MENUJU PERADILAN AGAMA YANG MODERN BERKELAS DUNIA Oleh Drs. La Suriadi Alumni IAIN Alaudin Cabang Ambon tahun 1990 Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama Ambon
II. ABSTRAK Setelah serah terima organisasi, administrasi dan keuangan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung RI tanggal 29 Juni 2004, keberadaan Peradilan Agama terus berpacu meningkatkan kualitas pelayanan kepada pencari keadilan di Indonesia. Sejalan dengan itu pula reformasi dibidang hukum terus bergulir sehingga nuansa Lembaga Peradilan Agama dimata publik berkembang pesat sejalan dengan tuntutan reformasi. Betapa tidak Peradilan Agama yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara dalam tingkat pertama bagi orang-orang yang beragama Islam telah memenuhi tuntutan reformasi yang diselenggarakan oleh Lembaga Kekuasaan Kehakiman sesuai Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Bab III pasal 18 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Penyatuan atap empat lembaga peradilan ini setelah berlakunya Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang menegaskan mengenai penyatuan atap lembaga-lembaga peradilan, disusul kemudian dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan terakhir Undang-undang Nomor 48 tahun 2009, dan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan terakhir Undang-undang Nomor 3 tahun 2009. Keempat lembaga peradilan dibawah Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan 1
di atas terutama lembaga Peradilan Agama terusberbenah diri serta berupaya melakukan terobosan-terobosan baru sehingga tidak kalah dengan peradilan lainnya. Upaya-upaya tersebut antara lain pertama: mengadakan kerja sama dengan AIPJ dibidang justice yang dimotori oleh Badilag Mahkamah Agung dalam rangka untuk membantu masyarakat yang kurang mampu dalam hal ini adalahlayanan hukum bagi maasyarakat tidak mampu, dengan kerja sama tersebut sebagai tindak lanjut implementasinya maka lahirlah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2014 tentang pedoman pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan, kedua: mengadakan study banding di beberapa Negara seperti Arab Saudi, Kairo, Republik Sudan,dll, Ketiga.Sidang terpadu kepemilikan status hukum perkawinan bagi masyarakat yang sudah dilaksanakan dibeberapa Wilayah PTA di Indonesia hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Nomor 3 tahun 2014 tanggal 13 Maret 2014 tentang tata cara pelayanan dan pemeriksaan perkara voluntar isbat nikah, dan bukti kelahiran bagi masyarakat secara terpadu, Keempat.Badilag telah menindaklanjuti SKB antara BI, OJK dan MA terkait dengan
peningkatan kualitas
hakim
Peradilan Agama di bidang ekonomi
syariah. Kerja sama ini tentu berorientasi kepada bagaimana kualitas hakim Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Hubungan kerja samaini diharapkan memacu kiprak aparatur peradilan sehingga berdampak kepada bagaimana Peradilan Agama di Indonesia bisa menjadi Peradilan yang bermutu, berwibawa menuju Peradilan Agama yang modern dimasa masa yang akan datang. OJK (OtoritasJasa Keuangan)sebagai mitra perpanjangan tangan SKB terus focus pada pelatihan hakim dibidang kebanksentralan dan sektor jasa keuangan dengan memiliki cakupan luas. Diantaranya ialah pelatihan hakim dibidang keuangan syariah, yang meliputi perbankan syariah , pasar modal syariah dan industry keuangan non bank syariah. Halini dilakukan untuk disamping menambah perbendaharaan pengetahun, menambah wawasan danmeningkatkan mutu/kualitas sumber daya aparat Peradilan Agama, sehingga mereka menjadi professional dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum 2
disamping itu adalah sebagai pengenalan kepada dunia luar tentang keberadaan lembaga Peradilan Agama di Indonesia, yang tidak saja dianggap sebagai Peradilan semu atau peradilan kelas dua, tetapi mendunia, ketiga: Kajian-kajian terhadap hukum Islam secara tekstual yang ada relefansinya terhadap perkembangan kehidupan masyarakat atau dalam rangka membumikan hukum Islam. Hal ini disampaikan Bagir Manan pada sambutan beliau dalam buku jejak langkah dan dinamika PPHIM tanggal 5 April 2007. III. PENDAHULUAN Pada tahun 2014 ini Peradilan Agama telah menginjak usia yang ke 132 tahun. Usia ini bagi sebuah isntitusi tergolong sudah sangat tua dan telah melampaui batas-batas kematangan. Karena itu wajar jika kondisi Peradilan Agama sekarang telah melampaui ekspektasi masyarakat pencari keadilan.Keterbukaan informasi, peningkatan IT dan pelayanan public, kemudahan akses, dan transparansi yang dipublikasikan Peradilan Agama menjadi pembuktian terhadap ekspektasi tersebut.Penggunaan
teknologi
informasi
dalam
memberikan
pelayanan
administrasi kepada masyarakat pencari keadilan menjadi bukti bahwa dewasa ini Peradilan Agama sudah semakin dikenal tidak saja di Indonesia tetapi juga di mancanegara.Upaya-upaya tersebut dilakukan Badan Peradilan Agama dalam rangka mengimplementasikan SK. Nomor 26/KMA/SK/II/2014 dan SK. Nomor 27KMA/SK/II/2014 tanggal 18 Pebruari 2014 tentang pembentukan kelompok kerja penyusunan SEMA tentang penyelesaian perkara di Pengadilan dan system informasi manajeman perkara berbasis elektonik serta peningkatan pelayanan public dan disiplin kerja dilingkungan MA dan badan Peradilan dibawahnya. Bila ditelusuri jejak Peradilan Agama di Indonesia dari masa awal kerajaan sampai masa sekarang dan modern, nampaknya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Peradilan Agama sudah lulus melewati berbagai macam ujian dan tantangan selama masa decade, yaitu: masa kerajaan, masa penjajahan, orde lama dan orde baru, baik menyangkut aspek status dan kedudukan maupun aspek kompetensinya. Dari bentuk awalnya yang kita kenal sangat sederhana, bahkan dicirikan/disamakan dengan proses persidangan yang hanya dilakukan diserambi 3
masjid sampai kepada bentuk dan tampilannya yang sangat modern saat ini dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dalam proses pelayanannya telah menunjukan bahwa Peradilan Agama saat
ini adalah Peradilan Agama yang
modern. Oleh karena itu bahwa meskipun berawal dari dan sekelas serambi masjid, bukan berarti Peradilan Agama tetap menjadi institusi hukum yang tradisional, kumuh dan terbelakang, akan tetapi sekarang Peradilan Agama sudah benar-benar mengalami
keberanjakan
yang
luar
biasa.
Bahkan
boleh
dikatakan
keberanjakannya tersebut telah melebihi ekspektasi dan pemikiran masyarakat selama ini. Oleh karena Peradilan Agama sekarang benar-benar telah menjadi institusi hukum yang berciri mandiri dan bercitra modern, sehingga kiprahnya tidak hanya diakui secara nasional, akan tetapi juga telah diakui dunia Internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya hubungan kerja sama dengan dunia Barat, Timur Tengah dan Asia. Keberanjakan prestasi, dan apresiasi Peradilan Agama sehingga menjadi Peradilan yang modern tidak terlepas dari pergaulan Peradilan Agama dikancah Internasional dengan mengadakan kerja sama dunia Barat dan Negara-negara Timur Tengah guna meningkatkan kinerja terlebih Sumber Daya Aparat Peradilan Agama. Dalam rangka meningkatkan pergaulan dengan Negara-negara luar, maka pada bulan Juli tahun 2008, dilakukan penandatanganan MoU antara Mahkamah Agung RI dengan the Federal Court of Australia dan the Family Court of Australia di Melbourne, Australia. MoU yang ditandatangani tersebut bertujuan adalah untuk melaksanakan program-program kerja sama dibidang teknis yudisial dalam pengembangan peradilan dan pemahaman tentang isu-isu hukum kontemporer lain yang bermanfaat bagi kedua belah pihak, yang lebih diperinci menjadi tiga hal penting yaitu, pertama: mengembangkan landasan yang kokoh untuk hubungan masa depan yang berkelanjutan antara para pihak, kedua: memajukan pemahaman lebih lanjut tentang peraturan perundang- undangan dan budaya hukum masing-masing dengan standar hukum Internasional yang sama, perkembangan
regional,
dan
isu-isu
relevan
yang
berkembang,
dan 4
ketiga:meningkatkan kemampuan Mahkamah Agung RI untuk memenuhi amanatnya dalam demokrasi Indonesia yang baru.1 IV. PEMBAHASAN a. Peradilan Agama Berawal Dari Serambi Masjid Bagi ummat Islam, keberadaan lembaga peradilan merupakan condition sine quamon, yaitu sesuatu yang mutlak adanya.Ia ada berbanding lurus secara horisontal dengan adanya Islam dan pemeluknya. Sehingga dimanapun ada Islam dan pemeluknya, maka disitu pasti ada lembaga peradilan. Karena ia berfungsi sebagai lembaga yang akan menyelesaikan persengketaan diantara pemeluk Islam..2Hal itu telah terjadi pada masa Rasulullah SAW bahkan sudah terlihat dalam bentuk lembaga pada masa shahabat dan sesudahnya, yang dijalankan dengan bentuk dan corak yang sederhana. Seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke 7 Masehi dan sudah banyak orang yang memeluk agama Islam sehingga menjadi komunitas yang besar serta mewarnai kehidupan masyarakat Nusantara saat itu dengan melaksanakan hal-hal yang terkait dengan masalah munakahat, muamalat, dan jinayah. Karena itu bila terjadi perselisihan/persengketaan menyangkut masalah tersebut, dapat diselesaikan dengan menggunakan instrument hukum Islam dan melalui lembaga yang sui generis cocok dan diakui oleh umat Islam.Kenyataan tersebut tercermin dari bentuk lembaga-lembaga penyelesaian sengketa— Peradilan Agama—yang muncul dihampir seluruh kerajaan Islam yang ada di Nusantara, meskipun dengan macam dan ragam yang berbeda, termasuk penamaan/penyebutannya.Selain macam ragam dan penamaan yang berbedabeda, pada masa itu umumnya Peradilan Agama bentuknya masih sangat sederhana. Hal ini ditandai salah satunya adalah tempat yang digunakan dalam proses peradilan, yakni dilakukan hanya diserambi-serambi masjid.
Karena itu
_____________________ 1
Mahkamah Agung RI, 130 tahun peradilan Agama, dari serambi masjid ke serambi dunia, Direktorat jenderal badan peradilan agama, tahun 2012, hal, 235
2
Ibit, hal, 1
5
banyak literature menyebutkan sebagai “peradilan serambi”3 b. Beranjak Dari Serambi Masjid Pada masa awal kemerdekaan, hal-hal yang terkait dengan isntitusi/kelembagaan hukum tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan, hal itu dapat dilihat pada bunyi pasal 11 aturan peralihan UUD 1945 yang berbunyi”segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”, kecuali itu, konsentrasi dan focus pimpinan Negara dan seluruh elemen bangsa ketika itu, juga tertuju pada upaya menciptakan tata kehidupan kenegaraan yang stabil dan gerakan revolusi sebagai akibat adanya upaya Belanda menjajah kembali Indonesia. Sebetulnya jika tahun 1882 dianggap sebagai tahun kelahiran Peradilan Agama di Indonesia berdasarkan stb.1882 Nomor 152, maka setidaknya hingga tahun 2007, lembaga Peradilan Agama telah berusia satu sperempat abat atau kurang lebih 132 tahun. Dengan demikian lembaga Peradilan Agama telah menjalani masa yang panjang dan karena itu seharusnya lembaga ini telah mapan, kokoh dan berwibawa, baik dari segi perangkat keras maupun perangkat lunaknya (Undangundang atau praturan-peraturan). Namun karena sejarah perjalanannya yang tidak begitu mulus maka lembaga Peradilan Agama hingga saat ini belum sampai pada kondisi idial yang diharapkan. Meskipun begitu keadaannya sudah lebih baik dibanding tiga atau empat dasawarsa yang lalu. Apalagi pada Maret 2006 yang lalu telah di Undangkan suatu Undang-undang yang lebih memperbaiki dan mengukuhkan posisi Peradilan Agama beserta kewenangannya, yaitu Undangundang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undangNomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
_________________________ 3
Serambi adalah (1)”beranda atau selasar yang agak panjang, bersambung dengan induk rumahnya, biasanya lebih rendah dari pada induk rumahnya; (2) peron (biasanya untuk stasiun). Lihat dalam arti kata.com juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.Searambi masjid berarti beranda atau selasar yang agak panjang bersambung dengan bangunan induk masjid. Peradilan serambi adalah “proses peradilan yang dilakukan di beranda atau selasar masjid”.
6
Melihat kenyataan dan fakta tersebut, nampaknya Peradilan Agama
yang
dikatakan sebelumnya sebagai Peradilan serambi, mulai akan beranjak dari serambi masjid, menuju pada tatanan kelembagaan yang lebih representative meskipun belum memadai. Namun harapan untuk beranjak dari serambi masjid tersebut hampir pupus ketika tanggal 8 Juni 1948,Wakil Presiden dan Menteri Kehakiman mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 tahun 1948 tentang susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Kehakiman dan Kejaksaan yakni dengan
menghapuskan susunan Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya.4kemudian digabungkan dengan Peradilan umum. Meskipun demikian, sampai saat ini, belum ditemukan data yang akurat tentang kapan mulai dialihkan proses persidangan Peradilan Agama dari serambi masjid ke tempat lain, termasuk ke gedung yang revresentative seperti sekarang ini, namun benih-benih upaya pembenahan tempat untuk penyelenggaraan Peradilan khususnya Peradilan Agama sudah muncul sejak disahkannya Undang-unbdang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman Jo. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 mengisyaratkan keberanjakan
Peradilan
Agama.
Hal
itu
akan kuatnya proses
didasarkan
pada
tiga
hal,
pertama:eksistensi Peradilan Agama secara konstitusional sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanakan kekuasaan Kehakiman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sudah diakui bahkan sejajar dengan Peradilan Umum, Militer, dan Tata Usaha Negara. Hal tersebut didasarkan pada pasal 18 UU Nomor 48 tahun 2009 yaitu: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan _________________________ 4Wakil Presiden ketika itu adalah Moh.Hatta dan Menteri Kehakimannya adalah Soesanto Tirtorojo. Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 19 tahun1948 berbunyi: “dalam Negara Republik Indonesia ada tiga lingkungan Peradilan: (1) Peradilan Umum, (2) Peradilan Tata Usaha Pemerintah, (3) Peradilan Ketentaraan.
7
oleh sebuah mahkamah konstitusi, kedua: Undang-undang tersebut dijadikan dasar oleh Menteri Agama pada tahun 1980 untuk melakukan penyeragaman nama-nama Peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama, ketiga: Undangundang tersebut mengilhami lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Oleh karena itu dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang lahir dengan melalui proses yang panjang yakni hampir 13 tahun (1975-1988) serta menuai pro dan kontra di masyarakat Indonesia, telah menguatkan dan menjadi dasar bagi Peradilan Agama untuk terus beranjak. c. Menuju Serambi Dunia Tanggal 30 Juni 2004, merupakan momentum penting bagi Peradilan Agama dalam meniti jalan menuju Peradilan modern yang keberadaannya diakui tidak hanya posisinya sebagai salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, tetapi juga kredibilitas, akunbtabilitas, serta performancenya di serambi dunia. Langkah kearah dan menuju cita-cita tersebut sudah terlihat jelas ketika Menteri Agama secara resmi menyerahkan urusan organisasi, administrasi dan finansial lingkungan Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Upaya-upaya kongkrit ini tidak bisa dihindari karena merupakan bagian dari rangkaian sejarah panjang Peradilan Agama yang mesti dilalui. Pada masa awal penyatuatapan perpindahan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung, yang banyak dilakukan adalah konsolidasi dan pembenahan internal. Sedangkan hal-hal yang terkait dengan pengembangan dan peningkatan kapasitas kelembagaan serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia mulai dilakukan oleh Badan Peradilan Agama dengan mengadakan kerja sama pertukaran informasi antara FCoA ( Family Court of Australia ) dan Peradilan Agama. 8
Salah satu bentuk kerja sama tersebut adalah pertukaran informasi.5Pada bulan Desember 2004 beberapa hakim dan pejabat Femily Court of Australia melakukan kunjungan ke Mahkamah
Agung RI
untuk
mengenal lebih jauh tentang
sistim peradilan di Indonesi khususnya Peradilan Agama. Pada tahun berikutnya, tepatnya tanggal 14 s/d 25 November 2005, delegasi dari Mahkamah Agung melakukan study khusus ke Family Court of Australia. Kerja sama antara Mahkamah Agung dengan Femily Court of Australia didorong oleh adanya kemiripan diantara kedua sistem peradilan kedua Negara tersebut khususnya antara Femily Court of Australia dengan Peradilan Agama. Kemiripan tersebut tampak jelas pada bidang kewenangannya (yurisdiksi). Femily Court berwenang menyelesaikan perkara-perkara disekitar perceraian, pengasuh anak dan harta, sementara Peradilan Agama mempunyai kewenangan dalam bidang perkawinan termasuk hadhanah (pengasuh anak), kewarisan, hibah, wasiat, wakaf dan shadakah. Disamping itu juga pertukaran informasi yang dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama: pada tanggal 14-18 November 2005 di Malbourne. Tahap pertama ini dilakukan suguhan materi seperti sistem hukum di Australia, Pengadilan keluarga Australia, etiket pengadilan keluarga, prosedur pengadilan, mediasi, manajemen perkara dan pengamanan pengadilan, tahap kedua: pelatihan di Canberra sampai tanggal 25 November 2005. Para peserta juga mengunjungi High Cuort of Australia dan Gedung Senat Australia yang merupakan Pengadilan Tinggi di Australia.Dilembaga ini para peserta mendapatkan penjelasan mengenai sistem hukum dan peradilan yang berlaku di Australia juga mendapatkan informasi yang sangat berharga berkenaan dengan konstitusi dan seluk beluk parlemen di Australia. Semua informasi terekam/terungkap dalamsebuah laporan yang berjudul “ prosiding” pertukaran informasi antara Peradilan Agama dengan Family Court of Australia tahun 2005.6 ______________________ 5 Mahkamah Agung RI, Peradilan Agama Merambah Dunia, penerbit Direktorat Jenderal Badan Peradian Agama, tahun 2012, hal,13 6
Ibit, hal, 15
9
Selain kerja sama tersebut juga dilakukan pengembangan struktur organisasi sebagai konsekuensi logis terhadap penambahan anggaran belanja yang dialokasikan kepada Badan Peradian Agama. Meskipun pada masa-masa awal pasca penyatuatapan anggaran belanja untuk badan Peradilan Agama belum terlalu signivikan jumlahnya, akan tetapi bila dibandingkan dengan sebelum satu atap kenaikannya cukup besar. Misalnya saja pada tahun 2005 anggaran untuk Badan Peradilan Agama sebesar RP236.954.153.000,00 (dua ratus tiga puluh enam miliar Sembilan ratus lima puluh empat juta seratus lima puluh tiga ribu rupiah). Anggaran tersebut terus mengalamai peningkatan pada tahun-tahun berikutnya. Misalnya pada tahun 2007 alokasi anggaran untuk badan Peradilan Agama sudah berkisar RP709.538.457.000,00 (tujuh ratus Sembilan miliar lima ratus tiga puluh delapan juta empat ratus lima puluh tujuh ribu rupiah). Bahkan untuk tahun 2015 insya Allah, anggarannya sudah meningkat sangat drastic.7 Tidak saja masalah anggaran yang menjadi upaya Badan Peradilan Agama tetapi juga pembinaan karier, baik hakim, panitera maupun staf administrasi lainnya yang terkait, termasuk juga peningkatan kesejahteraannya. Bagi hakim misalnya, dalam jangka waktu maksimal 5 tahun
seorang hakim sudah bisa
berpindah/mutasi ke Pengadilan lain. Hal tersebut di lakukan dalam rangka pembinaan karier, termasuk juga peningkatan skill/skill up dan up greding hakim terus dilakukan, baik dalam bentuk diklat, kursus didalam maupun di luar negeri.Sehingga hakim-hakim di lingkungan Peradilan Agama mayoritas telah menyandang gelar master bahkan Doktor. Tidak saja bagi hakim pengembangan karier juga dilakukan bagi panitera dan tenaga adminstrasi lainnya, terutama dalam bentuk diklat-diklat yang secara khusus diselnggarakan oleh Badan Diklat Mahkamah Agung, termasuk juga dilakukan oleh badan Peradilan Agama yakni kemampuan information technologi yang berbasis system information berbasis website . ______________________ 7 Ibit, hal, 13
10
d. Modernisasi Peradilan Agama Harapan dan cita-cita dari seluruh elemen masyarakat dan penyelengara pemangku kebijakan dilingkungan Peradilan Agama untuk menjadi Pengadilan modern yang terbuka, bukanlah sebuah wacana semata, akan tetapi merupakan tekat yang kuat dari badan Peradilan Agama sebagai implementasi konsekuensi logis lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, juga beberapa program dan kegiatan yang bersifat developing. Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa program-program develop untuk peningkatan citra dan imege kelembagaan Peradilan Agama, yang sudah banyak dilakukan, ternyata hasilnya melebihi ekspektasi masyarakat terhadap Peradilan Agama. Sehingga Peradilan Agama yang awalnya dikenal hanya oleh kalangan tertentu, baik dari umat Islam sendiri maupun non Islam dan terbatas umumnya pada masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia sudah mengenal dan mengakui tidak hanya eksistensinya tetapi juga kredibilitas dan ferformancenya. Salah satu fakta kongrit adalah survey akses terhadap keadilan yang dilakukan oleh Australi Legal Development Facility (IALDF) tentang akses dan kesetaraan pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia yang berlangsung tahun 2007. Survei ini dimaksudkan untuk memberikan data empiris kepada Mahkamah Agung RI menyangkut kualitas pelayanan yang diberikan baik Peradilan umum maupun Peradilan Agama dibidang hukum keluarga. Disampiung itu pula survey bertujuan untuk mengetahui persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dalan mengakses pelayanan Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum. Selain tujuan tersebut di atas adalah untuk memberikan rekomendasi agar Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan respon kebijakan strategis (baik keuangan maupun keorganisasian) yang harus dilakukan dalam rangka pemberian akses universal bagi masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan atau di daerah terpencil.Survei tersebut tidak saja melibatkan Mahkamah Agung tetapi juga IADLF, Family Court of Australia, LSM PEKKA, PPIM ( Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat), Syarif Hidayatullah Jakarta, Lembaga Penelitian SMERU, Advokat swasta dan advokat 11
institusi bantuan hukum yang bergerak dibidang hukum keluarga, sejumlah peneliti dan spesialis jender yang berkontriibusi pada desain dan implementasinya dari penelitian akses dan kesetaraan. Hasilnya adalah bahwa Acses and Equity, tingkat kepuasan (consumer satisfaction) masyarakat terhadap Peradilan Agama mencapai lebih dari 78 % . Kepuasan tersebut tidak hanya dalam hal pelayanan administrasi
dan
proses
jalannya
persidangan
termasuk
penguasaan
hakim/aparatur Peradilan Agama terhadap hukum acaranya, dan juga terhadap putusan yang ditetapkan para hakim atas perkara yang diajukan.8 Dari hasil survey versi IADLF yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga tersebut di atas, melahirkan beberapa temuan penting diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pengguna Pengadilan Agama merasa sangat puas terhadap layanan yang diberikan. 70 % dari mereka mengatakan akan kembali akan kembali ke Pengadilan tersebut dikemudian hari jika mereka menghadapi masalah hukum yang serupa. 2. Sebesar 98 % perkara yang diajukan di Pengadilan Agama adalah masalah pereraian. Karenanya Pengadilan Agama memiliki hubungan langsung yang signifikan dengan keluarga-keluarga di Indonesia. 3. Jumlah wanita yang mengajukan perkara perceraian ke Pengadilan Agama dua kali lebih besar dari perkara yang diajukan oleh laki-laki, dan 9 dari 10 perkara yang mereka ajukan berhasil diputuskan. 4. Masyarakat Indonesia yang kemampuan biaya proses perkara rata-rata dibawah garis kemiskinan dalam hal ini Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) mengatakan mereka tidak mampu mengakses ke Pengadilan untuk perkara perceraian mereka. Hal ini disebabkan karena mereka mengalami kendala keuangan yang terikat pada biaya perkara dan biaya transportasi ke Pengadilan.
__________________________ 8 Ibit, hal, 16
12
5. Sebanyak 88 % dari anggota PEKKA yang hidup dibawah atau mendekati garis kemiskinan sangat mengharapkan agar biaya perkara digratiskan. Dengan demikian mereka dapat memperoleh surat Akta cerai bagi perceraian yang sah. 6. Masyarakat miskin yang tinggal di tempat yang terpencil menghadapi kendala terkait biaya transportasi yang tinggi. 7. Masyarakat yang disurvey memandang bahwa uang panjar biaya perkara yang ditentukan oleh Pengadilan Agama terlalu tinggi untuk perkara perceraian dibandingkan dengan biaya sesungguhnya dari perkara tersebut. Ini juga menjadi penghambat bagi pencari keadilan untuk membawa perkaranya ke Pengadilan, khusunya bagi masyarakat miskin. Selain itu pengembalian sisa uang panjar yang dibayarkan kepada Pengadilan sangatlah penting bagi semua pengguna Pengadilan, khusnya bagi pengguna yang miskin. 8. Para pengguna Pengadilan ingin menerima salinan putusan Pengadilan pada hari putusan dibacakan di Pengadilan. 9. Rata-rata Pengadilan Agama yang disurvei memiliki hakim dan Pegawai pengadilan dengan jumlah setengah dari yang ada di Pengadilan Negeri (n=42 v n=80) tetapi secara rata-rata mereka menangani 30 persen lebih banyak perkara (n=1489 v n-1152). 10. Siklus perkawinan dan perceraian yang tidak sah pada banyak perempuan kepala keluarga PEKKA yang hidup dibawah garis kemiskinan Indonesia. Wanita PEKKA banyak yang tidak memperoleh dokumen hukum dalam perkawinan dan perceraian. Sebanyak 56 persen anak-anak dari perkawinan tersebut tidak memperoleh akta kalahiran. Ketiadaan dokumen identitas tersebut berakibat pada hak warisan dan akses pada pelayanan pemerintah seperti sekolah negeri dan layanan kesehatan. Ini juga berarti bahwa anak-anak masyarakat miskin Indonesia tidak dapat menikmati hak asasi manusia sebagai dasar untuk mendapatkan dokumen identitas sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi tentang Hak asasi manusia. 13
11. Para hakim dan Pegawai Pengadilan diberbagai Pengadilan di Indinesia dan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) yang hidup dibawah garis kemiskinan Indonesia sepakat bahwa pereceraian melalui Pengadilan memberikan kepastian hukum dibandingkan status perkawinan yang tidak jelas. Tanpa perceraian resmi tidak mungkin melakukan pernikahan selanjutnya secara sah. Oleh karena itu anak-anak dari perkawinan berikutnya tidak akan memiliki nama ayah pada akta kelahiran mereka. Perceraian resmi melalui Pengadilan di Indonesia memperjelas tanggung jawab hukum mengenai pemeliharaan dan tunjangan biaya hidup kedua pasangan yang bercerai dan anak-anak dari perakwinan tersebut. 12. Dari respon yang disurvei, hanya 11 persen dari Pengadilan Agama dan 8 persen pada pengadilan Negeri yang memilih penyelesaian lewat pengadilan karena hal tersebut diwajibkan oleh hukum Indonesia 89 persen pengguna Pengadilan Agama dan 91 % pengguna Pengadilan Negeri mendaftarkan perkaranya ke Pengadilan karena mekanisme penyelesaian sengketa di luar Pengadilan
yang ada (penyelesaian
kekeluargaan) telah gagal atau karena pasangannya telah mengajukan perkaranya ke Pengadilan. 13. 9 dari 10 responden Pengadilan yang disuvei tidak memahami persyaratan hukum
Indonesia
untuk
mengajukan
perkara
perceraian
ke
Pengadilan.9Sarana pelayanan public yang nyaman bagi Pengadilan yang telah berkantor di gedung baru telah terwujud, tetapi ada sebagian Pengadilan Agama yang belum berkantor di gedung yang baru, hal ini perlu di lakukan dengan proto tipy yang di gariskan oleh Mahkah Agung, sehingga
nuansa lembaga peradilan
di
Indonesia mencerminkan
penyatuatapan tidak saja kepada yuridiksi, dan struktur organisasinya tetapilebih kepada
_________________________ 9
Ibit, hal, 98
14
keseragaman gedung kantor yang refresentatif. Penunjang lain yang diperlukan adalah sarana perkantoran yang memadai seperti loket pendaftaran perkara, ruang tunggu bagi pencari keadilan, ruang advokasi, uang IT, ruang posbakum, ruang mediasi dan sarana penunjang lainnya menuju Peradilan modern.Dan tidak kalah pentingnya juga adalah protokoler bagi Pengadilan Tinggi Agama dan jajarannya yang hingga kini belum sejajar dengan Peradilan umum dalam hal kedudukannya di Pemerintahan daerah Provinsi/Kabupaten dan Kota. Betapa tidak bahwa Pemerintah belum mengakomodir kedudukan dalam keprotokoleran Pengadilan Tinggi Agama dan jajarannya masuk dalam Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD). Hal ini sangat perlu dilakukan upaya-upaya dan terobosan lembaga untuk menjadikan Peradilan Agama sejajar dalam arti luas.Teringat kepada statemen bapak. Nurhadi,S.H., M.H Sekretaris Mahkamah Agung pada acara pembukaan Bimtek di Ambon tahun 2014, bahwa Mahkamah Agung saat ini tidak seperti Mahkamah Agung masa lalu, oleh karena Ketua Mahkamah Agung sekarang telah memiliki pengawalan dari pihak Kepolisian RI itu artinya bahwa posisi Mahkamah Agung dalamkedudukannya sebagai lembaga tertinggi penegak hukum di Indonesia sudah mulai di perhatikan. Hal itu pula sama artinya bahwa sudah waktunya lembaga Peradilan di bawahnya yakni Peradilan Agama tidak ada alasan berada dalam posisi dan kedudukannya sebagai FKPD sama seperti Peradilan Umum. Dari sisi pelayanan public yang baik adalah tidak membedakan antara Peradilan satu dengan Peradilan yang lainnya semua Peradilan dimata hokum sama kedudukannya tinggal seberapa jauh cara pelayanan yang prima dan tingkat kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat.Secara adil berarti memberikan pelayanan umum dan hukum sama (tidak ada disparitas), bijak, ramah, sopan, tegas dan berorientasi untuk melayani masyarakat dengan sebaik mungkin. V. KESIMPULAN Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa lembaga Peradilan Agama di Indonesia sudah waktunya menjadi Peradilan Agama yang modern berkelas duniadengan asumsi: 15
1. Bahwa Peradilan Agama telah sejajar dengan Peradilan lainnya di Indonesia di bawah Mahkamah Agung, berdasarkan pasal 18 Undangundang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman. 2. Bahwa Peradilan Agama tidak saja dikenal di Indonesia tetapi juga di dunia Internasional dengan melakukan kerja samaAustralia Legal Devolopment Facility (IALDF), Family Court of Australia dan beberapa LSM tentang akses dan kesetaraan pada Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama. 3. Bahwa Peradilan Agama telah beranjak dari serambi masjid ke serambi dunia dengan melakukan terobosan-terobosan yang diprakarsai oleh Ulama Indonesia, dan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. 4. Bahwa anggaran Peradilan Agama patut dinaikan di tahun yang akan datang karena sejalan dengan modernisasi Peradilan Agama yang modern dan mendunia. 5. Bahwa untuk menunjang pelayanan public Peradilan Agama sangat diperlukan sarana penunjang dan gedung Kantor proto tipy Mahkamah Agung untuk terwujudnya keseragaman lembaga Peradilan dibawah Mahkamah Agung sebagai implementasi penyatuatapan. 6. Bahwa Pengadilan Tinggi Agama di Indonesia dan jajarannya sudah waktunya diposisikan kedudukannya dalam FKPD (Forum komunikasi Pimpinan Daerah) setara dengan Peradilan Umum.
16
DAFTAR PUSTAKA Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Mahkamah Agung RI, 130 tahun Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, tahun 2012 Mahkamah Agung RI,Peradilan Agama Merambah Dunia, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, tahun 2012 Mahkamah Agung RI,Membangun Peradilan Agama Yang Bermartabat, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, tahun 2012 Varia Peradilan, IKAHI, tahun 2014
17