KAJIAN POSITIVE DEVIANCE MASALAH STUNTING BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI KOTA BOGOR
ERNY ELVIANY SABARUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Positive Deviance Masalah Stunting Balita pada Keluarga Miskin di Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2012
Erny Elviany Sabaruddin I 151090061
ABSTRACT ERNY ELVIANY SABARUDDIN. Study on Positive Deviance of Stunting Problems among Under five Children from Poor Family in Bogor City. Under direction of IKEU TANZIHA and YAYAT HERYATNO. The objectives of the study was to analyze the Positive Deviance of stunting problems among under-five children in poor family. Design of this research was retrospective study, with 140 samples of under five children aged between 24 and 59 months from poor family in Bogor. Family socio-economic characteristics, maternal characteristics, children characteristics, maternal knowledge of nutrition and health, feeding and health patterns, pregnancy history, birth children history, breastfeeding (consumption of milk) history, children health history, and consumption patterns of children, were the factors analyzed in this study. Data were collected directly through interviews using a questionnaires, then analyzed using chi square and logistic regression. The results showed that factors significantly influence the nutritional status of under-five children in poor family based on the index TB/U are maternal education (OR = 0.236; 95%CI: 0.057–0.973), children health history (OR = 0.328; 95%CI: 0.129–0.835) and maternal employment status (OR= 3.161; 95%CI: 1.087–9.194). In other hands, the logistics regression analysis showed that pregnancy history (OR= 0.385; 95%CI: 0.169-0.879) and environmental sanitation practices (OR= 0.491; 95%CI: 0.243-0.990) were significantly influence of positive deviance. The good habits were significantly owned by group of normal children, among others: mothers who have never experienced a miscarriage, do not consume herbal medicine during pregnancy and regular pregnancy checkups. The house is always cleaned every day before the child is playing, there is the distance between the family house with neighbors, attention to cleanliness of the family toilet after being used. Keywords: positive deviance of stunting, under five children, maternal education, history of children health, maternal employment status, environmental sanitation practices,
RINGKASAN ERNY ELVIANY SABARUDDIN. Kajian Positive Deviance Masalah Stunting Balita pada Keluarga Miskin di Kota Bogor. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA dan YAYAT HERYATNO. Anak-anak merupakan masa depan bangsa yang sangat penting dalam pembangunan SDM yang berkualitas. Tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, merupakan periode yang sangat menentukan masa depannya. Selain masalah gizi kurang dan gizi buruk (underweight) yang didasarkan pada indikator berat badan menurut umur, masalah gizi lain yang perlu mendapat perhatian serius, adalah stunting yang berarti terhambatnya pertumbuhan tubuh. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010 (Kemenkes 2010a), secara nasional terjadi penurunan prevalensi anak balita stunting dari 36,8 persen (2007) menjadi 35,6 persen (2010). Sementara prevalensi anak balita stunting di Jawa Barat berdasarkan umur 24-59 bulan mendekati angka nasional 33,6 persen. Walaupun secara nasional terjadi penurunan, namun perbedaan persentase yang terjadi sangat sedikit dan menurut WHO (1995) dalam Riyadi (2001), prevalensi stunting 30%-39% masih menggambarkan status gizi yang diklasifikasikan dalam masalah gizi tinggi. Pendekatan positive deviance merupakan pemecahan masalah gizi yang berbasis keluarga dan masyarakat, dengan mengidentifikasi berbagai perilaku ibu atau pengasuh yang memiliki anak bergizi baik tetapi dari keluarga kurang mampu dan menularkan kebiasaan positif kepada keluarga lain yang memiliki anak dengan gizi kurang (Zeitlin et al. 1990). Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan kajian mengenai positive deviance masalah stunting balita pada keluarga miskin. Penelitian ini menggunakan desain case control. Pada penelitian ini dilakukan pengumpulan data primer yaitu wawancara dan pengukuran langsung oleh peneliti terhadap karakteristik sosial-ekonomi keluarga, karakteristik ibu, karakteristik balita, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, pola asuh makan (praktek pemberian makan dan sanitasi pangan), pola asuh kesehatan (praktek perawatan diri anak dan sanitasi lingkungan), riwayat kehamilan, kelahiran, konsumsi ASI, riwayat kesehatan (diare, ISPA, dan penyakit lain) serta pola konsumsi makan balita (kebiasaan makan dan keragaman makanan). Data sekunder meliputi jumlah populasi dan gambaran tempat penelitian yang diambil dari Dinas Kesehatan, kantor kecamatan setempat dan BPS Kota Bogor. Penelitian dilaksanakan di Kota Bogor pada bulan Mei – Juli 2011. Sampel dalam penelitian ini adalah 140 responden yaitu 70 untuk kasus dan 70 untuk kontrol dengan kriteria inklusi yaitu: balita berumur 24 bulan sampai 59 bulan, tidak cacat fisik, berasal dari keluarga miskin dan keluarga bersedia mengikuti kegiatan penelitian. Setelah data diperoleh, kemudian diolah menggunakan komputer program Ms.Excel dan program SPSS 16.00 for windows. Analisis deskriptif statistik digunakan untuk analisis statistik dasar, meliputi distribusi frekuensi pada semua variabel. Analisis inferensia statistik yang digunakan untuk menguji hubungan antara dua variabel adalah uji chi-square. Sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor yang merupakan positive deviance masalah stunting balita digunakan analisis regresi logistik.
Secara umum seluruh keluarga contoh termasuk keluarga miskin dengan pengeluaran dibawah Garis Kemiskinan Kota Bogor yaitu Rp. 256.414,- dengan jenis pengeluaran proporsi pangan yang masih tinggi (>65%). Keluarga balita normal memiliki persentase tertinggi antara lain pada besar keluarga termasuk kategori keluarga kecil < 4 orang (56,4%), memiliki satu balita (82,9%), umur ibu termasuk dalam golongan dewasa awal (91,4%) dan sebagian besar ibu tidak bekerja (87,1%). Sedangkan keluarga balita stunting memiliki persentase tertinggi antara lain pada umur ayah tergolong dewasa awal (85,7%), lama pendidikan ayah (80%) dan ibu (94,3%) kurang dari 9 tahun, dan tinggi badan ayah (57,1%) dan ibu (90%) berada dibawah standar referensi AKG menurut umur. Sementara seluruh ayah balita memiliki pekerjaan dan sebagian besar sebagai buruh. Berdasarkan karakteristik ibu, sebagian besar balita normal memiliki ibu dengan 2 orang anak (67,1%) dan tidak memiliki penyakit berat sebelum dan selama masa kehamilan (77,1%). Sementara pada kelompok balita stunting, sebagian besar (85,7%) umur ibu pada saat hamil contoh berada pada kelompok umur 20-40 tahun dan jarak kehamilan antar anak lebih dari 24 bulan (72,9%). Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh kembang dari beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan urutan kelahiran anak. Pada kelompok normal, sebaran data menunjukkan balita laki-laki lebih banyak (51,4%), kecenderungan yang diperoleh berdasarkan penggolongan umur yaitu semakin tinggi umur anak semakin menurun pertumbuhan (stunting). Sementara menurut urutan kelahiran, menunjukkan sebagian besar merupakan anak bungsu baik pada kelompok balita normal (52,9%) maupun stunting (61,4%), selanjutnya diikuti oleh anak sulung dan tengah. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu termasuk dalam kategori baik (55,7%), dan persentase tertinggi dimiliki oleh ibu-ibu dari kelompok balita normal (68,6%) dibanding kelompok balita stunting (42,9%). Penentuan Riwayat kehamilan ibu meliputi jenis persalinan, tempat persalinan, komplikasi persalinan, riwayat persalinan, pemeriksaan kesehatan serta makanan dan minumam yang dikonsumsi selama kehamilan. Sebagian besar riwayat kehamilan ibu termasuk dalam kategori baik (75,7%), dan tertinggi berada pada kelompok balita normal (84,3%) daripada kelompok balita stunting (67,1%). Penentuan riwayat kelahiran anak meliputi panjang dan berat badan, sumber informasi saat lahir serta riwayat penyakit bawaan yang dimiliki anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar riwayat kelahiran contoh berada pada kategori kurang baik (50,7%), dan paling banyak terjadi pada kelompok balita normal (54,3%) dibanding kelompok balita stunting (47,1%). Penentuan riwayat konsumsi ASI contoh meliputi pemberian kolostrum, ASI eksklusif, makanan-minuman saat lahir, MP-ASI serta pemberian susu formula. Sebagian besar riwayat konsumsi ASI berada pada kategori baik (75,7%) dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita normal (77,1%) daripada kelompok stunting (74,3%). Pola asuh makan yang diukur dalam penelitian ini meliputi praktek pemberian makan dan praktek sanitasi pangan. Persentase tertinggi (63,6%) praktek pemberian makan berada pada kategori baik dan ibu yang memiliki praktek pemberian makan kategori baik pada kelompok balita normal lebih tinggi (70%) dibanding kelompok stunting (57,1%). Sebagian besar (56,4%) praktek
sanitasi pangan yang dilakukan ibu berada pada kategori baik dan persentase tertinggi pada kelompok balita normal lebih rendah (51,4%) daripada kelompok stunting (61,4%). Penentuan pola asuh kesehatan meliputi praktek perawatan diri anak dan praktek sanitasi lingkungan. Praktek perawatan diri balita termasuk kategori baik (65%), dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita normal (67,1%) dibanding kelompok stunting (62,9%). Sebagian besar praktek sanitasi lingkungan balita termasuk kategori baik (60%), dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita normal (68,6%) dibanding kelompok stunting (51,4%). Penentuan riwayat kesehatan balita meliputi sebaran kejadian diare, ISPA, dan penyakit lain yang pernah diderita contoh selama tiga bulan terakhir. Sebagian besar riwayat kesehatan balita berada pada kategori sakit (pernah terkena penyakit infeksi) (77,9%), dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita stunting (85,7%) dibanding kelompok normal (70%). Pola konsumsi makan merupakan berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh setiap orang dan keragaman makanan balita pada penelitian ini masih kurang, sebagian besar terdapat pada kelompok ≤ 3 jenis kelompok makanan (88,6%), dan tertinggi berada pada kelompok balita stunting (94,3%). Sementara keragaman menu makanan tinggi ( ≥ 6 jenis kelompok makanan) berada pada kelompok balita normal (2,9%). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap stunting, antara lain: pendidikan ibu yang rendah (kurang dari 9 tahun), balita dengan riwayat kesehatan kurang (pernah menderita penyakit infeksi), dan balita yang ibunya bekerja (lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja). Sementara faktor-faktor yang merupakan positive deviance masalah stunting yaitu riwayat kehamilan ibu dan praktek sanitasi lingkungan. Hal ini dapat diartikan bahwa balita yang memiliki ibu dengan riwayat kehamilan baik, memiliki peluang terhindar dari stunting 0.385 kali (95%CI: 0.169-0.879) dibanding memiliki ibu dengan riwayat kehamilan kurang baik dengan kebiasaan positif yang dimiliki ibu yaitu: selama kehamilan tidak mengkonsumsi jamu dan melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin. Balita dengan praktek sanitasi lingkungan baik, memiliki peluang terhindar dari stunting 0.491 kali (95%CI. 0.243-0.990) dibanding balita dengan praktek sanitasi lingkungan kurang baik, dengan kebiasaan positif yang significan yaitu: rumah selalu di pel setiap hari sebelum anak bermain, memiliki jarak antara rumah keluarga dengan tetangga, dan memperhatikan kebersihan jamban keluarga setelah digunakan.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN POSITIVE DEVIANCE MASALAH STUNTING BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI KOTA BOGOR
ERNY ELVIANY SABARUDDIN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Gizi Masayarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Tesis Nama NIM
: Kajian Positive Deviance Masalah Stunting Balita pada Keluarga Miskin di Kota Bogor : Erny Elviany Sabaruddin : I 151090061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Ikeu Tanziha, MS Ketua
Yayat Heryatno, SP, MPS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh. M. Rizal. M. Damanik, MRepSc, PhD
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat hidayah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 ini adalah tentang Kajian Positive Deviance Masalah Stunting Balita pada Keluarga Miskin di Kota Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS dan Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan motivasi. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Camat Bogor Barat, Kota Bogor yang telah memberikan izin untuk dapat melaksanakan penelitian, serta berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung di tempat penelitian yang telah memberikan kontribusi bagi penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, namun semoga bermanfaat untuk semua.
Bogor, April 2012 Erny Elviany Sabaruddin
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 26 April 1977. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara pasangan suami isteri Bapak Sabaruddin Buyung (Alm.) dan Ibu Saodah Marasabessy. Pendidikan Sekolah Dasar dijalani selama enam tahun di SD Negeri Latihan I SPG Ambon dan lulus pada tahun 1989. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 13 Ambon hingga tahun 1992 dan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Ambon hingga tahun 1995. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Pattimura Ambon, Fakultas Perikanan. Dikarenakan keadaan Kota Ambon yang tidak kondusif, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Jurusan Teknologi Hasil Perikanan hingga memperoleh gelar sarjana tahun 2006. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan kembali pendidikan strata 2 (S2) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................................ Manfaat Penelitian .....................................................................................
1 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Positive Deviance ...................................................................................... Status Gizi ................................................................................................. Pertumbuhan ......................................................................................... Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting) ............................................ Kemiskinan dan Masalah Gizi .................................................................. Karakteristik Keluarga .............................................................................. Karakteristik Ibu ........................................................................................ Karakteristik Anak Balita ........................................................................... Pengetahuan Gizi dan Kesehatan .............................................................. Masa Kehamilan ........................................................................................ Riwayat Kelahiran ..................................................................................... Riwayat Pemberian ASI ............................................................................. Kesehatan Balita ........................................................................................ Pengasuhan ................................................................................................ Pola Asuh Makan .................................................................................. Pola Asuh Kesehatan ............................................................................ Pola Konsumsi Makan Balita .....................................................................
5 6 9 12 13 16 20 23 23 25 29 30 32 35 36 38 40
KERANGKA PEMIKIRAN ..........................................................................
45
METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ..................................................... Jumlah dan Teknik Pemilihan Sampel ...................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................ Pengolahan dan Analisis Data ................................................................... Definisi Operasional ..................................................................................
49 49 52 52 59
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah Penelitian ........................................................... Karakteristik Keluarga .............................................................................. Karakteristik Ibu ........................................................................................ Karakteristik Anak .................................................................................... Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu ........................................................ Riwayat Kehamilan, Kelahiran dan Konsumsi ASI ..................................
61 62 67 70 72 73
ii
Pola Asuh Makan dan Kesehatan .............................................................. Riwayat Kesehatan Anak Balita ................................................................ Pola Konsumsi Makan Balita ..................................................................... Analisis Hubungan Faktor-faktor Terkait Resiko Stunting ....................... Faktor-faktor yang merupakan Positive Deviance Masalah Stunting ........
77 83 85 93 96
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................
99
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
103
LAMPIRAN ...................................................................................................
111
iii
DAFTAR TABEL Halaman Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting dan wasting .............................................................................................
12
2
Anjuran jumlah porsi untuk balita menurut kecukupan energi ...............
43
3
Pengkategorian dan skala pengukuran variabel penelitian .....................
54
4
Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga .......
64
5
Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengeluaran, jenis pengeluaran serta proporsinya ......................................................................................
65
6
Sebaran contoh berdasarkan karakteristik ibu ........................................
68
7
Rata-rata tinggi badan dan z skor TB/U berdasarkan umur, jenis kelamin dan urutan anak dalam keluarga ................................................
70
8
Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu berdasarkan kelompok balita ........
72
9
Sebaran contoh berdasarkan riwayat kehamilan ibu, kelahiran anak, dan konsumsi ASI ....................................................................................
74
10 Variabel penunjang pada riwayat kehamilan Ibu .....................................
75
11 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan ........................................
79
12 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan ...................................
81
13 Variabel penunjang pada praktek sanitasi lingkungan ............................
82
14 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit anak ...............................
84
15 Sebaran contoh berdasarkan riwayat kesehatan anak .............................
85
16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan seminggu .......................
86
17 Sebaran contoh berdasarkan keragaman makanan seminggu .................
92
18 Hasil regresi logistik stunting .................................................................
94
19 Hasil regresi logistik positive deviance ...................................................
97
1
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Faktor penyebab masalah gizi ...................................................................
46
2 Kerangka pemikiran penelitian .................................................................
47
3 Cara penarikan sampel penelitian...............................................................
51
4 Grafik sebaran Z skor TB/U ......................................................................
71
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta wilayah Kecamatan Bogor Barat .......................................................
113
2 Kuesioner penelitian ..................................................................................
114
3 Rata-rata pengeluaran keluarga contoh .....................................................
126
4 Data pendidikan dan pekerjaan orangtua ..................................................
127
5 Hasil data pengetahuan gizi dan kesehatan ...............................................
128
6 Hasil tabulasi data antar variabel penelitian ...............................................
130
7 Hasil regresi logistik stunting .....................................................................
141
8 Hasil regresi logistik positive deviance ......................................................
146
9 Dokumentasi penelitian .............................................................................
151
PENDAHULUAN Latar belakang Anak-anak merupakan masa depan bangsa yang sangat penting dalam pembangunan SDM yang berkualitas. Masalah anak sangat perlu mendapat perhatian khusus dalam keluarga ataupun masyarakat, karena anak merupakan sumberdaya manusia potensial yang akan mewarisi nilai-nilai dalam keluarga sekaligus sebagai cikal bakal penerus bangsa. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Sedangkan, secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya, dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi maka dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional yang secara perlahan akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita serta rendahnya umur harapan hidup (BAPPENAS 2007). Sejak lahir hingga berusia lima tahun merupakan periode yang penting dalam pertumbuhan anak, karena masa tersebut adalah masa yang rentan dan akan menentukan masa depannya. Masa lima tahun pertama merupakan masa yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis, maupun intelegansinya sehingga masa ini perlu mendapatkan perawatan dan perlindungan yang intensif (Agoes & Poppy 2003). Selain gizi kurang dan gizi buruk, masih banyak masalah yang terkait dengan gizi yang perlu perhatian lebih, diantaranya yaitu stunting atau terhambatnya pertumbuhan tubuh. Stunting adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan tinggi badan menurut umur diukur dengan standar deviasi dengan referensi WHO (Depkes 2009). Stunting pada masa anak-anak dapat mengakibatkan
gangguan
perkembangan
kognitif
dan
terhambatnya
perkembangan mental dan motorik (Hautvast et al. 2000). Data WHO menunjukkan tinggi anak Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan tinggi anak dari negara-negara lain. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010 (Kemenkes 2010a), secara nasional terjadi penurunan prevalensi anak balita stunting dari 36,8 persen (2007) menjadi 35,6 persen (2010). Sementara
2
prevalensi anak balita stunting di Jawa Barat berdasarkan umur 24-59 bulan mendekati angka nasional 33,6 persen. Walaupun secara nasional terjadi penurunan, namun perbedaan persentase yang terjadi sangat sedikit dan menurut WHO (1995) dalam Riyadi (2001), prevalensi stunting 30%-39% masih menggambarkan status gizi yang diklasifikasikan dalam masalah gizi tinggi. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan (Depkes 2009). Secara umum tingkat kemiskinan nasional cenderung terus menurun selama periode 1976-1996 namun krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 mengakibatkan peningkatan secara drastis jumlah orang Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan dan hal ini juga dipengaruhi oleh perubahan metode penghitungan kemiskinan. Pada tahun 1998, tingkat kemiskinan melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 24,2 persen, namun demikian pada tahun 2010 tingkat kemiskinan berhasil diturunkan menjadi 13,3 persen sebesar 31,02 juta orang. Jumlah penduduk Jawa Barat yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar 11.27 juta orang berada di bawah angka nasional (BAPPENAS 2010). Dan pendapatan kota Bogor dibawah garis kemiskinan sebesar Rp. 256.414, - (BPS 2011). Secara nasional prevalensi penyebaran balita stunting berdasarkan segmentasi ekonomi, sebanyak 43,1 persen balita stunting terdistribusi pada populasi keluarga sangat miskin (kuintil 1) 38,9 persen miskin (kuintil 2) 34 persen keluarga sederhana (kuintil 3) 30,7 persen keluarga menengah (kuintil 4) dan keluarga tidak miskin (kuintil 5) 24,1persen. Penurunan prevalensi sesuai dengan peningkatan tingkat pendapatan keluarga namun kecenderungan lain yang terjadi yaitu prevalensi balita pendek di pedesaan lebih tinggi (39,9%) dibandingkan diperkotaan (31,4%) (Kemenkes 2010a). Kondisi ini menggambarkan penyebaran penduduk diperkotaan dengan status ekonomi yang berbeda dengan prevalensi stunting yang sedikit sehingga menunjukkan bahwa tidak selamanya keluarga miskin memiliki anak balita dengan gizi buruk (stunting), oleh karena itu perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut mengenai faktor langsung dan tidak langsung terutama dari faktor pola
3
asuh, status kesehatan yang berpengaruh terhadap status gizi balita khususnya pada keluarga miskin. Pendekatan positive deviance merupakan pemecahan masalah gizi yang berbasis keluarga dan masyarakat, dengan mengidentifikasi berbagai perilaku ibu atau pengasuh yang memilki anak bergizi baik tetapi dari keluarga kurang mampu dan menularkan kebiasaan positif kepada keluarga lain yang memiliki anak dengan gizi kurang. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, melalui penelitian ini dikaji secara mendalam berbagai faktor yang merupakan positive deviance masalah stunting balita pada keluarga miskin. Perumusan masalah Dari uraian di atas maka ada beberapa permasalahan yang ingin diketahui dan dianalisis melalui penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah : 1. Bagaimana karakteristik keluarga miskin yang mempunyai masalah stunting dan tidak stunting (normal) pada keluarga miskin. 2. Bagaimana pengetahuan gizi dan kesehatan ibu balita stunting dan normal pada keluarga miskin. 3. Bagaimana riwayat kehamilan, kelahiran, konsumsi ASI dan riwayat kesehatan balita stunting dan normal pada keluarga miskin 4. Bagaimana pola asuh makan dan pola asuh kesehatan balita stunting dan normal pada keluarga miskin 5. Bagaimana pola konsumsi balita stunting dan normal pada keluarga miskin 6. Bagaimana hubungan resiko stunting dengan karakteristik balita, karakteristik sosek keluarga, karakteristik ibu, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, pola asuh makan dan kesehatan, riwayat kehamilan, kelahiran, konsumsi ASI, riwayat kesehatan, dan pola konsumsi balita. 7. Faktor apa saja yang merupakan positive deviance masalah stunting pada balita di keluarga miskin
4
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji berbagai faktor positive deviance stunting balita usia 24-59 bulan pada keluarga miskin. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi karakteristik balita, ibu, dan sosial-ekonomi keluarga balita stunting dan normal. 2. Mengidentifikasi pengetahuan gizi dan kesehatan ibu balita stunting dan normal. 3. Mengidentifikasi riwayat kehamilan ibu, kelahiran, konsumsi ASI dan kesehatan balita stunting dan normal 4. Mengidentifikasi pola asuh makan dan pola asuh kesehatan balita stunting dan normal 5. Mengidentifikasi pola konsumsi balita stunting dan normal 6. Menganalisis hubungan resiko stunting dengan karakteristik balita, sosial ekonomi keluarga, karakteristik ibu, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, pola asuh makan dan kesehatan, riwayat kehamilan, kelahiran, konsumsi ASI, riwayat kesehatan, dan pola konsumsi balita. 7. Mengkaji faktor-faktor yang merupakan positive deviance masalah stunting pada balitadi keluarga miskin.
Manfaat penelitian Diharapkan penelitian ini akan menjadi dasar penyusunan rencana dan pengembangan program serta bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan alternatif penanggulangan masalah gizi di Kota bogor, menambah khasanah ilmu pengetahuan serta membantu meyakinkan masyarakat khususnya masyarakat ekonomi miskin tentang potensi diri yang dimiliki dalam penanggulangan masalah gizi (stunting) sehingga diharapkan dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA Positive Deviance Positive
Deviance
digunakan
untuk
menjelaskan
suatu
keadaan
penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance dapat dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan serta status gizi yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin dan hidup di lingkungan miskin (kumuh) di mana sebagian besar anak lainnya menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami gizi kurang (Zeitlin et al 1990). Positive Deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan caracara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi dibanding tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu komunitas miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk. Kebiasaan yang menguntungkan sebagai inti program positive deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan (CORE 2003). Adanya pengaruh perilaku terhadap masalah gizi, memerlukan pengamatan untuk mengetahui perilaku seperti apa, yang diperlukan untuk menanggulangi masalah gizi pada anak. Salah satu bentuk pengembangan perilaku dalam penanggulangan masalah gizi adalah positive deviance yang telah dilakukan di Jakarta, Bogor, dan Lombok Timur. Hasilnya adalah interaksi ibu dengan anak usia 6 – 17 bulan berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-anak yang selalu diupayakan untuk mengkonsumsi makanan, mendapatkan senyum dari ibu,
6
keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang mendapatkan perhatian orangtua (Jahari et al 2000). Status Gizi Status gizi adalah ekspresi dari keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi panganan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2004). Status gizi adalah tandatanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Status gizi masyarakat terutama digambarkan oleh status gizi anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu, sasaran utama dari program perbaikan gizi makro berdasarkan siklus kehidupan, dimulai pada wanita usia subur, ibu hamil, bayi baru lahir, balita dan anak sekolah (Gibson 2005). Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) menyatakan bahwa penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Patokannya berdasarkan hal yang sama yakni penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (LIPI 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah kesadaran gizi, persediaan pangan, daya beli masyarakat dan kesehatan individu, yang saling tidak dapat terpisahkan. Unicef (1998) menyatakan bahwa status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan saja, melainkan secara garis besar disebabkan oleh dua determinan utama, yaitu determinan langsung dan determinan tidak langsung. Determinan langsung merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari individu itu sendiri. Hal ini meliputi intik makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro) dan adanya penyakit infeksi, sedangkan yang dimaksud determinan tidak langsung adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari lingkungan rumah. Determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan. Namun, faktor yang mendasarinya adalah kemiskinan.
7
Sementara WHO mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi seperti infeksi, distribusi zat gizi pada anggota keluarga, ketersediaan pangan serta penghasilan rumah tangga. WHO melihat bahwa status gizi kurang dipengaruhi oleh pokok masalah dimasyarakat (kurang pendidikan, pengetahuan, ketrampilan) akan berdampak pada kurangnya persediaan pangan, pola asuh anak yang kurang baik, pemberian pelayanan kesehatan dasar tidak terpenuhi sehingga pemberian makan tidak seimbang yang pada akhirnya terjadilah status gizi kurang (Suryono & Supardi 2004). Secara tidak langsung status gizi masyarakat dapat diketahui berdasarkan penilaian terhadap data kuantitatif maupun kualitatif konsumsi pangan. Informasi tentang konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survei yang akan menghasilkan data kuantitatif (jumlah dan jenis pangan) dan kualitatif (frekuensi makan dan cara mengolah makanan). Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara biokimia, dietetika, klinik dan antropometri. Cara yang paling umum dan mudah digunakan untuk mengukur status gizi di lapangan adalah pengukuran antropometrik. Indeks antropometri yang dapat digunakan adalah Berat Badan per Umur (BB/U); Tinggi Badan per Umur (TB/U); Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB); Lingkar lengan atas terhadap umur (LLA/U); Indeks Massa Tubuh (IMT); Tebal Lemak Bawah Kulit menurut Umur; Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul (Depkes 2005). Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000). Alat ukur. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui berat badan yaitu ada 2 macam timbangan yaitu tipe Salter spring balance (timbangan gantung) dan tipe Bathroom scale. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui panjang/tinggi badan yaitu Baby length board (untuk bayi) dan Vertical measures (microtoise). Untuk mengukur lingkar lengan atas (LILA) dengan menggunakan pita ukur nonelastis, sebagai alternatif bila tidak memungkinkan mengukur berat badan dan tinggi badan .
8
Analisis hasil pengukuran antropometri. Ada tiga cara yang biasa digunakan, antara lain : 1. Nilai Skor-Z atau SD Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai nilai SD atau skor-Z di bawah atau di atas nilai mean atau median rujukan. Dikatakan gizi normal, bila antara -2SD sampai +2SD. Gizi kurang, bila <-2SD. Dan gizi lebih, bila >+2SD. WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Dengan ambang batas (cut off points), yaitu : - 1 SD unit (1 Z-skor) ± 11% dari median BB/U - 1 SD unit (1 Z-skor) ± 10% dari median BB/TB - 1 SD unit (1 Z-skor) ± 5% dari median TB/U Rumus perhitungan z-skor, adalah: Z-skor =
Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan
2. Nilai persen terhadap nilai median Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai persen dari nilai median rujukan, yaitu hasil analisis: Gizi baik, bila 90% median TB-U mendekati nilai -2SD, 80% median BB-TB mendekati nilai -2SD, dan 80% median BB-U mendekati nilai -2SD. Gizi kurang, bila 71%-80% median TB-U mendekati nilai -2SD, 71%-80% median BB-TB mendekati nilai -2SD, dan 61%-70% median BB-U mendekati nilai -2SD. Rumus perhitungan yang digunakan adalah: Nilai Individu Subjek Nilai Median
X 100%
3. Nilai persentil Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai posisi individu dalam sebaran populasi rujukan. Dikatakan normal, bila antara persentil 5 dan 95. Kurang, bila kurang persentil 5. Dan Lebih, bila lebih persentil 95.
9
Status Gizi diukur dengan BB/U atau TB/U atau BB/TB dikatakan normal apabila angka atau nilai z-skor terletak antara -2 SD sampai 2 SD dari nilai median standar WHO. Status gizi dikatakan kurang, apabila nilai ketiga jenis ukuran diatas kurang dari -2 SD atau di bawahnya. Nilai tersebut menjadi buruk, apabila nilainya berada di bawah dari -3 SD. Sebaliknya apabila nilai z-skor di atas 2 SD maka disebut gizi lebih (gemuk) dan diatas 3 SD dikatakan gemuk sekali (Soekirman 2000). Pertumbuhan Pertumbuhan adalah perubahan ukuran fisik dari waktu ke waktu yang merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan mengikuti perjalanan waktu (Jahari 2002). Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan ukuran, besar, jumlah atau dimensi pada tingkat sel, organ maupun individu. Pertumbuhan bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dengan satuan berat (gram, kilogram), satuan panjang (cm, m), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh) (Tanuwijaya 2003). Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk dalam faktor internal adalah genetik, obstetrik dan jenis kelamin, yang termasuk dalam faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obatobatan dan penyakit (Supariasa 2002). a. Genetik Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orang tuanya dalam hal bentuk tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Diasumsikan bahwa selain aktivitas nyata dari lingkungan yang menentukan pertumbuhan, kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Namun gen tidak secara langsung menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi ekspresi gen yang diwariskan kedalam pola pertumbuhan dijembatani oleh beberapa system biologis yang berjalan dalam suatu lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Misalnya gen dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon pertumbuhan dari glandula endokrin dan menstimulasi pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan terhadap status kematangannya (matur state). Sistem endokrin juga merespon pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berefek terhadap perkembangan, dan
10
mungkin berfungsi sebagai suatu mekanisme yang menyatukan interaksi antara gen dan lingkungan untuk membentuk pola pertumbuhan tiap-tiap manusia (Bogin 1999). b. Lingkungan Lingkungan biofisik dan psiko-sosial merupakan faktor yang mempengaruhi individu setiap hari dan sangat berperan penting dalam menentukan tercapainya potensial bawaan. Menurut Soetjiningsih (2004) secara garis besar lingkungan dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan post natal. Lingkungan Pra Natal Lingkungan pra natal adalah terjadi pada saat ibu sedang hamil, yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa konsepsi sampai lahir, antara lain seperti : a) Gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang menyebabkan cacat bawaan. Selain dari pada itu kekurangan gizi dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi, dan akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan. b) Mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang, dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor zat kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obatobatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan, kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah. c) Faktor hormon yaitu hormon endokrin yang juga berperan pada pertumbuhan janin adalah somatotropin, yang disebut juga hormon pertumbuhan. Hormon ini berperan mengatur pertumbuhan somatik terutama pertumbuhan kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat dipengaruhi oleh hormon ini. Growth hormon merangsang terbentuknya somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan, dan aktivitasnya meningkat pada malam hari pada saat tidur, sesudah makan, sesudah latihan fisik, perubahan kadar gula darah dan sebagainya.
11
d) Stress ibu saat hamil, infeksi, immunitas yang rendah dan anoksia embrio atau menurunnya jumlah oksigen janin melalui gangguan plasenta juga dapat menyebabkan kurang gizi dan berat badan bayi lahir rendah (BBLR). Lingkungan Post Natal Lingkungan post natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara lain lingkungan biologis, seperti ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan fungsi metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut berpengaruh. c. Penyakit Infeksi Penyakit infeksi berkaitan dengan status gizi yang rendah, hubungan kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh dimana balita yang mengalami kekurangan gizi dengan asupan energi dan protein yang rendah, maka kemampuan tubuh untuk membentuk protein yang baru berkurang. Tubuh akan rawan terhadap serangan infeksi karena terganggunya pembentukan kekebalan tubuh seluler (Jellife 1989). Pertumbuhan pada usia 2 tahun pertama dicirikan dengan pertambahan gradual baik pada kecepatan pertumbuhan linier maupun laju pertambahan berat badan. Pertumbuhan bayi cenderung ditandai dengan pertumbuhan cepat (spurt of growth) yang dimulai pada usia 3 bulan hingga usia 2 tahun, kemudian pada usia 2 tahun hingga 5 tahun pertumbuhan anak menjadi lebih lambat dibandingkan ketika masih bayi, walaupun pertumbuhan terus berlanjut dan akan mempengaruhi ketrampilan motor, sosial, emosional dan perkembangan kognitif (Seifert & Hoffnung 1997). Proses pertumbuhan anak berlangsung pada sel, organ dan tubuh. Pertumbuhan tersebut terjadi dalam tiga tahap, yaitu hiperplasia (bertambahnya jumlah sel), hyperplasia dan hipertropi (bertambahnya ukuran dan kematangan sel). Selanjutnya, setiap organ atau bagian tubuh lain mengikuti pola pertumbuhan yang berbeda dalam setiap tahapan tersebut (Anwar 2002).
12
Pertumbuhan pada masa kanak-kanak adalah proses yang relatif stabil. Pertumbuhan ponderal yang dilihat dari kenaikan berat badan rata-rata pada 6 bulan pertama naik sebesar 0,5-1,0 kg per bulan dan kenaikan pada 6 bulan kedua berkisar dari 0,35-0,50 kg per bulan. Sementara selama tahun kedua, angka penambahan berat badan sekitar 0.25 kg per bulan dan pada usia 10 tahun kenaikan berat badan sebesar 2 kg per tahun. Pertumbuhan linier yang dilihat dari pertambahan panjang badan hingga tahun pertama kehidupan bertambah 50 persen dari panjang badan lahir dan menjadi dua kali lipat pada akhir tahun keempat. Hingga usia 4 tahun, wanita tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan dengan pria dan keduanya kemudian tumbuh dengan laju rata-rata 5-6 cm per tahun sampai munculnya masa pubertas (Jellife 1994). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada saat yang cukup lama. Indeks TB/U di samping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dalam masalah sosial ekonomi (Jahari 2002). Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting) Pertumbuhan linier yang tidak sesuai umur merefleksikan masalah gizi kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak mampu mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang tidak memadai (ACC/SCN 1997). WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi underweight, wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei. Tabel 1 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting dan wasting Klasifikasi Berat Masalah Gizi Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Prevalensi Underweight (%)
Prevalensi Stunting (%)
Prevalensi Wasting (%)
<10 10-19 20-29 ≥30
<20 20-29 30-39 ≥40
<5 5-9 10-14 ≥15
Sumber : WHO (1995), diacu dalam Riyadi (2001)
13
Pada keadaan Stunted, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Kemenkes 2010a). Gangguan tumbuh kembang dapat dicegah dan diperbaiki melalui: perbaikan konsumsi, suplemen dan penyuluhan gizi, peningkatan kualitas pola asuh, pelayanan kesehatan dan pencegahan terhadap infeksi sesuai dengan kerangka UNICEF (1998). Kemiskinan dan Masalah Gizi Secara luas miskin diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya dimana kebutuhan disini diartikan secara relatif sesuai dengan persepsi dirinya. Kebutuhan tersebut mencakup berbagai aspek baik ekonomi, sosial, politik, emosional maupun spiritual. Pengertian kemiskinan menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hakhak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi di Indonesia, sehingga pemecahannya memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan terarah serta berkesinambungan. Untuk penanggulangan kemiskinan, maka seluruh unsur bangsa harus ikut serta memberikan perhatian terhadap kemiskinan, tidak hanya pemerintah semata (BPS 2011). Berbagai pendekatan untuk mengukur kemiskinan, dan tidak ada satu pun yang sempurna dan bisa menjadi standar umum. Belum tentu standar-standar nasional cocok untuk setiap wilayah, di mana keadaan ekonomi rumah tangga dan budaya cukup beragam. Indonesia mengenal tiga model untuk mengukur tingkat „kemiskinan‟. Ketiga model tersebut memiliki cara pandang dan lingkup pengertian yang berbeda (Cahyat 2004), antara lain :
14
Model Tingkat Konsumsi Pada awal tahun 1970-an, Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Dia membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun. Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari Sayogyo, Pada tahun 1984 Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perhitungan jumlah dan persentase penduduk miskin dengan menggunakan modul konsumsi Susenas (Survey sosial ekonomi nasional). BPS menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. Dari sisi akurasi, survey BPS memiliki kaidah-kaidah statistik yang harus dijalankan dalam survey dan pengolahan data. Sehingga secara metodologi statistik, lebih dapat dipertanggung jawabkan. Dari sisi fleksibilitas standar, model BPS lebih fleksibel dalam penilaian dengan dasar penilaian berdasarkan „Garis Kemiskinan‟ yang ditetapkan setiap tiga tahun sekali baik untuk tingkat nasional maupun tingkat propinsi. Garis kemiskinan yang sering dijadikan rujukan internasional antara lain sebesar $1 atau $2 Amerika Serikat per hari per kapita. Bank Dunia adalah badan internasional yang seringkali menggunakan cara ini, dengan menyusun indikator tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran. Model Kesejahteraan Keluarga Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survei yang digunakan yaitu keluarga. Hal ini sejalan dengan visi dari program Keluarga Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan
15
Keluarga untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: 1) Data demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dll.; 2) Data keluarga berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, dll.; 3) Data tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera (sangat miskin), sejahtera I (miskin), II, III dan III plus. 4) Data individu, seperti nomor identitas keluarga, nama, alamat, dll. Dari data tersebut kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai tingkat RT, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai dengan tingkat Nasional. Dilakukan secara rutin setiap tahun, sehingga digunakan untuk program-program pemberian bantuan bagi keluarga dan penduduk miskin. Model Pembangunan Manusia Pendekatan
Pembangunan
Manusia
dipromosikan
oleh
lembaga
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu United Nation Development Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) dibuat pertama kali pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara. Pemerintah Indonesia lewat Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) turut mengembangkan model ini. HDR yang pertama dibuat pada tahun 1996 untuk situasi tahun 1990 dan 1993. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 telah menjadikan model ini sebagai model pembangunan nasional yang disebut sebagai "Pembangunan Manusia Seutuhnya". Laporan terakhir adalah laporan tahun 2004 yang menjelaskan keadaan pada tahun 1999 dan 2002. HDR adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir. Berisikan penjelasan tentang empat index yaitu Index Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Index Pembangunan Jender atau Gender Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender Empowerment Measure (GEM) dan Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI). Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas
16
tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi. Sumber data yang digunakan adalah survey dan sensus yang dibuat oleh BPS. Namun demikian, laporan Pembangunan Manusia sangat terbatas hanya tiga tahun sekali dan skala survey umumnya tingkat propinsi yang ditingkatkan sampai kabupaten. Penilaian kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan model tingkat konsumsi berdasarkan BPS menggunakan „Garis kemiskinan‟ untuk menghitung pengeluaran penduduk dan rumah tangga meliputi kebutuhan makanan dan non makanan. Selanjutnya penduduk dikelompokkan menjadi penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada pada dan dibawah garis kemiskinan. Sedang penduduk tidak miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan. Garis kemiskinan kota Bogor, menurut BPS (2011) yaitu Rp. 256.414,-. Menurut BAPPENAS (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, secara
langsung menyebabkan hilangnya
produktivitas
karena
kelemahan fisik. Kedua, secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat. Karakteristik Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU RI 1992). Keluarga merupakan lingkungan terdekat dari anak yang peranannya penting dalam tumbuh kembang anak. Karakteristik keluarga adalah segala hal yang melekat pada keluarga tersebut dan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Keadaaan sosial
17
ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga turut menentukan status gizi keluarga tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial adalah (Supariasa 2002): a. Keadaan penduduk suatu masyarakat b. Keadaan keluarga. c. Tingkat pendidikan orang tua d. Keadaan rumah Sedangkan data ekonomi dari faktor sosial ekonomi meliputi : a. Pekerjaan orang tua. b. Pendapatan keluarga. c. Pengeluaran keluarga. d. Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim. Dalam penelitian ini, karakteristik keluarga yang diuraikan antara lain umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga. Umur Orang Tua. Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan umur muda cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anak dan keluarga. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock 1998). Pendidikan orangtua. Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah seseorang dalam menerima informasi (Hidayat 2004). Tingkat pendidikan yang rendah menandakan minimmya kualitas sumberdaya manusia dan berdampak buruk terhadap aspek kehidupan secara keseluruhan. Lamanya sekolah atau pendidikan (years of schooling) adalah sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk
18
sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir (BPS 2007, diacu dalam Khomsan 2007). Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Madanijah (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Pendidikan ibu tidak berhubungan secara langsung dengan pertumbuhan anak, namun melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas dan efisiensi penjagaan
kesehatan,
peningkatan
pengasuhan,
karakteristik
keluarga,
peningkatan nilai dan tingkat kesukaan dalam keluarga (Atmarita 2004). Status pendidikan keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Keluarga dengan tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan sulit meyakini pentingnya pemenuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat 2004). Besar Keluarga. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumahtangga. Besar keluarga akan mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sukandar 2007).
19
Keluarga yang mempunyai banyak anak akan menimbulkan banyak masalah bagi keluarga tersebut, jika penghasilan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam penelitian di Indonesia membuktikan, jika keluarga mempunyai anak hanya tiga orang, maka dapat mengurangi 60% angka kekurangan gizi anak balita. Keluarga/ibu yang mempunyai banyak anak juga menyebabkan terbaginya kasih sayang dan perhatian yang tidak merata pada setiap anak (Almatsier 2004). Jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil dan jumlah anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga besar, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil (Berg 1986). Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam satu bangunan rumah yang akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak (Khomsan 2007). Selanjutnya hasil penelitian Suradi dan Chandradewi (2007) menunjukkan semakin kecil jumlah anggota keluarga, maka ibu mempunyai waktu yang banyak untuk mengasuh anak sehingga tumbuh kembang anak dapat dipantau. Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga. Pekerjaan atau mata pencaharian berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan akan terkait dengan faktorfaktor lain seperti kesehatan. Anak-anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Harper, Deaton & Driskel 1986). Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah, melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Meyer dan Dusek (1992) mengatakan bahwa banyaknya waktu ibu rumah tangga yang digunakan untuk mengasuh anak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keadaan gizi anak. Anak yang belum dilepaskan sendiri, maka kebutuhan sehari-hari seperti makan, berpakaian dan lain-lain tergantung pada orang lain terutama ibu. Seorang ibu, baik sebagai ibu rumah tangga maupun pekerja selalu dihadapkan pada berbagai kesibukan yang memerlukan pengaturan waktu. Menurut Satoto (1997), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak.
20
Menurut Berg (1986), terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini diperkuat oleh Suhardjo (1989) bahwa apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk-pauk akan meningkat pula mutunya. Meningkatnya pendapatan keluarga akan diikuti perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Keluarga yang berpenghasilan rendah, menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan. Pada kondisi pendapatan yang rendah orang tidak memikirkan kualitas makanan yang dikonsumsi. Tinggi Badan Orangtua. Tinggi badan orang tua merupakan salah satu faktor dalam melihat tinggi badan anak. Bock (1986) dalam Bogin (1999), melakukan penelitian secara longitudinal tentang pengaruh genetik terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak laki-laki dan anak perempuan yang hidup dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi menengah dan latar belakang kultur ethiopian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya variasi pertumbuhan yang diwarisi dari orang tuanya dalam pola pertumbuhan seorang anak. Variasi tersebut mengindikasikan suatu Major genetik component dalam penentuan ukuran dan kecepatan pertumbuhan seseorang. Faktor-faktor yang berperan dalam tinggi badan seorang anak adalah genetik dan lingkungan. Untuk daerah-daerah di negara berkembang faktor lingkungan dianggap lebih berperan terhadap pertumbuhan tinggi badan dibandingkan dengan faktor genetik. Anak-anak di negara maju badannya lebih tinggi dan besar dari anak di negara berkembang. Anak dari kelompok di negara miskin lebih kecil dan pendek daripada anak-anak kelompok keluarga mampu dari suku atau ras yang sama (Jahari 1988). Karakteristik Ibu Karakteristik ibu dalam penelitian ini yang berkaitan dengan kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan jumlah anak ideal, jarak kelahiran anak yang ideal dan usia ideal untuk melahirkan dan mengakhiri
21
kehamilan. Selain itu, penyakit yang diderita ibu pada masa perencanaan kehamilan akan mempengaruhi keadaan bayi yang dilahirkan. Kebijakan dalam Program KB Nasional dilakukan melalui „Reproduksi Sehat‟ diharapkan bahwa perempuan tidak hamil dan melahirkan sebelum usia 20 tahun dan sesudah usia lebih dari 30 tahun. Jarak yang aman untuk hamil dan melahirkan adalah usia 20–30 tahun dengan jarak melahirkan yang aman dari anak yang satu ke anak berikutnya adalah 3-5 tahun, sehingga diharapkan selama masa suburnya wanita hanya melahirkan dua orang anak saja dan maksimalnya adalah tiga orang (Saputra 2009). Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan anemia. Hal ini disebabkan belum pulihnya kondisi ibu dan pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi belum optimal tetapi tubuh sudah harus memenuhi kebutuhan gizi janin yang dikandungnya. Ibu hamil yang memiliki jarak kelahiran kurang dari dua tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita anemia (Wibowo & Basuki 2006). Graef et al. (1996) mengemukakan bahwa makin muda atau makin tua usia ibu, maka makin tinggi resiko ibu beserta anaknya. Bila seorang ibu telah melahirkan anak lebih dari empat orang anak, maka resiko ibu dan anaknya makin besar pada setiap kelahiran berikutnya. Taylor dalam penelitian di Thailand tahun 1970 menyebutkan bahwa ada hubungan kematian ibu dengan umur ibu. Ibu yang melahirkan di bawah 20 tahun dan melahirkan di atas 35 tahun mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan dalam umur 20-34 tahun (Saputra 2009). Walaupun demikian, hasil penelitian Ventura et al. (1997), usia ketika orang tua memulai keluarga telah berubah selama beberapa dekade terakhir di Amerika Serikat, dengan peningkatan substantial angka kelahiran pada wanita berusia 30 sampai 40 tahun dan penurunan angka kelahiran pada wanita yang berusia 20 sampai 29 tahun (Wong 2008). UU No 10 tahun 1992 menginsyaratkan agar keluarga-keluarga di Indonesia mempunyai anak yang ideal. BKKBN sendiri sebagai pengelola dan pelaksana Program KB menetapkan motto ”dua anak lebih baik”. UU NO 10 tahun 1992 menyebutkan bahwa salah satu tugas pokok pembangunan keluarga berencana menuju pembangunan keluarga sejahtera adalah upaya pengaturan kelahiran. Program KB tidak hanya berupaya untuk mengendalikan laju pertumbuhan
22
penduduk, namun juga menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera. Melalui Program KB setiap pasangan bisa merencanakan kehidupan dengan lebih baik, sehingga dengan motto ”dua anak lebih baik” setiap rumah tangga bisa mendidik serta memberi nutrisi yang baik bagi anak-anaknya. Jumlah anak yang sedikit dapat mendorong kesehatan penduduk perempuan sehingga memiliki waktu yang lebih untuk berkontribusi baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat (Saputra 2009). Konsumsi makanan yang rendah disebabkan oleh adanya penyakit terutama penyakit infeksi saluran pencernaan. Disamping itu jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga (Supariasa 2002). Selanjutnya penelitian Wyon dan Gordon tentang pengaruh anak yang terlampau dekat di Punjab, India (1980) menyebutkan bahwa kematian bayi baru lahir dan anak meningkat kalau jaraknya kurang dari 2 tahun sejak kelahiran anak sebelumnya, dan angka kematian itu akan menurun dengan cepat kalau jaraknya menjadi lebih lama (Saputra 2009). Jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu dan jarak anak yang terlalu dekat berhubungan erat dengan beban pekerjaan rumah tangga dan juga berpengaruh terhadap kemampuan fisiologis tubuh ibu menyediakan nutrisi bagi bayinya. Hasil penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan status gizi terhadap fertilitas menunjukkan bahwa bayi yang mempunyai saudara kandung dengan jumlah yang sedikit, status gizinya lebih baik dibandingkan dengan bayi yang mempunyai saudara kandung dalam jumlah yang lebih banyak (Zeitlin et al. 1990). Hadirnya seorang anggota keluarga baru berpengaruh terhadap anak yang lebih tua, bila perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun bisa dikatakan merupakan suatu ancaman bagi anak yang lebih tua. Pada saat usia anak paling tua masih kecil, konsep diri belum matang sehingga muncul perasaan terancam. Seorang anak yang lebih tua mempunyai tingkat pemahaman yang lebih baik terhadap situasi yang terjadi dan tidak lagi memandang kehadiran anggota baru sebagai suatu ancaman walaupun ia mengalami kehilangan kedudukannya sebagai anak semata wayang. Berbagai studi telah dilakukan dan menunjukkan bahwa terdapat kasih sayang yang lebih besar dan lebih sedikit persaingan atau perasaan kesepian
23
pada anak yang mempunyai adik baru dengan perbedaan usia sekitar 3 tahun atau lebih. Namun, temuan tersebut tidak konsisten (Wong 2008). Karakteristik Anak Balita Karakteristik anak adalah segala hal yang melekat pada diri anak, baik fisik maupun non fisik. Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh kembang dari beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan urutan kelahiran anak (Hurlock 1997). Jenis
kelamin
anak
akan
mempengaruhi
bagaimana
orangtua
memperlakukan anaknya, seperti anak laki-laki biasanya lebih diberi kebebasan oleh orangtua dibandingkan dengan anak perempuan (Santrock 2003). Umur anak mempengaruhi kuantitas waktu ibu untuk pengasuhan. Diatas umur dua tahun anak makin mandiri dan mempunyai jaringan sosial yang lebih luas dan ketergantungan dengan ibu mulai berkurang (Hurlock 1997). Hasil penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan negatif antara umur anak dengan status stunting pada anak balita. Selanjutnya menurut Ramli et al. (2009) prevalensi stunting tertinggi terjadi pada saat anak berusia 24-59 bulan. Urutan kelahiran anak mempengaruhi ibu dalam pengasuhan. Anak tunggal, anak pertama dan anak bungsu biasanya akan mendapatkan perhatian yang lebih baik dibandingkan dengan anak lainnya (Maulani 2002). Anak tengah menurut Wong (2008), lebih dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, jarang dipuji, menerima kekurangan waktu untuk bersama dengan orang tua, dan lebih dituntut untuk berkompromi dan beradaptasi. Penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan positif antara urutan kelahiran dengan status stunting pada anak balita. Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal ini dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui (Winkel 2007). Berg (1986) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap
24
konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal serta melalui media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua juga ikut menentukan mudah dan tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh, serta berperan dalam penentu pola penyusunan makanan dan pola pengasuhan anak. Dalam pola penyusunan makanan erat hubungannya dengan pengetahuan ibu mengenai bahan makanan seperti sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Apriadji 2007). Pengetahuan tentang gizi akan membantu dalam mencari berbagai alternatif pemecahan masalah kondisi gizi keluarga. Untuk menanggulangi kekurangan konsumsi yang disebabkan oleh daya beli yang rendah, perlu diusahakan peningkatan
keluarga
dengan
memanfaatkan
pekarangan
sekitar
rumah
(Sediaoetama 2006). Dewasa ini, pemberian atau penyajian makanan keluarga di kota masih kurang mencukupi. Kebanyakan keluarga telah merasa lega kalau sudah mengkonsumsi makanan pokok (Kartasapoetra 2005). Menurut Suhardjo (2005) bahwa peningkatan pengetahuan gizi terhadap konsumsi didasari atas tiga kenyataan, yaitu: 1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. 2) Setiap orang hanya akan cukup gizi yang diperlukan jika makanan yang dimakan mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi. 3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan yang baik bagi perbaikan gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Penelitian Mariani (2002), menemukan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi akan membiasakan anaknya untuk lebih memilih makanan yang sehat dan memenuhi kebutuhan gizi. Hasil penelitian Martianto et al. (2008), pengetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan dengan pendidikan ibu. Menurut Sandra (2007), seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang
mampu
menyusun
makanan
yang
memenuhi
persyaratan
gizi
25
dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Pengetahuan gizi seseorang dapat diukur dengan cara melakukan tes bentuk objektif. Menurut Syah (2002), bentuk tes objektif adalah tes yang jawabannya dapat diberi skor secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Tes objektif ini ada lima macam yaitu tes benar salah, tes pilihan berganda (Multiple choice), tes pencocokan, tes isian dan tes perlengkapan. Khomsan (2007) mengemukakan bahwa untuk mengukur pengetahuan gizi seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan instrument berbentuk pertanyaan pilihan ganda (Multiple choice). Dan pengkategorian dalam pengetahuan gizi berdasarkan penetapan cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen. Masa Kehamilan Kehamilan merupakan masa yang penting karena masa ini mempengaruhi kualitas anak yang akan dilahirkan. Pemeliharaan kehamilan dimulai dari perencanaan menu yang benar (Paath 2005). Kebutuhan zat gizi. Kebutuhan zat gizi selama kehamilan dapat terpenuhi dari makanan normal yang bervariasi, kecuali kebutuhan akan zat besi. Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini diperlukan dalam pembentukan darah, yaitu dalam sintesa hemoglobin. Kehadiran protein hewani, vitamin C, zink (Zn), asam folat, dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh. Namun pada sebagaian menu masyarakat juga mengandung serat dan fitat yang merupakan faktor penghambat penyerapan besi (Sediaoetama 1999). Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus mendapatkan tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi. Menurut Arisman (2004), jika seluruh bahan makanan ini digunakan, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan akan terpenuhi, kecuali zat besi dan asam folat harus ditambahkan melalui suplementasi. Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat,
26
cukup bulan dengan berat badan normal. Selama masa kehamilan metabolisme energi semakin meningkat sehingga kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat pula. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Sehingga kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna. Oleh karena itu kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil (Lubis 2003). Kebiasaan – kebiasaaan yang dilakukan saat kehamilan. Pemeriksaan saat hamil merupakan suatu hal yang penting yang harus dilakukan untuk mengetahui kesehatan janin. Menurut Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (Depkes 2005), kunjungan kehamilan atau kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama kehamilan yaitu satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga. Pelayanan/asuhan standar minimal termasuk “7T” yaitu : (Timbang) berat badan; ukur (Tekanan) darah; ukur (Tinggi) fundus uteri; Pemberian imunisasi (Tetanus Toksoid) TT lengkap; Konsumsi Tablet tambah darah, minimum 90 tablet selama kehamilan; Tes terhadap Penyakit Menular Seksual ; serta Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan. Keuntungan pengawasan antenatal adalah diketahuinya secara dini keadaan risiko tinggi ibu dan janin sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih intensif, memberikan pengobatan sehingga risikonya dapat dikendalikan, melakukan rujukan untuk mendapatkan tindakan yang adekuat serta segera dapat dilakukan terminasi (Manuaba 1998). Menurut Wibowo dan Basuki (2006), perawatan kehamilan dapat menurunkan resiko kematian bayi dalam dua tahun pertama. Sementara itu, perawatan kehamilan oleh dokter akan menurunkan resiko 1,2 kali resiko kematian bayi dibandingkan yang tidak pernah melakukan perawatan kehamilan. Meminum jamu merupakan kebiasaan atau tradisi turun temurun yang diwariskan dari nenek moyang. Menurut dr. Hasnah Siregar, Sp.OG, dari RSAB Harapan Kita, Jakarta, bahwa baiknya minum jamu di saat hamil maupun setelah melahirkan, walaupun ilmu kedokteran belum pernah meneliti tentang kandungan
27
dari bahan-bahan jamu tersebut. Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada di bawah pengawasan dokter kandungan. Sebaiknya membuat jamu buatan sendiri yang segar dan tidak dalam bentuk kemasan, sehingga lebih fresh dan juga terjamin kehigienisannya. Sesuaikan dosis pemakaiannya, disertai pemeriksaan antenatal care pada ginekolognya. Selanjutnya Kepala Balitbangkes Depkes, Prof.Dr. Umar Fahmi Achmadi MPH, PhD, jamu merupakan alternatif obat alamiah yang berfungsi untuk menjaga kondisi kesehatan, "Bukan mencegah dan mengobati kemungkinan seseorang terkena penyakit karena yang digunakan untuk mengobati penyakit adalah obat-obatan" (Melindacare 2010). Dalam mengkonsumsi jamu harus berhati-hati, terutama bila ada riwayat keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya. Pada trimester pertama yang merupakan masa sangat rentan bagi kehamilan karena pada tersebut janin sedang membentuk organ-organ vital seperti mata, hidung, telinga, pertumbuhan otak, dan lainnya. Kemungkinan pada trimester kedua bisa lebih longgar karena pembentukkan organ-organ janin sudah sempurna, tinggal mengembangkan dan meningkatkan pertumbuhannya, tapi meskipun demikian harus tetap berhati-hati. Karena terkadang ada jamu yang pedas sehingga membuat perut menjadi mulas. Dikhawatirkan akan mengakibatkan kelahiran prematur (Melindacare 2010). Umur saat hamil. Sebagian masalah kesehatan adalah berkaitan dengan usia-resiko mengalami masalah kesehatan akan meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Usia mempengaruhi fertilitas (kesuburan), fertilitas mulai menurun saat wanita berusia 20 tahun, menurun dengan cepat setelah anda berusia 35 tahun. Pasangan yang lebih tua dari 35 tahun membutuhkan waktu dua kali lipat dari pasangan yang lebih muda (1,5 sampai 2 tahun). Seorang wanita yang berusia di atas 40 tahun membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat mengandung karena ovulasi sudah kurang sering terjadi (Curtis & Asih 2000). Penyulit pada kehamilan remaja, lebih tinggi dibandingkan „kurun waktu reproduksi sehat‟ antara umur 20 sampai 30 tahun. Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan (stres) psikologis, sosial, ekonomi,
28
sehingga memudahkan terjadinya: keguguran, persalinan prematur, berat badan lahir rendah (BBLR) dan kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia kehamilan, keracunan kehamilan (gestosis) dan kematian ibu yang tinggi (Manuaba 1998). Wanita berusia lebih dari 30 tahun yang hamil sering kali mendapatkan informasi yang lebih baik tentang kehamilannya. Mereka pada umumnya tertarik dengan apa yang sedang terjadi pada diri mereka dan bayi yang sedang tumbuh dalam kandungannya serta berkeinginan untuk merawat kesehatan mereka. Dengan alasan ini, banyak peneliti sekarang berkeyakinan bahwa resiko tidak banyak meningkat hanya karena usia wanita hamil lebih tua. Kebanyakan wanita dapat mempunyai kehamilan dan melahirkan bayi yang sehat pada usia mereka yang memasuki usia 40 tahun, dengan perawatan pralahir yang baik secara signifikan dapat mengurangi komplikasi kehamilan (Curtis & Asih 2000). Masalah-masalah pada kehamilan. Beberapa peneliti menetapkan kehamilan dengan resiko tinggi, antara lain oleh umur kurang dari 19 tahun, umur di atas 35 tahun, jarak anak terlalu dekat, tinggi badan kurang dari 145 cm, kehamilan dengan penyakit ibu yang mempengaruhi kehamilan (faktor genetik), serta riwayat kehamilan yang buruk disebabkan oleh pernah keguguran, pernah persalinan
prematur,
lahir
mati,
riwayat
persalinan
dengan
tindakan,
preeklampsia-eklampsia, gravida serotinus, kehamilan dengan perdarahan antepartum serta kehamilan dengan kelainan letak (Manuaba 1998). Masalah-masalah yang lebih sering ditemukan dokter pada wanita hamil dengan usia yang lebih dari 30 tahun termasuk kehamilan yang diperberat oleh diabetes, tekanan darah tinggi dan masalah plasenta. Wanita yang berusia lebih dari 30 tahun mempunyai kecenderungan tinggi untuk mengalami keguguran, kelahiran dengan abnormalitas genetik dan kromosom. Setelah usia 40 tahun, wanita merasakan ketegangan fisik karena kehamilan. Mereka akan lebih terganggu oleh wasir, inkontinensia, varises, nyeri dan pegal otot, dan nyeri pinggang (Curtis & Asih 2000). Komplikasi yang sering terjadi di Indonesia yakni perdarahan, partus lama, demam/infeksi, dan preeklamsia/eklamsia. Ibu hamil dikatakan mengalami komplikasi persalinan jika mengalami salah satu atau gabungan dari dua atau
29
lebih komplikasi. Terdapat hubungan yang bermakna anatara komplikasi kehamilan (gabungan dari beberapa keluhan selama kehamilan) dengan komplikasi persalinan. Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki resiko untuk mengalami komplikasi persalinan sebesar 2,9 kali dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan (Senewe & Sulistiyowati 2004). Riwayat Kelahiran Berat dan panjang lahir menentukan status gizi dan pertumbuhan linier di masa mendatang (Schimdt et al. 2002). Pengukuran panjang sangat mudah dilakukan untuk menilai gangguan dan pertumbuhan anak. Menurut Sinaga (2011), panjang bayi lahir merupakan pengukuran yang penting selain berat badan bayi lahir untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahap usia selanjutnya. Namun, masih jarang panjang bayi lahir dikaitkan sebagai manifestasi dari keadaan gizi pada masa kehamilan. Istilah panjang dinyatakan sebagai pengukuran yang dilakukan ketika anak terlentang. Pengukuran panjang badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi. Berdasarkan Kemenkes (2010b), panjang bayi lahir normal adalah 48-52 cm dan berdasarkan kurva pertumbuhan National Center for Helath Statistics (NCHS) bayi akan mengalami penambahan panjang sekitar 2,5 cm setiap bulannya. Selanjutnya menurut Sinaga (2011), penambahan panjang akan berangsur-angsur berkurang sampai usia 9 tahun, yaitu hanya sekitar 5 cm/tahun dan penambahan ini akan berhenti pada usia 18-20 tahun. Berat bayi saat lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan kelangsungan hidup. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 g, sedangkan bayi yang memiliki berat < 2500 g dikategorikan sebagai berat bayi lahir rendah (BBLR). WHO/UNICEF (2004) menyatakan bahwa bayi dengan BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dibandingkan bayi normal. Bayi dengan berat yang rendah merupakan hasil dari preterm birth (<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin (intrauterine). Menurut Kusharisupeni (2008), berat bayi lahir rendah diakibatkan oleh kurangnya gizi selama kehamilan yang dapat diukur melalui beberapa hal, antara lain yaitu kenaikan berat badan yang rendah, indeks massa tubuh yang rendah,
30
tinggi badan ibu yang pendek, defisiensi gizi mikro, Ibu hamil dengan usia muda, menderita penyakit infeksi atau malaria selama hamil, dan merokok. Hal serupa diungkapkan dalam penelitian Sistiarani (2008) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian BBLR diantaranya anemia dan kualitas pelayanan antenatal. Berdasarkan Kemenkes (2010a), kejadian BBLR di Indonesia masih mencapai angka 11,1%. Riwayat Pemberian ASI Kebutuhan bayi akan zat-zat gizi adalah yang paling tinggi, bila dinyatakan dalam satuan berat badan, karena bayi sedang ada dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat (Sediaoetama 2006). Makanan pertama dan utama bagi bayi adalah ASI (Air Susu Ibu) karena mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi. Selain itu, tidak ada susu buatan manusia yang dapat memberikan perlindungan kekebalan tubuh bayi seperti kolostrum (Krisnatuti & Yenrina 2000). ASI
memiliki
banyak
keuntungan
bagi
bayi.
Ramaiah
(2006)
mengungkapkan bahwa didalam ASI terdapat zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi sehingga mengurangi resiko berbagai jenis kekurangan zat gizi. Selain steril dan mudah diberikan, ASI juga selalu berada pada suhu yang paling cocok bagi bayi karenanya tidak memerlukan persiapan apapun bila dibutuhkan segera oleh bayi. ASI memiliki faktor pematangan usus yang melapisi bagian dalam saluran pencernaan dan mencegah kuman penyakit serta protein berat untuk terserap ke dalam tubuh. ASI juga menolong pertumbuhan bakteri sehat dalam usus yang disebut Lactobacillus bifidus yang dapat mencegah bakteri penyakit lainnya sehingga mencegah diare. Laktoferin yang dikombinasikan dengan zat besi di dalam ASI dapat mencegah pertumbuhan kuman penyakit. Manfaat pemberian ASI eksklusif bagi ibu adalah mengurangi pendarahan, mengurangi terjadinya anemia, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim, menurunkan berat badan, mengurangi kemungkinan menderita kanker, memberi kepuasan pada ibu, praktis dan ekonomis. ASI memberikan manfaat ekonomi karena akan mengurangi biaya pengeluaran terutama untuk membeli susu. Lebih jauh, bagi negara pemberian ASI dapat menghemat devisa negara, menjamin tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas, menghemat subsidi
31
biaya kesehatan masyarakat, dan mengurangi pencemaran lingkungan akibat gangguan plastik sebagai bahan peralatan susu formula (Depkes 2002a). ASI eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli 2000). Penelitian Chantry et al. (2006) menyebutkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif selama enam bulan penuh memiliki resiko lebih kecil terkena penyakit pneumonia dibandingkan bayi yang diberi ASI kurang dari enam bulan. Selanjutnya penelitian Utomo (2009) menunjukkan prevalensi ISPA pada anak usia 6-23 bulan 1,84 kali lebih banyak pada anak yang riwayat pemberian ASI tidak eksklusif dibandingkan anak yang diberi ASI secara eksklusif. Biasanya bayi siap untuk makan makanan padat, baik secara pertumbuhan maupun secara psikologis, pada usia 6–9 bulan. Bila makanan padat sudah mulai diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya, maka makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan gangguan pencernaan, timbulnya gas, konstipasi dll. Tubuh bayi belum memiliki protein pencernaan yang lengkap. Asam lambung dan pepsin dibuang pada saat kelahiran dan setelah 3-4 bulan kemudian jumlahnya meningkat mendekati jumlah untuk orang dewasa. Amilase, enzim yang diproduksi oleh pankreas belum mencapai jumlah yang cukup untuk mencernakan makanan kasar sampai usia sekitar 6 bulan. Dan enzim pencerna karbohidrat seperti maltase, isomaltase dan sukrase belum mencapai level orang dewasa sebelum 7 bulan. Bayi juga memiliki jumlah lipase dan bile salts dalam jumlah yang sedikit, sehingga pencernaan lemak belum mencapai level orang dewasa sebelum usia 6-9 bulan (Anonim 2008). Di Indonesia, pemerintah mengatur mengenai ASI dalam Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 128 mengamanatkan setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan.
32
Berdasarkan penelitian
Berek et al. (2007) yang menyatakan faktor yang
berhubungan dengan gangguan pertumbuhan adalah praktek pemberian prelactal feeding. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kejadian stunting terhadap status pemberian ASI telah banyak dilakukan. Kerentanan status gizi selama periode tersebut merupakan akibat dari rendahnya kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan (WHO 1998 dalam Pelto et al. 2003). Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 6-11 bulan di Ethopia menurut Umeta et al. (2003) adalah konsentrasi seng dan kalsium dalam ASI serta kualitas dan kuantitas pemberian MP-ASI. Sementara penelitian di Sudan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status gizi, status pemberian ASI, status sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang berkolerasi dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000). Kesehatan Balita Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Penyakit yang sering terjadi antara lain diare, kecacingan, dan infeksi saluran pernapasan. Apabila anak menderita infeksi saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. Apabila anak menderita infeksi saluran pernapasan, maka nafsu makan akan menurun, sementara kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan di bawah kulit baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan dan perkembangannya terganggu (Supariasa 2002). Penyakit Diare Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi dan balita, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Hasil penelitian Badan Litbangkes (2008), penyebab kematian bayi yang terbanyak adalah diare
33
(31,4%) dan pneumonia (23,8%), sedangkan untuk penyebab kematian anak balita terbanyak adalah diare (25,2%) dan pneumonia (15,5%). Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Ciesla & Guerrant 2003). Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan virus, bakteri, dan parasit. Infeksi bakteri yang paling sering menimbulkan diare adalah infeksi bakteri E. coli. Selain E. coli patogen, bakteri-bakteri yang dulu tergolong dalam “non-pathogenic”
bakteri
seperti
Pseudomonas,
Pyocianeus,
Proteus,
Staphylococcus, Streptococcus dan sebagainya menurut penyelidikan para ahli sering pula menyebabkan diare (Lung 2003). Penularan diare menyebar lewat makanan dan air dan melalui jalur fekaloral. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain (Procop & Cockerill 2003) : a. Menjaga higiene pribadi yang baik. Mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia. b. Menjaga kebersihan air. Air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi atau direbus sebelum dikonsumsi. c. Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Menurut Faber dan Benade (1999), selain asupan makanan, penyakit diare dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap tinggi badan menurut umur. Selanjutnya menurut Adeladza (2009) terdapat interaksi antara penyakit infeksi dengan status gizi. Infeksi penyakit dapat menjadi
34
penyebab menurunnya intake makanan. Sedikitnya intake makanan, berkurangnya nutrient akibat muntah, diare, malabsorpsi dan demam yang berkepanjangan dapat menyebabkan defisiensi nutrisi sehingga konsekuensinya adalah pertumbuhan dan sistem imunitas bayi dan anak terganggu. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakitpenyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya (Smith 2010). Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan nafas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin (Rasmaliah 2004). Ada dua cara pokok untuk mencegah ISPA, meliputi: a. Imunisasi. b. Mengurangi faktor resiko ISPA, seperti : menjaga keadaan gizi agar tetap baik, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan dan menjauhkan anak dari orang yang menderita batuk/pilek. Anak yang mengalami gejala-gejala ISPA berat/ pnemonia, seperti batuk tambah sesak nafas/ nafas cepat, harus segera dibawa ke dokter. Dokter akan memeriksa anak dan memutuskan apakah anak tersebut harus rawat inap atau dapat diobati di rumah. Bila anak diobati di rumah, paling penting anak diberi obat sesuai dengan jadwal dan dosis ditunjuk oleh dokter. Bila obat tidak diberi
35
secara benar, sakit akan semakin bertambah dan mungkin harus diobati rawat inap (Smith 2010). Menurut VSO Health Training & Information Resources, cara pengobatan yang dapat dilakukan di rumah jika anak menderita ISPA ringan (batuk, pilek biasa, dengan demam ringan tanpa ada masalah pernafasan), antara lain (Smith 2010) : a. Menjaga anak supaya hangat b. Memberi anak banyak minum c. Memberi anak sirop madu-jeruk, 3 atau 4 kali sehari d. Bila hidung tersumbat, membersihkan lubang hidung dengan kain bersih, untuk membantu dia bernafas. e. Bila anak demam, memberi obat parasetemol dengan dosis yang sesuai dengan umur anak. Apabila anak menderita infeksi saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. sementara kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan di bawah kulit baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan dan perkembangannya terganggu (Supariasa 2002). Pengasuhan Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita adalah pengasuhan yang diberikan oleh orangtuanya. Menurut kerangka UNICEF (1998) pola pengasuhan yang tidak memadai dapat mempengaruhi status gizi anak balita. FAO/WHO (1992) mendefinisikan pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam rangka tumbuh kembang anak dan anggota keluarga lainnya. Definisi lain mengenai pengasuhan adalah kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian, cinta dan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dari kelompok rawan gizi (Jallow 2006). Sedangkan Engle dan Lotska (1999) dalam
36
Jallow (2006) mendefinisikan pengasuhan sebagai perilaku dan praktek dari pengasuh (ibu, saudara kandung, ayah dan pengasuh lainnya) dalam hal makanan, kesehatan, perhatian, stimulasi dan dukungan emosional untuk tumbuh kembang anak. Pengasuhan dalam prakteknya meliputi beberapa aspek. Range et al. (1997), mengemukakan bahwa pola pengasuhan dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu : (1) pola asuh makan (2) pola asuh higiene dan kesehatan (3) pola asuh yang berhubungan dengan psikososial dan (4) pengasuhan untuk ibu dan sistem dukungan sosial. Range et al. (1997) berpandangan bahwa ke empat aspek tersebut akan memberikan pengaruh terhadap konsumsi zat gizi dan terjadinya penyakit, kedua hal tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi. Pola asuh yang akan diteliti adalah sebagai berikut: Pola Asuh Makan Salah satu aspek dalam pengasuhan adalah pola asuh makan yang diberikan pengasuh, dalam hal ini biasanya dilakukan oleh ibu, nenek atau saudara kandung. Pola asuh makan yang diberikan oleh ibu akan sangat berpengaruh terhadap status gizi anak. Definisi pola asuh makan menurut Karyadi (1985), sebagai praktekpraktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan cara dan situasi makan. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan pemberian makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status gizinya. Engle et al. (1996) mengemukakan bahwa dalam perilaku pemberian makanan kepada anak balita ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu: 1. Menyesuaikan metode pemberian makan dengan kemampuan psikomotor anak 2. Pemberian makanan yang responsif, termasuk dorongan untuk makan, memperhatikan nafsu makan anak, waktu pemberian, kontrol terhadap makanan antara anak dan pemberi makan, dan hubungan yang baik dengan anak selama memberi makan. 3. Situasi pemberian makan, termasuk bebas gangguan, waktu pemberian makan yang tertentu, seperti perhatian dan perlindungan selama makan.
37
Selama bertahun-tahun dipercayai bahwa penyimpangan pertumbuhan akibat kurang gizi disebabkan oleh kuantitas dan kualitas makanan yang kurang baik disertai penyakit infeksi. Namun, sejak tahun 1970-an, ditemukan bahwa pola asuh makan yang dilakukan oleh ibu dan anggota keluarga lain berhubungan erat dengan terjadinya penyimpangan pertumbuhan (Engle & Ricciuti 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Ruel dan Menon (2002) bahwa anak usia 12-36 bulan di Amerika Latin yang mendapatkan pola asuh makan yang baik memiliki status gizi yang lebih bagus. Penelitian oleh Ogunba (2006) bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan meningkatkan status gizi anak. Hasil penelitian lain yang dilakukan Astari di Bogor (2005) bahwa pada keluarga sosial ekonomi keluarga miskin memiliki praktek pengasuhan meliputi praktek pemberian makan, praktek sanitasi pangan, praktek sanitasi lingkungan dan praktek perawatan kebersihan serta kesehatan anak pada kelompok anak normal lebih baik dibandingkan dengan kelompok anak stunting. Kebiasaan Pemberian Makan. Berbagai Kebiasaan baik, termasuk memberi makan anak-anak kecil berusia di atas 6 bulan dengan berbagai variasi makanan dalam porsi kecil setiap hari sebagai tambahan Air Susu Ibu (ASI), pemberian makan secara aktif, pemberian makan selama sakit dan penyembuhan serta menangani anak yang memiliki selera makan yang rendah (Turnip 2008). Bagian pertumbuhan bayi yang penting adalah pemberian makanan dengan kualitas dan kuantitas yang baik sehingga mencapai pertumbuhan yang normal (Engle & Ricciuti 1995). Terjadi peningkatan interaksi antara ibu dan anak pada saat makan, sehingga tidak hanya kuantitas dan kualitas antara ibu dan anak saja tetapi lebih luas menyangkut cara pemberian dan penyiapan makan untuk anak. Kebersamaan fisik saja tidak menjamin dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak, melainkan diperlukan juga kebersamaan juga secara psikososial. Terlalu memaksakan anak untuk makan makanan yang tidak disukainya
secara
terus
menerus
akan
mempengaruhi
status
gizinya
(Karyadi 1985). Kebiasaan Pengasuhan. Interaksi positif antara anak dan pengasuhan utama dan pengganti, membantu perkembangan emosi dan psikologis anak. Kebiasaan positif seperti sering melakukan interaksi lisan dengan anak, memberikan dan
38
menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada anak, adanya pembagian tugas agar pengawasan dan pengasuhan anak berjalan baik, dan patisipasi aktif ayah dalam pengasuhan anak, merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan anak yang normal namun sering kali terabaikan (Turnip 2008). Pola Asuh Kesehatan Pola asuh kesehatan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan anak balita. Pola asuh kesehatan adalah cara dan kebiasaan orang tua/keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita. Eagle et al. (1996) mengemukakan bahwa salah satu pola asuh yang berhubungan dengan kesehatan dan status gizi anak balita adalah pola asuh kesehatan. Pola asuh ini meliputi pola asuh yang sifatnya preventif seperti pemberian imunisasi maupun pola asuh ketika anak dalam keadaan sakit. Range et al. (1997) mengemukakan bahwa dalam pola asuh kesehatan tidak terlepas juga dari praktek higiene yang diterapkan oleh ibu. Praktek higiene yang mendukung dalam pola asuh kesehatan diantaranya adalah kebiasaan buang air besar, kebiasaan mencuci tangan, kebersihan makanan dan akses terhadap fasilitas kesehatan yang modern. Kebersihan tubuh, makanan dan lingkungan berperan penting dalam memelihara kesehatan akan serta mencegah penyakit-penyakit diare dan infeksi kecacingan. Beberapa penyakit tertentu misalnya penyakit kulit tertentu bakterial dan jamur berhubungan erat dengan kebersihan perorangan (personal hygiene). Ruang lingkup kebersihan pribadi meliputi kebersihan kulit, rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut dan gigi, tangan dan kaki, pakaian, serta kebersihan sesudah buang air besar dan buang air kecil (Depkes 1995). Menurut Depkes (1997), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sendiri sejak dini seperti memotong kuku setiap minggu dan menjaga kebersihannya, menggosok gigi sehari dua kali, mandi dengan sabun sehari dua kali, mencuci anggota badan sebelum tidur, menggunakan pakaian yang bersih dan sebagainya. Dilihat dari aspek sanitasi, maka beberapa sarana lingkungan yang berkaitan dengan perumahan sehat adalah sarana air bersih dan air minum, sarana pembuangan air limbah, Jamban/kakus dan tempat sampah. Pemerintah mengatur tentang Perumahan dan Pemukiman dalam Undang Undang No.4 Tahun 1992.
39
Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila : (1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan 45-55 dB.A.; (2) Memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) Melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan; serta (4) Melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran, seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas (Keman 2005). Berdasar Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan menunjukkan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang merupakan penyebab kematian terbanyak kedua dan tuberkulosis yang merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga erat kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan yang tidak sehat. Penyediaan air bersih dan dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare (penyebab kematian
urutan
nomor
empat)
disamping
penyakit
kecacingan
yang
menyebabkan produktivitas kerja menurun. Disamping itu, angka kejadian penyakit yang ditularkan oleh vector penular penyakit demam berdarah, malaria, pes dan filariasis yang masih tinggi (Ditjen PPM dan PL 2002). Usaha yang perlu mendapatkan perhatian agar tidak membahayakan kesehatan manusia adalah perlunya dilakukan pembuangan limbah kotoran manusia dan pengelolaan terhadap sampah. Pembuangan limbah kotoran manusia yang tidak sesuai dengan aturan akan memudahkan terjadinya water born disease seperti penyakit pada saluran cerna, infeksi cacing gelang, disentri. Pengelolaan terhadap sampah, seperti penyimpanan pengumpulan dan pembuangan. Tempat sampah yang baik harus memenuhi kriteria, antara lain
(a) terbuat dari bahan
yang mudah dibersihkan dan tidak mudah rusak, (b) harus mempunyai tutup sehingga tidak menarik serangga atau binatang-binatang lainnya, dan sangat dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori tangan, (c) ditempatkan di luar rumah. Bila pengumpulannya dilakukan oleh pemerintah, tempat sampah harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga
40
karyawan pengumpul sampah mudah mencapainya. Pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan pada gilirannya kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akan terganggu (Entjang 2000). Faktor lain yang mempengaruhi masalah gizi anak balita adalah lingkungan termasuk ketersediaan air bersih dan pelayanan kesehatan, yang akan mengakibatkan anak balita mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Untoro 2004). Kualitas air bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan, yaitu (1) syarat fisik: jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau; (2) syarat kimia: tidak mengandung zat-zat berbahaya untuk kesehatan seperti zat-zat racun, dan tidak mengandung mineral-mineral serta zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang telah ditentukan; (3) Syarat bakteriologis, yaitu air tidak boleh mengandung sesuatu bibit penyakit. Sumber yang dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga diantaranya yaitu air dalam tanah dan air permukaan. Air dalam tanah adalah air yang diperoleh dari lapisan tanah yang dalam, contohnya air sumur dan air yang berasal dari mata air. Sedangkan air permukaan adalah air yang letaknya dipermukaan tanah, contohnya air kali, air danau, kolam, dan air hujan yang ditampung (Entjang 2000). Mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan berperan dalam peningkatan status kesehatan. Dipandang dari segi fisik, persebaran sarana pelayanan kesehatan baik Puskesmas, rumah sakit maupun sarana kesehatan lain termasuk sarana penunjang kesehatan lain sudah merata ke seluruh pelosok Indonesia. Akan tetapi persebaran fisik tersebut tidak diikuti sepenuhnya peningkatan mutu layanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat (Kemenkes 2011). Pola Konsumsi Makan Balita Konsumsi makan adalah makanan yang dimakan seseorang (Almatsier 2004). Konsumsi makan merupakan jumlah makanan (tunggal atau beragam) yang dikonsumsi masyarakat, keluarga dan individu dengan tujuan untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Supariasa 2002). Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis, jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati 2004).
41
Konsumsi makan oleh masyarakat atau keluarga tergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dalam kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini tergantung pada pendapatan, agama, adat kebiasaan dan pendidikan (Almatsier 2004). Dalam keluarga, jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan anggota keluarga yaitu pengetahuan, pendapatan rendah dan jumlah anak yang banyak cenderung pola konsumsi pangan berkurang pula (Harper 1986). Faktor ekonomi dan harga serta faktor sosial budaya dan religi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan (Baliwati 2004). Pola konsumsi makan. Merupakan berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh setiap orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau kelompok orang (keluarga) memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial (Suhardjo 2005). Pola konsumsi pangan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan dan mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini diajarkan dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi mendatang (Sediaoetama 2006). Survei konsumsi pangan. Baik rumah tangga ataupun perorangan merupakan cara pengamatan langsung. Data survey konsumsi pangan dapat menggambarkan pola konsumsi penduduk menurut daerah (kota/desa), golongan sosio-ekonomi dan sosial-budaya dari wilayah yang bersangkutan (Suhardjo 2005). Komponen anamnesis asupan pangan mencakup: method food recall 24 hours, food frequency questionnery, dietary history dan food records (Arisman 2004). Metode food frequency questionnery (FFQ) menghasilkan data bahan makanan dan frekuensi makan individu. Penggolongan bahan makanan di Indonesia terdiri dari bahan makanan pokok, bahan makanan lauk-pauk, bahan makanan sayur-mayur dan bahan makanan buah (Sediaoetama 2006). Proyek Food and Nutrition Technical Assistance (FANTA) kerjasama FAO-European Union, mengembangkan kuesioner untuk mengukur keragaman makanan baik
42
individu maupun rumah tangga dengan menjumlahkan kelompok makanan yang dikonsumsi selama waktu yang ditentukan dengan cara di scoring sehingga dapat dilihat kecukupan gizi. Kuesioner yang digunakan dapat melihat kemungkinan mengkonsumsi mikronutrien penting yang cukup dan disesuaikan dengan daerah setempat. Penelitian FANTA (2006) menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman makanan
berkorelasi
positif
dengan
peningkatan
rata-rata
kecukupan
mikronutrien. Selanjutnya beberapa penelitian (Hatloy et al. 1998; Ruel et al. 2004; Steyn et al. 2006; Kennedy et al. 2007) korelasi terhadap kecukupan mikronutrien anak yang tidak mendapatkan ASI (FAO 2011). Pola makan. Konsumsi makanan untuk anak balita harus mengandung kualitas dan kuantitas cukup untuk menghasilkan pertumbuhan anak yang baik. Asupan gizi dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di rumahtangga yang terkait dengan kemampuan keluarga. Kurang energi, protein dan beberapa zat gizi mikro merupakan gejala awal dari penyebab utama stunting. Di negara miskin seperti Peru, stunting disebabkan karena defisiensi energi dan zat gizi, serta frekuensi infeksi (Victoria et al. 1998). Penyimpangan pertumbuhan karena kurang energi protein (KEP) dan defisiensi mineral, disebabkan terbatasnya konsumsi makanan dan morbiditas (Dewey 2001). Usia anak balita 3-5 tahun merupakan usia prasekolah. Pada usia ini menurut PERSAGI (1992) anak bersifat konsumen aktif, yaitu mereka telah dapat memilih makanan yang disukai, di usia ini gigi susu sudah lengkap sehingga anak dapat mengerat dan mengunyah dengan baik walaupun belum maksimal dan bentuk makanan seperti orang dewasa, misalnya nasi dapat diberikan tetapi tetap disertai dengan cairan atau sayuran berkuah. Pola makanan yang sesuai untuk pemenuhan kebutuhan gizi anak balita sebagai pendukung tumbuh kembang balita adalah pola makan gizi seimbang. Berdasarkan piramida makanan gizi sehat seimbang, bahan makanan sehat seimbang dikelompokkan menjadi tiga fungsi utama gizi (triguna makanan) yang terdiri dari sumber zat tenaga yaitu padi-padian atau serelia, sumber zat pembangun yaitu sumber protein hewani dan sumber zat pengatur berupa sayuran dan buah. Menurut Depkes (2002b), pola makan yang sehat menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang adalah makanan yang mengandung semua unsur gizi
43
seimbang sesuai kebutuhan tubuh, baik protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Dan sumber nutrisinya dipilih yang sealami mungkin. Berdasarkan karakteristik anak balita, pola makan yang diberikan menurut Uripi (2003) adalah porsi kecil dengan frekuensi sering, yaitu 7-8 kali sehari. Pola tersebut terdiri dari 3 kali makan utama seperti orang dewasa (makan pagi, makan siang dan makan sore) dan 2-3 kali makan selingan ditambah 2-3 kali susu. Anak batita diberikan susu 3 kali sehari, setelah itu kurangi pemberian susu menjadi 2 kali sehari. Anjuran Depkes RI (2006) pola makan balita yaitu anak sudah bisa diberikan makan makanan orang dewasa minimal 3 kali sehari, beri makanan selingan 2 kali sehari, makanan yang diberikan harus bervariasi dan susu perlu ditambahkan ke dalam menu sehari-hari. Menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang, angka kecukupan gizi rata-rata per orang per hari dapat digunakan untuk merencanakan penyediaan makanan bagi keluarga, kelompok maupun nasional. Angka kecukupan menurut takaran konsumsi makanan sehari berdasarkan kelompok umur sebagai berikut : Tabel 2. Anjuran jumlah porsi untuk balita menurut kecukupan energi Bahan Makanan Nasi Sayuran Buah Tempe Daging ASI Susu Minyak Gula *
Anak Usia 1-3 Tahun (1200 kkal) 3 p = 300 g 1 p = 100 g 3p 1p 1p Dilanjutkan hingga 2 tahun 1p 3p 2p
1 p susu dapat diganti dengan 1 p daging/ikan
Sumber : Depkes (2002b)
Anak Usia 4-6 Tahun (1700 kkal) 4 p = 400 g 2 p = 200 g 3 p = 150 g 2 p = 100 g 2 p = 100 g 1 p = 200 g 4 p = 20 g 2 p = 20 g
(1 gls) (4 sdm) (2 sdm)
KERANGKA PEMIKIRAN Anak merupakan generasi penerus bangsa, oleh karena itu keadaan gizi anak perlu diperhatikan. Sejak lahir hingga berusia lima tahun merupakan periode yang penting dalam pertumbuhan anak, karena masa tersebut adalah masa yang rentan dan akan menentukan masa depannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang balita adalah terpenuhinya asupan gizi pada anak. Kekurangan gizi yang terjadi pada masa tersebut dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia (Satoto 1990). Unicef (1998) telah mengkaji berbagai masalah gizi dan faktor penyebabnya di berbagai negara. Berdasarkan kajian tersebut telah dianalisis penyebab langsung, tidak langsung, masalah utama dan masalah dasar (Gambar 1). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi pada anak. Faktor penyebab langsung pertama adalah penyakit infeksi dan makanan yang dikonsumsi harus memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat seimbang. Pada anak yang makanannya tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi. Penyebab tidak langsung yaitu ketahan pangan dikeluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, ketersediaan pangan sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan dari anggota keluarga. Pola asupan gizi anak usia 24-59 bulan umumnya sudah mendapat makan makanan yang sama dengan keluarga. Konsumsi gizi dan morbiditas penyakit saling berhubungan. Rendahnya konsumsi zat gizi akan menyebabkan penurunan imunitas sehingga rentan terhadap penyakit sementara penyakit infeksi dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, gangguan penyerapan dan perubahan
46
metabolisme sehingga konsumsi zat gizi menurun. Infeksi penyakit yang biasa sering terjadi pada anak balita yaitu infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan diare.
Dampak
Penyebab langsung
Penyebab Tidak langsung
KURANG GIZI
Makan Tidak Seimbang
Tidak Cukup Persediaan Pangan
Penyakit Infeksi
Pola Asuh Anak Tidak Memadai
Sanitasi dan Air Bersih/Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai
Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan
Pokok Masalah di Masyarakat
Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat
Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan
Akar Masalah (nasional)
Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial
Sumber: Unicef (1998) dalam LIPI 2004
Gambar 1. Faktor penyebab masalah gizi Riwayat kelahiran balita seperti BBLR, Premature maupun penyakit bawaan saat lahir mempengaruhi konsumsi balita. Pola konsumsi ASI dan MPASI di masa sebelumnya penentu kualitas pertumbuhan yang dicerminkan dari ketersediaan zat-zat gizi yang diperlukan bayi. Mineral seng dan kalsium di dalam ASI merupakan zat gizi yang penting untuk proses metabolisme tubuh terutama berperan dalam proses pertumbuhan pada bayi dan merupakan mineral pembentuk tulang yang utama.
47
Pola asuh ibu terhadap anak secara tidak langsung akan mempengaruhi status gizi anak terutama pola asuh gizi yang diwujudkan dalam praktek pemberian makanan, praktek sanitasi pangan dalam penyediaan makan, perilaku higienis dan kesadaran terhadap sanitasi lingkungan (penyediaan jamban keluarga, kebersihan pekarangan rumah, letak rumah dengan sumber limbah serta penanganan sampah keluarga). Pengasuhan anak sangat tergantung pada kondisi sosial ekonomi keluarga. Umur saat hamil dan tinggi badan orangtua sebagai salah satu faktor genetik merupakan karakteristik orangtua balita yang akan mempengaruhi potensi biologik terhadap pertumbuhan anak. Struktur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.
Karakteristik Sosek Keluarga : Karakteristik Anak : - Jenis Kelamin - Umur - Urutan dalam keluarga
-
Pendidikan Orangtua Pekerjaan Orang tua Umur Orang tua Tinggi Badan Orang tua Besar Keluarga Jumlah Balita Pendapatan (pengeluaran) keluarga
Karakteristik Ibu: - Umur ibu saat hamil - Jumlah anak - Jarak anak - Penyakit yang pernah diderita
Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu
Pola Asuh Makan
Pola Asuh Kesehatan
Pola Konsumsi
- Riwayat Kehamilan - Riwayat Kelahiran - Riwayat Konsumsi ASI
Riwayat Kesehatan
Positive Deviance Stunting Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian
METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian
ini menggunakan desain case control bersifat Retrospective
bertujuan menilai hubungan paparan penyakit dengan cara menentukan sekelompok kasus dan sekelompok kontrol lalu membandingkan frekuensi paparan. Dilakukan dengan memilih kelompok-kelompok penelitian berdasarkan status penyakit, satu kelompok yaitu tidak stunting (kasus) dan kelompok lainnya stunting atau kontrol. Prevalensi paparan masa lalu ke faktor yang diketahui atau faktor resiko yang diduga kemudian diukur pada setiap kelompok, dan dari sini risiko relatif berkaitan dengan setiap faktor dapat diperkirakan (Siagian 2010). Penelitian dilakukan mulai bulan Mei – Juli 2011 di kota Bogor, dengan pertimbangan Kota Bogor memiliki prevalensi balita stunting cukup tinggi sebesar 28,3% (Riskesdas 2007). Pemilihan tempat dilakukan secara purposive dengan pertimbangan 1) keberadaan keluarga miskin, 2) keberadaan balita stunting umur 24-59 bulan dan 3) kemudahan untuk diakses (lokasi maupun izin). Kecamatan Bogor Barat dipilih sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan berdasarkan data dari Laporan Tahunan Kecamatan Bogor Barat 2010, Kecamatan Bogor Barat memiliki jumlah KK miskin terbanyak se-Kota Bogor yaitu 11,734 KK (26%) selain itu merupakan wilayah kejadian stunting tinggi yaitu 1043 balita (7,6%) (Dinkes Kota Bogor 2010). Jumlah dan Teknik Pemilihan Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah balita yang memenuhi kriteria inklusi penetapan sampel meliputi balita umur 24 bulan sampai 59 bulan, tidak cacat fisik, berasal dari keluarga miskin dan keluarga bersedia mengikuti kegiatan penelitian. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 140 responden. Diperoleh dengan menggunakan rumus sampel minimal untuk pendugaan proporsi atau p menurut Sastroasmoro dan Ismail (2008) yaitu : 2 Zα/2 + Zß√PQ n =
R dan
1 P2
P = 1+R
50
Keterangan : n Zα Zβ P Q R
= = = = = =
Jumlah sampel Tingkat kemaknaan 1,96 dengan α = 0,05 Tingkat kekuatan 0,842 dengan β = 0,20 Proporsi dari populasi 1–P Odd Ratio diperkirakan 2
Dari rumus diatas, maka dilakukan perhitungan sebagai berikut : 2 P=
2 =
1+2
3
1,96 / 2 + 0,842√ ⅔ x n =
⅔-½
⅓
2 = 68,9
Dari hasil perhitungan diperoleh sampel pada penelitian ini sebanyak 70 orang untuk kasus dan 70 orang untuk kontrol. Jadi jumlah sampel keseluruhan adalah 140 responden. Penetapan lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Dinas kesehatan Kota Bogor mempunyai enam wilayah kerja yaitu Kecamatan Tanah Sareal, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Tengah dan Kecamatan Bogor Selatan. Diantara enam kecamatan tersebut, kecamatan Bogor Barat memiliki jumlah KK miskin terbanyak se-Kota Bogor dan merupakan wilayah kejadian stunting tinggi. Kecamatan Bogor Barat memiliki 16 kelurahan dan dipilih empat kelurahan yaitu kelurahan Semplak, Sindang barang, Balumbang jaya dan Pasir Jaya. Beberapa RW yang termasuk kriteria inklusi dipilih kemudian dilakukan screening pengeluaran terhadap keluarga yang memiliki balita umur 24-59 bulan dan yang bersedia diwawancara lebih lanjut. Untuk lebih jelasnya cara penentuan lokasi penelitian dan penarikan contoh dapat dilihat pada Gambar 3.
51
Kota Bogor Purposive : Prevalensi tertinggi penduduk miskin dan balita stunting tahun 2009
Kec. Tanah Sareal
Kec. Bogor Timur
Kec. Bogor Barat
Kec. Bogor Utara
Kec. Bogor Tengah
Kec. Bogor Selatan
Purposive : Rekomendasi Penyebaran keluarga miskin
Kelurahan Semplak
Kelurahan Sindang Barang
Kelurahan Balumbang Jaya
Kelurahan Pasir Jaya
RW.01
RW.01 dan RW.07
RW.04
RW.14 dan RW.15
Puskesmas Semplak
RW.01 = 78 balita
Puskesmas Sindang Barang
RW.01 = 30 balita RW.07 = 137 balita
RW.04 = 32 balita
Puskesmas Pancasan
RW.14 = 74 balita RW.15 = 69 balita
Persyaratan inklusi
40 sampel 20:20
40 sampel 20:20
12 sampel 6:6
Gambar 3. Cara penarikan sampel penelitian
48 sampel 24:24
52
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan langkah awal dalam mendapatkan data penelitian. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara: 1. Data primer a. Meliputi karakteristik keluarga, karakteristik ibu, karakteristik anak balita (umur, jenis kelamin dan urutan dalam keluarga), pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, pola asuh makan (praktek pemberian makan dan praktek sanitasi pangan), pola asuh kesehatan (praktek perawatan diri anak dan praktek sanitasi lingkungan), riwayat kehamilan, kelahiran, konsumsi ASI, riwayat kesehatan (diare, ISPA, dan penyakit lain) dan pola konsumsi anak (kebiasaan makan dalam seminggu terakhir dan keragaman makanan). b. Setelah ibu responden menandatangi lembar persetujuan menjadi bagian dari penelitian, dilanjutkan dengan metode wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung. Wawancara dengan ibu dari keluarga miskin yang memiliki anak usia 24-59 bulan yang ditetapkan menjadi responden dan berpedoman pada instrumen yang telah dipersiapkan. Data tinggi badan diukur dengan menggunakan microtois dengan ketelitian 0,1 cm. Data pola konsumsi dengan melihat keragaman makan diperoleh dengan metode FFQ. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. 2. Data sekunder meliputi jumlah populasi dan gambaran tempat penelitian yang diambil dari Dinas Kesehatan, kantor kecamatan setempat dan BPS Kota Bogor. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data yang dilakukan meliputi pengukuran antropometri, screening pengeluaran pangan dan non pangan keluarga, uji validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner pengetahuan gizi, pengolahan terhadap keragaman pangan balita, dan penskoringan terhadap beberapa data variabel, antara lain: riwayat kehamilan, kelahiran dan konsumsi ASI, pola asuh, riwayat kesehatan anak dan pola konsumsi pangan. Data antropometri contoh yang diolah meliputi panjang badan dan berat badan sehingga diperoleh indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Indeks tersebut kemudian dibandingkan dengan referensi
53
WHO/NCHS sehingga diperoleh z skor. Berdasarkan z skor TB/U contoh anak diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu kelompok balita normal (≥ -2 SD) dan kelompok balita stunting (< -2 SD) (WHO 1995). Tahap pengolahan data selanjutnya adalah Editing (melakukan pengecekan data yang telah diperoleh dari hasil wawancara dengan 140 contoh dengan 70 contoh sebagai kasus dan 70 sebagai kontrol); Coding (mengklasifikasikan jawaban-jawaban atau hasil-hasil yang ada menurut macamnya dengan menandai masing-masing jawaban dengan kode berupa angka guna mempermudah membaca); Proccesing (setelah kuesioner terisi penuh dan juga setelah melewati pengkodingan, maka selanjutnya memproses data dengan cara meng-Entry data dalam kuesioner ke paket program komputer dengan menggunakan metode SPSS); dan Cleaning (pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak saat memasukkan data di komputer). Sebelum dilakukan penelitian, alat ukur berupa kuesioner pengetahuan gizi dan kesehatan melalui uji validitas dan reliabilitasnya dengan menggunakan Cronbach Alpha. Penskoringan terhadap variabel dilakukan dengan cara, jawaban yang benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah diberi nilai 0. Cara perhitungan skor dilakukan dengan menggunakan rumus transformasi menggunakan program microsoft excel yaitu : Skor total =
- nilai minimal Nilai mak imal - nilai minimal
x 100%
Keterangan : X = jumlah jawaban yang benar Nilai minimal = jumlah nilai minimal dari 1 set pertanyaan Nilai maksimal = jumlah nilai maksimal dari 1 set pertanyaan Sedangkan pengkategorian dan skala pengukuran variabel penelitian lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.
lebih
54
Tabel 3. Pengkategorian dan skala pengukuran variabel penelitian
Variabel
1. Stunting
2. Besar Keluarga
3. Jumlah Balita
4. Umur Orangtua
Keterangan
Keadaan fisik anak usia antara 24-59 bulan yang memiliki z score TB/U kurang dari -2 SD berdasarkan referensi WHO 2005 Diukur dari jumlah anggota keluarga. Kriteria besar keluarga dibedakan atas : Kecil (≤ 4 orang) Besar (> 4 orang) (BKKBN 1998) Diukur dari jumlah balita dalam keluarga. Kriteria jumlah balita dibedakan atas : 1 balita 2-3 balita
Kategori 0 = stunting (< -2 SD) 1 = normal (≥ -2SD) 0 = Besar (> 4 orang)
Skala Pengu kuran
Pengukuran antropometri
Rasio dan Ordinal
Wawancara
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Pengukuran antropometri
Rasio dan Ordinal
1 = Kecil (≤ 4 orang) 0 = 2-3 balita 1 = 1 balita
0 = < 20 tahun Umur ayah dan ibu
Cara Pengum pulan
1= 20-40 tahun 2 = > 40 tahun
Lama sekolah dalam tahun, kemudian dikelompokkan dengan kategori : 5. Pendidikan Orang tua
0 = rendah 1 = tinggi
Rendah(jika ibu tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD, tamat SD dan tamat SMP, lama pendidikan ≤ 9 tahun) Tinggi (jika ibu tamat SMA dan Perguruan Tinggi, lamanya > 9 tahun)
6. Pekerjaan Orang tua
(Stalker 2008) Pekerjaan orang tua responden Dikategorikan dalam beberapa pekerjaan: Petani, PNS/ABRI, Swasta, Wiraswasta, IRT, Buruh dan tidak bekerja
1 = Bekerja
Tinggi badan orangtua diketegorikan menjadi :
Kategori ayah :
Tinggi badan ayah, yaitu : 7. Tinggi Badan Orangtua
0 = Tidak bekerja
< 165 cm ≥ 165 cm
Tinggi badan ibu, yaitu : < 156 cm ≥ 156 cm (LIPI 2004)
0 = < 165 cm 1 = ≥ 165 cm Kategori ibu : 0 = < 156 cm 1 = ≥ 156 cm
55
Variabel
Keterangan
8. Pendapatan Keluarga
Dengan menghitung pengeluaran perkapita keluarga : Total pengeluaran keluarga/ bulan dibagi jumlah anggota keluarga. Rp.256.414,berdasarkan garis kemiskinan kota Bogor (BPS, 2011)
Kategori 0= < Rp.198.663,-
Cara Pengum pulan
Skala Pengu kuran
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Wawancara
Nominal
1= ≥ Rp.198.663,-
Selanjutnya dikategorikan menjadi 2, yaitu: < Rp.198.663, ≥ Rp.198.663,Umur ibu saat hamil :
Meliputi : umur ibu saat hamil (Widiarti 2007) 9. Karakteristik Ibu
banyak anak yang dilahirkan (Manuaba 1998) jarak kelahiran (Depkes 2005) penyakit yang pernah diderita ibu sebelum hamil responden.
0 = < 20 tahun 1= 20-40 tahun 2 = > 40 tahun Banyak anak yang dilahirkan: 0 = > 2 orang 1 = ≤ 2 orang Jarak kelahiran : 0 = < 24 bulan 1 = ≥ 24 bulan Penyakit yang pernah di derita: 0 = Ada 1 = Tidak ada
10. Umur Balita
11. Jenis Kelamin
Umur balita contoh yang berusia 24-59 bulan selanjutnya dikelompokkan menjadi:
0 = 24-35 bulan
24-35 bulan
2 = 48-59 bulan
36-47 bulan
48-59 bulan
1 = 36-47 bulan
Jenis kelamin balita, terdiri dari :
0 = Perempuan
Laki-laki
1 = Laki-laki
Perempuan
56
Variabel
Keterangan Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan meliputi :
Kategori 0 = Kurang 1 = Baik
Jenis, fungsi dan sumber zat gizi serta masalah gizi dan kesehatan.
Cara Pengum pulan
Skala Pengu kuran
Wawancara dan pengisian kuesioner
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
12. Pengetahuan Hasil penelitian akan memperoleh skor Gizi dan tertinggi 20 dan skor terendah 0, Kesehatan selanjutnya dipersentasekan dan pengkategorian menjadi dua berdasarkan nilai rata-rata. Dikategorikan menjadi : Pengetahuan gizi baik dan kurang Pola pengasuhan makan diperoleh dengan menggunakan kuesioner meliputi : Praktek pemberian makan
0 = Kurang 1 = Baik
Praktek sanitasi pangan 13. Pola Asuh Makan
(Astari 2006) Penskoringan dilakukan terhadap jawaban yang benar : Jika persentase jawaban benar > nilai rata-rata dikatakan baik dan jika jawaban benar < nilai rata-rata dikatakan kurang. Pola asuh kesehatan diperoleh dengan menggunakan kuesioner meliputi : Praktek Perawatan Diri
14. Pola Asuh Kesehatan
0 = Kurang 1 = Baik
Praktek Sanitasi Lingkungan (Astari 2006) Selanjutnya penskoringan dan persentase terhadap jawaban yang diperoleh. Riwayat kehamilan dan kelahiran diperoleh dengan wawancara dan menggunakan kuesioner meliputi :
15. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
proses dan konsumsi makanan serta pemeriksaan kesehatan (Ante natal care) ibu selama persalinan terdahulu dengan memenuhi kriteria ‟7T‟ kondisi kelahiran bayi (pengukuran PB dan BB lahir, sumber informasi yg didapat dan penyakit bawaan saat lahir) Selanjutnya penskoringan dan persentase terhadap jawaban yang diperoleh.
0 = Kurang 1 = Baik
57
Variabel
Keterangan Riwayat konsumsi ASIdiperoleh dengan menggunakan kuesioner meliputi kualitas dan lama pemberian ASI
Kategori 0 = Kurang 1 = Baik
Cara Pengum pulan
Skala Pengu kuran
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
Wawancara dengan kuesioner
Ordinal
(Ambardati, 2007) Kualitas pemberian ASI merupakan asupan gizi yang diberikan ibu kepada anaknya selama 6 bulan pertama usia anak, dibagi menjadi : 16. Riwayat Konsumsi ASI
ASI eksklusif dan ASI non eksklusif Lama pemberian ASI diukur berdasarkan: lama anak mendapatkan ASI dari ibunya dan diukur berdasarkan umur anak. Riwayat kesehatan dikategorikan menjadi:
Konsumsi ASI : Jika diberi ASI dari lahir hingga 6 bulan Tidak konsumsi ASI : Jika tidak diberi ASI dan diganti dengan yang lain.
Riwayat kesehatan diperoleh dengan 0 = Sakit menggunakan kuesioner meliputi jenis, 1 = Sehat frekuensi, lama sakit dan cara pengobatan penyakit (Firlie, 2000) 17. Riwayat Kesehatan
Terhadap penyakit : Diare, ISPA dan penyakit lain Pemberian skor berdasarkan keparahan penyakit. Riwayat kesehatan dikategorikan menjadi: Sakit : Jika pernah mengalami penyakit Diare / ISPA/Penyakit lain Sehat : tidak pernah mengalami penyakit Diare/ISPA/Penyakit lain Pola konsumsi pangan contoh yang diperoleh dari jawaban atas pertanyaan mengenai :
18. Pola Konsumsi Pangan
Kebiasaan makan pokok, lauk pauk, sayur dan buah, minuman yang sering dikonsumsi serta suplemen/vitamin. Frekuensi makan balita contoh Menggunakan metode FFQ Selanjutnya penskoringan dan melihat keberagaman makanan dengan mengacu kepada FAO (2011)
Kebiasaan makanan : 0 = tidak 1 = ya Keragaman makanan : 0 = ≤ 3 jenis kel. makanan 1 = 4-5 jenis kel. makanan 2 = ≥ 6 jenis kel. makanan
58
Setelah melakukan pengolahan data, selanjutnya dilakukan analisis statistik dengan menggunakan Microsoft Excel dan SPSS 16 for Windows. Analisis statistik yang digunakan antara lain analisis hubungan antar variabel secara statistik deskriptif menggunakan tabulasi silang. Analisis secara inferensia mengggunakan : 1.
Uji Chi square. Uji ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas meliputi karakteristik keluarga, karakteristik ibu, karakteristik anak, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, pola asuh makan, pola asuh kesehatan, riwayat kehamilan dan kelahiran, riwayat konsumsi ASI, riwayat kesehatan serta pola konsumsi (keragaman makanan).
2.
Uji Regresi Logistik Uji ini digunakan untuk menarik kesimpulan akhir penelitian dan keluaran variabel data bersifat dikotomi. Adapun persamaan regresi logistiknya : F Y = Log 1-F
= β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + β9X9 + β10X10 + β11X11 + β12X12 + β13X13+ β14X14 + β15X15 + β16X16 + β17X17 + β18X18 + β19X19 + β20X20 + β21X21 + β22X22 + β23X23 + β24X24 + β25X25 + β26X26 + Є
Dimana: = Variabel terikat (normal, stunting) = Fungsi Kumulatif (Kemungkinan y=1)
β13X13
1-F
= Kemungkinan y=0
β0
= Koefisien regresi
β1X1
= Umur ayah
β2X2 β3X3
Y
β14X14
= Penyakit yang pernah di derita saat hamil = Jenis kelamin
β15X15
= Umur balita
β16X16
= Urutan anak dalam keluarga
β17X17
= Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu
= Umur ibu = Pendidikan ayah
β18X18 β19X19
= Riwayat kehamilan = Riwayat kelahiran
β4X4
= Pendidikan ibu
β20X20
= Riwayat konsumsi ASI
β5X5
= Pekerjaan ayah
β21X21
= Riwayat kesehatan
β6X6
= Pekerjaan ibu
β7X7
= Pendapatan keluarga
β22X22 β23X23
= Praktek pemberian makan = Praktek sanitasi pangan
β8X8
= Besar keluarga
β24X24
= Praktek perawatan diri
β9X9
= Banyak balita
β25X25
= Praktek sanitasi lingkungan
β10X10 β11X11
= Umur saat hamil = Banyak anak
β26X26
= Pola konsumsi balita
Є
= galat (error)
β12X12
= Jarak anak
F
60
keluarga perkapita perbulan didasarkan pada Garis Kemiskinan. Kategori Miskin, jika dibawah garis kemiskinan (< Rp 256.414) dan tidak miskin, jika di atas garis kemiskinan (≥ Rp 256.414) (BPS 2011). Karakteristik balita adalah karakteristik yang melekat pada anak yang meliputi usia, jenis kelamin anak dan urutan anak dalam keluarga. Riwayat kehamilan adalah Kondisi kesehatan ibu pada saat hamil, jenis makanan dan perawatan yang dilakukan. Riwayat kelahiran adalah Kondisi kesehatan balita pada saat lahir, seperti BBLR yang diukur, jika berat < 2500 g dan Normal, jika berat ≥ 2500 g (WHO/UNICEF 2004) serta penyakit bawaan apa saja yang ada pada saat lahir. Riwayat konsumsi ASI adalah riwayat pemberian ASI contoh yang dilakukan ibu meliputi kualitas dan lama pemberian ASI. Riwayat penyakit adalah penyakit yang pernah diderita adalah diare, Infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), kecacingan dan malaria. Yang terdiri dari beberapa pertanyaan mengenai frekuensi sakit, lama sakit dan tingkat keparahan yang dialami dalam kurun waktu tiga bulan terakhir kemudian dikelompokkan menjadi kategori sehat dan sakit. Diare adalah penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja yang melembek seperti cairan dan frekuensinya antara 3 kali atau lebih selama 24 jam. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah penyakit yang di tandai adanya batuk, pilek, dengan atau tanpa panas atau sesak napas (WHO). Pola asuh makan adalah cara dan kebiasaan ibu/keluarga dalam melayani kebutuhan makan anak balita. Meliputi praktek pemberian makan dan praktek sanitasi pangan. Data diperoleh dengan menggunakan modifikasi kuesioner yang pernah digunakan oleh Martianto et al. (2009) dan Astari (2006). Dikategorikan dengan baik dan kurang baik. Pola asuh kesehatan adalah cara dan kebiasaan ibu/keluarga dalam melayani kebutuhan kesehatan anak balita yang meliputi praktek perawatan diri dan praktek sanitasi lingkungan. Data diperoleh dengan menggunakan modifikasi kuesioner yang pernah digunakan oleh Martianto et al. (2009) dan Astari (2006). Dikategorikan dengan baik dan kurang baik. Pola konsumsi balita adalah riwayat jenis makanan apa saja yang dikonsumsi anak dalam masa pertumbuhan, dengan metode FFQ sehingga didapat keragaman makan.
59
Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : Positive deviance pada keluarga miskin adalah suatu keadaan penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tertentu dari anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama dengan keadaan ekonomi lemah (miskin) Stunting balita adalah keadaan fisik anak usia antara 24-59 bulan yang memiliki z score TB/U kurang dari -2 SD berdasarkan referensi WHO 2005. Pengetahuan gizi dan kesehatan adalah tingkat pengertian tentang gizi dan kesehatan, yang diukur dari kemampuan ibu untuk menjawab pertanyaan mengenai konsumsi gizi pada saat hamil Karakteristik keluarga adalah karakteristik yang melekat pada keluarga yang dapat menggambarkan kondisi keluarga tersebut yang meliputi jumlah anggota keluarga dan jumlah anak balita dalam keluarga. Besar keluarga adalah jumlah orang yang menjadi tanggungan dalam suatu keluarga. Pengkategorian jumlah orang dalam keluarga menjadi keluarga dengan banyak < 4 orang dan keluarga dengan ≥ 4 orang. Banyak anak adalah jumlah anak yang dimiliki. Pengkategorian berdasarkan Jumlah balita dalam keluarga adalah jumlah balita yang menjadi tanggungan dalam suatu keluarga. Pengkategorian jumlah balita dalam keluarga menjadi keluarga dengan 1 balita dan keluarga dengan 2-3 balita. Karakteristik ibu adalah karakteristik yang melekat pada ibu yang meliputi umur ibu saat hamil, jumlah anak yang dilahirkan, jarak anak sebelum atau sesudah responden, dan penyakit yang pernah diderita ibu sebelum hamil responden. Pendidikan orang tua adalah pendidikan formal yang pernah dijalani. Pangkategorian pendidikan menjadi pendidikan tinggi (jika ibu tamat SLTA dan perguruan tinggi dengan lama pendidikan > 9 tahun) dan pendidikan rendah (jika ibu tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SLTP dan tamat SLTP dengan lama pendidikan ≤ 9 tahun). Pekerjaan orangtua adalah kegiatan yang dilakukan orang tua untuk menghasilkan pendapatan bagi keluarga dengan kategori yaitu tidak bekerja dan bekerja. Pendapatan keluarga adalah pendapatan orangtua selama satu bulan yang diperoleh melalui pekerjaan utama, pekerjaan tambahan, atau pemberian orang lain yang dinilai dalam rupiah. Berdasarkan BPS Kota Bogor 2010, pendapatan diukur berdasarkan pengeluaran (pangan dan non pangan)
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaaan Umum Daerah Penelitian Kota Bogor secara geografis terletak pada koordinat diantara 106° 48‟ BT dan 6° 36‟ LS dengan jarak ± 56 km dari kota Jakarta dengan luas wilayah 118,50 Km2. Terdiri dari 6 Kecamatan 68 Kelurahan. Kecamatan Bogor Barat termasuk dalam wilayah Kota Bogor. Kecamatan Bogor Barat terdiri dari 16 Kelurahan, 196 RW, 796 RT dan 53.408 rumah tangga (KK). Kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Barat meliputi Menteng, Pasir Kuda, Pasir Jaya, Pasirmulya, Gunung Batu, Bubulak, Situgede, Margajaya, Balumbang Jaya, Semplak, Cilendek Timur, Cilendek Barat, Curug, Loji, Curug mekar dan Sindang Barang. Secara geografis, Kecamatan Bogor Barat memiliki batas-batas wilayah disebelah barat dibatasi oleh Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, disebelah Timur oleh Kecamatan Bogor Tengah dan Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, disebelah selatan oleh Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor dan disebelah utara oleh Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Luas wilayah Kecamatan Bogor Barat 3.174,00 Ha. Merupakan lahan yang baik untuk mendukung kegiatan perkotaan seperti pemukiman, perkantoran, perdagangan, industri, pariwisata, pertanian dan lain-lain. Sarana dan prasarana di Kecamatan Bogor Barat terbagi menjadi prasarana sosial dan kesehatan. Sarana dan prasarana sosial meliputi tempat ibadah (152 mesjid), gedung sekolah (210 sekolah). Sarana dan prasarana kesehatan meliputi rumah sakit (3 buah), puskesmas induk (5 buah), puskesmas pembantu (4 buah), klinik (23 buah) dan praktek dokter (122 orang), bidan praktek (25 orang) dan posyandu (208 buah). Jumlah penduduk Kecamatan Bogor Barat termasuk dalam wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak sebesar 210.450 jiwa. Komposisi penduduk didominasi oleh penduduk usia muda dengan jumlah yang signifikan pada penduduk usia produktif dengan perbandingan yang hampir mencapai angka 2 : 1. Kegiatan perdagangan dan jasa di wilayah Kecamatan Bogor Barat sangat dipengaruhi oleh tersedianya akses sarana perhubungan melalui pembangunan jalan-jalan baru yang memicu investor-investor baru melakukan investasi disektor perdagangan, jasa dan terutama properti.
62
Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga dikategorikan menjadi dua yaitu keluarga kecil yang beranggotakan ≤ 4 orang dan keluarga besar yang beranggotakan > 4 orang (BKKBN 1998). Sebaran ukuran keluarga contoh di wilayah penelitian yang memiliki anak usia 24-59 bulan kelompok stunting maupun normal, lebih besar berada pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang (56,4%). Ratarata keluarga pada kelompok balita normal yaitu 4,4 ± 1,5 orang maupun kelompok anak stunting yaitu 4,6 ± 1,3 orang seperti disajikan pada Tabel 4. Menurut Berg (1986) keluarga yang semakin besar akan menurunkan status gizi anak. Tingginya persentase besar keluarga dengan jumlah ≤ 4 orang dikarenakan data yang diperoleh umumnya berasal dari keluarga yang memiliki 1 balita dan jarak kelahiran anak lebih dari 24 bulan (Lampiran 4). Berdasarkan penelitian Suradi dan Chandradewi (2007) menunjukkan semakin kecil jumlah anggota keluarga, maka ibu mempunyai waktu yang banyak untuk mengasuh anak sehingga tumbuh kembang anak dapat dipantau. Secara statistik, tidak terdapat hubungan bermakna (p>0,05) antara besar keluarga dengan status gizi TB/U. Umur Orangtua Rata-rata umur ayah pada kedua kelompok balita normal adalah 35,9 ± 8,4 tahun dan sebagian besar (75,7%) berada pada kelompok umur 20-40 tahun sedangkan rata-rata umur ayah pada kelompok anak stunting adalah 35,2 ± 5,9 tahun dan sebagian besar (85,7%) berada pada kelompok umur 20-40 tahun. Sementara rata-rata umur ibu pada kelompok anak normal adalah 30,3 ± 5,9 tahun dan umur ibu pada kelompok anak stunting adalah 30,3 ± 6,0 tahun. Sebagian besar (> 90%) umur ibu pada kedua kelompok berada pada kelompok umur 20-40 tahun yang termasuk dalam kategori kelompok dewasa awal. Sementara rata-rata umur ibu pada kedua kelompok anak adalah 30,3 ± 5,9 tahun berada pada kelompok umur 20-40 tahun (Tabel 4). Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada
63
pengalaman orang tua terdahulu sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock 1998). Secara statistik, tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara umur ayah dan ibu kedua kelompok balita dengan status gizi (TB/U). Pendidikan Orangtua Rata-rata lama pendidikan ayah pada kelompok anak normal yaitu 9,4 ± 2,5 tahun dapat dikategorikan pendidikan tinggi sementara pada kelompok anak stunting yaitu 8,0 ± 2,5 tahun. Rata-rata lama pendidikan ibu 8,1 ± 2,4 tahun pada kelompok anak normal dan 6,6 ± 1,5 tahun pada kelompok anak stunting dengan kategori pendidikan rendah.. Menurut Madanijah (2003), tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Secara statistik terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) tingkat pendidikan ayah dan pendidikan ibu antara kelompok balita normal dan stunting. Berdasarkan tabulasi silang antar variabel bahwa pendidikan ayah yang tinggi memberikan kontribusi terhadap pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, riwayat kehamilan dan pola asuh lingkungan yang baik (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan pendidikan orangtua akan mempengaruhi pengasuhan anak, karena orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memahami betapa pentingnya peranan orangtua terhadap anak. Semakin tinggi pendidikan diduga semakin baik pengetahuan gizinya dan ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mengetahui tentang cara mengolah bahan makanan, cara mengatur menu mengatur makanan anak sehingga keadaan gizi anak terjamin. Madanijah (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Pekerjaan Orangtua Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh ayah contoh (100%) pada kedua kelompok balita mempunyai pekerjaan (bekerja) dan persentase nilai tertinggi (80%) ibu contoh tidak bekerja. Sebagian besar (63,6%) pekerjaan ayah sebagai buruh sementara ibu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sebagai ibu
64
rumah tangga (IRT) (Lampiran 4). Menurut Sukarni (2002), mata pencaharian memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan. Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga Variabel Besar keluarga ≤ 4 orang > 4 orang Rata-rata ± SD Umur Ayah < 20 tahun 20-40 tahun > 40 tahun Rata-rata ± SD Umur Ibu < 20 tahun 20-40 tahun > 40 tahun Rata-rata ± SD Pendidikan Ayah Rendah Tinggi Rata-rata ± SD Pendidikan Ibu Rendah Tinggi Rata-rata ± SD Pekerjaan Ayah Bekerja Tidak bekerja Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak bekerja Tinggi Badan Ayah < 165 cm ≥ 165 cm Rata-rata ± SD Tinggi Badan Ibu < 156 cm ≥ 156 cm Rata-rata ± SD Jumlah Anak Balita 1 orang > 1 orang Rata-rata ± SD Total
Kelompok balita Stunting Normal n % N %
pvalue
Total n
%
58,6 41,4 4,4 ± 1,5
79 61
56,4 43,6
0 0 85,7 60 14,3 10 35,2 ± 5,9
0 0 75,7 53 24,3 17 35,9 ± 8,4
0 113 27
0 80,7 19,3
2,9 2 91,4 64 5,7 4 30,3 ± 6,0
0 0 95,7 67 4,3 3 30,3 ± 5,9
2 131 7
1,4 93,6 5
80 56 20 14 8,0 ± 2,5
40 30
57,1 42,9 9,4 ± 2,5
96 44
68,6 31,4
94,3 66 5,7 4 6,6 ± 1,5
55 15
78,6 21,4 8,1 ± 2,4
121 19
86,4 13,6
70 0
100 0
70 0
100 0
140 0
100 0
19 51
27,1 72,9
9 61
12,9 87,1
0,609 38 32
54,3 45,7 4,6 ± 1,3
41 29
0,134
0,331
0,004*
0,007*
----
0,035* 28 112
20 80 0,310
57,1 40 42,9 30 163,5 ± 6,8
48,6 34 51,4 36 164,8 ± 6,4
74 52,9 66 47,1 164,2 ± 6,6 0,005*
90 63 10 7 149,7 ± 5,6
71,4 50 28,6 20 1 152,5 ± 6,0
113 27
80,7 19,3
82,9 17,1 1,2 ± 0,4 70 100
114 26
81,4 18,6
140
100
0,664 80 56 20 14 1,2 ± 0,4 70 100
58 12
Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) status kerja ayah dengan status gizi balita (TB/U) namun terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) status kerja ibu dengan status gizi balita (TB/U). Hal ini berarti ibu yang tidak bekerja lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak di rumah. Berdasarkan tabulasi silang antar variabel menunjukkan Ibu yang lebih banyak
65
menghabiskan waktu di rumah (tidak bekerja) berpengaruh terhadap balita dengan riwayat konsumsi ASI dan pola asuh makan (praktek sanitasi pangan) yang baik (Lampiran 6). Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga pada kedua kelompok dihitung dengan menggunakan pendekatan pengeluaran pangan dan non pangan per kapita per bulan. Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok balita normal adalah 201 291 ± 51 074 sedangkan pada kelompok balita stunting adalah 196 035 ± 41 086. Berdasarkan batas garis kemiskinan Kota Bogor menurut BPS (2011) sebesar Rp. 256.414,00 (Kap/bln) maka rata-rata keluarga kedua kelompok balita termasuk kategori keluarga miskin. Tabel 5. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengeluaran, jenis pengeluaran serta proporsinya Kelompok balita Pengeluaran
Stunting n
Normal %
Tingkat Pengeluaran (Rp/Kap/bln) < Rp. 198.663,30 42,9 ≥ Rp. 198.663,40 57,1 Total 70 100 Jenis Pengeluaran (Rp/Kap/bln) Pangan 134 828 ± 30483 Non Pangan 61 208 ± 30363 Total 196 035 ± 41086 Proporsi Pengeluaran (%) Pangan Non Pangan Total
69,6 ± 11,5 30,4 ± 11,5 100
n
%
31 39 70
44,3 55,7 100
139 395 ± 27352 61 896 ± 29009 201291 ± 51074 69,9 ± 11,2 30,1 ± 11,2 100
Proporsi pengeluaran pangan dan non pangan keluarga pada kedua kelompok disajikan pada Tabel 5. Terlihat bahwa sebagian besar (>69,5%) pengeluaran keluarga tiap bulan pada kedua kelompok diperuntukkan untuk pengeluaran pangan. Hanya sebagian saja yang diperuntukkan untuk keperluan non pangan yaitu (>30%). Pengeluaran non pangan yang rutin dikeluarkan sebagian besar keluarga pada kedua kelompok adalah untuk biaya penerangan dan biaya pendidikan (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga contoh pada penelitian ini berada pada tingkat ekonomi rendah. Hal ini sesuai dengan data dari
66
Laporan Tahunan Kecamatan Bogor Barat (2010), Kecamatan Bogor Barat memiliki jumlah KK miskin terbanyak se-Kota Bogor yaitu 11,734 KK (26%) dari KK seluruhnya yang ada di Kota Bogor. Tinggi Badan Orang tua Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan ayah pada kedua kelompok balita yaitu 164,2 ± 6,6 cm sedangkan tinggi badan ibu yaitu 151,1 ± 5,9 cm. Tinggi ayah kurang dari 165 cm berdasarkan AKG golongan umur 19-49 tahun, lebih banyak (52,9%) dari ayah dengan tinggi lebih dari 165 cm (47,1%). Rata-rata tinggi badan ibu pada kelompok balita normal yaitu 152,5 ± 6,0 cm dan kelompok balita stunting yaitu 149,7 ± 5,6 cm. Selisih tinggi badan ibu pada kedua kelompok yaitu sebesar ± 3 cm (Tabel 4). Tinggi ibu kurang dari 156 cm berdasarkan AKG golongan umur 19-49 tahun, lebih banyak (80,7%) dari ibu dengan tinggi lebih dari 156 cm (19,3%). Berdasarkan uji chi square, tinggi badan ayah tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap status gizi balita (TB/U), namun tinggi badan ibu memberikan pengaruh (p<0,05) terhadap status gizi balita. Hal ini sejalan dengan penelitian Aditianti (2010) mengenai „Faktor Determinan Stunting pada anak usia 24-59 bulan di Indonesia‟ yang menunjukkan bahwa tinggi badan ayah dan ibu berhubungan dengan stunting dan status ekonomi. Ibu maupun ayah yang memiliki tinggi badan di atas standar cenderung memiliki anak dengan status gizi (TB/U) normal. Tabulasi silang antar variabel penelitian menunjukkan bahwa tinggi badan ayah berhubungan dengan pendidikan ayah, lebih banyak ayah yang bertubuh kecil berpendidikan rendah (Lampiran 6). Jumlah Anak Balita Sebagian besar (81,4%) keluarga kedua kelompok balita memiliki 1 orang balita dengan jumlah rata-rata adalah 1,2 ± 0,4 baik pada keluarga balita stunting maupun keluarga balita normal (Tabel 4). Berdasarkan tabulasi silang antar variabel, sebaran data tertinggi keluarga dengan memiliki satu orang balita berhubungan dengan keluarga contoh yang kecil (≤ 4 orang), keluarga dengan sedikit anak (≤ 2 orang) namun memiliki riwayat kesehatan yang kurang baik dan lebih banyak memiliki ibu berperawakan kecil (Lampiran 6).
67
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna (p>0,05) antara jumlah balita dengan status gizi (TB/U). Walaupun dalam beberapa penelitian menghasilkan hal yang berbeda yaitu salah satu masalah gizi buruk berasal dari keluarga dengan jumlah anak balita lebih dari satu orang sebagai gambaran kehamilan dengan jarak terlalu dekat dan berkaitan dengan perhatian, perawatan dan kasih sayang ibu kepada anak selain itu juga sesuai dengan peraturan pemerintah dalam upaya peningkatan kepedulian masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (Saputra 2009). Karakteristik Ibu Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (84,3%) umur ibu pada saat hamil contoh kedua kelompok balita berada pada kelompok umur 20-40 tahun. Umur ibu pada kelompok stunting 26,5 ± 5,9 tahun dan normal 25,9 ± 5,8 tahun (Tabel 6).13,6 persen ibu hamil pada saat umur kurang dari 20 tahun, hal ini dapat beresiko bagi ibu dan anaknya. Graef et al. (1996) mengemukakan bahwa makin muda atau makin tua usia ibu, maka makin tinggi resiko ibu beserta anaknya. Selanjutnya penelitian Taylor di Thailand (1970) menyebutkan bahwa ada hubungan kematian ibu dengan umur ibu. Ibu yang melahirkan di bawah 20 tahun dan melahirkan di atas 35 tahun mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan dalam umur 20-34 tahun (Saputra 2009). Penelitian menunjukkan secara uji chi square, umur ibu saat hamil tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan status gizi TB/U (p>0,05). Persentase tertinggi (65%) rata-rata jumlah anak yang dilahirkan ibu contoh pada kedua kelompok balita adalah dua orang. Selisih rata-rata jumlah balita antara dua kelompok, terlihat bahwa jumlah anak yang dilahirkan ibu pada kelompok normal lebih sedikit. Hal ini berdasarkan distribusi contoh yang diperoleh lebih banyak ibu yang memiliki anak sedikit (≤2 orang). Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara status gizi TB/U dengan jumlah anak yang dilahirkan (Tabel 6). Namun tabulasi data antar variabel menunjukkan sedikit anak (≤ 2 orang) berhubungan dengan riwayat kehamilan ibu, praktek pemberian makan dan praktek perawatan diri yang baik (Lampiran 6). Program KB dari BKKBN dengan moto ”dua anak lebih baik” adalah upaya pemerintah dalam pengaturan kelahiran yang tidak hanya untuk mengendalikan
68
laju pertumbuhan penduduk, menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera selain itu dengan Jumlah anak yang sedikit dapat mendorong kesehatan penduduk perempuan sehingga memiliki waktu yang lebih untuk berkontribusi baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat (Saputra 2009). Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik ibu Kelompok Balita Stunting Normal n % n % Umur Ibu saat hamil responden < 20 tahun 12,9 14,3 9 10 20-40 tahun 85,7 82,9 60 58 > 40 tahun 1,4 2,9 1 2 Rata-rata ± SD 26,5 ± 5,9 25,9 ± 5,8 Jumlah anak yang dilahirkan ≤ 2 orang 62,9 67,1 44 47 > 2 orang 37,1 32,9 26 23 Rata-rata ± SD 2,5 ± 1,3 2,2 ± 1,4 Jarak Kelahiran anak < 24 bulan 27,1 38,6 19 27 ≥ 24 bulan 72,9 61,4 51 43 Penyakit yang pernah diderita ada 25,7 22,9 18 16 tidak ada 74,3 77,1 52 54 Total 70 100 70 100
pvalue
Total
Variabel
n
% 0,811
19 118 3
13,6 84,3 2,1
91 49
65 35
46 94
32,9 67,1
34 106 140
24,3 75,7 100
0,595
0,150
0,693
Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase tertinggi (>60%) jarak anak yang dilahirkan pada kedua kelompok balita yaitu berjarak ≥ 24 bulan. Namun distribusi data yang diperoleh, balita yang jarak kelahiran ≥ 24 bulan lebih tinggi (72,9%) pada keluarga kelompok balita stunting dibandingkan dengan kelompok balita normal (61,4%). Berdasarkan tabulasi silang antar variabel, jarak kelahiran anak ≥ 24 bulan berhubungan dengan jumlah anak lebih sedikit (≤ 2 orang). Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jarak anak yang dilahirkan dengan status gizi (p>0,05). Sementara menurut Supariasa (2002), Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga. Penelitian Wyon dan Gordon tentang pengaruh anak yang terlampau dekat di Punjab, India (1980) menyebutkan bahwa kematian bayi baru lahir dan anak meningkat kalau jaraknya kurang dari dua tahun sejak kelahiran anak sebelumnya, dan angka kematian itu akan menurun dengan cepat kalau jaraknya menjadi lebih lama (Saputra 2009). Selanjutnya Wong (2008) berpendapat bahwa pengaruh terhadap anak yang lebih
69
tua, bila perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun bisa dikatakan merupakan suatu ancaman. Pada saat usia anak paling tua masih kecil, konsep diri belum matang sehingga muncul perasaan terancam. Sebagian besar (75,7%) ibu contoh kedua kelompok balita tidak memiliki penyakit berat sebelum kehamilan. Persentase ibu yang sehat (tidak memilki penyakit) sebelum/saat hamil lebih tinggi (77,1%) pada kelompok balita normal dibandingkan kelompok balita stunting (74,3%). Sementara 24,3 persen ibu contoh yang memiliki penyakit antara lain, anemia, hipertensi, jantung, paru-paru, kista, maag, alergi dan sakit gigi. Beberapa peneliti menetapkan kehamilan dengan resiko tinggi, antara lain oleh umur kurang dari 19 tahun, umur di atas 35 tahun, jarak anak terlalu dekat, tinggi badan kurang dari 145 cm, kehamilan dengan penyakit ibu yang mempengaruhi kehamilan (faktor genetik), serta riwayat kehamilan yang buruk disebabkan oleh pernah keguguran, pernah persalinan prematur, lahir mati, riwayat persalinan dengan tindakan, pre-eklampsia-eklampsia, gravida serotinus, kehamilan dengan perdarahan antepartum serta kehamilan dengan kelainan letak (Manuaba 1998). Masalah-masalah yang ditemukan dokter pada wanita hamil usia lebih dari 30 tahun termasuk kehamilan disebabkan oleh diabetes, tekanan darah tinggi dan masalah plasenta. Setelah usia 40 tahun, wanita merasakan ketegangan fisik karena kehamilan. Mereka akan lebih terganggu oleh wasir, inkontinensia, varises, nyeri dan pegal otot, dan nyeri pinggang (Curtis & Asih 2000). Hasil tabulasi silang antar variabel, bahwa penyakit yang pernah diderita ibu berhubungan dengan jenis kelamin dan pendidikan ayah. Hal ini berarti, sebaran data penyakit yang pernah diderita ibu sebelum kehamilan lebih banyak terdapat pada anak laki-laki dan lebih banyak memiliki ayah dengan pendidikan yang rendah. Namun berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara status gizi dengan penyakit yang pernah diderita ibu sebelum kehamilan (Tabel 6).
70
Karakteristik Anak Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh kembang dari beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan urutan kelahiran anak (Hurlock 1997). Tabel 7 menunjukkan rata-rata z-skor pada kelompok balita stunting sebesar -2,92
± 0,69 dan balita normal sebesar -0,95 ± 0,91. Berdasarkan z-skor, balita
umur 24-35 tahun memiliki rata-rata tinggi badan 82,9 ± 4,4 dengan z-skor -2,15 ± 1,23 sedangkan rata-rata tinggi badan anak umur 48-59 bulan yaitu 97,4 ± 5,0 memiliki z-skor sebesar -1,83 ± 1,07. Kecenderungan yang diperoleh, pada kelompok stunting berdasarkan penggolongan umur yaitu semakin tinggi umur anak semakin membaik pertumbuhan. Sementara pada kelompok balita normal, fluktuatif. Hal ini menunjukkan jika tidak ditunjang dengan gizi dan pengasuhan yang baik, maka kecenderungan yang terjadi adalah balita menjadi stunting. Tabel 7. Rata-rata tinggi badan dan z skor TB/U berdasarkan umur, jenis kelamin dan urutan anak dalam keluarga Kelompok Balita Karakteristik anak
Stunting
Normal
n
%
Z skor TB/U
n
%
Z skor TB/U
Umur (bulan) 24 - 35 36 - 47 48 - 59
28 24 18
40 34,3 25,7
-2,99 ± 0,69 -2,97 ± 0,81 -2,73 ± 0,46
22 25 23
31,4 35,7 32,9
-1,07 ± 0,85 -0,70 ± 1,00 -1,12 ± 0,85
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
30 40
42,9 57,1
-2,88 ± 0,71 -2,95 ± 0,68
36 34
51,4 48,6
-0,85 ± 1,03 -1,06 ± 0,77
pvalue 0,570
0,310
Urutan anak dalam keluarga Sulung 18 25,7 Tengah 9 12,9 Bungsu 43 61,4 Total 70 Rata-rata ± SD
0,084 2,95 ± 0,65 2,75 ± 0,42 2,94 ± 0,75 -2,92 ± 0,69
29 4 37 70
41,4 5,7 52,9
-0,81 ± 1,03 -0,95 ± 1,23 -1,06 ± 0,79 -0,95 ± 0,91
Selain itu, penggunaan z-skor untuk mengetahui lebih detail dimana posisi suatu skor dalam suatu distribusi dan pada penelitian ini, grafik sebaran z-skor TB/U memiliki kecenderungan ke arah negatif dari grafik referensi standar WHO/NCHS (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok balita normal memiliki kecenderungan yang besar untuk menjadi stunting.
71
Gambar 4. Grafik sebaran Z skor TB/U Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara umur balita dengan status gizi TB/U tetapi tidak bermakna (p>0,05). Hasil penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan negatif antara umur anak dengan status stunting pada anak balita. Selanjutnya menurut Ramli et al (2009) prevalensi stunting tertinggi terjadi pada saat anak berusia 24-59 bulan. Berdasarkan tabulasi silang antar variabel, umur anak berhubungan dengan praktek pemberian makan. Semakin bertambah umur anak semakin baik pula praktek pemberian makan yang diberikan ibu contoh (Lampiran 6). Persentase anak laki-laki pada kelompok balita normal lebih tinggi (51,4%) dengan rata-rata nilai z-skor -0,85 ± 1,03 daripada anak perempuan (48,6%) dengan rata-rata nilai z-skor -1,06 ± 0,77. Umumnya anak laki-laki lebih dibebaskan dalam memilih makanan dan pemberian makanan untuk anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan. Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orangtua memperlakukan anaknya, seperti anak laki-laki biasanya lebih diberi kebebasan oleh orangtua dibandingkan dengan anak perempuan (Santrock 2003). Namun demikian berdasarkan hasil uji chi-square tidak terdapat hubungan bermakna (p>0,05) antara jenis kelamin dengan status gizi. Menurut urutan kelahiran pada penelitian ini menunjukkan bahwa persentase tertinggi (57,1%) balita contoh merupakan anak bungsu dengan ratarata nilai z-skor -2,07 ± 1,2 dan sebagian besar berada pada kelompok balita
72
stunting (61,4%). Selanjutnya diikuti oleh anak sulung dan persentase kelompok anak tengah yang lebih tinggi (12,9%) dibanding kelompok balita normal (5,7%). Menurut Maulani (2002) Anak tunggal, anak pertama dan anak bungsu biasanya akan mendapatkan perhatian yang lebih baik dibandingkan dengan anak lainnya. Anak tengah menurut Wong (2008), lebih dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, jarang dipuji, menerima kekurangan waktu untuk bersama dengan orang tua, dan lebih dituntut untuk berkompromi dan beradaptasi. Secara statistik, tidak terdapat perbedaan urutan anak (contoh) yang bermakna (p>0,05) terhadap status gizi TB/U. Namun tidak sejalan dengan penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan positif antara urutan kelahiran dengan status stunting pada anak balita. Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu Pengetahuan gizi dan kesehatan yang dimiliki ibu sangat penting dan diharapkan anak yang diasuh dan dirawat dapat mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 24-59 bulan dengan status gizi berdasarkan TB/U dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu berdasarkan kelompok balita Kelompok Balita Variabel
Stunting n %
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu Baik 42,9 30 Kurang 57,1 40 Total 70 100
Total
pvalue
Normal n
%
n
%
48 22 70
68,6 31,4 100
78 62 140
55,7 44,3 100
0,002*
Tabel 8 terlihat bahwa persentase ibu balita contoh dengan pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, lebih tinggi (55,7%) dibandingkan ibu balita yang kurang pengetahuan gizi dan kesehatan (44,3%). Berdasarkan pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, ibu kelompok balita normal memilki nilai yang lebih tinggi (68,6 %) dibandingkan kelompok balita stunting (42,9%). Sebagian besar ibu dapat menjawab dengan benar pertanyaan mengenai ASI Ekslusif, susunan makanan yang bergizi (4 sehat 5 sempurna), sanitasi dan higienis pangan dan lingkungan, kegiatan posyandu yang meliputi penimbangan, manfaat Iodium pemberian kapsul vitamin A serta pemantauan tumbuh kembang balita. Namun
73
pengetahuan ibu tentang gizi yang umumnya kurang diketahui adalah pertanyaan mengenai kolostrum, cara pengolahan bahan pangan, pembuatan larutan oralit, berat badan lahir normal, fungsi dan sumber bahan pangan zat gizi (Lampiran 5). Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua juga ikut menentukan mudah dan tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh, serta berperan dalam penentu pola penyusunan makanan dan pola pengasuhan anak. Dalam pola penyusunan makanan erat hubungannya dengan pengetahuan ibu mengenai bahan makanan seperti sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Apriadji 2007). Tabulasi silang data antar variabel menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu berhubungan dengan riwayat kehamilan dan riwayat konsumsi ASI. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu yang baik, memberikan dampak riwayat kehamilan dan riwayat konsumsi ASI yang baik (Lampiran 6). Berdasarkan hasil uji chi square, terdapat hubungan positif yang bermakna (p<0,05) antara pengetahuan ibu dengan status gizi TB/U. Sejalan dengan hasil Mariani (2002), menemukan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi akan membiasakan anaknya untuk lebih memilih makanan yang sehat dan memenuhi kebutuhan gizi. Hasil penelitian Martianto et al. (2008), penegetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan dengan pendidikan ibu. Riwayat Kehamilan, Kelahiran dan Konsumsi ASI Riwayat Kehamilan Ibu Penentuan Riwayat kehamilan ibu meliputi jenis persalinan, tempat persalinan, komplikasi persalinan, riwayat persalinan, pemeriksaan kesehatan serta makanan dan minumam yang dikonsumsi selama kehamilan. Tabel 9 menunjukkan rata-rata riwayat kehamilan ibu contoh termasuk dalam kategori baik sebesar 75,7 persen. Riwayat kehamilan ibu kategori baik pada kelompok balita normal lebih tinggi (84,3%) daripada kelompok balita stunting (67,1%). Ibu yang termasuk kategori kurang baik (24,3%) umumnya memiliki komplikasi pendarahan,
pernah
mengalami
keguguran,
mengkonsumsi
jamu,
tidak
mengkonsumsi suplemen yang diberikan petugas kesehatan dan tidak melakukan pemeriksaan kehamilan secara berkala.
74
Menurut Arisman (2004) Jika seluruh bahan makanan yang diperlukan untuk ibu hamil dikonsumsi, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan akan terpenuhi, kecuali zat besi dan asam folat harus ditambahkan melalui suplementasi. Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus mendapatkan tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi. Kebiasaan minum jamu dilakukan beberapa ibu dan merupakan tradisi turun temurun yang diwariskan dari nenek moyang. Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada di bawah pengawasan dokter kandungan, terutama bila ada riwayat keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya. Pada trimester pertama merupakan masa sangat rentan bagi kehamilan, kemungkinan pada trimester kedua bisa lebih longgar, tapi meskipun demikian harus tetap berhati-hati, dosis pemakaiannya disesuaikan, disertai pemeriksaan antenatal care (Melindacare 2010). Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan riwayat kehamilan ibu, kelahiran anak dan konsumsi ASI Kelompok Balita Variabel
Stunting
n Riwayat Kehamilan Baik 47 Kurang 23 Riwayat Kelahiran Anak Baik 37 Kurang 33 Riwayat Konsumsi ASI Baik 52 Kurang 18 Total 70
Total
Normal
%
n
%
n
%
67,1 32,9
59 11
84,3 15,7
106 34
75,7 24,3
52,9 47,1
32 38
45,7 54,3
69 71
49,3 50,7
74,3 25,7 100
54 16 70
77,1 22,9 100
106 34 140
75,7 24,3 100
pvalue 0,018
0,398
0,693
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna (p<0,05) antara riwayat kehamilan ibu dengan status gizi (TB/U). Menurut Lubis (2003) Kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal. Variabel lain pada pengukuran riwayat kehamilan ibu yaitu penolong persalinan dan tempat persalinan. Dari hasil yang ditunjukkan pada Tabel 10 yaitu
75
ibu contoh lebih banyak dibantu pada saat persalinan oleh bidan (65,7%) dan dukun bayi (25%). Umumnya ibu contoh lebih banyak berkonsultasi dan mempercayakan kehamilannya kepada bidan dan dukun bayi daripada dokter. Hal ini karena juga dipengaruhi faktor biaya yang dikeluarkan bila berkonsultasi maupun melahirkan di bantu oleh dokter umumnya lebih banyak. Tempat persalinan yang umumnya digunakan ibu contoh yaitu tempat bidan (60%). Persentase tertinggi kedua tempat persalinan yang dipilih yaitu di rumah. Rumah dipilih sebagai tempat persalinan karena selain faktor biaya yang menjadi alasan utama juga proses persalinan berlangsung sealami mungkin (Tabel 10). Tabel 10. Variabel penunjang pada riwayat kehamilan ibu Kelompok Balita Variabel lain Penolong persalinan Dokter Bidan Dukun bayi Saudara/famili Kader Tempat persalinan RS/RB Bidan Dukun bayi Puskesmas Rumah Total
Stunting
Total
Normal
n
%
n
%
n
%
4 41 24 1 0
5,7 58,6 34,3 1,4 0
6 51 11 0 2
8,6 72,9 15,7 0 2,9
10 92 35 1 2
7,1 65,7 25 0,7 1,4
2 40 3 1 24 70
2,9 57,1 4,3 1,4 34,3 100
10 44 2 1 13 70
14,3 62,9 2,9 1,4 18,6 100
12 84 5 2 37 140
8,6 60 3,6 1,4 26,4 100
Riwayat Kelahiran Anak Penentuan riwayat kelahiran anak meliputi panjang dan berat badan, sumber informasi saat lahir serta riwayat penyakit bawaan yang dimiliki anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase riwayat kelahiran contoh lebih tinggi (50,7%) berada pada kategori kurang baik dibandingkan kategori baik (49,3%) (Tabel 9). Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh, beberapa anak yang termasuk dalam kategori kurang baik dikarenakan ibu contoh saat persalinan dibantu oleh selain dokter maupun bidan yang belum memiliki fasilitas kesehatan yang memadai sehingga kurang adanya perhatian terhadap pengukuran maupun penimbangan pada saat bayi lahir serta higienitas peralatan yang digunakan. Sumber informasi yang didapat mengenai pengukuran panjang maupun berat
76
badan saat lahir mengandalkan pengakuan atau ingatan ibu saja serta adanya penyakit bawaan saat lahir berupa flek di paru-paru, asma serta alergi. Pengukuran panjang sangat mudah dilakukan untuk menilai gangguan dan pertumbuhan anak. Menurut Sinaga (2011) panjang bayi lahir merupakan pengukuran yang penting selain berat badan bayi lahir untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahap usia selanjutnya. Berdasarkan hasil penelitian di Bogor, penambahan panjang bayi berjalan dengan baik hanya sampai usia 5 bulan setelah itu gangguan pertumbuhan linier mulai terjadi (Schmidt et al. 2002). Berat bayi saat lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan kelangsungan hidup. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 g, sedangkan bayi yang memiliki berat < 2500 g dikategorikan sebagai berat bayi lahir rendah (BBLR). WHO/UNICEF (2004) menyatakan bahwa bayi dengan BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dibandingkan bayi normal. Bayi dengan berat yang rendah merupakan hasil dari preterm birth (<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin (intrauterine). Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat kelahiran anak dengan status gizi (TB/U). Berdasarkan tabulasi silang antar variabel menunjukkan bahwa riwayat kelahiran anak berhubungan dengan urutan anak dalam keluarga dan praktek pemberian makan. Balita dengan riwayat kelahiran baik, umumnya dimiliki oleh anak bungsu. Selain itu, dengan riwayat kelahiran yang baik memberikan dampak yang baik pula terhadap pola asuh (praktek pemberian makan) yang diberikan ibu (Lampiran 6). Riwayat Konsumsi ASI Penentuan riwayat konsumsi ASI contoh meliputi pemberian kolostrum, ASI eksklusif, makanan-minuman saat lahir, MP-ASI serta pemberian susu formula. Tabel 9 menunjukkan hasil riwayat konsumsi ASI baik lebih tinggi (75,7%) dibandingkan riwayat konsumsi ASI yang kurang baik (24,3%). Hasil riwayat konsumsi ASI baik pada kelompok balita normal lebih tinggi (77,1%) dari kelompok balita stunting (74,3%). Berdasarkan hasil data dan wawancara, riwayat konsumsi ASI yang kurang baik disebabkan antara lain oleh kurangnya
77
pengetahuan mengenai kolostrum, masih menganggap kotor ASI pertama yang keluar dan khawatir anak akan sakit. Masih ada ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif dengan beberapa alasan karena ASI yang keluar sedikit, anak rewel sehingga diberikan makan bahkan ada yang memberikan air tajin dengan alasan agar usus menjadi kuat. Memberikan makanan dan minuman saat lahir seperti madu. Pemberian MP-ASI yang terlalu cepat (< 6 bulan) seperti pisang mas dengan alasan untuk membersihkan perut sehingga akan menurunkan konsumsi ASI dan mengalami gangguan pencernaan atau bisa diare. Hasil uji chi square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara status gizi TB/U dengan riwayat konsumsi ASI. Namun Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kejadian stunting terhadap status pemberian ASI telah banyak dilakukan. Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 6-11 bulan di Ethopia menurut Umeta et al. (2003) adalah konsentrasi seng dan kalsium dalam ASI serta kualitas dan kuantitas pemberian MP-ASI. Sementara penelitian di Sudan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status gizi, status pemberian ASI, status sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang berkolerasi dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000). Berdasarkan hasil data tabulasi silang antar variabel, menunjukkan riwayat konsumsi ASI berhubungan dengan status kerja ibu dan pengetahuan gizi dan kesehatan. Balita dengan riwayat konsumsi ASI baik berasal dari ibu yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) dan memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik pula (Lampiran 6). Pola Asuh Makan dan Kesehatan Pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam rangka tumbuh kembang anak dan anggota keluarga lainnya (FAO/WHO 1992). Pengasuhan didefinisikan juga sebagai perilaku dan praktek dari pengasuh (ibu, saudara kandung, ayah dan pengasuh lainnya) dalam hal makanan, kesehatan, perhatian, stimulasi dan dukungan emosional untuk tumbuh kembang anak (Engle & Lotska (1999) dalam Jallow 2006).
78
Pola Asuh Makan Pola asuh makan yang diukur dalam penelitian ini meliputi praktek pemberian makan dan praktek sanitasi pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tertinggi (63,6%) praktek pemberian makan berada pada kategori baik dan 36,4 persen termasuk kategori kurang baik. Ibu yang memiliki praktek pemberian makan kategori baik, lebih tinggi (70%) berada pada kelompok balita normal dibandingkan kelompok stunting (57,1%). Berdasarkan hasil wawancara, kategori kurang baik dikarenakan beberapa hal, antara lain: pada umur kurang dari 6 bulan, balita sudah diberikan makanan padat pertama; makanan yang diberikan hanya sesuai dengan permintaan atau kesukaan anak tanpa memperhatikan kandungan gizi yang ada dengan alasan anak rewel; serta ada beberapa anak yang sulit makan dengan frekuensi makan kurang dari 3 kali. Berdasarkan tabulasi silang antar variabel menunjukkan hubungan praktek pemberian makan dengan umur balita, banyak anak, riwayat kehamilan ibu, dan riwayat kelahiran anak kategori baik. Hal ini berarti, sebaran data praktek pemberian makan yang baik berada pada balita umur 36-47 bulan dan berada pada keluarga dengan anak kurang dari 2 orang. Praktek pemberian makan baik dipengaruhi oleh riwayat kehamilan ibu dan riwayat kelahiran anak yang baik pula. Praktek pemberian makan berhubungan dengan riwayat kesehatan dan keragaman yang kurang baik. Hal ini mengindikasikan balita dengan riwayat kesehatan dan keragaman makanan yang kurang baik mendapatkan perhatian yang lebih (baik) dari ibu balita contoh untuk perbaikan status gizi balita tersebut (Lampiran 6). Berdasarkan uji chi square, tidak ada hubungan yang bermakna (p>0,05) antara praktek pemberian makan dengan status gizi TB/U. Namun penelitian yang dilakukan oleh Ruel dan Menon (2002) bahwa anak usia 12-36 bulan di Amerika Latin yang mendapatkan pola asuh makan yang baik memiliki status gizi yang lebih bagus. Penelitian Turnip (2008) terhadap positive deviance anak usia 12-24 bulan di Kecamatan Sidikalang, Medan, menghasilkan bahwa anak yang status gizinya tidak baik memiliki peluang 4,3 kali pada keluarga yang kebiasaan pemberian makan tidak baik. Selanjutnya Ogunba (2006) bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan meningkatkan status gizi anak.
79
Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan Kelompok Balita Variabel
stunting n %
Praktek Pemberian Makan Baik 40 Kurang 30 Praktek Sanitasi Pangan Baik 43 Kurang 27 Total 70
n
normal %
Total n
pvalue
% 0,114
57.1 42,9
49 21
70 30
89 51
63,6 36,4
61,4 38,6 100
36 34 70
51,4 48,6 100
79 61 140
56,4 43,6 100
0,233
Tabel 11 menunjukkan persentase tertinggi (56,4%) praktek sanitasi pangan yang dilakukan ibu contoh berada pada kategori baik sedangkan 43,6 persen dikategorikan tidak baik. Praktek sanitasi pangan kategori baik pada kelompok balita normal lebih rendah (51,4%) daripada kelompok stunting (61,4%). Berdasarkan hasil wawancara, masih ada ibu yang kadang-kadang bahkan tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum memasak, masih ada ibu yang kadangkadang tidak memisahkan makanan mentah yang busuk dengan yang masih baik, hal ini sebaiknya jangan dilakukan karena biasanya mengandung banyak kuman pathogen. Masih ada ibu yang menghangatkan kembali makanan lama (<2 jam) untuk diberikan ke anaknya. Menurut WHO (2005), mencuci tangan bertujuan untuk melepaskan atau membunuh patogen mikroorganisme (kuman). Penggunaan air saja dalam mencuci tangan tidak efektif untuk membersihkan kulit karena air terbukti tidak dapat melepaskan lemak, minyak, dan protein dimana zat-zat ini merupakan bagian dari kotoran organik. Pola asuh makan terkait dengan pemberian makan yang mencukupi kebutuhan anak, yang pada akhimya akan memberikan sumbangan terhadap status gizi anak. Hal ini berarti pola asuh makan secara tidak langsung berhubungan dengan baik buruknya status gizi anak balita. Hasil tabulasi silang antar variabel diperoleh bahwa praktek sanitasi pangan dipengaruhi oleh status kerja ibu dan praktek perawatan diri yang baik. Hal ini berarti bahwa ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah kemungkinan akan memberikan praktek sanitasi yang lebih baik dan optimal. Ibu yang memberikan praktek sanitasi pangan yang
80
baik memberikan kontribusi yang baik terhadap praktek perawatan diri (Lampiran 6). Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p>0,05) antara pola asuh makan (praktek sanitasi pangan) dengan status gizi TB/U. Namun hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Astari di Bogor (2005) yang menunjukkan adanya hubungan positif yang nyata antara keluarga miskin pada kelompok anak normal dengan pengasuhan yang meliputi praktek pemberian makan, praktek sanitasi pangan dan praktek sanitasi lingkungan. Pola Asuh Kesehatan Penentuan pola asuh kesehatan meliputi praktek perawatan diri anak dan praktek sanitasi lingkungan. Tabel 12 menunjukkan bahwa persentase tertinggi praktek perawatan diri berada pada kategori baik (65%) dan kategori baik kelompok balita normal lebih tinggi (67,1%) dibandingkan kelompok balita stunting (62,9%). Berdasarkan hasil wawancara, beberapa kelompok balita yang termasuk kategori kurang disebabkan antara lain: masih ada contoh yang menggunakan alat mandi dengan saudara lainnya, masih ada ibu yang tidak menggantikan baju anak setelah selesai mandi karena dianggap masih bersih, masih ada ibu pada kedua kelompok anak tidak membersihkan anak bahkan kadang tidak mencuci tangan menggunakan sabun sebelum makan dan setelah buang air besar serta kurangnya perhatian ibu terhadap perawatan kebersihan anak dengan tidak memperhatikan kebersihan kuku dengan memotong secara berkala seminggu sekali. Menurut WHO (2005) kuku dan tangan yang kotor, tidak dicuci dengan sabun sebelum makan dapat menjadi lubang entri bagi telur cacing. Mencuci tangan bertujuan untuk melepaskan atau membunuh patogen mikroorganisme (kuman). Penggunaan air saja dalam mencuci tangan tidak efektif untuk membersihkan kulit karena air terbukti tidak dapat melepaskan lemak, minyak, dan protein dimana zat-zat ini merupakan bagian dari kotoran organik (WHO 2005). Selain itu, Procop & Cockerill (2003) mengatakan bahwa salah satu pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghentikan penularan diare, antara lain menjaga higiene pribadi yang baik dengan mencuci tangan setelah keluar dari toilet terutama selama mengolah makanan.
81
Tabel 12. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan Variabel
Kelompok Balita Stunting Normal n % n %
Total n
%
Praktek Perawatan Diri Baik
44 Kurang 26 Praktek Sanitasi Lingkungan Baik 36 Kurang 34 Total 70
pvalue 0,595
62,9
47
67,1
91
65
37,1
23
32,9
49
35 0,038*
51,4 48,6 100
48 22 70
68,6 31,4 100
84 56 140
60 40 100
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (60%) praktek sanitasi lingkungan berada pada kategori baik dan persentase tertinggi berada pada keluarga kelompok balita normal (68,6%) dibandingkan kelompok stunting (51,4%). Menurut Syarief (1997) Selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan, status gizi seseorang secara langsung dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan sanitasi, termasuk sanitasi lingkungan pemukiman. Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05) antara praktek perawatan diri dengan status gizi TB/U. Namun ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara praktek sanitasi lingkungan dengan status gizi TB/U (Tabel 12). Data tabulasi silang antar variabel menunjukkan bahwa praktek perawatan diri berhubungan dengan urutan anak dalam keluarga, banyak anak, riwayat kehamilan dan praktek sanitasi pangan. Hal ini berarti praktek perawatan diri yang baik, lebih banyak berada pada keluarga yang memiliki sedikit anak (≤ 2 orang), merupakan anak bungsu, riwayat kehamilan ibu yang baik dan memiliki praktek sanitasi pangan yang baik. Sementara praktek sanitasi lingkungan berhubungan dengan pendidikan ayah. Hal ini berarti bahwa praktek lingkungan yang baik juga dapat berasal dari ayah yang berpendidikan rendah (Lampiran 6). Variabel lain yang diteliti dalam penelitian ini berkaitan dengan praktek sanitasi lingkungan yaitu ketersediaan jamban keluarga, sumber air untuk MCK dan ketersediaan tempat sampah (Tabel 13).
82
Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia harus diperhatikan, karena banyak penyakit yang dapat disebabkan melalui pembuangan kotoran. Penyakit-penyakit tersebut disebarkan melalui air (water born disease) seperti penyakit pada saluran cerna, infeksi cacing gelang, disentri (Entjang 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (80.7%) keluarga contoh sudah memiliki kesadaran untuk memiliki jamban keluarga sendiri. Sedangkan yang tidak memiliki jamban sendiri ( 19,3%) umumnya menggunakan kali dan jamban umum. Jamban umum yang disediakan ada yang terawat dengan kesadaan warga sendiri namun lebih banyak yang kotor, dalam keadaan terbuka bahkan ada yang sudah rusak. Tabel 13. Variabel penunjang pada praktek sanitasi lingkungan Kelompok Balita Variabel
Stunting n
Memiliki jamban keluarga Ya 49 Tidak 21 Sumber air untuk MCK Ledeng 1 Sumur/pompa 63 Mata air 2 Air gunung 2 Sungai 2 Tempat sampah tertutup, di luar 4 rumah tertutup, di dalam 5 rumah terbuka, di luar 13 rumah terbuka, di dalam 48 rumah Total 70
Total
Normal
%
n
%
n
%
70 30
64 6
91.4 8.6
113 27
80.7 19.3
1.4 90 2.9 2.9 2.9
9 60 0 1 0
12.9 85.7 0 1.4 0
10 123 2 3 2
7.1 87.9 1.4 2.1 1.4
5.7
13
18.6
17
12.1
7.1
8
11.4
13
9.3
18.6
3
4.3
16
11.4
68.6
46
65.7
94
67.1
100
70
100
140
100
Pada umumnya, sumber air untuk MCK pada keluarga contoh berasal dari sumur yang ditutup (87,9%). Menurut Entjang (2000) Air sumur merupakan air dalam tanah dan merupakan sumber utama bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Harus memperhatikan jarak sumur terhadap resapan/septic tank, mencukupi syarat kesehatan. Air sumur
mengandung unsur Fe dan Mn.
Konsentrasi besi yang tinggi dapat dirasakan dan dapat menodai kain dan perkakas dapur.
83
Penyimpanan sampah rumah tangga dalam penelitian ini pada umumnya dengan cara menyediakan tempat sampah terbuka di dalam rumah dan selanjutnya dibuang di tempat pembuangan sampah umum (62,1%). Berdasarkan kedua kelompok balita baik stunting maupun normal, melakukan perlakuan terhadap sampah yang tidak jauh beda (>60%). Tempat pembuangan sampah pada lokasi penelitian berada di pinggir-pinggir jalan dan tanah kosong. Pertambahan penduduk perkotaan menyebabkan bertambahnya jumlah maupun ragam kegiatan masyarakat dan menimbulkan beban pencemaran yang berat. Menurut Entjang (2000) pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan pada gilirannya kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akan terrganggu. Riwayat Kesehatan Anak Balita Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Anak yang menderita penyakit infeksi selain mempengaruhi daya imun juga mempengaruhi nafsu makan yang kemudian akan berpengaruh pada status gizi. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit yang pernah diderita selama 3 bulan yang lalu yaitu 94,3 persen balita terkena penyakit infeksi. Menurut Martianto et al. (2008) bahwa adanya penyakit dapat menyebabkan gangguan penyerapan zat-zat gizi yang dikonsumsi oleh anak balita. Hal ini dapat menjadi penyebab langsung terjadinya permasalahan gizi. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah infeksi yang disebabkan virus, bakteri, dan parasit. Tabel 14 menunjukkan sebagian besar balita contoh (70,7%) tidak mengalami diare dalam kurun waktu tiga bulan yang lalu. Pengobatan yang dilakukan ibu pada anak yang menderita diare, umumnya pergi ke puskesmas dan diberi obat. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang
mengandung
kuman
yang
terhirup
oleh
orang
sehat
kesaluran
pernapasannya. ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Tabel 14 menunjukkan persentase terbesar (70,7%) kelompok anak yang pernah menderita ISPA. ISPA yang terjadi pada
84
penelitian ini, masih berada dalam kategori ISPA ringan akibat batuk pilek biasa. Pengobatan yang dilakukan ibu terhadap anaknya antara lain dengan cara, memberikan obat anakonidin, bodrexin, parasetamol atau contrexin yang dibeli ditoko obat hingga ada yang dibawa ke puskesmas terdekat. ISPA ringan ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk. Lingkungan yang buruk tersebut dapat berupa kondisi fisik perumahan yang tidak mempunyai syarat seperti ventilasi, kepadatan penghuni, penerangan dan pencemaran udara dalam rumah. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap terjadinya ISPA. Tabel 14 menunjukkan bahwa 15 persen balita pernah mengalami sakit lain selain penyakit infeksi utama yang umum terjadi pada balita, penyakit tersebut antara lain sariawan, sakit gigi, eksim, gatal-gatal. Cara pengobatan yang dilakukan, pergi ke puskesmas dan diberi obat. Untuk Sariawan diberikan borax glycerine 10%. Untuk penyakit kulit diberikan salep antibiotik. Masih adanya keluarga terutama ibu yang kurang memperhatikan kebersihan anak terutama penyebab penyakit kulit, anak yang mandi sehari kurang dari dua kali, peralatan mandi yang digunakan bersama dengan saudara lain seperti handuk dan pakaian. Tabel 14. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit anak Kelompok Balita Stunting Normal
Variabel n Diare dalam 3 bulan terakhir Ya 24 Tidak 46 ISPA dalam 3 bulan terakhir Ya 53 Tidak 17 Penyakit lain Ya 12 Tidak 58 Total 70
Total
%
n
%
n
%
34.3 65.7
17 53
24.3 75.7
41 99
29.3 70.7
75.7 24.3
46 24
65.7 34.3
99 41
70.7 29.3
17.1 82.9
9 61 70
12.9 87.1
21 119 140
15 85 100
Penentuan riwayat kesehatan anak meliputi sebaran kejadian diare, ISPA, dan penyakit yang pernah diderita contoh selama 3 bulan terakhir bahkan hingga saat pengumpulan data. Tabel 15 menunjukkan bahwa kelompok balita yang memiliki riwayat kesehatan baik lebih kecil (22,1%) daripada kelompok balita yang pernah terkena penyakit (77,9%). Pada kategori sehat, kelompok balita normal lebih tinggi (30%) dibandingkan kelompok stunting (14,3%). Hal ini
85
didukung oleh hasil tabulasi silang dimana riwayat kesehatan yang baik (sehat) memiliki besaran nilai yang tinggi dengan beberapa variabel lain yaitu balita dan anak yang dimiliki sedikit, jarak anak lebih dari 24 bulan, pola asuh makan dan kesehatan yang baik, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu yang baik. Hal ini diduga menjadi faktor pendukung riwayat kesehatan yang baik pada kedua kelompok balita walaupun berada pada kondisi keluarga kurang mampu. Secara statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat kesehatan anak dengan status gizi TB/U (p>0,05). Tabel 15. Sebaran contoh berdasarkan riwayat kesehatan anak Kelompok Balita Stunting Normal n % n %
Variabel
Total n
%
pvalue 0,025*
Riwayat Kesehatan Balita Sehat Sakit Total
10 60 70
14,3 85,7 100
21 49 70
30 70 100
31 109 140
22,1 77,9 100
Pola Konsumsi Makan Balita Setiap anak akan memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan umurnya. Anak yang berumur 1-3 tahun (batita) merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Sedangkan anak balita 3-5 tahun, merupakan konsumen aktif, yaitu mereka telah dapat memilih makanan yang disukai. Anak-anak pada usia prasekolah menurut Khomsan (2003), sering dianggap sedang memasuki fase Jhony won’t eat (anak sering tidak mau makan). Diusia ini gigi susu sudah lengkap sehingga anak dapat mengerat dan mengunyah dengan baik walaupun maksimal dan bentuk makanan seperti orang dewasa, misalnya nasi dapat diberikan, tetapi tetap disertai dengan cairan atau sayuran berkuah. Kebiasaan makan balita yang bervariasi dalam penelitian ini dilihat dari hasil Food Frequency Questionnaire sedangkan keragaman menu dilihat dari variasi jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak balita per minggu yang diacu dari FFQ yang digunakan oleh FAO bekerjasama dengan FANTA 2006. Kebiasaan Makan Balita Menurut Unicef (1998) penyakit yang diderita anak dan asupan makanan yang tidak cukup penyebab langsung terjadinya permasalahan gizi. Dari hasil penelitian, pola makan balita secara umum hampir sama dengan pola makan
86
keluarga. Tabel 16 menunjukkan bahwa seluruh balita contoh (100 %) baik kelompok balita stunting maupun normal mengkonsumsi sereal sebagai makanan pokok yang terdiri dari nasi, mie, roti dan ubi. Tabel 16. Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan seminggu Kelompok Makanan
Kelompok Balita Stunting Normal n % n %
Sereal ya 70 tidak 0 Sayuran kaya Vit. A ya 52 tidak 18 Umbi-umbian ya 5 tidak 65 Sayuran hijau ya 15 tidak 55 Sayuran lain ya 3 tidak 67 Buah kaya vitamin A ya 19 tidak 51 Buah lain ya 13 tidak 57 Organ Daging ya 0 tidak 70 Daging (isi) ya 4 tidak 66 Telur ya 42 tidak 28 Ikan ya 20 tidak 50 Polong-polongan ya 47 tidak 23 Susu dan produk susu ya 49 tidak 21 Minyak dan Lemak ya 70 tidak 0 Coklat. permen. sirup ya 34 tidak 36 Rempah, bumbu, minuman ya 70 tidak 0 Total 70
Total n
%
pvalue -----
100 0
70 0
100 0
140 0
100 0
74.3 25.7
59 11
84.3 15.7
111 29
79.3 20.7
7.1 92.9
8 62
11.4 88.6
13 127
9.3 90.7
21.4 78.6
20 50
28.6 71.4
35 105
25 75
4.3 95.7
5 65
7.1 92.9
8 132
5.7 94.3
27.1 72.9
22 48
31.4 68.6
41 99
29.3 70.7
18.6 81.4
15 55
21.4 78.6
28 112
20 80
0 100
0 70
0 100
0 140
0 100
5.7 94.3
10 60
14.3 85.7
14 126
10 90
60 40
49 21
70 30
91 49
65 35
28.6 71.4
23 47
32.9 67.1
43 97
30.7 69.3
67.1 32.9
51 19
72.9 27.1
98 42
70 30
70 30
48 22
68.6 31.4
97 43
69.3 30.7
100 0
70 0
100 0
140 0
100 0
48.6 51.4
28 42
45.2 60
62 78
44.3 55.7
100 0 100
70 0 70
100 0 100
140 0 140
100 0 100
0.144
0.382
0.329
0.466
0.577
0.673
-----
0.091
0.215
0.855
0.461
0.587
-----
0.307
-----
87
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar
balita contoh (79,3%)
mengkonsumsi sayuran kaya vitamin A. Persentase tertinggi
berada pada
kelompok balita normal (84,3%) dibanding kelompok balita stunting (74,3%). Sayuran kaya vitamin A terdiri dari labu, wortel, atau ubi jalar yang di dalamnya oranye dan sayuran lain kaya vitamin A yang tersedia secara lokal (misalnya paprika). Sayuran yang dikonsumsi balita contoh yaitu wortel. Wortel memiliki kandungan kimia yang komplit seperti vitamin A, B, C, D, E dan K, lemak, hidrat, kalsium, fosfor, besi, sodium, arang, gula, beta karoten dan lain-lain. Banyaknya kandungan kimia yang terdapat di dalamnya, menjadikan wortel sangat berguna untuk menjaga kesehatan mata, mengatasi amandel, gangguan pernafasan dan meningkatkan kekebalan tubuh (Medicalcare 2010). Tabel 16 menunjukkan bahwa balita yang mengkonsumsi umbi-umbian sangat sedikit (9,3%) baik dari kelompok balita normal maupun stunting. Kelompok
pangan
umbi-umbian
berdasarkan
FAO
(2011)
antara
lain
kentang putih, ubi putih, singkong, atau makanan yang berbahan dasar dari tumbuhan berakar. Umbi kentang memiliki manfaat yang sama dengan jenis-jenis sayuran lainnya. Setiap 100 gram kentang mengandung kalori 347 kal, protein 0,3 g, lemak 0,1 g, karbohidrat 85,6 g, kalsium 20 mg, fosfor 30 mg, zat besi 0,5 mg, dan vitamin B 0,04 mg (Samadi 2007). Ubi kaya akan antioksidan, yaitu beta karoten (vitamin A), vitamin C, dan vitamin E, dan seng. Semakin gelap warna ubi, semakin banyak antioksidan yang terkandung di dalamnya. Penelitian dari National Cancer Institute menunjukkan bahwa selain baik untuk mata, beta karoten juga mempunyai kemampuan sebagai antioksidan yang dapat berperan penting dalam menstabilkan radikal berinti karbon, sehingga mengurangi resiko kanker (Astawan & Kasih 2008). Banyak balita contoh (75%) yang tidak mengkonsumsi sayuran hijau dibandingkan dengan yang mengkonsumsi (25%). Kelompok Sayuran hijau dalam penelitian ini antara lain : bayam, kangkung, daun singkong dan daun katuk. Komponen yang terkandung dalam pangan yang berwarna hijau yaitu klorofil, beta-karoten, asam folat, vitamin C, Vitamin K serta berbagai vitamin dan mineral lainnya. Klorofil melindungi tubuh dari senyawa-senyawa karsinogenik (penyebab kanker) serta pembentuk sel-sel darah merah karena kemiripan struktur
88
dengan hemoglobin dalam darah sehingga disebut juga sebagai zat antianemia (Astawan & Kasih 2007). Selanjutnya menurut Apriadji (2007), kelompok sayuran hijau banyak mengandung beta karoten, salah satu zat gizi antioksidan yang berperan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Bersama zat-zat antioksidan lainnya, betakaroten memelihara kesehatan sel-sel saraf otak. Selain itu, kandungan antioksidan dan serat alami menjaga kesehatan dan melancarkan saluran pencernaan. Kandungan vitamin K berperan penting dalam proses pembekuan darah dan pembentukan tulang. Sedikit balita (5,7%) yang mengkonsumsi kelompok sayuran lain dengan persentase tertinggi (7,1%) terdapat pada kelompok balita normal. Kelompok Sayuran lain yang termasuk dalam sayuran yang dikonsumsi balita contoh yaitu kol. Beberapa survei menunjukkan bahwa senyawa kol mengandung zat anti kanker adalah klorofil, dithiolthione, flavonoid tertentu, isothiocyanate, fenol (coffeic dan asam ferulat), vitamin E dan vitamin C. Kandungan sulfur didalam kol juga dapat membantu melenyapkan alkohol dalam darah, selain itu juga mengobati penyakit kulit (Bangun 2004). Tabel 16 menunjukkan bahwa kelompok balita yang mengkonsumsi buah kaya vitamin A lebih sedikit (70,7%). Pada balita yang mengkonsumsi, Kelompok balita normal lebih tinggi (31,4) dibandingkan dengan kelompok balita stunting (27,1%). Buah kaya vitamin A yang dikonsumsi oleh balita contoh antara lain mangga, pepaya, pisang dan melon. Buah yang diperoleh umumnya dibeli di warung berupa satuan dengan harga Rp. 500 – Rp. 1000,- per buah Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak, dan merupakan vitamin yang esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Dampak kekurangan vitamin A sangat bervariasi tergantung tingkatannya, yaitu mulai dari pertumbuhan yang terhambat, ISPA, kulit yang bersisik, hingga masalah kebutaan. Merupakan makanan yang tinggi karoten. Berfungsi bagi pertumbuhan sel-sel epitel dalam pertumbuhan gigi, berpengaruh terhadap kekebalan tubuh dalam merespon antibody, dan sebagai pengatur kepekaan rangsang sinar pada syaraf dan mata. Dalam Widyakarya Nasional pangan dan Gizi (2004), kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor khas dari kesehatan tubuh orang Indonesia.
89
Pada golongan umur balita 1-3 tahun kebutuhan akan vitamin A sebesar 350 RE sedangkan 4-6 tahun sebesar 460 RE (Almatsier 2004). Kelompok balita yang mengkonsumsi buah selain buah kaya vitamin A yaitu salak, jeruk dan semangka. Jeruk dan semangka pada umumnya kaya akan vitamin C tinggi. Pada Tabel 16 menunjukkan persentase balita yang mengkonsumsi buah-buahan tersebut sangat sedikit (20%). Dengan persentase tertinggi pada kelompok balita normal (21,4%) namun selisihnya kecil (18,6%) dari kelompok balita stunting yang sama-sama mengkonsumsi. Salak merupakan salah satu jenis tanaman buah tropis asli Indonesia. Kandungan gizi dalam tiap 100 gram buah salak segar, salak mengandung 77 kal, tinggi kalsium (28 mg) dan fosfor (18 mg) dan bagian yang dapat dimakan dari buah salak yaitu 50%. Mengkonsumsi salak bermanfaat untuk mengobati diare. Namun, buah salak yang ada rasa sepetnya tidak dianjurkan bagi penderita maag dan radang usus, karena kandungan tannin dapat memperparah kondisi usus yang luka dan sulit dicerna (Rukmana 2008). Pada kelompok pangan daging (isi), hanya sedikit dari balita contoh (10%) yang mengkonsumsi, dan kelompok balita normal lebih banyak (14,3%) yang mengkonsumsi daging dibandingkan kelompok stunting (5,7%). Daging merupakan protein hewani, asam amino penyusun protein hewani sangat mudah dicerna, sehingga sangat baik bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan. Daging ayam dikonsumsi umumnya berasal dari produk sozzis siap makan. Daging sapi yang dikonsumsi berasal dari bakso dan produk sozzis siap makan. Daging sapi merupakan sumber vitamin B12 dan sumber vitamin B6, Sumber zat besi yang baik serta mengandung selenium dan fosfor. Daging ayam merupakan sumber protein, fosfor, dan kalsium yang baik bagi pertumbuhan balita. Kandungan 100 g daging ayam mengandung energi 95 kkal, 18,2 g protein, 2,5 g lemak, 14 mg kalsium, 200 mg fosfor, dan 243 SI vitamin A (Murtidjo 2003). Tabel 16 menunjukkan bahwa banyak balita contoh (65%) yang mengkonsumsi telur dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita normal (70%) dibandingkan kelompok balita stunting (60% Telur ayam adalah sumber protein yang essensial dan kaya vitamin A, sangat penting untuk penglihatan karena merupakan sumber karotenoid, yaitu lutein dan zeaxanthin yang terdapat
90
pada kuning telur mudah diserap ke dalam retina. Telur juga kaya akan choline yang sangat penting bagi kesehatan, berperan dalam fungsi otak dan system saraf, juga baik bagi kesehatan jantung karena mengandung vitamin B12. Dari sebutir telur dengan berat 50 gram akan diperoleh 6,3 gram protein, 0,6 gram karbohidrat, 5 gram lemak, serta sejumlah vitamin dan mineral. Telur merupakan sumber vitamin D alami kedua terbesar setelah minyak hati ikan hiu. Oleh karena itu, telur sangat baik untuk pertumbuhan tulang bagi anak-anak (Astawan 2009). Ikan dikenal sebagai makanan berprotein tinggi, terutama ikan laut yang banyak mengandung asam lemak omega 3. Asam lemak omega 3 mampu meningkatkan fungsi otak dalam jangka panjang. Selain itu, ikan juga sangat efektif untuk meningkatkan konsentrasi, meningkatkan daya ingat, mencegah kepikunan, meningkatkan kecerdasan, memperlancar sel otak, mencegah penyusutan otak, meningkatkan kemampuan berpikir, serta mengurangi stres dan depresi. Namun begitu, mengkonsumsi ikan tidak serta merta meningkatkan semua itu secara instan karena efeknya akan terasa setelah mengkonsumsinya selama beberapa lama (Medicalcare 2010). Tabel 16 menunjukkan bahwa banyak balita (69,3%) yang tidak mengkonsumsi ikan. Kelompok balita normal lebih banyak mengkonsumsi ikan (32,9%) dari pada kelompok balita stunting (28,6%). Kebiasaan makan balita contoh terhadap polong-polongan sangat tinggi terutama pada kelompok balita normal dibandingkan kelompok balita stunting. Kelompok polong-polongan yang biasa dikonsumsi yaitu kebiasaan makan tempe. Tempe merupakan olahan dari kacang kedelai yang difermentasi dan merupakan protein yang sempurna karena mengandung semua asam amino baik yang essensial maupun non essensial. Bermanfaat untuk pertumbuhan tubuh, memelihara kesehatan jaringan sel tubuh, dan perkembangan otak. Setiap 100 g tempe mengandung energy 160 kkal, protein 18,3 g, lemak 4 g, karbohidarat 12,7 g, kalsium 129 mg, dan fosfor 154 mg (Febry & Marendra 2008). Tabel 16 menunjukkan kebiasaan balita dalam mengkonsumsi susu dan produk susu bahwa lebih dari separuh (69,3%) balita contoh minum susu. Persentase tertinggi terdapat pada kelompok balita stunting (70%). Konsumsi susu pada anak balita bervariasi yaitu susu kental manis, susu bubuk dan susu UHT (kotak) namun yang paling banyak disukai anak balita yaitu susu kental manis.
91
Susu mengandung kalsium, fosfor, zinc, vitamin A, D, B12, asam amino dan asam pantotenat. Bagi anak-anak, susu berguna untuk pertumbuhan tulang yang membuat anak menjadi bertambah tinggi, mencegah kerusakan gigi dan menjaga kesehatan mulut. Susu mampu mengurangi keasaman mulut, merangsang air liur, mengurangi plak dan mencegah gigi berlubang (Astawan 2009). Pemanis yang dikonsumsi balita terdiri dari coklat, permen dan sirup. 44,3 persen balita contoh mengkonsumsi makanan manis dan persentase tertinggi (48,6%) terdapat pada kelompok balita stunting. Permen adalah sejenis gulagula (confectionary) adalah makanan berkalori tinggi yang pada umumnya berbahan dasar gula, air, dan sirup fruktosa. Kadar gula dalam permen tinggi, sehingga dapat menyebabkan gigi berlubang. Seluruh balita contoh (100%) mengkonsumsi rempah, bumbu dan minuman dikarenakan makanan yang disajikan orangtua balita umumnya diberikan bumbu dan rempah untuk menambah cita rasa. Hasil wawancara dengan ibu balita menunjukkan bahwa konsumsi minuman pada anak balita cukup bervariasi bila dilihat dari macamnya yaitu teh manis, sirup dan jajanan berupa minuma perisa berupa frutang, ale-ale dan teh sisri. Ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, kakao, biji-bijian, serealia, buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuhan alga laut dan air tawar (Shui, 2004). Bahan pangan ini mengandung jenis senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam askorbat, golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tannin, peptide, melanoidin, produk-produk reduksi dan asam-asam organic lain (Pratta, 1992, di dalam Panjaitan et al. 2008). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara kebiasaan makan balita dari 16 kelompok makanan dengan status gizi TB/U. Gambaran mengenai kebiasaan makan anak balita contoh mencerminkan bahwa beberapa jenis bahan makanan yang sangat kaya akan zat gizi esensial dan dibutuhkan kelompok anak balita seperti ikan kaya omega 3 dan daging sebagai sumber protein, susu sebagai sumber protein dan kalsium, serta sejumlah sayuran dan buah-buahan sebagai sumber vitamin dan mineral masih sangat terbatas dan lebih menekankan pada upaya pemenuhan konsumsi bahan makanan pokok yakni beras. Menurut Depkes (2002b), Pola
92
makan yang sehat berdasarkan PUGS adalah makanan yang mengandung semua unsur gizi seimbang sesuai kebutuhan tubuh, baik protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Keragaman Makanan Balita Keragaman makanan dalam penelitian ini mengacu pada kuesioner yang digunakan
FAO
bekerjasama
dengan
FANTA
(2006).
Dikelompokkan
berdasarkan kandungan makanan yang dikonsumsi dalam seminggu pada setiap zat gizi dengan cara di skoring. Keragaman makanan dikatakan „rendah‟ jika mengandung ≤ 3 jenis kelompok makanan yaitu serealia, sayuran hijau dan buah kaya vitamin A. Dikatakan „sedang‟ jika keragaman makanan terdiri dari 4 hingga 5 jenis kelompok makanan, yaitu serealia, sayuran hijau, buah kaya vitamin A dan minyak. Dikatakan keragaman „tinggi‟ jika mengandung lebih dari 6 jenis kelompok makanan dengan penambahan sayuran lain, ikan dan polong-polongan. Tabel 17 menunjukkan bahwa persentase tertinggi keragaman menu makanan balita terdapat pada kelompok maksimal 3 jenis kelompok makanan (88,6%), sementara keragaman menu makanan paling rendah (2,9%) terdapat pada kelompok lebih dari 6 jenis kelompok makanan. Hal ini mencerminkan bahwa tidak semua jenis makanan yang disajikan dalam menu keluarga juga dikonsumsi oleh sebagian besar anak balita. Keadaan tersebut akan membatasi sejumlah zat gizi yang penting atau esensial untuk mencapai proses tumbuh kembang yang optimal bagi balita sehingga proses tumbuh kembang akan terhambat. Keadaan ini harus diperbaiki dan diupayakan untuk lebih variasi menu yang ada, selalu diganti dengan jenis makanan lainnya dan pengolahannya pun divariasikan untuk menghindari kebosanan dan meningkatkan ketertarikan dalam konsumsi jenis-jenis makanan khususnya sayuran hijau dan buah kaya vitamin A. Tabel 17. Sebaran contoh berdasarkan keragaman makanan seminggu Variabel Keragaman makanan seminggu ≤ 3 jenis kel. Makanan (kurang) 4-5 jenis kel. Makanan (sedang) ≥ 6 jenis kel. Makanan (tinggi) Total
Kelompok Balita Stunting Normal n % n %
Total n
%
124 12 4 140
88,6 8,6 2,9 100
pvalue 0,054
66 4 0 70
94.3 5.7 0 100
58 8 4 70
82.9 11.4 5.7 100
93
Berdasarkan hasil uji chi square, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna (p>0,05) antara keragaman makanan balita contoh dengan status gizi. Hasil tabulasi silang antar variabel menghasilkan keragaman makanan rendah berhubungan dengan praktek pemberian makan yang kurang baik dan terjadi pada balita yang pernah terkena penyakit infeksi dimasa lalu (Lampiran 6). Penelitian Sandjaja (2001) dalam Positive Deviance status gizi balita menunjukkan faktor yang berperan nyata terhadap resiko kurang gizi adalah adanya penyakit infeksi yaitu batuk, pilek, penyakit kulit, dan tanda-tanda klinis kurang gizi. Arimond dan Ruel (2004) menyatakan keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi dan makanan dapat terhindar dari kurang gizi. Analisis Hubungan Faktor-Faktor Terkait Resiko Stunting Hasil analisis regresi logistik yang dilakukan untuk mengetahui variabel yang memiliki hubungan bermakna (p<0,05) dengan stunting yaitu riwayat kesehatan balita, status kerja ibu dan pendidikan ibu. Nilai R2 Nagelkerke sebesar 0.303 yang memberikan pengertian bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam penelitian ini terhadap stunting anak usia 24-59 bulan sebesar 30.3 persen dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti (Lampiran 7). Tabel 18 menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting 0,236 kali lebih kecil pada anak balita yang memiliki ibu berpendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun) dengan nilai OR=0.236; 95%CI:0,057-0.973. Berarti balita yang memiliki ibu dengan pendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun), memberikan dampak yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita. Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, riwayat kehamilan dan pola asuh lingkungan (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan pendidikan orangtua akan mempengaruhi pengasuhan anak, karena orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memahami betapa pentingnya peranan orangtua terhadap anak. Menurut Madanijah (2003) terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Selanjutnya penelitian Aditianti (2010) menunjukkan bahwa pendidikan ibu berpengaruh signifikan terhadap
94
stunting anak usia 24-59 bulan di Indonesia. Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan sanitasi lingkungan dan personal hygiene yang kurang. Tabel 18 menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting 0,328 kali lebih kecil pada anak balita yang memiliki riwayat kesehatan yang baik (tidak pernah terkena penyakit infeksi) dengan nilai OR=0.328; 95%CI: 0.129-0.835. Berarti balita yang memiliki masa lalu kesehatan yang baik tanpa penyakit infeksi memberikan dampak yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Apabila anak menderita infeksi saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. Sementara kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan di bawah kulit baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan dan perkembangannya terganggu (Supariasa 2002). Tabel 18. Hasil regresi logistik stunting Variabel
Riwayat kesehatan balita (sehat = 0) (sakit = 1) Pekerjaan ibu (tidak bekerja =0) (bekerja = 1) Pendidikan ibu (tinggi = 0) (rendah = 1) Tinggi badan ibu (≥ 156 cm = 0) (< 156 cm = 1) Prak sanitasi lingkungan (baik = 0) (kurang = 1) Pendidikan ayah (tinggi = 0) (rendah = 1) Riwayat kehamilan ibu (baik =0) (kurang = 1) Peng. gizi dan kesehatan (baik = 0) (kurang = 1) Constant signifikan p < 0.05
B
OR Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
Sig.
-1.114
0.328
0.129
0.835
0.019
-1.151
0.316
0.109
0.920
0.035
-1.445
0.236
0.057
0.973
0.046
-1.072
0.342
0.117
1.006
0.051
-0.780
0.458
0.205
1.024
0.057
-0.603
0.547
0.220
1.364
0.196
-0.489
0.613
0.241
1.562
0.305
-0.225 4.177
0.799 65.141
0.348
1.835
0.596 0.000
95
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting 0,316 kali lebih kecil pada anak balita yang ibunya tidak bekerja dibanding balita yang ibunya bekerja dengan nilai OR=0.316; 95%CI: 0.109-0.920. Berarti dengan keberadaan ibu di rumah memiliki waktu yang lebih banyak untuk melakukan pengawasan dan perawatan terhadap anak sehingga anak bisa terhindar dari masalah stunting. Hal ini juga didukung dengan hasil tabulasi silang yang menunjukkan bahwa pola pengasuhan baik pada pola asuh kesehatan dan pola asuh kesehatan, anak terkena infeksi yang rendah serta pengetahuan gizi dan kesehatan besar jumlahnya terdapat pada anak yang memiliki ibu dengan status tidak bekerja. Pola asuh yang baik merupakan gambaran dari adanya interaksi positif antara anak dengan pengasuh utama yang dapat membantu perkembangan emosi dan psikologis anak. Dengan pola asuh yang baik termasuk dalam memberikan perhatian dapat menciptakan perkembangan anak yang normal. Pada umumnya di negara-negara berkembang pelaku utama pengasuhan bagi bayi dan anak balita dalam rumah tangga adalah ibu. Hasil penelitian Rogers dan Youssef (1988) menunjukkan bahwa ibu memberikan alokasi waktu yang lebih banyak dalam pengasuhan anak, selanjutnya adalah wanita lainnya dalam keluarga misalnya nenek, bibi dan kakak perempuan. Selanjutnya, penelitian di daerah rural Chad Afrika bahwa karakteristik ibu sebagai pengasuh utama anak usia 12-71 bulan berpengaruh terhadap status gizi anak. Penelitian yang sama dengan Widayani et al. (2001) menemukan korelasi yang positif antara pola asuh ibu dengan status gizi anaknya. Proses mengasuh dan mendidik anak memerlukan waktu yang cukup, walaupun saat ini berkembang bahwa pola pengasuhan itu yang terpenting adalah kualitasnya, tetap saja diperlukan kuantitas dalam hal ini waktu kebersamaan ibu dengan anaknya. Seorang wanita pekerja mempunyai waktu yang terbatas dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Mereka harus berbagi waktu antara bekerja, pekerjaan domestik dan mengasuh serta mendidik anaknya. Menurut Satoto (1997), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu yang tidak bekerja memiliki waktu yang lebih banyak untuk melakukan pengawasan dan perawatan terhadap anak sehingga anak
96
bisa terhindar dari masalah stunting. Sejalan dengan hasil penelitian ini, ditelusuri dengan tabulasi silang ditemukan bahwa pola asuh yang baik dan riwayat kesehatan anak pun baik. Tabulasi silang pola asuh yang baik berkaitan dengan pengetahuan gizi ibu yang baik pula walaupun pendidikan ibu rendah. Berg (1986) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal serta melalui media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor, di samping pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media massa juga mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu sebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemauan untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa pengetahuan yang bisa diperoleh, melalui penyuluhan gizi di posyandu dimana merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam pemenuhan gizi seimbang antara lain terciptanya sikap positif terhadap gizi, terbentuknya pengetahuan dan kecakapan memilih dan menggunakan sumber-sumber pangan, timbulnya kebiasaan makan yang baik serta adanya motivasi untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal-hal yang berkaitan dengan gizi. (Suharjo 2003). Sejalan dengan hal ini, menurut Sandra (2007), seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Faktor-faktor yang merupakan Positive Deviance Masalah Stunting Untuk mengetahui faktor-faktor yang merupakan positive deviance pada anak usia 24-59 bulan yang paling berpengaruh maka dilakukan analisis regresi logistik dari hasil uji chi-square yaitu faktor riwayat kehamilan ibu dan praktek sanitasi lingkungan, ternyata yang berpengaruh adalah faktor riwayat kehamilan ibu dan praktek sanitasi lingkungan (Tabel 19). Nilai R2 Nagelkerke sebesar 0.089
97
yang memberikan pengertian bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam penelitian ini terhadap positive deviance masalah stunting balita umur 24-59 bulan sebesar 8.9 persen dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti (Lampiran 8). Tabel 19. Hasil regresi logistik positive deviance Variabel
Prak sanitasi lingkungan (baik = 0) (kurang = 1) Riwayat kehamilan ibu (baik =0) (kurang = 1) Konstanta
B
OR Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
Sig.
-0.712
0.491
0.243
0.990
0.047
-0.954 0.508
0.385 1.662
0.169
0.879
0.023 0.038
signifikan p < 0.05
Tabel 19 menunjukkan bahwa variabel riwayat kehamilan ibu dan praktek sanitasi lingkungan secara keseluruhan memiliki p-value <0,05, berarti kedua variabel tersebut berhubungan secara signifikan dan berpengaruh negatif dengan status gizi TB/U balita umur 24-59 bulan. Hal ini dapat diartikan bahwa anak balita yang memiliki ibu dengan riwayat kehamilan baik, berpeluang terhindar dari stunting 0.385 kali (95%CI: 0.169-0.879) dibanding balita yang memiliki ibu dengan riwayat kehamilan kurang baik. Kebiasaan baik yang signifikan dimiliki oleh kelompok balita normal, antara lain: ibu yang tidak pernah mengalami keguguran, selama kehamilan tidak mengkonsumsi jamu dan melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin. Keuntungan pengawasan antenatal adalah diketahuinya secara dini keadaan risiko tinggi ibu dan janin sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih intensif, memberikan pengobatan sehingga risikonya dapat dikendalikan, melakukan rujukan untuk mendapatkan tindakan yang adekuat serta segera dapat dilakukan pengobatan (Manuaba 1998). Menurut Wibowo dan Basuki (2006), perawatan kehamilan dapat menurunkan resiko kematian bayi dalam dua tahun pertama. Sementara itu, perawatan kehamilan oleh dokter akan menurunkan resiko 1,2 kali resiko kematian bayi dibandingkan yang tidak pernah melakukan perawatan kehamilan.
98
Menurut dr. Hasnah Siregar, baiknya minum jamu di saat hamil maupun setelah melahirkan, Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada di bawah pengawasan dokter kandungan. Sebaiknya membuat jamu buatan sendiri yang segar dan tidak dalam bentuk kemasan, sehingga lebih fresh dan juga terjamin kehigienisannya. Dalam mengkonsumsi jamu harus berhati-hati, terutama bila ada riwayat keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya (Melindacare 2010). Hal ini dapat diartikan bahwa anak balita dengan praktek sanitasi lingkungan baik, berpeluang terhindar dari stunting 0.491 kali (95%CI: 0.2430.990) dibanding balita dengan praktek sanitasi lingkungan kurang baik. Hasil penelitian ini, didukung oleh beberapa penelitian lain, penelitian Fahrudin (2004) bahwa sanitasi lingkungan rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita, antara lain yang berkaitan dengan jenis lantai, tipe rumah, luas ventilasi, pencahayaan dan kepadatan hunian rumah. Selanjutnya, Turnip (2008) bahwa variabel kebersihan diri merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap status gizi tidak baik, terutama kebersihan tubuh, makanan maupun lingkungan akan memberi peluang mencegah kejadian penyakit infeksi. Kebiasaan baik yang signifikan dimiliki oleh kelompok balita normal, antara lain: rumah selalu di pel setiap hari sebelum anak bermain, ada jarak antara rumah keluarga dengan tetangga, dan memperhatikan kebersihan jamban keluarga setelah digunakan. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), kondisi sanitasi perumahan yang tidak sehat, erat kaitannya dengan penyakit ISPA dan tuberkolosis dan penyediaan air bersih serta sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare, kecacingan dan penyakit yang ditularkan oleh vector penular (Ditjen PPM dan PL 2002).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Sebagian besar balita stunting berasal dari keluarga besar (≥ 4 orang) dan memiliki balita lebih dari 1 orang. Ayah dan ibu balita stunting sebagian besar termasuk dalam golongan umur 20-40 tahun dan lebih dari 40 tahun, berpendidikan rendah, tinggi badan dibawah standar referensi. Sebagian besar berjenis kelamin perempuan dan merupakan anak tengah atau bungsu. Sementara balita normal, sebagian besar berasal dari keluarga kecil < 4 orang dan hanya memiliki satu balita. Ayah dan ibu balita normal, sebagian besar termasuk dalam golongan umur 20-40 tahun, berpendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun), tinggi badan diatas standar referensi, dan sebagian besar ibu tidak bekerja (ibu rumah tangga).
2.
Sebagian besar pengetahuan gizi dan kesehatan ibu termasuk dalam kategori baik dan persentase tertinggi dimiliki oleh ibu-ibu dari kelompok balita normal.
3.
Sebagian besar riwayat kehamilan ibu dan konsumsi ASI balita termasuk dalam kategori baik dan tertinggi berada pada kelompok balita normal. Sementara riwayat kelahiran contoh, sebagian besar berada pada kategori kurang baik dan tertinggi berada pada kelompok balita normal.
4.
Riwayat kesehatan balita menunjukkan sebagian besar (77,9%) riwayat kesehatan balita berada pada kategori sakit (pernah terkena penyakit infeksi), dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita stunting dengan penyakit yang pernah di derita yaitu ISPA.
5.
Berdasarkan pola asuh makan menunjukkan persentase tertinggi
praktek
pemberian makan berada pada kategori baik (63,6%) dan sebagian besar berada pada kelompok balita normal. Sementara sebagian besar praktek sanitasi pangan yang dilakukan ibu berada pada kategori baik namun persentase tertinggi berada pada kelompok stunting. 6.
Pola konsumsi makan anak selama seminggu menggambarkan keragaman pangan yang masih kurang, sebagian besar terdapat pada kelompok ≤ 3 jenis makanan (88,6%), dan tertinggi berada pada kelompok balita stunting (94,3%). Sementara keragaman menu makanan tinggi ( ≥ 6 jenis makanan)
100
berada pada kelompok balita normal (2,9%). Namun kelompok balita normal lebih variatif dalam konsumsi, terutama kelompok sayuran kaya vitamin A, sayuran hijau, buah kaya vitamin A, telur, ikan dan polong-polongan. 7.
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting, yaitu : pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tinggi badan ibu, pengetahuan gizi dan kesehatan, riwayat kehamilan, riwayat kesehatan balita serta praktek kesehatan lingkungan. Dan faktor yang merupakan positive deviance masalah stunting, yaitu: riwayat kehamilan dan praktek kesehatan lingkungan
8.
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa peluang resiko terjadinya stunting : 0,236 kali lebih kecil pada balita yang ibunya berpendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun) 0,316 kali lebih kecil pada balita yang ibunya tidak bekerja (lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak di rumah) 0,328 kali lebih kecil pada balita dengan riwayat kesehatan baik dikarenakan tidak pernah menderita penyakit infeksi.
9.
Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang merupakan positive deviance masalah stunting : Balita yang memiliki ibu dengan riwayat kehamilan baik, memiliki peluang terhindar dari stunting 0.385 kali (95%CI: 0.169-0.879) dibanding balita yang memiliki ibu dengan riwayat kehamilan kurang baik. Variabel yang signifikan, antara lain: ibu yang tidak pernah mengalami keguguran, selama kehamilan tidak mengkonsumsi jamu dan melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin. Balita dengan praktek sanitasi lingkungan baik, memiliki peluang terhindar dari stunting 0.491 kali (95%CI: 0.243-0.990) dibanding balita dengan praktek sanitasi lingkungan kurang baik. Kebiasaan baik yang signifikan dimiliki oleh kelompok balita normal, antara lain: rumah selalu di pel setiap hari sebelum anak bermain, memiliki jarak antara rumah keluarga dengan tetangga, dan memperhatikan kebersihan jamban keluarga setelah digunakan.
101
Saran Perlu mensosialisasikan positive deviance ibu terutama yang berpendidikan rendah dari golongan keluarga miskin, sebaiknya menambah pengetahuan melalui penyuluhan gizi di posyandu untuk meningkatkan pengetahuan gizi ibu terhadap aspek kognitif, afektif dan psikomotor ibu dalam pemenuhan gizi seimbang dimulai pada masa kehamilan hingga pola pengasuhan baik sebagai upaya mendukung tumbuh kembang balita. Diharapkan adanya penelitian lanjut dengan menggunakan variabel lain, antara lain dukungan ayah dan pola asuh psikososial dalam pemantauan tumbuh kembang balita, melakukan penelitian pre-post positive deviance terutama masalah stunting melalui upaya peningkatan pengetahuan dan pemberdayaan wanita dan keluarga mengenai tumbuh kembang balita melalui penyuluhan gizi dan kesehatan serta melakukan uji perbandingan antara kelompok balita normal dari golongan keluarga miskin dan kelompok balita stunting dari keluarga tidak miskin, sehingga dapat diketahui positive deviance yang ada.
DAFTAR PUSTAKA ACC/SCN. 1997. 3rd Report on the World Nutrition Situation. Geneva Adeladza TA. 2009. The Influence of Socio-Economic and Nutritional Characteristics on Child Growth in Kwale District of Kenya. Afri J Agric Dev. 9(7);1570-1590 Agoes D, Poppy M. 2003. Mencegah dan Mengatasi Kegemukan Pada Balita. Jakarta : Puspa Swara Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ambardati N. 2007. Riwayat pemberian ASI, Stimulasi psikososial, dan perkembangan sosial emosi pada anak balita yang mengkonsumsi dan tidak mengkonsumsi susu [skripsi]. Bogor: Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 2008. Panduan MPASI & Pemberian Makan pada Batita. Panduan pemberian MPASI.docx. [16 Okt 2011] Anriani. 2010. BAZ Kota Bogor dan Pengentasan Kemiskinan. J Ekonomi Islam Republika. http://xa.yimg.com/kq/groups/22185649/1137795759/name/ ITISHOD+Juli+Republika.pdf [2 Feb 2011] Anwar F. 2002. Model Pengasuhan Anak Bawah dua Tahun dalam meningkatkan Status Gizi dan Perkembangan Psikososial [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Apriadji WH. 2007. Good Mood Food: Makanan Sehat Alami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Arisman MB. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Astari LD. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan Di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Astawan M. 2009. Ensiklopedia Gizi Pangan untuk Keluarga. Jakarta: Dian Rakyat. Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Atmarita FTS. 2004. Analisa Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widyakarya Nasional pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Organisasi Profesi dibidang Pangan dan Gizi. hlm 118-161. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
104
-----------. 2010. Database Pembangunan Kesehatan dan Gizi Masyarakat Tahun 2010. Jakarta : Direktorat kesehatan dan gizi masyarakat. http://kgm.bappenas.go.id/document/makalah/0_makalah.pdf [20 Mar 2011] Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani C. 2004. Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Bangun AP. 2004. Menangkal Penyakit dengan Jus Buah dan Sayuran. Jakarta: PT Agro Media Pustaka. Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Penerbit Rajawali. Bogin B. 1999. Paterns of Human Growth. Cambridge studies in biological and evolutionary anthropology. Second edition. (Chapt 7:333). Cambridge : Cambridge University Press. http://www.worldcat.org/title/patterns-ofhuman-growth/oclc/488222322/viewport [16 Okt 2011] [BPS]
Biro Pusat Statistik. 2011. Pola Konsumsi Rumah http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/609/609/ [20 Mar 2011]
Tangga.
-----------. 2011. Penjelasan Data Kemiskinan. Press Release. BPS-RI. Jakarta, 27 Januari 2011. Penjelasan_Data_Kemiskinan.pdf [20 Mar 2011] -----------. 2011. Hasil Sensus Penduduk 2010. Data Agregat per Kecamatan di Kota Bogor. http://www.bps.go.id/hasilSP2010/jabar/3271.pdf [29 Sep 2011] Cahyat A. 2004. Bagaimana kemiskinan diukur? Poverty & Decentralization Project. Forests and Governence Programme. Governance Brief, No.2. http://www.cifor.org/publications/pdf_files/govbrief/GovBrief0402.pdf [CORE] Child Survival Collaborations and resources Group. 2003. Perilaku Khusus Positif/Pos Gizi; Buku Panduan pemulihan yang berkesinambungan bagi Anak gizi kurang. Project Concern International Indonesia. Jakarta. Ciesla WP, Guerrant RL. 2003. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease (p) 225 - 68. New York: Lange Medical Books. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002a. Strategi Nasional Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu sampai tahun 2005. Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan WHO. Jakarta. -----------. 2002b. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat.pdf -----------. 2007. Riset kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Provinsi Jawa Barat. Laporan riskesdas 2007.pdf
105
-----------. 2008. Riset kesehatan Dasar 2007. Badan Pengembangan Kesehatan. Laporan riskesdas 2007.pdf
Penelitian
dan
Ditjen PPM dan PL (2002) Pedoman Teknis Penilaian Rumah sehat . Jakarta : Departemen Kesehatan R.I. Engle PL, Ricciuti HN. 1995. Psychososial aspects of care and nutrition. Food Nutr bull 16: 356-377 Engle PL, Mennon P, Haddad L. 1996. Care and Nutrition: Concept and Measurement. Washington DC: International Food Policy Research Institute (IFPRI). http://digitalcommons.calpoly.edu/.pdf [23 Mar 2011] Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. FAO 2011. Guidelines for measuring household and individual dietary diversity. Editor, Kennedy G, Ballard T dan Marieclaude. Publikasi EC-FAO. http://www.actioncontrelafaim.org/fileadmin/contribution/8_publications/pd f/Ouvrages_et_fascicules_techniques/Secu_alimentaire/Annex_4_FAO_gui delines_dietary_diversity_2011.PDF [3 Nov 2011]. Faber M, Benade AJS. 1999. Nutritional status and dietary practices of 4-24 month-old children from a rural South African Community. Publ Health Nutr 2(2):179-185 Fahrudin. 2004. Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di desa Karangmojo, kecamatan Klego Kabupaten Boyolali [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro. Febry AB, Marendra Z. 2008. Buku Pintar Menu Balita. Jakarta: WahyuMedia. Gibson RS. 2005. Principles of nutritional Assessment. Ed ke-2. New York: Oxford University Press. Hariyadi P. 2005. Lebih Sehat dengan Serealia. Gizi dan Kesehatan. Public Education. http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_ntrtnhlth_serealia.php [6 Jan 2012] Harper LJ, Deaton BJ, Judi AD. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hautvast et al. 2000. Severe Linear Growth Retardation in Rural Zambian Children: The Influence of Biological Variables. Am J Cli Nutr 71: 550-559. Hidayat AA. 2004. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Hurlock EB. 1997. Perkembangan Anak Jilid I. Ed ke-6. Tjandrasa MM, Zarkasih M, penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Jahari AB. 2002. Penilaian Pertumbuhan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Departemen kesehatan RI.
106
Jallow I. 2006. Insuring Effective Caring Practices within the family and Community. Perancis: Association for the Development of Education in Africa (ADEA). http://www.adeanet.org/adeaPortal/adea/biennial2006/doc/document/C2_1_jallow_en.pdf. [23 Mar 2011] Jelliffe DB. 1989. Community Nutritional Assesment. New York: Oxford University Press. Jellife DB. 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis. Jakarta: Bumi Aksara. Kartasapoetra. 2005. Ilmu Gizi: Korelasi gizi, kesehatan dan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta. Karyadi. 1985. Pengaruh Pola Asuh Makan dan Praktek Pemberian Makan terhadap Kesulitan Makan Anak Balita [tesis yang tidak di publikasikan]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Keman S. 2005. Kesehatan perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2(1):29-42. [Kemenkes] Kementrian Kesehatan RI. 2010a. Riset kesehatan Dasar 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan riskesdas 2010.pdf -----------. 2010b. Panduan Pelayanan Kesehatan Bayi Baru Lahir Berbasis Perlindungan Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. -----------. 2011. CFC Penatalaksanaan Gizi Buruk di http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/816 [20 Mar 2011]
Masyarakat.
Khumaidi N. 1997. Gizi Masyarakat. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Khomsan A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. -----------. 2007. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Krisnatuti D, Yenrina R. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara. Kusharisupeni. 2002. Growth Faltering pada Bayi di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Makara Kesehatan 2002, 1;6. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. Lubis Z. 2003. Status gizi Ibu Hamil Serta Pengaruhnya terhdap Bayi yang Dilahirkan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
107
Lung E. 2003, Acute Diarrheal Disease. Di dalam: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. Ed ke-2. New York: Lange Medical Books. hlm 131 -150 Macharia CW, Kogi-Makau W, Muroki NM. 2005. A Comparative Study on The Nutritional Status of Children (6-59 Months) in A World Vision Project Area and A Non-Project Area in Kathonzweni Division, Makueni District, Kenya. Afri J Food Agric Nutr Dev 5(2). Madanijah S. 2003. Model Pendidikan “GI-PSI SEHAT” bagi ibu serta dampaknya terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan dan status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Manuaba IBG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Cet ke-1. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Martianto et al. 2008. Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kerjasam Fakultas Ekologi dan Manusia IPB dengan PLAN Indonesia. http://www.ntt-academia.org/files/nutrition-food-plan-tts.pdf [16 Jul 2010] Maulani L. 2002. Pengasuhan Sosial Bermain dan Kecerdasan Emosional (EQ) Anak Usia 5-6 Tahun di TK Kemuning dan TK Kartika III-36 Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Melindacare. 2010. Minum Jamu Saat Hamil, Bolehkah ?. http://www.melindahospital.com/modul/user/detail_artikel.php?id=773_Min um-Jamu-Saat-Hamil,-Bolehkah-? [5 Jan 2012] Meyer WJ, Dusek JB. 1992. Child Psychology: a developmental perspective. Toronto: DC Health & Comp. Murtidjo BA. 2003. Pemotongan, Penanganan dan Pengolahan Daging Ayam. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Ogunba BO. 2006. Maternal Behavioural Feeding Practices and Under-five Nutrition: Implication for Child Development and Care. J Appl Sci Res 2(12): 1132-1136. Paath EF, Rumdasih, Heriati. 2005. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Cet ke-1. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. PERSAGI, 1992. Penuntun Diet Anak. Jakarta: PT Gramedia. Procop GW, Cockerill F. 2003. Enteritis Caused by Escherichia coli and Shigella and Salmonella Species. Di dalam: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York: Lange Medical Books. hlm 584–660
108
Ramli et al. 2009. Prevalence and Risk Factors for Stunting and Severe Stunting Among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia. Research Article BMC Pediatric 9:64 Rahmawati. 2006. Status Gizi dan Perkembangan Anak usia Dini di Taman Pendidikan Karakter dan Sutera Alam, Desa Sukamantri, Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Range SK, Kumar RN, Saroj B. 2007. Child care Practices Associated With Positive And Negative Nutritional Outcomes For Children In Bangladesh: A Descriptive Analysis. Washington DC: International Food Policy Research Institute (IFPRI). http://www.ifpri.org/publication/.pdf [23 Mar 2011] Ranuh, IGN. 1997. Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak. Surabaya, Continuing Education. Ilmu Kesehatan Anak. Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ruel MT, Purnima M. 2002. Child Feeding Practices Are Associated with Child Nutritional Status in Latin America: Innovative Uses of the Demographic and Health Surveys. J Nutr 3166: 1180-1187. Roesli U. 2000. Mengenal ASI Ekslusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. Rogol AD, Clark PA, Roemmich JN. 2000. Growth and pubertal development in children and adolescents: effects of diet and physical activity. Am J Clin Nutr 72(suppl):521S–8S Rukmana R. 2008. Bertanam Buah-buahan di Pekarangan. Yogyakarta: Kanasius. Samadi B. 2007. Kentang dan Analisis Usaha Tani. Ed Rev. Yogyakarta: Kanasius. Santrock JW. 2003. Adolescence. Jakarta: Erlangga Saputra D. 2009. Meraih Jendela Kesempatan melalui Program Keluarga Nasional http://prov.static.bkkbn.go.id/sumsel.bkkbn.go.id/program/MERAIH%20JE NDELA%20KESEMPATAN.pdf [7 Des 2011] Sastroasmoro S, Ismail S. 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed ke-3. Jakarta: Penerbit Sagung Seto. Satoto. 1997. Fitrah dan Tumbuh kembang Anak. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Gizi pada Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang, 8 Nopember 1997. http://eprints.undip.ac.id/260/1/satoto.pdf [2 Apr 2011] Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid II. Cet ke-6. Jakarta: Dian Rakyat.
109
Senewe dan Sulistiyowati. 2004. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Komplikasi Persalinan Tiga Tahun Terkahir di Indonesia. Bul Penel Kesehatan; 32(2): 83-91. Shui G, Wong SP, Leong LP. 2004. Characterization of Antioxidants and Change of Antioxidant Levels During Storage of Manilkara zapota L. Agri Food Chem. (52): 7834-7841. Siagian A. 2010. Epidemiologi Gizi. Jakarta: Erlangga Medical Series. Sinaga. 2011. Perbedaan Berat Dan Panjang Badan Bayi Usia 0-6 Bulan yang Diberi Asi Eksklusif dan Diberi MP-ASI di Puskesmas Medan Deli Kecamatan Medan Deli. [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sistiarani. 2008. Faktor Maternal dan Kualitas Pelayanan Antenatal yang Beresiko Terhadap Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Smith K. 2010. VSO Health Training & Information Resources. ISPA. http://www.tragus.co.uk/web/CD%20Kesehatan/Index.htm [20 Des 2011] Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Stalker. 2008. Millennium Development Goals. http://www.undp.or.id/pubs/docs/ Let%20Speak%20Out%20for%20MDGs%20-%20ID.pdf Suhardjo. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. ----------. 2005. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara Sukandar D. 2008. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi, dan Sanitasi : Nelayan di Jeneponto Sulawesi Selatan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Cetakan I. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Suranadi L, Chandradewi AASP. 2008. Studi Tentang Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh pada Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Kabupaten Lombok Barat. Kesehatan Prima 2: 296-303. Suryono, Supardi S. 2004. Resiko Penyakit ISPA dan Diare pada Batita Penderita Kekurangan Energi Protein (KEP) di Kabupaten Sukoharjo. Sains Kesehatan 17:134-143 Syarief H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas. Suatu Telaahan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Orasi ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Tanuwijaya, S. 2003. Konsep Umum Tumbuh dan Kembang. Jakarta: EGC
110
Turnip F. 2008. Pengaruh „Positive Deviance‟ pada Ibu dari Keluarga Miskin Terhadap Status Gizi Anak Usia 12-24 bulan di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2007 [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Medan. UNICEF. 1998. The State of the World’s Children 1998. Oxford: Oxford University Press. Utomo B. 2009. Pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada anak usia 6-23 bulan di Kabupaten Konawe. [tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. http://etd.ugm.ac.id [20 Des 2011] Victoria et al. 1998. Breastfeeding and Growth in Brazilian Infants. Am J Cli Nutr 67: 452-458. WHO/UNICEF. 2004. Low Birthweigth: Country, Regional, and Global Estimates. http://www.unicef.org/publications/files/low_birthweight_from_EY.pdf WHO. 2005. WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health www.who.int/patientsafety/events/05/HH_en.pdf [12 Okt 2011].
Care.
Wibowo dan Basuki. 2006. Pola Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak Pada Masyarakat Pendatang. J Pub Health Ind 3(1):15-18. Winkel WS. 2004. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi. Wong et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Vol.1. Ed ke-6. Sutarna A, Kuncara Y, penerjemah.; Yudha et al., editor edisi bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Zeitlin M, Ghassemi H, Mansour M. 1990. Positive Deviance in Child Nutrition – With emphasis on Psychosocial and Behavioural Aspects and Implications for Development. United Nations University Press. Tokyo.
Lampiran
113
Lampiran 1. Peta wilayah Kecamatan Bogor Barat
114
Lampiran 2. Kuesioner penelitian Informed consent ANALISIS DETERMINAN POSITIVE DEVIANCE STUNTING BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI KOTA BOGOR
Kepada yang terhormat bapak/Ibu responden, Dalam rangka mencapai tujuan penelitian, maka saya sangat mengharapkan ketersediaan Bapak/Ibu untuk dapat memberikan informasi dengan menjawab pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner sesuai dengan fakta yang ada. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan positive deviance stunting balita pada keluarga miskin di Kota Bogor. Jawaban atas informasi yang Bapak/Ibu berikan hanya untuk kepentingan penelitian dan dijamin kerahasiaannya. Demikian hal ini disampaikan, atas bantuan dan ketersediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.
Peneliti
Erny Elviany Sabaruddin
UNTUK RESPONDEN
Disetujui oleh
( ______________________ ) Nama dan tanda tangan
115
KUESIONER ANALISIS DETERMINAN POSITIVE DEVIANCE STUNTING BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI KOTA BOGOR
Kode Responden
: .........................................................................................................
Nama Enumerator
: .........................................................................................................
Nama Responden
: .........................................................................................................
Alamat/Lokasi
: .........................................................................................................
Kota
: .........................................................................................................
Kecamatan
: .........................................................................................................
Kelurahan
: …………………..……...
Waktu Wawancara
: Hari: ……………..Tanggal: ……/………./………………..
No Telp
: .........................................................................................................
RW……….. RT…….……….
SEKOLAH PASCASARJANA GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
116
A. KARAKTERISTIK KELUARGA Jawablah pertanyaan berikut dengan mengisi titik-titik pada tabel: 1 No Responden ……………………………………….. 2 Nama Ibu ……………………………………….. 3 Umur Ibu ……………………………………….. 4 Tinggi Badan Ibu ………………………………………. 5 Pendidikan Terakhir Ibu ……………………………………….. 6 Pekerjaan Ibu ……………………………………….. 7 Nama Ayah ……………………………………….. 8 Umur Ayah ……………………………………….. 9 Tinggi Badan ………………………………………. 10 Pendidikan Terakhir Ayah ……………………………………….. 11 Pekerjaan Ayah ……………………………………….. 12 Jumlah Anggota Keluarga ……………………………………….. 13 Banyak balita (0-5 tahun) ………………………………………. 14 Banyaknya anak SD (6-12 tahun) ……………………………………… Pendapatan Istri ............................................Rp/Bln Pendapatan Suami .............................................Rp/Bln 15 Pendapatan Keluarga Lainnya ………. .............................................Rp/Bln Total Pendapatan Keluarga .............................................Rp/Bln B. KARAKTERISTIK IBU Jawablah pertanyaan berikut dengan mengisi titik-titik pada tabel: 1 Umur pertama kali hamil …………………………………… Tahun 2 Umur pertama kali melahirkan …………………………………… Tahun Jumlah anak yang pernah 3 …………………………………… Orang dilahirkan Jarak anak saat ini dengan anak a. < 24 bulan 4 sebelumnya/sesudahnya b. ≥ 24 bulan Jika Ada: a. Ada Penyakit yang pernah diderita a. Diabetes 5 b. Tidak ada Sebelum kehamilan b. Hipertensi c. Lainnya………………
C. KARAKTERISTIK ANAK Jawablah pertanyaan berikut dengan mengisi titik-titik pada tabel: 1 Nama Anak ………………………………………… 2 Jenis Kelamin L/P 3 Umur ………………………………… bulan 4 Tanggal lahir ………………………………………… 5 Tinggi badan ………………………………… cm 6 Berat badan …………………………………..gr 7 Anak keberapa …………………dari………bersaudara
117
D. PENGELUARAN RUMAH TANGGA No 1.
Jenis pengeluaran Pangan 1. Pangan Pokok (beras, tepung terigu, mie, roti, ubi) 2. Lauk-pauk (telur, daging, ikan, tahu, tempe) 3. Sayuran 4. Buah-buahan 5. Minyak goreng 6. Minuman (kopi, teh, susu, sirup, air isi ulang) 7. Jajanan (chiki, bakso, permen, dll) 8. Makanan bayi (biskuit dan bubur bayi) 9. Lain-lain (bumbu, garam, vetsin, kecap, saos, dll) 10. Rokok
Total Pengeluaran Pangan Keluarga 2.
Non Pangan 1. Bahan Bakar (listrik, minyak tanah, gas, bensin, air) 2. Kesehatan (obat, suplemen, imunisasi, KB) 3. Kebersihan (sabun, sabun cuci, pasta gigi, dll) 4. Kosmetik 5. Pendidikan anak (SPP, uang saku, buku) 6. Pakaian dan alas kaki 7. Sosial (sumbangan) 8. Transportasi (angkot, ojek, bis, dll) 9. Komunikasi (telepon, pulsa, surat) 10. Gaji Pembantu 11. Cicilan (rumah, kendaraan, alat rumah tangga) 12. Perbaikan rumah (cat, genteng, dll) 13. Surat kabar, majalah, dan buku 14. Perabotan rumah tangga non elektronik 15. Perabotan rumah tangga elektronik
Total Pengeluaran Non Pangan Keluarga Total Pengeluaran Keluarga (Rp/Bulan)
Pengeluaran Rp/per Hari Minggu Bulan*)
118
E. PENGETAHUAN GIZI DAN KESEHATAN Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan melingkari jawaban yang dianggap benar : 1
Pemberian kolostrum pada saat bayi dilahirkan amat penting bagi ketahanan tubuh bayi, yang dimaksud dengan kolostrum adalah … a.Cairan bening kekuningan d. Cairan kental, keruh berwarna b. Cairan kental, keruh kekuningan putih c. Cairan kental berwarna putih e. Tidak tahu
2
Pemberian ASI Ekslusif pada bayi dilakukan hingga usia … a. 2 bulan d. 5 bulan b. 3 bulan e. 6 bulan c. 4 bulan
3
Makanan yang kita konsumsi harus bergizi, beragam, dan berimbang (4 sehat 5 sempurna). Susunan makanan yang bergizi, beragam, dan berimbang yaitu : a. Nasi, buah, sayuran d. Nasi, susu, lauk-pauk b. Nasi, buah, lauk-pauk e. Nasi, lauk-pauk, buah, sayuran, susu c. Sayuran, buah, susu Penimbangan berat badan pada balita sebaiknya dilakukan …. a. 1 kali/bulan d. 3 kali/tahun b. 1 kali/tahun e. 4 kali/tahun c. 2 kali/tahun
4
5
Monitoring terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita melalui POSYANDU sebaiknya dilakukan hingga balita berusia …. a. 1 tahun d. 4 tahun b. 2 tahun e. 5 tahun c. 3 tahun
6
Sanitasi dan higienitas lingkungan perlu diperhatikan dalam lingkup pertumbuhan dan perkembangan balita. Penyakit yang sering diderita karena sanitasi dan higienitas yang kurang yaitu …. a. Rabun (penyakit mata) d. Rakhitis b. Beri-beri e. ISPA dan diare c. Sariawan dan gusi berdarah
7
Dibawah ini yang termasuk ke dalam perilaku pemeliharaan kebersihan perorangan yang benar yaitu … a. Melap piring dengan pakaian d. Minum air yang tidak di masak b. Bersin di depan makanan e. Tidak membersihkan dan c. Mencuci sayuran sebelum merapikan kuku secara teratur dimasak
8
Cara pengolahan sayuran yang baik adalah … a. Dicuci, dipotong, dimasak b. Dipotong lalu dimasak c. Langsung dimasak tanpa dicuci
9
d. Dimasak lalu dipotong e. Dipotong, dicuci, dimasak
Pertolongan pertama untuk mengatasi kehilangan cairan akibat mencret dapat diberikan a. Larutan gula d. Sirup b. Larutan garam e. Tidak tahu c. Larutan gula garam
119
10
Cara membuat larutan oralit adalah a. Gula 2 sdt + garam ½ sdt + 1 gelas air matang b. Gula 1 sdt + garam 1 sdt + 1 gelas air matang c. Gula 1 sdm + garam 1 sdm + 1 gelas air matang d. Gula 2 sdm + garam 1 sdt + 1 gelas air matang e. Tidak tahu 11
12
13
14
Pertumbuhan dan perkembangan anak usia 24-59 bulan sangat pesat sehingga diperlukan asupan gizi yang optimal seperti zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur. Di bawah ini yang termasuk zat pembangun adalah … a. Karbohidrat d. Vitamin b. Protein e. Tidak tahu c. Lemak Di bawah ini yang termasuk bahan pangan sumber zat pembangun, yaitu … a. Hati, ikan, tempe d. Kentang, ikan, jeruk b. Jeruk, pepaya, pisang e. Tidak tahu c. Bayam, tempe, pisang Yodium sangat diperlukan untuk mencegah penyakit … a. Rabun (sakit mata) d. Beri-beri b. Gondok dan kretinisme (pendek) e. Tidak tahu c. Busung lapar Zat gizi yang diperlukan selama pertumbuhan balita yaitu … a. Vitamin B d. Kalsium dan fosfor b. Vitamin E e. Tidak tahu c. Natrium
15
Di bawah ini yang termasuk bahan pangan sumber kalsium dan fosfor, yaitu: a. Daun singkong, kangkung, bayam d. Daging, ayam, telur b. Tomat, wortel, papaya e. Tidak tahu c. Susu, keju
16
Fungsi zat besi yaitu … a. Supaya tubuh sehat dan kuat d. Menambah daya ingat b. Pembentukan sel darah merah e. Tidak tahu c. Pembentukan tulang dan gigi Bahan pangan yang termasuk sumber zat besi yaitu … a. Telur, buncis, wortel d. Tomat, telur, tempe b. Hati, bayam, ikan teri e. Tidak tahu c. Telur, paria, ayam Berat badan minimal bayi lahir sebaiknya tidak kurang dari …. a. 1 kg d. 3 kg b. 2 kg e. Tidak tahu c. 2,5 kg Pemantauan pertumbuhan anak dapat dilakukan dengan cara: a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan saat lahir b. Pengukuran berat badan dan tinggi badan saat pertama kali bisa berjalan c. Pengukuran berat badan dan tinggi badan secara periodik d. Pengukuran berat badan pada saat sakit e. Tidak tahu Berapa kali sebaiknya anak balita mendapatkan kapsul vitamin A dalam setahun? a. 1 kali d. 4 kali b. 2 kali e. Tidak tahu c. 3 kali
17
18
19
20
120
F. RIWAYAT KEHAMILAN F.1 Proses dan Konsumsi makanan selama Persalinan Terdahulu : Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan melingkari jawaban yang sesuai : 1
Siapa yang membantu proses persalinan?
a. Dokter b. Bidan
c. Dukun bayi d. Lainnya…………….
2
Tempat persalinan
a. RS/RB b. Bidan
c. Dukun bayi d. Lainnya…………….
3
Jenis persalinan
a. Normal b. Caesar
4
Adakah komplikasi persalinan?
a. Ya b. Tidak
5
Jika Ya, apakah komplikasi yang dialami?
a. b. c. d.
6
Riwayat persalinan bayi kembar
a. Pernah b. Tidak pernah
7
Apakah pernah mengalami keguguran?
8
Konsumsi suplemen selama kehamilan ?
9
Konsumsi Jamu ?
10
Konsumsi makanan/minuman tertentu?
a. Ya b. Tidak Jika “Ya”: Berapa kali:……………..kali Di usia kehamilan……….bln Penyebab…………………… a. Ya b. Tidak Jika “Ya” , sebutkan : …………………….. a. Ya b. Tidak Jika “Ya”, sebutkan : …………………….. a. Ya b. Tidak Jika “Ya”, sebutkan :………………….…..
Pendarahan Demam/Infeksi Preeklamsia/Eklamsia Lainnya…………………………..
F.2 Pemeriksaan Kesehatan Berikan tanda check list (√) pada jawaban yang sesuai No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Pemeriksaan
Ya
Memeriksa kehamilan Tempat pemeriksaan: a. RS b. Bidan c. Klinik bersalin d. Lainnya……….. Memeriksa berat badan dan tinggi badan Mengukur tekanan darah Pemberian tablet besi-folat/TTD Pemberian imunisasi TT Pengukuran LILA Pemeriksaan Hb Konsultasi persalinan Konsultasi pascapersalinan
Tidak
121
G. RIWAYAT KELAHIRAN Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan melingkari jawaban yang sesuai : 1
Apakah anak lahir ditimbang dan diukur?
2
Dari mana sumber informasi berat badan anak ketika lahir ?
3
Apakah anak memiliki penyakit bawaan?
a. Ya b. Tidak Jika “Ya”: Berapa gram:…………..gram Berapa cm :……………cm a. KMS/Buku KIA /Buku catatan kesehatan/Catatan kelahiran b. Pengakuan atau ingatan ibu a. Ya b. Tidak Jika “Ya”, sebutkan :………………………..
H. RIWAYAT KONSUMSI ANAK H. 1 Riwayat Konsumsi ASI Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan melingkari jawaban yang sesuai : 1 Pemberian Kolostrum a. Ya b. Tidak Jika „Tidak‟, alasan : ……………………… 2 Pemberian ASI Eksklusif a. Ya b. Tidak Jika „Tidak‟, alasan : ……………………… 3 Makanan/minuman saat bayi lahir a. Ya (madu, teh manis, air tajin) b. Tidak Jika „Ya‟, sebutkan : ……………………… 4 ASI diberikan sesuai dengan a. Ya permintaan anak b. Tidak 5 Selain ASI, diberikan makanan a. Ya (pisang, bubur saring, bubur tepung) lain (makanan sapihan) b. Tidak Jika „Ya‟, sebutkan : ………………………. Bulan ke : ………………………. 6 ASI diberikan sampai umur a. Ya 2 tahun b. Tidak Jika Tidak, berapa tahun : ………………. 7 Memberikan susu formula ? a. Ya b. Tidak Jika „Ya‟, mulai diberikan umur : ………bulan Merek : ……………. 8 Frekuensi pemberian susu formula dalam sehari …..... kali dalam sehari
122
H. 2 Pola Konsumsi Makan
FOOD FREQUENCY Nama bahan makanan Makanan pokok: a. Beras b. Mie c. Roti d. Biskuit e. Ubi f. ……… Lauk pauk : a. Ayam b. Daging c. Telur d. Ikan e. Udang f. Cumi-cumi g. Tempe/tahu h. ……….. Sayuran : a. Bayam b. Wortel c. Buncis d. Kentang e. Daun Ubi f. Kangkung g. …….. Buah : a. Jeruk b. Pisang c. Pepaya d. Semangka e. …….. Minuman : a. Susu b. Teh manis c. Sirup d. ………….. Vitamin / Suplemen : a. Scotch emulsion b. Biolisin c. Curcuma + d. …………..
Frekuensi konsumsi Hari
Minggu
Bulan
Tahun
Tdk pernah
Ket
123
I. POLA ASUH MAKAN I.1 Praktek Pemberian Makan Berikan tanda check list (√) pada jawaban yang sesuai 1 Umur pemberian makanan padat a. < 1 tahun b. ≥ tahun 2 Jenis makanan pertama yang a. Nasi/makanan padat diberikan (MP-ASI) b. Bubur nasi c. Lainnya……………. 3 Frekuensi pemberian makanan per a. ≤ 1 kali hari b. 2 kali c. ≥ 3 kali 4 Pemberian makanan a. Selalu selingan/kudapan b. Kadang-kadang c. Tidak pernah 5 Pertimbangan dalam pemilihan a. Kesukaan jenis makanan b. Kandungan gizi c. Kesukaan dan kandungan gizi d. Lainnya………………………….. 6 Makanan yang diberikan, lengkap a. Ya sesuai „triguna pangan‟ ? b. Tidak 7 Penentuan waktu makan a. Kemauan anak b. ibu 8 Anak sulit untuk makan a. selalu b. kadang-kadang c. tidak 9 Cara memberi makan jika anak a. membujuk tidak mau makan b. memaksa/membiarkan 10 Cara memberi makan a. mengajak anak berbicara dan bermain didalam/diluar b. memberi makan tanpa diberi dorongan/tidak boleh sambil main dan tidak diajak berbicara c. Lainnya …………… 11 Anak sering tidak menghabiskan a. Ya makanan b. Kadang-kadang c. Tidak 12 Memiliki pantangan makanan a. Ya b. Tidak 13 Siapa yang memberi makan jika a. Nenek ibu pergi b. Bibi c. Bapak 14 Jika ibu pergi, anak diasuh dengan a. Ya orang lain ? b. Tidak Jika „ya‟, dengan siapa………
124
I.2 Praktek Sanitasi Pangan Berikan tanda check list (√) pada jawaban yang sesuai No Selalu 1
Mencuci tangan menggunakan sabun sebelum masak
2
Memilih makanan yang masih baik dan membuang bagian yang busuk sebelum diolah
3
Menyimpan makanan yang mudah busuk dan makanan yang sudah masak dalam lemari es jika ada
4
6 7 8
Memanaskan kembali makanan yang telah lama (>2jam) ketika akan diberikan lagi kepada anak Mencuci alat untuk memasak menggunakan sabun Mencuci bahan makanan yang akan dimasak Memasak makanan untuk anak sampai matang Buah di cuci dengan air matang
9
Sumber air untuk keperluan memasak anak
10
Tempat menyimpan makanan yang telah matang untuk anak
5
Kadangkadang
Tidak pernah
a. b. c. a.
ledeng Pompa/sumur Lainnya …………. Rak tertutup/meja makan keadaan tertutup b. Rak terbuka c. Meja makan terbuka
J. POLA ASUH KESEHATAN J.1 Praktek Perawatan Diri Berikan tanda check list (√) pada jawaban yang sesuai
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Ya Anak dimandikan dua kali sehari Anak mempunyai perlengkapan mandi sendiri (mis : handuk dan sikat gigi) Anak setelah mandi selalu berganti pakaian Jika anak akan memegang makanan sendiri, tangannya dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan sabun Setelah buang air besar anak dibersihkan dengan sabun Menggunting kuku seminggu sekali Lantai rumah dibersihkan sebelum anak bermain Lainnya …………………………………….
Kadangkadang
Tidak
125
Praktek Sanitasi Lingkungan : Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan melingkari jawaban yang sesuai : 1
Rumah setiap hari di sapu dan di pel
2
Sinar matahari masuk ke dalam rumah
3
Jendela dibuka pada siang hari
4
Jarak Lokasi rumah dengan rumah lainnya :
5
Jamban Sering dibersihkan
6
Rumah memiliki jamban keluarga
7
Sumber air
8
Tempat sampah
a. b. c. a. b. c. a. b. c. a. b. c. a. b. c. a. b.
ya Kadang-kadang Jarang ya Kadang-kadang Tidak Ya Kadang-kadang Tidak Berjauhan Berdekatan rapat Ya, Setiap hari Ya, Kadang-kadang Jarang Ya Tidak
a. b. c. a.
Ledeng Sumur/pompa Lainnya………… (sungai dll) Di bak/keranjang/kantong sampah terbuka b. Di keranjang/kantong sampah tertutup c. Lainnya ……………………………
K. STATUS DAN RIWAYAT KESEHATAN Berikan tanda check list (√) pada jawaban yang sesuai 1
Dalam 3 bulan terakhir, apakah anak pernah menderita penyakit Diare?
a. Ya b. Tidak Jika „Ya‟, cara pengobatan : .…………………
2
Dalam 3 bulan terakhir, apakah anak pernah menderita penyakit ISPA?
a. Ya b. Tidak Jika „Ya‟, cara pengobatan : ………………..
3
Penyakit lain yang pernah di derita
Sebutkan : ……………………………….. Berapa lama : …………………………….. Cara pengobatan : …………………………
126
Lampiran 3. Rata-rata pengeluaran keluarga contoh
No
1.
Jenis pengeluaran
Pengeluaran (Rp/per bulan) Stunting Normal
Pangan 1. Pangan Pokok (beras, tepung terigu, mie, roti, ubi) 2. Lauk-pauk (telur, daging, ikan, tahu, tempe) 3. Sayuran 4. Buah-buahan 5. Minyak goreng 6. Minuman (kopi, teh, susu, sirup, air isi ulang) 7. Jajanan (chiki, bakso, permen, dll) 8. Makanan bayi (biskuit dan bubur bayi) 9. Lain-lain (bumbu, garam, vetsin, kecap, saos, dll) 10. Rokok
163374 139274 22857 14429 25093 28999 143043 3942 20171 49286 610411
164120 146689 19870 13929 24814 30820 120629 4057 17293 58171 600107
96143 6879 27486 7751 35349 11434 2129 23900 8671 -----53261 1143 ----------------
111589 5334 25664 4727 37373 11546 2364 26543 10893 -----36071 ----------143 ------
Total Pengeluaran Non Pangan Keluarga
273385
271396
Total Pengeluaran Keluarga (Rp/Bulan)
883796
871503
Total Pengeluaran per kapita
196035
201291
Total Pengeluaran Pangan Keluarga 2.
Non Pangan 1. Bahan Bakar (listrik, minyak tanah, gas, bensin, air) 2. Kesehatan (obat, suplemen, imunisasi, KB) 3. Kebersihan (sabun, sabun cuci, pasta gigi, dll) 4. Kosmetik 5. Pendidikan anak (SPP, uang saku, buku) 6. Pakaian dan alas kaki 7. Sosial (sumbangan) 8. Transportasi (angkot, ojek, bis, dll) 9. Komunikasi (telepon, pulsa, surat) 10. Gaji Pembantu 11. Cicilan (rumah, kendaraan, alat rumah tangga) 12. Perbaikan rumah (cat, genteng, dll) 13. Surat kabar, majalah, dan buku 14. Perabotan rumah tangga non elektronik 15. Perabotan rumah tangga elektronik
127
Lampiran 4. Data pendidikan dan pekerjaan orangtua
Variabel Pendidikan Ayah Tamat Perguruan Tinggi Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Rata-rata ± SD Pendidikan Ibu Tamat Perguruan Tinggi Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Rata-rata ± SD Pekerjaan Ayah Pegawai swasta Wiraswasta/Pedagang Pelayanan Jasa Petani Buruh Pekerjaan Ibu Ibu Rumah Tangga Wiraswasta/Pedagang Pelayanan Jasa Buruh Total
Kelompok Balita Stunting Normal n % n %
Total n
%
0 14 18 37 1
0 20,0 25,7 52,9 1,4 8,0 ± 2,5
0 31 19 19 1
0 44,3 27,1 27,1 1,4 9,4 ± 2,5
0 0 45 32,1 37 26,4 56 40,0 2 1,4 8,7 ± 2,6
0 3 8 57 2
0 4,3 11,4 81,4 2,9 6,6 ± 1,5
0 14 21 34 1
0 20 30 48,6 1,4 8,1 ± 2,4
0 0 17 12,1 29 20,7 91 65,0 3 2,1 7,3 ± 2,1
2 13 7 1 47
2,9 18,6 10,0 1,4 67,1
7 12 9 0 42
10,0 17,1 12,9 0 60
9 25 16 1 89
6,4 17,9 11,4 0,7 63,6
51 10 1 8 70
72,9 14,3 1,4 11,4 100
61 2 2 5 70
87,1 2,9 2,9 9,3 100
112 12 3 13 140
80 8,6 2,1 9,3 100
128
Lampiran 5. Hasil data pengetahuan gizi dan kesehatan
Pertanyaan Nomor 1 salah benar Nomor 2 salah benar Nomor 3 salah benar Nomor 4 salah benar Nomor 5 salah benar Nomor 6 salah benar Nomor 7 salah benar Nomor 8 salah benar Nomor 9 salah benar Nomor 10 salah benar Total
Kelompok balita Stunting Normal n % n %
Total n
P % 0.848
51 19
72.9 27.1
52 18
74.3 25.7
103 37
73.6 26.4
19 51
27.1 72.9
12 58
17.1 82.9
31 109
22.1 77.9
16 54
22.9 77.1
9 61
12.9 87.1
25 115
17.9 82.1
0.154
0.122
0.172 4 66
5.7 94.3
1 69
1.4 98.6
5 135
3.6 96.4
16 54
22.9 77.1
10 60
14.3 85.7
26 114
18.6 81.4
21 49
30 70
18 52
25.7 74.3
39 101
27.9 72.1
4 66
5.7 94.3
7 63
10 90
11 129
7.9 92.1
0.192
0.572
0.346
0.845 52 18
74.3 25.7
53 17
75.7 24.3
105 35
75 25
27 43
38.6 61.4
26 44
37.1 62.9
53 87
37.9 62.1
53 17 70
75.7 24.3
56 14 70
80 20
109 31 140
77.9 22.1
0.862
0.541
100
100
100
129
Pertanyaan Nomor 11 salah benar Nomor 12 salah benar Nomor 13 salah benar Nomor 14 salah benar Nomor 15 salah benar Nomor 16 salah benar Nomor 17 salah benar Nomor 18 salah benar Nomor 19 salah benar Nomor 20 salah benar Total
Kelompok balita Stunting Normal n % n %
Total
P
n
% 0.005
65 5
92.9 7.1
53 17
75.7 24.3
118 22
84.3 15.7
54 16
77.1 22.9
53 17
75.7 24.3
107 33
76.4 23.6
16 54
22.9 77.1
6 64
8.6 91.4
22 118
15.7 84.3
0.842
0.020
0.063 40 30
57.1 42.9
29 41
41.4 58.6
69 71
49.3 50.7
44 26
62.9 37.1
47 23
67.1 32.9
91 49
65 35
57 13
81.4 18.6
56 14
80 20
113 27
80.7 19.3
0.595
0.830
0.027 55 15
78.6 21.4
43 27
61.4 38.6
98 42
70 30
54 16
77.1 22.9
53 17
75.7 24.3
107 33
76.4 23.6
33 37
47.1 52.9
32 38
45.7 54.3
65 75
46.4 53.6
0.842
0.865
0.380 28 42 70
40 60 100
23 47 70
32.9 67.1 100
51 89 140
36.4 63.6 100
130
Lampiran 6. Hasil tabulasi data antar variabel penelitian
Variabel
Besar Keluarga > 4 orang ≤ 4 orang % n n %
Banyak Balita > 1 orang 29.5 18 1 orang 70.5 43 Urutan Anak dalam Keluarga sulung 11.5 7 tengah 21.3 13 bungsu 67.2 41 Umur Ayah 20-40 tahun 67.2 41 > 40 tahun 32.8 20 Umur Ibu < 20 tahun 0.0 0 90.2 55 20-40 tahun > 40 tahun 9.8 6 Umur Ibu saat Hamil Responden < 20 tahun 1.6 1 20-40 tahun 93.4 57 > 40 tahun 4.9 3 Jarak Kelahiran Anak < 24 bulan 13.1 8 ≥ 24 bulan 86.9 53 Total 100 61
Variabel
P
n
% 0.003
8 71
10.1 89.9
26 114
18.6 81.4
40 0 39
50.6 0 49.4
47 13 80
33.6 9.3 57.1
72 7
91.1 8.9
113 27
80.7 19.3
2 76 1
2.5 96.2 1.3
2 131 7
1.4 93.6 5.0
18 61 0
22.8 77.2 0
19 118 3
13.6 84.3 2.1
38 41 79
48.1 51.9 100
46 94 140
32.9 67.1 100
0.000
0.000
0.034
0.000
0.000
Umur Ayah 20-40 tahun > 40 tahun % n n %
Banyak anak > 2 orang 30 ≤ 2 orang 83 Besar keluarga > 4 orang 41 ≤ 4 orang 72 Jarak Kelahiran Anak < 24 bulan 44 ≥ 24 bulan 69 Umur Anak 24-35 bulan 45 36-47 bulan 42 48-59 bulan 26 Urutan Anak dalam Keluarga sulung 46 tengah 9 bungsu 58 Total 113
Total
Total
P
n
% 0.000
26.5 73.5
19 8
70.4 29.6
49 91
36 65
36.3 63.7
20 7
74.1 25.9
61 79
43.6 56.4
38.9 61.1
2 25
7.4 92.6
46 94
32.9 67.1
39.8 37.2 23.0
5 7 15
18.5 25.9 55.6
50 49 41
35.7 35.0 29.3
40.7 8 51.3 100
1 4 22 27
3.7 14.8 81.5 100
47 13 80 140
33.6 9.3 57.1 100
0.000
0.002
0.003
0.001
131
Variabel
< 20 tahun % N
Banyak Anak > 2 orang 0.0 0 ≤ 2 orang 100 2 Besar Keluarga > 4 orang 0.0 0 ≤ 4 orang 100 2 Umur Ibu saat Hamil Responden < 20 tahun 100 2 20-40 tahun 0 0 > 40 tahun 0 0 Total
Variabel
2
Pendidikan Ibu rendah tinggi Tinggi Badan Ibu < 156 cm ≥ 156 cm
Total
> 40 tahun n %
n
43 88
32.8 67.2
6 1
85.7 14.3
49 91
35 65
55 76
42 58
6 1
85.7 14.3
61 79
43.6 56.4
17 113 1
13.0 86.3 0.8
0 5 2
0 71.4 28.6
19 118 3
13.6 84.3 2.1
131
100
7
100
140
100
0.034
0.000
Total n
P %
60.4
16
36.4
74
52.9
38
39.6
28
63.6
66
47.1
91
94.8
30
68.2
121
86.4
5
5.2
14
31.8
19
13.6
0.000
0.037 82
85.4
31
70.5
113
80.7
14
14.6
13
29.5
27
19.3 0.006
12 32
27.3 72.7
62 78
44.3 55.7
Riwayat Kehamilan Ibu
0.016
kurang
29
30.2
5
11.4
34
24.3
baik
67
69.8
39
88.6
106
75.7
Praktek Sanitasi Lingkungan kurang 45.8 44 Total
%
0.008
Pengetahuan gizi dan kesehatan kurang 52.1 50 baik 47.9 46
baik
P 0.010
Pendidikan Ayah Rendah Tinggi % n n %
Tinggi Badan Ayah < 165 cm 58 ≥ 165 cm
100
Umur ibu 20-40 tahun n %
52
54.2
96
100
0.037 12
27.3
56
40
32
72.7
84
60
44
100
140
100
132
Pendidikan Ibu Rendah
Variabel
%
n Pendidikan Ayah rendah tinggi
Total
Tinggi n
%
P
n
% 0.000
91
75.2
30
24.8
Banyak Anak > 2 orang 38.8 47 ≤ 2 orang 61.2 74 Urutan Anak dalam Keluarga sulung 28.9 35 tengah 10.7 13 bungsu 60.3 73 Jarak Kelahiran Anak < 24 bulan 29.8 36 ≥ 24 bulan 70.2 85 Pengetahuan Gizi dan Kesehatan kurang 51.2 62 baik 48.8 59
5
26.3
96
68.6
14
73.7
44
31.4
2 17
10.5 89.5
49 91
35 65
12 0 7
63.2 0 36.8
47 13 80
33.6 9.3 57.1
0.016
0.009
0.048 10 9
52.6 47.4
0 19
0.0 100
46 94
32.9 67.1
62 78
44.3 55.7
0.000
Riwayat Kehamilan
0.038
kurang
33
27.3
1
5.3
34
24.3
baik
88
72.7
18
94.7
106
75.7
121
100
19
100
140
100
Total
Pekerjaan Ibu Variabel
bekerja n
%
Total
tidak bekerja n
%
n
P %
Riwayat Konsumsi ASI
0.039
kurang
11
39.3
23
20.5
34
24.3
baik
17
60.7
89
79.5
106
75.7
Praktek Sanitasi Pangan
0.027
kurang
7
25.0
54
48.2
61
43.6
baik
21
75
58
51.8
79
56.4
28
100
112
100
140
100
Total
133
Tinggi Badan Ayah Variabel n Pendidikan Ayah rendah tinggi Total
Variabel
%
n
%
n
P % 0.008
58
78.4
38
57.6
96
68.6
16
21.6
28
42.4
44
31.4
74
100
66
100
140
100
Tinggi Badan Ibu < 156 cm ≥ 156 cm % n n %
Banyak Balita > 1 orang 15 17 1 orang 85 96 Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu kurang 50.4 57 baik 49.6 56 Riwayat Kehamilan kurang 29.2 33 baik 70.8 80 Total 100 113
Variabel
Total
≥ 165 cm
< 165 cm
n
%
P 0.028
9 18
33.3 66.7
26 114
18.6 81.4
5 22
18.5 81.5
62 78
44.3 55.7
1 26 27
3.7 96.3 100
34 106 140
24.3 75.7 100
0.003
0.006
Banyak balita > 1 orang 1 orang % n n %
Besar Keluarga > 4 orang 69.2 18 ≤ 4 orang 30.8 8 Tinggi Badan Ibu < 156 cm 65.4 17 34.6 ≥ 156 cm 9 Banyak Anak > 2 orang 61.5 16 ≤ 2 orang 38.5 10 Urutan Anak dalam Keluarga sulung 23.1 6 tengah 42.3 11 bungsu 34.6 9 Riwayat Kesehatan sakit 96.2 25 sehat 3.8 1 Total 100 26
Total
Total n
P
% 0.003
43 71
37.7 62.3
61 79
43.6 56.4
96 18
84.2 15.8
113 27
80.7 19.3
0.028
0.002 33 81
28.9 71.1
49 91
35 65
41 2 71
36 1.8 62.3
47 13 80
33.6 9.3 57.1
84 30 114
73.7 26.3 100
109 31 140
77.9 22.1 100
0.000
0.013
134
Variabel
Banyak anak > 2 orang ≤ 2 orang % n n %
Besar Keluarga > 4 orang 93.9 46 ≤ 4 orang 6.1 3 Umur Ayah 20-40 tahun 61.2 30 > 40 tahun 38.8 19 Pendidikan Ibu rendah 95.9 47 tinggi 4.1 2 Urutan Anak dalam Keluarga sulung 0 0 tengah 26.5 13 bungsu 73.5 36 Banyak Balita > 1 orang 32.7 16 1 orang 67.3 33 Umur Ibu saat hamil responden < 20 tahun 0.0 0 20-40 tahun 93.9 46 > 40 tahun 6.1 3 Jarak Kelahiran Anak < 24 bulan 8.2 4 ≥ 24 bulan 91.8 45 Riwayat Kehamilan kurang 38.8 19 baik 61.2 30 Praktek Pemberian Makan kurang 49.0 24 baik 51 25 Praktek Perawatan Diri kurang 49 24 baik 51 25 Total 100 49
Total %
0.000 15 76
16.5 83.5
61 79
43.6 56.4
83 8
91.2 8.8
113 27
80.7 19.3
74 17
81.3 18.7
121 19
86.4 13.6
47 0 44
51.6 0 48.4
47 13 80
33.6 9.3 57.1
10 81
11 89
26 114
18.6 81.4
19 72 0
20.9 79.1 0
19 118 3
13.6 84.3 2.1
0.000
0.016
0.000
0.002
0.000
0.000 42 49
46.2 53.8
46 94
32.9 67.1
15 76
16.5 83.5
34 106
24.3 75.7
27 64
29.7 70.3
51 89
36.4 63.6
25 66 91
27.5 72.5 100
49 91 140
35 65 100
0.003
0.024
0.011
Jenis Kelamin Variabel
Laki-laki
P
n
Total
Perempuan
P
%
n
%
n
%
24.2 75.8
30 44
40.5 59.5
46 94
32.9 67.1
Penyakit yang pernah diderita ibu sebelum kehamilan ada 16.7 31.1 11 23 tidak ada 83.3 68.9 55 51
34 106
24.3 75.7
140
100
n Jarak Kelahiran Anak < 24 bulan 16 ≥ 24 bulan 50
Total
66
0.040
100
74
100
0.047
135
Umur anak Variabel
24-35 bulan n
Umur Ayah 20-40 tahun > 40 tahun
%
36-47 bulan
48-59 bulan
n
n
%
%
Total n
% 0.003
90 10
42 7
85.7 14.3
26 15
63.4 36.6
113 27
80.7 19.3
Praktek Pemberian Makan rendah 50 25 tinggi 50 25 Total 100 50
10 39 49
20.4 79.6 100
16 25 41
39 61 100
51 89 140
36.4 63.6 100
Variabel
45 5
0.009
Urutan Anak dalam Keluarga Sulung Tengah Bungsu % n n % n %
Umur Ayah 20-40 tahun 97.9 46 > 40 tahun 2.1 1 Pendidikan Ibu rendah 74.5 35 tinggi 25.5 12 Banyak Anak > 2 orang 0.0 0 ≤ 2 orang 100 47 Banyak Balita >1 orang 12.8 6 1 orang 87.2 41 Besar Keluarga > 4 orang 14.9 7 ≤ 4 orang 85.1 40 Jarak Anak < 24 bulan 89.4 42 ≥ 24 bulan 10.6 5 Umur Ibu saat Hamil Responden < 20 tahun 38.3 18 20-40 tahun 61.7 29 > 40 tahun 0 0 Riwayat Kelahiran kurang 61.7 29 baik 38.3 18 Praktek Perawatan Diri kurang 25.5 12 baik 74.5 35 Total
P
47
100
Total n
%
P 0.001
9 4
69.2 30.8
58 22
72.5 27.5
113 27
80.7 19.3
13 0
100 0
73 7
91.2 8.8
121 19
86.4 13.6
13 0
100.0 0
36 44
45 55
49 91
35 65
11 2
84.6 15.4
9 71
11.2 88.8
26 114
18.6 81.4
0.009
0.000
0.000
0.000 13 0
100.0 0
41 39
51.2 48.8
61 79
43.6 56.4 0.000
2 11
15.4 84.6
2 78
2.5 97.5
46 94
32.9 67.1
0 12 1
0.0 92.3 7.7
1 77 2
1.2 96.2 2.5
19 118 3
13.6 84.3 2.1
0.000
0.041 3 10
23.1 76.9
39 41
48.8 51.2
71 69
50.7 49.3
9 4
69.2 30.8
28 52
35 65
49 91
35 65
13
100
80
100
140
100
0.014
136
Variabel
Umur ibu saat hamil responden < 20 tahun 20-40 tahun > 40 tahun n
Umur Ayah 20-40 tahun 18 > 40 tahun 1 Besar Keluarga > 4 orang 1 ≤ 4 orang 18 Banyak Anak > 2 orang 0 ≤ 2 orang 19 Jarak Kelahiran Anak < 24 bulan 18 ≥ 24 bulan 1 Urutan Anak sulung 18 tengah 0 bungsu 1 Total 19
Variabel
Total
P
%
n
%
n
%
n
%
94.7 5.3
94 24
79.7 20.3
1 2
33.3 66.7
113 27
80.7 19.3
5.3 94.7
57 61
48.3 51.7
3 0
100 0
61 79
43.6 56.4
0.0 100
46 72
39 61
3 0
100 0
49 91
35 65
0.033
0.000
0.000
0.000 94.7 5.3
22.9 77.1
27 91
1 2
33.3 66.7
46 94
32.9 67.1 0.000
94.7 0 5.3 100
24.6 10.2 65.3 100
29 12 77 118
0 1 2 3
Jarak Anak < 24 bulan ≥ 24 bulan % n n %
Jenis Kelamin laki-laki 34.8 16 perempuan 65.2 30 Besar Keluarga > 4 orang 17.4 8 ≤ 4 orang 82.6 38 Banyak Anak > 2 orang 8.7 4 ≤ 2 orang 91.3 42 Urutan Anak dalam Keluarga sulung 91.3 42 tengah 4.3 2 bungsu 4.3 2 Umur Ayah 20-40 tahun 95.7 44 > 40 tahun 4.3 2 Pendidikan Ibu rendah 78.3 36 tinggi 21.7 10 Umur ibu saat hamil responden < 20 tahun 39.1 18 20-40 tahun 58.7 27 > 40 tahun 2.2 1 Total 100 46
0 33.3 66.7 100
47 13 80 140
Total
33.6 9.3 57.1 100
P
n
% 0.040
50 44
53.2 46.8
66 74
47.1 52.9
53 41
56.4 43.6
61 79
43.6 56.4
45 49
47.9 52.1
49 91
35 65
5 11 78
5.3 11.7 83
47 13 80
33.6 9.3 57.1
0.000
0.000
0.000
0.002 69 25
73.4 26.6
113 27
80.7 19.3 0.048
85 9
90.4 9.6
121 19
86.4 13.6
1 91 2 94
1.1 77.1 2.1 100
19 118 3 140
13.6 84.3 2.1 100
0.000
137
Variabel
Jenis Kelamin laki-laki perempuan Pendidikan Ayah rendah tinggi Total
Variabel Pendidikan Ibu rendah tinggi Tinggi Badan ibu < 156 cm ≥ 156 cm
Penyakit yang pernah diderita sebelum kehamilan ada
tidak ada n %
n
%
11 23
32.4 67.6
55 51
28 6 34
82.4 17.6 100
68 38 106
Total
P
n
%
51.9 48.1
66 74
47.1 52.9
64.2 35.8 100
96 44 140
68.6 31.4 100
0.047
0.047
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu kurang baik % n n %
Total n
% 0.000
62
100
59
75.6
121
86.4
0
0
19
24.4
19
13.6
57
91.9
56
71.8
113
80.7
5
8.1
22
28.2
27
19.3
0.003
Riwayat Kehamilan
0.018
kurang
21
33.9
13
16.7
34
24.3
baik
41
66.1
65
83.3
106
75.7
Riwayat Konsumsi ASI
0.018
kurang
21
33.9
13
16.7
34
24.3
baik
41
66.1
65
83.3
106
75.7
62
100
78
100
140
100
Total
P
138
Variabel
Riwayat kehamilan kurang baik % n n %
Pendidikan Ayah rendah 85.3 29 tinggi 14.7 5 Pendidikan Ibu kurang 97.1 33 baik 2.9 1 Tinggi Badan Ibu < 156 cm 97.1 33 2.9 ≥ 156 cm 1 Banyak anak > 2 orang 55.9 19 ≤ 2 orang 44.1 15 Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu kurang 61.8 21 baik 38.2 13 Praktek Pemberian Makan kurang 61.8 21 baik 38.2 13 Praktek Perawatan Diri sakit 64.7 22 sehat 35.3 12 Total 100 34
n
P
% 0.016
67 39
63.2 36.8
96 44
68.6 31.4
88 18
83 17
121 19
86.4 13.6
0.038
0.006 80 26
83 17
121 19
86.4 13.6
30 76
28.3 71.7
49 91
35 65
41 65
38.7 61.3
62 78
44.3 55.7
30 76
28.3 71.7
51 89
36.4 63.6
0.003
0.018
0.000
0.000 27 79 86
25.5 74.5 100
Riwayat kelahiran Variabel kurang baik % n n % Urutan Anak dalam Keluarga sulung 40.8 26.1 29 18 tengah 4.2 14.5 3 10 bungsu 54.9 59.4 39 41 Praktek Pemberian Makan kurang 47.9 24.6 34 17 baik 52.1 75.4 37 52 Total 100 100 71 69
Variabel
Total
Riwayat Konsumsi ASI kurang baik % n n %
Pekerjaan Ibu bekerja 32.4 11 17 tidak bekerja 67.6 23 89 Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu kurang 61.8 21 41 baik 38.2 13 65 Total 100 34 106
49 91 140
35 65 100
Total n
%
47 13 80
33.6 9.3 57.1
51 89 140
36.4 63.6 100
P 0.041
0.004
Total
P
n
%
16 84
28 112
20 80
38.7 61.3 100
62 78 140
44.3 55.7 100
0.039
0.018
139
Praktek Perawatan Diri kurang baik % n n % Urutan Anak dalam Keluarga sulung 24.5 38.5 12 35 tengah 18.4 4.4 9 4 bungsu 57.1 57.1 28 52 Banyak Anak > 2 orang 49 27.5 24 25 ≤ 2 orang 51 72.5 25 66 Riwayat Kehamilan kurang 44.9 13.2 22 12 baik 55.1 86.8 27 79 Praktek Sanitasi Pangan kurang 55.1 37.4 27 34 baik 44.9 62.6 22 57 Total 100 100 49 91
Total
Variabel
Variabel Pendidikan Ayah rendah tinggi Total
Variabel
Praktek Sanitasi Lingkungan kurang baik % n n %
P
n
%
47 13 80
33.6 9.3 57.1
49 91
35 65
34 106
24.3 75.7
61 79 140
43.6 56.4 100
0.014
0.011
0.000
0.043
Total
P
n
%
96 44 140
68.6 31.4 100
0.037 44 12 56
78.6 21.4 100
52 32 84
61.9 38.1 100
Riwayat Kesehatan sakit sehat % n n %
Banyak Balita >1 orang 22.9 25 1 orang 77.1 84 Praktek Pemberian Makan kurang 41.3 45 baik 58.7 64 Keragaman Makanan Seminggu kurang 92.7 101 sedang 4.6 5 tinggi 2.8 3 Total 100 109
Total
P
n
% 0.013
1 30
3,2 96,8
26 114
18.6 81.4
6 25
19.4 80.6
51 89
36.4 63.6
23 7 1 31
74.2 22.6 3.2 100
124 12 4 140
88.6 8.6 2.9 100
0.025
0.007
140
Variabel
Praktek Pemberian Makan kurang baik % n n %
Umur Anak 24-35 bulan 49.0 25 36-47 bulan 19.6 10 48-59 bulan 31.4 16 Banyak Anak > 2 orang 47.1 24 ≤ 2 orang 52.9 25 Riwayat Kehamilan kurang 41.2 21 baik 58.8 30 Riwayat Kelahiran kurang 66.7 34 baik 33.3 17 Riwayat Kesehatan sakit 88.2 45 sehat 11.8 6 Keragaman Makanan Seminggu kurang 98 50 sedang 2 1 tinggi 0 0 Total 100 51
Variabel
Total n
% 0.009
25 39 25
28.1 43.8 28.1
50 49 41
35.7 35 29.3
25 64
28.1 71.9
49 91
35 65
13 76
14.6 85.4
34 106
24.3 75.7
37 52
41.6 58.4
71 69
50.7 49.3
64 25
71.9 28.1
109 31
77.9 22.1
74 11 4 89
83.1 12.4 4.5 100
124 12 4 140
88.6 8.6 2.9 100
0.024
0.000
0.004
0.025
0.027
Praktek Sanitasi Pangan kurang baik % n n %
Pekerjaan Ibu bekerja 7 tidak bekerja 54 Praktek Perawatan Diri kurang 27 baik 34 Total 61
P
Total
P
n
% 0.027
11.5 88.5
21 58
26.6 73.4
28 112
20 80
44.3 55.7 100
22 57 79
27.8 72.2 100
49 91 140
35 65 100
0.043
Keragaman Makanan Seminggu Variabel Kurang Sedang Tinggi % n n % n % Praktek Pemberian Makan kurang 40.3 8.3 0 50 1 0 baik 59.7 91.7 100 74 11 4 Riwayat Kesehatan sakit 81.5 41.7 75 101 5 3 sehat 18.5 58.3 25 23 7 1 Total 100 100 100 124 11 4
Total n
P
% 0.027
51 89
36.4 63.6
109 31 140
77.9 22.1 100
0.007
141
Lampiran 7. Hasil regresi logistik stunting
Case Processing Summary Unweighted Cases
a
Selected Cases
N Included in Analysis
Percent 140
100.0
0
.0
140
100.0
0
.0
140
100.0
Missing Cases Total Unselected Cases Total
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
Stunting Normal
0 1
Categorical Variables Codings
Parameter coding Frequency Riwayat kesehatan balita
Pendidikan ayah
Pekerjaan ibu
Tinggi badan ibu
(1)
sakit
109
1.000
sehat
31
.000
rendah
96
1.000
tinggi
44
.000
Bekerja
28
1.000
Tidak bekerja
112
.000
< 156 cm
113
1.000
>= 156 cm
27
.000
Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu
kurang
62
1.000
baik
78
.000
Riwayat kehamilan
kurang
34
1.000
106
.000
Kurang
56
1.000
Baik
84
.000
121
1.000
19
.000
baik Praktek Sanitasi Lingkungan Pendidikan ibu
rendah tinggi
142
Block 0: Beginning Block a,b,c
Iteration History
Coefficients Iteration Step 0
-2 Log likelihood 1
Constant
194.081
.000
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 194.081 c. Estimation terminated at iteration number 1 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Table
a,b
Predicted Status gizi Observed Step 0
Status gizi
Stunting
Percentage Correct
Normal
Stunting
0
70
.0
Normal
0
70
100.0
Overall Percentage
50.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500 Variables in the Equation B Step 0
Constant
.000
S.E. .169
Wald
df
.000
Sig. 1
Exp(B)
1.000
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
df
Sig.
pend_ibu(1)
7.368
1
.007
pend_ayah(1)
8.485
1
.004
kerja_ibu(1)
4.464
1
.035
tb_ibu(1)
7.755
1
.005
tahu_gizi_kshtn(1)
9.380
1
.002
rwyt_hamil(1)
5.594
1
.018
rwyt_kshtn(1)
5.013
1
.025
prak_sani_lingk(1)
4.286
1
.038
33.090
8
.000
Overall Statistics
1.000
143
Block 1: Method = Enter a,b,c,d
Iteration History
Coefficients -2 Log liketapend_ibu pend_ayah kerja_ibu tb_ibu rwyt_hamil rwyt_kshtn prak_sani lihood Constant hu_gizi_k (1) (1) (1) (1) (1) (1) _lingk (1) shtn (1)
Iteration
Step 1 1 2 3 4 5
159.455
2.361
-1.094
-.468
.844 -.798
-.206
-.400
-.902
-.586
158.057
2.948
-1.400
-.587
1.112
1.038
-.224
-.481
-1.092
-.757
158.038
3.024
-1.444
-.602
1.150
1.071
-.225
-.489
-1.113
-.779
158.038
3.026
-1.445
-.603
1.151
1.072
-.225
-.489
-1.114
-.780
158.038
3.026
-1.445
-.603
1.151
1.072
-.225
-.489
-1.114
-.780
a. Method: Enter b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 194.081 d. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.
Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
36.043
8
.000
Block
36.043
8
.000
Model
36.043
8
.000
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 158.038
Cox & Snell R Square
a
Nagelkerke R Square
.227
.303
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 7.230
df
Sig. 8
.512
144
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Status gizi = Stunting Observed Step 1
Status gizi = Normal
Expected
Observed
Expected
Total
1
11
12.236
3
1.764
14
2
13
13.112
4
3.878
17
3
10
9.594
4
4.406
14
4
12
10.040
5
6.960
17
5
7
7.256
7
6.744
14
6
8
6.641
7
8.359
15
7
2
4.639
11
8.361
13
8
3
3.663
11
10.337
14
9
4
2.248
10
11.752
14
10
0
.561
8
7.439
8
Classification Table
a
Predicted Status gizi Observed Step 1
Stunting
Status gizi
Percentage Correct
Normal
Stunting
52
18
74.3
Normal
22
48
68.6
Overall Percentage
71.4
a. The cut value is .500
Variables in the Equation 95.0% C.I.for EXP(B) B a
Step 1 pend_ibu(1)
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
-1.445
.724
3.989
1
.046
.236
.057
.973
-.603
.466
1.674
1
.196
.547
.220
1.364
kerja_ibu(1)
-1.151
.545
4.463
1
.035
.316
.109
.920
tb_ibu(1)
-1.072
.550
3.801
1
.051
.342
.117
1.006
tahu_gizi_kshtn(1)
-.225
.424
.281
1
.596
.799
.348
1.835
prak_sani_lingk(1)
-.780
.410
3.619
1
.057
.458
.205
1.024
rwyt_hamil(1)
-.489
.477
1.050
1
.305
.613
.241
1.562
rwyt_kshtn(1)
-1.114
.476
5.465
1
.019
.328
.129
.835
4.177
.987
1
.000
65.141
pend_ayah(1)
Constant
17.903
145
Correlation Matrix Constant Step Constant 1 pend_ibu(1)
pend_ibu pend_ayah kerja_ibu tb_ibu tahu_gizi prak_sani Rwyt Rwyt (1) (1) (1) (1) _kshtn(1) _lingk(1) hamil (1) kshtn (1)
1.000
-.658
-.140
-.268
-.559
.192
-.280
.045
-.514
-.658
1.000
-.232
.224
.151
-.324
.152
-.082
.100
pend_ayah(1)
-.140
-.232
1.000
.103
-.051
-.047
-.145
-.110
.021
kerja_ibu(1)
-.268
.224
.103
1.000
-.017
-.154
.140
-.001
.021
tb_ibu(1)
-.559
.151
-.051
-.017
1.000
-.191
.100
-.162
.141
tahu_gizi_kshtn(1)
.192
-.324
-.047
-.154
-.191
1.000
-.070
-.065
-.093
prak_sani_lingk(1)
-.280
.152
-.145
.140
.100
-.070
1.000
.042
.055
rwyt_hamil(1)
.045
-.082
-.110
-.001
-.162
-.065
.042
1.000
.046
rwyt_kshtn(1)
-.514
.100
.021
.021
.141
-.093
.055
.046
1.000
Step number: 1 Observed Groups and Predicted Probabilities 16 ┼ ┼ │ │ │ │ F
│
R
12 ┼
E
│
Q
│
│ ┼ │ N │ U
│
N
N
N
N
N
N
N
N
│ E
8 ┼ ┼
N
│
N │
C N Y N
│
N
NS │
│ N N S NS S S N N │ 4 ┼ N N S NS S S S NNN N N N N ┼ N │ N S S SS S SS S S S S SNN NN N N N N N N │ │ S S S SS S S SS S S S NS SNN SN N NN N N N N N N │ │ S SS S SS SS S S SSS NS SS S SSNN S SS SSSN N SN SS NS NN NSS SN S NNN N N │ Predicted ─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼ ─────────┼─────────┼────────── Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 Group: SSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSNNNNNNNNNNNNN NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN Predicted Probability is of Membership for Non stunting The Cut Value is .50 Symbols: S – Stunting ; N - Normal
146
Each Symbol Represents 1 Case.
Lampiran 8. Hasil regresi logistik positive deviance
Case Processing Summary a
Unweighted Cases Selected Cases
N Included in Analysis
Percent 140
100.0
0
.0
140
100.0
0
.0
140
100.0
Missing Cases Total Unselected Cases Total
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
Stunting Normal
0 1
Categorical Variables Codings Parameter coding Frequency Riwayat kehamilan
kurang baik
Praktek Sanitasi Lingkungan
34
(1) 1.000
106
.000
Kurang
56
1.000
Baik
84
.000
147
Block 0: Beginning Block a,b,c
Iteration History
Coefficients Iteration Step 0
-2 Log likelihood 1
Constant
194.081
.000
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 194.081 c. Estimation terminated at iteration number 1 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Table
a,b
Predicted Status gizi Observed Step 0
Status gizi
Stunting
Percentage Correct
Normal
Stunting
0
70
.0
Normal
0
70
100.0
Overall Percentage
50.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500
Variables in the Equation B Step 0
Constant
S.E.
.000
.169
Wald
df
.000
Sig. 1
Exp(B)
1.000
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
df
Sig.
prak_sani_lingk
4.286
1
.038
rwyt_hamil
5.594
1
.018
9.435
2
.009
Overall Statistics
1.000
148
Block 1: Method = Enter a,b,c,d
Iteration History
Coefficients Iteration Step 1
-2 Log likelihood
Constant
prak_sani_lingk
rwyt_hamil
1
184.402
.488
-.677
-.895
2
184.372
.508
-.712
-.954
3
184.372
.508
-.712
-.954
a. Method: Enter b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 194.081 d. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than .001.
Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
9.709
2
.008
Block
9.709
2
.008
Model
9.709
2
.008
Model Summary
Step 1
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square
-2 Log likelihood 184.372
a
.067
.089
a. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than .001.
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 1.507
df
Sig. 2
.471
149
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Status gizi = Stunting Observed Step 1
Status gizi = Normal
Expected
Observed
Expected
Total
1
10
11.415
5
3.585
15
2
13
11.585
6
7.415
19
3
24
22.585
17
18.415
41
4
23
24.415
42
40.585
65
Classification Table
a
Predicted Status gizi Observed Step 1
Status gizi
Stunting
Percentage Correct
Normal
Stunting
47
23
67.1
Normal
28
42
60.0
Overall Percentage
63.6
a. The cut value is .500
Variables in the Equation 95.0% C.I.for EXP(B) B Step 1
a
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
prak_sani_lingk (1)
-.712
.358
3.953
1
.047
.491
.243
.990
rwyt_hamil (1)
-.954
.421
5.133
1
.023
.385
.169
.879
.508
.245
4.313
1
.038
1.662
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: prak_sani_lingk, rwyt_hamil.
Correlation Matrix
Constant Step 1
prak_sani_lingk (1)
rwyt_hamil (1)
Constant
1.000
-.585
-.394
prak_sani_lingk(1)
-.585
1.000
.020
rwyt_hamil (1)
-.394
.020
1.000
150
Step number: 1 Observed Groups and Predicted Probabilities 80 ┼ ┼ │ │ │ │ F
│
N │
R
60 ┼
N ┼
E
│
N │
Q
│
N │
U
│
N │
E
40 ┼
N
N
N
N
N
N
S
S
N
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
┼ N
│ │
C
│ │
Y
│ │ 20 ┼ ┼ │
N │
│
S │ S
│
│ Predicted ─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼ ─────────┼─────────┼────────── Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 Group: SSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSNNNNNNNNNNNNN NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN Predicted Probability is of Membership for Normal The Cut Value is .50 Symbols: S - Stunting N - Normal Each Symbol Represents 5 Cases.
151
Lampiran 9. Dokumentasi penelitian