MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING (WNA) DENGAN AKTA NOMINEE Mohammad Anis Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Darul ‘Ulum Lamongan Jl. Airlangga 3 Sukodadi Lamongan ABSTRAK Hubungan hukum antara Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing, serta perbuatan hukum mengenai tanah di Indonesia diatur dalam UndangUndang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 9 UUPA menyatakan hanya warga negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang udara Indonesia. Perjanjian nominee merupakan upaya untuk memberikan kemungkinan bagi Warga Negara Asing memiliki hak milik atas tanah yang dilarang oleh UUPA dengan jalan menggunakan kedok melakukan jual beli atas nama Warga Negara Indonesia, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Perjanjian dengan menggunakan kuasa semacam itu dengan pihak Warga Negara Indonesia sebagai Nominee merupakan penyelundupan hukum. Kata Kunci : Akibat Hukum, Perjanjian pinjam nama (nominee), Penguasaan dan Pemilikan Hak Atas Tanah. 1.
PENDAHULUAN Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) dan Badan
Hukum Asing (BHA) yang mempunyai perwakilan di Indonesia secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing (WNA) yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan demikian tidak dibenarkan Warga Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum Asing (BHA) memiliki tanah dan bangunan dengan status Hak Milik (HM). Hubungan hukum antara Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA), serta perbuatan hukum mengenai tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
1
MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 9 UUPA menyatakan hanya warga negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang udara Indonesia. Dalam penjelasannya dikatakan hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat 2 UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi “Batal Demi Hukum.” Namun demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara asing dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status hak pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas. Dalam praktik, tidak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya berstatus Hak Milik dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut. Tindakan demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini UUPA, dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Coba periksa Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Akan tetapi, pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun
2
MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
1996 yang mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA. Peraturan Pemerintah ini berisi antara lain: WNA yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan untuk memiliki 1 rumah tinggal (Satuan Rumah Susun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai. Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Pakai (HP) tersebut dapat berasal dari HP atas Tanah Negara atau HP yang berasal dari tanah Hak Milik (HM) yang diberikan oleh Pemegang Hak Milik. Pemberian Hak Pakai (HP) oleh pemegang Hak Milik (HM) ini diberikan dengan akta PPAT & perjanjiannya harus dicatat dalam Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik atas tanah. Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah dan PP nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Dalam PP Nomor 41 tahun 1996 terdapat syarat, orang asing yang dapat mempunyai rumah tinggal di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Orang asing tersebut dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri, atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai tersebut diberikan paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat diperpanjang untuk waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Hak Pakai rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbarui untuk jangka waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.Jangka waktu ’hanya’ 25 (dua puluh lima) tahun tersebut dinilai banyak kalangan sudah tidak kondusif dengan perkembangan dunia global sekarang ini, tidak menarik minat orang asing untuk membeli rumah di Indonesia.
3
MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
1.1. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pendahuluan diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: a. Apakah perjanjian pinjam nama (nominee) dapat dikategorikan penyelundupan hukum? b. Bagaimana akibat hukum perjanjian pemilikan hak atas tanah untuk WNA dengan akta nominee? 1.2. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui aturan pemilikan hak atas tanah untuk WNA b. Mengetahui akibat hukum perjanjian pemilikan hak atas tanah dengan akta nominee. 1.3. MANFAAT PENELITIAN a. Manfaat teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada bidang hukum. 2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan bagi penelitianpenelitian sejenis. 3. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya. b. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap masyarakat tentang akibat hukum perjanjian pemilihkan hak atas tanah untuk WNA dengan akta nominee. II. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitiannya secara deskriptif analitistis didukung dengan pemahaman secara preskriptif. Sumber dan jenis datanya berupa data primer dan data sekunder, lalu teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi lapangan dan studi kepustakaan. Teknik analisa datanya menggunakan analisis kualitatif dengan
4
MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
pemikiran secara dedukatif-indukatif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Pertimbangan Hukum yang Mengkategorikan Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) sebagai Penyelundupan Hukum Masalah penyelundupan hukum dalam bidang agraria ini sering terjadi di
Indonesia, karena adanya penduduk Indonesia yang masih berstatus orang asing yang secara tidak langsung memperoleh hak milik atas tanah Indonesia, yaitu dengan cara menggunakan kedok yang disebut strooman, dengan cara menggunakan hak milik atas tanah. Misalnya, orang asing hendak membeli sebidang tanah hak milik, ia tidak membelinya secara langsung tetapi memakai nama dari “piaraannya” yang berkewarganegaraan Indonesia. Biasanya perbuatan tersebut diikat dengan suatu perjanjian utang piutang yang jumlahnya meliputi harga tanah yang dijadikan jaminan utang strooman tersebut. Apabila hal ini diketahui oleh instansi-instansi yang diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus agraria, maka diputuskan untuk dinyatakan bahwa jual beli itu batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Jadi hal tersebut dilarang oleh Pasal 26 ayat (2) UUPA. “Dalam praktek, minat pihak asing untuk memiliki tanah (tanpa atau beserta bangunan) yang berstatus Hak Milik atau Hak Guna Bangunan ditempuh melalui caracara yang sejatinya merupakan penyelundupan hukum.”1 Penyelundupan hukum
menurut Maria SW. Sumardjono2, Perjanjian Pokok yang diikuti dengan perjanjian lain terkait penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing menunjukkan bahwa secara tidak langsung melalui perjanjian notariil, telah terjadi penyelundupan hukum. Karena Perjanjian Pinjam Nama (nominee) sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia khususnya dalam hukum perjanjian Indonesia, dan tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas, sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian yang kosong/norma kosong.
1
Maria S.W. Sumardjono, WNA dan Pemilikan Hak Milik Terselubung, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 58 2 Ibid.
5
MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
Menurut Halimatus Sophiah3, dijelaskan bahwa perjanjian pinjam nama (nominee) sepanjang dilakukan dengan kesepakatan oleh kedua belah pihak tidak akan menimbulkan permasalahan yang berarti, yaitu pihak warga negara Indonesia yang dipinjam namanya tersebut adalah sebagai penjamin terhadap warga negara asing, akan tetapi jika hal yang bersifat formalitas tidak dipenuhi maka disitulah telah terjadi adanya penyelundupan hukum, yang dalam hal ini melanggar salah satu kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dalam membuat perjanjian nominee. Perjanjian nominee secara yuridis formal tidak menyalahi aturan, namun terdapat aturan yang jelas di dalam pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa : “Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.” 2.
Akibat Hukum yang Timbul dengan Adanya Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) dalam Hal Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia Secara umum badan hukum, baik badan hukum Indonesia maupun badan
hukum asing dan juga warga negara asing hanya diperbolehkan menguasai dan menggunakan tanah, jika hak itu secara tegas dimungkinkan oleh peraturan yang bersangkutan. Pasal-pasal dalam UUPA yang memungkinkan untuk itu adalah Pasal 30 UUPA untuk badan-badan hukum, yaitu: “hanya badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, yang boleh menjadi pemegang Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan”. Sedangkan untuk 3
Wawancara dengan Halimatus Sophiah, S.H. Notaris di Kabupaten Tuban, Pada Tanggal 15 Desember 2013
6
MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
warga negara asing dan badan-badan hukum asing diberikan hak sesuai yang ditetapkan dalam Pasal 41, 42, 45, dan Pasal 55 UUPA. UUPA Pasal 42 mengatur bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah: A. Warga Negara Indonesia; B. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; C. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; D. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Menurut Pasal 26 ayat (2) UUPA, Hak Milik kepada orang asing dilarang dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi batal demi hukum. Namun demikian, UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan WNA dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di wilayah Indonesia. Dalam penjelasannya dikatakan hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat 2 UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi “Batal Demi Hukum.” Namun demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara asing dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status hak pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas. Dalam praktik, tidak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya berstatus Hak Milik dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian4 atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama Warga
4
R, Subekti, Aneka Perjanjian. Citra Aditya Bakti. Bandung, 1995. Hal. 2
7
MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut. Tindakan demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini UUPA, dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Coba periksa Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Akan tetapi, pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996 yang mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA. Peraturan Pemerintah ini berisi antara lain: WNA yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan untuk memiliki 1 rumah tinggal (Satuan Rumah Susun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai. Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Pakai (HP) tersebut dapat berasal dari HP atas Tanah Negara atau HP yang berasal dari tanah Hak Milik (HM) yang diberikan oleh Pemegang Hak Milik. Pemberian Hak Pakai (HP) oleh pemegang Hak Milik (HM) ini diberikan dengan akta PPAT & perjanjiannya harus dicatat dalam Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik atas tanah. Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996entang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah dan PP nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Dalam PP Nomor 41 tahun 1996 terdapat syarat, orang asing yang dapat mempunyai rumah tinggal di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Orang asing tersebut dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri, atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai tersebut diberikan paling lama untuk jangka waktu 25 tahun.
8
MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat diperpanjang untuk waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Hak Pakai rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbarui untuk jangka waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia. IV.
SIMPULAN Meskipun pada asasnya hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal
saja yang dapat memiliki tanah, dalam hal-hal tertentu selama dalam waktu yang terbatas UUPA masih memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya kemungkinan itu adalah atas dasar pertimbangan peri kemanusiaan. Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan : “bahwa orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung “. Jangka waktu satu tahun tersebut dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan Indonesia itu. Bagaimanakah ketentuannya jika yang menerima hak milik secara demikian seorang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap atau jika seorang pemilik semula berkewarganegaraan Indonesia tunggal, menurut hemat penulis (Eddy Ruchiyat, S.H.), pasal 21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat 4 UUPA. Cara-cara yang disebutkan dalam ayat 3 diatas adalah cara memperoleh hak tanpa melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya
9
MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
peralihan hak yang bersangkutan. Demikian penjelasan pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut. Cara-cara lain tidak diperbolehkan karena dilarang oleh pasal 26 ayat 2 UUPA yaitu jual beli, tukar menukar, hibah, dan pemberian dengan wasiat. Memperoleh hak milik dengan kedua cara tersebut diatas masih dimungkinkan bagi orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, tetapi dalam waktu satu tahun pemilikan itu harus diakhiri. Bagaimana cara mengakhirinya? Dikatakan dalam ayat tersebut, bahwa di dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus dilepaskan. Kalau hak miliknya itu tidak dilepaskan, hak tersebut menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Maksudnya, setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta kembali tanah yang bersangkutan dengan hak dapat dipunyainya, yaitu bagi orang asing hak pakai dan bagi orang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, HGU, HGB, atau hak pakai. V.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Pers A. P. Parlindungan, 1994, Serba-Serbi Hukum Agraria, Bandung, Alumni Badrulzaman, Mariam, 1994, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standar), Bandung, Alumni Burhan, Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Asdi Mahasatya Sumarjono ,Maria SW, 2010, WNA dan Pemilikan Hak Milik Terselubung, Jakarta: Kompas _____________________, 2007 Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Jakarta: Kompas Sutopo, H.B., 2008, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, Surakarta: UNS Press Raharjo, Handri, 2009, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Jakarta: Pustaka Yustisia R. Subekti. Aneka Perjanjian. PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika 10
MIMBAR YUSTITIA Vol. 2 No.1 April 2014
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
11