BAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA A. Deskripsi Singkat Pada bab ini akan dibahas tentang Kedudukkan Peradilan Agama di Indonesia. Peradilan Agama di Indonsia mempunyai kedudukan yang istimewa karena dilihat dari sistem kekuasaan kehakiman sebagai salah satu lembaga penegakan hukum, Peradilan Agama merupakan salah satu bentuk Peradilan khusus. Di sisi lain, eksistensi Peradilan Agama bagi umat Islam dalam konteks syariah, dimaknai sebagai salah satu bentuk penegakan ajaran Islam. Tujuan Instruksional Khusus (TIK) pada pertemuan ini adalah mahasiswa akan dapat menjelaskan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia. B. Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Menurut Pasal 24 UUD 1945: "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undangundang". Berdasarkan ketentuan ini, maka diundangkan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara Dimana letak Mahkamah Agung menurut UU No. 14 Tahun 1970? Letak kedudukan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 10 ayat (2) ditempatkan sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan sekaligus merupakan peradilan tingkat kasasi atau tingkat terakhir serta melaksanakan pengawasan tertinggi bagi semua lingkungan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4). Oleh karena masing-masing lingkungan peradilan terdiri dari Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung, maka susunan badan-badan peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA).
2. Lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan Mahkamah Agung. 3. Lingkungan
Peradilan
Militer
adalah
Mahkamah
Militer
(Mahmil),
Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) dan Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung) yang ada pada Mahkamah Agung. 4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan PN, PA, Mahmil dan PTUN disebut Pengadilan Tingkat Pertama karena pengadilan
ini
yang
pertama
kali
menerima,
memeriksa,
mengadili
dan
menyelesaikan perkara pada lingkungannya masing-masing. PT, PTA, Mahmilti dan PTTUN disebut pengadilan tingkat banding karena ia menerima perkara bandingan yang berasal dari pengadilan tingkat pertama pada lingkungannya masing-masing. Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding disebut menjalankan fungsi judex facti, artinya semua perkara baik di tingkat pertama maupun di tingkat banding akan diperiksa secara keseluruhan, baik menyangkut fakta-fakta maupun bukti-bukti lainnya dengan pemeriksaan lengkap. Sementara Mahkamah Agung tidak melakukan fungsi judex facti, karena Mahkamah Agung tidak memeriksa perkara secara keseluruhan. Ia hanya melihat apakah hukum telah diterapkan oleh pengadilan tingkat pertama dan pengadi Ian tingkap banding sebagaimana mestinya. Selanjutnya Mahkamah Agung menilai dan memilih mana yang benar. Oleh karenanya, Mahkamah Agung tidak bisa disebut sebagai pengadilan tingkat ketiga. Maksud diadakannya Mahkamah Agung yang tunggal dan bukan bersifat judex facti adalah untuk uniformitas hukum. C. Kompetensi Absolut Peradilan Dari empat lingkungan peradilan yang telah ada, masing-masing mempunyai batas kewenangan mengadili (yurisdiksi) absolut sendiri. Lingkungan peradilan umum menurut UU Nomor 2 Tahun 1986 bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata. Sementara kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara adalah memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Lingkungan Peradilan Militer mempunyai kewenangan mengadili tindak pidana umum dan tindak pidana militer yang dilakukan oleh anggota ABRI (TNI dan Polri). Sejajar dengan ketiga lingkungan peradilan di atas, didudukkanlah lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman. Untuk memenuhi pelaksanaan
ketentuan Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 di lingkungan Peradilan Agama, diundangkanlah UU Nomor 7 Tahun 1989. Pada Pasal 49 ditetapkan tugas kewenangan Peradilan Agama adalah untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata di bidang: i.
perkawinan;
ii.
kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Islam
iii.
wakaf dan shadaqah. Sifat kewenangan masing-masing lingkungan peradilan bersifat absolut. Apa
yang telah ditentukan menjadi yurisdiksi suatu lingkungan peradilan, menjadi kewenangan mutlak baginya untuk memeriksa dan memutus perkara. Kewenangan mutlak ini disebut kompetensi absolut atau yurisdiksi absolut. Setiap perkara yang tidak termasuk bidang kewenangannya, secara absolut pengadilan yang bersangkuta tidak berwenang untuk mengadili. Bagaimana sikap hakim menghadapi perkara yang tidak termasuk kewenangnnya? Setelah dia memeriksa dan meneliti secara seksama dengan jalan menguji patokan batas yurisdiksinya, maka hakim harus menjatuhkan "putusan negatif' berupa pernyataan hukum dalam amar putusan: "menyatakan Pengadilan Agama secara absolut tidak berwenang memeriksa dan mengadili". Hakim tidak boleh menjatuhkan "putusan positif' berupa penolakan atau pengabulan gugat. Satu-satunya pilihan hukum yang dapat diterapkan hakim hanya berupa pernyataan "tidak berwenang mengadili". Dasar pertimbangannya bertitik tolak dari asas kompetensi absolut yang menggariskan bahwa setiap kasus perkara yang tidak termasuk kewenangan yurisdiksinya, secara mutlak tidak berwenang untuk mengadili. D. Pembinaan Peradilan Agama Pembinaan di lingkungan peradilan menurut UU Nomor 14 Tahun 1970 ada dua macam, yaitu: a. Pembinaan Teknis Peradilan oleh Mahkamah Agung Pembinaan teknis peradilan (teknis yustisial) secara garis besar berkenaan dengan tugas-tugas pengadilan atau proses peradilan, yaitu dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu, pembinaan teknis ini berupa pengarahan terutama dalam penerapan hukum oleh para hakim, baik hukum substansial maupun hukum prosedural. Pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung dilakukan dengan berbagai jalur dan metode:
a. Melalui jalur penerbitan pedoman atau petunjuk dalam pelaksanaan tugas-tugas pengadilan. Pembinaan ini dimuat dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), dan Surat Tuada Man Uldilag. Ini merupakan pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan, terutama untuk kelancaran jalannya peradilan. b. Melalui jalur penyebaran himpunan yurisprudensi. Dalam hal ini mahkamah Agung telah menyusun dan menerbitkan Edisi Putusanputusan Pengadilan Agama Dalam Serial Yurisprudensi Indonesia. c. Jalur lain melalui penataran dan lokakarya. b. Pembinaan secara organisatoris, administratif dan finansial. Pembinaan
ini
untuk
masing-masing
peradilan
diserahkan
kepada
departemen yang membawahi masing-masing peradilan yang bersangkutan. Sementara pembinaan Peradilan Agama dilakukan oleh Departemen Agama yang meliputi bidang organisasi, administrasi, dan keuangan. Sedangkan tugas pengawasan dilakukan terhadap jalannya peradilan, terutama dalam kegiatan teknis non yustisial, dan kegiatan administrasi murni. Di samping itu, pengawasan dilakukan terhadap perilaku hakim, baik di dalam lingkungan kedinasan maupun di luar kedinasan. Dengan berlakunya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1970 pada 31 Agustus 1999, terjadi perubahan dalam pembinaan peradilan. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) : "Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung". Latar belakang "satu atap" tersebut adalah untuk menunjang kemandirian hakim. Oleh karenanya secara bertahap dalam waktu paling lama 5 tahun akan berlangsung penyatuan lingkungan peradilan itu secara administratif, organisatoris dan finansial di bawah Mahkamah Agung. Namun khusus untuk Peradilan Agama dikecualikan, yaitu tidak ada ketentuan yang merupakan batas waktu sampai kapan proses penyatuan Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung harus sudah dilaksanakan (Pasal 11 A ayat (1) dan (2) UU Nomor 35 Tahun 1999). Oleh karenanya selama belum ada peralihan Peradilan Agama dari Depag ke MA, maka peradilan agama masih berada di bawah Depag. Hal ini berdasarkan Penjelasan Pasal 1 angka 2 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 1999 yang menentukan :
"Selama belum dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap berada di bawah kekuasaan Depag" E. Kaftan Peradilan Agama dengan Otonomi Daerah Dengan lahirnya undang-undang tentang otonomi daerah yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999, maka perlu dilihat posisi peradilan agama. Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 mengatur bahwa "Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain". Berdasarkan penjelasan di atas, peradilan tidak menjadi obyek otonomi daerah, apalagi peradilan agama secara jelas berkaitan dengan agama Islam. Ketentuan ini dipandang sudah tepat dan logis karena dengan demikian kebijakan pemerintah pusat dalam bidang agama dapat diterapkan secara seragam dan utuh di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, tugas dan wewenang peradilan agama tidak dilimpahkan ke daerah. Pengelolaannya tetap dilakukan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, adanya kebijakan otonomi daerah dapat saja mempengaruhi proses kinerja peradilan agama, terutama sebagai akibat adanya UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang berpengaruh terhadap anggaran peradilan agama. F. Rangkuman Peradilan Agama sebagai peradilan khusus merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata di bidang: perkawinan; kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Islam serta wakaf dan shadaqah. Terkait dengan lahirnya UU Nomor 35 Tahun 1999 terjadi perubahan pembinaan di beberapa lingkungan peradilan. Pembinaan secara administratif, organisatoris dan finansial yang semula berada di bawa masing-masing departemen, dalam jangka waktu lima tahun akan dialihkan di bawah Mahkamah Agung. Namun khusus untuk Peradilan Agama dikecualikan, yaitu tidak ada ketentuan yang merupakan batas waktu sampai kapan proses penyatuan Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung hares sudah dilaksanakan (Pasal 11 A ayat (1) dan (2) UU Nomor
35 Tahun 1999). Oleh karenanya selama belum ada peralihan Peradilan Agama dari Depag ke MA, maka peradilan agama masih berada di bawah Depag. G. Pendalaman. Baca referensi A2 Bab V.