BAB II TINJAUAN UMUM BATAS PENGUASAAN LUAS HAK GUNA BANGUNAN OLEH BADAN HUKUM 2.1 Pengertian Penguasaan Hak Atas Tanah. Undang-Undang Pokok Agraria dengan mengacu pada landasan filosofis Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan bahwa Negara dikatakan sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “ Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai langsung oleh Negara”. Makna “dikuasai’ dalam substansi pasal di atas bukanlah berati “dimiliki”, akan tetapi merupakan pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk pada tingkatan yang tertinggi untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Satjipto
Rahardjo
memberikan
pandangannya
dalam
hal
makna
penguasaan. Penguasaan mempunyai unsur faktual dan adanya sikap batin. Unsur faktual adalah menunjukan adanya hubungan nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya, sehingga pada saat itu ia tidak memerlukan
57
58 legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya. Unsur sikap batin artinya adalah adanya maksud untuk menguasai atau menggunakannya. 1 Konsep Hak Menguasai atau (memegang) kedudukan berkuasa atau bezit juga dapat ditemukan dalam Pasal 529 KUH Perdata disebutkan: “Yang dinamakan kedudukan berkuasa ialah kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri, maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu”. Menurut rumusan Pasal 529 KUH Perdata di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya kedudukan berkuasa atau hak menguasai memberikan kepada pemegang
haknya
kedudukan
berkuasa
tersebut
kewenangan
untuk
mempertahankan atau menikmati benda yang dikuasai tersebut sebagaimana layaknya seorang pemilik.2 Oleh karena itu, atas suatu benda yang tidak diketahui pemiliknya secara pasti, seorang pemegang kedudukan berkuasa dapat dianggap sebagai pemilik dari kebendaan tersebut. Dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk berada dalam kedudukan berkuasa, seseorang harus bertindak seolah-olah orang tersebut adalah pemilik dari benda yang berada di dalam kekuasaannya tersebut. Ini berarti hubungan hukum antara orang yang berada dalam kedudukan berkuasa dengan benda yang dikuasainya adalah suatu hubungan langsung antara subjek hukum dengan objek hukum yang melahirkan hubungan hukum kebendaan, yang memberikan kepada pemegang keadaan berkuasanya suatu hak kebendaan untuk mempertahankan terhadap setiap 1
Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 104. Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Harta Kekayaan: Kedudukan Berkuasa & Hak Milik (dalam Sudut Pandang KUH Perdata), Kencana, Jakarta, hal. 14. 2
59 orang
(droit
de
suite)
dan
untuk
menikmati,
memanfaatkan
serta
mendayagunakannya untuk kepentingan dari pemegang kedudukan berkuasa itu sendiri. Satjipto Rahardjo menyatakan penguasaan hak atas tanah dalam perspektif teoritik dalam Hukum Agraria Indonesia ialah : Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada ditangannya. Pertanyaan yang menunjuk kepada adanya asas legalitas hukum dalam hal ini tidak diperlukan. Di samping kenyataan, bahwa suatu barang itu berada dalam kekuasaan seseorang masih juga perlu dipertanyakan sikap batin orang yang bersangkutan terhadap barang yang dikuasainya itu, yaitu padanya apakah memang ada maksud untuk menguasai dan menggunakannya. Kedua unsur tersebut masing-masing disebut corpus possesionis dan animus posidendi.3 Terhadap pendapat Satjipto Rahardjo di atas ada dua hal yang terkandung di dalam arti penguasaan. Hal yang pertama adalah pihak yang menguasai tidak memerlukan adanya legalitas hukum dan hal yang kedua barang itu berada dalam kekuasaan seseorang masih juga perlu dipertanyakan sikap batin orang yang bersangkutan terhadap barang yang dikuasainya itu, yaitu padanya apakah memang ada maksud untuk menguasai dan menggunakannya. Kedua unsur tersebut masing-masing disebut corpus possesionis dan animus posidendi. Boedi Harsono dalam hubungannya dengan hak penguasaan atas tanah menyatakan bahwa konsep penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam arti yuridis serta beraspek perdata dan beraspek publik.4 Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Walaupun dalam 3
Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah : Menemukan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian atas Eksistensi Tanah Aset Daerah, PT. Prestasi Pustakaraya, Jakarta, hal. 50. 4 Boedi Harsono, op.cit, hal. 23.
60 penguasaan secara yuridis memberi wewenang untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik namun dalam kenyataannya penguasaan fisiknya dapat dilakukan pihak lain, seperti jika tanah itu disewakan. Atau jika tanah itu dikuasai secara fisik pihak lain tanpa hak, maka pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak menuntut diserahkannya kembali tanah dimaksud secara fisik kepadanya. Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat merupakan isi hak penguasaan itu dan menjadi kriteria atau sisi pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah, seperti antara Hak Milik dengan Hak Guna Usaha.5 Deskripsi di atas menunjukkan bahwa dalam penguasaan ada dua unsur yang harus dipenuhi, yaitu: pertama, adanya kenyataan bahwa subjek menguasai atau menggunakan objek dimaksud; dan kedua, adanya sikap batin bahwa subjek dimaksud memang punya keinginan untuk menguasai atau menggunakan objeknya. Konsekuensinya pemegang kedudukan berkuasa mempunyai suatu hak untuk mempertahankan, menikmati, memanfaatkan, dan mendayagunakan benda yang ada dalam penguasaannya dengan tidak meninggalkan kewajibannya
5
Ibid, hal. 24.
2.2 Hak Guna Bangunan. Bentuk hak-hak atas tanah dalam UUPA diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) dinyatakan bahwa hak atas tanah sebagai mana yang dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) terdiri dari : a. b. c. d. e. f. g. h.
Hak milik; Hak guna usaha; Hak guna bangunan; Hak pakai; Hak sewa; Hak membuka tanah; Hak memungut hasil hutan; Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. Pasal 16 ayat (2) selanjutnya ditentukan ketentuan mengenai hak-hak atas
air dan ruang angkasa sesuai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ialah Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, dan Hak Guna Ruang Angkasa. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf c di atas, penulis berpandangan bahwa Hak Guna Bangunan merupakan salah satu jenis hak atas tanah yang telah diakui eksistensinya dalam Hukum Agraria Indonesia. Hak-hak atas tanah dari segi asal tanahnya dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : a. Hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak atas tanah yang berasal dari Tanah Negara. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara, Hak Pakai atas Tanah Negara; b. Hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk bangunan, Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak
62 Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.6 Makna yang terdapat di dalam perbedaan hak-hak atas tanah dari segi asal tanahnya berdasarkan penjelasan di atas adalah hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak atas tanah yang murni berasal dari Tanah Negara dan hak atas tanah bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Hak Guna Bangunan memiliki beberapa konsep yang secara spesifik dibawah ini akan dijelaskan secara lebih lanjut: a. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan menurut ketentuan Pasal 35 UUPA ditentukan sebagai berikut: Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. UUPA dalam substansinya yang mengatur tentang Hak Guna Bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 35 sampai dengan Pasal 40. Berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) UUPA mengenai Hak Guna Bangunan secara lebih lanjut diatur dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud disini adalah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah yang diatur dalam ketentuan Pasal 19 sampai dengan Pasal 38 serta Peraturan Kepala Badan
6
Urip Santoso I, op.cit, hal.91
63 Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. b. Terjadinya Hak Guna Bangunan Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah berdasarkan ketentuan Pasal 21 menyatakan bahwa terjadinya Hak Guna Bangunan (HGB) berdasarkan asal tanahnya dapat dibedakan dan dijelaskan sebagai berikut : 1. Hak Guna Bangunan atas Tanah negara. Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 9 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tersebut didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertifikat. Hal ini diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. 2. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak atas usul pemegang Hak Pengelolaan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan
64 Nasional berdasarkan Pasal 4 Permen Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan yang kemudian diubah dengan Pasal 9 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tersebut didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. Sebagai tanda bukti haknya, diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. 3. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Bentuk akta PPAT ini dimuat dalam Lampiran Permen Agraria/Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997
65 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hak Guna Bangunan memiliki jangka watu yang berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnya. Dasar hukum pengaturan jangka waktu Hak Guna Bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 26 sampai dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas yaitu: 1.
Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara. Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 Tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan berakhirnya
ini
diajukan
jangka
selambat-lambatnya
waktu
Hak
Guna
dua
Bangunan
tahun
sebelum
tersebut
atau
perpanjangannya. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang Hak Guna Bangunan untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan adalah : a. Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut; b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
66 c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; d. Tanah tersebut masih sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (rtrw) yang bersangkutan. 2.
Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan ini dilakukan atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dilakukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
3.
Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan ini berjangka waktu paling lama 30 tahun dan tidak ada perpanjangan waktu. Namun atas kesepakatan pemilik tanah dengan pemegang Hak Guna Bangunan dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Jaminan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan untuk kepentingan
penanaman
modal,
permintaan
perpanjangan
dan
67 pembaharuan Hak Guna Bangunan dapat dilakukan sekaligus dengan uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. Dalam hal uang pemasukan telah diabayar sekaligus untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan maka pemohon yang akan memperpanjang Hak Guna Bangunan hanya akan dikenai biaya administrasi. Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dan perincian uang pemasukan dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Bangunan. Hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. c. Subyek Pemegang Hak Guna Bangunan. Hak Guna Bangunan subjeknya menurut Pasal 36 UUPA jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah adalah : 1. Warga Negara Indonesia; 2. Badan
Hukum
yang
didirikan
menurut
Hukum
Indonesia
dan
berkedudukan di Indonesia (Badan Hukum Indonesia). Subjek Hak Guna Bangunan apabila tidak memenuhi syarat sebagai Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia, maka dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Bangunan tersebut kepada
68 pihak lain yang memenuhi syarat. Bila hal ini tidak dilakukan maka Hak Guna Bangunannya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi Tanah Negara. 7 d. Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan. Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan berdasarkan ketentuan Pasal 30 dan 31 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas dinyatakan bahwa : a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagai-mana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya; c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus; e. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. Substansi Pasal 31 tentang kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan dinyatakan bahwa : Jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. Hak pemegang Hak Guna Bangunan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah dinyatakan bahwa : Pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau 7
Urip Santoso I, op.cit, hal. 110
69 usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya. e. Fungsi Hak Guna Bangunan. Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan yang diatur dalam ketentuan Pasal 39 UUPA jo Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Prosedur Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan dengan Tanah Adalah: (1) Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notariil atau akta di bawah tangan sebagai perjanjian pokoknya; (2) Adanya penyerahan Hak Guna Bangunan sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai perjanjian ikutan; (3) Adanya pendaftaran akta Pemberian Hak Tanggungan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan. f. Hapusnya Hak Guna Bangunan. Hak Tanggungan hapus dengan hapusnya Hak Guna Bangunan. Prosedur pembebanan Hak Guna Bangunan dengan Hak Tanggungan ini diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 114 sampai dengan Pasal 119 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
70 Berdasarkan Pasal 40 UUPA dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan hapus disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : (1) Jangka waktunya berakhir; (2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; (3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; (4) Dicabut untuk kepentingan umum; (5) Ditelantarkan; (6) Tanahnya musnah; (7) Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2). Hapusnya Hak Guna Bangunan lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah dijelaskan bahwa faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Guna Bangunan adalah: (1) Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya; (2) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena: a. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Guna Bangunan. b. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan. c. Putusan Pengadilan Yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap; (3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; (4) Hak Guna Bangunannya dicabut; (5) Ditelantarkan; (6) Tanahnya musnah; (7) Pemegang Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan. Hapusnya Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara mengakibatkan tanahnya kembali menjadi Tanah Negara. Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan
71 pemegang Hak Pengelolaan. Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemilik tanah. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak Guna Bangunan yang sebelum jangka waktunya berakhir dicabut disebabkan oleh beberapa hal yaitu tanahnya diterlantarkan oleh pemegang Hak Guna Bangunan, tanahnya musnah, dan pemegang Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan yang diterbitkan dengan surat keputusan yang bersifat deklaratoir. Hapusnya Hak Guna Bangunan karena jangka waktunya berakhir dilepaskan secara sukarela oleh pemegang Hak Guna Bangunan. Hapusnya Hak Guna Bangunan karena dibatalkan oleh pejabat yang berwenang diterbitkan surat keputusan yang bersifat konstitutif. Surat keputusan yang bersifat konstitutif adalah surat keputusan yang berfungsi sebagai pembatalan terhadap hak atas tanah dikarenakan tidak dipenuhinya kewajiban tertentu oleh pemegang hak atas tanah. Sifat konstitutifnya adalah hak atas tanah yang bersangkutan baru hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Surat keputusan yang bersifat deklaratoir adalah surat keputusan yang berfungsi sebagai pernyataan tentang hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan. Surat keputusan ini untuk hapusnya hak atas tanah yang terjadi karena hukum. Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah mengatur
72 konsekwensi bagi bekas pemegang Hak Guna Bangunan atas hapusnya Hak Guna Bangunan, yaitu: (1) Apabila Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Guna Bangunan; (2) Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan, maka kepada bekas pemegang Hak Guna Bangunan diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden; (3) Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan; (4) Jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai dalam memenuhi kewajibannya, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas Hak Guna Bangunan itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan; (5) Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik. g. Beralihnya Hak Guna Bangunan. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain yang diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (3) UUPA jo Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak Guna Bangunan dapat beralih dengan cara pewarisan yang harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, surat keterangan kematian pemegang Hak Guna Bangunan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli warisnya dan sertipikat Hak Guna Bangunan yang bersangkutan.
73 Prosedur peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas jo Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 111 dan Pasal 112 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hak Guna Bangunan juga dapat dialihkan oleh pemegang Hak Guna Bangunan kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan. Bentuk dialihkan tersebut dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan yang harus dibuktikan dengan akta PPAT, sedangkan lelang dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor Lelang. Peralihan Hak Guna Bangunan tersebut harus didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertipikat dari pemegang Hak Guna Bangunan yang lama kepada penerima Hak Guna Bangunan yang baru. Prosedur pemindahan Hak Guna Bangunan karena jual beli, tukar menukar, hibah, dan penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 3
74 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Prosedur pemindahan Hak Guna Bangunan karena lelang diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam peralihan Hak Guna Bangunan ini ada ketentuan khusus, yaitu peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Pengelolaan. Demikian pula dengan peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik tanah yang bersangkutan. h. Syarat-syarat Permohonan Hak Guna Bangunan. Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada: a. Warga Negara Indonesia b. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Permohonan Hak Guna Bangunan diajukan secara tertulis dan Permohonan Hak Guna Bangunan memuat beberapa ketentuan: 1. Keterangan mengenai pemohon. Apabila pemohon adalah perorangan, permohonan diajukan dengan memuat nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjannya serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya. Apabila pemohon adalah Badan Hukum, maka permohonan yang diajukan memuat nama, tempat
75 kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik. a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya; b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan tanggal dan nomornya); c. Jenis tanah (pertanian, non pertanian); d. Rencana penggunaan tanah; e. Status tanahnya (tanah hak milik perorangan atau tanah negara). 3. Lain-lain : a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon; b. Keterangan lain yang dianggap perlu. Permohonan Hak Guna Bangunan selain persyaratan tertulis di atas juga wajib dilampiri dengan: 1. Non fasilitas Penanaman Modal. a. Mengenai pemohon. Jika perorangan wajib disertakan dengan foto copy surat bukti identitas dan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia. Jika pemohon
76 adalah Badan Hukum maka wajib dilampirkan foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Mengenai tanahnya. Mengenai tanah yang akan dimohonkan Hak Guna Bangunan wajib dilengkapi dengan data yuridis dan data fisik. Data yuridis terdiri dari sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, Akta PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya. Data fisik terdiri dari surat ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada serta surat lain yang dianggap perlu. c. Surat Lainnya Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon. 2. Fasilitas Penanaman Modal a. Foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum; b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang;
77 c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah; d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya; e. Persetujuan penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau surat persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing; f. Surat ukur apabila ada. Pengaturan hal di atas dasar hukumnya diatur di dalam ketentuan Pasal 34 Peraturan Meteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan. 2.3 Konsep Badan Hukum. Subyek Hukum mempunyai kedudukan dan peran yang penting dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan. Pentingnya hal ini karena Subyek Hukum dapat mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Istilah Subyek Hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu rechtsubject atau law of subject (Inggris). Rechtsubject secara umum diartikan sebagai pendukung
78 hak dan kewajiban yaitu manusia dan Badan Hukum. 8 Subyek Hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu-lintas hukum. Ruang lingkup Subyek Hukum adalah manusia (naturlijke persoon) dan Badan Hukum (rechtpersoon).9 Manusia disamping sebagai pembawa hak, di dalam hukum juga badanbadan atau perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai Subyek Hukum yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu-lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka Hakim. Badan-badan atau perkumpulan tersebut dinamakan Badan Hukum (rechtspersoon) yang berarti orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum. Jadi, ada suatu bentuk hukum (rechtsfiguur) yaitu Badan Hukum yang dapat mempunyai hak- hak, kewajibankewajiban hukum dan dapat mengadakan hubungan hukum. 10 E. Utrecht dalam pandangannya tentang Badan Hukum (rechtspersoon) menjelaskan bahwa Badan Hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan Hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta pergaulan hukum biarpun tidak berwujud manusia atau
8
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40 9 A. Ridwan Halim, 1985, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 29 10 CST Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 216
79 benda yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya.11 Badan Hukum adalah suatu realitas dalam pergaulan hukum yang memiliki sifat sama seperti manusia. 12 Konsep Badan Hukum pada hakikatnya merupakan hak dan kewajiban dari para anggotanya secara bersama-sama dan di dalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat di bagi-bagi itu, tetapi juga sebagai pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap pribadi anggotanya adalah juga pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu. Penulis berpandangan dari pendapat sarjana di atas bahwa Badan Hukum pada intinya adalah sesuatu yang dianggap sama dengan manusia kodrati, sehingga dapat melakukan perjanjian, memiliki kekayaan, melakukan gugatan, dan dapat digugat. Perbedaannya dengan manusia adalah Badan Hukum tidak dapat melakukan perkawinan dan tidak dapat dipenjara. Tetapi badan hukum dapat dikenai hukuman denda atau administrasi. Badan Hukum untuk keikutsertaannya dalam pergaulan hukum harus mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu : a.
Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya;
b.
Hak dan kewajiban Badan Hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.13
11
E. Utrecht dalam Neni Sri Imaniyati, 2009, Hukum Bisnis: Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 124 12 Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2015, Implikasi Politik Hukum Pertanahan Nasional Terhadap Kedudukan Desa Pekraman Sebagai Subyek Hukum Hak Atas Tanah, (Disertasi), Program Studi Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar, hal. 54 13 R. Soeroso, 2010, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 147
80 Kedua hal di atas merupakan syarat yang harus dimiliki oleh Badan Hukum di dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Badan Hukum sebagai kumpulan manusia pribadi mungkin pula sebagai kumpulan dari Badan Hukum pengaturannya sesuai dengan hukum yang berlaku : a. Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Bab III bagian ketiga Buku I KUHD; b. Koperasi diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1992; c. Yayasan, pengaturannya sesuai kebiasaan yang dibuat aktenya di notaris; d. Perbankan diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992; e. Bank pemerintah, sesuai dengan Undang-undang yang mengatur pendiriannya; f. Organisasi partai politik dan golongan karya diatur dengan UndangUndang No. 3 Tahun 1978; g. Pemerintah daerah tingkat I, II dan kecamatan diatur dengan UndangUndang No. 5 Tahun 1975; h. Negara Indonesia diatur dengan Konstitusi Undang-undang Dasar 1945.14 Pasal 1653 KUH Perdata dalam ketentuannya dinyatakan tentang Badan Hukum bahwa : Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai Badan Hukum juga diakui undang-undang, entah Badan Hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula Badan Hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Konsep Badan Hukum dengan mengacu pada makna “perseroan perdata sejati dan kekuasaan umum” sesuai substansi ketentuan pasal di atas penulis berpandangan bahwa Badan Hukum pada prinsipnya terbagi atas dua yakni Badan Hukum Publik dan Badan Hukum Privat. Penulis mengutip substansi dalam buku yang berjudul “Perbandingan Hukum Perdata” karangan Soeroso dinyatakan
14
Ibid
81 secara spesifik bahwa menurut bentuknya Badan Hukum dibedakan menjadi dua, yaitu : Badan Hukum Publik (publiek rechtspersoon); Badan Hukum Privat/Perdata (privat rechtspersoon).15 1) Badan Hukum Publik (publiek rechtspersoon). Ialah Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Publik yang menyangkut kepentingan publik, orang banyak atau negara umumnya. Badan Hukum ini merupakan badan-badan hukum negara yang mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa, berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh badan eksekutif, pemerintah atau badan pengurus yang diberi tugas untuk itu. Contoh Badan Hukum Publik adalah : a. Negara Republik Indonesia, dasarnya adalah Konstitusi tertulis dalam
bentuk
Undang-Undang
Dasar,
kekuasaannya
diberikan/ditugaskan kepada Presiden dan pembantu-pembantunya ialah para Menteri; b. Pemerintah Daerah Tingkat I, II dan Kecamatan dibentuk berdasarkan
Undang-undang
lainnya.
Dalam
menjalankan
kekuasaannya diberikan/ditugaskan kepada Gubernur/KDH Tk. I, Bupati atau Walikotamadya/ Kepala Daerah Tk. II dan Camat; c. Bank Indonesia, diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992, Bank Negara Indonesia 1946 diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
15
R. Soeroso, ibid, hal. 148
82 19 Tahun 1992, Bank Dagang Negara diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1992, Bank Bumi Daya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1992 dan Bank-bank Pemerintah lainnya, yang dalam menjalankan pelaksanaan tugas dilakukan oleh Direksi atau Group Direktur-direktur; d. Perusahaan Negara didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah, pengurusannya dilaksanakan oleh Direksi; e. Pertamina, didirikan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1971. 2) Badan Hukum Privat (privat rechtspersoon). a) Beberapa penjelasan. Badan Hukum Privat/Perdata atau sipil ialah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi di dalam Badan Hukum itu. Badan Hukum ini merupakan Badan Hukum Swasta yang didirikan oleh pribadi orang itu untuk tujuan tertentu, yaitu mencari keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesenian, olah raga dan lainlain sesuai dengan/menurut hukum yang berlaku secara sah. Bentuk dan susunannya diatur oleh hukum privat. Habib Adjie dalam bukunya yang berjudul “Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas” menjelaskan bahwa Badan Hukum Publik merupakan Badan Hukum yang didirikan dan dimiliki oleh pemerintah seperti Lembaga Negara
Eksekutif,
Legislatif,
Yudikatif,
Badan
Usaha
Milik
83 Negara/Daerah (BUMN/BUMD), dan Bank Negara. Sedangkan Badan Hukum Privat adalah Badan Hukum yang didirikan dan dimiliki oleh pihak swasta, yang menyangkut kepentingan orang atau individuindividu seperti Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Perkumpulan, Organisasi Masyarakat, dan sebagainya. 16 b) Menurut tujuannya Badan Hukum Privat dibagi/dibedakan dalam : Perserikatan dengan tujuan tidak materiil/amal; Contoh perserikatan dengan tujuan tidak materril/amal adalah Perkumpulan Gereja, Badan Wakaf dan Yayasan yang didirikan oleh pendiri, dengan tujuan sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan. Pengaturannya berdasarkan kebiasaan yang anggaran pendirinya dibuat oleh Notaris. Perserikatan dengan tujuan memperoleh laba; Contoh perserikatan dengan tujuan memperoleh laba adalah Perseroan Terbatas (PT). Untuk Perseroan didirikan oleh perseropersero yang bertujuan. Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh Direksi dan pengaturannya terdapat di dalam ketentuan UndangUndang No. 48 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perserikatan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan materiil para anggota-anggotanya; Contohnya adalah Koperasi yang didirikan oleh para anggota dengan sistem kekeluargaan dan usaha bersama, sesuai dengan 16
Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, CV. Mandar Maju, ((selanjutnya disingkat Habib Adjie I), hal.14.
84 kepribadian yang diatur dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1992. Dalam pelaksanaan kegiatan tugasnya dilakukan oleh pengurus Partai Politik dan golongan karya; Didirikan dan di masuki oleh warga negara sebagai alat demokrasi, yang mewakili kepentingan rakyat dalam badan perwakilan rakyat seperti MPR, DPR dan DPRD. Perundang-undangan yang mengaturnya ialah Undang-undang No. 3 Tahun 1975; Badan amal, wakaf, perkumpulan dan lain-lain semacamnya. Badan Hukum menurut jenisnya dibagi dalam dua jenis golongan yang terdiri dari : -
Korporasi;
-
Yayasan. 17
1) Korporasi. Korporasi ialah suatu gabungan orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama sebagai satu subyek hukum tersendiri (personifikasi). Korporasi merupakan Badan Hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak/kewajiban sendiri. Ada beberapa macam korporasi, yaitu : Perhimpunan, yang dibentuk dengan sengaja atau sukarela oleh orang yang
bermaksud
memelihara
memperkuat
kebudayaan,
kedudukan
mengurus
soal-soal
ekonomi sosial
sebagainya. Contohnya : Perseroan Terbatas, NV, PN;
17
R. Soeroso, op.cit, hal. 151
mereka, dan
lain
85 Persekutuan
orang
(gemenschap
van
mensen),
yang
karena
perkembangan faktor-faktor sosial dan politik dalam sejarah. Contohnya: Pemerintah Daerah Tk. I, II dan Desa; Organisasi orang, yang didirikan berdasarkan undang-undang tetapi bukan perhimpunan. 2) Yayasan. Yayasan ialah tiap kekayaan (Vermogen) yang tidak merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan dan yang diberi untuk tujuan tertentu. Yayasan adalah sebagai pendukung hak/kewajiban sendiri, dan didirikan oleh para pendiri/anggota dengan tujuan sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan. Pengaturannya dibuat oleh Notaris. Contoh
: Yayasan Lektur Jakarta, Wakaf dalam hukum Islam.
Catatan
: Perbedaan antara Korporasi dan Yayasan. Yayasan menjadi Badan Hukum dengan tiada anggota tetapi mempunyai pengurus
yang
menyelenggarakan
kekuasaan
dan
tujuannya. Korporasi mempunyai anggota dan pengurus yang menjalankan kegiatan tugasnya. Menurut tata/aneka warna hukum di Indonesia, Badan Hukum dibedakan dalam : 1) Badan Hukum menurut Hukum Eropa ialah Badan Hukum yang diatur menurut hukum yang dikonkordasi dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Misalnya : Negara, PT, Perhimpunan-perhimpunan berdasarkan LNHB 1870 No. 64.
86 2) Badan Hukum menurut hukum bukan Eropa yang tertulis adalah Badan Hukum ini terkenal di bawah nama “Badan Hukum Indonesia”, ialah Badan Hukum menurut hukum undang-undang yang dibuat dengan mengingat pasal 131 ayat 2 sub b I.S : bilamana keperluan umum atau keperluan sosial orang bukan eropa memerlukannya (badan hukum menurut “fantasierecht”). Misal : Perhimpunan berdasarkan LNHB 1939 No. 570 jo. 1939 No. 717 dan LN 1958 No. 139. 3) Badan Hukum Adat adalah Badan Hukum menurut hukum bumi putera (yang pada umumnya tidak tertulis). Misal : Badan Wakaf, YayasanYayasan. Pembentukan Badan Hukum sebagai subyek hukum eksistensinya didasari dengan beberapa teori-teori tentang dasar yuridis Badan Hukum
yang
mendukungnya. Teori tersebut adalah :18 a. Teori Fiksi (F,C. von Savigny,C.W. Opzoomer dan Houwing). Menurut teori ini Badan Hukum dianggap buatan negara, sebenarnya Badan Hukum itu
tidak
ada,
hanya
orang
menghidupkan
bayangannya
untuk
menerangkan sesuatu dan terjadi karena manusia yang membuat berdasarkan hukum. Jadi merupakan orang buatan hukum persona ficta. b. Teori kekayaan tujuan (A. Brinz dan EJJ Van der Heyden). Menurut teori kekayaan Badan Hukum itu bukan kekayaan orang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuannya (zweck Vermögen). Tiap hak tidak ditentukan oleh
18
R. Soeroso, op.cit, hal. 152-153
87 suatu tujuan. Menurut teori ini hanya manusialah yang menjadi Subyek Hukum dan Badan Hukum adalah untuk melayani kepentingan tertentu. Dalam teori ini A Brinz hanya dapat menerangkan dasar juridis dari Yayasan. c. Teori organ atau teori peralatan atau kenyataan (Otto von Gierke). Menurut teori ini Badan Hukum adalah sesuatu yang sungguh-sungguh ada di dalam pergaulan yang mewujudkan kehendaknya dengan perantaraan alat-alatnya (organ) yang ada padanya (pengurusnya), jadi bukanlah sesuatu yang fiksi tetapi merupakan makhluk yang sungguhsungguh ada secara abstrak dari konstruksi yuridis. d. Teori milik kolektif (WLPA Molengraaff dan Marcel Planiol). Dalam teori ini Badan Hukum ialah harta yang tidak dapat dibagi-bagi dari anggotaanggota secara bersama-sama. Hak/kewajiban Badan Hukum pada hakikatnya adalah hak/kewajiban para anggota bersama-sama, oleh karenanya Badan Hukum konstruksinya hanya bersifat yuridis saja, dan pada hakikatnya abstrak. e. Teori Duguit. Sesuai dengan ajarannya tentang fungsi sosial maka juga dalam teori ini Duguit tidak mengakui adanya Badan Hukum sebagai Subyek Hukum hanya fungsi-fungsi sosial yang harus dilaksanakan. Manusia sajalah sebagai Subyek Hukum, lain daripada manusia tidak ada Subyek Hukum.
88 f. Teori Eggens. Dalam teori ini Badan Hukum adalah suatu hulpfiguur oleh karenanya keberadaanya diperlukan dan dibolehkan hukum untuk menjalankan hakhak dengan sewajarnya (behoorlijk). Bahwa dalam hal-hal tertentu keperluan itu dirasakan, oleh karenanya hukum hendak memperlakukan suatu kumpulan orang yang bersama-sama mempunyai kekayaan dan tujuan tertentu sebagai suatu kesatuan, karena seorang Subyek Hukum (manusia) tidak dapat (berwenang) sendiri-sendiri bertindak dalam rangkaian peristiwa-peristiwa hukum itu. Mengacu dengan pendapat para ahli hukum di atas dapat disimpulkan bahwa Badan Hukum merupakan orang buatan hukum (persona ficta) yang dibentuk berdasarkan hukum karena keberadaanya diperlukan dan dibolehkan hukum untuk menjalankan hak-hak dengan sewajarnya (behoorlijk).
89 BAB III PENGATURAN PENGUASAAN HAK GUNA BANGUNAN YANG MELAMPAUI BATAS LUAS KETENTUAN UNDANG-UNDANG 3.1. Kedudukan Badan Hukum dalam Penguasaan Hak Guna Bangunan. Nathaniel Lichfield dalam pandangannya sebagai seorang sarjana hukum menyatakan bahwa tanah diartikan sebagai sesuatu yang nyata terdiri dari permukaan fisik bumi serta benda yang ada di atasnya merupakan buatan manusia, yang disebut fixtures.19 Dari pandangan Nathaniel Lichfield ini penulis berpandangan bahwa tanah adalah suatu benda yang berwujud nyata yang tidak bergerak yang meliputi permukaan fisik bumi serta tidak jarang ditemukan benda yang ada di atasnya dan benda ini merupakan hasil dari perbuatan manusia. Contoh konkritnya benda yang ada di atasnya dan benda ini merupakan hasil dari perbuatan manusia adalah suatu bangunan yang berada/didirikan di atas tanah Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan sebagai salah satu jenis hak atas tanah eksistensinya diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, serta Hak Memungut Hasil Hutan. UUPA memberikan pengaturan secara khusus dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) tentang kedudukan Badan Hukum dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan dan dijelaskan bahwa yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan
19
Nathaniel Lichfield and Haim Drabkin, 1980, Land Policy in Planning, (London: George Allen & Unwin Ltd), p. 13.
89
90 adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) tersebut penulis dapat simpulkan bahwa yang dapat memiliki Hak Guna Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Ketentuan Hukum bagi Badan Hukum dalam sistem Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia terkait dengan hak-hak atas tanah terdapat perbedaan pengaturan dalam penerapannya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah dalam ketentuan Pasal 1 menyatakan bahwa : Badan-Badan Hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada pasalpasal 2, 3 dan 4 peraturan ini : a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang- undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 No. 139); c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Ketentuan pasal di atas menyatakan secara tegas bahwa Badan Hukum yang masuk dalam kualifikasi ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah dapat memiliki Hak Milik atas tanah. Dengan adanya perturan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah dan dengan mengacu pada Pasal 36 ayat 1
91 UUPA penulis berpandangan bahwa Badan Hukum yang dapat menguasai Hak Guna Bangunan adalah Badan Hukum yang berbentuk privat bukan Badan Hukum yang berbentuk publik mengingat UUPA tidak mengatur secara tegas Badan Hukum mana yang dimaksud. Badan Hukum terkait dengan penguasaan hak-hak atas tanah khususnya dalam hal ini Hak Guna Bangunan dijelaskan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah dalam ketentuan Pasal 4 dinyatakan bahwa : a. Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi); b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi) dan; c. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan. Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah secara tegas mengatur tentang penguasaan tanah yang dapat dikuasai dengan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum adalah seluas 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi) setara dengan 2 Hektar. Badan Hukum dalam kedudukannya terkait dengan penguasaan Hak Guna Bangunan pengaturannya diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 9 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
92 Pendaftaran Tanah secara eksplisit dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi keputusan mengenai: a. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi); b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk badan hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi). Ketentuan Pasal 9 di atas berarti bahwa bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi keputusan mengenai Hak Guna Bangunan untuk perseorangan penguasaan luasnya di atas 3000 M2 dan tidak lebih dari 10.000 M2 sedangkan untuk Badan Hukum batas penguasaannya adalah dapat menguasai lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi). Pasal 77 sampai dengan Pasal 81 Permen Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997 terkait dengan teknis yuridis pengukuran tanah sebelum izin pendaftaran Hak Guna Bangunan diterbitkan serta optimalisasi tenaga dan peralatan pengukuran menyatakan secara tegas bahwa : 1. Pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya 10 Ha, dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi setempat. 2. Pengukuran bidang tanah yang luasnya lebih dari 1000 Ha dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan hasilnya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
93 3.2. Kewajiban dan Hak Badan Hukum dalam Penguasaan Hak Guna Bangunan. Tanah memiliki peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengaturan penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah perlu lebih diarahkan untuk terjaminnya tertib hukum di bidang hukum pertanahan yang terdiri dari tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan tertib lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud. Kewajiban dan hak Badan Hukum dalam penguasaan Hak Guna Bangunan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah dinyatakan dalam ketentuan Pasal 30 bahwa pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban: a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya; c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus; e. Menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
94 Pasal 30 penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas. Dengan mengacu pada substansi Pasal 30 di atas penulis berpandangan bahwa pemegang Hak Guna Bangunan wajib untuk membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara
pembayarannya
ditetapkan
dalam
keputusan
pemberian
haknya,
menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya, memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup, menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus dan menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan secara lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 31 dinyatakan bahwa jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. Penjelasan substansi Pasal 31 adalah Pemberian Hak Guna Bangunan tidak boleh mengakibatkan tertutupnya penggunaan dari segi fisik tanah yang terkurung oleh tanah Hak Guna Bangunan itu. Oleh karena itu pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang terkurung memiliki akses yang diperlukan.
95 Dapat disimpulkan dari makna substansi ketentuan pasal di atas adalah pemegang Hak Guna Bangunan tidak boleh merugikan pemegang hak atas tanah lainnya dan penggunaannya tidak boleh sampai mengganggu bidang tanah lain dari lintas umum atau jalan air. Hak Badan Hukum sebagai pemegang Hak Guna Bangunan secara tegas diatur di dalam ketentuan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Substansi ketentuan pasal ini menyatakan bahwa pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya. Penjelasan substansi ketentuan Pasal 32 menyatakan bahwa hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan dapat dilaksanakan dengan mengadakan kerjasama dengan pihak lain. Dapat disebutkan makna yang terdapat di dalam substansi ketentuan pasal di atas adalah bahwa pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan, untuk keperluan pribadi atau usahanya, serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya atas persetujuan dari si pemilik tanah dan sesuai dengan perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan yang dibuat dengan akta otentik melalui PPAT.
96 3.3. Analisis Pengaturan Penguasaan Hak Guna Bangunan yang Melampaui Batas
Luas
Ketentuan
Undang-Undang
di
Indonesia
serta
Perbandingannya dengan Negara Lain. Penguasaan
Hak
Guna
Bangunan
memiliki
keterkaitan
dengan
penatagunaan tanah. Fungsi penatagunaan tanah sangat diperlukan untuk menyesuaikan dengan Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi pengolahan dan penyimpanan data terkait berbagai jenis hak-hak atas tanah yang terdapat di dalam ketentuan UUPA.20 Pengaturan terkait dengan berbagai jenis hak-hak atas tanah diatur dalam ketentuan Pasal 16 UUPA dan merupakan bagian dari Hukum Agraria Nasional yang landasan hukumnya bersumber dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini mengandung tiga prinsip yaitu : 1. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara; 2. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa indonesia harus menggunakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; 3. Hubungan antar negara dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan hubungan menguasai. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi pedoman bagi pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik 20
Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal.8
97 Indonesia Tahun 1960 No. 104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2043, atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa : (1) Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat; (2) Hak menguasai Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur; (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan pemerintah.
Hak menguasai Negara untuk mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa dengan mengacu pada Pasal 2 UUPA di atas adalah bersifat abadi dan digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Pemerintah memiliki peran penting dalam penatagunaan tanah dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan bagi Badan Hukum. Peran pemerintah disini
98 adalah untuk membuat suatu rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana khusus (regional planing).21 Peran penting pemerintah terkait dengan hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk representasinya secara konkrit yang diwakili oleh Badan Pertanahan Nasional dalam pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan bagi Badan Hukum yang dimulai secara nasional dan selanjutnya berlanjut kedaerah-daerah dengan menyesuaikan pada keadaan geografis wilayah. R. Soeprapto memberikan pendapatnya terkait dengan penataagunaan tanah : “Tata guna tanah merupakan rangkaian kegiatan penataan peruntukan, penggunaan, dan persediaan tanah secara berencana dan teratur, sehingga diperoleh manfaat yang lestari optimal, seimbang, dan serasi untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.22 Mengutip pendapat dari R. Soeprapto di atas terkait dengan arti penataagunaan tanah dapat dikaji bahwa penatagunaan tanah adalah kegiatan penataan tanah yang dilakukan oleh pemerintah yang digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dengan pemanfaatan persediaan tanah secara teratur dan optimal. Urip Santoso menjelaskan lebih lanjut tentang tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan penyediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional. Dalam tata guna tanah terdapat rangkaian kegiatan berupa penyediaan, peruntukan, dan 21
Urip Santoso I, op.cit, hal. 246 R. Soeprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktik, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal. 75. 22
99 penggunaan tanah, sedangkan tujuan tata guna tanah adalah untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.23 Pengertian pengelolaan tata guna tanah atau penatagunaan tanah dalam hukum positif dimuat dalam penjelasan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yaitu : Penatagunaan tanah sama dengan pengelolaan tata guna tanah, yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas. Mengacu pada Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, penulis berpandangan bahwa penguasaan Hak Guna Bangunan yang dilakukan oleh Badan Hukum hendaknya melalui pengaturan oleh kelembagaan yang terkait serta pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil, tidak saja memberikan keuntungan bagi masyarakat menengah keatas namun juga bagi masyarakat menengah kebawah. Muchsin dan Imam Koeswahyono menyatakan bahwa ada empat unsur esensial dalam penatagunaan tanah, yaitu: 24 1. Adanya serangkaian kegiatan/aktivitas, yaitu pengumpulan data lapangan tentang penggunaan, penguasaan, kemampuan fisik, pembuatan
23
Urip Santoso I, loc.cit Muchsin dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah Dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Muchsin dan Imam Koeswahyono, II) hal. 48-49. 24
100 rencana/pola penggunaan tanah, penguasaan, dan keterpaduan yang dilakukan secara integral dan koordinasi dengan instansi lain; 2. Dilakukan secara berencana dalam arti harus sesuai dengan prinsip lestari, optimal, serasi, dan seimbang; 3. Adanya tujuan yang hendak dicapai, yaitu sejalan dengan tujuan pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 4. Harus terkait langsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan memerhatikan daftar skala prioritas (dsp). Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan hendaknya memperhatikan empat unsur esensial dalam penata gunaan tanah yakni adanya pengumpulan data fisik dan data yuridis lapangan, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah, penguasaan, dan keterpaduan yang dilakukan secara integral dan koordinasi dengan instansi lain. Dilakukan secara berencana dengan prinsip lestari, optimal, serasi, dan seimbang. Memiliki tujuan yang hendak dicapai sejalan dengan tujuan pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan harus memiliki keterkaitan
langsung
dengan
peletakan
proyek
pembangunan
dengan
memerhatikan Daftar Skala Prioritas (DSP) serta mempertimbangkan aspek geografis wilayah. Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang sampai saat ini masih terdapat kekosongan hukum. UUPA secara tegas menganut sistem pembatasan pemilikan tanah yang diatur di dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. Ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA menyatakan bahwa :
101 Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat.Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsurangsur. Pasal dan 7 dan Pasal 17 di atas menunjukan adanya prinsip pembatasan tanah yang dianut oleh UUPA. Pembatasan penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah lebih lanjut secara sepesifik ketentuannya diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah yang dibawah ini penulis tampilkan dalam bentuk tabel.
No 1.
Jenis Hak-Hak Atas Tanah Hak Milik
Pengaturan Pasal Pasal 7
Luas - Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari luas batas maksimum kepemilikan tanah pertanian perorangan. - Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi); - Pemberian Hak Milik untuk Badan Hukum Keagamaan dan sosial yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah, atas tanah non pertanian yang luasnya
102
2.
Hak Guna Usaha
Pasal 8
3.
Hak Guna Bangunan
Pasal 9
4.
Hak Pakai
Pasal 10
lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu meter persegi). Penjelasan pasal demi pasal : Cukup Jelas Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000.000 M2 (dua juta meter persegi). Penjelasan pasal demi pasal : Cukup jelas - Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi); - Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi) Penjelasan pasal demi pasal : Cukup jelas -
Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 50.000 m² (lima puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 100.000 m² (seratus ribu meter persegi). - Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 3.000 m² (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi); - Pemberian Hak Pakai untuk badan hukum swasta, BUMN/BUMD atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu meter persegi). Penjelasan pasal demi pasal: Cukup jelas
Substansi beberapa ketentuan pasal di atas secara tegas telah mengatur pembatasan kepemilikan tanah terkait dengan hak-hak atas tanah yakni Hak
103 Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dalam relevansinya terhadap permasalahan dalam penelitian ini masih terdapat kekosongan hukum di dalam UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undangundang. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam ketentuan Pasal 5 dinyatakan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi : a. b. c. d. e. f. g.
Kejelasan tujuan; Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; Kesesuaian antara jenis, hierarkhi, dan materi muatan; Dapat dilaksanakan; Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Kejelasan rumusan; dan Keterbukaan. UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah belum sepenuhnya mengakomodir apa yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 5 huruf (f) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang kejelasan rumusan terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang.
104 Hal ini penting adanya agar setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundangundangan yang terdiri dari sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya serta memberikan kepastian hukum dalam hal terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Subyek Hukum Penulis dengan mengacu pada Teori Kepastian Hukum terkait kekosongan hukum yang terdapat pada UUPA dalam hal pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang dinyatakan bahwa
suatu
peraturan
perundang-undangan
yang
dibentuk
hendaknya
memberikan suatu norma yang memiliki nilai kepastian hukum yang di dalamnya terdapat dua substansi penting. Substansi yang pertama adalah adanya ketentuan/aturan yang bersifat umum dapat memberikan pemahaman kepada Subyek Hukum yang terdiri dari Orang atau Badan Hukum untuk mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Substansi yang kedua adalah merupakan jaminan perlindungan hukum bagi Subyek Hukum dari kesewenang-wenangan tindakan pemerintah. Eksistensi adanya ketentuan aturan hukum yang bersifat umum memiliki fungsi bagi Badan Hukum untuk dapat mengetahui dan memahami terkait dengan hal-hal apa saja yang dapat dibebankan atau dilakukan Negara terhadapnya. Secara konkritnya dalam hal ini adalah terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan terhadap Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Substansi jaminan perlindungan hukum bagi Subyek Hukum dari
105 kesewenang-wenangan tindakan pemerintah memberikan arti bahwa dalam hal terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Badan Hukum dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undangundang dalam hal ini sanksinya hanya dapat diberikan atas dasar ketentuan undang-undang
yang
berlaku.
Tidak
berdasarkan
kesewenang-wenangan
pemerintah. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.25 Pembentukan norma terkait adanya kokosongan hukum pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum dengan melebihi batas luas ketentuan undang-undang yang tidak diatur dalam ketentuan UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah harus berlandaskan nilai-nilai keadilan di dalamnya. Aristoteles memformulasikan dalam ruang lingkup Filsafat Hukum bahwa keadilan dibedakan menjadi 2 (dua) hal yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Hal ini menjadi dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before
25
Peter Mahmud Marzuki, loc.cit
106 the law).26 Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan, ketika keseimbangan yang ada terganggu oleh tindakan yang salah. Keadilan ini bermaksud mengembalikan kondisi atau posisi yang terganggu menjadi seperti sedia kala.27 Keadilan menurut Jhon Rawls dijelaskan lebih lanjut bahwa keadilan tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta dalam mendukung upaya tersebut. 28 UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah belum memberikan pengaturan yang adil terkait dengan Penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui luas ketentuan undang-undang. Mengutip pendapat Jhon Rawls tentang teori keadilannya di atas dapat disebutkan bahwa di dalam membentuk suatu ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keadilan dan daya paksa dalam hal apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan yang tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan tentang perlu adanya kepastian hukum. Kepastian hukum ini harus mencerminkan nilai keadilan dan hukum di dalamnya turut serta dalam mendukung upaya tersebut. Aktualisasi teori keadilan dari Jhon Rawls harus harus benar-benar dilaksanakan oleh para legislator dalam membentuk undang-undang atau peraturan hukum lainnya. 26
Khudzaifah Dimyati, loc.cit Sutarman Yodo, loc.cit 28 Jhon Rawls dalam Bambang Kusumo, loc.cit 27
107 Membentuk suatu undang-undang yang memiliki nilai kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan harus sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan Perundang-undangan yang baik. Teori pembentukan peraturan perundangundangan dikemukakan oleh Lon Fuller dalam bukunya In The Morality of Law, Fuller identifies eight requirements of the rule of law: Laws must be general (#1), specifying rules prohibiting or permitting behavior of certain kinds. Laws must also be widely promulgated (#2), or publicly accessible. Publicity of laws ensures citizens know what the law requires. Laws should be prospective (#3), specifying how individuals ought to be have in the future rather than prohibiting behavior that occurred in the past. Laws must be clear (#4). Citizens should be able to identify what the laws prohibit, permit, or require. Laws must be non-contradictory (#5). One law cannot prohibit what another law permits. Laws must not ask the impossible (#6). Nor should laws change frequently; the demands laws make on citizens should remain relatively constant (#7). Finally, there should be congruence between what written statute declare and how officials enforce those statutes (#8).29 Berdasarkan uraian teori hukum dari Lon Fuller di atas dengan mengartikan secara bebas terhadap apa yang diuraikan dalam teorinya “Principles Of Legality”, Fuller mengidentifikasi adanya delapan persyaratan dari peraturan perundang-undangan yaitu: 1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh berlaku khusus atau untuk individu tertentu; 2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas; 3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undangundang harus bersifat prospefektif; 4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus jelas;
29
Lon Fuller, loc.cit
108 5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh bertentangan satu dengan lainnya. (sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang kontradiktif); 6. Suatu undang-undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundangundangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau kesanggupan warga negara untuk memenuhinya; 7. Undang-undang tidak boleh sering berubah. Apa yang diminta oleh undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap; 8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut.30 Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik guna memberikan adanya kepastian hukum hendaknya dibentuk dengan mengacu pada prinsipprinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang dikemukakan oleh Lon Fuller di atas. UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara normatif tentang pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan bagi Badan Hukum yang melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. Upaya dalam memberikan kepastian hukum kedepan terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang, hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan Teori Principles Of Legality yang terdapat di dalam angka ke-3, 4 dan ke-8 yakni hukum harus memberikan prospek kedepan, hukum harus jelas dan harus terjadi
30
Diterjemahkan melalui transleter Putu Sudana, Dosen Fakultas Sastra Inggris Universitas Udayana Denpasar.
109 kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut. Makna hukum harus memberikan prospek kedepan pada angka ke 3 teori Principles Of Legality di atas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa publisitas hukum menjamin subyek hukum menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum dan undang-undang harus bersifat prospefektif. Undang-undang yang dibentuk harus memberikan sifat yang prospektif dalam arti menjangkau persoalan-persoalan hukum yang akan terjadi di massa depan dan masyarakat mengetahui tentang apa yang disyaratkan oleh undang-undang. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah belum menjangkau hal tersebut karena masih terdapat kekosongan hukum terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. Makna hukum harus jelas pada angka ke 4 teori Principles Of Legality di atas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa pembentuk undang-undang harus jelas dalam membuat undang-undang. Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang perlu diatur secara jelas, tegas, spesifik serta perumusan substansi pasal yang dibentuk dalam suatu peraturan perundang-undangan memberikan suatu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
110 Makna yang terdapat dalam point ke-8 teori Principles Of Legality di atas memberikan penjelasan bahwa hukum harus jelas dan harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut. Dalam hal ini Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah yang mengatur tentang pembatasan kepemilikan dan penguasaan tanah hendaknya mengatur juga sanksi terhadap Badan Hukum yang melakukan pelanggaran penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas ketentuan luas undang-undang serta memberikan pengaturan terhadap perjanjian Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya masih berlaku namun melanggar batas penguasaan luas tanah setelah di sahkannya peraturan ini. Secara lebih lanjut dalam teori pembentukan norma hukum dinyatakan bahwa suatu aturan hukum yang dibentuk hendaknya mendeskripsikan : 1. Hukum adalah ide atau konsep umum tentang lembaga-lembaga hukum yang diabstraksikan dari peristiwa-peristiwa tertentu dari padanya; 2. Hukum adalah suatu sistem hukum tertentu secara menyeluruh dan koheren yang terdapat dalam suatu masyarakat atau negara tertentu; 3. Hukum adalah ketentuan normatif tertentu dari Hukum: aturan atau norma dari suatu sistem hukum tertentu; 4. Hukum merupakan abstraksi dari apa yang tampak yaitu Hukum dan hukum. Jika kita melakukan abstraksi, kita merujuk pada hal-hal konkret atau dapat diamati. Bagaimana kita dapat mengenali sesuatu kalau tidak memiliki gambaran untuk membimbing kita. Oleh karena itu kita harus beranjak dari yang khusus dulu yakni Hukum atau sistem hukum. 31
31
Antony Allot, loc.cit
111 UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah yang masih terdapat ketidak pastian hukum terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang hendaknya memuat poin ke 2 dan ke 3 dalam pembentukan norma hukum dijelaskan bahwa Hukum adalah suatu sistem hukum tertentu secara menyeluruh dan koheren yang terdapat dalam suatu masyarakat atau negara tertentu dan Hukum adalah ketentuan normatif tertentu dari Hukum/aturan atau norma dari suatu sistem hukum tertentu. Dua hal substansi pembentukan norma hukum diatas harus di implementasikan kedalam UUPA juncto Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. Suatu aturan yang di dalamnya memuat kepastian hukum, kemanfaatan, kejelasan, keadilan atau dalam arti filosofis, sosiologis dan yuridis dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak akan bisa sah berlaku tanpa adanya pengesahan (legalitas) yang dilakukan oleh instansi yang berwenang. Aspek legalitas ini juga tidak bisa dilepaskan dengan konsep hukum yang berlaku dalam sistem hukum di Indonesia yang menganut konsep Negara Hukum. Konsep Negara Hukum sering diterjemahkan dengan istilah “Rechtsstaat” atau “Rule of Law”. Paham Rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System. Paham Rechtsstaat ini
112 dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Van Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study of The Law of The Constitution.32 Paham Rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Penulis dalam penelitian ini menggunakan konsep Negara Hukum dari Friedrich Julius Stahl, karena Indonesia menganut sistem hukum yang sama yakni sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga terdapat persesuaian atau persamaanpersamaan terkait dengan penerapan sistem hukum Eropa Kontinental. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya Rechtsstaat mencakup 4 (empat) elemen terdiri dari : a) Perlindungan hak asasi manusia; b) pembagian kekuasaan; c) pemerintahan berdasarkan undang-undang; d) peradilan tata usaha negara. 33 Substansi Konsep Negara Hukum yang memiliki relevansi terhadap pembahasan permasalahan dalam penelitian ini adalah pemerintahan berdasarkan undang-undang. Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan bagi Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang pengaturannya perlu diatur di dalam ketentuan undang-undang oleh pejabat yang berwenang sehingga dapat memberikan kejelasan bagi subyek hukum yang terlibat sebagai para pihak dalam akta pemberian Hak Guna Bangunan serta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 32 33
Bahder Johan Nasution, loc.cit Bahder Johan Nasution, loc.cit
113 dalam menjalankan tugasnya memiliki dasar hukum yang kuat. Pemerintahan berdasarkan undang-undang juga memiliki makna bahwa hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan Negara (pemerintahan). Segala tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang hanya bisa diberikan oleh pejabat yang berwenang. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam bidang Hukum Adminitrasi Negara “asas legalitas” merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintahan. Asas legalitas memuat 3 aspek yakni aspek negatif (het negative aspect), aspek formal-positif (het formeel-positieve aspect) dan aspek materiil-positif (het materieel-positieve aspect).
Aspek
negatif menentukan bahwa tindakan
pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tindakan pemerintah adalah tidak sah apabila bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Aspek formal positif menentukan bahwa pemerintah hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-undang. Aspek materiil-positif menentukan bahwa undang-undang memuat aturan umum yang mengikat tindakan pemerintahan. Hal ini berarti bahwa kewenangan itu harus memiliki dasar perundang-undangan dan juga bahwa
114 kewenangan itu isinya ditentukan normanya oleh undang-undang. 34 Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melebihi batas luas ketentuan undang-undang hendaknya diatur secara tegas, jelas dan spesisifik agar idealisme hukum dapat seutuhnya terealisasi dan memiliki nilai legalitas. Hak Guna Bangunan konsepnya berawal dari konsep UUPA yang tidak memberikan kewenangan kepada Negara Republik Indonesia sebagai pemilik hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia, melainkan dikuasai oleh Negara Republik Indonesia, dan hal ini disebut sebagai Hak Menguasai Negara. Boedi Harsono dalam pendapatnya mengatakan bahwa pemilik bangunan berbeda
dengan
pemilik
hak
atas
tanah
dimana
bangunan
tersebut
berada/didirikan. Hal ini juga terjadi persamaan konsep bahwa pemegang Hak Guna Bangunan dimana bangunan tersebut berada/didirikan dengan pemegang hak milik atas tanah adalah berbeda. Pada hakekatnya hak yang ditentukan pada Hak Guna Bangunan bertujuan untuk dipakai secara tempat untuk membangun sesuatu di atasnya’ (bukan diperuntukan untuk usaha pertanian). 35 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dinyatakan bahwa pengertian bangunan (gedung) adalah : Wujud fisik hasil pekerjaan kosntruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus.
34 35
Ridwan H.R, 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, hal.92 Boedi Harsono, op.cit, hal.285
115 Definisi bangunan yang dimaksud dalam ketentuan undang-undang ini adalah: 1. Bangunan tersebut hasil dari pekerjaan manusia; 2. Pembangunannya merupakan salah satu bentuk pemanfaatan ruang; 3. Konstruksinya sebagian atau seluruhnya menyatu dengan tempat kedudukan di atas/di dalam tanah dan atau air; 4. Berfungsi sebagai tempat kegiatan manusia (ekonomi, keagamaan, sosial, budaya, dan kegiatan khusus). Hak Guna Bangunan menurut A.P. Parlindungan adalah suatu hak yang sebelumnya tidak dikenal dalam perangkat hak-hak atas tanah menurut hukum adat. Hak ini mulai ada sejak disahkannya UUPA dan diadakan dengan tujuan untuk memenuhi masyarakat ekonomis yang modern. Hak Guna Bangunan sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Pasal 16 UUPA, mempunyai sisi pembeda dalam arti terdapat kekhususan dalam karakteristik haknya. Tujuan pengunaan tanahnya dan batas waktu penguasaannya berbeda dengan hak atas tanah yang lain. Hak Guna Bangunan hanya dimungkinkan penggunaan tanahnya untuk keperluan membangun dan memiliki bangunan, dengan jangka waktu pengunaan yang terbatas, dapat dialihkan kepada pihak lain dan dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan. 36 Kekosongan hukum terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang dapat dibentuk melalui sarana politik hukum oleh Pemerintah. Politik hukum menurut Moh. Mahfud MD dinyatakan bahwa politik hukum merupakan legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi : Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan 36
A.P Parlindungan II, loc.cit
116 terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Lingkup pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakan.37 Penelitian lebih lanjut terkait dengan pendekatan perbandingan hukum dalam penelitian ini digunakan pendekatan perbandingan hukum terhadap Negara Australia sebagai kajian perbandingan hukum pertanahannya. Sistem Common Law di the Commonwealth of Australia sangat mempengaruhi konsepsi Hukum Tanah dalam pengaturan hak-hak penguasaan atas tanahnya, termasuk pembatasan atau larangan tertentu atas tanahnya. Hukum Tanah Inggris (Real Estate Law) menjadi bentuk awal hukum di Amerika Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand (Selandia Baru) melalui kolonisasi. 38 Australia memiliki 3 tingkat
pemerintahan yaitu Commonwealth
(Persemakmuran), State-Territories (Negara Bagian dan Wilayah) serta Local (Daerah). The Commonwealth Australia memiliki beberapa Negara Bagian (± kurang lebihnya terdapat 8 Negara Persemakmuran) yaitu New South Wales, South Australia, Victoria, Western Australia, Tasmania, Queensland, Northern Territory, Australian Capital Territory. Setiap Negara Bagian memiliki asas yang berbeda atas peraturan dan birokratisasi pertanahannya. 39 Dalam konteks ini sangat penting serta perlu dicermati pemahaman masalah hukum dan praktik hukum pertanahan di Negara Australia dengan sistem hukum dan asas hukum 37
Moh. Mahfud MD dalam H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, loc.cit Listyowati Sumanto, op.cit, hal. 14 39 Listyowati Sumanto, op.cit, hal. 2 38
117 yang berbeda dengan hukum yang berlaku di Indonesia guna memberikan pembenahan sistem hukum pertanahan kedepan. Dapat dikemukakan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang menunjukan adanya perbedaan hukum pertanahan yang berlaku di Negara Bagian Australia seperti dalam tabel di bawah ini :40 Negara Bagian atau Wilayah Australia
Peraturan berkaitan dengan Property
Peraturan berkaitan dengan Hak (Title)
New South Wales
Real Property Act 1900
Conveyancing Act 1919
Victoria
Transfer of Land Act 1958
Australian Capital Territory Queensland
Real Property Act 1925
Land Titles Validation Act 1994 Land Titles Act 1925
Property Law Act 1974
Land Titles Act 1994
Northern Territory
Law of Property Act
Validation of Titles Act 1994
South Australia
Real Property Act 1886
-
Tasmania
Real Property Act 1862
Land Titles Act 1980
Western Australia
Property Law Act 1969
Titles Validation Act 1994
Tabel di atas menunjukan secara jelas adanya perbedaan atas peraturan dan birokratisasi pertanahannya melalui jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku
pada
setiap
pemerintahan
Negara
Bagian/Commonwealth
(Persemakmuran). 41 Perbedaan sistem hukum pertanahan yang berlaku di Australia dengan Indonesia adalah Australia menganut sistem publikasi pendaftaran tanah positif sedangkan di Indonesia menganut sistem publikasi pendafataran tanah negatif
40 41
Listyowati Sumanto, loc.cit Listyowati Sumanto, loc.cit
118 terkait dengan pendaftaran hak-hak atas tanahnya. Pendaftaran tanah yang menganut sistem publikasi pendaftaran tanah positif di Australia dapat dijelaskan karakteristiknya sebagai berikut: a. Security of title, kebenaran dan kepastian dari hak tersebut terlihat dari rangkaian peralihan haknya dan memberikan jaminan bagi yang memperolehnya membebaskan dari adanya suatu gugatan yang akan timbul dikemudian hari dari pihak lain. b. Peniadaan dari keterlambatan dan pembiayaan yang berkelebihan. Dengan adanya pendaftaran tersebut maka tidak perlu selalu harus diulangi dari awal setiap adanya peralihan hak. c. Penyerdehanaan atas alas hak dan yang berkaitan. Dengan demikian peralihan hak itu disederhanakan dan segala proses akan dapat dipermudah. d. Terjamin ketelitian, karena dengan adanya pendaftaran suatu hak atas tanah maka ketelitiannya sudah tidak diragukan lagi. 42 Sistem publikasi pendaftaran tanah positif kebenaran data yang disajikan terkait dengan pendaftaran hak-hak atas tanah dijamin kebenarannya oleh Negara serta memberikan jaminan kepastian hukum bagi yang memperolehnya membebaskan dari adanya suatu gugatan yang akan timbul dikemudian hari dari pihak lain terkait dengan hak-hak atas tanahnya. Indonesia sistem hukum pertanahannya banyak diatur dalam ketentuan UUPA dan menganut sistem publikasi pendaftaran tanah negatif yang mengandung unsur positif yang terdiri dari: a. Pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak. Kata “kuat” disini merupakan ciri sistem publikasi negatif; b. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak (registration titles), bukan sistem pendaftaran akta (registration of deed). Sistem pendaftaran hak (regitration titles) merupakan ciri sistem publikasi positif;
42
J. Andy Hartanto, 2014, Hukum Pertanahan: Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya, Laksbang Justitia, Surabaya, hal. 49
119 c. Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat. Hal ini merupakan ciri sistem publikasi negatif; d. Petugas pendaftaran tanah bersifat aktif dalam meneliti kebenaaran data fisik dan data yuridis. Hal ini merupakan ciri sistem publikasi positif; e. Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Hal ini merupakan ciri sistem publikasi negatif; f. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat atau mengajukan gugatan kepengadilan agar sertifikat dinyatakan tidak sah. Hal ini merupakan ciri sistem publikasi negatif. 43 Perbandingan kedua sistem hukum publlikasi pendaftaran tanah di atas sangat terlihat jelas perbedaanya. Negara Australia sangat menjamin “Security of title” yakni kebenaran dan kepastian dari hak atas tanah yang telah didaftarkan dan bagi yang memperolehnya dibebaskan dari adanya suatu gugatan yang akan timbul dikemudian hari dari pihak lain sedangkan dalam sistem hukum publlikasi pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat dan sepanjang dapat dibuktikan oleh pihak lain tentang kebenaran data yang terdapat di dalam sertifikat maka sertifikat yang menjadi obyek sengketa tersebut dapat dibatalkan. Asas pemilikan tanah dan bangunan/tanaman di atas tanahnya yang dianut di Indonesia berbeda dengan Australia. Hukum Tanah Australia menggunakan asas Accessie (Perlekatan) dimana bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ada di atasnya menurut hukum merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Sedangkan Hukum Tanah Nasional di Indonesia yang bersumber pada Hukum Adat menggunakan asas Horizontale Scheiding (Pemisahan Horizontal).44 Asas Horizontale Scheiding memiliki arti bahwa perbuatan hukum yang dilakukan bisa
43 44
Urip Santoso, op.cit, I, hal. 272 Listyowati Sumanto, loc.cit
120 meliputi tanahnya saja, atau hanya meliputi bangunan dan/atau bisa juga meliputi tanah berikut bangunan dan tanaman keras yang ada di atasnya, dalam hal mana yang dimaksud wajib dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Perbedaan lebih lanjut juga terdapat pada kepemilikan tanah dengan status Hak Milik. Badan Hukum privat yang dibentuk berdasarkan Hukum Indonesia tidak boleh memiliki hak atas tanah dengan status Hak Milik. Untuk di Australia, Warga Negara Australia, Badan Hukum Australia, orang asing penduduk tetap (yang mempunyai visa permanent resident), bukan-penduduk tetap, badan hukum asing dapat membeli dan memiliki tanah Fee Simple atau Freehold dan semua jenis property di Australia setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang terdiri dari : a. Kehadirannya terus menerus di Australia dan tidak tunduk pada batasan apapun, ia diijinkan untuk tinggal di Australia tanpa batas waktu, seperti penduduk tetap (permanent residence) Australia dan warga negara New Zealand (Selandia Baru), dan; b. Kehadirannya benar-benar telah berada di Australia selama 200 hari atau lebih dalam jangka waktu 12 bulan sebelumnya. 45 Fee Simple adalah istilah hukum untuk kepemilikan di Australia. Seseorang adalah pemilik dari Fee Simple berarti bahwa ia dapat melaksanakan title (hak) nya selama jangka waktu kepemilikannya. Hak kepemilikan tersebut sering disebut ‘natural rights’. Seseorang dapat menguasai properti secara penuh, termasuk tidak hanya hak, tetapi juga hak pakai atau hak eksklusif untuk penggunaannya. Ketika seseorang membeli Grant in Fee Simple title deed, berarti ia membeli empat (4) unsur kepemilikan. Unsur-unsurnya terdiri dari: 1) Indefeasible (tidak dapat diganggu-gugat); 45
Listyowati Sumanto, op.cit, hal. 19
121 2) Iinalienable (tidak dapat dicabut); 3) Haknya tidak dapat diambil atau dibuat null or void (batal atau tidak berlaku); dan 4) Pemilik properti yang tanahnya memiliki Deeds in Fee Simple (Akta Hak Milik) atau Freehold Deeds in Fee Simple (Akta Freehold pada Fee Simple) memiliki hak menolak untuk menyetujui pengambil-alihan tanah mereka karena tujuan lain. 46 Perbedaan secara signifikan lebih lanjut juga terdapat dalam sistem pembatasan penguasaaan dan pemilikan tanah yang diatur dalam Foreign Acquisitions and Takeovers Act 1975 Pasal 7 dijelaskan bahwa Orang atau Badan Hukum Privat yang membeli real estate rumah baru dan tanah kosong dalam Resort Pariwisata Terpadu (Integrated Tourism Resort) luasnya minimal adalah 50 hektar. Hal ini berbeda tentunya dengan konsep penguasaan hak atas tanah dengan status Hak Guna Bangunan yang ada di Indonesia yang tidak memberikan adanya batasan penguasaan tanah minimum untuk pembangunan Resort Pariwisata Terpadu (Integrated Tourism Resort) namun memberikan batasan maksimum terhadap Badan Hukum Privat untuk menjalankan usahanya serta tidak boleh memiliki Hak Milik yang diatur di dalam ketentuan UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. Status tanah di Australia digolongkan dalam beberapa kriteria yang terdiri sebagai berikut: 1. Crown Land adalah tanah milik Raja yang digunakan untuk jalan raya, hutan, instansi pemerintah, dan kepentingan lainnya. Tanah Crown
46
Listyowati Sumanto, op.cit, hal. 16
122 merupakan wilayah milik kerajaan yang tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Public land disebut juga tanah publik/tanah untuk masyrakat umum di Australia. Tanah ini merupakan tanah yang secara khusus dicadangkan dan dimiliki untuk kepentingan publik. Tanah ini dapat pula berupa tanah kosong. Tanah cadangan ini peruntukannya biasanya digunakan untuk konservasi alam, kehutanan, konservasi laut, konservasi air, pertambangan dan pertahanan serta dan berbagai tujuan untuk kepentingan pemerintah atau masyarakat. 2. Crown Reserves Land adalah tanah yang digunakan untuk sarana jalan raya cadangan, hutan cadangan, hutan lindung, taman nasional. Peraturan yang mengatur Reserves of State Land (tanah cadangan Negara Bagian), di Western Australia yaitu Land Administration Act 1997 berkaitan dengan disposisi tanah Negara Bagian, pengadaan dan administrasi tanah cadangan Reserves of State Land Minister for Lands dapat menyisihkan tanah negara atas perintah Menteri untuk kepentingan umum. The Park and Reserves Act 1895 menetapkan untuk pengangkatan lembaga manajemen untuk mengontrol dan mengelola Crown Reserves Land. 3. Aboriginal Land adalah tanah yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat adat (asli) Aborigin. Tanah ini disediakan untuk masyarakat adat Aborigin namun kontrol pengawasannya berada pada Government Aboriginal dari Negara Bagian/Wilayah yang berwenang. Tanah Aboriginal ini terdiri dari freehold dan leasehold yang dimiliki oleh masyarakat adat Aborigin yang ditunjuk serta dengan syarat-syarat khusus
123 yang melekat pada haknya. Tanah ini tidak termasuk tanah yang dimiliki secara pribadi oleh pemilik tanah perorangan Aborigin. Setelah diterbitkan Commonwealth Native Title Act 1993, hasil putusan High Court Mabo, kini masyarakat adat Aborigin memperoleh Native Title (Hak Adat) atas tanah mereka. Native Title adalah istilah Hukum Australia yang memberikan kepemilikan tradisional atas tanah dan air yang menurut tradisi, hukum dan adat istiadat mereka selalu milik orang Aborigin. 47 Status tanah di Negara Australia di atas secara jelas dibedakan menjadi tiga jenis yaitu Crown Land, Crown Reserves Land, dan Aboriginal Land. Di Indonesia sendiri status hukum tanah dibedakan menjadi beberapa jenis yang terdiri dari Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Negara, Tanah Hak Milik Perseorangan, Tanah Hak Guna Usaha, Tanah dengan peruntukannya dengan tatus Lahan Basah atau Lahan Kering, Tanah dengan status Hak Pakai, dan Tanah dengan status Hak Guna Bangunan. Hak kepemilikan properti di Australia dijamin dalam tiga cara oleh tiga instrumen hukum yang berbeda, yaitu: Deeds in Fee Simple, Magna Carta 1215, dan The Bill of Rights 1688-1689. Jenis hak-hak atas tanah mempunyai berbagai jangka waktu dikenal sebagai "estates".48 1. Fee Simple, Fee Absolute dan Fee adalah tiga kata yang berarti sama dengan estate adalah hak yang paling luas dan penyewa diperbolehkan untuk menjual atau untuk mengalihkan dengan wasiat atau dialihkan tanpa wasiat kepada ahli waris penyewa jika ia meninggal. 47 48
Listyowati Sumanto, op.cit , hal. 14 Listyowati Sumanto, op.cit , hal. 17
124 2. Fee Tail Estate berarti bahwa kepemilikan hanya bisa dialihkan kepada keturunan langsung pihak laki-laki (lineal descendant). Apabila tidak mempunyai keturunan langsung, jika meninggal dunia maka tanah dikembalikan kepada bangsawan. 3. Life Estate adalah hak yang diberikan kepada penyewa (tenant), hanya selama hidupnya, setelah itu secara otomatis kembali menjadi milik bangsawan. 4. Lasehold atau Crown Leasehold adalah salah satu sistem kepemilikan tanah. Seseorang dapat membeli hak menggunakan tanah berdasarkan sewa (Leasehold), biasanya diberikan untuk jangka waktu 99 tahun.
BAB IV AKIBAT HUKUM PENGUASAAN HAK GUNA BANGUNAN YANG MELAMPAUI BATAS LUAS KETENTUAN UNDANG-UNDANG 4.1 Akibat Hukum terhadap Badan Hukum yang Menguasai Hak Guna Bangunan dengan Melampaui Batas Luas Ketentuan Undang-Undang. Ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa : Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Dalam penjelasan pasal demi pasal ketentuan Pasal 8 ayat (1) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Berdasarkan substansi dalam ketentuan Pasal 8 di atas penulis berpandangan bahwa Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah adalah sah sebagai peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah hendaknya memberikan kejelasan dalam pembentukannya agar tidak menimbulkan ambiguitas dalam pelaksanaannya. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
125
126 Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah terkait dengan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang masih terdapat kekosongan hukum di dalamnya. Sanksi hukum sangat diperlukan adanya untuk memberikan efek jera terhadap subyek hukum yang melakukan pelanggaran hukum terkait dengan penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undangundang. Sanksi hukum berfungsi untuk memaksa subyek hukum untuk menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang.49 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah dalam ketentuan Pasal 4 huruf (b) mengatur secara tegas bahwa Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi). Pasal 9 huruf (b) mengatur lebih lanjut bahwa Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi). Berdasarkan substansi pasal di atas penulis berpandangan bahwa penguasaan Hak Guna Bangunan bagi Badan Hukum yang luasnya di atas 20.000 M2 (setara dengan 2 hektar) dan maksimum adalah seluas 150.000 M2 (setara dengan 15 hektar) harus berdasarkan keputusan Kepala Kanwil Badan Pertanahan 49
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2016, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi Online, avalaible from:URL:http://www.kbbi.web.id. Data diakses/diunduh pada hari Senin 18 April 2016.
127 Nasional. Melalui ketentuan pasal ini terlihat jelas bahwa sistem Hukum Agraria menganut pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah, namun dalam peraturan ini tidak ada susbtansi ketentuan pasal yang mengatur akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Pengaturan secara normatif akibat hukum bagi Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang perlu adanya untuk memberikan jaminan kepastian hukum kedepan agar kasus-kasus pelanggaran penguasaan tanah memiliki dasar hukum/payung hukum yang jelas dalam penyelesaiannya. Akibat Hukum memiliki definisi yaitu suatu akibat yang ditimbulkan oleh hukum dan berasal dari suatu perbuatan yang dilakukan dan diharapkan oleh subyek hukum. Dalam hal ini akibat hukum yang dimaksud adalah segala bentuk akibat yang diatur oleh hukum dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. H.L.A. Hart dalam Teori Sistem Hukumnya untuk mebentuk suatu peraturan perundang-undangan ada dua hal penting yang disebut dengan Primary Rules dan Secondary Rules. Kedua bagian tersebut merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam sistem hukum. Primery rules menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak dan hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms of law).50 Primary Rules (aturan utama) di dalamnya terdapat dua model substansi. Model pertama adalah Primary Rules yang di dalamnya memiliki susbtansi yang
50
H.L.A. Hart, 1961, loc.cit
128 disebut dengan aturan sosial (sosial rule) yakni keteraturan perilaku di dalam beberapa kelompok sosial terkait dengan suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Model kedua adalah aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu/sebagian besar dalam anggota kelompok sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, masyarakat merasakan bahwa aturan hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan reaksi yang kritis bagi prilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri. 51 Model yang kedua apa yang disebut oleh hart dengan Secondary Rules, yang dapat disebut “aturan tentang aturan” (rules about rules) dan apa bila di rinci terdiri dari : 1. Aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah (rules of recognition); 2. Bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan; 3. Bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). 52 Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of ajudication lebih efisien, rules of change bersifat sedikit kaku dan rules of recognition bersifat reduksionis. 53 Primary Rules dan Secondary Rules harus ada dalam setiap substansi peraturan perundang-undangan. Kedua bagian tersebut merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam substansi sistem hukum yang membentuk suatu peraturan perundang-undangan.
51
H.L.A. Hart, 1961, loc.cit loc.cit 53 loc.cit 52
129 Primary Rules di dalamnya berisi apa yang disebut aturan sosial (sosial rule) yakni keteraturan perilaku di dalam beberapa kelompok sosial dan suatu hal yang umum yang banyak dijumpai dalam masyarakat. Secondary Rules disebut dengan “aturan tentang aturan” (rules about rules) apa bila di rinci meliputi, Pertama; aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of
change) dan Ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat
dikuatkan,
dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Keabsahan aturan (rules of recognition) terkait dengan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas tanah yang ditentukan undang-undang masih terdapat kekosongan hukum di dalam ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. Dalam Teori Sistem Hukum dinyatakan bahwa undang-undang idealnya mempunyai keseragaman aturan sosial (sosial rule) yang berkaitan dengan keteraturan prilaku. Keseragaman aturan sosial dan keteraturan prilaku secara konkritnya dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas tanah yang ditentukan undang-undang dan undang-undang hendaknya menetapkan persisnya hal tersebut kedalam aturan mana yang dapat di anggap sah. Dua hal ini
130 hendaknya diatur dalam ketentuan UUPA guna menjamin adanya kepastian hukum. Pembentukan peraturan perundang-undang yang ideal dan dipersyaratkan dalam Teori Sistem Hukum sejalan dengan Teori Principles Of Legality yang telah penulis kemukakan pada bab terdahulu dalam penelitian ini dijelaskan bahwa hukum harus memberikan prospek kedepan, hukum harus jelas dan harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut. Selain itu juga undang-undang yang dibentuk harus memberikan sifat yang prospektif dalam arti menjangkau persoalan-persoalan hukum yang akan terjadi di massa depan dan Subyek Hukum mengetahui tentang apa yang disyaratkan oleh undang-undang. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah belum menjangkau hal tersebut karena masih terdapat kekosongan hukum terkait dengan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus mengacu pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang
baik dan hendaknya
disesuaikan juga dengan teori-teori hukum yang ada. Posner mengemukakan ada dua kegunaan teori hukum yaitu pertama, teori hukum berhasil mengungkapkan
131 ruang gelap (dark corners) dari suatu sistem hukum dan menunjukan arah jalan perubahan konstruktif yang sangat bernilai tentang unsur-unsur konsep hukum. Kegunaan kedua teori hukum membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan sistem yang berbeda maknanya dari sekedar mengetahui bagaimana menjalankannya dalam suatu sistem dimana praktisi hukum telah biasa melakukannya. 54 Ian Mc Leod memberikan penjelasannya secara lebih lanjut bahwa kegunaan teori hukum khususnya bagi praktisi hukum adalah sebagai dasar berpikir untuk apa yang mereka sedang kerjakan. Teori hukum juga memiliki nilai tersendiri sebagai suatu bagian dari sebuah hasil pemikirian-pemikiran study.55 Pembentuk undang-undang harus jelas dalam membuat undang-undang. Ketentuan pasal yang dibentuk dalam suatu peraturan perundangan-undangan harus memberikan kejelasan, kemanfaatan, kepastian hukum, dan keadilan. Analisis terhadap akibat hukum penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang tidak bisa dilepaskan tentunya dengan konsep-konsep tentang Hak Guna Bangunan, dan aturan-aturan penormaan yang sudah ada terkait dengan pengaturan Hak Guna Bangunan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah dalam ketentuan Pasal 24 aya t (3) menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik secara hukum dapat mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan di kantor Badan Pertanahan Nasional setempat. Penjelasan pasal demi pasal substansi Pasal 54 55
Richard A Posner, 2001, Frontiers Of Legal Theory, Harvard University Press, p.14-15 Ian McLeod, 1999, Legal Teori, Departemen Of Law, London Guildhall University, p. 11
132 24 ayat (3) adalah Hak Guna Bangunan itu sudah terjadi pada waktu dibuatnya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dimaksud dalam ayat (1), namun baru mengikat pihak ketiga sesudah didaftar di Kantor Pertanahan. Makna yang terdapat di dalam ketentuan substansi ketentuan Pasal 24 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah adalah bahwa Hak Guna Bangunan itu sudah terjadi pada waktu dibuatnya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah namun baru mengikat pihak ketiga sesudah didaftar di Kantor Pertanahan. Apabila belum difaftarkan dan hanya berdasarkan Akta PPAT saja, Akta pemberian Hak Guna Bangunan belum dapat mengikat pihak ketiga. Hak atas tanah pada dasarnya dapat dimiliki oleh semua orang, yang membedakannya adalah jenis hak atas tanah yang boleh dimiliknya. Pemilikan itu tergantung pada subyek hak, apakah orang WNI atau WNA, atau Badan Hukum. 56 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) secara tegas mengatur tentang obyek pendaftaran tanah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. Tanah hak pengelolaan; c. Tanah wakaf; d. Hak milik atas satuan rumah susun; e. Hak tanggungan; f. Tanah Negara. Penjelasan substansi Pasal 9 ayat (1) adalah cukup jelas.
56
H. Salim HS, H. Abdulah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2014, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 64
133 Ketentuan Pasal 9 ayat (1) di atas berarti bahwa Hak Guna Bangunan termasuk salah satu ruang lingkup obyek pendaftaran tanah yang proses pendaftarannya dengan menggunakan akta PPAT. Perbuatan hukum pemberian Hak Guna Bangunan yang dilakukan oleh Badan Hukum wajib dengan menggunakan Akta PPAT dan dasar hukumnya diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan dinyatakan bahwa: (1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. (2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : a. jual beli; b. tukar menukar; c. hibah; d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian hak bersama; f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggungan; h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan. Akibat Hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang adalah akta pemberian Hak Guna Bangunan serta sertifikat Hak Guna Bangunannya adalah batal demi hukum karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 1320 KUHperdata tetang suatu sebab yang tidak terlarang. Dalam hal terjadi kesalahan pada saat penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan oleh Badan Pertanahan Nasional terkait dengan ketentuan luas obyeknya (data fisik) yang terdapat di dalam sertifikat, tidak menyebabkan batalnya Akta Pemberian Hak Guna Bangunan yang telah disahkan oleh PPAT sepanjang akta tersebut telah memenuhi otentisitas suatu akta yang yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, Pasal 1868 KUH
134 Perdata, dan Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Badan Hukum terkait dengan penguasaan Hak Guna Bangunan yang berada di atas tanah hak milik atau pengelolaan adalah dapat lebih dari seluas 2 hektar dan maksimum adalah seluas 15 hektar. Apabila dalam perbuatan hukum terkait dengan pemberian Hak Guna Bangunan melebihi ketentuan luas yang dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
Pendaftaran Tanah maka secara teoritis dalam Teori Hukum Kenotariatan aktanya batal demi hukum karena objeknya bertentangan dengan undang-undang dan sarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang salah satu substansinya adalah suatu sebab yang tidak terlarang dan terkait dengan pelanggaran hukum ini dapat dikenakan sanksi hukum berupa sanksi perdata, pengenaan pajak progresif, sanksi administratif dan sanksi pidana Syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk tercapainya persetujuan yang sah yaitu: a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu pokok persoalan tertentu; d. Suatu sebab yang tidak terlarang.
135 Perjanjian mengikat para pihak pada saat tercapainya kesepakatan dari (pernyataan) kehendak yang dibuat antara pihak satu dengan pihak lainnya yang disetujui dan ditandatangani bersama. 57 Hal ini memberikan kondisi yang pasti terhadap status para pihak sehingga menimbulkan akibat hukum bagi mereka. Adapun akibat hukum dari perjanjian yang sah tersebut berdasarkan pada Pasal 1338 KUH Perdata, adalah sebagai berikut : 1. Setiap perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak yang berjanji, maka berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, yaitu para pihak itu sendiri. Makna dari perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang berjanji bersifat mengikat para pihaknya dalam melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Apabila salah satu dari pihak tersebut melanggar perjanjian maka, dapat dituntut secara hukum ataupun dihadapan pengadilan. 2. Perjanjian yang telah dibuat dengan kesepakatan para pihak tidak dapat dibatalkan begitu saja tanpa adanya kesepakatan dari para pihak ataupun tanpa adanya alasan tertentu dari pernyataan dalam undang-undang. Makna dari membatalkan perjanjian yang telah disepakati, secara sepihak adalah melanggar hukum, karena kesepakatan antara para pihak adalah syarat sahnya perjanjian. 3. Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang berjanji harus dilaksanakan dengan itikad baik. Makna dari itikad baik tersebut tidak dapat dilihat hanya dengan penafsiran biasa, namun penafsiran tersebut adalah berpedoman pada Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu patuh pada materi dalam perjanjian yang menjadi kesepakatan para pihak serta melaksanakan isi perjanjian sesuai dengan sifat perjanjian yang berpedoman pada kepatutan, kebiasaan dan undangundang.58 Suatu perjanjian harus memenuhi syarat subyektif dan sarat obyektif. Syarat subyektif tidak terpenuhi maka akibat hukum perjanjian adalah dapat
57
Herlien Budiono, 2013, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.49 58 Desak Putu Thiarina Mahaswari Agastia, 2014, Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Setelah Debitur Wanprestasi (tesis), Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, hal. 130.
136 dibatalkan (vernietigbar). Syarat obyektif tidak terpenuhi maka akibat hukum perjanjian adalah batal demi hukum (nietig).59 Satus hukum tanah yang Hak Guna Bangunannya batal demi hukum untuk selanjutnya menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam membatalkan sertifikat hak atas tanah terkait dengan perbuatan hukum tersebut didasarkan pada asas contrarius actus. Makna asas contrarius actus menurut Philipus M. Hadjhon adalah asas yang menyatakan badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga berwenang
untuk
membatalkannya.60
Dengan
demikian
sesuai
dengan
permasalahan yang terdapat dalam penelitian tesis ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikat hak atas tanah, berwenang pula untuk membatalkan sertifikat hak atas tanah berdasarkan pada asas contrarius actus. Badan Pertanahan Nasional merupakan representasi Negara dalam hal pencabutan hak atas tanah terhadap hak perseorangan atau kelembagaan. 61 Kekosongan norma hukum dalam hal tidak diaturnya ketentuan akibat hukum penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang di dalam peraturan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas 59
Habib Adjie, 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (selanjutnya disingkat Habib Adjie II), PT. Refika Aditama Bandung, hal.65 60 Ayu Ray Saraswati, AA, 2015, Implikasi Hukum Pembebasan Hak Tanggungan Atas Tanah Hak Guna BangunanDi Atas Tanah Hak Pengelolaan Yang Izin Pemanfaatan Tanahnya Dicabut Oleh Gubernur, (tesis), Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 152 61 Mudakir Iskandar Syah, 2014, Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum: Upaya Hukum Masyarakat yang Terkena Pembebasan Dan Pencabutan Hak, Penerbit Permata Aksara, Jakarta, hal. 3-4
137 Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah dapat dibentuk melalui teknik konstruksi hukum (Rechtsvinding) melalui 2 jenis metode yaitu: 1. Argumentum a contrario adalah penalaran yang secara konkrit dilakukan pada ketentuan aturan hukum dalam undang-undang dan hanya berlaku pada kejadian-kejadian yang secara eksplisit disebut dan tidak berlaku bagi kejadian yang tidak disebut. 2. Rechtsverfijning
atau
penghalusan
hukum
adalah
oleh
Sudikno
Mertokusumo dinamakan “penyempitan hukum”. Konsep dari penalaran ini berlawanan dengan analogi. Pada penghalusan hukum yang terjadi adalah aturan hukum yang dikhususkan. 62 Teknik konstruksi hukum (Rechtsvinding) ini didukung juga dengan metode preskriptif (prescribe) adalah suatu cara untuk menetapkan ketentuan hukum yang baru atau menentukan norma yang baru (normatif) setelah menjelaskan, menilai, dan menemukan kekurangan data ketentuan yang ada untuk membentuk hukum yang seharusnya, (ius constituendum dari ius constitutum) guna memenuhi perubahan kehidupan masyarakat. 63 Norma yang telah dibentuk tersebut selanjutnya akan dilakukan pengesahan dan dimumkan di Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengesahan ini penting adanya sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Negara Indonesia
62 63
Sudikno Mertokusumo dalam I Dewa Gede Atmadja, loc.cit. H. Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika Jakarta Timur, hal. 14
138 adalah negara hukum dan sesuai dengan prinsip Rechtsstaat
64
(Negara Hukum)
yang disebutnya mencakup 4 (empat) elemen, yang terdiri dari : a. Perlindungan hak asasi manusia; b. Pembagian kekuasaan; c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; a. Peradilan tata usaha negara. Indonesia sebagai Negara Hukum dengan mengacu pada salah satu unsur konsep Rechsstat di atas menyatakan bahwa pemerintahan hendaknya dibentuk berdasarkan undang-undang dan hal ini memiliki relevansi terhadap akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang yang sanksinya hanya dapat diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang. 4.2. Ancaman Terhadap Badan Hukum yang Menguasai Hak Guna Bangunan dengan Melampaui Batas Luas Ketentuan Undang-Undang. Badan
Pertanahan
Nasional
merupakan
institusi
yang
diberikan
kewenangan oleh Pemerintah dibidang pertanahan untuk melakukan pendaftaran hak-hak atas tanah serta perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan, pengendalian kebijakan pertanahan. Selain hal tersebut, Badan Pertanahan Nasional juga memilki kewenangan di bidang perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan. Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang masuk kedalam klasifikasi bentuk 64
Bahder Johan Nasution, loc.cit
139 sengketa pertanahan yang menjadi ruang lingkup kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penyelesaiannya. Pembentukan Badan Pertanahan Nasional dasar hukumnya adalah dengan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional dan dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai Fungsi: a.
Penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan;
b.
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan;
c.
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
d.
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan pengendalian kebijakan pertanahan;
e.
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah;
f.
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan;
g.
Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN;
h.
Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN;
i.
Pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan;
j.
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; dan
k.
Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.
140 Badan Pertanahan Nasional memiliki standarisasi dalam menjalankan kewenangannya dalam pengelolaan tanah yang terdiri dari: 1. Sifat dari jenis tanah; 2. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah. (Jadi dari aspek perombakan dasar struktur pertanahan); 3. Status hukum atas tanah; 4. Kepastian hak atas tanah.65 Tanah dilihat dari aspek sifat dan jenis tanah dalam hal ini berkaitan dengan fungsi tata guna tanah disebut pengaturan penggunaan tanah. Tanah dikaji dari aspek perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah adalah berkaitan dengan pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah. Tanah dikaji dari status hukum atas tanah adalah berkaitan dengan fungsi pengurusan hak atas tanah. Tanah dilihat dari aspek kepastian hak atas tanah adalah berkaitan dengan fungsi pendaftaran. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berubah menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Kementerian Agraria dan Tata Ruang berdasarkan ketentuan Pasal 3 mempunyai Fungsi: a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan dibidang tata ruang, infrastruktur
keagrariaan/pertanahan,
hubungan
hukum
keagrariaan/pertanahan, penataan agraria/pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian
pemanfaatan
ruang
dan
penguasaan
tanah,
serta
penanganan masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang, dan tanah;
65
H. Ali Ahmad Chomzah, 2003, Hukum Agraria Pertanahan di Indonesia, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal. 11
141 b. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agraria dan Tata Ruang; d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang; e. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang di daerah; dan f. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Pemberian ancaman terhadap Badan Hukum yang menguasai hak guna bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam merumuskan sanksi dan pada dasarnya tidak terlepas dari dasar alas haknya. Seseorang dapat dikatakan mempunyai hak atas tanah atau mendapatkan penetapan hak atas tanah maka harus dapat dibuktikan terlebih dahulu adanya dasar penguasaan seseorang dalam menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah, yang tidak ditentang oleh pihak manapun dan dapat diterima menjadi bukti awal untuk pengajuan kepemilikan/penguasaanya. Pemberian hak/penetapan hak atas tanah harus dibuktikan terlebih dahulu dengan adanya dasar penguasaan yang menunjukan adanya hubungan hukum dengan tanah tersebut. Setelah ada dasar penguasaan dimaksud maka selanjutnya
142 dapat diformalkan hak tersebut dengan penetapan pemerintah. Dalam hal hubungan hukum tersebut ditunjukan dengan bukti-bukti tertulis yang pernah dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang pada daerah yang sudah bersentuhan dengan administrasi dan yurisdiksi hukum pertanahan seperti pada masyarakat didaerah swapraja/kotapraja maupun bukti-bukti tidak tertulis pada daerah-daerah yang realitas sosial budayanya tunduk pada ketentuan Hukum Adat setempat dan status tanahnya masih ditemukan Hak Ulayat dan Hak Milik Adat untuk selanjutnya dalam hal ini dilakukan pendaftaran tanahnya dengan proses konversi dan pengakuan/penegasan hak.66 Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan tidak terlepas dari bagian konsep land reform di dalam penataan tanahnya. Konsep ini pada hakikatnya terdiri dari konsep Acces Reform dan Konsep Legal/Regulation Reform. Konsep Land Reform adalah penataan kembali struktur penguasaan/kepemilikan tanah yang lebih adil, termasuk pencegahan konsentrasi kepemilikan tanah (garis bawah dari penulis). Acces Reform adalah konsep yang berkaitan dengan penataan pengunaan atau pemanfaatan tanah yang lebih produktif disertai penataan dukungan sarana dan prasarana yang memungkinkan petani memperoleh akses kesumber ekonomi di wilayah pedesaan seperti akses sarana dan prasarana pertanian, pengairan, jalan usaha tani, pemasaran produksi, koperasi usaha tani, dan perbankan (kredit usaha rakyat). Sementara konsep policy/regulation reform berkenaan dengan pengaturan
66
Muhamad Yamin Lubis dan Rahim Lubis, 2012, Hukum Pendafataran Tanah, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, hal.233
143 kebijakan dan hukum serta administrasi pertanahan yang berpihak pada rakyat banyak. 67 Konsep policy/regulation reform ini memiliki fungsi untuk memberikan pengaturan terkait ancaman terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Dalam konsep ini kebijakan, hukum serta administrasi pertanahan yang diambil harus berpihak pada rakyat banyak sehingga penguasaan tanah tidak terpusat pada satu pihak saja dalam hal ini terhadap pihak yang memiliki kemampuan ekonomi yang kuat sehingga mampu menguasai lahan secara berlebihan dari yang ditentukan undangundang serta mencegah praktek monopoli yang menggunakan penguasaan tanah sebagai dasar di dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 Huruf (a) dan (b) dijelaskan bahwa: Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Penjelasan pasal demi pasal ketentuan Pasal 1Huruf (a) dan (b) adalah cukup jelas. Terdapat dua alternatif pendekatan yang dapat dipilih guna memberikan ancaman terhadap badan hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Pendekatan pertama bersifat
67
Bernhard Limbong, 2012, Reforma Agraria, PT. Dharma Karsa Utama, Jakarta, hal. 4
144 yuridis semata yang akan mengenakan sanksi secara langsung terhadap pelanggaran yang telah ditentukan. Pendekatan kedua adalah pendekatan dengan cara pengenaan sanksi secara tidak langsung. Melalui pendekatan ini, maka bagi mereka yang telah memiliki dan atau menguasai tanah melebihi batas yang ada dengan sanksi secara tidak langsung diterapkan, berupa hal-hal sebagai berikut: 1. Upaya berupa pengenaan pajak. a. Sebagaimana diketahui, pajak atas tanah dapat digunakan sebagai instrument kebijakan untuk mendorong penggunaan tanah secara produktif, ataupun menangani permasalahan seperti spekulasi tanah. Dengan demikian, maka terhadap setiap bidang tanah kelebihan dari batas maksimum dikenakan pajak dengan tarif yang efektif progresif. Guritno Mangkoesobroto menggunakan istilah lain yakni bidang tanah di atas luas minimum yang tidak dikenai pajak inilah yang dapat dikenai pajak dengan tarif efektif progresif. Yang penting adalah, bahwa bagi penguasaan tanah yang melebihi batas yang diperkenankan akan dikenai pajak yang lebih besar. 2. Apabila kemudian dalam jangka waktu tertentu tanah tersebut oleh pemegang haknya tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuannya, maka tanah tersebut akan dinyatakan sebagai tanah terlantar yang akan menjadi dasar hapusnya hak atas tanah tersebut, untuk kemudian ditetapkan menjadi tanah negara.
145 Hapusnya hak atas tanah dalam hal ini Hak Guna Bangunan secara yuridis terjadi pada saat sertifikat hak atas tanah atas nama pemegangnya telah dibatalkan oleh pihak yang berwenang. Kewenangan untuk melakukan pembatalan terhadap sertifikat hak atas tanah termasuk juga pembatalan Hak Guna Bangunan adalah berada pada kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 73 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 2011, yang menetapkan “Pemutusan hubungan hukum atau pembatalan hak atas tanah atau pembatalan data pemeliharaan data pendaftaran tanah dilaksanakan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia”. Sanksi hukum diberikan melalui penerapan aktual atau lebih khusus melalui ancaman atau janji. Sarana-sarana penyampaian sanksi dan tingkat penyampaiannya mewujudkan sebuah proses yang disebut penegakan hukum. 68 Penegakan hukum dalam pemberian sanksi hukum harus dilakukan secara adil dan tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). 4.3 Konstruksi Norma Terkait Pengaturan Sanksi Terhadap Badan Hukum Dalam Hal Penguasaan Hak Guna Bangunan yang Melampaui Batas Luas Ketentuan Undang-Undang. Tanah menurut Gede Wiranata dijelaskan bahwa secara peruntukannya mempunyai sifat : 1. Tanah adalah benda yang menyimpan kekayaan yang menguntungkan; 2. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan seluruh anggotanya serta memberi penghidupan kepada pemiliknya;
68
Lawrence M. Friedman, 2011, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Cetakan IV, Penerbit Nusa Media, Bandung, hal. 115
146 3. Tanah merupakan kesatuan dimana nanti pemiliknya akan dikubur setelah meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur persekutuan selama beberapa generasi sebelumnya. 69 Berdasarkan pendapat ahli di atas penulis berpandangan bahwa tanah memiliki sifat dan manfaat yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Konstruksi norma terkait pengaturan sanksi terhadap badan hukum dalam hal penguasaan hak guna bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undangundang perumusannya adalah dengan mengacu pada asas tata guna tanah yang terdiri dari penatagunaan tanah berasaskan keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras,seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Sanksi hukum dapat diberikan apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh Badan Hukum terhadap asas penata gunaan tanah dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Konstruksi norma yang ideal berlaku kedepan adalah bahwa luas tanah yang diperlukan oleh Badan Hukum dalam pemberian hak atas tanahnya untuk menjalankan usahanya yang menggunakan tanah sebagai salah satu faktor pendukungnya, luasnya disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan yang nyata artinya kebutuhan yang benar-benar diperlukan untuk menyelenggarakan usahanya dan kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari serta memperhatikan keadaan geografis dan budaya hukum masyarakat wilayah terkait.
69
I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya Dari Masa Kemassa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 224-225.
147 Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus dilakukan secara tepat dan cermat, hal ini untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik: 1. Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-benar diperlukan Ini mengakibatkan ada sebagian tanah yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan dimana hal ini bertentangan dengan asas optimal dan fungsi sosial hak atas tanah; 2. Untuk mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli dan spekulatif. 70 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah dalam ketentuan Pasal 8 mengatur secara tegas bahwa pemegang hak atas tanah wajib menggunakan dan dapat memanfaatkan tanah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah, serta memelihara tanah dan mencegah kerusakan tanah. Wajib menggunakan tanah memiliki makna bahwa pemegang hak atas tanah mematuhi syarat-syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah yang telah ditetapkan. Dapat memanfaatkan tanah memiliki arti bahwa pemegang hak atas tanah dapat meningkatkan nilai tambah dengan cara melakukan kegiatan lain yang tidak mengganggu penggunaan tanahnya, misalnya memanfaatkan sawah untuk mina padi (budidaya ikan di sawah). Memelihara tanah adalah upaya untuk melindungi fungsi tanah misalnya kemampuan tanah terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain, misalnya upaya pemulihan kembali tanah yang rusak, upaya konservasi tanah pertanian, upaya rehabilitasi tanah bekas galian pertambangan dan sebagainya. Kerusakan tanah adalah keadaan tanah yang tidak dapat lagi dimanfaatkan sesuai dengan fungsi
70
Legal Banking, 2016, Kebijakan Pemerintah Dalam Penatagunaan Tanah, avalaible from:URL:https://www.legalbanking.wordpress.com/2009/08/28/hukum-tata-guna-tanah-suatupengantar/. Data diakses pada hari Kamis 28 April 2016.
148 kawasan sebagai akibat tindakan yang secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya. Pemegang hak atas tanah dalam pemanfaatan hak atas tanahnya harus sesuai dengan sifat dan tujuan haknya serta tidak bertentangan dengan peraturan pemanfaatan ruang di atas dan atau di bawahnya. Contoh pemanfaatan ruang di atas tanah adalah transmisi energi listrik melalui jaringan tegangan tinggi; pemanfaatan ruang bawah tanah adalah jaringan jalan dan atau kereta api bawah tanah (subway).
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari hasil penelitian tesis ini yang dapat penulis uraikan adalah : 1) Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan terhadap Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang masih terdapat ketidak pastian hukum karena terjadi kekosongan hukum di dalam ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. 2) Akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan yang ditentukan undang-undang adalah akta pemberian Hak Guna Bangunan dan serifikat pemberian Hak Guna Bangunannya adalah batal demi hukum, karena bertentangan dengan syarat obyektif sahnya perjanjian yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang suatu sebab yang dilarang dan terkait dengan pelanggaran hukum ini dapat dikenakan sanksi hukum berupa pengenaan pajak progresif dan sanksi administratif. 5.2 Saran/Rekomendasi Rekomendasi yang dapat penulis berikan terkait dengan pembahasan permasalahan dalam penelitian ini adalah :
149
150 1) Disarankan kepada legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama presiden hendaknya merevisi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah serta menambahkan pengaturan substansi pasal terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang. 2) Pengaturan pembatasan penguasaan dan kepemilikan tanah yang diatur dalam ketentuan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah setelah peraturan ini disahkan belum mengatur tentang substansi akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam hal pemberian Hak Guna Bangunan dengan jangka waktu perjanjiannya yang masih berlaku. Untuk itu disarankan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional hendaknya mencabut/merevisi peraturan tersebut. Jika merevisi, hendaknya disertai dengan melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan konsekwensi hukum perjanjian yang masih berjalan durasi waktunya. Kemudian terkait dengan sistem publikasi pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia sesuai dengan pendekatan perbandingan hukum yang penulis lakukan dengan Negara Australia ada kalanya dirubah menjadi sistem publikasi pendaftaran tanah positif dari sistem publikasi pendaftaran tanah negatif yang mengandung unsur positif untuk memberikan adanya jaminan kepastian hukum yang lebih baik dan sistematis.
151 DAFTAR PUSTAKA I. Buku Abdul Latif, H dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika Jakarta Timur. Adjie, Habib, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, CV. Mandar Maju. _______, 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama Bandung, Amirudin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Antony Allot, 1980, The limit of Law, Butterworths, London. Ali, H. Zainudin, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Bruggink, J. J. H, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Budiono, Herlien, 2013, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Chomzah, H. Ali Ahmad 2003, Hukum Agraria Pertanahan di Indonesia, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Dimyati, Khudzaifah, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhamadiyah University Press, Jakarta. Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta. Fuller, Lon, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press). Friedman, Lawrence M, 2011, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Cetakan IV, Penerbit Nusa Media, Bandung. Gede Atmadja, I Dewa, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali Aga. Halim, A. Ridwan, 1985, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta.
152 Hart, H.L.A, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford. Hartanto, J. Andy, 2014, Hukum Pertanahan: Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya, Laksbang Justitia, Surabaya. Harba, H.M, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Hasan, M. Iqbal, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta. Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Edisi Revisi, cet.12, Penerbit Djambatan, Jakarta. HS, H. Salim, H. Abdulah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2014, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Ibrahim, Jhony, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif” Surabaya. Imaniyati, Neni Sri, 2009, Hukum Bisnis: Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta. Iskandar Syah, Mudakir, 2014, Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum: Upaya Hukum Masyarakat yang Terkena Pembebasan Dan Pencabutan Hak, Penerbit Permata Aksara, Jakarta. Jhon Rawls dalam Kusumo, Bambang, 2009, Teori Keadilan, Erlangga Jakarta. Johan Nasution, Bahder, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama, CV. Mandar Maju, Bandung. Kansil, CST, 1989, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta. Limbong, Bernhard, 2012, Reforma Agraria, PT. Dharma Karsa Utama, Jakarta. Lichfield, Nathaniel and Haim Drabkin, 1980, Land Policy in Planning, (London: George Allen & Unwin Ltd). Marwan, M. dan Jimmy.P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary of Law Complete Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya. Mahmud Marzuki, Peter, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta.
153 Mahfud MD, Moh, dalam H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Muljadi, Kartini & Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Harta Kekayaan: Kedudukan Berkuasa & Hak Milik (dalam Sudut Pandang KUH Perdata), Kencana, Jakarta. Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung _______ dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah Dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta. Mc Leod, Ian, 1999, Legal Teori, Departemen Of Law, London Guildhall University. Mertokusumo, Sudikno dalam I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali Aga. _______, Sudikno dalam Hiariej Eddy O.S, 2009, Asas Legalitas Dan Penemuan Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jogjakarta. _______, Sudikno, 2012, Teori Hukum, Cetakan keenam, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. Parlindungan, A.P, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, CV Mandar Maju, Bandung. _______, 1990, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung. Rahardjo, Satjipto, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. Richard A Posner, 2001, Frontiers Of Legal Theory, Harvard University Press. Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada. Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Pranada Media Group, Jakarta. _______, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Edisi Pertama, Jakarta.
154 Salim HS, H. Abdulah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2014, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Sangsun, SP, Florianus, 2007, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Jakarta: Visi Media. Soeprapto, R, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktik, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Soeroso, R, 2010, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. Sri Imaniyati, Neni, 2009, Hukum Bisnis: Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta. Sumardjono, Maria S.W, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, P.T. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah : Menemukan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian atas Eksistensi Tanah Aset Daerah, PT. Prestasi Pustakaraya. Triwulan Tutik, Titik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media Group, Jakarta. Wantijk Saleh, K, 1982, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia. Wiranata, I Gede, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya Dari Masa Kemassa, Citra Aditya Bakti, Bandung. Yamin Lubis, Muhamad dan Rahim Lubis, 2012, Hukum Pendafataran Tanah, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung. Yodo, Sutarman, 2013, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Genta Publishing, Yogyakarta. II. Tesis/Disertasi Rai Asmara Putra, Dewa Nyoman, 2015, Implikasi Politik Hukum Pertanahan Nasional Terhadap Kedudukan Desa Pekraman Sebagai Subyek Hukum Hak Atas Tanah, (Disertasi), Program Studi Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar. Wahyu Chandra Satriana, I Made, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
155 Ayu Ray Saraswati, AA, 2015, Implikasi Hukum Pembebasan Hak Tanggungan Atas Tanah Hak Guna BangunanDi Atas Tanah Hak Pengelolaan Yang Izin Pemanfaatan Tanahnya Dicabut Oleh Gubernur, (tesis), Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar. Thiarina Mahaswari Agastia, Desak Putu, 2014, Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Setelah Debitur Wanprestasi (tesis), Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. III. Internet Ardana Putra, I Made, 2003, Bagaimana Pariwisata Budaya Mendatang ? (Artikel Balipost Edisi 2 Januari 2003), avalaible from;URL; http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/2/op2.htm. Data diakses/diunduh pada tanggal 19 Mei 2015. Legal Banking, 2016, Kebijakan Pemerintah Dalam Penatagunaan Tanah, avalaible from:URL:https://www.legalbanking.wordpress.com/2009/08/28/hukumtata-guna-tanah-suatu-pengantar/. Data diakses/diunduh pada hari Kamis 28 April 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2016, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi Online, avalable from:URL:http://www.kbbi.web.id. Data diakses/diunduh pada hari Senin 18 April 2016. IV. Jurnal Ilmiah Sumanto, Listyowati, 2016, Aspek Yuridis Kepemilikan Hak Atas Tanah Di Australia, Jurnal Magister Kenotariatan, Universitas Trisakti, Jakarta. V. Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 61 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna BangunanDan Hak Pakai Atas Tanah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3643
156 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3696 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 107