BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGUASAAN HAK MILIK PROPERTI ATAS TANAH DAN BANGUNAN OLEH WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA
2.1. Tinjauan Umum Tentang Hak-Hak Atas Tanah 2.1.1. Macam-Macam Hak Atas Tanah Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari Negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.1 Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA menyebutkan : (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah : a. Hak milik b. Hak guna usaha c. Hak guna bangunan d. Hak pakai e. Hak sewa f. Hak membuka tanah g. Hak memungut hasil hutan h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. Diantara macam-macam hak atas tanah diatas, hak milik yang merupakan hak yang paling kuat, terpenuh dan hak turun temurun yang dapat dimiliki seseorang atas tanah, serta memiliki kewenangan kepada pemilik tanah untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah hak milik yang dimiliki tersebut berupa hak guna bangunan, hak pakai ataupun 42 1
Urip Santoso II, op cit, hal. 87
pengecualian hak guna usaha) yang hampir sama dengan kewenangan Negara untuk memberikan hak atas tanah kepada masyarakat. Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan serupa dengan eigendom atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memberikan kewenangan yang terluas pada pemiliknya.2 Hak atas tanah berikutnya yakni hak guna usaha, yang pengertiannya dijabarkan dalam Pasal 28 UUPA yang menyebutkan : (1) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan. (2) Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. (3) Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak guna bangunan diatur di dalam Pasal 53 UUPA yang menyebutkan sebagai berikut : (1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. (2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. (3) Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak guna bangunan digunakan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan milik sendiri dengan jangka waktu tertentu yakni selama 30 tahun. Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah di mana bangunan tersebut didirikan. Hak atas tanah berikutnya yakni hak pakai yang terdapat di dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UUPA menyebutkan sebagai berikut : Pasal 41: (1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang 2
Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, op cit, hal.30
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini. (2) Hak pakai dapat diberikan : a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu; b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. (3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur kekerasan Pengertian dari “menggunakan” dalam hak pakai menunjuk pada pengertian bahwa hak pakai
digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan pengertian dari
“memungut hasil” dalam hak pakai menunjuk pada pengertian bahwa hak pakai digunakan untuk kepentingan lain selain dari mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan.3 Hak atas tanah selanjutnya yakni hak sewa untuk bangunan, ketentuan mengenai hak sewa untuk bangunan disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUPA, secara khusus diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA. Menurut Pasal 44 ayat (1) UUPA, seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Dalam penjelasan Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA dinyatakan bahwa “Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus, maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan, bangunan berhubung dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA. Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16 jo. Pasal 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah ke Negara bukan pemilik tanah.” Dalam hal ini pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong kepada penyewa dengan tujuan agar
3
Urip Santoso II, op cit, hal. 115
penyewa mendirikan bangunan di atas tanah yang telah disewa, baik itu untuk dijadikan tempat tinggal maupun tempat usaha oleh penyewa.4 Berikutnya, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan yakni hak yang hanya dapat dipunyai oleh warga Negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.5 2.1.2. Subyek Hak Atas Tanah Mengenai subyek hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria, menyebutkan bahwa : Pasal 21: (1) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya . (3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia saja dan tidak dapat dimiliki oleh warga Negara asing dan badan hukum yang didirikan di Indonesia maupun yang didirikan di luar negeri. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pihak lain yang dapat menjadi pemegang hak milik atas tanah di Indonesia. Undang4
Urip Santoso I, op cit, hal. 130 Realmaczma, 2011, Hak Atas Tanah Menurut UUPA”, available from : URL : http://realmaczman.wordpress.com/2011/06/15/hak-atas-tanah-menurut-uupa/, diakses pada tanggal 20 Nopember 2015, pukul.14.00 WITA 5
Undang Pokok Agraria juga memberikan batasan peralihan Hak Milik atas tanah. Agar Hak Milik atas tanah dapat dialihkan, maka pihak terhadap siapa Hak Milik atas tanah tersebut hendak dialihkan haruslah merupakan orang perorangan warga Negara Indonesia tunggal, atau badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tersebut. Berkenaan dengan rencana kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi mengenai Hak Milik properti bagi warga Negara asing, hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 21 UUPA khususnya ayat (3) yakni selama seseorang mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai Hak Milik baik itu tanah maupun bangunan, karena warga Negara asing hanya berhak atas hak pakai, hak sewa atau hak guna bangunan dan tidak untuk hak milik. Selanjutnya, Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-Undang Pokok Agraria mengatur mengenai pemberian hak guna usaha dan pihak-pihak yang menjadi pemegang hak guna usaha yakni sebagai berikut : Pasal 30: (1) Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah : a. warga Negara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Pasal 31: Hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah Dilihat dari ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Pokok Agraria bahwa subjek hukum yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah adalah perseorangan warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Setiap badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
dapat menjadi pemegang hak guna usaha, terlepas dari sumber modal yang digunakan untuk mendirikan suatu badan hukum. Selanjutnya, mengenai pemegang hak guna usaha dijelaskan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah, sebagai berikut :
Pasal 3: (1) Pemegang hak guna usaha yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan hak guna usaha itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hak guna usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan, hak guna usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara. Berikutnya ketentuan mengenai subjek hukum pemegang hak guna bangunan dalam Pasal 36 Undang-Undang Pokok Agraria yakni sebagai berikut : Pasal 36: (1) Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah : a. warga Negara Indonesia b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan. Jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dapat diketahui dari rumusan Pasal 36 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut bahwa undang-undang memungkinkan dimilikinya hak guna bangunan oleh badan hukum yang
didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan yang berkedudukan di Indonesia. Dua ketentuan tersebut diatas yaitu : 1. Didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia; dan 2. Berkedudukan di Indonesia. Kedua unsur ini harus ada secara bersama-sama, jika badan hukum tersebut ingin mempunyai hak guna bangunan di Indonesia. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia akan tetapi tidak berkedudukan di Indonesia tidak mungkin memiliki hak guna bangunan (keadaan seperti ini jarang sekali terjadi, kecuali dengan tujuan penyelundupan hukum) atau badan hukum yang tidak didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia, tetapi berkedudukan di Indonesia juga tidak dapat memiliki hak guna bangunan. Terhadap keadaan yang disebutkan terakhir, dalam teori-teori yang berkembang dalam hukum perdata internasional, kedudukan suatu badan hukum telah berkembang sedemikian rupa, sehingga pada taraf tertentu mereka juga dianggap memiliki “persona standi in judicio” pada suatu Negara dimana mereka melakukan kegiatan operasionalnya dan tidak harus dimana kantor pusatnya berkedudukan. Dalam konteks inilah, maka kedua syarat didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia menjadi keharusan kumulatif.6 2.1.3. Hapusnya Hak Atas Tanah Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria mengatur ketentuan mengenai hapusnya hak milik atas tanah yakni sebagai berikut : Hak milik hapus bila : a. Tanahnya jatuh kepada Negara, 1. Karenna pencabutan hak berdasarkan Pasal 18, 2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, 3. Karena ditelantarkan, 4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2) b. Tanahnya musnah 6
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, op cit, hal.191
Menurut ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa alasan mendasar hapusnya hak milik karena adanya pencabutan hak. Dan juga untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Selain dari ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria mengenai pencabutan hak-hak atas tanah selanjutnya dilaksanakan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya. Pasal 1 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman, dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Kemudian Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 menyatakan bahwa: (1) Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut pada Pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. (2) Permintaan tersebut pada ayat (1) Pasal ini oleh yang berkepentingan disertai dengan: i. Rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu. ii. Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan iii. Rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan. Apabila setelah pencabutan dilakukan ternyata tanahnya tidak digunakan sebagaimana peruntukannya atau sebagaimana mestinya maka hal tersebut bertentangan dengan ketentuan dari Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1961 yakni sebagai berikut :
Jika telah terjadi pencabutan hak sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 5 dan 6, tetapi kemudian ternyata bahwa tanah dan/atau benda yang bersangkutan tidak dipergunakan sesuai dengan rencana peruntukannya, yang mengharuskan dilakukannya pencabutan hak itu, maka orang-orang yang semula berhak atasnya diberi prioritet pertama untuk mendapatkan kembali tanah dan/atau benda tersebut. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 yakni dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 mengatur tentang perselisihan mengenai penetapan yang berhubungan dengan pencabutan hak atas tanah tersebut, yang menyatakan sebagai berikut : Pasal 8: (1) Jika yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu tidak tersedia menerima ganti-kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat keputusan Presiden tersebut pada pasal 5 dan 6, karena dianggapnya jumlahnya kurang layak, maka ia dapat minta banding kepada Pengadilan Tinggi, yang daerah kekuasaan-nya meliputi tempat letak tanah dan/atau benda tersebut, agar pengadilan itulah yang menetapkan jumlah ganti-kerugiannya. Pengadilan Tinggi memutus soal tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir. (2) Acara tentang penetapan ganti-kerugian oleh Pengadilan Tinggi sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Sengketa tersebut pada ayat (1) pasal ini dan sengketa-sengketa lainnya mengenai tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan tidak menunda jalannya pencabutan hak dan penguasaannya. (4) Ketentuan dalam ayat (1) dan (2) ini berlaku pula, jika yang bersangkutan tidak menyetujui jumlah ganti-kerugian, yang dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat (3). Pasal 9: Setelah ditetapkannya surat keputusan pencabutan hak tersebut pada Pasal 5 dan 6 dan setelah dilakukannya pembayaran ganti-kerugian kepada yang berhak, maka tanah yang haknya dicabut itu menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, untuk segera diberikan kepada yang berkepentingan dengan suatu hak yang sesuai.
Pasal 10: Jika di dalam penyelesaian persoalan tersebut di atas dapat dicapai persetujuan jual-beli atau tukar-menukar, maka penyelesaian dengan jalan itulah yang ditempuh, walaupun sudah ada surat keputusan pencabutan hak. Dengan adanya aturan tersebut, maka diharapkan pencabutan hak yang dilakukan tidak merugikan kepentingan dari pihak-pihak tertentu, khususnya mereka yang hak atas tanahnya dicabut.
Alasan berikutnya mengenai hapusnya hak milik atas tanah adalah karena penyerahan sukarela. Menurut Boedi Harsono bahwa hapusnya hak milik karena penyerahan sukarela ini berhubungan dengan keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1993 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.7 Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut, menyatakan sebagai berikut: (1) Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. (2) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. (3) Pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kebijakan ini dibuat berdasarkan kepentingan Negara guna pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan untuk kepentingan umum. Berikutnya dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 dari Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum merupakan rambu-rambu yang wajib diperhatikan yang dinyatakan sebagai berikut: Pasal 3: Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Pasal 4: (1) Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila 7
Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disebut Boedi Harsono II), hal.27
penetapan rencana pembangunan untuk kepentingan umum tersebut sesuai dengan dan berdasar pada Rencana Umum Tata Ruang yang telah ditetapkan terlebih dahulu. (2) Bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Umum Tata Ruang, pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada. Pasal 5: Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk: 1. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut : a. Jalan Umum, saluran pembuangan air; b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi; c. Rumah sakit umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; d. Pelabuhan atau Bandar Udara atau terminal; e. Peribadatan; f. Pendidikan atau sekolahan; g. Pasar umum atau pasar INPRES; h. Fasilitas pemakaman umum; i. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana; j. Pos dan Telekomunikasi; k. Sarana olah raga; l. Stasion penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya; m. Kantor Pemerintah; n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 2. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang dimaksud dalam angka 1 yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Alasan berikutnya mengenai hapusnya hak milik atas tanah adalah karena ditelantarkan, penjelasan mengenai hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan perundang-undangan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 3 dan Pasal 4 dari peraturan tersebut mengatur secara spesifik mengenai kriteria tanah terlantar, yakni sebagai berikut: Pasal 3: Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.
Pasal 4: Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut. Tanah terlantar yang dimaksud adalah tanah yang tidak dimanfaatkan dan atau dipelihara dengan baik dan tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut. Alasan berikutnya mengenai hak milik atas tanah adalah karena hapusnya hak milik karena dikuasai atau dialihkan kepada subyek hukum yang tidak berhak memangku kedudukan hak milik atas tanah. Hal ini mengacu pada ketentuan dari Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yakni sebagai berikut : Pasal 21: (3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Pasal 26: (2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Alasan terakhir adalah karena tanahnya musnah, sebagaimana pemberian, peralihan dan pembebanan hak milik yang wajib di daftar dalam buku tanah, pendaftaran hapusnya hak
kepemilikan atas tanah juga wajib untuk dilakukan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yakni tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 52: (1) Pendaftaran hapusnya suatu hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkan sertifikat hak yang bersangkutan, berdasarkan: a. data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika mengenai hakhak yang dibatasi masa berlakunya; b. salinan surat keputusan Pejabat yang berwenang, bahwa hak yang bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut; c. akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh pemegang haknya. (2) Dalam hal sertifikat hak atas tanah yang hapus tidak diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan. Apabila tanah yang menjadi hak milik musnah karena suatu hal, maka wajib melaporkan ke Pejabat yang berwenang guna pencatatan pada buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan di Kantor Badan Pertanahan dimana tanah tersebut berada. 2.1.4. Tinjauan Umum Pendaftaran Hak Atas Tanah dan Bangunan Prinsip utama dari pendaftaran tanah adalah guna menjamin kepastian hukum atas bidang tanah serta untuk memfasilitasi jaminan keamanan atas pemilikan tanah dan pemindahan haknya, oleh karena hal tersebut maka pemerintah mengadakan pendaftaran tanah untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, memberikan definisi mengenai Pendaftaran Tanah yakni suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur berupa pengumpulan keterangan-keterangan atau tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah tertentu, pengolahan,
penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian
hukum
di
bidang
pertanahan
termasuk
penertiban
tanda-buktinya
dan
pemeliharaannya.8 Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan: Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidangbidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Terkait dengan Pasal 1 ayat (1) tersebut diatas mengenai pendaftaran tanah dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Makna dari suatu rangkaian kegiatan adalah menunjuk kepada adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain, menjadi satu kesatuan rangkaian yang berujung pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat Indonesia. b. Terus
menerus
pengertiannya
menunjuk
kepada
pelaksanaan
kegiatan,
yang
berkesinambungan tiada hentinya. Data yang sudah terkumpul dan tersedia harus selalu dipelihara dalam arti disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang tersedia harus dipelihara serta selalu dijaga agar tetap disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir. c. Teratur bermakna menunjukkan bahwa semua kegiatan yang harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai karena hasilnya akan menjadi data bukti 8
Boedi Harsono I, op cit, hal.72
menurut hukum. Data-data yang dihimpun meliputi dua bidang yakni data fisik dan data yuridis. d. Wilayah menunjuk pada ketentuan administrasi pendaftaran tanah pada suatu wilayah yakni meliputi wilayah desa, kelurahan sampai dengan wilayah tertinggi dari suatu Negara. e. Tanah tertentu merujuk kepada obyek pendaftaran tanah. Tanah yang didaftarkan hanya sebagian tanah yang dipunyai dengan hak yang ditunjuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yakni hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, akan tetapi diperluas oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yakni Pasal 9, mengenai juga hak pakai yang diberikan oleh Negara, hak pengelolaan, wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan dan tanah Negara. Tahapan sistem pendaftaran tanah yakni terdiri dari pengumpulan data, pengolahan atau proses, penyimpanan dan kemudian penyajiannya. Bentuk penyimpanannya dapat berupa dokumen, skema atau gambar atau peta, dan angka-angka di atas kertas mikro film atau dengan menggunakan bantuan komputer. Serta yang terakhir yakni penyajian yang dimaksud adalah diterbitkannya surat tanda bukti hak yang berupa sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak seseorang terhadap suatu obyek tanah tertentu. Akan tetapi dalam perkembangannya, pengumpulan sampai dengan penyajian data yuridis bukan tanah yang di daftarkan melainkan hak-hak atas tanah yang menentukan status hukum serta hak-hak lain yang membebani hak yang bersangkutan. Dalam pendaftaran tanah menggunakan apa yang disebut sistem pendaftaran akta (sistem registrations of deed) bukan haknya melainkan justru yang di daftar adalah dokumen-dokumen yang membuktikan
diciptakannya hak yang bersangkutan dan dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum mengenai hak tersebut. Tahapan pendaftaran tanah terdiri dari: a. Kegiatan pendaftaran pertama kali yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan berdasar kepada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan dengan dua cara yakni: Penerbitan sertifikat melalui pendaftaran tanah secara sporadik, pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan secara individual atau missal. Di dalam pendaftaran tanah secara sporadik inisiatif datangnya dari pemilik tanah (secara individual) atau juga dilakukan oleh beberapa pemilik tanah (missal) dengan biaya dari si pemilik tanah.9 Penerbitan sertifikat secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum di daftar dalam suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Tujuan dari penerbitan secara sistematik ini adalah meningkatkan kepastian kepemilikan tanah, mengurangi konflik tanah, mendorong efisiensi pasar tanah, mempermudah akses ke kredit (sebagai kolateral), dan menyediakan insentif bagi investasi tanah jangka panjang dan tata guna tanah yang berkelanjutan.10 b. Pemeliharaan data yang tersedia yakni data yang disimpan atau disajikan baik data fisik maupun data yuridis, perlu disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, agar selalu selaras dengan ketentuan dari Pasal 2 dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa pendaftaran tanah harus dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka. Dalam UUPA, WNA hanya diperbolehkan memiliki properti dalam hal ini tanah dan bangunan di Indonesia dengan persyaratan tertentu, dimana WNA hanya dapat memiliki tanah dan bangunan di Indonesia dengan status Hak Pakai. Apabila tanah dan bangunan yang akan dibeli oleh WNA tersebut masih berstatus Sertifikat Hak Milik atau Sertifikat Hak Guna Bangunan maka harus diajukan perubahan hak terlebih dahulu ke Kantor Badan Pertanahan
9
Adrian Sutedi, 2014, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal.60 Ibid, hal.80
10
setempat dengan proses dan syarat-syarat tertentu. Dimana pemberian hak pakai ini diberikan untuk jangka waktu 10 tahun dan setelahnya dapat diperpanjang. Jika sudah berakhir masa berlaku haknya maka tanah dan bangunan tersebut akan kembali menjadi hak negara. Kegiatan pendaftaran apartemen atau rumah susun telah diatur secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Pengertian rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama. Terkait hal tersebut apabila seorang WNA membeli apartemen atau rumah susun dengan Status Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS). Maka jenis sertifikat untuk unitunit apartemen adalah SHMSRS, dimana jenis sertifikatnya adalah sama dengan sertfikat hak milik. SHMRS ini adalah alas hak terhadap unit-unit apartemenya, sementara unit-unit apartemen berdiri di atas lahan bersama yang berstatus Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. SHMRS adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai diatas tanah Negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah pengelolaan. Jika melihat kepada aturan dalam UUPA bahwa WNA yang ingin memiliki properti termasuk tanah dan bangunan atau apartemen maka harus dilihat dulu alas hak atas tanah bersama dimana apartemen ini berdiri. Jika sertifikatnya adalah Hak Pakai maka WNA boleh
membelinya namun jika alas haknya berupa Hak Guna Bangunan maka WNA tidak boleh memilikinya.11 2.2. Tinjauan Umum Tentang Hak Milik dan Orang Asing 2.2.1. Pengertian Umum Hak Milik Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA merupakan hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki seseorang atas tanah, serta memiliki kewenangan kepada pemilik tanah untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah hak milik yang dimiliki tersebut berupa hak guna bangunan, hak pakai ataupun pengecualian hak guna usaha) yang hampir sama dengan kewenangan Negara untuk memberikan hak atas tanah kepada masyarakat. Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan serupa dengan eigendom atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memberikan kewenangan yang terluas pada pemiliknya.12 Pengertian dari turun temurun memiliki makna hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan apabila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. Penggunaan hak milik atas tanah harus memerhatikan fungsi sosial atas tanah yaitu dalam menggunakan
Asriman, 2016, “Aspek Hukum WNA Membeli Properti di Indonesia”, available from : URL : http://asriman.com/aspek-hukum-wna-membeli-property-di-indonesia/, diakses tanggal 30 Nopember 2015, pukul 13.00 WITA 12 Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, op cit, hal.30 11
tanah tidak boleh menimbulkan kerugian bagi siapapun juga, penggunaannya harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum dan tanah harus diperhatikan dengan baik pemeliharaannya agara bertambah kesuburan dan mencegah kerusakannya.13 Menurut Sudargo Gautama dalam bukunya yang berjudul Indonesian Business Law, menjelaskan mengenai hak milik yang berlaku di Indonesia yakni sebagai berikut: “Hak milik was fullest right in land recognized by adat law. Diespite as Dutch designation, which implied a mere possessory interest, it was comparable to the European eigendom. It could be held individually, jointly or by the entirety, could be sold, bequeathed or otherwise transferred, and could be used as security for a debt. It was also the basis of lesser rights, such a usufruct and lease.”14 Terjemahannya adalah hak milik adalah hak sepenuhnya di Negara yang mengakui adanya hukum adat, meskipun berasal dari Belanda hal ini serupa dengan hukum dari Eropa. Hak milik dapat dijadikan milik pribadi atau kerja sama, dapat juga dijual-belikan, diwariskan atau dengan dialihkan dan dapat juga digunakan sebagai jaminan dalam bertransaksi, ini kaitannya dengan sertifikat hak milik yang daoat dijadikan alat gadai. Hak milik adalah hak tertinggi jika dibandingkan dengan hak pakai ataupun hak sewa. Sudargo Gautama juga membagi jenis-jenis dari hak milik. Hak milik could be acquired in several ways: a. by cultivating undeveloped land b. by gift of the Government c. by statute d. by transfer of title e. by adverse possession Terjemahannya adalah hak milik dapat diperoleh dengan beberapa cara: 13 14
Urip Santoso II, op cit, hal.90-91 Sudargo Gautama, 1995, Indonesian Business Law, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.136-137
a. dengan mengolah tanah yang belum dikembangkan b. pemberian dari Pemerintah c. oleh undang-undang d. pemberian dari jabatan e. oleh kepemilikan yang merugikan Subjek hak milik menurut UUPA yakni sebagai berikut: 1. Perseorangan Hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik (Pasal 21 ayat (1) UUPA).
Ketentuan
tersebut
menyatakan
bahwa
hanya
perseorangan
yang
berkewarganegaraan Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik. 2. Badan-badan hukum Pemerintah menetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya (Pasal 21 ayat (2) UUPA). Badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik menurut Pasal 1 PP Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan; badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik adalah Bank Pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah. Ketentuan yang mengatur mengenai cara memperoleh hak milik atas tanah terdapat dalam Pasal 21 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Pokok Agraria yakni sebagai berikut: Pasal 21: (3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini. Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA mengatur mengenai cara memperoleh hak milik atas tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak milik atas tanah, maka dalam waktu 1 tahun harus melepaskan atau mengalihkan hak milik atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila hal ini tidak dilakukan maka tanahnya hapus karena hukum dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.15 Terjadinya hak milik diuraikan dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UUPA yakni sebagai berikut: Pasal 22: (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena : a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; b. Ketentuan Undang-Undang. Dari uraian Pasal 22 tersebut, dapat diketahui bahwa terjadinya hak milik terdiri dari 3 (tiga) cara yakni :16 (1) Hak milik yang terjadi menurut hukum adat adalah hak milik atas tanah yang terjadi dengan karena pembukaan tanah/pembukaan hutan atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (aanslibbing). Pembukaan tanah/pembukaan hutan yang dimaksud dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh ketua adat
15 16
Urip Santoso II, op cit, hal.93 Urip Santoso II, op cit, hal.94-96
melalui sistem penggarapan, yaitu matok sirah, matok galeng, matok sirah gilir galeng, dan sistem bluburan. Sedangkan lidah tanah (aanslibbing) artinya tanah yang timbul karena berbeloknya arus sungai atau tanah yang timbul di pinggir pantai, dan terjadi dari lumpur, dan lumpur tersebut semakin lama semakin mengeras dan pada akhirnya menjadi tanah dan hak milik atas lidah tanah adalah hak bagi pemilik tanah yang berbatasan. (2) Hak milik atas tanah yang terjadi karena Penetapan Pemerintah, yakni hak milik yang berasal dari tanah Negara. Hak milik ini terjadi karena seseorang memohonkan sebidang tanah Negara untuk dijadikan hak milik dengan prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional, setelah disetujui terbitlah Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) dan SKPH ini wajib didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dan diterbitkan Sertifikat Hak Milik atas tanah. pendaftaran SKPH ini menjadi tanda telah lahirnya hak milik atas tanah. (3) Hak milik atas tanah terjadi karena ketentuan undang-undang, ketentuan yang mengatur hal ini terdapat dalam Pasal I, Pasal II, dan Pasal VII ayat (1) ketentuan konversi UUPA. Konversi adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hakhak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA. Penegasan konversi yang berasal dari tanah milik adat diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas Tanah. Ketentuan mengenai pendaftaran, peralihan dan pembebanan hak atas tanah dapat ditemukan pengaturannya mulai dari Pasal 37 sampai dengan Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Peralihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual-beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang berwenang. Setiap peralihan hak milik atas tanah dilakukan dalam bentuk jual-beli, tukar-menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Dalam konsepsi hukum adat suatu perbuatan tersebut bersifat terang, tunai dan riil. Hal ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah (hak milik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut. Agar peralihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat peralihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah dalam hal ini hak milik. Kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah, PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, harus memperhatikan sertifikat asli hak yang bersangkutan sedangkan mengenai bidang tanah yang belum terdaftar harus melampirkan surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum di konversi atau surat keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan dan surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan.17 2.2.2. Pengertian Orang Asing Menurut Hukum di Indonesia Penduduk yang tinggal di dalam suatu Negara dapat terdiri dari warga Negara dan bukan warga Negara. Penduduk yang bukan warga Negara dari Negara yang bersangkutan biasa disebut dengan orang asing. Demikian halnya, penduduk di Indonesia yang terdiri dari warga Negara Indonesia, warga Negara asing dan orang asing.
17
Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, op cit, hal.109-110
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Pasal 4 mengatur mengenai pengaturan hukum mengenai kewarganegaraan yakni sebagai berikut: Warga Negara Indonesia adalah: a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara lain sebelum UndangUndang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing; d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan Ibu Warga Negara Indonesia; e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia; g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; i. Anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; k. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia Tentang orang asing juga diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang menunjukkan bahwa : “Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing”. Namun demikian secara yuridis, orang asing di Indonesia, selain dari yang
ditentukan dalam Pasal 7 tersebut, adalah juga WNI yang kehilangan kewarganegaraan. Hal tersebut sebagaimana ketentuan dari Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, yaitu: Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: a. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; b. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk itu; c. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutansudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; d. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; e. Secara sukarela masuk dalam dinas Negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; f. Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada Negara asing atau bagian dari Negara asing tersebut; g. Tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu Negara asing; h. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari Negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari Negara lain atas namanya; atau i. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan. Dengan kehadiran orang asing di Indonesia untuk menetap sementara ataupun selamanya di Indonesia secara yuridis membawa akibat hukum terutama dari sisi hukum perdata, bahwa undang-undang tetap memiliki hak-hak perdata terhadap orang asing tersebut. Orang asing memiliki hak-hak perdata yakni melakukan jual-beli tanah maupun properti, yang dalam hal ini properti yang dibeli harus beralaskan hak pakai atas tanah menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. 2.2.3. Pengertian Properti
Sebelum membahas mengenai pengertian dari properti ada baiknya dibahas terlebih dahulu mengenai pengertian dari Bangunan. Pengertian dari Bangunan merujuk kepada "segala bentuk bangunan fisik baik yg berupa permanen, semi permanen ataupun sementara, beserta bumi dimana dia berdiri sampai dengan kedalaman yang tidak terhingga”. Sedangkan Pengertian dari Properti adalah pada awalnya merujuk dari kata aslinya dalam Bahasa Inggris yaitu property sebenarnya lebih mengarah ke aspek legal/hukum berupa hak dan kepemilikan atas suatu bangunan. Namun dewasa ini telah terjadi pergeseran makna properti lebih mengarah kepada suatu bangunan single atau masif, misalnya 1 unit rumah sederhana, atau sebuah rumah mewah, atau 1 unit ruko, atau 1 building setinggi 30 lantai, atau 1 kompleks mall atau 1 kompleks hotel dan lain sebagainya. Arti properti lebih mengarah kepada suatu bangunan yang lebih banyak atau dominan baik dari segi harga maupun volumenya komposisi bangunannya.18 Jadi dapat disimpulkan bahwa properti adalah harta kekayaan dari orang perorangan atau badan hukum yang berbentuk tanah, gedung ataupun rumah susun yang di dalamnya terdapat sarana dan prasarana yang menggambarkan elemen yang tidak terpisahkan pada tanah dan gedung tersebut. Singkatnya, properti merupakan tempat tinggal hak milik bagi pemiliknya yang dalam hal ini selaku kuasa yang mempunyai hak penuh untuk menggunakan apapun yang ada diatasnya baik itu tanah, gedung atau rumah susun. Bentuk utama dari properti adalah real property (tanah) dan personal property (kepemilikan barang secara fisik seperti bangunan gedung atau rumah susun). Hak dari kepemilikan adalah terkait dengan properti yang menjadikan sesuatu barang menjadi “kepunyaan seseorang” baik pribadi maupun kelompok, menjamin si pemilik atas haknya untuk melakukan segala terhadap properti sesuai dengan
Aurora, 2015, “Memahami Arti Properti”, available from : URL : http://www.trafiksite.0fees.net/index.php/bisnis-property/8-memahami-arti-properti.html?ckattempt=1, diakses pada tanggal 20 Nopember 2015, pukul 13.00 WITA 18
kehendaknya, baik untuk menggunakannya ataupun tidak menggunakannya, untuk mengalihkan hak kepemilikannya. 19 Teori Hak Milik menurut Curzon yang mendefinisikan hak milik dengan property, yaitu : “The following are examples of many definitions of ”property”;The highest right men have to anything”; “a right over a determinate thing either a tract of land or a chattel”; an exclusive right to control an economic good”; an agrgregate of rights guaranteed and protected by the government”; “everything which is the subject of ownership”; “a social institution where by people where by people regulate the acquisition and use of the resources of our environment according to a system of rules”; “a concept that refers to the rights obligations, privilages, and a restrictions that govern the relations of men with respect to things of value.”20 Teori hak milik dari Curzon tersebut menjelaskan mengenai pengertian Properti. Menurut Curzon, bahwa Pemerintah yang memiliki hak paling tinggi baik harta benda maupun tanah, memiliki hak istimewa untuk mengendalikan perekonomian, hak agregat yang menjamin terlindungi oleh Pemerintah, segala sesuatu yang merupakan subjek kepemilikan, sebuah institusi sosial dimana orang mengatur akuisisi dan menggunakan sumber daya lingkungan berdasarkan kepada sistem dalam peraturan, sebuah konsep yang mengacu pada hak-hak, obligasi-obligasi, hak-hak istimewa dan pembatasan yang mengatur hubungan manusia dengan memperhatikan nilai-nilai.
Wikipedia Indonesia, 2015, “Pengertian Properti” available from : URL https://id.m.wikipedia.org/wiki/Properti, diakses tanggal 30 Nopember 2015, pukul 13.00 WITA 20 L.B. Curzon, 1999, Land Law, Seventh Edition, Pearson Education Limited, Great Britain, hal. 8-9 19
: