AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE) DALAM HAL PENGUASAAN DAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING (LEGAL EFFECT OF NOMINEE AGREEMENT IN THE CONTROL AND OWNERSHIP OF LAND IN INDONESIA BY FOREIGN CITIZENS) E-JOURNAL
Bunga Gandasari NIM : 11010214410218
Pembimbing : Dr. Aminah, SH, M.Si NIP: 1964120 419903 2002
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DI PONEGORO SEMARANG PEBRUARI 2016
HALAMAN PERSETUJUAN
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE) DALAM HAL PENGUASAAN DAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING
(LEGAL EFFECT OF NOMINEE AGREEMENT IN THE CONTROL AND OWNERSHIP OF LAND IN INDONESIA BY FOREIGN CITIZENS)
E-JOURNAL
Bunga Gandasari NIM : 11010214410218
Mengetahui Dosen Pembimbin
Dr. Aminah,SH,M.Si NIP:19641204199032002
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama
: Bunga Gandasari
NIM
: 11010214410218
Alamat
: Jalan Talangsari Raya Nomor 09, Kelurahan Bendan Duwur, Kecamatan Gajah Mungkur, Semarang, Jawa Tengah
Dengan ini menyatakan hal – hal sebagai berikut : 1. Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan di dalam tesis ini tidak terdapat karya orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi/lembaga pendidikan manapun. Pengambilan karya orang lain dalam tesis ini dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam Daftar Pustaka. 2. Tidak berkeberatan untuk dipublikasikan oleh Universitas Diponegoro dengan sarana apapun, baik seluruhnya atau sebagian, atau kepentingan akademik/ilmiah yang non komersial sifatnya.
Semarang,
Pebruari 2016
Yang Menyatakan
ABSTRAK AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE) DALAM HAL PENGUASAAN DAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING Perjanjian nominee merupakan upaya untuk memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki hak milik atas tanah yang dilarang oleh UUPA dengan jalan menggunakan kedok melakukan jual beli atas nama Warga Negara Indonesia, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan.Perjanjian dengan menggunakan kuasa semacam itu dengan pihak Warga Negara Indonesia sebagai Nominee merupakan penyelundupan hukum. Penyelundupan hukum tersebut masih terjadi, akibatnya keabsahan dari perjanjian nominee tersebut dipertanyakan, serta kedudukan dari tanah akibat perjanjian nominee tersebut menjadi tidak jelas seperti dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 787/Pdt.G/2014/PN.DPS. Rumusan masalah dalam tesis ini adalah apakah perjanjian pinjam nama (nominee) dapat dikategorikan sebagai penyelundupan hukum, dan bagaimana akibat hukum dengan diadakannya perjanjian pinjam nama (nominee) dalam hal pemilikan hak atas tanah di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Spesifikasi penelitiannya secara deskriptif analitis, jenis datanya berupa data primer dan data sekunder, lalu teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi lapangan dan studi kepustakaan. Teknik analisa datanya menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa perjanjian pinjam nama (nominee) yang dilakukan Warga Negara Asing adalah untuk menghindari ketentuan larangan memiliki hak atas tanah (penyelundupan hukum), dan akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut tidak sah karena menyalahi Pasal 26 ayat (2) UUPA tentang syarat sah perjanjian dan Notaris bertanggung gugat terhadap kerugian yang timbul akibat dari dibuatnya perjanjian nominee. Penelitian ini pada akhirnya memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan hukum yang mendetail mengenai perjanjian yang melibatkan Warga Negara Asing, bagi Notaris/PPAT untuk dapat memberikan penyuluhan hukum kepada para penghadap baik kepada WNI maupun WNA yang akan menuangkan kehendak ke dalam suatu akta, serta bagi para pihak sebaiknya lebih bijaksana dalam melakukan perbuatan hukum khususnya dalam jual beli tanah yang melibatkan Warga Negara Asing. Kata kunci : Akibat Hukum, Perjanjian pinjam nama (nominee), Penguasaan dan Pemilikan Hak Atas Tanah
ABSTRACT
LEGAL EFFECT OF NOMINEE AGREEMENT IN THE CONTROL AND OWNERSHIP OF LAND IN INDONESIA BY FOREIGN CITIZENS
Nominee agreement is an attempt to give possibility for foreigner to have the land right that is prohibited by the UUPA by using the guise of transaction on behalf of the Indonesian citizen, thus not violating the formal judicial peraturan.Perjanjian using such authority to the Indonesian citizens as the nominee is smuggling law. The legal smuggling is still going on, consequently the validity of the nominee agreement is questionable, and the position of the ground due to the agreement of the nominee becomes obvious as in the case of Denpasar District Court's Decision No. 787/Pdt.G/2014/PN.DPS. The problem of this thesis is whether the agreement to borrow the name (nominee) can be categorized as smuggling law, and what legal effect the holding of agreement to borrow the name (nominee) in terms of ownership of land rights in Indonesia. .The method used is empirical juridical. Research specifications by analytical descriptive study and types of data in the form of primary data and secondary data, and data collection techniques gained through field studies and literature. Techniques used in data analysis with a qualitative analysis. The results of this study prove that the loan agreement legal name (nominee) conducted foreign citizens is to avoid the prohibition has the right to land (smuggling law), and the legal consequences of the agreement is invalid because it violates the terms of Article 26 of UUPA paragraph (2) on unlawful agreements and Notary accountable for losses arising as a result of the agreement made nominee. This research in turn advises the government to formulate a legal policy detail on agreements involving foreign citizens, the Notary / PPAT to be able to provide legal counseling to the client either the domestic citizen or foreigner will pour will into a deed, as well as for the parties should be more prudent in legal actions, especially in land sales involving foreign citizens. Keywords: Legal effects, Nominee agreement name, Tenure and Property rights to land
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian lain terkait dengan penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing menunjukkan bahwa secara tidak langsung melalui perjanjian notariil, telah terjadi penyelundupan hukum. Bahwa perjanjian nominee sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia khususnya dalam hukum perjanjian Indonesia, dan tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas, sehingga
dapat
kosong/norma
dikatakan
kosong,
mengandung
karena
perjanjian
pengertian
yang
nominee
dapat
dikategorikan sebagai penyelundupan hukum. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian untuk penulisan tesis dengan judul “AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE) DALAM HAL PENGUASAAN DAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING”
2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka perumusan masalah yang dapat peneliti uraikan adalah: a. Apakah
perjanjian
pinjam
nama
(nominee)
dapat
dikategorikan sebagai penyelundupan hukum? b. Bagaimana akibat hukum dengan diadakannya perjanjian pinjam nama (nominee) dalam hal pemilikan hak atas tanah di Indonesia?
3. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris, dengan spesifikasi penelitiannya secara deskriptif analitistis didukung dengan pemahaman secara preskriptif. Sumber dan
jenis datanya berupa data primer dan data sekunder, lalu teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi lapangan dan studi kepustakaan. Teknik analisa datanya menggunakan analisis kualitatif dengan pemikiran secara dedukatif-indukatif.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pertimbangan Hukum yang Mengkategorikan Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) sebagai Penyelundupan Hukum Masalah penyelundupan hukum dalam bidang agraria ini sering terjadi di Indonesia, karena adanya penduduk Indonesia yang masih berstatus orang asing yang secara tidak langsung memperoleh hak milik atas tanah Indonesia, yaitu dengan cara menggunakan kedok
yang disebut
strooman,
dengan cara
menggunakan hak milik atas tanah. Misalnya, orang asing hendak membeli sebidang tanah hak milik, ia tidak membelinya secara langsung
tetapi
memakai
nama
dari
“piaraannya”
yang
berkewarganegaraan Indonesia. Biasanya perbuatan tersebut diikat dengan suatu perjanjian utang piutang yang jumlahnya meliputi harga tanah yang dijadikan jaminan utang strooman tersebut. Apabila hal ini diketahui oleh instansi-instansi yang diberi wewenang
untuk
mengatur
dan
mengurus
agraria,
maka
diputuskan untuk dinyatakan bahwa jual beli itu batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Jadi hal tersebut dilarang oleh Pasal 26 ayat (2) UUPA. “Dalam praktek, minat pihak asing untuk memiliki tanah (tanpa atau beserta bangunan) yang berstatus Hak Milik atau Hak Guna Bangunan ditempuh melalui cara-cara yang sejatinya merupakan
1
penyelundupan
hukum.”1
Penyelundupan
hukum
Maria S.W. Sumardjono, WNA dan Pemilikan Hak Milik Terselubung, (Jakarta: Kompas, 1994), hlm. 58
tersebut merupakan penyelundupan hukum yang melanggar Undang-Undang. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini, mengenai penyelundupan hukum adalah sebagai berikut: Karpika Wati (Penggugat) sebagai Warga Negara Indonesia menggugat Alain Maurice Pons (Tergugat I) sebagai Warga Negara Asing, dan Notaris bernama Eddy Nyoman Winarta, SH (Tergugat II) yang berkantor di Kabupaten Badung. Penggugat pada tanggal 12 Juni 2007 telah membeli sebidang tanah sesuai dengan Setipikat Hak Milik Nomor: 1022/Desa Pererenan, dengan Nomor Identifikasi Bidang Tanah: 22.03.05.18.0113, dengan Surat Ukur Nomor: 1216/Pererenan/2008, tertanggal 12 Maret 2008, seluas 975 m2 (sembilan ratus tujuh puluh lima meter persegi) yang terletak di Jalan Jantuk Angsa (dahulu bernama Gang Sabana), Desa Pererenan, Kecamatan Mangwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali tercatat atas nama KW (Penggugat) berdasarkan Akta Jual Beli Nomor: 169 tertanggal 12
Juni 2007 yang telah dibuat dan
ditandatangani di Kantor Notaris dan PPAT Kabupaten Badung, ENW (Tergugat II) yang beralamat di Komplek Pertokoan Segitiga Emas Kav. 31-32, Jalan By Pass Ngurah Rai Nomor 5, Kuta, Kabupaten Badung, Propinsi Bali, yang kemudian pada awal tahun 2008 tanah tersebut telah dibangun sebuah villa dengan nama EMMANUELLE yang ditempati oleh penggugat sendiri hingga saat ini. Penggugat dan Tergugat I telah saling mengenal dengan baik sejak tahun 2006. Dengan bujuk rayu dan iming-iming janji bahwa tanah yang dibeli Penggugat tersebut akan segera dibangun Villa dan akan disewakan kepada pihak lain yang kemudian hasil yang didapat dari pengelolaan Villa tersebut akan dibagi bersama, Tergugat I kemudian meminta Penggugat untuk membuatkan Akta-
Akta atas tanah tersebut dihadapan Tergugat II, adapun Akta-Akta Notaris tersebut adalah sebagai berikut: a. Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa Tanah antara Penggugat selaku Pihak Pertama yang Menyewakan dan Tergugat I selaku Pihak Kedua sebagai Pihak Penyewa; b. Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang dengan Memakai Jaminan antara Tergugat I selaku Pihak Pertama yang menghutangkan dan Penggugat selaku Pihak Kedua sebagai Pihak yang Berhutang; c. Akta Notaris Nomor 91 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pernyataan
dan
Kuasa
antara
Penggugat
selaku
yang
menyatakan dan Pemberi Kuasa dan Tergugat I selaku yang menerima Pernyataan dan Penerima Kuasa; d. Akta Notaris Nomor 108 tanggal 1 April 2008 tentang Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas nama Alain Maurice Pons, selaku Tergugat I, yang beralamat di 10, rue Jean Vidaihet 31800 St. Gaudens, France. Obyek tanah tersebut di atas yang dibuatkan dan dibebani dengan Akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris sangat jelas memposisikan Penggugat selaku nominee. Menurut Maria SW. Sumardjono2,
Perjanjian Pokok yang
diikuti dengan perjanjian lain terkait penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing menunjukkan bahwa secara tidak langsung melalui perjanjian notariil, telah terjadi penyelundupan hukum. Karena Perjanjian Pinjam Nama (nominee) sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia khususnya dalam hukum perjanjian Indonesia, dan tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas, sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian yang kosong/norma kosong. 2
Maria S.W. Sumardjono, Op. Cit, hlm.16
Menurut Ali Nuryahya3, dijelaskan bahwa perjanjian pinjam nama (nominee) sepanjang dilakukan dengan kesepakatan oleh kedua belah pihak tidak akan menimbulkan permasalahan yang berarti, yaitu pihak warga negara Indonesia yang dipinjam namanya tersebut adalah sebagai penjamin terhadap warga negara asing, akan tetapi jika hal yang bersifat formalitas tidak dipenuhi maka disitulah telah terjadi adanya penyelundupan hukum, yang dalam hal ini melanggar salah satu kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dalam membuat perjanjian nominee. Menurut (nominee)
pendapat
yang
penulis,
terdapat
No.787/Pdt.G/2014/PN.DPS
adalah
perjanjian dalam
pinjam
kasus
termasuk
dalam
nama Putusan kategori
Penyelundupan Hukum. Karena Perjanjian nominee secara yuridis formal tidak menyalahi aturan, namun terdapat aturan yang jelas di dalam pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa : “Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan
asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”
3
Wawancara dengan Ali Nuryahya, Panitera Muda Hukum di Pengadilan Negeri Kota Semarang, pada tanggal 28 Januari 2016, pukul 10.30 WIB
B. Akibat Hukum yang Timbul dengan Adanya Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) dalam Hal Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia Secara umum badan hukum, baik badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing dan juga warga negara asing hanya diperbolehkan menguasai dan menggunakan tanah, jika hak itu secara tegas dimungkinkan oleh peraturan yang bersangkutan. Pasal-pasal dalam UUPA yang memungkinkan untuk itu adalah Pasal 30 UUPA untuk badan-badan hukum, yaitu: “hanya badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, yang boleh menjadi pemegang Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan”. Sedangkan untuk warga negara asing dan badan-badan hukum asing diberikan hak sesuai yang ditetapkan dalam Pasal 41, 42, 45, dan Pasal 55 UUPA. UUPA Pasal 42 mengatur bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah: 1. Warga Negara Indonesia 2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia 3. Badan
hukum
yang
didirikan
menurut
hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia 4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Menurut Pasal 26 ayat (2) UUPA, Hak Milik kepada orang asing dilarang dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi batal demi hukum. Namun demikian, UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan WNA dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di wilayah Indonesia. Elly Ninaningsih mengatakan bahwa4, pada permasalahan ini terbitnya Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa Tanah antara Penggugat dengan Tergugat I atas 4
Wawancara dengan Elly Ninaningsih, Notaris dan PPAT di Kota Semarang, pada tanggal 29 Januari 2016, pukul 10.00 WIB
sebidang tanah sesuai dengan Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan, NIB: 22.03.05.18.01103, Surat Ukur Nomor: 1216/Pererenan/2008, tanggal 12 Maret 2008, seluas 975 M2, yang terletak di Jalan Jantuk Angsa (dahulu bernama Gang Sabana), Desa Pererenan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali, tercatat atas nama penggugat, secara substansinya jelas tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum, kelaziman, kepantasan serta kepatutan dalam perjanjian sewa menyewa yang selama ini berlaku di Republik Indonesia. Hal tersebut tampak pada masa sewa atau jangka waktu sewa menyewa dan uang sewa yang diberikan Penggugat kepada Tergugat I sebagaimana termuat dalam pasal 1 (satu) Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008, yakni 25 (dua puluh
lima)
tahun
dan
secara
otomatis
diperpanjang
dan
diperbaharui kembali untuk jangka waktu 3 x 25 (dua puluh lima) tahun dari sejak tanggal 6 Agustus 2007 dan berakhir selambatnya tanggal 06 Agustus 2107, atau dengan kata lain sewa menyewa antara Penggugat dengan Tergugat I dilakukan dalam jangka waktu selama 100 (seratus) tahun dengan uang sewa untuk seluruh masa sewa selama 100 (seratus) tahun hanya sebesar Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah) tanpa adanya renegoisasi jangka waktu dan uang sewa. Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa yang memberikan jangka waktu sewa secara otomatis dapat diperpanjang dan diperbaharui jelas telah memberikan peluang atau jalan kepada Tergugat I sebagai warga negara asing untuk dapat menguasai tanah di Republik Indonesia dengan jangka waktu selama 100 (seratus) tahun dengan hanya membayar uang sewa sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pemberian masa jangka waktu sewa yang dikomulatifkan selama 100 (seratus) tahun dalam satu Akta perjanjan sewa adalah tidak sesuai dengan
kelaziman/kaidah-kaidah perjanjian sewa menyewa yang selama ini menjadi praktek di Indonesia. Menurut Elly Ninaningsih5, secara materiil Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa yang diterbitkan oleh Tergugat II adalah tidak adil, tidak seimbang dan memberatkan salah satu pihak, Penggugat hanya menerima uang sewa Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk masa sewa tanah selama jangka waktu 100 (seratus) tahun. Ketidakadilan yang sengaja dibuat oleh Tergugat I dan Tergugat II memposisikan bahwa keberadaan Penggugat dalam perjanjian hanya dianggap pelengkap
atau
pajangan
dan
hanya
memanfaatkan
kewarganegaraan Penggugat saja. Hal tersebut membuktikan penerbitan Akta sewa menyewa tersebut jelas di dasari bukan sebab yang halal yakni bertujuan memberikan hak kepada Tergugat I untuk menguasai tanah dengan jangka waktu yang tidak terbatas dengan kata lain penguasaan tanah dalam waktu yang tidak terbatas, secara tidak langsung Tergugat I menguasai tanah tersebut secara pribadi. Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa yang diterbitkan oleh Tergugat II adalah cacat hukum karena tidak memenuhi unsur syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHperdata, dan dinyatakan batal demi hukum. Selain sewa menyewa, tanah yang dibeli oleh Penggugat berupa sebidang tanah sesuai dengan Sertifikat Hak Milik Nomor : 1022/Desa Pererenan, NIB: 22.03.05.18.01103, Surat Ukur Nomor: 1216/Pererenan/2008, tanggal 12 Maret 2008, seluas 975 M2 (sembilan ratus tujuh puluh lima meter persegi), yang terletak di Jalan Jantuk Angsa (dahulu bernama Gang Sabana), Desa Pererenan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali, tercatat atas nama Penggugat, Tergugat II juga menerbitkan Akta 5
Ibid
Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang Dengan Memakai Jaminan antara Penggugat I selaku pihak yang menghutangkan dan Pengguat selaku pihak yang berhutang. Secara yuridis formal telah ada Akta Notaris Nomor 89 tanggal 24 Maret 2008 tentang Sewa Menyewa Tanah antara Penggugat dengan Tergugat I, kemudian tanah yang telah diperjanjikan sebagai sewa menyewa kembali lagi menjadi jaminan hutang Penggugat kepada Tergugat I, hal ini telah menyebabkan kekacauan hukum dan ketidakpastian hukum terhadap status tanah tersebut diatas karena terdapat 2 (dua) Akta Notaris / perjanjian Notariil yang membebani satu objek tanah dengan para pihak yang sama. Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan
Hutang
dengan
Memakai
Jaminan
menyatakan
Penggugat
telah berhutang kepada Tergugat I sebesar Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan atas hutang tersebut Penggugat tidak dikenakan bunga dan selanjutnya untuk jangka waktu
lamanya
pengembalian
hutang
tidak
ditentukan.
Sebagaimana termuat dalam pasal 3 Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang dengan memakai Jaminan, dinyatakan hutang Penggugat kepada Tergugat I hanya dapat dikembalikan apabila telah ditagih oleh Tergugat I dan hutang hanya bisa dibayar melalui hasil penjualan tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Menurut penulis, dalam permasalahan ini, perjanjian hutang piutang tersebut tidak masuk akal dan tidak dapat diterima akal sehat karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah perjanjian hutang piutang yang pada lazimnya mensyaratkan adanya bunga dan waktu jatuh tempo pengembalian hutang secara jelas dan terperinci. Sehingga jelas secara hukum Tergugat I bersama Tergugat II dengan sengaja membuat perjanjian notariil hanya akal-akalan saja
untuk memuluskan niat Tergugat I untuk menguasai sebidang tanah yang telah atas nama Penggugat. Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang dengan memakai jaminan yang ditandatangani dan dibuat dihadapan Tergugat II adalah tidak adil, tidak seimbang dan memberatkan salah satu pihak, salah satunya tersirat dalam ketentuan pasal 3 Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang dengan Memakai Jaminan yang pada pokoknya menyebutkan, pengembalian hutang baru dapat dilakukan oleh Penggugat apabila telah ditagih oleh Tergugat I dan jumlah hutang hanya dapat dibayar melalui penjualan tanah yang dijadikan jaminan hutang. Menurut penulis, hal ini sangat janggal dan tidak masuk akal serta memberatkan Penggugat selaku pihak yang berhutang, sehingga jelas Akta Notaris Nomor 90 tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengakuan Hutang dengan memakai jaminan tidak memenuhi unsur keseimbangan dan keadilan sebagai syarat formil sahnya perjanjian dan membuktikan terbitnya Akta Notaris tersebut hanyalah akal-akalan Tergugat I selaku Warga negara asing. Elly Ninaningsih berpendapat bahwa6, Tergugat II telah dengan sengaja memposisikan Penggugat dalam keadaan apapun harus menerima permintaan Tergugat I untuk dapat mengikat Penggugat ke dalam Akta Notaris / Perjanjian Notariil agar dapat dibebani hutang oleh Tergugat I dengan jaminan tanah yang telah atas nama Penggugat dan selanjutnya Tergugat II menerbitkan Akta Notaris Nomor 108 tanggal 01 April 2008 tentang Akta Pemberian Hak tanggungan (APHT) atas nama Tergugat I untuk mengikat Penggugat dan objek jaminan hutang untuk secara tidak langsung dapat dikuasai oleh Tergugat I.
6
Ibid
Menurut
Ninaningsih7,
Elly
perbuatan
Tergugat
II
sebagaimana tersebut diatas jelas bertentangan dengan Undangundang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris “Pasal 16 ayat (1) huruf (a) yang menyatakan: “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak “. Pendaftaran Hak Tanggungan atas jaminan hutang pada Kantor Pertanahan Kabupaten Badung atas nama Tergugat I yang hanya menggunakan Paspor dan Visa Turis/ Kunjungan jelas adalah bentuk penyelundupan hukum terhadap keimigrasian warga negara asing, karena bagaimana mungkin warga negara asing yang hanya
berkunjung
ke
Indonesia
sebagai
turis
memberikan
pinjaman/hutang kepada warga negara Indonesia yang kemudian tampil sebagai pemegang hak tanggungan atas jaminan hutang berupa sebidang tanah sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan atas nama Penggugat. Sehingga dengan demikian Akta Notaris Nomor 108 tanggal 01 April 2008 tentang Akta Pemberian Hak tanggungan (APHT) atas nama Tergugat I adalah cacat hukum sehingga haruslah dinyatakan batal demi hukum, maka hak tanggungan yang telah diletakkan dalam sertifikat Hak Milik Nomor: 1022 / Desa Pererenan atas nama Penggugat sehingga terbitnya Sertifkat Hak Tanggungan Pertama Nomor : 209/ 2008 atas nama Tergugat I juga cacat hukum. Dengan
demikian,
menurut
Sepyo
Achtanto8,
sudah
sepatutnya Sertifkat Hak Tanggungan Pertama Nomor : 209 / 2008
7
Ibid Wawancara dengan Sepyo Achtanto, Kepala Seksi Bagian Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kota Semarang, pada tanggal 28 Januari 2016, pukul 12.57 WIB 8
atas nama Tergugat I dinyatakan batal demi hukum. Terbitnya aktaakta Notaris yang telah diuraikan diatas membuktikan bahwa Tergugat II selaku Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang semestinya menjaga tegaknya hukum pertanahan, ikut menjaga aset-aset tanah di wilayah hukumnya agar tidak dikuasai baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh warga negara asing justru dengan sengaja memberikan jalan menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku agar keinginan Tergugat I selaku warga negara asing bisa terlaksana untuk memiliki hak atas tanah secara langsung dengan menggunakan Akta Notaris / Perjanjian Notariil yang telah diketahuinya bahwa hal tersebut adalah bentuk penyimpangan ketentuan
atau
peraturan
penyelundupan
hukum
perundang-undangan
dan baik
melanggar keperdataan
ataupun pertanahan. Dengan kata lain Tergugat II selaku pejabat Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) membiarkan terjadinya
penjajahan
terhadap
aset-aset
tanah
di
wilayah
hukumnya untuk dikuasai oleh warga negara asing, sehingga dengan demikian patutlah Tergugat II dinyatakan telah melakukan perbuatan hukum. Menurut penulis, dalam permasalahan ini telah dijelaskan bahwasanya terdapat suatu kesepakatan yang dibuat dengan akta notaris dimana Tergugat I berkedudukan sebagai warga negara asing meminjam nama Penggugat yang berkedudukan sebagai warga negara Indonesia mengenai peralihan hak milik atas tanah yang disebut dalam perjanjian pinjam (nominee). Bahwa dalam hal pembelian obyek sengketa dengan cara nominee tersebut, menurut Pengadilan Negeri Denpasar perjanjian/persetujuan yang dibuat oleh
Tergugat
KUHPerdata.
tersebut Berkaitan
bertentangan
dengan
dengan
syarat-syarat
pasal
1320
sahnya
suatu
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Menurut
Mariam
Badrulzaman9,
dua
syarat
pertama
dinamakan syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Terkait dengan perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I di atas, maka keabsahannya dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Penggugat dan Tergugat I sepakat mengadakan perjanjian mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Penggugat dan Tergugat I adalah orang yang membuat perjanjian dan cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Penggugat telah berusia 39 tahun Tergugat I telah berusia 57 tahun dan sehat pikirannya, sehingga dapat mendatangi Notaris untuk membuat perjanjian. Dari sudut rasa keadilan, kedua orang yang membuat perjanjian tersebut dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari 9
Mariam, Badrulzaman, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standar), (Bandung: Alumni,1994), hlm. 43
sudut
ketertiban
hukum,
karena
seorang
yang
membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh bebas berbuat dengan harta kekayaannya. Menurut ketentuan Pasal 108 KUH Perdata,
seorang
perempuan
yang
bersuami,
memerlukan bantuan dan izin (kuasa tertulis dari suaminya) memerlukan
untuk
mengadakan
bantuan
atau
izin
suatu
perjanjian,
dari
suaminya.
Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa yang harus diwakili oleh orang/wali, adalah dengan
diwakili,
seorang
anak
tidak
membuat
perjanjian itu sendiri tetapi yang tampil ke depan adalah wakilnya. Tetapi seorang istri harus dibantu, berarti ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis. Penggugar
tidak
memerlukan
ijin
tertulis
dari
suaminya karena statusnya telah bercerai sehingga dianggap dapat mewakili dirinya sendiri. 3. Suatu hal tertentu Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Penggugat dan Tergugat I memperjanjikan barang atau benda berupa sebidang tanah beserta semua yang ada di atasnya, terutama bangunan villa.
4. Suatu sebab yang halal Syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah adanya suatu sebab yang halal. Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri, tidak boleh mengenai sesuatu yang terlarang. Terkait dengan hal ini maka, perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I tidak memenuhi unsur suatu sebab yang halal karena menyangkut pemindahan hak atas tanah dari WNI kepada WNA secara tidak langsung yang dilarang dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA. Karena syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Sebagaimana dikatakan Maria S.W Sumardjono bahwa10, “Substansi perjanjian tersebut melanggar syarat objektif dan oleh karena itu adalah batal demi hukum.11
C. PENUTUP Dari
hasil
penelitian
dan
pembahasan
sebagaimana
diuraikan dalam bab-bab terdahulu untuk menjawab permasalahan dalam penulisan ini tentang Akibat Hukum Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) dalam Hal Penguasaan dan Pemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia oleh Warga Negara Asing dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
10
Maria SW. Sumardjono, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, (Jakarta: Kompas,2007), hlm.85 11 Maria SW. Sumardjono, WNA dan Pemilikan Hak Milik Terselubung, (Jakarta: Kompas, 1994), hlm. 18
A. Simpulan 1. Perjanjian pinjam nama (nominee) dikategorikan sebagai penyelundupan hukum, karena perjanjian pinjam nama (nominee) bertujuan untuk menghindari ketentuan larangan Warga Negara Asing memiliki hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA. Cara menghindarinya
adalah
dengan
melakukan
nominee
sehingga Warga Negara Asing tersebut bisa memiliki tanah di Indonesia meskipun secara tidak langsung. 2. Akibat hukum yang timbul dengan adanya perjanjian pinjam nama (nominee) dalam hal kepemilikan hak atas tanah di Indonesia yaitu antara lain: a. Akibat hukum terhadap perjanjian Perjanjian pinjam nama (nominee) melanggar salah satu syarat sah perjanjian yaitu sebab yang halal (Melanggar Pasal 26 ayat (2) UUPA) sehingga akibat hukum perjanjian batal demi hukum. b. Akibat hukum terhadap Notaris yang membuat akta perjanjian pinjam nama (nominee) Notaris bertanggung gugat terhadap kerugian yang timbul akibat dari dibuatnya perjanjian nominee.
B. Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Bagi pembuat Undang-undang (The Making Institutions), sebaiknya
merumuskan
suatu
kebijakan
hukum
yang
mendetail mengenai perjanjian yang melibatkan Warga Negara Asing. 2. Bagi Notaris/PPAT selaku pelaksana Undang-undang (Rule Sanctioning), agar memegang teguh dan melaksanakan sumpah/janji jabatan yang diucapkan sebelum memulai
tugas dan jabatannya sebagai bentuk tanggung jawab kepada
Negara
mengedepankan
Republik unsur
Indonesia
kehati-hatian
sehingga dan
lebih
menerapkan
hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Notaris seharusnya memberikan informasi melalui penyuluhan hukum kepada para penghadap baik kepada WNI maupun WNA yang akan menuangkan kehendak ke dalam suatu akta sehingga tercipta perlindungan hukum serta kepastian hukum melalui produk hukum akta notaris. 3. Bagi masyarakat secara umum (Role Occupant), sebaiknya lebih
bijaksana
dalam
melakukan
perbuatan
hukum
khususnya dalam jual beli tanah yang melibatkan Warga Negara Asing.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku/Literatur
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Pers A. P. Parlindungan, 1994, Serba-Serbi Hukum Agraria, Bandung, Alumni Badrulzaman, Mariam, 1994, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standar), Bandung, Alumni Burhan, Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Asdi Mahasatya Sumarjono ,Maria SW, 1994, WNA dan Pemilikan Hak Milik Terselubung, Jakarta: Kompas _____________________, 2007 Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Jakarta: Kompas Sutopo, H.B., 2008, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, Surakarta: UNS Press Raharjo, Handri, 2009, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Jakarta: Pustaka Yustisia Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika
B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD 45) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
C. Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 787/Pdt.G/2014/PN.DPS.
C. Media Elektronik Didik Suhariyanto, Politik Hukum Terhadap Penggunaan Hak Pakai Atas Tanah Dan Bangunan Bagi Orang Asing Di Indonesia, http://Untag Banyuwangi.ac.id/attachments/article/284/Politikhukumterhadappenggun aanhakpakaiatastanah.Pdf Widyarini Indriasti, Prospektif Kebijakan Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi Warganegara Asing Di Indonesia. ”Hukum Dan Dinamika Masyarakat Vol.12”, http://Fakhukum.Untagsmg.Ac.Id/Images/Jurnal/
F. Wawancara-Wawancara Wawancara dengan Ali Nuryahya, Panitera Muda Hukum di Pengadilan Negeri Kota Semarang, pada tanggal 28 Januari 2016, pukul 10.30 WIB Wawancara dengan Elly Ninaningsih, Notaris dan PPAT di Kota Semarang, pada tanggal 29 Januari 2016, pukul 10.00 WIB Wawancara dengan Sepyo Achtanto, Kepala Seksi Bagian Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kota Semarang, pada tanggal 28 Januari 2016, pukul 12.57 W