BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Teori Akuntansi Positif (Accounting Positive Theory) Teori akuntansi positif merupakan teori yang berusaha menjelaskan dan memprediksi fenomena tertentu di masa mendatang. Ada tiga hipotesis yang dikemukakan oleh Watss dan Zimmerman (1990) yang mewakili tindakan manajer untuk memilih metode akuntansi, yaitu bonus plan hypotesis, debt covenant hypotesis, dan political cost hypotesis. Dari ketiga hipotesis tersebut debt covenant hypotesis dan political cost hypotesis yang berhubungan dengan penelitian ini. 1. Debt Covenant Hypothesis Debt covenant hypothesis atau juga disebut debt/equity hypothesis merupakan hipotesis yang berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi perusahaan di dalam perjanjian hutang (debt covenant). Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan dengan debt covenant ratio yang tinggi, akan cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan. Tingginya debt covenant ratio akan menimbulkan biaya dan dapat menghambat kinerja manajemen, maka dengan menjalankan kebijakan untuk memilih metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan, manajer dapat menghindari atau menunda timbulnya biaya tersebut.
10 Universitas Sumatera Utara
2. Political Cost Hypohtesis Political cost hypothesis menyatakan bahwa perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba dibandingkan perusahaan kecil, karena ukuran perusahaan merupakan sesuatu yang paling diperhatikan dalam hal ini. Hipotesis ini juga memaparkan semakin besar biaya politis yang dihadapi perusahaan maka semakin besar pula keinginan perusahaan untuk menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, sebab perusahaan dengan tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian yang luas dari konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya polits. Berdasarkan teori ini, manajer lebih memilih untuk menggunakan
metode akuntansi
yang dapat meminimalkan
pendapatan. 2.1.2 Hipotesis Ricardian (Ricardian Hypohtesis) Lee dan Heish (1985) mengungkapkan, bahwa faktor yang paling mempengaruhi perusahaan adalah peraturan perpajakan, dimana tujuan yang ingin dicapai oleh manajemen adalah memaksimalkan nilai perusahaan dengan cara meminimalkan biaya pajak namun tetap respek terhadap kendala hukum. Hipotesis ini disebut hipotesis pajak atau ricardian hypothesis. Kaitan hipotesis ini dengan metode penilaian persediaan,
11 Universitas Sumatera Utara
membuat
manajer
perlu
mempertimbangkan
pengaruh
pajak
saat
memutuskan memilih metode penilaian persediaan yang akan digunakan. 2.1.3 Persediaan 2.1.3.1 Pengertian Persediaan Sama halnya dengan persediaan dalam perusahaan dagang, persediaan dalam perusahaan manufaktur juga merupakan aset yang sangat penting, meskipun dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada perusahaan barang konsumsi. Berdasarkan PSAK No.14 (revisi 2008), persediaan adalah aset: a) tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha biasa; b) dalam proses produksi untuk tersebut; atau c) dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa. Persediaan merupakan aset perusahaan yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal, atau barang yang akan digunakan atau dikonsumsi dalam memproduksi barang yang akan dijual (Kieso dkk, 2011 : 408). Persediaan
terdiri
dari
barang-barang
dagangan
yang
dimaksudkan untuk diperjualbelikan, serta bahan baku dan bahan pembantu yang dipakai dalam proses produksi dari barang yang akan dijual. Dalam defenisi yang tradisional, persediaan termasuk current asset karena umumnya dia dapat dikonversikan ke dalam kas dalam suatu daur kegiatan usaha perusahaan (Tuanakotta, 2000 : 2).
12 Universitas Sumatera Utara
2.1.3.2 Sistem Pencatatan Persediaan 1.
Sistem Pencatatan Persediaan Periodik (Periodik Inventory System) Menurut Kieso dkk, (2011:410), “sistem periodik mencatat
semua perolehan persediaan selama periode akuntansi dengan mendebit rekening pembelian. Kemudian perusahaan menambahkan total dalam akun pembelian di akhir dari periode akuntansi untuk biaya barang yang tersedia untuk dijual selama periode tersebut”. Untuk memahami sistem pencatatan persediaan periodik, maka di bawah ini akan diilustrasikan transaksi dari sebuah perusahaan, misalkan PT.Jaya Selalu selama suatu periode tertentu: Tabel 2.1 Ilustrasi Sistem Pencatatan Persediaan PT.Jaya Selalu Transaksi
Unit
Harga per
Total
Unit Persediaan awal Pembelian selama periode tersebut Penjualan selama periode tersebut Persediaan akhir (perhitungan fisik)
100 unit 200 unit
Rp 100 100
Rp 10.000 20.000
250 unit
150
37.500
50 unit
100
5.000
13 Universitas Sumatera Utara
Ayat jurnal untuk mencatat pembelian dan penjualan untuk sistem periodik sebagai berikut: Pembelian selama periode tersebut Pembelian…………………………….
Rp 20.000
Utang Usaha………………………
Rp 20.000
Penjualan selama periode tersebut Piutang usaha……………………… Rp 37.500 Penjualan………………………. Untuk
kasus
dimana
barang
dagangan
Rp 37.500 secara
fisik
dikembalikan kepada pemasok disebabkan rusak atau lain hal dan pemasok memberikan potongan pembelian, dimisalkan PT.Jaya Selalu memberikan potongan pembelian sebesar Rp 2.000 maka jurnal untuk mencatat transaksi tersebut dalam sistem pencatatan persediaan periodik sebagai berikut: Utang Usaha…………………………. Rp 2.000 Retur dan potongan pembelian……. 2.
Rp 2.000
Sistem Pencatatan Persediaan Perpetual (Perpetual Inventory System) Sistem persediaan perpetual merupakan sistem pencatan
alternatif dari sistem pencatatan periodik, dimana harga jual maupun jenis barang yang terjual dicatat dalam setiap transaksi penjualan. Menurut Kieso dkk, (2011:409-410), “sistem persediaan perpetual secara terus menerus menelusuri perubahan dalam akun
14 Universitas Sumatera Utara
persediaan. Yakni, perusahaan mencatat semua pembelian dan penjualan barang secara langsung diakun persediaan pada saat terjadinya”. Meskipun nilai persediaan akhir dapat diketahui tanpa harus melakukan pemeriksaan fisik, namun pemeriksaan fisik tetap dilakukan untuk menyesuaikan antara catatan persediaan dengan pemeriksaan fisik. Untuk memahami sistem pencatatan persediaan perpetual maka akan diilustrasikan jurnal yang mencatat transaksi, dimana contoh transaksi yang digunakan sama dengan contoh sebelumnya. Ayat jurnal untuk mencatat pembelian dan penjualan untuk sistem pencatatan perpetual sebagai berikut: Pembelian selama periode tersebut Persediaan………………………… Rp 20.000 Utang Usaha……………………
Rp 20.000
Penjualan selama periode tersebut Piutang Usaha……………………. Rp 37.500 Penjualan……………………
Rp 37.500
Harga Pokok Penjualan…………..
Rp 25.000
Persediaan……………………. Untuk
kasus
dimana
barang
Rp 25.000 dagangan
secara
fisik
dikembalikan kepada pemasok disebabkan rusak atau lain hal dan pemasok memberikan potongan pembelian, dimisalkan PT.Jaya Selalu memberikan potongan pembelian sebesar Rp 2.000 maka jurnal untuk
15 Universitas Sumatera Utara
mencatat transaksi tersebut dalam sistem pencatatan persediaan perpetual sebagai berikut: Utang Usaha………………………… Persediaan………………….. 2.1.3.3
Rp 2.000 Rp 2.000
Pemilihan Metode Penilaian Persediaan Metode yang umun digunakan adalah metode identifikasi
khusus (spesific identification), biaya rata-rata (average cost), masuk pertama keluar pertama (first-in, first-out), dan masuk tertakhir keluar pertama (last-in, first-out). Keempat metode tersebut akan diilustrasikan dengan contoh dari PT.Jaya Selalu, perusahaan ini tidak memiliki persediaan awal pada tahun 2009. Tabel 2.2 Ilustrasi Transaksi PT.Jaya Selalu Jumlah Unit Pembelian 1 Januari 23 April 15 Juli 6 November Total Pembelian
200 100 500 200 1.000
Biaya per Unit Rp 100 120 110 130
Total Biaya Rp 20.000 12.000 55.000 26.000 Rp 113.000
Penjualan: 500 unit dengan harga Rp10 per unit. Diasumsikan semua penjualan terjadi 31 Desember.
16 Universitas Sumatera Utara
1.
Metode Identifikasi Khusus (Specific Identification) Metode identifikasi khusus merupakan metode dimana unit fisik
aktual yang dijual diidentifikasi secara khusus dan keseluruhan biaya dicatat sebagai harga pokok penjualan (Stice dkk, 2009:639). Metode identifikasi khusus sangat menarik jika dilihat dari sudut pandang teoritis, khususnya ketika setiap unsur persediaan unik dan memiliki biaya yang tinggi. Namun, ketika persediaan terdiri atas berbagai unsur-unsur yang idientik pada saat yang berlainan dengan harga yang berbeda, maka identifikasi khusus akan menjadi lamban, membebani, dan memakan biaya (Stice dkk, 2009:586). untuk melihat penggunaan metode penilaian ini diuraikan sebagai berikut. Tabel 2.3 Ilustrasi Perhitungan Metode Identifikasi PT.Jaya Selalu Metode Identifikasi Khusus Perhitungan Harga Pokok Penjualan Batch yang di beli pada: Jumlah Biaya per unit Unit 1 Januari 200 Rp100 15 Juli 300 110 Total harga pokok 500 penjualan
Total Biaya Rp 20.000 33.000 Rp 53.000
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa PT.Jaya Selalu menjual 500 unit dengan menggunakan persediaan yang memiliki biaya per unit yang rendah yaitu persediaan yang dibeli pada tanggal 1 Januari dan 15
17 Universitas Sumatera Utara
Juli, sehingga PT. Laris Jaya dapat meminimalkan harga pokok penjualan dalam upaya untuk memaksimalkan laba. 2.
Metode Biaya Rata-Rata (Average Cost) Menurut Stice dkk, (2009:587), “metode biaya rata-rata
membebankan biaya rata-rata yang sama ke setiap unit. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa barang yang terjual seharusnya dibebankan dengan biaya rata-rata, yaitu rata-rata tertimbang dari jumlah unit yang dibeli pada tiap harga”. Apabila metode rata-rata digunakan dalam sistem persediaan perpetual, biaya rata-rata per unit untuk masing-masing barang dihitung setiap kali pembelian dilakukan. Biaya per unit kemudian digunakan untuk menentukan harga pokok setiap penjualan sampai pembelian berikutnya dilakukan dan rata-rata baru dihitung. Teknik perhitungan rata-rata ini dinamakan dengan rata-rata bergerak (moving average). Metode biaya rata-rata dalam sistem periodik biasa disebut dengan metoda rata-rata tertimbang atau weighted average method (Warren dkk, 2006 : 462-466). Dengan menggunakan data PT.Jaya Selalu, metode biaya rata-rata dapat dihitung sebagai berikut: Biaya rata-rata tertimbang = total biaya / total unit = Rp 113.000 / 1.000 unit = Rp 113 per unit
18 Universitas Sumatera Utara
Metode biaya rata-rata dapat dianggap sebagai metode yang realistis dan paralel dengan arus fisik barang. Tidak seperti metode persediaan yang lain, pendekatan biaya rata-rata memberikan nilai yang sama untuk unsur serupa dengan penggunaan yang sama. Metode ini tidak memperbolehkan manipulasi keuntungan. Keterbatasan dari metode ini adalah bahwa nilai persediaan dapat tertinggal secara signifikan terhadap harga dalam periode dimana terdapat kenaikan atau penurunan harga yang cepat (Stice dkk, 2009 : 588). 3.
Metode FIFO (First-in, First-out) Metode FIFO mengasumsikan bahwa barang yang lebih dahulu
masuk adalah barang yang pertama terjual. Perusahaan yang menggunakan metode ini adalah perusahaan yang memproduksi atau menjual barang yang sifatnya cepat berubah atau tidak tahan lama, seperti makanan dan obat-obatan. FIFO dapat dianggap sebagai sebuah pendekataan yang logis dan realistis terhadap arus biaya ketika penggunaan metode identifikasi khusus tidak memungkinkan atau tidak praktis. FIFO mengasumsikan bahwa arus biaya yang mendekati paralel dengan arus fisik barang yang terjual. FIFO memberikan kesempatan kecil untuk manipulasi keuntungan karena pembebanan biaya ditentukan oleh urutan terjadinya biaya. Selain itu, dalam FIFO, unit yang tersisa pada persediaan akhir adalah unit yang paling akhir dibeli, sehingga biaya yang dilaporkan
19 Universitas Sumatera Utara
akan mendekati atau sama dengan biaya penggantian di akhir periode (Stice dkk, 2009 : 588). Dengan menggunakan data PT.Jaya Selalu, metode FIFO dapat dihitung sebagai berikut: Tabel 2.4 Ilustrasi Perhitungan Metode FIFO
Batch yang dibeli pada: 1 Januari 23 April 15 Juli Total harga pokok penjualan
PT.Jaya Selalu Metode FIFO Jumlah Unit Biaya per Unit 200 100 200 500
Rp 100 120 110
Total Biaya Rp 2.000 12.000 22.000 Rp 36.000
Namun metode FIFO gagal untuk mencocokkan biaya saat ini terhadap pendapatan saat ini pada laporan laba rugi. Perusahaan membebankan biaya yang lama terhadap pendapatan saat ini, yang kemungkinan menyebabkan distorsi antara laba kotor dan laba bersih (Keiso dkk, 2011: 423). 4.
Metode LIFO (Last-in First-out) Metode LIFO didasarkan pada asumsi bahwa barang yang paling
barulah yang terjual. Metode ini dianggap tidak cocok untuk arus barang yang terjadi dalam perusahaan karena dianggap akan menghasilkan nilai lama dalam neraca dan akan memberikan angka harga pokok penjualan yang aneh saat tingkat penjualan menurun, tetapi metode ini juga memiliki keunggulan karena dianggap paling baik
20 Universitas Sumatera Utara
dalam mencocokkan biaya persediaan saat ini dengan pendapatan saat ini ( Stice dkk, 2009:589). Dengan menggunakan data PT. Jaya Selalu, metode LIFO dapat dihitung sebagai berikut. Tabel 2.5 Ilustrari Perhitungan Metode LIFO
Batch yang dibeli pada: 6 November 15 Juli Total harga pokok penjualan
PT.Jaya Selalu Metode LIFO Jumlah Unit Biaya per Unit 200 300 500
Rp 130 110
Total Biaya Rp 26.000 33.000 Rp 59.000
Dari tabel 2.5 di atas dapat dilihat bahwa PT. Jaya Selalu menggunakan harga pokok penjualan dari harga barang yang terakhir dibeli. Namun, pada penelitian ini hanya menggunakan metode biaya rata-rata dan FIFO, sesuai dengan PSAK No.14 (revisi 2008) dan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008, yang hanya memperbolehkan perusahaan menggunakan metode FIFO dan metode rata-rata. Hal ini sejalan dengan IFRS (International Financial Reporting Standards) yang tidak memperbolehkan metode LIFO untuk tujuan pelaporan
keuangan
disebabkan
pernyataan
IASB (International
Accounting Standard Board) yang menyatakan bahwa metode LIFO tidak memberikan representasi yang handal mengenai aliran persediaan secara faktual.
21 Universitas Sumatera Utara
Selain tiga metode tersebut terdapat juga penilaian persediaan dengan metode lain selain biaya yaitu penilaian pada mana yang lebih rendah antara harga pokok atau harga pasar (lower of cost or market LCM) dan penilaian pada nilai realisasi bersih (net realizable). 5.
Lebih Rendah antara Harga Pokok atau Harga Pasar (Lower of Cost or Market - LCM) Metode mana yang lebih rendah antara harga pokok atau harga
pasar adalah metode yang digunakan apabila biaya penggantian persediaan lebih rendah dibandingkan biaya pembeliannya ( Warren dkk, 2006:468). Dalam menerapkan aturan mana yang lebih rendah antara biaya dan harga pasar, harga persediaan akhir yang ditentukan dengan alokasi biaya yang sesuai akan dibandingkan dengan harga pasar periode akhir (Stice dkk, 2009:603). Untuk melihat perhitungan dengan metode LCM, maka disajikan ilustrasi perhitungan sebagai berikut:
22 Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Ilustrasi Perhitungan Metode LCM Komod -itas
Jumlah Persediaan
Biaya per Unit
Harga Pasar per Unit
A
200
Rp 100
Rp 90
B
100
220
115
22.000
11.500
11.500
C
300
150
145
45.000
43.500
43.500
D
350
250
220
87.500
77.000
77.000
Rp 174.500
Rp 150.000
Rp 150.000
Total
Total Biaya
Rp 20.000
Pasar
Rp 18.000
Lebih rendah Biaya atau Pasar (LCM) Rp 18.000
Berdasarkan ilustrasi tabel 2.6 di atas dapat dilihat, komoditas A ssebanyak 200 unit merupakan persediaan yang dibeli seharga Rp100 per unit, jika pada saat tersebut dilakukan penggantian maka biayanya akan sebesar Rp 20.000, apabila dapat diganti dengan menggunakan harga pasar per unit Rp 90 biaya penggantian menjadi Rp18.000, biaya ini akan digunakan untuk keperluan penilaian. 6.
Penilaian pada Nilai Realisasi Bersih (Net Realizable) Nilai realisasi bersih (net realizable) pada umumnya digunakan
bila terjadi kemungkinan kerusakan pada barang dagang yang menyebabkan harga pokok harus diturunkan. Menurut Warren dkk, (2006 : 469), “ nilai realisasi bersih (net realizable) adalah estimasi harga jual dikurangi biaya pelepasan
23 Universitas Sumatera Utara
langsung, seperti komisi penjualan”. Misalkan, PT.Jaya Selalu memiliki barang dagang yang rusak dengan harga pokok Rp 10.000, hanya dapat dijual dengan harga Rp8.500 dan biaya pelepasan langsung sebesar Rp 500, maka persediaan dinilai sebesar Rp 8.000 (Rp 8.500 – Rp500), nilai ini yang merupakan nilai realisasi bersih. 2.1.4 Ukuran Perusahaan Menurut Lee dan Heish (dalam Taqwa, 2001), “ukuran perusahaan akan mempengaruhi pemilihan metode akuntansi persediaan. Perusahaan besar akan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menurunkan laba, agar laporan keuangan bisa rata”. Menurut Watss dan Zimmerman (dalam Marwah, 2012), “perusahaan besar cenderung memilih metode rata-rata karena biaya pajak yang dibayarkan relatif lebih kecil dibandingkan ketika perusahaan menggunakan metode FIFO. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2008, dimana dalam peraturan tersebut menjelaskan empat jenis ukuran perusahaan yaitu: 1. Perusahaan dengan ukuran usaha mikro, memiliki kekayaan kurang dari Rp50.000.000,00 (tidak termasuk tanah dan bangunan); memiliki jumlah penjualan tahunan maksimal Rp300.000.000,00. 2. Perusahaan dengan ukuran usaha kecil, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 sampai Rp500.000.000,00 (tidak termasuk tanah
24 Universitas Sumatera Utara
dan bangunan); memiliki hasil penjualan lebih dari Rp300.000.000,00 sampai Rp2.500.000.000,00. 3. Perusahaan dengan usaha ukuran menengah, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 sampai Rp10.000.000.000,00 (tidak termasuk tanah dan bangunan); memiliki hasil penjualan lebih dari Rp2.500.000.000,00 sampai Rp50.000.000.000,00. 4. Perusahaan dengan usaha ukuran besar, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp10.000.000.000,00 (tidak termasuk tanah dan bangunan); memiliki penjualan lebih dari Rp50.000.000.000,00. 2.1.5 Financial Leverage Metode akuntansi persediaan yang digunakan oleh perusahaan, tergantung oleh tingkat financial leverage perusahaan. Zmijewski dan Hagerman
(dalam
Taqwa,
2001)
menyatakan,”apabila
perusahaan
mempunyai tingkat financial leverage yang tinggi maka perusahaan akan berusaha memilih metode yang menaikkan laba yaitu metode FIFO”. Pernyataan tersebut memaparkan, perusahaan yang memiliki tingkat financial leverage tinggi akan cenderung menggunakan metode FIFO dan sebaliknya perusahaan dengan tingkat financial leverage yang rendah akan menggunakan metode rata-rata. 2.1.6 Likuiditas Likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Likuiditas dapat diukur dengan menggunakan rasio lancar (current ratio). Menurut Kasmir (2008 : 134), “rasio lancar atau
25 Universitas Sumatera Utara
current ratio merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiaban jangka pendek atau utang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih secara keseluruhan”. Menurut Crushing dan Le Clere 1992 (dalam Marwah, 2012) bahwa, “perusahaan yang memiliki rasio lancar yang rendah akan berusaha menaikkan labanya agar dapat menunjukkan kinerja perusahaan yang baik, yaitu dengan metode FIFO, sedangkan perusahaan yang memiliki rasio lancar tinggi biasanya memilih metode rata-rata yang menghasilkan laba yang rendah sehingga dapat menghemat pengeluaran pajak”. 2.1.7 Laba Sebelum Pajak Laba sebelum pajak adalah laba usaha ditambah dengan pendapatan lain-lain dikurang dengan beban lain-lain sebelum tarif pajak yang berlaku sesuai dengan peraturan perpajakan. Laba sebelum pajak bisa berpengaruh dengan pemilihan metode penilaian persediaan. Ini sehubungan dengan political cost hypothesis, yang menjelaskan bahwa perusahaan yang memiliki laba yang tinggi menjadi perhatian oleh konsumen dan media yang nantinya akan menarik perhatian pemerintah yang pada akhirnya menimbulkan biaya politis, seperti pengenaan pajak yang lebih tinggi, oleh sebab itu perusahaan yang memiliki laba tinggi akan lebih memilih menggunakan metode rata-rata untuk mengurangi laba.
26 Universitas Sumatera Utara
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode penilaian persediaan, antara lain: Tabel 2.7 Penelitian Terdahulu Nama Peneliti
Judul
Variabel yang Digunakan
Hasil Penelitian
Salma Taqwa (2001)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Akuntansi Persediaan pada Perusahaan Manufaktur di BEJ
Variabel independen: ukuran perusahaan, struktur kepemilikan, financial leverage, variabilitas persediaan, rasio lancar Variabel dependen: metode persediaan
Ukuran perusahaan dan variabilitas persediaan berpengaruh signifikan terhadap pemilihan metode persediaan. Struktur kepemilikan, financial leverage, rasio lancar, tidak berpengaruh signifikan terhadap pemilihan metode persediaan.
Mukhlasin (2001)
Analisis Pemilihan Metode Akuntansi Persediaan dan Dampaknya Terhadap Earnig Price Ratio
Variabel independen: variabilitas persediaan, variabilitas laba akuntansi, ukuran perusahaan, intensitas modal, intensitas persediaan, variabilitas harga pokok penjualan Variabel dependen: pemilihan metode akuntansi persediaan
Ukuran perusahaan, intensitas modal, intensitas persediaan, variabilitas harga pokok penjualan, berpengaruh signifikan terhadap pemilihan metode persediaan. Variabilitas persediaan dan variabilitas laba akuntansi, tidak berpengaruh secara signifikan.
27 Universitas Sumatera Utara
Kasini (2011)
Sofa Marwah (2012)
Kiki Nata Wijaya (2012)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Akuntansi Persediaan pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia Tahun 2007-2009 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Penilaian Persediaan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2007-2010
Variabel independen: ukuran perusahaan, financial leverage, variabilitas persediaan, margin laba kotor Variabel dependen: pemilihan metode persediaan
ukuran perusahaan, financial leverage, variabilitas persediaan dan margin laba kotor secara signifikan berpengaruh terhadap pemilihan metode persediaan.
Variabel independen: ukuran perusahaan, leverage, likuiditas, laba sebelum pajak Variabel dependen: metode penilaian persediaan
Ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap metode penilaian persediaan, sedangkan leverage, likuiditas dan laba sebelum pajak tidak berpengaruh secara signifikan
Pengaruh Beberapa Variabel Terhadap Pemilihan Metode Penilaian Persediaan Berdasarkan PSAK No.14 (Revisi 2008) pada Perusahaan Dagang yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2008-2010
Variabel independen: struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, financial leverage, variabilitas persediaan, rasio lancar Variabel dependen: pemilihan metode penilaian persediaan yang sesuai dengan PSAK No. 14 (revisi 2008)
Struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, financial leverage, variabilitas persediaan, dan rasio lancar tidak berpengaruh signifikan terhadap metode penilaian persediaan
28 Universitas Sumatera Utara
2.3 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 2.3.1 Kerangka Konseptual Kerangka konseptual dari penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
Ukuran
H1
Perusahaan (X1)
Financial Leverage
H2 Metode Penilaian Persediaan
(X2)
(Y) Likuiditas
H3
(X3) Laba Sebelum
H4
Pajak (X4)
H5
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
29 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kerangka konseptual di atas, dapat diketahui yang menjadi variabel independen dari penelitian ini adalah ukuran perusahaan, financial leverage, likuiditas, dan laba sebelum pajak, sedangkan variabel dependennya adalah metode penilaian persediaan. Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi keputusan manajemen dalam memilih metode penilaian persediaan. Berdasarkan ricardian hypothesis (Lee dan Heish, 1985) menyatakan bahwa, “manajer perusahaan bertujuan tunggal untuk memaksimalkan nilai perusahaan dengan meminimalkan pajak, namun tetap respek terhadap hukum pajak”. Political cost hypothesis (Watss dan Zimmerman, 1990) menyatakan bahwa, “adanya kecenderungan perusahaan untuk memilih metode akuntansi yang dapat mengurangi laba untuk menghindari besarnya biaya politis, sebab perusahaan yang memiliki laba yang tinggi akan menarik perhatian konsumen dan media”. Financial leverage dapat mempengaruhi pemilihan metode penilaian persediaan. Semakin tinggi tingkat financial leverage suatu perusahaan, maka akan cenderung memilih metode yang dapat meningkatkan laba untuk menghindari terjadinya pelanggaran perjanjian utang yang apabila dilanggar dapat menimbulkan utang. Likuiditas yang diukur dengan menggunakan current ratio, untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendeknya. Crushing dan Le Clere (dalam Marwah, 2012) menyatakan, “perusahaan dengan tingkat rasio lancar yang rendah berusaha menaikkan labanya dengan menggunakan metode FIFO agar terlihat memiliki kinerja yang baik, sebaliknya perusahaan dengan
30 Universitas Sumatera Utara
tingkat likuiditas yang tinggi akan menggunakan metode rata-rata untuk dapat menghemat pajak”. Laba sebelum pajak dapat mempengaruhi keputusan pemilihan metode persediaan, seperti yang dijelaskan oleh political cost hypothesis, bahwa perusahaan dengan tingkat laba yang tinggi akan berusaha menggunakan metode yang dapat mengurangi laba, seperti metode rata-rata. 2.3.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah proporsi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris. Proporsi adalah pernyataan yang dapat dipercaya, disangkal atau diuji kebenarannya mengenai suatu konsep yang dapat menjelaskan atau mengestimasi fenomena. Hipotesis dalam penelitian kuantitatif berfungsi untuk menjelaskan masalah penelitian dan pemecahannya secara rasional, menyatakan variabel-variabel penelitian, sebagai pedoman untuk memilih metode pengujian data, menjadi dasar untuk membuat kesimpulan (Erlina, 2011:41-42). Mengacu pada perumusan masalah, tinjauan teoritis, dan beberapa penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: H1 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap pemilihan metode penilaian persediaan. H2 : Financial leverage berpengaruh terhadap pemilihan metode penilaian persediaan. H3 : Likuiditas berpengaruh terhadap pemilihan metode penilaian persediaan.
31 Universitas Sumatera Utara
H4 : Laba sebelum pajak berpengaruh terhadap pemilihan metode penilaian persediaan. H5 : Ukuran perusahaan, financial leverage, likuiditas, dan laba sebelum pajak berpengaruh secara simultan terhadap pemilihan metode penilaian persediaan.
32 Universitas Sumatera Utara