BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BATAS MAKSIMAL PEMILIKAN TANAH DALAM HUKUM AGRARIA A. Analisa Tentang Batas Luas Pemilikan Tanah Diuandangkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1960 ( LN. 1960-104, TLN 2043, 24-09-1960) tentang Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal untuk mengakhiri dualisme hukum agraria yang ada sebelumnya berlaku di Indonesia, yakni hukum tanah Barat yang didasarkan pada KUHP dan hukum tanah Adat yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum penduduk asli (adat) Indonesia.Tujuan pokok diundangkannya UUPA adalah (1) meletakkan dasardasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur, (2) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, (3) meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Latar belakang dari agenda atau tujuan pokok dari UUPA diatas adalah karena realitas pengaturan hukum agraria yang diwariskan oleh pemerintah jajahan sangat bertentangan dengan kepentingan rakyat dan bangsa, melahirkan sifat dualisme hukum agraria, dan tidak memberikan jamian kepastian hukum bagi rakyat Indonesia. Semua itu harus dihapus dan
digantikan dengan semangat yang didasarkan pada kepentingan rakyat dan bangsa berdasar UUD 1945.1 Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah merupakan masalah yang sangat kritis di Indonesia. Desakan liberalisasi perdagangan dengan menempatkan “tanah sebagai komoditi” membuat wilayah masalah ini semakin kompleks, dimana rakyat terutama petani kecil diposisikan sebagai “korban” arus kapitalisme global yang nyaris tanpa jalan keluar. Ketimpangan ini juga merupakan salah satu penyebab kemiskinan di Indonesia, khususnya di Pedesaan (sekitar 75% atau 71 juta penduduknya berada dibawah garis kemiskinan, yang disertai dengan merosotnya nilai tukar rupiah).2 Pada arus politik hukum agraria fenomena diatas sangat jelas terlihat. Karena selama ini kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan kelompok bawah. Salah satu kebijakan pemerintah yang sangat merugikan kelompok miskin di Indonesia adalah tidak berjalannya reformasi agraria. Luas tanah negara yang sebetulnya bisa dimanfaatkan oleh kelompok miskin terutama petani gurem untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Kenyataannya tidak banyak kelompok ekonomi lemah yang dapat memanfaatkan harta negara tersebut. Sebaliknya kelompok ekonomi mapan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan tanah negara dengan Hak Guna Usaha (HGU).
1
Soetandyo Wignjosoebroto, et. al., Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA): Menuju Penegakan Hak-Hak atas Sumber-Smber Agraria, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 1998, hlm. 146. 2 Hs. Dillon, Kerangka Acuan Konferensi Nasional: Pembaharuan Agraria sebagai Upaya Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Asasi Petani, dalam Francis Wahono (ed) Hak-Hak Asasi Petani dan Proses Perumusannya, Yogyakarta: Cinderelas Pustaka Rakyat Cerdas, 2002, hlm. 95.
Perkembangan terakhir, pelibatan lembaga-lembaga pembangunan multilateral dan lembaga keuangan Internasional (IMF) semakin nyata dalam pengintegrasian alokasi sumber-sumber agraria dengan liberasi perdagangan. Kasus ini dapat dilihat dalam proses dan keluaran Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project), seperti dengan diterbitkannya PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang mencabut salah satu fondasi pelaksanaan land reform yakni PP No. 10 tahun 1961.3 Arah politik agraria diatas pada akhirnya menghasilkan kekacauan dalam sistem pemilikan dan penguasaan tanah dan berujung pada semakin meluasnya ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia. Ini merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah pada saat sekarang UUPA sebagai peraturan yang memuat ketentuan pokok dibidang keagrariaan masih belum bisa terlaksana secara keseluruhan, masih banyak peraturan pelaksanaan yang diperlukan untuk melaksanakan UUPA masih belum dijalankan dan ditaati. Di samping itu ada pula beberapa bagian dari UUPA dan peraturan pelaksanaannya yang dirasakan kurang cocok dengan situasi dan kondisi masyarakat kita yang sedang membangun yang mengakibatkan pemecatan dan pelaksanaan daripada peraturan yang bersangkutan. Selain itu masih ada beberapa faktor penyebab yang mengakibatkan program penataan dalam penggunaan penguasaan dan pemilikan tanah tidak terlaksana secara efektif seperti faktor aparat dan petugas pelaksana yang kurang mencukupi, adanya
3
Soetandyo Wignjosoebroto, et. al, Loc. Cit., hlm. 146.
para calo-calo tanah yang berusaha mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan melakukan manipulasi tanah. Pengaruh yang kuat dari para tuan-tuan tanah gaya baru yang menguasai tanah secara berlebih-lebihan membuat petani gurem semakin tertekan.4 Untuk mengadakan penataan kembali ini sudah barang tentu diperlukan pula adanya perbaikan dan penyempurnaan terhadap dasar hukum yang diperlukan untuk melaksanakan program tersebut. Andaikan sekarang sudah terdapat semacam konsensus bahwa UUPA sebagai dasar pokok dari hukum agraria sudah cukup memadai dan tidak perlu dirubah lagi, maka arah pembaharuan ini adalah ditujukan kepada peraturan-peraturan pelaksanaannya yang dirasakan tidak sesuai lagi dan mempersiapkan peraturan-peraturan yang ditujukan di dalam UUPA untuk diadakan sehingga program ini benar-benar dilaksanakan diatas landasan hukum yang kuat. Mengenai berapa batas minimum dan maksimum luas tanah yang dapat dimiliki oleh petani sebagaiman penulis jelaskan dalam Bab III perlu untuk ditinjau kembali bila kita menginginkan Sang Petani tidak akan selalu hidup dibatas garis kemiskinan. Oleh karena pada saat sekarang ada semacam anggapan bahwa dengan luas tersebut secara perhitungan ekonomis seorang petani tidak akan dapat mencapai taraf hidup yang layak, begitu pula kalau hal ini kita hubungkan dengan program mekanisme pertanian. Dan yang jelas untuk perlu ditinjau kembali adalah ketentuan pelaksanaannya sebagaimana yang tercantum di dalam Keputusan Menteri 4
Y. W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria : Beberapa Pemikiran, Jakarta: PT. Bina Aksara, Cet. ke-1, 1988, hlm. 97.
Agraria tanggal 31 Desember 1960 No. SK. 978/KA/1960 tentang penegasan luas mekanisme tanah pertanian sebagai akibat dari peledakan penduduk yang sangat cepat sudah tidak cocok lagi dengan fakta yang sebenarnya. Lebih jauh, dengan Peraturan Pemerintah yang menetapkan luas batas maksimum tanah yang dimiliki dan dikuasai, bahkan sampai kepada pemilikan diluar jangkauan yang dimungkinkan, yakni tanah guntai (absente).5 Karena pada Undang-Undang ini mempunyai potensi mencegah lahirnya tuan tanah dan mengandung prinsip “tanah untuk penggarap”. Meski demikian di dalam realisasinya pelaksanaan UUPA tersebut terkesan lamban dan dilaksanakan secara tidak serius. Menurut Mr. Sadjarwo Menteri Agraria pada tahun 1960, lambannya pelaksanaan reformasi agraria disebabkan beberapa hambatan besar yaitu: 1. Tidak tertib dan tidak sempurnanya administrasi tanah. 2. Pemerintah tidak tahu secara tepat luas tanah yang dimiliki warganya, hal ini yang kemudian membuka penyelewengan. 3. Masih banyaknya orang yang tidak mengerti atau tidak mau mengerti pentingnya land reform. 4. Adanya tekanan dari kelompok penguasa tanah.6
5
Dalam pembahasan pasal 10 UUPA telah dikemukakan, bahwa sebagai langkah pertama ke arah pelaksanaan asas, bahwa yang memiliki tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif ini diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut “absentee” atau dalam bahasa Sunda “guntai”, yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal yang empunya. Beodi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Jilid I, Jakarta: Djambatan, Cet ke-7, 1997, hlm. 349. 6 Dadang Juliantara, dalam tulisannya “Teologi Agraria, Etika dan Politik Bagi Jalan Keadilan Agraria” dalam Sosialisme Religius, Suatu Jalan Keempat?, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Cet. ke-3, 2000, hlm. 76.
Terlepas dari perbedaan dan perubahan konteks sosial, yang jelas sampai saat ini masih banya petani yang belum bisa mempunyai lahan mencapai target minimal yang diamanatkan oleh UUPA. Hal ini dapat dilihat dari begitu besarnya kesenjangan pemilikan tanah. Menurut sensus pertnian 1983, rata-rata penguasaan tanah pertanian untuk seluruh Indonesia adalah 0,98 Ha untuk setiap Rumah Tangga Petani (RTP), khusus di Jawa 0,58 Ha dan 1,58 Ha di luar Jawa. Kenyataan ini semakin parah pada tahun 1993, pemilikan tanah rata-rata 0,83 Ha untuk seluruh Indonesia, 0,47 Ha untuk Jawa dan 1,27 Ha untuk di luar Jawa. Dalam realitas pemilikan dan penguasaan tanah tersebut diatas, jumlah petani gurem (dengan pemilikan tanah kurang atau sama dengan 0,2 Ha) terus bertambah, yakni 9.532.000 pada tahun 1983 menjadi 10.937.000 pada tahun 1993. Persentase pertambahan jumlah petani gurem ternyata lebih besar terjadi di luar Jawa, yakni 33,4% dengan jumlah 2.840.000 (1983) dan pertambahan 9,37% dengan jumlah 8.097.000 (1993) untuk kasus Jawa.7 Tekanan masalah diatas telah menambah semakin banyaknya petani tidak bertanah atau buruh tani. Seperti tercermin dalam data statistik yang dikeluarkan BPS di bawah ini. Tabel I Struktur Penguasaan Tanah di Indonesia Golongan luas tanah
Jumlah
7
Proporsi tanah yang dikuasai
RTP %
Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., hlm. 145.
Tunakisma (+ petani
11.084.605
43
0
0,10 – 0,49 Ha
7.645.428
27
13%
0,50 – 0,99 Ha
4.130.221
14
18%
> 1 Ha
4.421.746
16
69%
< 0,10 Ha)
Sumber: Soetandyo Wignjosoebroto, hlm. 147 Dalam tabel diatas dapat dilihat 43% dari total RTP atau sejumlah 11.084.605 RTP adalah tunakisma dan diantara mereka yang memiliki lahan, rata-rata penguasaan mereka atas lahan pertanian adalah sesungguhnya tidak lebih dari 0,10 Ha. Meski sulit untuk menentukan dari data tersebut seberapa buruh tani yang ada, namun dapat dipastikan bahwa kelompok 43% diatas didominasi oleh petani berlahan sempit. Sementara itu hanya 16% atau sejumlah 4.421.746 RTP memiliki ratarata lebih dari 1 Ha lahan usaha tani untuk digarap dalam proporsi tanah yang dikuasai 69% dari selurh total luas lahan pertanian. Jika data ini dikelompokkan menjadi dua, yakni penguasaan tanah antara di bawah 1 Ha dan diatas 1 Ha, maka gambaran penguasaan tanah di Indonesia adalah sejumlah 84% penduduk pedesaan menguasai 31% dari total luas lahan usaha tani dan hanya 16% menguasai sebesar 69% dari total luas lahan usaha tani. Bila dibandingkan dengan data penurunan luas lahan pertanian, yakni berkurang dari 5,72 juta Ha (1983) menjadi 5, 24 juta Ha (1993) atau menurun 0,48 juta Ha. Maka data struktur penguasaan lahan pertanian diatas sudah
sepatutnya disebut sebagai krisis atas sistem penguasaan sumber-sumber agraria, terutama di Jawa.8 Mengkaji lebih jauh masalah penguasaan tanah pertanian ini antara tahun 1973 – 1993 dapat dilihat Tabel 2 dibawah ini. Tabel 2 Distribusi Luas Usaha Tani diIndonesia 1973 - 1993 Luas
1973
Usaha %
%
Tani Ha
<
1983 Rata-
%
%
1993 Rata-
rata
%
%
rata
Ratarata
Usaha Area
Luas
Usaha Area
Luas
Usaha Area
Luas
tani
(Ha)
tani
(Ha)
tani
(Ha)
45,6
11,9
0,26
40,8
10,2
0,26
48,5
15,6
0,17
42,8
41,0
0,95
44,9
10,3
0,94
39,6
49,2
0,90
9,4
26,6
2,78
11,9
30,9
2,72
10,6
37,3
3,23
2,1
20,5
9,45
2,4
18,6
8,11
1,3
12,9
11,90
0,50 0,501,99 2,004,99 5,00+
Jumlah Usaha Tani (jua)
15,9
17,9
Jumlah Area (juta Ha)
16,7
15,4
Rata-rata Luas Usaha Tani (Ha)
1,05
0,74
Sumber: Soetandyo Wignjosoebroto, hlm. 147
8
Ibid.
Dari tabel diatas dapat dilihat fenomena ketimpangan struktur agraria di Indonesia menjadi semakin jelas dan tidak terbantahkan dan ini menjadi kenyataan pahit bagi kaum miskin pedesaan. Di tengah semakin meluasnya ketidakadilan yang dialami rakyat yang dihasilkan dari kondisi diatas, jelas sangat dibutuhkan jalan keluar yang didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan mereka, yakni petani kecil (berlahan sempit) dan buruh tani. Jalan keluar itu ditujukan pada perubahan mendasar terhadap kondisi sistem dan struktur penguasaan dan pemilikan agraria yang telah melahirkan ketidakadilan tersebut diatas kearah yang lebih jujur dan adil. Hal ini semacam ikhtiar penciptaan sistem penguasaan dan pemilikan tanah yang jujur dan adil, yang sama sekali baru dengan berbasiskan pada kepentingan petani kecil dan buruh tani.9 Hampir selalu dikatakan, bahwa masalah agraria bukan semata-mata terletak pada lemahnya kesadaran hukum, tetapi pertama-tama ia merupakan masalah sosial, ekonomi bahkan politik. Meskipun sudah 44 tahun berjalan namun UUPA masih memerlukan penanganan serius dari pemerintah beserta segenap komponen masyarakat. Tanpa mencoba mengatasi masalah tersebut penegakan hukum agraria sulit untuk ditegakkan. B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Batas Maksimal Pemilikan Tanah Dalam Hukum Agraria Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampaui batas secara tegas telah penulis kemukakan pada bab III. Hal tersebut dapat dijadikan 9
Ibid., hlm. 144.
pedoman bagi seorang muslim yang diberi kelebihan harta kekayaan agar menggunakannya sesuai dengan ajaran Islam. Kekayaan harus dibelanjakan dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya, tetapi juga harus untuk kemaslahatan seluruh manusia dan yang lebih penting harta kekayaan itu harus dicari dengan cara yang jujur serta tidak merusak tingkat keimanan seseorang kepada Allah.10 Dalam Islam pembatasan pemilikan tanah tidak diatur secara mendetail, namun ketika Islam membatasi suatu pemilikan, Islam tidak membatasinya dengan cara perampasan melainkan menggunakan mekanisme tertentu. Adapun pembatasan pemilikan dengan menggunakan mekanisme tertentu itu tampak pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Dengan cara membatasi cara kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan hak milk bukan dengan merampas harta kekayaan yang telah menjadi hak milik orang lain. 2. Dengan cara menentukan mekanisme pengelolaannya. 3. Dengan cara menyerahkan tanah kharajiyah sebagai milik negara, bukan sebagai hak milik individu. 4. Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu.
10
Ruqaiyah Waris Masqood, Harta dalam Islam: Panduan Al-Qur’an dan Hadits dalam mencari dan membelanjakan Harta Kekayaan, Jakarta: Lintas Pustaka, Cet. ke-1, 2003, hlm. 3.
5. Dengan cara mensuplay orang yang memiliki keterbatasan faktor produksi sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sesuai ketentuan yang ada.11 Jadi makna kepemilikan individu adalah mewujudkan kekuasaan pada seseorang terhadap kekayaan yang dimilikinya dengan menggunakan mekanisme tertentu. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bab III, untuk mengakhiri pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas sehingga dapat merugikan orang lain, pemerintah mengeluarkan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pokok-pokok ketentuan mengenai larangan menguasai tanah tersebut diatur dalam pasal 7 dan 17 UUPA dan sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal tersebut dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 5 tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Ketentuan Al-Qur’an mengenai hak milik tanah dengan tegas menguntungkan petani. Menurut Al-Qur’an tanah harus menjadi milik bersama demi pemanfaatan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, karena itu pemilikan dan penguasaan tanah yang membatasi keuntungan segelintir orang, dan yang mengesampingkan sebagian besar rakyat adalah bertentangan dengan jiwa Al-Qur’an. Dengan demikian Islam tidak menyukai sistem zamindari atau yang dinamakan sistem tuan tanah atau feodalisme.12 Pertama, karena sistem penguasaan tanah seperti ini bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil. Kedua, sistem ini akan
11
Taqiyyudin An-Nabani, Al- Nidhom Al-Iqtishodi fi al-Islam, Terj. Membangun Ekonomi Islam Alternatif Perspektif Islam, Surabaya; Risalah Gusti, 1996, hlm. 69. 12 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 77.
merintangi pemanfaatan tanah yang tepat, karena tanah yang tidak terpakai merupakan hal yang mubazir dan dapat merugikan pemilik dan masyarakat secara keseluruhan. Tidak diragukan, Nabi sendiri membagi-bagikan tanah pada para pengikutnya. Sumber-sumber tidak pernah menunjukkan bahwa sistem tuan tanah itu ada di zaman pra Islam maupun sesudahnya. Tidak terdapat seorang tuan tanah kaya dalam masyarakat itu, karena alam negerinya mencegah adanya bentuk pemilikan tanah semacam ini dengan tidak adanya hujan dan irigasi, juga karena tanahnya gurun pasir. Karena itu tanah yang dibagibagikan disekitar Madinah tidak menimbulkan keburukan feodalisme. Lahan yang sebelumnya adalah milik orang Yahudi diberikan kepada orang muslim yang membutuhkan terutama kepada kaum Muhajirin. Nabi tidak pernah bermaksud untuk mendorong adanya sistem tuan tanah dalam bentuk apapun yang dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan, karena beliau berusaha mencamkan arti penting penggarapan tanah oleh para pemiliknya sendiri. Nabi mengatakan, “Seorang yang mempunyai sebidang tanah harus menggarap tanahnya itu sendiri dan jangan membiarkannya. Jika tidak digarap, dia harus memberikannya kepada orang lain untuk mengerjakannya. Tetapi bila kedua-duanya tidak ia lakukan –tidak digarap, tidak pula diberikan kepada orang lain untuk mengerjakannya- maka hendaknya dipelihara/dijaga sendiri. Namun kami tidak menyukai hal ini. (HR. Bukhori) 13
13
Ibid., hlm. 79.
Kalimat terakhir dalam hadits ini menunjukkan ketidaksenangan Nabi pada kelakuan seperti itu, karena membiarkan dan menelantarkan tanah tidak digarap merupakan perbuatan yang dzalim. Dalam Islam tidak seorangpun yang dapat menuntut pemilikan tanah pribadi secara mutlak, bebas tanpa kendali dan batas apapun, karena tanah pada hakekatnya adalah milik Allah. Di samping menetapkan hak milik pribadi, Islam juga menetapkan prinsip yang lain. Ketika konsep pemilikan pribadi ini hampir-hampir telah menjadi suatu kebenaran teoritis saja dan bukannya kenyataan, ketika pemilik hak memiliki pemilikan pribadi sendiri hempir-hampir mengabaikan begitu saja setelah ia memperoleh kebutuhan untuk dirinya. Prinsip pertama yng ditetapkan Islam adalah bahwa sesungguhnya individu pada hakekatnya hanya wakil dari masyarakat yang memegang dan mengurus harta benda yang ada dalam tangannya, dan pemilikannya atas harta benda tersebut hanyalah bersifat sebagai “uang belanja” dimana ia memiliki hak kepemilikan yang lebih besar daripada orang lain, sedangkan harta benda secara umum adalah untuk masyarakat dan masyarakat adalah wakil yang diserahi amanat untuk mengurus harta tersebut, pemilik yang sebenarnya adalah Allah. Sebagaimana firman-Nya sebagai berikut:
Artinya: Berimanlah kepada Allah dan Rosul-Nya,dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. (QS. Al-Hadid: 7)14
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV. Toha Putra, 1989, hlm. 901.
Pemerintah sebagai wakil dari masyarakat banyak, diberi kebebasan untuk mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan pemerintahan dan urusan rakyatnya. Pemerintah merupakan kholifah di bumi dan Allah telah menjadikannya untuk mengatur serta memakmurkan bumi bukan membuat kerusakan dibumi. Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang kholifah dimuka bumi, mereka berkata, mengapa engkau hendak menjadikan (kholifah) di bumi itu orang yang berbuat kerusakan padanya dan orang yang menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. Allah berfirman: Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah; 30)15
Tugas sebagai kholifah adalah memakmurkan bumi, dengan menjaga keamanan dan ketertiban bumi. Keamanan di bumi tidak akan tercapai jika tidak ada peraturan yang mengatur segala sesuatu berkenaan dengan keamanan dunia. Demikian pula mengenai masalah yang berkaitan dengan pemilikan tanah, harus benar-benar diatur secara keseluruhan baik mengenai hukumnya maupun peraturan lain yang bisa digunakan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas sehingga merugikan rakyat banyak. Prinsip lain yang ditetapkan Islam dalam hal pemilikan harta benda adalah bahwa harta benda itu tidak boleh hanya beredar ditangan sekelompok
15
Ibid, hlm. 13.
anggota masyarakat tertentu saja, sementara sekelompok masyarakat lain tidak menikmatinya. Sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr: 7)16 Karena sesungguhnya menumpuknya kekayaan ditangan sekelompok masyarakat dan tidak terdapatnya pada kelompok yang lain akan menimbulkan efek yang sangat merusak terutama akibatnya berupa kebencian dan sakit hati diantara sesama anggota masyarakat. Semua itu belum terhitung efek yang lain seperti sakit hati kaum miskin dan kebencian mereka terhadap orang kaya yang bermewah-mewahan. Oleh karena itu orang kaya Muslim dan beriman memiliki banyak kewajiban yang harus dilaksanakan, seperti menafkahkan sebagian harta yang mereka miliki dan membayar zakat. Sesengguhnya semakin banyak kekayaan yang dia peroleh, semakin banyak pula kewajibannya untuk memberikan kepada masyarakat. Dalam prinsip Islam menyatakan, bahwa mengeluarkan harta kekayaan untuk kemaslahatan masyarakat tidak akan mengurangi dan menjadikan miskin bagi yang mengeluarkan.17 Dalam Islam tidak menentukan berapa luas tanah yang boleh dimiliki oleh seseorang, maka hal ini dapat ditetapkan dengan peraturan perundangan 16 17
Ibid., hlm. 916. Ruqaiyah Waris Masqood, Op. Cit., hlm. 124.
yang dibuat oleh pemerintah. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah ini lebih didasarkan pada kemaslahatan seseorang yang diberi harta kekayaan agar memiliki secara wajar dan tidak berlebih-lebihan. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:
Artinya: Peraturan pemerintah kepada rakyat adalah dikaitkan dengan kemaslahatan.18 Kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah sangat menentukan nasib dan kesejahteraan rakyatnya. Karena pemerintah yang mempunyai wewenang penuh untuk mengelola dan membuat kebijaksanaan daerah yang dikuasainya. Tugas negara adalah menjaga hak milik Allah, sebab negara adalah perwujudan prinsip kholifah. Tugas negara adalah “amar ma’ruf nahi munkar” mengadakan yang baik dan mencegah yang buruk, berpedoman pada prinsip kebaikan dan kesejahteraan. Visi dari pembangunan ini menurut Islam adalah menciptakan khoiru ummah, yaitu sebaik-baiknya umat dan berarti suatu masyarakat yang berkualitas, dimana yang mengemban misi menjadi saksi atas manusia dan menegakkan keadilan. Dalam konteks pembangunan ekonomi tugas negara adalah menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam wilayah suatu negara, tanah memainkan peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu berbagai permasalahan yang berhubungan dengan hak pemilikan tanah harus ditangani dengan sungguh-sungguh. Karena pada pemecahan masalah ini terletak pada masa 18
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-1, 2002, hlm. 164.
depan bangsa. Sistem pertanahan pada gilirannya dapat menentukan perilaku kelas pola administrasi dan stabilitas moneter. Sejarah kehidupan manusia telah menunjukan bahwa kebutuhan akan tanah dari waktu ke waktu selalu meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk dan aktivitas ekonomi masyarakat. Seperti kebutuhan untuk mendirikan
kawasan
pemukiman,
kawasan
perkantoran,
pabrik
dan
semacamnya jelas sangat membutuhkan tanah yang luas. Karena jika sudah demikian meningkatnya kebutuhan akan tanah, maka perebutan antara kelompokpun tidak bisa dihindarkan. Biasanya pada situasi yang demikian kaum marjinal akan menjadi kelompok yang dikalahkan oleh persaingan.19 Ini dapat kita lihat pada masa Orde Baru, tanah digunakan untuk pembangunan skala besar dan terjadi setelah bentrokan berdarah dengan pemilik tanah, sementara sengketa jangka panjang tentang ganti rugi dan hak kepemilikan tidak terpecahkan dalam beberapa kasus sampai puluhan tahun.20 Seperti para petani membuka saluran irigasi di Aceh, menyerang dan membakar harta milik tuan tanah di Riau, mencabut tanaman tebu di tanah sengketa di Jawa Timur, menduduki perkebunan kelapa sawit dan memanen kopi serta hasil bumi lain milik perkebunan-perkebunan negara. Walaupun banyak dari tindakan ini merupakan bagian dari reaksi terhadap krisis ekonomi
yang kemudian menjadi krisis pangan dibanyak
19
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Kebijakan Pertanahan dalam Pembangunan di Indonesia, dalam Masdar F. Mas’udi (ed), Teologi tanah, Jakarta: P3M dan YAPIKA, Cet. ke-1, 1994, hlm. 65. 20
Anton Lucas dan Carol Warren, Pembaharuan Agraria dalam Era Reformasi, dalam Chris Manning (eds), Indonesia di Tengah Transisi,Yogyakarta: LKIS, Cet. ke-1, 2000, hlm. 269.
daerah, protes tentang korupsi, tidak adilnya kompensasi pembayaran tanah yang wajib diserahkan dan peran militer dalam pengambilan tanah merupakan ungkapan kegelisahan yang sudah lama dalam masalah tanah yang belum terpecahkan diseluruh negeri.21 Dengan
latar
belakang
tersebut
diatas,
Islam
membolehkan
pembatasan pemlikan tanah pertanian, terutama setelah kita menginsyafi beberapa
buruknya
pengaruh-pengaruh
yang
ditimbulkan
dikalangan
masyarakat yang disebabkan adanya pemilikan tanah besar-besaran dan tidak terbatas itu. Yang jelas kalau pemilikan sebagai tuan tanah yang besar-besaran itu masih berlangsung banyak tanah yang dibiarkan tidak digarap dan negara sama sekali tidak dapat mengambil manfaatnya. Karena hasilnya sangat tidak sesuai sebagaimana layaknya kalau dimiliki oleh petani-petani kecil. Tanahnya sangat luas, taraf kehidupan petani yang menggarapnya sangat rendah, tenaga yang mereka curahkan sangat besar, sedangkan pemilik tanah yang hartawan dengan sewenang-wenang memperlakukan mereka, tanpa mengindahkan kepentingan kehidupan mereka, kesehatan dan kemuliaan diri mereka tidak diperhatikan sama sekali dan banyak lagi mafsadah (keburukan) yang ditimbulkan oleh pemilikan tanah yang
melampaui
batas.
Sebab-sebab
itu
yang
mendorong
untuk
diperbolehkannya mengadakan peraturan yang berkenaan dengan pembatasan pemilikan tanah pertanian.
21
Ibid, hlm. 270.
Salah satu yang memperkuat bolehnya mengadakan pembatasan pemilikan tanah itu, sebagaimana yang disepakati oleh para ahli fiqih ialah yang bersendikan qaidah sebagai berikut:
Artinya: Kemadharatan itu harus dilenyapkan.22 Jadi membatasi pemilikan seseorang dalam hal ini adalah pemilikan tanah yang malampaui batas maksimum sebagai usaha untuk mencegah timbulnya kemafsadatan atau kerusakan, seperti halnya membatasi harga agar keuntungan yang diperoleh tukang-tukang penimbun
dan spekulan tidak
memberatkan masyarakat. Karena orang miskin akan menjadi kelompok yang dikalahkan oleh persaingan orang-orang kaya. Oleh karena itu apabila Imam (negara) merasa perlu membuat Undangundang bahwa seseorang tidak diperkenankan memiliki tanah yang lebih luas dari sekian, sebagaimana dijelaskan dalam Bab III, maka perintah Imam itu wajib ditati. Sebab ditaatinya Imam adalah haknya dengan syari’at Islam. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat atas sesuatu, kembalilah kepada Allah dan Rasulnya, jika kamu benarbenar beriman.” (QS. An-Nisa: 59)23 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembatasan pemilikan tanah seperti penulis jelaskan dalam Bab III, adalah sesuai dengan syari’at Islam. 22 23
Jaih Mubarok, Op. Cit., hlm. 108. Depag RI, Op. Cit. hlm. 128.
Karena tujuan syari’ dalam mensyari’atkan hukum ialah merealisir kemaslahatan manusia, menarik keuntungan untuk mereka dan melenyapkan bahaya bagi mereka. Sebagaimana dalam kully yaitu:
Artinya: “Menolak kemafsadatan dan mencapai kemaslahatan.”24 Berdasarkan uraian diatas penulis berpendapat bahwa pembatasan pemilikan tanah sejalan dengan tujuan hukum Islam yang hendak menciptakan kemaslahatan dan menghilangkan bahaya bagi umatnya.
24
Jaih Mubarok, Op. Cit., hlm. 104.