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak, Tatanusa, Jakarta, 2000, hlm. 37-72 233 Penguasaan yang dalam tentang substansi hukum sangat penting untuk menentukan ukuran kualitas bagi seorang sarjana hukum. Selain itu adalah penguasaan secara ilmiah sumber hukum dan penguasaan ilmu dan metode penemuan hukum (rechtsvinding), Bagir Manan, Kewajban Hakim Memahami, Memelihara dan Menerapkan UUD 1945, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVI No. 309 Agustus 2011, hlm. 9 234 Ibid.
150
administrasi). Praktik (konvensi) tersebut adalah asas-asas umum pemerintahan yang Baik235. Sumber hukum dalam arti bentuk aturan hukum dalam uraian di atas ada dua kategori yaitu: (1) Hukum tertulis236 yang berupa peraturan perundang-undangan dalam arti material yang berisi pengaturan tentang wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk melakukan tindakan-tindakan hukum Tata Usaha Negara dan yang mengatur tentang kemungkinan untuk menggugat tindakan-tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersangkutan. (2) Hukum Tidak Tertulis atau Hukum Kebiasaan. Perkembangan dan penerapan asas-asas tersebut juga sudah terjadi dalam yurisprudensi Hakim Perdata dimana dikenal adanya perbuatan-perbuatan penguasa misalnya bersifat sewenang-wenang, dilakukan dengan itikad buruk, melanggar norma kepatutan dan sebagainya. Kedudukan yurisprudensi sebagai sumber hukum baik dalam kajian yuridis maupun akademis tidak perlu diragukan lagi. Indonesia tidak menganut sistem statut law secara ketat dan juga tidak menganut common law237 secara katat. Kedua sistem
235
Sesudah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, bentuk asas umum pemerintahan yang baik adalah dalam bentuk tertulis yaitu asas-asas umum pemerintahan sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sedangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam bentuk tidak tertulis dapat diketahui dari pendapat yang dikemukakan oleh para pakar. 236 Hukum tertulis ini dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu (1) peraturan perundang-undangan hukum TUN yang bersifat umum yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bentuk dan isi tindakan-tindakan hukum TUN serta hubungan-hubugan hukum yang dilahirkan pada umumnya (2) peraturan perundang-undangan hukum TUN yang bersifat khusus yang memberikan wewenangwewenang kepada para Badan atau Pejabat TUN untuk melakukan tindakan-tindakan hukum TUN dalam mengurus atau mengatur suatu bidang kehidupan dalam masyarakat 237 Hukum dikonsepsikan sebagai subsistem yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat manusia, law is a cultural institution yang kelahirannya dibidani dan dibesarkan oleh masyarakat itu sendiri. Hukum dipahami sebagai sesuatu yang fleksibel yang mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, ekonomi, informasi, hubungan dengan luar negeri, perkembangan ideologi, politik dan keamanan, dalam M. Fauzan, Hakim Sebagai Pembentuk Hukum Yurisprudensi, Majalah Varia Peradilan N0. 244 Maret 2006, hlm. 43
151
ini diberi tempat dan kesempatan yang sama dalam mengelola hukum di Indonesia238. Namun tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau putusan hakim tingkat banding yang waaupun telah berkekuatan hukum tetap serta merta menjelma menjadi hukum yurisprudensi karena untuk dapat dikategorikan sebagai hukum yurisprudensi masih harus melalui tahapan proses eksaminasi dan notasi dari Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi tetap. Berdasarkan hasil penelitian BPHN 1995 menyimpulkan bahwa putusan hakim baru dapat dikualifikasikan sebagai hukum yurisprudensi, apabila putusan hakim tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : (1) Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan (2) Putusan hakim tersebut harus merupakan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (3) Putusan hakim tersebut telah dijadikan dasar untuk memutus kasus yang sama secara berulang-ulang dalam waktu yang lama (4) Putusan hakim tersebut telah memenuhi rasa keadilan masyarakat (5) Putusan hakim tersebut telah dibenarkan oleh Mahkamah Agung239. Kelemahan mendasar pandangan tersebut menurut M. Fauzan240 adalah terletak pada istilah hakim yang dikerucutkan pada hakim agung saja sehingga hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding tidak memiliki legalitas pembentukan hukum yurisprudensi. Padahal dalam praktik peradilan justru hakim tingkat pertama (judex factie) yang langsung bersentuhan dengan masyarakat pencari keadilan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan hukum kasus itu bukan semata-mata dari aspek yuridis tetapi lebih dari itu hakim dapat mempertimbangkan dari aspek sosiologis dan psychologis yang memungkinkan 238
Istilah yurisprudensi berasal dari bahasa latin Jurisprudentia yang berarti pengetahuan hukum. Dalam praktik peradilan di Indonesia, yurisprudensi dikonsepsikan sebagai suatu keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan Pasal 22 A.B. yang menjadi dasar keputusan hakim lainnya di kemudian hari untuk mengadili perkara serupa dan keputusan hakim tersebut lalu mejadi sumber hukum bagi pengadilan, ibid., hlm. 44 239 Mahkamah Agung RI, Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, Jakarta, 2003, hlm. 21 240 Dalam M. Fauzan, op. cit., hlm. 44
152
putusan hakim itu lebih berbobot dan dalam kasus yang sama telah lama diikuti oleh hakim berikutnya. Tetapi hanya karena tidak banding dan tidak kasasi, meskipun telah berkekuatan hukum tetap tetap putusan hakim tingkat pertama tidak dapat lolos ke dalam kualifikasi hukum yurisprudensi karena tidak terpenuhinya syarat belum dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan hanya karena belum diberikan rekomendasi sebagai yurisprudensi tetap. Optimalisasi penerapan lembaga yurisprudensi dipandang sebagai kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki celah-celah kelemahan dan menterjemahkan kemajuan budaya masyarakat yang berkaitan dengan penegakan hukum. Oleh karena itu hakim dituntut perannya dalam mengembangkan pesan hukum yang masih tersembunyi dibalik undangundang yang penuh dengan keterbatasan dan kekurangannya dalam mengantisipasi perkembangan zaman. Dalam tradisi sistem hukum common law dikenal dengan istilah precedent241 yang berkaitan dengan asas stare decisis. Adapun perbedaannya sebagai berikut : Pertama, dalam sistem yurisprudensi (tradisi kontinental) tidak ada kewajiban untuk mengikuti putusan serupa yang pernah ada, Kalaupun mengikuti semata-mata karena pertimbangan praktis dan psikologis. Praktis maksudnya mudah dalam menyusun pertimbangan-pertimbangan (fakta dan hukum). Psikologis maksudnya kalau tidak mengikuti (putusan hakim dari jenjang lebih tinggi) ada kemungkinan (kekhawatiran) putusan atas kasus yang serupa itu akan dibatalkan dalam upaya hukum (banding atau kasasi). Lazim disebut dalam sistem precedent, putusan hakim terdahu mengikat (binding). Dalam sistem yurisprudensi (kontinental) kekuatan mengikat putusan hakim terdhulu bersifat persuasif belaka (persuasive). Kedua, dalam sistem Adapun pengertian precedent yaitu (1) Black’s Law Dictionary : An adjudged case or decision of a court considered as furnishing an example or authority for an identical or similar case after ward arising or similar question of law...Prior cases which are close in facts or legal principles to the case under consideation are called precedent. (2) Oxford Dictionary of Law, Precedent : A Judment or decision of the court ...used as an authority for reaching the same decision in subsequent cases, ibid. 241
153
yurisprudensi (tradisi kontinental) hakim lebih bebas memutus, lebih kreatif, lebih terbuka mengikuti keyakinannya, baik atas dasar keyakinan hukum maupun rasa keadilan. Tidak demikian dalam sistem precedent (stare decisis) yang wajib mengikuti putusan terdahulu242. Salah satu asas pokok negara hukum demokratis adalah adanya kekuasaan atau wewenang istimewa administrasi negara yang diperoleh atas dasar peraturan perundang-undangan yang berasal baik dari pusat maupun daerah, bersifat mengikat umum dan diperoleh melalui atribusi. Asas ini yang dinamakan dengan asas legalitas. Asas legalitas menghendaki setiap tindakan administrasi negara berdasarkan peraturan perundang-undangan tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum. Adapun yang menjadi persoalan yang dihadapi adalah suatu pemerintahan yang menyatakan dirinya negara hukum demokratis, apabila dihadapkan pada suatu undang-undang yang tidak mengandung nilai-nilai keadilan di dalamnya, kemudian undang-undang itu dijadikan sumber wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat hukum publik. Meskipun suatu tindakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara nerupakan tindakan yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun dilihat dari substansi negara hukum demokratis, wewenang itu belum tentu bersumber pada undang-undang yang adil. Apabila suatu wewenang dirumuskan secara sumir, samar-samar atau tidak jelas, lebih-lebih mengingat keterbatasan kemampun undang-undang untuk mengatur semua hal secara lengkap, maka disini peranan ilmu hukum, yurisprudensi dan asas umum pemerintahan yang adil dan patut akan sangat penting artinya untuk tampil menentukan batas-batas wewenang tersebut. Disinilah arti penting norma-norma hukum tidak tertulis243 untuk melengkapi undang-undang tertulis. Asas-Asas Umum 242
Ibid., hlm. 15 Norma hukum tidak tertulis ini dalam hukum administrasi Belanda disebut algemene beginselen van behoorlijk bestuur atau di Perancis disebut les principle generaux de droti contumier public atau 243
154
Pemerintahan yang Baik merupakan asas-asas yang mengandung suatu nilai hukum yang berada diantara norma-norma yuridis (hukum) dan etika (moral/kepatutan) yang menjembatani norma-norma hukum dan norma-norma etika. Bellefroid dan Hommes menyebut norma dasar atau pedoman untuk pembentukan hukum. Konijnenbelt mengatakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik mempunyai arti penting karena merupakan pdoman arah bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam menemukan atau menentukan hukum pada waktu mereka melaksanakan fungsi pemerintahan. Selanjutnya Indroharto244 mengemukakan bahwa fungsi dari AsasAsas Umum Pemerintahan yang Baik adalah: Pertama, merupakan pedoman bagi perbuatan pemerintahan atau pedoman dalam menemukan atau menentukan hukum oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Kedua, Merupakan suatu alasan untuk mengganggu gugat Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan kepada instansi yang berwenang. Ketiga, Asas-asas tersebut oleh instansi yang berwenang dapat merupakan dasar untuk menguji apakah keputusan yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak. c. Macam-Macam Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Hukum administrasi adalah termasuk ranah ilmu hukum dalam disiplin ilmu hukum publik yang berisi peraturan-peraturan yang menyangkut administrasi yaitu (bestuursrecht). Dengan demikian pemerintah dalam pengertian ini juga dipandang sebagai fungsi pemerintahan (bestuurs-functie) yang merupakan tugas penguasa (overheid-staak) yang tidak termasuk dalam
tugas pembentukan undang-
undang/legislasi maupun peradilan/yudikatif. Van Wijk-Konijnenbelt mengatakan secara umum bahwa hukum administrasi merupakan instrumen yuridis bagi penguasa (overhead) untuk secara aktif terlibat dengan masyarakat, pada sisi lain hukum administrasi merupakan hukum yang principles of natural justice atau Inggris The principle of Natural Justice, Belgia Algemene Rechtsbegenselen atau Jerman termasuk lingkungan Verfassungsprinzipien. 244 Indroharto, op.cit., hlm. 90
155
memungkinkan anggota masyarakat mempengaruhi penguasa dan memberikan perlindungan terhadap penguasa. Van Wijk-Konijnenbelt menggambarkan hukum administrasi meliputi : Pertama, mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat.
Kedua, mengatur cara-cara parisipasi warga negara
dalam proses pengaturan dan pengendalian tersebut. Ketiga, perlindungan hukum (rechtsbescherming) dan Keempat, menetapkan norma-norma fundamental bagi penguasa untuk pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) Unsur-unsur pokok dalam hukum administrasi di Indonesia juga mengikuti perkembangan
hukum
administrasi
sebagaimana
digambarkan
Van
Wijk-
Konijnenbelt yang meliputi : Pertama, sarana-sarana bagi penguasa untuk mengatur/mengendalikan (bestuuren) rakyat. Kedua, cara-cara partisipasi rakyat. Ketiga, perlindungan hukum (rechbescherming) preventif/represif dan Keempat, penormaan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 245Asas-asas tersebut pada hakikatnya merupakan asas-asas hukum tidak tertulis yang awalnya diperoleh dari penelitian putusan-putusan hakim atau Yurisprudensi di Belanda. Dengan kata lain bahwa pengertian Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik pada dasarnya diilhami dari “algemene beginselen van behoorlijk bestuur”
di Belanda, les principes
generaux du droit contumier public di Perancis, the principles of, natural justice, di negara-negara yang berdasar hukum Anglo Saxon. Setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 maka bentuk dan asas umum pemerintahan yang baik adalah dalam bentuk tertulis dan dalam bentuk tidak tertulis yaitu: Pertama, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tertulis dapat dijumpai dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
245
Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 145
156
Baik yang dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme246. Kedua, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tidak tertulis. Hal ini dapat diketahui dari pendapat yang dikemukakan para ahli hukum. Namun diantara pendapat ahli hukum terrsebut tidak ada kesamaan tentang apasaja yang termasuk Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai dasar penguji suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Hal ini dikarenakan asas-asas tersebut merupakan “levende beginselen” sehingga berkembang menurut praktik khusus melalui putusan pengadilan. Kuntjoro Purbopranoto dengan mengambil alih sebagian besar mata kuliah R. Crince Le Roy menyampaikan adanya tiga belas247 asas meliputi : asas kepastian hukum
“principle
of
legal
security”,
asas
keseimbangan
“principle
of
proportionality”, asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh “principle of equality”, asas bertindak cermat “principle of carefulness”, asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh “principle of motivation”, asas jangan mencampuradukkan kewenangan “principle of non-misuse of competence”, asas permainan yang layak “principle of fairplay”, asas keadilan atau kewajaran “principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness”, asas menanggapi pengharapan yang wajar “principle of meeting raise expectation”, asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal “principle of undoing the consequences of an annuleddecision”, asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi “principle of protecting the personal way of life”, asas kebijaksanaan “sapentia” dan asas penyelenggaraan kepentingan umum “principle of public service”. Pada mulanya timbul keberatan terhadap rumusan “algemene beginselen van behoorlijk bestuur” yang dihasilkan oleh Panitia de Monchy sebagaimana terurai di 246
Asas-Asas Umum Pemerinatahan yang Baik dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 meliputi sebagai berikut : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas. 247 Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 146
157
atas. Keberatan terutama datang dari para pejabat administrasi atau pegawai pemerintahan di Nederland. Hal ini dikarenakan mereka khawatir rumusan algemene beginselen van behoorlijk bestuur tersebut akan dijadikan hakim adinistrasi sebagai tolok ukur untuk menguji tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh mereka. Namun keberatan tersebut telah kehilangan relevansinya. Freies Ermessen tetap dapat digunakan oleh administrasi negara dalam melakukan fungsinya melaksanakan bestuurzorg dan bahkan pada masa sekarang ini algemene beginselen van behoorlijk bestuur telah diterima secara luas dan dimuat dalam berbagai peraturan perundangundangan di Nederland serta dalam berbagai yurisprudensi. Sesuai dengan latar belakang yang menjadi motivasi dirumuskannya asas-asas tersebut yakni adanya keinginan untuk meningkatkan pemberian perlindungan hukum bagi warga negara dan bagi pejabat tata usaha negara maka dengan diterimanya rumusan asas-asas pemerintahan itu akhirnya keinginan terebut dapat direalisasikan 248. Namun tidak semua asas-asas umum pemerintahan yang baik cocok bagi negara Indonesia. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik akan digali dari Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, hukum adat, teori ilmu hukum dan yurisprudensi yang selanjutnya asas-asas tersebut diuji ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan yurisprudensi. Sebagaimana pendapat Paulus Effendi Lotulung bahwa Asas-asas umum pemerintahan yang baik akan berkembang melalui yurisprudensi melalui kegiatan penemuan hukum atau rechtvinding 249. Berkaitan dengan kegiatan menggali, menemukan dan merumuskan asas-asas umum pemerintahan yang baik melalui yurisprudensi harus mengacu kepada pembentukan hukum nasional yang merupakan pancaran dari pandangan hidup bangsa yang terjelma dalam sila-sila Pancasila itu sendiri. Selain itu yurisprudensi 248
SF. Marbun, op.cit., hlm. 371 Pengembangan asas-asas umum pemerintahan yang baik dimungkinkan dengan menggali kearifan lokal di berbagai daerah di Nusantara yang sangat kaya dengan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal. Dengan demikian jumlah kriteria tersebut tidaklah limitatif, dalam Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 147 249
158
tersebut harus pula mampu menemukan keserasian dengan cita-cita hukum sebagaimana termuat dalam cita-cita hukum yang terkandung dalam Pokok-Pokok Pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut : Pertama, Hukum yang berwatak melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa pernyataan tersebut mempergunakan istilah segenap untuk bangsa dan istilah seluruh
untuk tumpah darah. Hal ini berarti segenap menunjuk pada individu-
individu dan individu itu dirangkum dengan tetap memperhatikan individualitasnya masing-masing, sedangkan seluruh menunjukkan bahwa individualitas ditiadakan dan kesemuanya akan terangkum sebagai suatu kesatuan yang utuh. Kedua, Hukum yang mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, Hukum yang berasal dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan. Keempat, Hukum yang berdasarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dituntut adanya kearifan hakim untuk tidak secara bulat menerima dan menerapkan pengertian-pengertian ataupun doktrin yang berlaku dalam hukum administrasi negara yang berasal dari Barat atau paham yang tidak sesuai Falsafah Pancasila. Para hakim Pengadilan Tata Usaha Negara inilah yang nantinya harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk diterapkan dan diimplementasikan dalam putusan-putusannya250 Menurut Adriaan W. Bedner terkait dengan prinsip-prinsip tata usaha negara yang baik (AUPB)251 bahwa prinsip-prinsip tata usaha negara yang baik telah secara umum diterima sebagai bagian dari perlengkapan hukum para hakim tata usaha negara. Namun penerapan masing-masing alasan tersebut telah menunjukkan keberagaman opini dan penafsiran di kalangan hakim yaitu Pertama, pelanggaran hukum dan peraturan yang berlaku paling sedikit menimbulkan masalah. Para hakim memberikan 250 251
Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hlm. 12 Adriaan W. Bedner, op.cit., hlm. 132
159
nilai penting kepatuhan pada prosedur oleh tergugat, dalam beberapa perkara hingga mereka memerintahkan pembatalan keputusan yang digugat, padahal telah tampak jelas bahwa substansi keputusan tersebut benar. Penafsiran yang lebih jauh adalah bahwa pelanggaran terhadap hukum perdata dimasukkan ke dalam alasan ini dan bahwa permasalahan demikian tidak dirujukkan ke pengadilan perdata. Kedua, penyalahgunaan wewenang sejauh ini tidak terlalu banyak dipergunakan namun memiliki banyak potensi dalam kondisi yang dihadapi administrasi kenegaraan Indonesia. Ada sedikit kebingungan karena penafsiran alasan ini dalam penjelasan sehingga konsep ini tidak menambahkan apapun pada alasan pertama: pelanggaran hukum dan peraturan yang berlaku. Ketiga, Adanya kesewenang-wenangan. Masalah besar yang timbul adalah bahwa beberapa hakim tidak mafhum bahwa mereka tidak bisa menimbang seluruh kepentingan yang terkait, yang memperkuat kritik bahwa hakim tata usaha negara cenderung berusaha menggantikan peran administrasi. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik atau prinsip-prinsip umum administrasi yang baik adalah alasan terakhir yang bisa digunakan hakim tata usaha negara dalam uji materiil dan adalah alasan yang paling bermasalah. Hal ini dikarenakan ketiadaan konsistensi dalam penafsirannya dan sementara dalam beberapa perkara prinsip yang diberlakukan tampaknya dipilih secara serampangan. Beberapa prinsip tidak diterapkan secara konsisten seperti prinsip kesetaraan dalam perkara perintah pembongkaran. Dikatakan Bedner, beberapa hakim nampaknya tidak memahami bahwa prinsip-prinsip tata usaha negara yang baik merupakan alasan pengujian yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari kepatuhan pada prosedur resmi. Dalam beberapa perkara hal ini menyebabkan para hakim menyatakan bahwa sebuah keputusan sesuai dengan prinsip-prinsip tata usaha negara yang baik karena apa yang dituliskan hukum telah diikuti dengan benar252.
252
Ibid., hlm. 132
160
3.4.Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara a. Rapat Permusyawaratan Setelah surat gugatan beserta resume gugatan diterima oleh Ketua Pengadilan dan Panitera maka oleh Ketua Pengadilan surat gugatan tersebut diperiksa dalam rapat permusyawaratan253 yang menentukan bahwa dalam perusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang menentukan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan
itu dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar dalam hal : (a) Pokok gugatan 254 tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan; (b) Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan (c) Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak; (d) Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (e) Gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya. Pengertian rapat permusyawaratan tidak dirumuskan secara jelas, oleh karena itu muncul berbagai macam pendapat sebagai berikut 255 : Pertama, Ketentuan tersebut ada kesamaan dengan Pasal 105 ayat (1) Wet op de Raad van State yang berbunyi : Devoorzitter kan onmiddelijk uitspraak doen, indien het verzoek kennelijk niet ontvankelijk is dan wel indien de verdere behandeling van de zaak hem niet nodig voorkomt omdat : 253
Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa yang dimaksud pokok gugatan adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut, Penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan huku tertentu dan oleh karenanya mengajukan tuntutannya. 255 Abdullah Gofar, Teori Dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Tersedia di eprints.unsri.ac.id 254
161
a. hetverzoek kennelijk ongegrond is; b. het aangevallen besluit kennelijk niet in stand kan blijven; c. het aangevallen besluit door het bevoegde overheidsorgaan is ingestrokken of gewijzigd, en dit orgaan kennelijk aan de bezwaren van de verzoeker is tegemoet gukomen
Dalam pasal tersebut tidak terdapat kata-kata de voozitte in de raadkamer namun hanya de voorzitter saja. Oleh karena itu menurut A. Soedjadi kata rapat permusyawaratan supaya dianggap tidak ada atau tidak perlu dibaca karena kenyataannya Ketua Pengadilan saja yang membuat penetapan yang bersangkutan. Kedua, Acara Rapat Permusyawaratan dilakukan sendiri oleh Ketua Pengadilan sebelum Majelis Hakim Pemeriksa perkara pokok sengketa ditunjuk. Penetapan atas hasil Rapat Permusyawaratan akan didengar oleh para pihak (Penggugat dan tergugat) sebelum hari sidang ditentukan dst. Menurut SF Marbun bahwa acara rapat permusyawaratan dilakukan sendiri oleh Ketua Pengadilan sebelum Majelis Hakim memeriksa perkara pokok sengketa yang ditunjuk. Ketiga, Sebagaimana pendapat Indroharto bahwa memang dikenal rapat permusyawaratan. Dalam pelaksanaan rapat permusyawaratan yang hadir tidak hanya Ketua pengadilan saja namun juga hadir para Anggota Majelis dan Panitera atau Panitera Pengganti yang akan ditunjuk untuk memeriksa perkara yang dimaksud. Keempat, Philipus M. Hadjon berpendapat sama dengan Indroharto tentang apa yang dimaksud dengan rapat permusyawaratan seperti yang disebutkan dalam perumusan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam praktik di Pengadilan Tata Usaha Negara, rapat permusyawaratan dijelaskan sebagai berikut : Dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 02/PLW/1993-PEND/PTUN-JKT terdapat pertimbangan hukum yang menyebut
162
bahwa rapat permusyawaratan diartikan sebagai raad kamer, dalam pemeriksaan kamar tertutup, dilakukan oleh Ketua Pengadilan tanpa adanya proses antar pihakpihak dan tanpa dilakukan pemeriksaan di muka umum, hal mana sesuai dengan maksud dan hakikat acara singkat dalam dismissal prosedure. Dengan demikian proses tersebut pada dasarnya merupakan suatu penanganan yang berifat inkuisitoir belaka yang merupakan penahapan atau ase pendahuluan terhadap gugatan yang diajukan256. Prosedur sebagaimana tersebut diatas adalah suatu prosedur penyelesaian yang disederhanakan “vereenvoudigde behandeling, dismissal procedure” dimana kepada Ketua Pengadilan diberikan wewenang untk memutuskan dengan mengeluarkan suatu penetapan, yaitu penetapan dismissal yang dilengkapi dengan pertimbanganpertimbangan bahwa suatu gugatan yang diajukan ke pengadilan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar. Terkait dengan pengertian rapat permusyawaratan tidak dijelaskan secara rinci, dengan demikian muncul bemacam-macam pendapat. Salah satunya bahwa rapat permusyawaratan diartikan sebagai raad kamer, dalam peeriksaan kamar tertutup, dilakukan oleh Ketua Pengadilan tanpa adanya proses antar pihak-pihak dan tanpa dilakukan pemeriksaan di muka umum, hal mana sesuai dengan maksud dan hakikat acara singkat dalam proses dismissal prosedure 257. Oleh karena itu, proses tersebut pada dasarnya merupakan suatu penanganan yang bersifat inkuisitoir belaka yang merupakan pertahapan atau fase pendahuluan terhadap gugatan yang diajukan. Acara rapat permusyawaratan atau pemeriksaan dismissal dilakukan sendiri oleh Ketua dan Ketua dapat pula menunjuk seorang Hakim sebagai Rapourteur (raportir).
Pemeriksaan
dismissal
dilakukan
secara
singkat
dalam
Rapat
permusyawaratan sebelum Majelis Hakim memeriksa pokok sengketa. Hasil
256 257
Ibid. hlm. 178 Dalam pertimbangan Putusan Nomor 02/PLW/1993-PEND/PTUN-JKT
163
pemeriksaan dismissal dituangkan dalam bentuk penetapan dan ditandatangani Ketua atau Wakil Ketua apabila Ketua berhalangan dan Panitera Kepala/wakil panitera, serta diucapkan dalam Rapat Permusyawaratan yang didengar oleh kedua belah pihak. Penetapan tersebut diucapkan sebelum hari persidangan ditentukan dengan di dengar oleh kedua belah pihak. Apabila para pihak tidak puas terhadap penetapan Ketua tersebut, mereka dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan penetapan, Rapat Permusyawaratan258. b. Pemeriksaan Persiapan. Selain dikenal acara rapat permusyawaratan dikenal pula acara pemeriksaan persiapan. Acara pemeriksaan persiapan dilakukan setelah melewati Acara Rapat Permusyawaratan atau setelah gugatan lewat sensor tahap pertama. Sebelum pemeriksaan pokok sengketa di muka umum dimulai, sebelumnya dilakukan penelitian yang bersifat administratif terhadap berkas gugatan oleh staf kepaniteraan. Baik rapat permusyawaratan maupun pemeriksaan persiapan merupakan kekhususan dalam Hukum Acara Peradilan Administrasi dan kedua acara tersebut dilakukan sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai259. Prosedur ini dibuat untuk mengkompensasi ketidaksetaraan informasi antara penggugat dan tergugat. Dalam tahap ini, hakim bisa meminta keterangan dari 258
Acara rapat permusyawaratan atau pemeriksaan dismissal dilakukan sendiri oleh Ketua dan Ketua dapat pula menunjuk seorang Hakim sebagai Rapourteur (raportir). Pemeriksaan dismissal dilakukan secara singkat dalam Rapat permusyawaratan sebelum Majelis Hakim memeriksa pokok sengketa. Hasil pemeriksaan dismissal dituangkan dalam bentuk penetapan dan ditandatangani Ketua atau Wakil Ketua apabila Ketua berhalangan dan Panitera Kepala/wakil panitera, serta diucapkan dalam Rapat Permusyawaratan yang didengar oleh kedua belah pihak. Penetapan tersebut diucapkan sebelum hari persidangan ditentukan dengn di dengar oleh kedua belah pihak. Apabila para pihak tidak puas terhadap penetapan Ketua tersebut, mereka dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan penetapan, 259 Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sebelum pemeriksaan pokok sengketa di muka umum dimulai, Majelis Hakim yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan, wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugutan yang kurang jelas atau untuk mematangkan perkara. Penjelasan Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 ini adalah kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara.
164
Tergugat, sementara mereka harus memberikan saran kepada penggugat untuk memperbaiki dan melengkapi gugatan. Batas waktu untuk tahap ini adalah 30 hari namun Penjelasan menambahkan bahwa hakim tidak boleh terlalu ketat menerapkan batasan ini260. Pemeriksaan persiapan ini dapat dilakukan oleh Hakim Anggota yang ditunjuk oleh ketua Majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Ketua Majelis. Oleh karena pemeriksaan persiapan dilakukan sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimuka umum dimulai, maka pemeriksaan persiapan dapat dilakukan di ruangan musyawarah dalam sidang tertutup untuk umum, tidak harus di ruangan sidang, bahkan dapat pula dilakukan di dalam kamar kerja hakim tanpa memakai toga. Acara pemeriksaan persiapan dilakukan setelah melewati Acara Rapat Permusyawaratan atau setelah gugatan lewat sensor tahap pertama dan sebelum pemeriksaan sengketa dilakukan. Maksud disediakannya Acara Pemeriksaan Persiapan adalah guna mengimbangi dan mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data yang diperukan yang berada dalam kekuasaan Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berada pada posisi yang tidak seimbang. Dengan disediakannya Acara Pemeriksaan Persiapan diharapkan posisi tersebut akan seimbang, yakni dengan cara memberikan kesempatan kepada hakim untuk meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, bahkan pejabat tata usaha negara lainnya yang dianggap perlu oleh hakim261 Dalam praktiknya, kinerja pemeriksaan persiapan memang memenuhi standar minimal yang ditetapkan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, namun tidak
260
Mahkamah Agung berpendapat dalam Surat Edaran No. 2/1991 hal. III bahwa pemeriksaan persiapan harus dilakukan untuk mematangkan perkara sebelum tahap pemeriksaan pokok. Selain itu, surat edaran ini memuat beberapa pedoman praktis misalnya bahwa pemeriksaan bisa dilakukan di dalam kantor hakim dan ia tidak diwajibkan untuk menggunakan jubah. Cukup penting juga bahwa surat edaran ini menyatakan bahwa majelis hakim bisa menolak gugatan atau memerintahkan penundaan pada tahap ini. 261 dalam SF. Marbun, op. cit. hlm. 284.
165
lebih dari itu. Tugas pertama para hakim dalam membantu penggugat menyempurnakan gugatannya biasanya dipenuhi dengan baik. Saran dalam penjelasan untuk tidak terlalu ketat dengan batasan waktu262 ini biasanya dipenuhi. Demikian juga tugas kedua mendapatkan keterangan dari tergugat tidak menimbulkan masalah. Para hakim menyebutkan bahwa mereka tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi yang mereka minta dan berkas yang diteliti memastikan pernyataan tersebut. Namun, tahap pemeriksaan persiapan ini tidak dimanfatkan semaksimal mungkin263. Perkembangan yang tampaknya memperkuat pemeriksaan persiapan adalah diperkenalkannya hakim raportir oleh beberapa Ketua Pengadilan. Namun berdasarkan penelitian Adriaan W. Bedner264 hakim raportir hanya ditunjuk dalam beberapa perkara dan melaksanakan tugas mereka sebelum dimulainya pemeriksaan persiapan. Mereka memberikan laporan mereka ke ketua pengadilan dan saran mereka nyaris tidak berpengaruh pada proses berikutnya. Pemeriksaan persiapan tidak ditujukan sebagai bentuk mediasi. Apabila melihat latar belakang pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Pasal 63 harus dipandang sebagai pengejawantahan sikap integralistik yang nampaknya mendukung usaha rekonsiliasi sebagaimana dalam proses perdata hakim diwajibkan untuk mendorong tercapainya penyelesaian sengketa pada awal gugatan (Pasal 139 ayat (1) HIR). Namun menurut Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1991, sengketa hanya bisa diselesaikan di luar pengadilan. Larangan ini biasanya dipatuhi oleh para hakim 262
Mahkamah Agung berpendapat dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1991 menentukan bahwa pemeriksaan persiapan harus dilakukan untu mematangkan perkara sebelum tahap pemeriksaan pokok. Selain itu surat edaran ini memuat beberapa pedoman praktis misalnya bahwa pemeriksaan bisa dilakukan di dalam kantor hakim dan ia tidak diwajibkan untuk mengenakan jubah. Surat Edaran ini juga menyatakan bahwa majelis hakim bisa menolak gugatan atau memerintahkan penundaan pada tahap ini. 263 Adriaan W. Bedner, Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, ctk. Pertama, HuMa Van Vollenhoven Institute KITLV-Jakarta, Jakarta, 2010, hlm. 1. Terjemahan dari Adriaan W.Bedner, Administrative Courts in Indonesia: a socio-legal study, Van Vollenhoven Institute, 1995, Penerjemah Indra Krishnamurti 264 Ibid., hlm. 147
166
tata usaha negara, kecuali ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Amarullah Salim yang dalam pemeriksaan persiapan selalu menanyakan kepada kedua pihak apakah mereka bersedia menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai. Sebagaimana dikatakan oleh Adriaan W. Bedner265 terkait dengan upaya damai dalam pemeriksaan persiapan yaiu dalam kasus Sumali melawan Kepala SMA Maria Mediatrix yaitu seorang siswa SMA yang tidak dinaikkan kelasnya. Oleh seorang hakim yang secara berhati-hati mendorong kedua pihak untuk mencapai kesepakatan dalam pemeriksaan persiapan. Perundingan di luar pengadilan dilakukan dan akhirnya tercapai kompromi. Lebih dalam batasan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara adalah Poerwantana melawan Kepala Kantor BTN Cabang Semarang dimana tergugat menanyakan apakah sengketa ini tidak dapat diselesaikan melalui mediasi. Hakim menyampaikan bahwa ia tidak diijinkan untuk melakukan hal tersebut, namun tentu saja kedua pihak bisa berusaha berunding di luar pengadilan. Hakim tersebut akhirnya mengabulkan waktu untuk pembicaraan tersebut. Namun pengadilan tata usaha negara tidak melakukan mediasi. Dalam rangka mencapai tujuan dari pemeriksaan persiapan, segala sesuatu yang akan dilakukan untuk pemeriksaan persiapan tersebut diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan Ketua Majelis. Oleh karena itu, dalam pemeriksaan persiapan, memanggil Penggugat untuk menyempurnakan gugatnnya dan/atau Tergugat untuk dimintai keterangan atau penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak selalu harus didengar secara terpisah. Pemeriksaan persiapan terutama untuk menerima bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan dengan gugatan. Dalam hal adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat diartikan sebagai replik duplik. Jika sampai terjadi hal yang sedemikian, harus dibuat berita acara pemeriksaan persiapan.
265
Adriaan W. Bedner, op.cit., hlm. 147
167
Menurut Indroharto266, dalam pemeriksaan persiapan dapat dilakukan pemeriksaan setempat, pemeriksaan surat-surat yang disimpan oleh instansi-instansi tertentu, atau mendengarkan saksi-saksi yang dapat memberikan kejelasan mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengn perkara yang bersangkutan. Dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak perlu dilaksanakan oleh Majelis hakim yang lengkap, cukup oleh salah seorang Hakim Anggota yang khusus ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat yang dituangkan dalam bentuk penetapan. c. Perdamaian Salah satu perbedaan hukum acara peradilan tata usaha negara dengan hukum acara perdata adalah tidak dikenal kemungkian terjadinya perdamaian antara pihakpihak di dalam persidangan267. Apabila kedua pihak mencapai kesepakatan di luar sidang sementara proses di pengadilan tata usaha negara belum selesai maka penggugat harus menarik gugatannya secara resmi dengan menyebutkan alasanalasan pencabutannya dalam sidang terbuka. Kasus ini kemudian akan dicoret dari catatan pengadilan. Perintah pencoretan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum268. Menurut S.F. Marbun269, prinsip musyawarah merupakan salah satu prinsip dasar dalam kehidupan masyarakat dan dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menanamkan prinsip adanya kewajiban bagi setiap penyelenggara kekuasaan negara dalam menyelenggarakan kekuasaannya
266
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 89 267 Penyelesaian sengketa TUN tidak dikenal adanya perdamaian baik dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 268 Lihat butir VIII Surat Edaran Mahkamah Agung RI yaitu Apabila antara pihak dalam sengketa TUN di luar pemeriksaan sidang Pengadilan sampai terjadi perdamaian maka (1) Penggugat mencabut gugatannya secara resmi dalam sidang terbuka untuk umum dengan menyebutkan alasan pencabutannya (2) Apabila pencabutan gugatan dimaksud dikabulkan maka hakim memerintahkan agar panitera mencoret gugatan tersebtu dan register perkara (3) Perintah pencoretan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. 269 SF. Marbun, op. cit., hlm.219
168
untuk selalu berdasarkan musyawarah. Demikian halnya dengan penyelesaian sengketa melalui putusan peradilan administrasi hanya akan dijadikan sarana terakhir, apabila prinsip musyawarah dan perdamaian telah diupayakan semaksimal mungkin. Selanjutnya, apabila dihubungkan dengan konsep negara hukum Indonesia (asas kekeluargaan, kerukunan, keserasian, keseimbangan dan keselarasan) sudah tentu adanya musyawarah dan perdamaian itu tidak bertentangan dan bahkan sejalan dengan cita-cita negara hukum Indonesia. Ada permasalahan yang nantinya bisa muncul yaitu ketika beberapa pejabat tidak memenuhi kesepakatan setelah gugatan ditarik. Selanjutnya ketika hal itu diketahui, batas waktu untuk mengajukan gugatan baru telah daluwarsa sehingga akses ke pengadilan tata usaha negara terhalang. Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung berusaha menyelesaikan hal ini melalui yurisprudensi yaitu Putusan No. 03/G/PTUN-Bdg./1993 : mengumumkan kesepakatan perdamaian ini dalam sidang terbuka dan hakim ketua sidang menambahkan “jika tergugat tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari kesepakatan ini, penggugat diizinkan untuk menghubungi pengadilan tata usaha negara lagi”. Tanggal kesepakatan ini tidak dipenuhi akan menandai dimulainya perhitungan batas daluwarsa perkara. Pendekatan ini nampaknya berhasil karena masalah tersebut tidak terjadi lagi. Beberapa hakim menambahkan bahwa rasa takut terhadap publisitas negatif mungkin juga memainkan peranan270. d. Pemeriksaan Acara Biasa Suatu gugatan diperiksa dengan acara biasa dikarenakan dua sebab kemungkinan yaitu, Pertama, kemauan yang berasal dari penggugat sendiri karena penggugat tidak punya alasan yang cukup untuk mengajukan permohonan agar gugatannya diperiksa dengan acara cepat. Kedua, karena permohonan penggugat
270
Lihat dalam penelitian Adriaan W. Bedner, hlm. 148
169
agar gugatannya diperiksa dengan acara cepat tidak diterima hakim, sedangkan upaya hukum lain tidak tersedia sehingga gugatan diperiksa dengan acara biasa. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang271, namun sebelumnya harus memperhatikan ketentuan tentang kompetensi relatif dan ketentuan tentang sengketa tata usaha negara tertentu yang harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. Gugatan yang diajukan oleh Penggugat diterima oleh Panitera tetapi tidak langsung dimasukkan ke dalam daftar perkara, sebelum Penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditafsir oleh Panitera 272.
Uang muka biaya
perkara adalah biaya yang dibayat lebih dahulu sebagai uang panjar oleh pihak Penggugat terhadap perkiraan biaya yang diperlukan dalam proses berperkara seperti biaya kepaniteraan, biaya materai, biaya saksi, biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan di tempat lain dan ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim273. Setelah uang muka biaya perkara dibayar, gugatan dimasukkan dalam daftar perkara untuk mendapat nomor perkara dan gugatan baru diproses untuk selanjutnya 274. Pembayaran uang muka biaya perkara sifatnya adalah imperatif. Tanpa adanya pembayaran uang muka biaya perkara, gugatan tidak akan diproses lebih lanjut. Demikian halnya apabila gugatan dikirim melalui pos. Apabila pembayaran uang muka biaya perkara belum dipenuhi maka dianggap surat biasa. Namun jika sudah jelas merupakan surat gugatan maka harus tetap disimpan di Panitera Muda Bidang Perkara dan harus dicatat dalam Buku Pembantu Register dengan mendasarkan pada tanggal diterimanya gugatan tersebut.
271
Pasal 53 ayat 1 UUPTUN Pasal 59 ayat (1) jo, ayat (2) UU PTUN. Melalui SE MARI Nomor 2 Tahun 1991 ditentukan biaya perkara sekurang-kurangnya sebesar Rp. 50.000,-(lima puluh ribu rupiah) 273 Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UUPTUN 274 Pasal 59 ayat (3) dan Pasal (4) UU PTUN 272
170
Terhadap surat-surat gugatan yang masuk, perlu dilakukan
penelitian
administratif275. Adapun yang berwenang melakukan penelitian administratif adalah Panitera, Wakil Panitera dan Panitera Muda Perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan. Sedangkan yang menjadi objek penelitian adminitratif hanya segi formal tentang bentuk dan isi gugatan apakah sudah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 56 namun tidak sampai menyangkut segi materiil dari gugatan. Dalam tahap penelitian administratif Panitera harus memberikan petunjuk seperlunya dan dapat meminta kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan yang dipandang perlu. Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara dengan dalih apapun juga yang berkaitan dengan masalah gugatan. Terkait hal ini Adriaan W. Bedner 276 mengemukakan bahwa setelah memperhatikan berkas perkara dan pengamatan di PTUN Jakarta, Bandung dan Semarang, tahap pendaftaran dalam rangkaian prosedur biasanya berjalan lancar. Panitera seharusnya bisa memberikan lebih banyak saran dalam penulisan gugatan, setelah memperhatikan mutu hampir semua gugatan yang masuk. Bedner tidak menemukan panitera yang menolak gugatan bahkan meskipun sebenarnya ia bisa melakukan misalnya bila batasan daluwarsa perkara jelas-jelas sudah terlampaui. Dalam rangka memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya, maka setelah perkara dimasukkan dalam daftar perkara dan memperoleh nomor perkara, oleh staf Kepaniteraan membuat resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukan kepada Ketua Pengadilan dengan bentuk formal yang isi pokoknya yaitu : (1) Siapa subjek gugatan dan apakah Penggugat maju sendiri atau diwakili oleh kuasa (2) Apa yang menjadi objek gugatan dan apakah objek gugatan tersebut termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara 277(3) Apakah yang menjadi alasan gugatan dan apakah alasan memenuhi unsur Pasal 53 ayat 2 butir a dan b Undang-undang 275
Pasal 62 ayat (2) huruf b UU PTUN yang menentukan bahwa perlu diadakan penelitian terhadap syarat-syarat gugatan sebagaimana Pasal 56 UUPTUN. 276 Adriaan W. Bedner, op. cit., hlm. 143 277 Sebagaimana Pasal 1 butir 3 UU No. 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009)
171
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. (4) Apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan, apakah hanya pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara saja atau ditambah dengan tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. e. Pemeriksaan Acara Cepat Pemeriksaan acara cepat merupakan karakteristik khusus bagi Hukum Acara PTUN. Pemeriksaan dengan acara cepat278
merupakan pengecualian terhadap
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pemeriksaan Acara Biasa. Pengajuan gugatan dalam pemeriksaan dengan acara cepat pada prinsipnya adalah sama dengan acara biasa. Perbedaannya adalah suatu gugatan diperiksa acara cepat atau acara biasa tergantung pada alasan-alasan yang diajukan oleh penggugat dalam permohonannya agar gugatannya diperiksa dengan acara cepat dan permohonan agar gugatannya diperiksa dengan acara cepat dan permohonan dimasukkan dalam surat gugatan. Dalam permohonan itu hendaknya dimuat alasan-alasan adanya kepentingan penggugat yang cukup dan sangat mendesak279 untuk mohon agar pemeriksaan terhadap gugatannya dilakukan dengan acara cepat. Berdasarkan ketentuan tersebut maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut : Pertama, dalam surat gugatan harus sudah dimuat atau disebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar dari Penggugat untuk mengajukan permohonan agar pemeriksaan sengketa dipercepat. Kedua, berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh penggugat tersebut, dapat ditarik kesimpulan adanya kepentingan dari Penggugat yang cukup mendesak bahwa pemeriksaan terhadap sengketa tata usaha negara tersebut memang perlu dipercepat.
278
UU PTUN memungkinkan pemeriksaan dengan acara cepat oleh satu hakim untuk memberikan kepastian hukum sesegera mungkin. Hal ini dilakukan bukan saja pemeriksaan dilakukan lebih cepat, namun hakim juga harus memberikan putusannya dengan lebih cepat. 279 Sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan : Apabila terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat
172
Adapun pengertian “kepentingan penggugat yang cukup mendesak” mempunyai sifat yang kasuistis sehingga kepada Ketua Pengadilan diberikan kebebasan untuk membuat penilaian terhadap alasan-alasan yang diajukan oleh Penggugat dalam permohonannya agar sengketa Tata Usaha Negara dapat dipercepat pemeriksaannya. Selanjutnya dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan supaya pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dipercepat, mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. Dengan demikian yang mempunyai wewenang untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat adalah Ketua Pengadilan yang dituangkan dalam bentuk penetapan ketua pengadilan. Sebelum Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan Penggugat, Ketua pengadilan akan melakukan dalam rapat permusyawaratan terhadap gugatan yang sudah diadakan penelitian administratif oleh staf kepaniteraan. Pemeriksaan didahului dengan pemeriksaan apakah gugatan memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan sebagaimana dimuat dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a, b, c, d, e 280 maka Ketua Pengadilan akan mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar tanpa melakukan pemeriksaan terhadap alasan-alasan yang diajukan Penggugat dalam permohonannya agar sengketa tata usaha negara
280
Pasal 62 ayat (1) berbunyi : Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal : a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan; b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan; c. Gugatan terebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak; d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usah Negara yang digugat; e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya
173
dipercepat pemeriksaannya. Terhadap penetapan Ketua tersebut, Penggugat dapat mengajukan upaya hukum yang berupa perlawanan281. Apabila hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua pengadilan menunjukkan bahwa gugatan tidak memenuhi semua ketentuan Pasal 62 ayat (1) maka Ketua Pengadilan baru memeriksa apakah dari alasan-alasan yang dibuat atau disebutkan dalam surat gugatan, dapat ditarik kesimpulan bahwa memang terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak untuk dikabulkan permohonan agar pemeriksaan sengketa tata usaha negara dipercepat. Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan tersebut dapat berupa permohonan dari Penggugat tidak dikabulkan atau permohonan dari Penggugat dikabulkan: Pertama, permohonan dari penggugat tidak dikabulkan maka Ketua pengadilan akan mengeluarkan penetapan bahwa permohonan dari Pengugat tersebut ditolak atau tidak dikabukan. Terhadap penetapan Ketua Pengadilan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum 282. Kedua, apabila permohonan dari Penggugat dikabulkan maka Ketua Pengadilan akan mengeluarkan penetapan bahwa permohonan dari Penggugat diterima atau dikabulkan dan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan tersebut, Ketua pengadilan menentukan tentang hari, tempat dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan283. Dengan penetapan, ketua pengadilan menunjuk hakim tunggal untuk melakukan pemeriksaan dengan acara pemeriksaan cepat284. Permasalahan mengenai acara cepat adalah apa kriteria yang digunakan ketua pengadilan untuk menentukan kepentingan penggugat cukup mendesak. Adriaan W. Bedner285 mengungkapkan bahwa sulit untuk menemukan kriteria yang diterapkan hakim. Beberapa permintaan pemeriksaan dengan acara cepat nampaknya masuk 281
Sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 98 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 283 Pasal 99 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 284 Pasal 99 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 285 Adriaan W. Bedner, op. cit., hlm. 156 282
174
akal namun tetap ditolak tanpa penjelasan yang memuaskan. Contoh gugatan terhadap keputusan Bank Indonesia untuk membekukan semua rekening penggugat dimana ketua PTUN Semarang menolak permintaan pemeriksaan dengan acara cepat karena menurutnya penggugat tidak memiliki kepentingan mendesak. Selain itu menurut Bedner, yang kurang mendapat perhatian baik penyusun undang-undang maupun Mahkamah Agung adalah hubungan antara pemeriksaan dengan acara cepat dan penundaan. Pemeriksaan sengan acara cepat jauh kurang penting dalam praktik pengadilan tata usaha negara dibandingkan penundaan. Selain masalah-masalah yang disebutkan di atas, ketiadaan pemeriksaan dengan acara cepat pada tingkat banding atau kasasi sangat mengurangi nilai tambah.
175
B. Kerangka Pemikiran Bagan 3 : Kerangka Pemikiran Disertasi Teori Keadilan Sosial
Grand Teory
Negara Hukum (Teori Negara Hukum, Teori Welfare state) Pengadilan Tata Usaha Negara Judicial Activism (Teori Realism, sociological jurisprudence, behavior
Middle Theory
jurisprudence, critical legal studies)
Metode Penemuan Hukum Interpretasi yuridis, Hermeneutika Penemuan Hukum Progesif
Penalaran/ argumentasi Konstruksi Hakim Progresif (Teori Hukum Progresif) Putusan Hakim Berkualitas (teori keadilan)
Applied Theory