BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR
A. Deskripsi Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama merupakan matakuliah wajib fakultas yang diberikan kepada mahasiswa pada semeter VI, setelah mahasiswa menempuh mata kuliah Hukum Islam I dan Mata Kuliah Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam pada semester-semester sebelumnya. Mata kuliah ini akan menjelaskan kepada mahasiswa tentang kedudukkan Peradilan Agama sebagai salah satu bentuk peradilan khusus yang ada di Indonsia. Selain itu akan menjelaskan pula tentang tahap-tahap beracara di lingkungan peradilan agama. Mata kuliah ini memberikan manfaat kepada mahasiswa pengetahuan beracara di lingkungan peradilan, salah satu tuntutan bagi seorang lulusan sarjana hukum untuk mengetahui praktek hukum formil di lingkungan peradilan, di samping penguasan hukum materiilnya. Mata kuliah ini juga akan bermanfaat secara sinergis ketika mahasiswa mengambil mata kuliah Hukum Acara Perdata karena adanya beberapa kesamaan. Sebagai Peradilan Khusus, hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan agama secara umum menggunakan hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara tersendiri. Tujuan Instruksional Umum (TIU) mata kuliah ini adalah Setelah mengikuti kuliah ini (pada akhir semester) mahasiswa akan dapat menerapkan prosedur beracara dalam perkara-perkara yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan tersebut, penyusunan bahan ajar ini dibagi dalam 9 bab dengan 14 kali tatap muka. Kegiatan tatap muka menunjukkan kegiatan yang dirancang secara mingguan, sementara 9 bab menunjukkan pembagian materi kuliah yang akan dan dapat dipelajari mahasiswa. Mata kuliah ini dirancang tidak hanya semata-mata untuk kegiatan di kelas, tetapi ada beberapa perkuliahan yang diselenggarakan di Pengadilan Agama untuk mengenalkan mahasiswa pada praktek
beracara langsung di lingkungan peradilan. Kegiatan tersebut akan diberi wadah kegiatan yang disebut Kuliah Kerja Lapangan. Bahan Ajar ini akan dijabarkan dalam sistematika bab-bab sebagai berikut: 1. Pengantar 2. Kedudukkan Peradilan Agama 3. Kewenangan Peradilan Agama 4. Asas-asas Umum Peradilan Agama 5. Perbedaan dan Persamaan Sistem Beracara di Limgkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama 6. Pengaj uan Gugatan 7. Pemeriksaan Perkara 8. Pembuktian 9. Pemberian Putusan 10. Upaya Hukum terhadap putusan. Bahan Ajar ini dapat dipergunakan secara maksimal, apabila mahasiswa melengkapi diri dengan sumber-sumber bacaan yang dijadikan referensi dalam pembuatan bahan ajar ini, mengingat bahan ajar ini dibuat secara garis besar sekedar untuk memberikan gambaran umum tentang praktek beracara di lingkungan peradilan agama. Pada Bab I mahasiswa akan diberikan pengantar secara keseluruhan tentang materi perkuliahan dan pegertian-pengertian umum tentang peradilan agama, sehingga Tujuan Instruksional Khusus (TIK) pada tatap muka ke satu adalah Mahasiswa akan dapat menjelaskan tentang pengertian pengadilan, peradilan, peradilan agama dan peradilan Islam. B. Pengertian Peradilan dan Pengadilan Dalam ilmu hukum, peradilan merupakan terjemahan dari rechtspraak dalam bahasa Belanda. Peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi keadilan dalam suatu keputusan. Proses ini diatur dalam suatu peraturan hukum acara. Sedangkan pengadilan menunjuk pada suatu susunan instansi yang memutus perkara. Dalam menjalankan tugasnya, pengadilan menjalankan peradilan.
Dengan demikian peradilan tidak terlepas dari hukum acara, dan pembentukan instansi pengadilan mempuyai kaitan erat dengan bidang hukum tata negara/hukum tata usaha negara. Dari beberapa pandangan ahli hukum sebagaimana disimpulkan oleh Abdullah (1987: 10-11), peradilan diartikan sebagai kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya hukum dan keadilan. Menurut Noeh (1980: 15), kata peradilan agama adalah terjemahan dari bahasa Belanda godsdientige rechtspraak. Godsdienst berarti ibadah atau agama, sementara rechtspraak berarti peradilan yaitu upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. Kata peradilan sama artinya dengan istilah dalam fiqh yaitu qadha, sedangkan pengadilan berarti tempat dilakukan peradilan yaitu majelis hukum atau mahkamah. Oleh karena itu, Pengadilan Agama sering disebut pula Mahkamah Syar'iyah artinya pengadilan atau mahkamah yang menyelesaikan perselisihan hukum agama atau hukum syara'. Berdasarkan rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa peradilan adalah kekuasaan
negara
dalam
menerima,
memeriksa,
mengadili,
memutus
dan
menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan pengadilan merupakan penyelenggara peradilan. Atau dengan perkataan lain, pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, peradilan agama dapat dirumuskan ebagai kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. C. Peradilan Agama dan Peradilan Islam Secara garis besar, masyarakat Islam berkembang di tiga kelompok negara. Pertama di negara-negara Islam antara lain Pakistan, Iran, dan Saudi Arabia. Kedua di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam antara lain Indonsia, lurid dan Mesir. Ketiga di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama lain, antara lain Filipina, Thailand, dan beberapa negara di kawasan Afrika dan Eropa. Di masing-masing kawasan dan negara itu terjadi interaksi kelembagaan dan
kegiatan intelektual dengan pusat-pusat pemikiran dan peradaban. Dalam proses interaksi itu, muncul berbagai pranata sosial yang bercorak keislaman dan pemikiran tentang Islam dalam berbagai bidang. Salah satu pranata itu adalah peradilan dan bagisn dari pemikiran itu adalah di bidang fiqih. Dalam kerangka tersebut dapat ditemukan hubungan timbal balik antara pranata sosial yang bercorak keislaman dengan fiqh sebagai produk pemikiran fuqaha secara sistematik tentang pranata itu. Atau sebaliknya, fiqih memberrikan format dan arah terhadap pertumbuhan dan perkembangan pranata sosial yang bercorak keislaman. Masing-masing merupakan dua sisi dalam suatu kesatuan, yaitu wujud aktual dan wujud ideal dari hukum Islam, yang mengalami dinamika di dalam masyarakat Islam. Peradilan Agama mempunyai keterkaitan yang erat dengan Peradilan Islam, karena Peradilan Agama tidak terlepas dari sejarah peradilan Islam itu sendiri. Secara historis, peradilan agama merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam yang berkesinambungan sejak masa Nabi Muhammad. Peradilan Islam mengalami perkembangan pasang surut sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di berbagai negara. Oleh karena masyarakat Islam tersebar di berbagai kawasan yang beraneka
ragam
struktur,
pola
budaya,
dan
perkembangannya,
maka
pengorganisasian peradilan Islam beraneka ragam pula. Namun tetap mengacu pada prinsip yang sama. Demikian halnya perkembangan pemikiran di bidang fiqh mengalami pasang surut dan berhubungan secara timbal balik dengan perkembangan masyarakat Islam. Para imam madzhab di kaingan Sunni,'yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi'I dan Ahmad bin Hambal serta fuqaha generasi berikutnya, merumuskan aturan berbagai aspek kehidupan masyarakat Islam melalui mekanisme ijtihad. Pemikiran itu dilakukan sebagai jawaban dan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, yang mengacu kepada AI-Qur'an Sunah Rasul dan ijma' sahabat. Di negara-negara Islam, produk pemikiran fuqaha itu dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan peradilan Islam. Di Saudi Arabia, misalnya, hukum yang berlaku secara resmi adalah hukum Islam (al-Tasyri al-Islamiy) yang bersumber kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Fiqh merupakan sumber utama dalam penerapan hukum Islam di bidang hukum pidana (jinayah), hukum perdata
(madaniyah) dan hukum dagang (tijarah). Sedangkan fiqh yang dianut di kerajaan itu adalah Madzhab Hambali. Oleh karena itu, dalam pengaturan berbagai aspek muamalah dan peradilan berpedoman kepada madzhab tersebut. Namun demikian, apabila dalam penerapan madzhab itu tidak dapat mencapai kemaslahatan, maka dapat berpedoman kepada madzhab Hanafi atau madzhab Maliki atau Madzhab Syafi'i. Di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, produk pemikiran fuqaha juga dijadikan rujukan. Di Indonesia, umpamanya, fiqh dari madzhab Syafi'I sangat dominan. Hal itu terlihat dalam Surat Edaran Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958, yang isinya berupa anjuran kepada para hakim agar dalam memeriksa dan memutus perkara berpedoman kepada 13 kitab fiqh. Dalam perkembangan lebih lanjut, kitab-kitab fiqh yang ijadikan rujukan lebih bervariasi, sebagaimana terlihat di dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI), hasil lokakarya (ijma') ulama dan mendapat legalisasi pemerintah (presiden dan menteri agama) untuk disebarluaskan dan dilaksanakan, antara lain di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Oleh karena di Indonsia tidak dikenal agama resmi negara, maka tidak ada pula mazhab yang resmi. Demikian halnya di Mesir dan beberapa negara lain di Timur Tengah, pengaruh pemikiran fuqaha dalam penyelenggaraan peradilan Islam sangat besar, khususnya di bidang hukum keluarga. Di negara yang penduduknya mayoritas beragama lain, seperti di Wilayah Patani Raya meliputi Propinsi Patani, Yala, Narathivat dan Stun, selanjutnya juga di Muangthai, hukum keluarga yang berlaku adalah hukum Islam. Pengaruh madzhab Syafi'I di wilayah itu sangat dominan. Berkaitan dengan itu, pemerintah Thailand memberi peluang kepada ulama untuk menyelenggarakan peradilan Islam (Sala To' Kali), khususnya di bidang perkawinan dan kewarisan. Keputusan pengadilan ini selanjutnya dikukuhkan oleh pengadilan biasa (hakim Thai). Keputusan terakhir ini menjadi wewenang hakim Thai di pengadilan biasa. Pertumbuhan dan perkembangan peradilan Islam merupakan produk interaksi di dalam sistem sosial, termasuk dengan pranata peradilan yang telah tersedia. Salah satu unsur yang paling menentukan dalam proses itu adalah kemampuan dan peranan
para pendukungnya, yaitu ulama dan anggota masyarakat Islam pada umumnya, dalam merumuskan dan menerapkan hukum Islam dalam peraturan perundangundangan. Oleh karena itu, wujud dan perkembangan peradilan Islam di berbagai negara memiliki corak yang beraneka ragam. Proses interaksi itu dialami oleh masyarakat Islam di Indonesia. Hal itu berlangsung dalam jangka yang panjang, yaitu sejak masyarakat Islam menjadi kekuatan politik pada masa kesultanan Islam sampai sekarang. Salah satu produk interaksi itu adalah Peradilan Islam, yang secara resmi disebut Peradilan Agama sebagai salah satu bagian dari peradilan negara. Kata "peradilan Islam" tanpa diikuti kata "Indonsia" adalah peradilan Islam menurut konsep Islam secara universal yang kewenangannya meliputi segala jenis perkara menurut hukum Islam. Oleh karenanya asas-asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip yang sama di berbagai tempat yaitu prinsip-prinsip hukum Islam, karena prinsip hukum Islam dapat diterapkan secara universal. Peradilan agama sebagai perwujudan peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Pertama, secara filosofis peradilan dibentukdan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hukum yang ditegakkan adalah hukum Allah yang telah disistematisasi oleh manusia. Sedangkan keadilan yang ditegakkan adalah keadilan Allah sebagaimana tercermin dalam Kepala Keputusan Pengadilan, "Bismillahirrahmanirrahiim" dan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Kedua, secara yuridis hukum Islam (dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah) berlaku di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Ketiga, secara historis peradilan agama merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah SAW. Keempat, secara sosiologis peradilan agama didukung dan dikembangkan oleh dan di dalam masyarakat Islam. D. Rangkuman Peradilan agama adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaiakan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah di antara orang-orang Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan agama merupakan peradilan Islam di Indonsia, sebagai salah satu mata rantai peradilan yang tumbuh dan berkembang sejak masa
Rasulullah SAW. Ia merupakan wujud peradilan Islam dalam struktur dan kultur masyarakat bangsa Indonesia. Identifikasi peradilan agama sebagai peradilan Islam dapat dilihat dari sudut pandang filosofis, yuridis, historis dan sosiologis. Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama di Indonsia berhubungan secara timbal balik dengan pranata hukum dan pranata sosial Iainnya.Ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan politik, yang berbasis pada struktur sosial dan pola budaya di dalam sistem masyarakat bangsa Indonesia. Ia merupakan perwujudan nilai-nilai Islam dalam menata hubunga antar manusia untuk mewujudkan penegakan hukum dan keadilan. E. Pendalaman Baca referensi Al bab 1, B3 bab I, B5 bab 1.