TINJAUAN PUSTAKA Positive Deviance Positive
Deviance
digunakan
untuk
menjelaskan
suatu
keadaan
penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance dapat dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan serta status gizi yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin dan hidup di lingkungan miskin (kumuh) di mana sebagian besar anak lainnya menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami gizi kurang (Zeitlin et al 1990). Positive Deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan caracara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi dibanding tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu komunitas miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk. Kebiasaan yang menguntungkan sebagai inti program positive deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan (CORE 2003). Adanya pengaruh perilaku terhadap masalah gizi, memerlukan pengamatan untuk mengetahui perilaku seperti apa, yang diperlukan untuk menanggulangi masalah gizi pada anak. Salah satu bentuk pengembangan perilaku dalam penanggulangan masalah gizi adalah positive deviance yang telah dilakukan di Jakarta, Bogor, dan Lombok Timur. Hasilnya adalah interaksi ibu dengan anak usia 6 – 17 bulan berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-anak yang selalu diupayakan untuk mengkonsumsi makanan, mendapatkan senyum dari ibu,
6
keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang mendapatkan perhatian orangtua (Jahari et al 2000). Status Gizi Status gizi adalah ekspresi dari keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi panganan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2004). Status gizi adalah tandatanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Status gizi masyarakat terutama digambarkan oleh status gizi anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu, sasaran utama dari program perbaikan gizi makro berdasarkan siklus kehidupan, dimulai pada wanita usia subur, ibu hamil, bayi baru lahir, balita dan anak sekolah (Gibson 2005). Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) menyatakan bahwa penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Patokannya berdasarkan hal yang sama yakni penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (LIPI 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah kesadaran gizi, persediaan pangan, daya beli masyarakat dan kesehatan individu, yang saling tidak dapat terpisahkan. Unicef (1998) menyatakan bahwa status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan saja, melainkan secara garis besar disebabkan oleh dua determinan utama, yaitu determinan langsung dan determinan tidak langsung. Determinan langsung merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari individu itu sendiri. Hal ini meliputi intik makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro) dan adanya penyakit infeksi, sedangkan yang dimaksud determinan tidak langsung adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari lingkungan rumah. Determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan. Namun, faktor yang mendasarinya adalah kemiskinan.
7
Sementara WHO mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi seperti infeksi, distribusi zat gizi pada anggota keluarga, ketersediaan pangan serta penghasilan rumah tangga. WHO melihat bahwa status gizi kurang dipengaruhi oleh pokok masalah dimasyarakat (kurang pendidikan, pengetahuan, ketrampilan) akan berdampak pada kurangnya persediaan pangan, pola asuh anak yang kurang baik, pemberian pelayanan kesehatan dasar tidak terpenuhi sehingga pemberian makan tidak seimbang yang pada akhirnya terjadilah status gizi kurang (Suryono & Supardi 2004). Secara tidak langsung status gizi masyarakat dapat diketahui berdasarkan penilaian terhadap data kuantitatif maupun kualitatif konsumsi pangan. Informasi tentang konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survei yang akan menghasilkan data kuantitatif (jumlah dan jenis pangan) dan kualitatif (frekuensi makan dan cara mengolah makanan). Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara biokimia, dietetika, klinik dan antropometri. Cara yang paling umum dan mudah digunakan untuk mengukur status gizi di lapangan adalah pengukuran antropometrik. Indeks antropometri yang dapat digunakan adalah Berat Badan per Umur (BB/U); Tinggi Badan per Umur (TB/U); Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB); Lingkar lengan atas terhadap umur (LLA/U); Indeks Massa Tubuh (IMT); Tebal Lemak Bawah Kulit menurut Umur; Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul (Depkes 2005). Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000). Alat ukur. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui berat badan yaitu ada 2 macam timbangan yaitu tipe Salter spring balance (timbangan gantung) dan tipe Bathroom scale. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui panjang/tinggi badan yaitu Baby length board (untuk bayi) dan Vertical measures (microtoise). Untuk mengukur lingkar lengan atas (LILA) dengan menggunakan pita ukur nonelastis, sebagai alternatif bila tidak memungkinkan mengukur berat badan dan tinggi badan .
8
Analisis hasil pengukuran antropometri. Ada tiga cara yang biasa digunakan, antara lain : 1. Nilai Skor-Z atau SD Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai nilai SD atau skor-Z di bawah atau di atas nilai mean atau median rujukan. Dikatakan gizi normal, bila antara -2SD sampai +2SD. Gizi kurang, bila <-2SD. Dan gizi lebih, bila >+2SD. WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Dengan ambang batas (cut off points), yaitu : - 1 SD unit (1 Z-skor) ± 11% dari median BB/U - 1 SD unit (1 Z-skor) ± 10% dari median BB/TB - 1 SD unit (1 Z-skor) ± 5% dari median TB/U Rumus perhitungan z-skor, adalah: Z-skor =
Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan
2. Nilai persen terhadap nilai median Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai persen dari nilai median rujukan, yaitu hasil analisis: Gizi baik, bila 90% median TB-U mendekati nilai -2SD, 80% median BB-TB mendekati nilai -2SD, dan 80% median BB-U mendekati nilai -2SD. Gizi kurang, bila 71%-80% median TB-U mendekati nilai -2SD, 71%-80% median BB-TB mendekati nilai -2SD, dan 61%-70% median BB-U mendekati nilai -2SD. Rumus perhitungan yang digunakan adalah: Nilai Individu Subjek Nilai Median
X 100%
3. Nilai persentil Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai posisi individu dalam sebaran populasi rujukan. Dikatakan normal, bila antara persentil 5 dan 95. Kurang, bila kurang persentil 5. Dan Lebih, bila lebih persentil 95.
9
Status Gizi diukur dengan BB/U atau TB/U atau BB/TB dikatakan normal apabila angka atau nilai z-skor terletak antara -2 SD sampai 2 SD dari nilai median standar WHO. Status gizi dikatakan kurang, apabila nilai ketiga jenis ukuran diatas kurang dari -2 SD atau di bawahnya. Nilai tersebut menjadi buruk, apabila nilainya berada di bawah dari -3 SD. Sebaliknya apabila nilai z-skor di atas 2 SD maka disebut gizi lebih (gemuk) dan diatas 3 SD dikatakan gemuk sekali (Soekirman 2000). Pertumbuhan Pertumbuhan adalah perubahan ukuran fisik dari waktu ke waktu yang merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan mengikuti perjalanan waktu (Jahari 2002). Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan ukuran, besar, jumlah atau dimensi pada tingkat sel, organ maupun individu. Pertumbuhan bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dengan satuan berat (gram, kilogram), satuan panjang (cm, m), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh) (Tanuwijaya 2003). Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk dalam faktor internal adalah genetik, obstetrik dan jenis kelamin, yang termasuk dalam faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obatobatan dan penyakit (Supariasa 2002). a. Genetik Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orang tuanya dalam hal bentuk tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Diasumsikan bahwa selain aktivitas nyata dari lingkungan yang menentukan pertumbuhan, kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Namun gen tidak secara langsung menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi ekspresi gen yang diwariskan kedalam pola pertumbuhan dijembatani oleh beberapa system biologis yang berjalan dalam suatu lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Misalnya gen dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon pertumbuhan dari glandula endokrin dan menstimulasi pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan terhadap status kematangannya (matur state). Sistem endokrin juga merespon pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berefek terhadap perkembangan, dan
10
mungkin berfungsi sebagai suatu mekanisme yang menyatukan interaksi antara gen dan lingkungan untuk membentuk pola pertumbuhan tiap-tiap manusia (Bogin 1999). b. Lingkungan Lingkungan biofisik dan psiko-sosial merupakan faktor yang mempengaruhi individu setiap hari dan sangat berperan penting dalam menentukan tercapainya potensial bawaan. Menurut Soetjiningsih (2004) secara garis besar lingkungan dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan post natal. Lingkungan Pra Natal Lingkungan pra natal adalah terjadi pada saat ibu sedang hamil, yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa konsepsi sampai lahir, antara lain seperti : a) Gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang menyebabkan cacat bawaan. Selain dari pada itu kekurangan gizi dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi, dan akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan. b) Mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang, dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor zat kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obatobatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan, kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah. c) Faktor hormon yaitu hormon endokrin yang juga berperan pada pertumbuhan janin adalah somatotropin, yang disebut juga hormon pertumbuhan. Hormon ini berperan mengatur pertumbuhan somatik terutama pertumbuhan kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat dipengaruhi oleh hormon ini. Growth hormon merangsang terbentuknya somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan, dan aktivitasnya meningkat pada malam hari pada saat tidur, sesudah makan, sesudah latihan fisik, perubahan kadar gula darah dan sebagainya.
11
d) Stress ibu saat hamil, infeksi, immunitas yang rendah dan anoksia embrio atau menurunnya jumlah oksigen janin melalui gangguan plasenta juga dapat menyebabkan kurang gizi dan berat badan bayi lahir rendah (BBLR). Lingkungan Post Natal Lingkungan post natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara lain lingkungan biologis, seperti ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan fungsi metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut berpengaruh. c. Penyakit Infeksi Penyakit infeksi berkaitan dengan status gizi yang rendah, hubungan kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh dimana balita yang mengalami kekurangan gizi dengan asupan energi dan protein yang rendah, maka kemampuan tubuh untuk membentuk protein yang baru berkurang. Tubuh akan rawan terhadap serangan infeksi karena terganggunya pembentukan kekebalan tubuh seluler (Jellife 1989). Pertumbuhan pada usia 2 tahun pertama dicirikan dengan pertambahan gradual baik pada kecepatan pertumbuhan linier maupun laju pertambahan berat badan. Pertumbuhan bayi cenderung ditandai dengan pertumbuhan cepat (spurt of growth) yang dimulai pada usia 3 bulan hingga usia 2 tahun, kemudian pada usia 2 tahun hingga 5 tahun pertumbuhan anak menjadi lebih lambat dibandingkan ketika masih bayi, walaupun pertumbuhan terus berlanjut dan akan mempengaruhi ketrampilan motor, sosial, emosional dan perkembangan kognitif (Seifert & Hoffnung 1997). Proses pertumbuhan anak berlangsung pada sel, organ dan tubuh. Pertumbuhan tersebut terjadi dalam tiga tahap, yaitu hiperplasia (bertambahnya jumlah sel), hyperplasia dan hipertropi (bertambahnya ukuran dan kematangan sel). Selanjutnya, setiap organ atau bagian tubuh lain mengikuti pola pertumbuhan yang berbeda dalam setiap tahapan tersebut (Anwar 2002).
12
Pertumbuhan pada masa kanak-kanak adalah proses yang relatif stabil. Pertumbuhan ponderal yang dilihat dari kenaikan berat badan rata-rata pada 6 bulan pertama naik sebesar 0,5-1,0 kg per bulan dan kenaikan pada 6 bulan kedua berkisar dari 0,35-0,50 kg per bulan. Sementara selama tahun kedua, angka penambahan berat badan sekitar 0.25 kg per bulan dan pada usia 10 tahun kenaikan berat badan sebesar 2 kg per tahun. Pertumbuhan linier yang dilihat dari pertambahan panjang badan hingga tahun pertama kehidupan bertambah 50 persen dari panjang badan lahir dan menjadi dua kali lipat pada akhir tahun keempat. Hingga usia 4 tahun, wanita tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan dengan pria dan keduanya kemudian tumbuh dengan laju rata-rata 5-6 cm per tahun sampai munculnya masa pubertas (Jellife 1994). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada saat yang cukup lama. Indeks TB/U di samping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dalam masalah sosial ekonomi (Jahari 2002). Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting) Pertumbuhan linier yang tidak sesuai umur merefleksikan masalah gizi kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak mampu mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang tidak memadai (ACC/SCN 1997). WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi underweight, wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei. Tabel 1 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting dan wasting Klasifikasi Berat Masalah Gizi Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Prevalensi Underweight (%)
Prevalensi Stunting (%)
Prevalensi Wasting (%)
<10 10-19 20-29 ≥30
<20 20-29 30-39 ≥40
<5 5-9 10-14 ≥15
Sumber : WHO (1995), diacu dalam Riyadi (2001)
13
Pada keadaan Stunted, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Kemenkes 2010a). Gangguan tumbuh kembang dapat dicegah dan diperbaiki melalui: perbaikan konsumsi, suplemen dan penyuluhan gizi, peningkatan kualitas pola asuh, pelayanan kesehatan dan pencegahan terhadap infeksi sesuai dengan kerangka UNICEF (1998). Kemiskinan dan Masalah Gizi Secara luas miskin diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya dimana kebutuhan disini diartikan secara relatif sesuai dengan persepsi dirinya. Kebutuhan tersebut mencakup berbagai aspek baik ekonomi, sosial, politik, emosional maupun spiritual. Pengertian kemiskinan menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hakhak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi di Indonesia, sehingga pemecahannya memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan terarah serta berkesinambungan. Untuk penanggulangan kemiskinan, maka seluruh unsur bangsa harus ikut serta memberikan perhatian terhadap kemiskinan, tidak hanya pemerintah semata (BPS 2011). Berbagai pendekatan untuk mengukur kemiskinan, dan tidak ada satu pun yang sempurna dan bisa menjadi standar umum. Belum tentu standar-standar nasional cocok untuk setiap wilayah, di mana keadaan ekonomi rumah tangga dan budaya cukup beragam. Indonesia mengenal tiga model untuk mengukur tingkat „kemiskinan‟. Ketiga model tersebut memiliki cara pandang dan lingkup pengertian yang berbeda (Cahyat 2004), antara lain :
14
Model Tingkat Konsumsi Pada awal tahun 1970-an, Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Dia membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun. Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari Sayogyo, Pada tahun 1984 Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perhitungan jumlah dan persentase penduduk miskin dengan menggunakan modul konsumsi Susenas (Survey sosial ekonomi nasional). BPS menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. Dari sisi akurasi, survey BPS memiliki kaidah-kaidah statistik yang harus dijalankan dalam survey dan pengolahan data. Sehingga secara metodologi statistik, lebih dapat dipertanggung jawabkan. Dari sisi fleksibilitas standar, model BPS lebih fleksibel dalam penilaian dengan dasar penilaian berdasarkan „Garis Kemiskinan‟ yang ditetapkan setiap tiga tahun sekali baik untuk tingkat nasional maupun tingkat propinsi. Garis kemiskinan yang sering dijadikan rujukan internasional antara lain sebesar $1 atau $2 Amerika Serikat per hari per kapita. Bank Dunia adalah badan internasional yang seringkali menggunakan cara ini, dengan menyusun indikator tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran. Model Kesejahteraan Keluarga Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survei yang digunakan yaitu keluarga. Hal ini sejalan dengan visi dari program Keluarga Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan
15
Keluarga untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: 1) Data demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dll.; 2) Data keluarga berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, dll.; 3) Data tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera (sangat miskin), sejahtera I (miskin), II, III dan III plus. 4) Data individu, seperti nomor identitas keluarga, nama, alamat, dll. Dari data tersebut kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai tingkat RT, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai dengan tingkat Nasional. Dilakukan secara rutin setiap tahun, sehingga digunakan untuk program-program pemberian bantuan bagi keluarga dan penduduk miskin. Model Pembangunan Manusia Pendekatan
Pembangunan
Manusia
dipromosikan
oleh
lembaga
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu United Nation Development Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) dibuat pertama kali pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara. Pemerintah Indonesia lewat Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) turut mengembangkan model ini. HDR yang pertama dibuat pada tahun 1996 untuk situasi tahun 1990 dan 1993. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 telah menjadikan model ini sebagai model pembangunan nasional yang disebut sebagai "Pembangunan Manusia Seutuhnya". Laporan terakhir adalah laporan tahun 2004 yang menjelaskan keadaan pada tahun 1999 dan 2002. HDR adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir. Berisikan penjelasan tentang empat index yaitu Index Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Index Pembangunan Jender atau Gender Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender Empowerment Measure (GEM) dan Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI). Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas
16
tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi. Sumber data yang digunakan adalah survey dan sensus yang dibuat oleh BPS. Namun demikian, laporan Pembangunan Manusia sangat terbatas hanya tiga tahun sekali dan skala survey umumnya tingkat propinsi yang ditingkatkan sampai kabupaten. Penilaian kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan model tingkat konsumsi berdasarkan BPS menggunakan „Garis kemiskinan‟ untuk menghitung pengeluaran penduduk dan rumah tangga meliputi kebutuhan makanan dan non makanan. Selanjutnya penduduk dikelompokkan menjadi penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada pada dan dibawah garis kemiskinan. Sedang penduduk tidak miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan. Garis kemiskinan kota Bogor, menurut BPS (2011) yaitu Rp. 256.414,-. Menurut BAPPENAS (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, secara
langsung menyebabkan hilangnya
produktivitas
karena
kelemahan fisik. Kedua, secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat. Karakteristik Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU RI 1992). Keluarga merupakan lingkungan terdekat dari anak yang peranannya penting dalam tumbuh kembang anak. Karakteristik keluarga adalah segala hal yang melekat pada keluarga tersebut dan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Keadaaan sosial
17
ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga turut menentukan status gizi keluarga tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial adalah (Supariasa 2002): a. Keadaan penduduk suatu masyarakat b. Keadaan keluarga. c. Tingkat pendidikan orang tua d. Keadaan rumah Sedangkan data ekonomi dari faktor sosial ekonomi meliputi : a. Pekerjaan orang tua. b. Pendapatan keluarga. c. Pengeluaran keluarga. d. Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim. Dalam penelitian ini, karakteristik keluarga yang diuraikan antara lain umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga. Umur Orang Tua. Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan umur muda cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anak dan keluarga. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock 1998). Pendidikan orangtua. Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah seseorang dalam menerima informasi (Hidayat 2004). Tingkat pendidikan yang rendah menandakan minimmya kualitas sumberdaya manusia dan berdampak buruk terhadap aspek kehidupan secara keseluruhan. Lamanya sekolah atau pendidikan (years of schooling) adalah sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk
18
sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir (BPS 2007, diacu dalam Khomsan 2007). Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Madanijah (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Pendidikan ibu tidak berhubungan secara langsung dengan pertumbuhan anak, namun melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas dan efisiensi penjagaan
kesehatan,
peningkatan
pengasuhan,
karakteristik
keluarga,
peningkatan nilai dan tingkat kesukaan dalam keluarga (Atmarita 2004). Status pendidikan keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Keluarga dengan tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan sulit meyakini pentingnya pemenuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat 2004). Besar Keluarga. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumahtangga. Besar keluarga akan mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sukandar 2007).
19
Keluarga yang mempunyai banyak anak akan menimbulkan banyak masalah bagi keluarga tersebut, jika penghasilan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam penelitian di Indonesia membuktikan, jika keluarga mempunyai anak hanya tiga orang, maka dapat mengurangi 60% angka kekurangan gizi anak balita. Keluarga/ibu yang mempunyai banyak anak juga menyebabkan terbaginya kasih sayang dan perhatian yang tidak merata pada setiap anak (Almatsier 2004). Jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil dan jumlah anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga besar, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil (Berg 1986). Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam satu bangunan rumah yang akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak (Khomsan 2007). Selanjutnya hasil penelitian Suradi dan Chandradewi (2007) menunjukkan semakin kecil jumlah anggota keluarga, maka ibu mempunyai waktu yang banyak untuk mengasuh anak sehingga tumbuh kembang anak dapat dipantau. Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga. Pekerjaan atau mata pencaharian berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan akan terkait dengan faktorfaktor lain seperti kesehatan. Anak-anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Harper, Deaton & Driskel 1986). Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah, melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Meyer dan Dusek (1992) mengatakan bahwa banyaknya waktu ibu rumah tangga yang digunakan untuk mengasuh anak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keadaan gizi anak. Anak yang belum dilepaskan sendiri, maka kebutuhan sehari-hari seperti makan, berpakaian dan lain-lain tergantung pada orang lain terutama ibu. Seorang ibu, baik sebagai ibu rumah tangga maupun pekerja selalu dihadapkan pada berbagai kesibukan yang memerlukan pengaturan waktu. Menurut Satoto (1997), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak.
20
Menurut Berg (1986), terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini diperkuat oleh Suhardjo (1989) bahwa apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk-pauk akan meningkat pula mutunya. Meningkatnya pendapatan keluarga akan diikuti perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Keluarga yang berpenghasilan rendah, menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan. Pada kondisi pendapatan yang rendah orang tidak memikirkan kualitas makanan yang dikonsumsi. Tinggi Badan Orangtua. Tinggi badan orang tua merupakan salah satu faktor dalam melihat tinggi badan anak. Bock (1986) dalam Bogin (1999), melakukan penelitian secara longitudinal tentang pengaruh genetik terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak laki-laki dan anak perempuan yang hidup dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi menengah dan latar belakang kultur ethiopian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya variasi pertumbuhan yang diwarisi dari orang tuanya dalam pola pertumbuhan seorang anak. Variasi tersebut mengindikasikan suatu Major genetik component dalam penentuan ukuran dan kecepatan pertumbuhan seseorang. Faktor-faktor yang berperan dalam tinggi badan seorang anak adalah genetik dan lingkungan. Untuk daerah-daerah di negara berkembang faktor lingkungan dianggap lebih berperan terhadap pertumbuhan tinggi badan dibandingkan dengan faktor genetik. Anak-anak di negara maju badannya lebih tinggi dan besar dari anak di negara berkembang. Anak dari kelompok di negara miskin lebih kecil dan pendek daripada anak-anak kelompok keluarga mampu dari suku atau ras yang sama (Jahari 1988). Karakteristik Ibu Karakteristik ibu dalam penelitian ini yang berkaitan dengan kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan jumlah anak ideal, jarak kelahiran anak yang ideal dan usia ideal untuk melahirkan dan mengakhiri
21
kehamilan. Selain itu, penyakit yang diderita ibu pada masa perencanaan kehamilan akan mempengaruhi keadaan bayi yang dilahirkan. Kebijakan dalam Program KB Nasional dilakukan melalui „Reproduksi Sehat‟ diharapkan bahwa perempuan tidak hamil dan melahirkan sebelum usia 20 tahun dan sesudah usia lebih dari 30 tahun. Jarak yang aman untuk hamil dan melahirkan adalah usia 20–30 tahun dengan jarak melahirkan yang aman dari anak yang satu ke anak berikutnya adalah 3-5 tahun, sehingga diharapkan selama masa suburnya wanita hanya melahirkan dua orang anak saja dan maksimalnya adalah tiga orang (Saputra 2009). Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan anemia. Hal ini disebabkan belum pulihnya kondisi ibu dan pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi belum optimal tetapi tubuh sudah harus memenuhi kebutuhan gizi janin yang dikandungnya. Ibu hamil yang memiliki jarak kelahiran kurang dari dua tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita anemia (Wibowo & Basuki 2006). Graef et al. (1996) mengemukakan bahwa makin muda atau makin tua usia ibu, maka makin tinggi resiko ibu beserta anaknya. Bila seorang ibu telah melahirkan anak lebih dari empat orang anak, maka resiko ibu dan anaknya makin besar pada setiap kelahiran berikutnya. Taylor dalam penelitian di Thailand tahun 1970 menyebutkan bahwa ada hubungan kematian ibu dengan umur ibu. Ibu yang melahirkan di bawah 20 tahun dan melahirkan di atas 35 tahun mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan dalam umur 20-34 tahun (Saputra 2009). Walaupun demikian, hasil penelitian Ventura et al. (1997), usia ketika orang tua memulai keluarga telah berubah selama beberapa dekade terakhir di Amerika Serikat, dengan peningkatan substantial angka kelahiran pada wanita berusia 30 sampai 40 tahun dan penurunan angka kelahiran pada wanita yang berusia 20 sampai 29 tahun (Wong 2008). UU No 10 tahun 1992 menginsyaratkan agar keluarga-keluarga di Indonesia mempunyai anak yang ideal. BKKBN sendiri sebagai pengelola dan pelaksana Program KB menetapkan motto ”dua anak lebih baik”. UU NO 10 tahun 1992 menyebutkan bahwa salah satu tugas pokok pembangunan keluarga berencana menuju pembangunan keluarga sejahtera adalah upaya pengaturan kelahiran. Program KB tidak hanya berupaya untuk mengendalikan laju pertumbuhan
22
penduduk, namun juga menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera. Melalui Program KB setiap pasangan bisa merencanakan kehidupan dengan lebih baik, sehingga dengan motto ”dua anak lebih baik” setiap rumah tangga bisa mendidik serta memberi nutrisi yang baik bagi anak-anaknya. Jumlah anak yang sedikit dapat mendorong kesehatan penduduk perempuan sehingga memiliki waktu yang lebih untuk berkontribusi baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat (Saputra 2009). Konsumsi makanan yang rendah disebabkan oleh adanya penyakit terutama penyakit infeksi saluran pencernaan. Disamping itu jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga (Supariasa 2002). Selanjutnya penelitian Wyon dan Gordon tentang pengaruh anak yang terlampau dekat di Punjab, India (1980) menyebutkan bahwa kematian bayi baru lahir dan anak meningkat kalau jaraknya kurang dari 2 tahun sejak kelahiran anak sebelumnya, dan angka kematian itu akan menurun dengan cepat kalau jaraknya menjadi lebih lama (Saputra 2009). Jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu dan jarak anak yang terlalu dekat berhubungan erat dengan beban pekerjaan rumah tangga dan juga berpengaruh terhadap kemampuan fisiologis tubuh ibu menyediakan nutrisi bagi bayinya. Hasil penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan status gizi terhadap fertilitas menunjukkan bahwa bayi yang mempunyai saudara kandung dengan jumlah yang sedikit, status gizinya lebih baik dibandingkan dengan bayi yang mempunyai saudara kandung dalam jumlah yang lebih banyak (Zeitlin et al. 1990). Hadirnya seorang anggota keluarga baru berpengaruh terhadap anak yang lebih tua, bila perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun bisa dikatakan merupakan suatu ancaman bagi anak yang lebih tua. Pada saat usia anak paling tua masih kecil, konsep diri belum matang sehingga muncul perasaan terancam. Seorang anak yang lebih tua mempunyai tingkat pemahaman yang lebih baik terhadap situasi yang terjadi dan tidak lagi memandang kehadiran anggota baru sebagai suatu ancaman walaupun ia mengalami kehilangan kedudukannya sebagai anak semata wayang. Berbagai studi telah dilakukan dan menunjukkan bahwa terdapat kasih sayang yang lebih besar dan lebih sedikit persaingan atau perasaan kesepian
23
pada anak yang mempunyai adik baru dengan perbedaan usia sekitar 3 tahun atau lebih. Namun, temuan tersebut tidak konsisten (Wong 2008). Karakteristik Anak Balita Karakteristik anak adalah segala hal yang melekat pada diri anak, baik fisik maupun non fisik. Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh kembang dari beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan urutan kelahiran anak (Hurlock 1997). Jenis
kelamin
anak
akan
mempengaruhi
bagaimana
orangtua
memperlakukan anaknya, seperti anak laki-laki biasanya lebih diberi kebebasan oleh orangtua dibandingkan dengan anak perempuan (Santrock 2003). Umur anak mempengaruhi kuantitas waktu ibu untuk pengasuhan. Diatas umur dua tahun anak makin mandiri dan mempunyai jaringan sosial yang lebih luas dan ketergantungan dengan ibu mulai berkurang (Hurlock 1997). Hasil penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan negatif antara umur anak dengan status stunting pada anak balita. Selanjutnya menurut Ramli et al. (2009) prevalensi stunting tertinggi terjadi pada saat anak berusia 24-59 bulan. Urutan kelahiran anak mempengaruhi ibu dalam pengasuhan. Anak tunggal, anak pertama dan anak bungsu biasanya akan mendapatkan perhatian yang lebih baik dibandingkan dengan anak lainnya (Maulani 2002). Anak tengah menurut Wong (2008), lebih dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, jarang dipuji, menerima kekurangan waktu untuk bersama dengan orang tua, dan lebih dituntut untuk berkompromi dan beradaptasi. Penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan positif antara urutan kelahiran dengan status stunting pada anak balita. Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal ini dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui (Winkel 2007). Berg (1986) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap
24
konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal serta melalui media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua juga ikut menentukan mudah dan tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh, serta berperan dalam penentu pola penyusunan makanan dan pola pengasuhan anak. Dalam pola penyusunan makanan erat hubungannya dengan pengetahuan ibu mengenai bahan makanan seperti sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Apriadji 2007). Pengetahuan tentang gizi akan membantu dalam mencari berbagai alternatif pemecahan masalah kondisi gizi keluarga. Untuk menanggulangi kekurangan konsumsi yang disebabkan oleh daya beli yang rendah, perlu diusahakan peningkatan
keluarga
dengan
memanfaatkan
pekarangan
sekitar
rumah
(Sediaoetama 2006). Dewasa ini, pemberian atau penyajian makanan keluarga di kota masih kurang mencukupi. Kebanyakan keluarga telah merasa lega kalau sudah mengkonsumsi makanan pokok (Kartasapoetra 2005). Menurut Suhardjo (2005) bahwa peningkatan pengetahuan gizi terhadap konsumsi didasari atas tiga kenyataan, yaitu: 1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. 2) Setiap orang hanya akan cukup gizi yang diperlukan jika makanan yang dimakan mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi. 3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan yang baik bagi perbaikan gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Penelitian Mariani (2002), menemukan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi akan membiasakan anaknya untuk lebih memilih makanan yang sehat dan memenuhi kebutuhan gizi. Hasil penelitian Martianto et al. (2008), pengetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan dengan pendidikan ibu. Menurut Sandra (2007), seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang
mampu
menyusun
makanan
yang
memenuhi
persyaratan
gizi
25
dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Pengetahuan gizi seseorang dapat diukur dengan cara melakukan tes bentuk objektif. Menurut Syah (2002), bentuk tes objektif adalah tes yang jawabannya dapat diberi skor secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Tes objektif ini ada lima macam yaitu tes benar salah, tes pilihan berganda (Multiple choice), tes pencocokan, tes isian dan tes perlengkapan. Khomsan (2007) mengemukakan bahwa untuk mengukur pengetahuan gizi seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan instrument berbentuk pertanyaan pilihan ganda (Multiple choice). Dan pengkategorian dalam pengetahuan gizi berdasarkan penetapan cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen. Masa Kehamilan Kehamilan merupakan masa yang penting karena masa ini mempengaruhi kualitas anak yang akan dilahirkan. Pemeliharaan kehamilan dimulai dari perencanaan menu yang benar (Paath 2005). Kebutuhan zat gizi. Kebutuhan zat gizi selama kehamilan dapat terpenuhi dari makanan normal yang bervariasi, kecuali kebutuhan akan zat besi. Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini diperlukan dalam pembentukan darah, yaitu dalam sintesa hemoglobin. Kehadiran protein hewani, vitamin C, zink (Zn), asam folat, dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh. Namun pada sebagaian menu masyarakat juga mengandung serat dan fitat yang merupakan faktor penghambat penyerapan besi (Sediaoetama 1999). Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus mendapatkan tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi. Menurut Arisman (2004), jika seluruh bahan makanan ini digunakan, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan akan terpenuhi, kecuali zat besi dan asam folat harus ditambahkan melalui suplementasi. Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat,
26
cukup bulan dengan berat badan normal. Selama masa kehamilan metabolisme energi semakin meningkat sehingga kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat pula. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Sehingga kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna. Oleh karena itu kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil (Lubis 2003). Kebiasaan – kebiasaaan yang dilakukan saat kehamilan. Pemeriksaan saat hamil merupakan suatu hal yang penting yang harus dilakukan untuk mengetahui kesehatan janin. Menurut Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (Depkes 2005), kunjungan kehamilan atau kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama kehamilan yaitu satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga. Pelayanan/asuhan standar minimal termasuk “7T” yaitu : (Timbang) berat badan; ukur (Tekanan) darah; ukur (Tinggi) fundus uteri; Pemberian imunisasi (Tetanus Toksoid) TT lengkap; Konsumsi Tablet tambah darah, minimum 90 tablet selama kehamilan; Tes terhadap Penyakit Menular Seksual ; serta Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan. Keuntungan pengawasan antenatal adalah diketahuinya secara dini keadaan risiko tinggi ibu dan janin sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih intensif, memberikan pengobatan sehingga risikonya dapat dikendalikan, melakukan rujukan untuk mendapatkan tindakan yang adekuat serta segera dapat dilakukan terminasi (Manuaba 1998). Menurut Wibowo dan Basuki (2006), perawatan kehamilan dapat menurunkan resiko kematian bayi dalam dua tahun pertama. Sementara itu, perawatan kehamilan oleh dokter akan menurunkan resiko 1,2 kali resiko kematian bayi dibandingkan yang tidak pernah melakukan perawatan kehamilan. Meminum jamu merupakan kebiasaan atau tradisi turun temurun yang diwariskan dari nenek moyang. Menurut dr. Hasnah Siregar, Sp.OG, dari RSAB Harapan Kita, Jakarta, bahwa baiknya minum jamu di saat hamil maupun setelah melahirkan, walaupun ilmu kedokteran belum pernah meneliti tentang kandungan
27
dari bahan-bahan jamu tersebut. Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada di bawah pengawasan dokter kandungan. Sebaiknya membuat jamu buatan sendiri yang segar dan tidak dalam bentuk kemasan, sehingga lebih fresh dan juga terjamin kehigienisannya. Sesuaikan dosis pemakaiannya, disertai pemeriksaan antenatal care pada ginekolognya. Selanjutnya Kepala Balitbangkes Depkes, Prof.Dr. Umar Fahmi Achmadi MPH, PhD, jamu merupakan alternatif obat alamiah yang berfungsi untuk menjaga kondisi kesehatan, "Bukan mencegah dan mengobati kemungkinan seseorang terkena penyakit karena yang digunakan untuk mengobati penyakit adalah obat-obatan" (Melindacare 2010). Dalam mengkonsumsi jamu harus berhati-hati, terutama bila ada riwayat keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya. Pada trimester pertama yang merupakan masa sangat rentan bagi kehamilan karena pada tersebut janin sedang membentuk organ-organ vital seperti mata, hidung, telinga, pertumbuhan otak, dan lainnya. Kemungkinan pada trimester kedua bisa lebih longgar karena pembentukkan organ-organ janin sudah sempurna, tinggal mengembangkan dan meningkatkan pertumbuhannya, tapi meskipun demikian harus tetap berhati-hati. Karena terkadang ada jamu yang pedas sehingga membuat perut menjadi mulas. Dikhawatirkan akan mengakibatkan kelahiran prematur (Melindacare 2010). Umur saat hamil. Sebagian masalah kesehatan adalah berkaitan dengan usia-resiko mengalami masalah kesehatan akan meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Usia mempengaruhi fertilitas (kesuburan), fertilitas mulai menurun saat wanita berusia 20 tahun, menurun dengan cepat setelah anda berusia 35 tahun. Pasangan yang lebih tua dari 35 tahun membutuhkan waktu dua kali lipat dari pasangan yang lebih muda (1,5 sampai 2 tahun). Seorang wanita yang berusia di atas 40 tahun membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat mengandung karena ovulasi sudah kurang sering terjadi (Curtis & Asih 2000). Penyulit pada kehamilan remaja, lebih tinggi dibandingkan „kurun waktu reproduksi sehat‟ antara umur 20 sampai 30 tahun. Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan (stres) psikologis, sosial, ekonomi,
28
sehingga memudahkan terjadinya: keguguran, persalinan prematur, berat badan lahir rendah (BBLR) dan kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia kehamilan, keracunan kehamilan (gestosis) dan kematian ibu yang tinggi (Manuaba 1998). Wanita berusia lebih dari 30 tahun yang hamil sering kali mendapatkan informasi yang lebih baik tentang kehamilannya. Mereka pada umumnya tertarik dengan apa yang sedang terjadi pada diri mereka dan bayi yang sedang tumbuh dalam kandungannya serta berkeinginan untuk merawat kesehatan mereka. Dengan alasan ini, banyak peneliti sekarang berkeyakinan bahwa resiko tidak banyak meningkat hanya karena usia wanita hamil lebih tua. Kebanyakan wanita dapat mempunyai kehamilan dan melahirkan bayi yang sehat pada usia mereka yang memasuki usia 40 tahun, dengan perawatan pralahir yang baik secara signifikan dapat mengurangi komplikasi kehamilan (Curtis & Asih 2000). Masalah-masalah pada kehamilan. Beberapa peneliti menetapkan kehamilan dengan resiko tinggi, antara lain oleh umur kurang dari 19 tahun, umur di atas 35 tahun, jarak anak terlalu dekat, tinggi badan kurang dari 145 cm, kehamilan dengan penyakit ibu yang mempengaruhi kehamilan (faktor genetik), serta riwayat kehamilan yang buruk disebabkan oleh pernah keguguran, pernah persalinan
prematur,
lahir
mati,
riwayat
persalinan
dengan
tindakan,
preeklampsia-eklampsia, gravida serotinus, kehamilan dengan perdarahan antepartum serta kehamilan dengan kelainan letak (Manuaba 1998). Masalah-masalah yang lebih sering ditemukan dokter pada wanita hamil dengan usia yang lebih dari 30 tahun termasuk kehamilan yang diperberat oleh diabetes, tekanan darah tinggi dan masalah plasenta. Wanita yang berusia lebih dari 30 tahun mempunyai kecenderungan tinggi untuk mengalami keguguran, kelahiran dengan abnormalitas genetik dan kromosom. Setelah usia 40 tahun, wanita merasakan ketegangan fisik karena kehamilan. Mereka akan lebih terganggu oleh wasir, inkontinensia, varises, nyeri dan pegal otot, dan nyeri pinggang (Curtis & Asih 2000). Komplikasi yang sering terjadi di Indonesia yakni perdarahan, partus lama, demam/infeksi, dan preeklamsia/eklamsia. Ibu hamil dikatakan mengalami komplikasi persalinan jika mengalami salah satu atau gabungan dari dua atau
29
lebih komplikasi. Terdapat hubungan yang bermakna anatara komplikasi kehamilan (gabungan dari beberapa keluhan selama kehamilan) dengan komplikasi persalinan. Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki resiko untuk mengalami komplikasi persalinan sebesar 2,9 kali dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan (Senewe & Sulistiyowati 2004). Riwayat Kelahiran Berat dan panjang lahir menentukan status gizi dan pertumbuhan linier di masa mendatang (Schimdt et al. 2002). Pengukuran panjang sangat mudah dilakukan untuk menilai gangguan dan pertumbuhan anak. Menurut Sinaga (2011), panjang bayi lahir merupakan pengukuran yang penting selain berat badan bayi lahir untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahap usia selanjutnya. Namun, masih jarang panjang bayi lahir dikaitkan sebagai manifestasi dari keadaan gizi pada masa kehamilan. Istilah panjang dinyatakan sebagai pengukuran yang dilakukan ketika anak terlentang. Pengukuran panjang badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi. Berdasarkan Kemenkes (2010b), panjang bayi lahir normal adalah 48-52 cm dan berdasarkan kurva pertumbuhan National Center for Helath Statistics (NCHS) bayi akan mengalami penambahan panjang sekitar 2,5 cm setiap bulannya. Selanjutnya menurut Sinaga (2011), penambahan panjang akan berangsur-angsur berkurang sampai usia 9 tahun, yaitu hanya sekitar 5 cm/tahun dan penambahan ini akan berhenti pada usia 18-20 tahun. Berat bayi saat lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan kelangsungan hidup. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 g, sedangkan bayi yang memiliki berat < 2500 g dikategorikan sebagai berat bayi lahir rendah (BBLR). WHO/UNICEF (2004) menyatakan bahwa bayi dengan BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dibandingkan bayi normal. Bayi dengan berat yang rendah merupakan hasil dari preterm birth (<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin (intrauterine). Menurut Kusharisupeni (2008), berat bayi lahir rendah diakibatkan oleh kurangnya gizi selama kehamilan yang dapat diukur melalui beberapa hal, antara lain yaitu kenaikan berat badan yang rendah, indeks massa tubuh yang rendah,
30
tinggi badan ibu yang pendek, defisiensi gizi mikro, Ibu hamil dengan usia muda, menderita penyakit infeksi atau malaria selama hamil, dan merokok. Hal serupa diungkapkan dalam penelitian Sistiarani (2008) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian BBLR diantaranya anemia dan kualitas pelayanan antenatal. Berdasarkan Kemenkes (2010a), kejadian BBLR di Indonesia masih mencapai angka 11,1%. Riwayat Pemberian ASI Kebutuhan bayi akan zat-zat gizi adalah yang paling tinggi, bila dinyatakan dalam satuan berat badan, karena bayi sedang ada dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat (Sediaoetama 2006). Makanan pertama dan utama bagi bayi adalah ASI (Air Susu Ibu) karena mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi. Selain itu, tidak ada susu buatan manusia yang dapat memberikan perlindungan kekebalan tubuh bayi seperti kolostrum (Krisnatuti & Yenrina 2000). ASI
memiliki
banyak
keuntungan
bagi
bayi.
Ramaiah
(2006)
mengungkapkan bahwa didalam ASI terdapat zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi sehingga mengurangi resiko berbagai jenis kekurangan zat gizi. Selain steril dan mudah diberikan, ASI juga selalu berada pada suhu yang paling cocok bagi bayi karenanya tidak memerlukan persiapan apapun bila dibutuhkan segera oleh bayi. ASI memiliki faktor pematangan usus yang melapisi bagian dalam saluran pencernaan dan mencegah kuman penyakit serta protein berat untuk terserap ke dalam tubuh. ASI juga menolong pertumbuhan bakteri sehat dalam usus yang disebut Lactobacillus bifidus yang dapat mencegah bakteri penyakit lainnya sehingga mencegah diare. Laktoferin yang dikombinasikan dengan zat besi di dalam ASI dapat mencegah pertumbuhan kuman penyakit. Manfaat pemberian ASI eksklusif bagi ibu adalah mengurangi pendarahan, mengurangi terjadinya anemia, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim, menurunkan berat badan, mengurangi kemungkinan menderita kanker, memberi kepuasan pada ibu, praktis dan ekonomis. ASI memberikan manfaat ekonomi karena akan mengurangi biaya pengeluaran terutama untuk membeli susu. Lebih jauh, bagi negara pemberian ASI dapat menghemat devisa negara, menjamin tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas, menghemat subsidi
31
biaya kesehatan masyarakat, dan mengurangi pencemaran lingkungan akibat gangguan plastik sebagai bahan peralatan susu formula (Depkes 2002a). ASI eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli 2000). Penelitian Chantry et al. (2006) menyebutkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif selama enam bulan penuh memiliki resiko lebih kecil terkena penyakit pneumonia dibandingkan bayi yang diberi ASI kurang dari enam bulan. Selanjutnya penelitian Utomo (2009) menunjukkan prevalensi ISPA pada anak usia 6-23 bulan 1,84 kali lebih banyak pada anak yang riwayat pemberian ASI tidak eksklusif dibandingkan anak yang diberi ASI secara eksklusif. Biasanya bayi siap untuk makan makanan padat, baik secara pertumbuhan maupun secara psikologis, pada usia 6–9 bulan. Bila makanan padat sudah mulai diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya, maka makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan gangguan pencernaan, timbulnya gas, konstipasi dll. Tubuh bayi belum memiliki protein pencernaan yang lengkap. Asam lambung dan pepsin dibuang pada saat kelahiran dan setelah 3-4 bulan kemudian jumlahnya meningkat mendekati jumlah untuk orang dewasa. Amilase, enzim yang diproduksi oleh pankreas belum mencapai jumlah yang cukup untuk mencernakan makanan kasar sampai usia sekitar 6 bulan. Dan enzim pencerna karbohidrat seperti maltase, isomaltase dan sukrase belum mencapai level orang dewasa sebelum 7 bulan. Bayi juga memiliki jumlah lipase dan bile salts dalam jumlah yang sedikit, sehingga pencernaan lemak belum mencapai level orang dewasa sebelum usia 6-9 bulan (Anonim 2008). Di Indonesia, pemerintah mengatur mengenai ASI dalam Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 128 mengamanatkan setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan.
32
Berdasarkan penelitian
Berek et al. (2007) yang menyatakan faktor yang
berhubungan dengan gangguan pertumbuhan adalah praktek pemberian prelactal feeding. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kejadian stunting terhadap status pemberian ASI telah banyak dilakukan. Kerentanan status gizi selama periode tersebut merupakan akibat dari rendahnya kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan (WHO 1998 dalam Pelto et al. 2003). Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 6-11 bulan di Ethopia menurut Umeta et al. (2003) adalah konsentrasi seng dan kalsium dalam ASI serta kualitas dan kuantitas pemberian MP-ASI. Sementara penelitian di Sudan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status gizi, status pemberian ASI, status sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang berkolerasi dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000). Kesehatan Balita Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Penyakit yang sering terjadi antara lain diare, kecacingan, dan infeksi saluran pernapasan. Apabila anak menderita infeksi saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. Apabila anak menderita infeksi saluran pernapasan, maka nafsu makan akan menurun, sementara kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan di bawah kulit baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan dan perkembangannya terganggu (Supariasa 2002). Penyakit Diare Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi dan balita, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Hasil penelitian Badan Litbangkes (2008), penyebab kematian bayi yang terbanyak adalah diare
33
(31,4%) dan pneumonia (23,8%), sedangkan untuk penyebab kematian anak balita terbanyak adalah diare (25,2%) dan pneumonia (15,5%). Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Ciesla & Guerrant 2003). Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan virus, bakteri, dan parasit. Infeksi bakteri yang paling sering menimbulkan diare adalah infeksi bakteri E. coli. Selain E. coli patogen, bakteri-bakteri yang dulu tergolong dalam “non-pathogenic”
bakteri
seperti
Pseudomonas,
Pyocianeus,
Proteus,
Staphylococcus, Streptococcus dan sebagainya menurut penyelidikan para ahli sering pula menyebabkan diare (Lung 2003). Penularan diare menyebar lewat makanan dan air dan melalui jalur fekaloral. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain (Procop & Cockerill 2003) : a. Menjaga higiene pribadi yang baik. Mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia. b. Menjaga kebersihan air. Air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi atau direbus sebelum dikonsumsi. c. Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Menurut Faber dan Benade (1999), selain asupan makanan, penyakit diare dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap tinggi badan menurut umur. Selanjutnya menurut Adeladza (2009) terdapat interaksi antara penyakit infeksi dengan status gizi. Infeksi penyakit dapat menjadi
34
penyebab menurunnya intake makanan. Sedikitnya intake makanan, berkurangnya nutrient akibat muntah, diare, malabsorpsi dan demam yang berkepanjangan dapat menyebabkan defisiensi nutrisi sehingga konsekuensinya adalah pertumbuhan dan sistem imunitas bayi dan anak terganggu. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakitpenyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya (Smith 2010). Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan nafas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin (Rasmaliah 2004). Ada dua cara pokok untuk mencegah ISPA, meliputi: a. Imunisasi. b. Mengurangi faktor resiko ISPA, seperti : menjaga keadaan gizi agar tetap baik, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan dan menjauhkan anak dari orang yang menderita batuk/pilek. Anak yang mengalami gejala-gejala ISPA berat/ pnemonia, seperti batuk tambah sesak nafas/ nafas cepat, harus segera dibawa ke dokter. Dokter akan memeriksa anak dan memutuskan apakah anak tersebut harus rawat inap atau dapat diobati di rumah. Bila anak diobati di rumah, paling penting anak diberi obat sesuai dengan jadwal dan dosis ditunjuk oleh dokter. Bila obat tidak diberi
35
secara benar, sakit akan semakin bertambah dan mungkin harus diobati rawat inap (Smith 2010). Menurut VSO Health Training & Information Resources, cara pengobatan yang dapat dilakukan di rumah jika anak menderita ISPA ringan (batuk, pilek biasa, dengan demam ringan tanpa ada masalah pernafasan), antara lain (Smith 2010) : a. Menjaga anak supaya hangat b. Memberi anak banyak minum c. Memberi anak sirop madu-jeruk, 3 atau 4 kali sehari d. Bila hidung tersumbat, membersihkan lubang hidung dengan kain bersih, untuk membantu dia bernafas. e. Bila anak demam, memberi obat parasetemol dengan dosis yang sesuai dengan umur anak. Apabila anak menderita infeksi saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. sementara kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan di bawah kulit baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan dan perkembangannya terganggu (Supariasa 2002). Pengasuhan Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita adalah pengasuhan yang diberikan oleh orangtuanya. Menurut kerangka UNICEF (1998) pola pengasuhan yang tidak memadai dapat mempengaruhi status gizi anak balita. FAO/WHO (1992) mendefinisikan pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam rangka tumbuh kembang anak dan anggota keluarga lainnya. Definisi lain mengenai pengasuhan adalah kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian, cinta dan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dari kelompok rawan gizi (Jallow 2006). Sedangkan Engle dan Lotska (1999) dalam
36
Jallow (2006) mendefinisikan pengasuhan sebagai perilaku dan praktek dari pengasuh (ibu, saudara kandung, ayah dan pengasuh lainnya) dalam hal makanan, kesehatan, perhatian, stimulasi dan dukungan emosional untuk tumbuh kembang anak. Pengasuhan dalam prakteknya meliputi beberapa aspek. Range et al. (1997), mengemukakan bahwa pola pengasuhan dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu : (1) pola asuh makan (2) pola asuh higiene dan kesehatan (3) pola asuh yang berhubungan dengan psikososial dan (4) pengasuhan untuk ibu dan sistem dukungan sosial. Range et al. (1997) berpandangan bahwa ke empat aspek tersebut akan memberikan pengaruh terhadap konsumsi zat gizi dan terjadinya penyakit, kedua hal tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi. Pola asuh yang akan diteliti adalah sebagai berikut: Pola Asuh Makan Salah satu aspek dalam pengasuhan adalah pola asuh makan yang diberikan pengasuh, dalam hal ini biasanya dilakukan oleh ibu, nenek atau saudara kandung. Pola asuh makan yang diberikan oleh ibu akan sangat berpengaruh terhadap status gizi anak. Definisi pola asuh makan menurut Karyadi (1985), sebagai praktekpraktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan cara dan situasi makan. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan pemberian makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status gizinya. Engle et al. (1996) mengemukakan bahwa dalam perilaku pemberian makanan kepada anak balita ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu: 1. Menyesuaikan metode pemberian makan dengan kemampuan psikomotor anak 2. Pemberian makanan yang responsif, termasuk dorongan untuk makan, memperhatikan nafsu makan anak, waktu pemberian, kontrol terhadap makanan antara anak dan pemberi makan, dan hubungan yang baik dengan anak selama memberi makan. 3. Situasi pemberian makan, termasuk bebas gangguan, waktu pemberian makan yang tertentu, seperti perhatian dan perlindungan selama makan.
37
Selama bertahun-tahun dipercayai bahwa penyimpangan pertumbuhan akibat kurang gizi disebabkan oleh kuantitas dan kualitas makanan yang kurang baik disertai penyakit infeksi. Namun, sejak tahun 1970-an, ditemukan bahwa pola asuh makan yang dilakukan oleh ibu dan anggota keluarga lain berhubungan erat dengan terjadinya penyimpangan pertumbuhan (Engle & Ricciuti 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Ruel dan Menon (2002) bahwa anak usia 12-36 bulan di Amerika Latin yang mendapatkan pola asuh makan yang baik memiliki status gizi yang lebih bagus. Penelitian oleh Ogunba (2006) bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan meningkatkan status gizi anak. Hasil penelitian lain yang dilakukan Astari di Bogor (2005) bahwa pada keluarga sosial ekonomi keluarga miskin memiliki praktek pengasuhan meliputi praktek pemberian makan, praktek sanitasi pangan, praktek sanitasi lingkungan dan praktek perawatan kebersihan serta kesehatan anak pada kelompok anak normal lebih baik dibandingkan dengan kelompok anak stunting. Kebiasaan Pemberian Makan. Berbagai Kebiasaan baik, termasuk memberi makan anak-anak kecil berusia di atas 6 bulan dengan berbagai variasi makanan dalam porsi kecil setiap hari sebagai tambahan Air Susu Ibu (ASI), pemberian makan secara aktif, pemberian makan selama sakit dan penyembuhan serta menangani anak yang memiliki selera makan yang rendah (Turnip 2008). Bagian pertumbuhan bayi yang penting adalah pemberian makanan dengan kualitas dan kuantitas yang baik sehingga mencapai pertumbuhan yang normal (Engle & Ricciuti 1995). Terjadi peningkatan interaksi antara ibu dan anak pada saat makan, sehingga tidak hanya kuantitas dan kualitas antara ibu dan anak saja tetapi lebih luas menyangkut cara pemberian dan penyiapan makan untuk anak. Kebersamaan fisik saja tidak menjamin dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak, melainkan diperlukan juga kebersamaan juga secara psikososial. Terlalu memaksakan anak untuk makan makanan yang tidak disukainya
secara
terus
menerus
akan
mempengaruhi
status
gizinya
(Karyadi 1985). Kebiasaan Pengasuhan. Interaksi positif antara anak dan pengasuhan utama dan pengganti, membantu perkembangan emosi dan psikologis anak. Kebiasaan positif seperti sering melakukan interaksi lisan dengan anak, memberikan dan
38
menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada anak, adanya pembagian tugas agar pengawasan dan pengasuhan anak berjalan baik, dan patisipasi aktif ayah dalam pengasuhan anak, merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan anak yang normal namun sering kali terabaikan (Turnip 2008). Pola Asuh Kesehatan Pola asuh kesehatan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan anak balita. Pola asuh kesehatan adalah cara dan kebiasaan orang tua/keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita. Eagle et al. (1996) mengemukakan bahwa salah satu pola asuh yang berhubungan dengan kesehatan dan status gizi anak balita adalah pola asuh kesehatan. Pola asuh ini meliputi pola asuh yang sifatnya preventif seperti pemberian imunisasi maupun pola asuh ketika anak dalam keadaan sakit. Range et al. (1997) mengemukakan bahwa dalam pola asuh kesehatan tidak terlepas juga dari praktek higiene yang diterapkan oleh ibu. Praktek higiene yang mendukung dalam pola asuh kesehatan diantaranya adalah kebiasaan buang air besar, kebiasaan mencuci tangan, kebersihan makanan dan akses terhadap fasilitas kesehatan yang modern. Kebersihan tubuh, makanan dan lingkungan berperan penting dalam memelihara kesehatan akan serta mencegah penyakit-penyakit diare dan infeksi kecacingan. Beberapa penyakit tertentu misalnya penyakit kulit tertentu bakterial dan jamur berhubungan erat dengan kebersihan perorangan (personal hygiene). Ruang lingkup kebersihan pribadi meliputi kebersihan kulit, rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut dan gigi, tangan dan kaki, pakaian, serta kebersihan sesudah buang air besar dan buang air kecil (Depkes 1995). Menurut Depkes (1997), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sendiri sejak dini seperti memotong kuku setiap minggu dan menjaga kebersihannya, menggosok gigi sehari dua kali, mandi dengan sabun sehari dua kali, mencuci anggota badan sebelum tidur, menggunakan pakaian yang bersih dan sebagainya. Dilihat dari aspek sanitasi, maka beberapa sarana lingkungan yang berkaitan dengan perumahan sehat adalah sarana air bersih dan air minum, sarana pembuangan air limbah, Jamban/kakus dan tempat sampah. Pemerintah mengatur tentang Perumahan dan Pemukiman dalam Undang Undang No.4 Tahun 1992.
39
Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila : (1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan 45-55 dB.A.; (2) Memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) Melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan; serta (4) Melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran, seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas (Keman 2005). Berdasar Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan menunjukkan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang merupakan penyebab kematian terbanyak kedua dan tuberkulosis yang merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga erat kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan yang tidak sehat. Penyediaan air bersih dan dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare (penyebab kematian
urutan
nomor
empat)
disamping
penyakit
kecacingan
yang
menyebabkan produktivitas kerja menurun. Disamping itu, angka kejadian penyakit yang ditularkan oleh vector penular penyakit demam berdarah, malaria, pes dan filariasis yang masih tinggi (Ditjen PPM dan PL 2002). Usaha yang perlu mendapatkan perhatian agar tidak membahayakan kesehatan manusia adalah perlunya dilakukan pembuangan limbah kotoran manusia dan pengelolaan terhadap sampah. Pembuangan limbah kotoran manusia yang tidak sesuai dengan aturan akan memudahkan terjadinya water born disease seperti penyakit pada saluran cerna, infeksi cacing gelang, disentri. Pengelolaan terhadap sampah, seperti penyimpanan pengumpulan dan pembuangan. Tempat sampah yang baik harus memenuhi kriteria, antara lain
(a) terbuat dari bahan
yang mudah dibersihkan dan tidak mudah rusak, (b) harus mempunyai tutup sehingga tidak menarik serangga atau binatang-binatang lainnya, dan sangat dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori tangan, (c) ditempatkan di luar rumah. Bila pengumpulannya dilakukan oleh pemerintah, tempat sampah harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga
40
karyawan pengumpul sampah mudah mencapainya. Pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan pada gilirannya kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akan terganggu (Entjang 2000). Faktor lain yang mempengaruhi masalah gizi anak balita adalah lingkungan termasuk ketersediaan air bersih dan pelayanan kesehatan, yang akan mengakibatkan anak balita mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Untoro 2004). Kualitas air bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan, yaitu (1) syarat fisik: jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau; (2) syarat kimia: tidak mengandung zat-zat berbahaya untuk kesehatan seperti zat-zat racun, dan tidak mengandung mineral-mineral serta zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang telah ditentukan; (3) Syarat bakteriologis, yaitu air tidak boleh mengandung sesuatu bibit penyakit. Sumber yang dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga diantaranya yaitu air dalam tanah dan air permukaan. Air dalam tanah adalah air yang diperoleh dari lapisan tanah yang dalam, contohnya air sumur dan air yang berasal dari mata air. Sedangkan air permukaan adalah air yang letaknya dipermukaan tanah, contohnya air kali, air danau, kolam, dan air hujan yang ditampung (Entjang 2000). Mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan berperan dalam peningkatan status kesehatan. Dipandang dari segi fisik, persebaran sarana pelayanan kesehatan baik Puskesmas, rumah sakit maupun sarana kesehatan lain termasuk sarana penunjang kesehatan lain sudah merata ke seluruh pelosok Indonesia. Akan tetapi persebaran fisik tersebut tidak diikuti sepenuhnya peningkatan mutu layanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat (Kemenkes 2011). Pola Konsumsi Makan Balita Konsumsi makan adalah makanan yang dimakan seseorang (Almatsier 2004). Konsumsi makan merupakan jumlah makanan (tunggal atau beragam) yang dikonsumsi masyarakat, keluarga dan individu dengan tujuan untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Supariasa 2002). Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis, jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati 2004).
41
Konsumsi makan oleh masyarakat atau keluarga tergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dalam kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini tergantung pada pendapatan, agama, adat kebiasaan dan pendidikan (Almatsier 2004). Dalam keluarga, jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan anggota keluarga yaitu pengetahuan, pendapatan rendah dan jumlah anak yang banyak cenderung pola konsumsi pangan berkurang pula (Harper 1986). Faktor ekonomi dan harga serta faktor sosial budaya dan religi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan (Baliwati 2004). Pola konsumsi makan. Merupakan berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh setiap orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau kelompok orang (keluarga) memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial (Suhardjo 2005). Pola konsumsi pangan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan dan mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini diajarkan dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi mendatang (Sediaoetama 2006). Survei konsumsi pangan. Baik rumah tangga ataupun perorangan merupakan cara pengamatan langsung. Data survey konsumsi pangan dapat menggambarkan pola konsumsi penduduk menurut daerah (kota/desa), golongan sosio-ekonomi dan sosial-budaya dari wilayah yang bersangkutan (Suhardjo 2005). Komponen anamnesis asupan pangan mencakup: method food recall 24 hours, food frequency questionnery, dietary history dan food records (Arisman 2004). Metode food frequency questionnery (FFQ) menghasilkan data bahan makanan dan frekuensi makan individu. Penggolongan bahan makanan di Indonesia terdiri dari bahan makanan pokok, bahan makanan lauk-pauk, bahan makanan sayur-mayur dan bahan makanan buah (Sediaoetama 2006). Proyek Food and Nutrition Technical Assistance (FANTA) kerjasama FAO-European Union, mengembangkan kuesioner untuk mengukur keragaman makanan baik
42
individu maupun rumah tangga dengan menjumlahkan kelompok makanan yang dikonsumsi selama waktu yang ditentukan dengan cara di scoring sehingga dapat dilihat kecukupan gizi. Kuesioner yang digunakan dapat melihat kemungkinan mengkonsumsi mikronutrien penting yang cukup dan disesuaikan dengan daerah setempat. Penelitian FANTA (2006) menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman makanan
berkorelasi
positif
dengan
peningkatan
rata-rata
kecukupan
mikronutrien. Selanjutnya beberapa penelitian (Hatloy et al. 1998; Ruel et al. 2004; Steyn et al. 2006; Kennedy et al. 2007) korelasi terhadap kecukupan mikronutrien anak yang tidak mendapatkan ASI (FAO 2011). Pola makan. Konsumsi makanan untuk anak balita harus mengandung kualitas dan kuantitas cukup untuk menghasilkan pertumbuhan anak yang baik. Asupan gizi dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di rumahtangga yang terkait dengan kemampuan keluarga. Kurang energi, protein dan beberapa zat gizi mikro merupakan gejala awal dari penyebab utama stunting. Di negara miskin seperti Peru, stunting disebabkan karena defisiensi energi dan zat gizi, serta frekuensi infeksi (Victoria et al. 1998). Penyimpangan pertumbuhan karena kurang energi protein (KEP) dan defisiensi mineral, disebabkan terbatasnya konsumsi makanan dan morbiditas (Dewey 2001). Usia anak balita 3-5 tahun merupakan usia prasekolah. Pada usia ini menurut PERSAGI (1992) anak bersifat konsumen aktif, yaitu mereka telah dapat memilih makanan yang disukai, di usia ini gigi susu sudah lengkap sehingga anak dapat mengerat dan mengunyah dengan baik walaupun belum maksimal dan bentuk makanan seperti orang dewasa, misalnya nasi dapat diberikan tetapi tetap disertai dengan cairan atau sayuran berkuah. Pola makanan yang sesuai untuk pemenuhan kebutuhan gizi anak balita sebagai pendukung tumbuh kembang balita adalah pola makan gizi seimbang. Berdasarkan piramida makanan gizi sehat seimbang, bahan makanan sehat seimbang dikelompokkan menjadi tiga fungsi utama gizi (triguna makanan) yang terdiri dari sumber zat tenaga yaitu padi-padian atau serelia, sumber zat pembangun yaitu sumber protein hewani dan sumber zat pengatur berupa sayuran dan buah. Menurut Depkes (2002b), pola makan yang sehat menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang adalah makanan yang mengandung semua unsur gizi
43
seimbang sesuai kebutuhan tubuh, baik protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Dan sumber nutrisinya dipilih yang sealami mungkin. Berdasarkan karakteristik anak balita, pola makan yang diberikan menurut Uripi (2003) adalah porsi kecil dengan frekuensi sering, yaitu 7-8 kali sehari. Pola tersebut terdiri dari 3 kali makan utama seperti orang dewasa (makan pagi, makan siang dan makan sore) dan 2-3 kali makan selingan ditambah 2-3 kali susu. Anak batita diberikan susu 3 kali sehari, setelah itu kurangi pemberian susu menjadi 2 kali sehari. Anjuran Depkes RI (2006) pola makan balita yaitu anak sudah bisa diberikan makan makanan orang dewasa minimal 3 kali sehari, beri makanan selingan 2 kali sehari, makanan yang diberikan harus bervariasi dan susu perlu ditambahkan ke dalam menu sehari-hari. Menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang, angka kecukupan gizi rata-rata per orang per hari dapat digunakan untuk merencanakan penyediaan makanan bagi keluarga, kelompok maupun nasional. Angka kecukupan menurut takaran konsumsi makanan sehari berdasarkan kelompok umur sebagai berikut : Tabel 2. Anjuran jumlah porsi untuk balita menurut kecukupan energi Bahan Makanan Nasi Sayuran Buah Tempe Daging ASI Susu Minyak Gula *
Anak Usia 1-3 Tahun (1200 kkal) 3 p = 300 g 1 p = 100 g 3p 1p 1p Dilanjutkan hingga 2 tahun 1p 3p 2p
1 p susu dapat diganti dengan 1 p daging/ikan
Sumber : Depkes (2002b)
Anak Usia 4-6 Tahun (1700 kkal) 4 p = 400 g 2 p = 200 g 3 p = 150 g 2 p = 100 g 2 p = 100 g 1 p = 200 g 4 p = 20 g 2 p = 20 g
(1 gls) (4 sdm) (2 sdm)