13
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1 Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory) Teori akuntansi Positif (positive accounting theory) sering dikaitkan dalam pembahasan mengenai manajemen laba (earning manajemen) terutama yang berhubungan dengan praktik perataan laba (income smoothing). Teori akuntansi positif secara jelas dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman (1986) bahwa teori akuntansi positif dapat diartikan untuk menjelaskan mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan, dan untuk memprediksi kebijakan akuntansi yang hendak dipilih oleh perusahaan dalam kondisi tertentu. Teori akuntansi positif berusaha untuk menjelaskan sebuah proses yang menggunakan pemahaman, pengetahuan, dan kebijakan akuntansi yang sesuai untuk menghadapi kondisi dan keadaan tertentu pada masa yang akan datang. Teori akuntansi positif menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen dalam memilih prosedur akuntansi yang optimal dan mempunyai tujuan tertentu. Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang digunakan oleh perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi kebebasan untuk memilih salah satu alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan biaya kontrak dan memaksimalkan nilai perusahaan. Dengan adanya kebebasan itulah, maka menurut Scoot (2006) menyatakan bahwa manajer mempunyai kecenderungan melakukan suatu tindakan yang menurut teori
13
14
akuntansi positif dinamakan sebagai tindakan oportunis (opportunistic behavior). Jadi, tindakan opportunis adalah suatu tindakan yang dilakukan perusahaan dalam memilih kebijakan akuntansi yang menguntungkan dan memaksimumkan kepuasan perusahaan tersebut. Teori
akuntansi
positif
mengusulkan tiga hipotesis
motivasi
yang
dihubungkan dengan tindakan oportunistik yang dilakukan oleh perusahaan. Menurut Watts dan Zimmerman dalam Narsa dkk (2003) terdapat tiga hipotesis yang mendorong timbulnya fenomena manajemen laba. Ketiga hipotesis tersebut adalah: 1.
Hipotesis rencana bonus (the bonus plan hypothesis) Rencana bonus seringkali dikaitkan dengan kesempatan bagi manajer untuk
menikmati
bagian
keuntungan
tertentu
bilamana
perusahaan
mampu
menghasilkan suatu tingkat keuntungan tertentu yang telah ditargetkan atau disepakati. Target tersebut biasanya dinyatakan dalam satuan angka, misalnya keuntungan bersih perusahaan dalam suatu periode akuntansi tertentu, atau tingkat pengembalian terhadap nilai buku asset perusahaan, atau pencapaian harga saham tertentu di pasar modal. Dalam hipotesis ini, para manajer perusahaan dengan rencana bonus cenderung untuk memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini. Hipotesis ini tampaknya cukup beralasan. Para manajer perusahaan, seperti orang-orang lain yang menginginkan imbalan yang tinggi. Jika imbalan mereka bergantung pada bonus yang dilaporkan pada pendapatan bersih, maka kemungkinan mereka bisa
15
meningkatkan bonus mereka pada periode tersebut dengan melaporkan pendapatan bersih setinggi mungkin. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan memilih kebijakan akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode tersebut. Tentu saja sesuai dengan karakter dari proses akrual, hal ini akan cenderung menyebabkan penurunan pada laba dan bonus-bonus yang dilaporkan pada masa yang akan datang. Dapat disimpulkan bahwa manajer perusahaan dengan bonus tertentu cenderung lebih menyukai metode yang meningkatkan laba periode berjalan. Pilihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai sekarang dari bonus yang akan diterima seandainya komite kompensasi dari dewan direktur tidak menyukai dengan metode yang dipilih. 2.
Hipotesis biaya politis (The political cost hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin besar laba yang diperoleh
perusahaan, maka semakin besar tuntutan masyarakat terhadap perusahaan tersebut. Perusahaan yang besar diharapkan akan memberikan perhatian yang lebih terhadap lingkungan sekitarnya dan terhadap pemenuhan atas peraturan yang diberlakukan oleh regulator. Perusahaan yang lebih besar melakukan income smoothing dikarenakan aktivitasnya akan melibatkan hajat hidup orang banyak dan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan misalnya menaikkan pajak pendapatan perusahaan. 3.
Hipotesis kontrak hutang (the debt covenant hypothesis) Hipotesis ini menyebutkan bahwa semakin dekat suatu perusahaan terhadap
pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada kesepakatan hutang, maka
16
semakin besar kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini. Alasannya adalah laba yang dilaporkan semakin meningkat maka akan menurunkan kelalaian teknis. Sebagian besar perjanjian hutang berisi kesepakatan bahwa pemberi pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian. Berdasarkan hipotesis kontrak hutang, semakin tinggi rasio hutang atau ekuitas perusahaan semakin besar ppula kemungkinan manajer untuk memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba. Makin tinggi rasio hutang makin dekat perusahaan dengan batas perjanjian atau peraturan kredit. Oleh karena itu, manajer akan memiliki metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat mengundur batasan kredit dan mengurangi biaya kesalahan teknis. 2.1.2 Konsep Laba Menurut akuntansi yang dimaksud dengan laba akuntansi itu adalah perbedaan antara revenue yang direalisasi yang timbul dari transaksi pada periode tertentu dihadapkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tertentu (Harahap, 2004: 273). Pengertian laba yang dianut oleh struktur akuntansi sekarang ini adalah laba akuntansi yang merupakan selisih pengukuran pendapatan dan biaya. Fisher dan Bedford yang dikutip oleh Ghozali dan Chariri (2007) menyatakan bahwa pada dasarnya ada tiga konsep laba yang umum dibicarakan dan digunakan dalam ekonomi. Ketiga konsep tersebut adalah:
17
1. Psychic income, yang menunjukan konsumsi barang atau jasa yang dapat memenuhi kepuasan dan keinginan individu. 2. Real income, yang menunjukan kenaikan dalam kemakmuran ekonomi yang ditunjukan oleh kenaikan biaya hidup (cost of living). 3. Money income, yang menunjukan kenaikan nilai sumber-sumber ekonomi yang digunakan konsumsi yang sesuai dengan biaya hidup (cost of living). Menurut Belkaoui dalam Harahap (2004: 273) menyebutkan bahwa laba akuntansi mempunyai lima karakteristik sebagai berikut: 1. Laba akuntansi didasarkan pada transaksi yang benar-benar terjadi yaitu timbulnya hasil dan biaya untuk mendapatkan hasil tersebut, terutama yang berasal dari penjualan barang atau jasa. 2. Laba akuntansi didasarkan pada postulat “periodik” laba itu, artinya merupakan prestasi perusahaan itu pada periode tertentu, dan mengacu pada kinerja perusahaan selama satu periode tertentu. 3. Laba akuntansi didasarkan pada prinsip revenue yang memerlukan batasan tersendiri tentang apa yang termasuk hasil. 4. Laba akuntansi memerlukan perhitungan terhadap biaya dalam bentuk biaya historis yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan hasil tertentu. 5. Laba akuntansi didasarkan pada prinsip mactbing artinya hasil dikurangi biaya yang diterima atau dikeluarkan dalam periode yang sama.
18
2.1.3 Manajemen Laba Scoot (2006: 344) mendefinisikan manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntasi keuangan yang ada dan secara alamiah dapat memaksimalkan utilitas mereka dan nilai pasar perusahaan. Dalam definisi lebih luas, manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan atau mengurangi laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajemen bertanggung jawab tanpa mengakhibatkan peningkatan atau penurunan profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut (Jamaluddin, 2015). Earning management (manajemen laba) memiliki cakupan yang lebih luas daripada income smoothing (perataan laba), karena manajemen percaya bahwa reaksi pasar didasarkan pada pengungkapan informasi akuntansi sehingga perilaku laba merupakan aspek penentuan resiko pasar entitas usaha, Suhendah dalam Dewi (2010). Menurut Tarjo dan Sulistyowati dalam Zuhriyah (2015) manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan keputusan tertentu dalam laporan keuangan dan transaksi untuk mengubah laporan keuangan sebagai dasar untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Manajemen laba dapat terjadi karena manajer diberi keleluasaan untuk memilih metode akuntansi yang akan digunakan dalam mencatat dan mengungkapkan informasi keuangan privat yang dimiliki. Manajemen laba merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kredibilitas laporan keuangan. Manajemen laba juga menambahkan bias dalam laporan keuangan dan dapat
19
mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa, Assih dan Gudono dalam Dewi (2011). Ada dua prespektif penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa manajemen laba dilakukan oleh manajer, yaitu prespektif informasi dan oportunis. Prespektif informasi merupakan pandangan yang menyarankan bahwa manajemen laba merupakan kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan pribadi manajer tentang arus kas perusahaan dimasa depan. Upaya mempengaruhi informasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan memilih, menggunakan, dan mengubah metode dan prosedur akuntansi. Perspektif opportunis merupakan pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan perilaku manajer untuk mengetahui investor dan memaksimalkan kesejahteraannya, karena memiliki informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain, Abiprayu dalam Zuhriyah (2015). Scott (2006: 344) juga membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunis manajer untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
20
Laporan keuangan yang paling sering dimanipulasi oleh perusahaan adalah laporan rugi laba. Suhendah dalam Dewi (2011) menyatakan earning management merupakan suatu proses yang disengaja, menurut standar akuntansi keuangan untuk mengarahkan pelaporan laba pada tingkat tertentu. Beberapa bentuk manajemen laba menurut Scoot dalam Jamaluddin (2015) adalah sebagai berikut: 1. Taking a bath, pola ini terjadi selama periode tekanan organisasi berkaitan dengan reorganisasi, termasuk pengangkatan CEO baru. Jika perusahaan harus melaporkan kerugian maka manajemen berusaha menutupinya dengan cara menagguhkan asset, menyediakan biaya yang dapat diperkirakan meningkatkan laba dimasa mendatang. 2. Income
minimization,
pola
ini
dilakukan
saat
perusahaan
memiliki
profitabilitas yang tinggi sehingga jika pada periode mendatang laba diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengalokasikan laba periode sebelumnya. 3. Income maximization, pola ini terjadi pada manajer yang terlibat dalam Income maximization yang memiliki tujuan bonus. Perusahaan yang mendekati pelanggaran perjanjian hutang juga dapat memaksimalkan laba. 4. Income smoothing, pola ini merupakan upaya manajer perusahaan untuk mengurangi fluktuasi laba sehingga perusahaan akan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi.
21
2.1.4 Perataan Laba (Income Smoothing) Belkaoui (2006) menjelaskan bahwa perataan laba merupakan proses normalisasi laba yang disengaja guna meraih suatu trend atau tingkat yang diinginkan. Perataan laba (income smoothing) dapat didefinisikan sebagai usaha untuk memperkecil jumlah laba yang dilaporkan. Jika laba aktual lebih besar dari laba normal, maka usaha untuk memperbesar jumlah laba yang dilaporkan laba aktual lebih kecil dari laba normal. Selain itu, perataan laba didefinisikan sebagai pengurangan yang disengaja terhadap fluktuasi pada beberapa level laba supaya dianggap normal bagi perusahaan, Prasetio (2002). Tindakan perataan laba memiliki unsur kesengajaan yang dilakukan oleh manajemen untuk mencapai posisi laba yang diinginkan dalam laporan laba rugi perusahaan guna menarik minat pasar dalam berinvestasi, karena perhatian investor seringkali hanya terpusat pada informasi laba yang dilaporkan perusahaan. Di samping laba yang dilaporkan dalam posisi yang stabil, akan memberikan rasa lebih percaya diri bagi pemilik perusahaan yang disertai dengan tujuan untuk meningkatkan kepuasaan pemegang saham melalui tingkat pertumbuhan dan stabilitas laba yang dilaporkan namun masih dalam batas aturan akuntansi yang berlaku, Stolowy dan Breton dalam Adiningsih (2014). Menurut Dye dalam Salno dan Baridwan (2000) pemilik mendukung perataan laba karena adanya motivasi internal dan motivasi eksternal. Motivasi internal menunjukkan maksud pemilik untuk meminimalisasi biaya kontrak manajer dengan membujuk manajer agar melakukan praktik manajemen laba.
22
Dari gambaran diatas dapat disimpulkan bahwa income smoothing merupakan upaya yang dilakukan manajemen perusahaan untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan dengan prinsip akuntansi agar laba yang dilaporkan perusahaan tetap stabil dari periode ke periode. Praktik perataan laba yang dilakukan oleh manajemen dapat berakhibat pada pengungkapan laporan keuangan yang tidak relevan. Hal tersebut menyebabkan para investor tidak memiliki informasi yang akurat tentang laba perusahaan, sehingga investor mengalami kesulitan dalam menaksir resiko investasi yang mereka lakukan. Untuk membedakan antara perusahaan yang melakukan perataan laba atau tidak melakukan perataan laba diukur dengan menggunakan Indeks Eckel. Menurut Lydiana (2007), perataan laba (income smoothing) dapat diukur dengan menggunakan Indeks Eckel dikarenakan alasan sebagai berikut: 1. Obyektif dan berdasarkan pada statistik dengan pemisahan yang jelas antara perusahaan yang melakukan perataan laba atau tidak. 2. Mengukur terjadinya perataan laba tanpa memaksakan prediksi pendapatan, pembuatan model dari laba yang diharapkan, pengujian biaya atau pertimbangan yang subjektif. 3. Mengukur perataan laba dengan menjumlahkan pengaruh dari beberapa perataan laba selama periode tertentu. 1. Tujuan Perataan Laba Suwito dan Herawaty (2005) mengungkapkan tujuan income smoothing adalah untuk memperbaiki citra perusahaan dimata pihak eksternal dan menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki resiko yang rendah.
23
Sedangkan tujuan perataan laba yang lain adalah untuk memberi informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba pada masa yang akan datang, meningkatkan presepsi pihak eksternal terhadap kemampuan manajemen, dan meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen. Dalam penelitian Juniarti dan Corolina (2005) tujuan yang ingin dicapai oleh manajemen dalam perataan laba yaitu: a. Mencapai keuntungan pajak. b. Untuk memberi kesan baik dari pemilik dan kreditor terhadap
kinerja
manajemen. c. Mengurangi fluktuasi pada pelaporan laba dan mengurangi risiko, sehingga harga sekuritas yang tinggi menarik perhatian pasar. d. Untuk menghasilkan pertumbuhan profit yang stabil. Untuk menjaga posisi atau kedudukan mereka dalam perusahaan. Adapun tujuan perataan laba menurut Foster dalam Suwito dan Herawati (2005) adalah sebagai berikut: a. Memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar, bahwa perusahaan tersebut memiliki risiko yang rendah. b. Memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba dimasa mendatang. c. Meningkatkan kepuasan relasi bisnis. d. Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemampuan manajemen. e. Meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.
24
2. Tipe Perataan Laba Berdasarkan penelitian Eckel dalam Salno dan Baridwan (2000) terdapat dua jenis perataan laba yaitu naturally smooth dan intentionally smooth. Intentionally smooth terbagi atas artificial smoothing dan real smoothing. Berikut ini adalah gambar yang digunakan untuk memperjelas tipe perataan laba tersebut:
Smooth Income Stream
Intentionally Being Smoothed by Management
Artificial Smoothing
Naturally Smooth
Real Smoothing Gambar 1 Tipe Perataan Laba
Sumber: Norm Eckel, 1981, The Income Smoothing Hypothesis Revisited, Abacus Vol 17, No 1 (dikutip dari Salno dan Baridwan, 2000) Pada gambar 1 di atas dijelaskan bahwa perataan laba dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu naturally smooth dan intentionally being smoothed by management. Pada jenis naturally smooth (perataan secara alami), perataan ini mempunyai implikasi bahwa sifat proses perataan laba itu sendiri menghasilkan suatu aliran laba yang rata. Hal tersebut dapat kita dapati pada perolehan penghasilan dari keperluan atau pelayanan umum, dimana aliran laba yang ada akan rata dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Sedangkan pada jenis Intentionally Being Smoothed by Management (perataan yang
25
disengaja) dikenal juga dengan designed smoothing, perataan ini berbeda dengan naturally smoothing yang terjadi secara alami. Pada designed smoothing, perataan yang terjadi diakibatkan adanya intervensi atau campur tangan dari pihak lain, dalam hal ini adalah manajemen. Designed smoothing dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu artificial smoothing (accounting smoothing) dan real smoothing (transactional atau economic smoothing). Real smoothing merupakan usaha yang diambil oleh manajemen dalam merespon perubahan kondisi ekonomi. Sedangkan artificial smoothing merupakan suatu usaha yang disengaja untuk mengurangi variabilitas aliran laba secara artificial. 3. Teknik Perataan Laba Berbagai teknik yang dilakukan dalam perataan laba, diantaranya adalah menurut Sugiarto dalam Zuhriyah (2015): a.
Perataan melalui waktu terjadinya transaksi atau pengakuan transaksi. Pihak manajemen dapat menentukan atau mengendalikan waktu transaksi melalui kebijakan manajemen sendiri (acrual) misalnya, pengeluaran biaya riset dan pengembangan. Selain itu banyak juga perusahaan yang menggunakan kebijakan diskon dan kredit, sehingga hal ini dapat menyebabkan meningkatnya jumlah piutang dan penjualan pada bulan terakhir tiap kuarter dan laba kelihatan stabil pada periode tertentu.
b.
Perataan melalui alokasi untuk beberapa periode tertentu. Manajer mempunyai wewenang untuk mengalokasikan pendapatan atau beban untuk periode tertentu. Misalnya jika penjualan meningkat, maka manajemen
26
dapat membebankan biaya riset dan pengembangan serta amortisasi goodwill pada periode itu untuk menstabilkan laba. c.
Perataan melalui klasifikasi. Manajemen memiliki kewenangan untuk mengklasifikasikan pos-pos rugi laba dalam kategori yang berbeda. Misalnya: jika pendapatan non-operasi sulit untuk didefinisikan, maka manajer dapat mengklasifikasikan pos itu pada pendapatan operasi atau pendapatan non operasi.
2.1.5 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan sebagai besar kecilnya suatu perusahaan yang memuat berbagai cara antara lain total aktiva, log size, nilai pasar. Brigham dan Houston dalam Haryadi (2011) mendefinisikan ukuran perusahaan sebagai rata-rata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun, ukuran perusahaan merupakan karakteristik suatu perusahaan dalam hubungannya dengan struktur perusahaan. Semakin besar ukuran suatu perusahaan, semakin besar kecenderungan perusahaan melakukan perataan laba, karena akan semakin besar pula perhatian dan pengawasan dari pemerintah maupun masyarakat umum. Perhatian investor terhadap perusahaan yang besar disebabkan oleh adanya peluang yang menguntungkan untuk mengembangkan dana yang mereka miliki terhadap perusahaan tersebut, sedangkan perhatian pemerintah pada perusahaan yang besar tertuju pada pembayaran pajak yang diharapkan berjumlah besar. Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya kekayaan (asset) yang dimiliki perusahaan. Perusahaan besar cenderung bertindak hati-hati dalam
27
pengelolaan dana operasional dan cenderung melakukan pengelolaan laba secara efisien. Perusahaan dengan ukuran besar akan selalu membuat citra atau kesan baik terhadap investor, kreditor bahkan masyarakat dengan menunjukkan kinerja manajemen yang baik dengan cara menghindari fluktuasi laba yang terlalu drastis. Oleh karena itu, perusahaan dengan ukuran yang besar akan melakukan praktik perataan laba karena kenaikan laba yang terlalu drastis akan menyebabkan bertambahnya beban pajak dan sebaliknya penurunan laba secara drastis akan memberikan kesan kurang baik kepada calon investor maupun kreditor, Sucipto dkk (2007). 2.1.6 Profitabilitas Profitabilitas didefinisikan sebagai rasio pengukuran efektivitas manajemen berdasarkan laba yang dilaporkan. Profitabilitas merupakan komponen laporan keuangan perusahaan yang bertujuan untuk menilai kinerja manjemen, membantu mengestimasi kemampuan laba yang representatif dalam jangka panjang dan menaksir resiko dalam investasi atau meminjamkan dana (Dwiatmini dan Nurkholis, 2001: 28) Perusahaan pada umumnya lebih mementingkan masalah profitabilitas daripada masalah laba, karena laba yang besar saja belum tentu merupakan ukuran bahwa perusahaan telah bekerja secara efektif dan efisien. Efisiensi baru dapat diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh tersebut dengan kekayaan atau modal yang digunakan untuk menghasikan laba tersebut. Perusahaan sebaiknya tidak hanya lebih memperhatikan masalah bagaimana usaha untuk memperbesar labanya saja, tetapi juga yang lebih penting adalah bagaimana usaha
28
untuk meningkatkan profitabilitasnya sehingga perusahaan biasanya lebih diarahkan untuk mendapatkan titik profitabilitas maksimal dan bukan laba maksimal. Menurut Ashari dalam Widaryanti (2009) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki profitabilitas yang lebih rendah akan menerima dampak yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang memilik profitabilitas yang tinggi, jika terjadi fluktuasi jumlah laba. Oleh karena itu perusahaan yang memiliki profitabilitas laba lebih rendah akan cenderung untuk melakukan tindakan praktik perataan laba (income smoothing). 2.1.7 Financial Leverage Menurut
Sartono (2001: 337), financial leverage menunjukkan proporsi
penggunaan utang untuk membiayai investasinya. Semakin besar utang perusahaan, maka semakin besar pula risiko yang dihadapi investor, sehingga investor akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi. Narsa dkk (2003) menyatakan bahwa rasio leverage yang besar menyebabkan turunnya minat investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut, sehingga dapat memicu adanya tindakan perataan laba. Akibat kondisi tersebut membuat perusahaan cenderung untuk melakukan income smoothing. Financial leverage merupakan hal penting dalam penentuan struktur modal perusahaan. Riyanto dalam Dewi (2011) menyatakan bahwa financial leverage merupakan penggunaan dana yang disertai biaya tetap. Perusahaan yang menggunakan dana dengan beban tetap dikatakan menghasilkan leverage yang menguntungkan (favorable financial leverage) atau efek yang positif jika
29
pendapatan yang diterima dari penggunaan dana tersebut lebih besar daripada beban tetap dari penggunaan dana itu. Financial leverage merugikan (unfavorable leverage) jika perusahaan tidak dapat memperoleh pendapatan dari penggunaan dana tersebut sebanyak beban tetap yang harus dibayar. Rasio leverage menggambarkan kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban perusahaan. Semakin besar rasio leverage menunjukkan semakin besar pula risiko yang akan ditanggung penanam modal (investor) yang akan menyebabkan penurunan minat investor untuk menanamkan modalnya. 2.1.8 Pajak Pajak merupakan pungutan berdasarkan undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk penyediaan barang dan jasa publik, dimana besarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal, Suandy dalam Widiawati (2016). Laba yang terlalu tinggi akan meningkatkan pajak yang harus dibayar oleh perusahaan, sedangkan penurunan laba yang terlalu rendah akan memperlihatkan kinerja perusahaan yang buruk, oleh sebab itu terdapat kemungkinan bahwa manajemen membuat laba yang dilaporkan tidak berfluktuasi dengan cara melakukan perataan laba untuk menghindari pembayaran pajak yang terlalu tinggi. Hal ini akan membuat manajemen berusaha untuk menggeser laba dari satu tahun ke tahun berikutnya agar diperoleh pembayaran pajak yang paling minimal (Tanomi, 2012).
30
2.2 Rerangka Pemikiran Untuk memudahkan pemahaman konseptual dalam penelitian ini, perlu adanya rerangka pemikiran untuk mempermudah dalam memahaminya. Sehingga disusunlah rerangka pemikiran sebagai berikut:
Perusahaan
Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Financial Leverage, dan Pajak
Teori Akuntansi Positif (Accounting Positive Theory) Laba Parameter pengukur kinerja manajemen
Resiko Perusahaan Meningkat
Laba Semakin Tinggi
Laba Semakin Rendah
Income Smoothing Gambar 2 Rerangka Pemikiran
Reputasi Perusahaan Menurun
31
2.3 Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian terdahulu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi income smoothing diantaranya ukuran perusahaan, profitabilitas, financial leverage, dan pajak. Beberapa faktor tersebut memiliki hubungan dan pengaruh terhadap income smoothing dengan hasil dari beberapa peneliti sebelumnya yang tidak konsisten. Penelitian tentang income smoothing telah banyak dilakukan di Indonesia, beberapa peneliti tersebut adalah: Jatiningrum (2000) yang meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba dengan periode penelitian selama tahun 1994 sampai dengan tahun 1998. Penelitian tersebut menggunakan sampel dari perusahaan yang terdaftar di BEJ. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel profitabilitas saja yang mendorong praktik perataan laba. Sedangkan dua variabel lainnnya, yaitu ukuran perusahaan dan sektor industri tidak berhasil menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut merupakan pendorong praktik perataan laba. Narsa dkk (2003) melakukan penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap income smoothing selama krisis moneter pada perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Surabaya. Narsa mengajukan ukuran perusahaan, profitabilitas dan financial leverage sebagai variabel yang diuji. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa profitabilitas dan ukuran perusahaan yang berpengaruh signifikan terhadap income smoothing sedangkan financial leverage tidak berpengaruh terhadap income smoothing.
32
Juniarti dan Carolina (2005) yang berjudul analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perataan laba pada perusahaan go public. Penelitian tersebut menggunakan variabel profitabilitas, ukuran perusahaan dan sektor industri. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah regresi logistik. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap perataan laba sedangkan variabel ukuran perusahaan dan sektor industri tidak mempunyai pengaruh yang signifikan. Suwito dan Herawati (2005) dalam penelitiannya tentang analisis pengaruh karakteristik perusahaan terhadap tindakan perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Objek penelitian yang digunakan adalah seluruh perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sampel penelitian ini adalah perusahaan manufaktur dan non manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa jenis usaha, ukuran perusahaan, rasio profitabilitas, rasio leverage operasional dan Net profit margin tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap perataan laba. Menurut Widaryanti (2009) dalam penelitiannya mengenai analisis perataan laba dan faktor-faktor yang mempengaruhi pada perusahaan manufaktur di bursa efek indonesia, menyatakan bahwa lima variabel yang diteliti (ukuran perusahaan, profitabilitas, financial leverage, margin
laba bersih, dan varian nilai saham
perusahaan) yang diduga mempengaruhi praktik perataan laba pada perusahaan manufaktur. Penelitian tersebut membuktikan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari ukuran perusahaan, profitabilitas, financial leverage, net profit margin, dan varian nilai saham terhadap praktik perataan laba.
33
Dewi (2011) melakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba (income smoothing) pada perusahaan manufaktur dan keuangan yang terdaftar di BEI (2006-2009). Penelitian ini menggunakan 75 perusahaan manufaktur dan 42 perusahaan keuangan yang terdaftar di BEI. Pengujian hipotesis menggunakan model analisis regresi logistik binominal untuk menguji pengaruh dari ukuran
perusahaan, profitabilitas,
financial leverage dan jenis industri terhadap tindakan perataan laba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifkan terhadap tindakan perataan laba sedangkan profitabilitas, financial leverage, dan jenis industri tidak berpengaruh signifikan terhadap perataan laba. Haryadi (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh profitabilitas, size perusahaan, dan komisaris independen terhadap praktik perataan laba (income smoothing) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di bursa efek indonesia (BEI) Tahun 2006-2009. Dan hasil penelitian tersebut adalah profitabilitas, size perusahaan, dan komisaris independen secara bersama-sama berpengaruh tidak signifikan terhadap praktik perataan laba (income smoothing). Setiawan (2011) dalam penelitiannya yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba (income smoothing) pada perusahaan keuangan yang terdaftar di BEI. Dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa variabel besaran financial leverage tidak berpengaruh terhadap perataan laba dan hanya net profit margin (NPM) yang berpengaruh secara signifikan terhadap perataan laba. Suryandari (2012) juga melakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi income smoothing pada perusahaan manufaktur di BEI. Dan
34
hasil penelitian tersebut menunjukkan rasio total debt to total asset, return on asset, ner profit margin, dan debt to equity ratio tidak berpengaruh terhadap income smoothing, sedangkan ukuran perusahaan, berpengaruh negatif terhadap income smoothing. Adiningsih (2014) melakukan penelitian tentang pengaruh profitabilitas, leverage Operasi, dan ukuran perusahaan terhadap praktik perataan laba. Dalam penelitiannya leverage operasi (LEV) dan ukuran perusahaan (UP) berpengaruh secara parsial terhadap income smoothing (IS). Sedangkan variabel profitabilitas (PROF) secara parsial tidak berpengaruh terhadap income smoothing (IS). Jamaluddin (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh kinerja keuangan dan ukuran perusahaan terhadap income smoothing. Populasi penelitian tersebut adalah perusahaan real estate dan properti yang ada di BEI selama periode 2012 sampai 2013. Sampel penelitian tersebut diperoleh 30 perusahaan atau sebanyak 60 firm year. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Dari hasil penelitian tersebut hanya variabel DER yang tidak berpengaruh sedangkan variabel lainnya yaitu NPM, ROA, dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap income smoothing. Zuhriyah (2015) juga melakukan penelitian tentang perataan laba dengan menganalisis perataan laba dan faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan manufaktur di BEI. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa dari 7 (tujuh) variabel yang diujikan (ukuran perusahaan, return on asset, debt to equity ratio, net profit margin, operating profit margin, standar deviasi, dan price to book
35
value) hanya variabel return on asset dan debt to equity ratio yang berpengaruh positif terhadap perataan laba. Murti (2016) melakukan penelitian tentang pengaruh debt to asset ratio, long term debt to equity ratio, net profit margin, dan basic earning power terhadap income smoothing pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2013. Dalam penelitiannya hanya variabel DAR yang berpengaruh sedangkan variabel LTDR, NPM, BEP tidak berpengaruh terhadap perataan laba. Setyaningrum
(2016)
dalam
penelitian
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi praktik perataan laba (income smoothing) studi empiris pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 20112014 menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikan, dept to equity (DER) berpengaruh positif dan signifikan, NPM dan ROA tidak berpengaruh negatif dan tidak signifikan, serta OPM dan EPS tidak berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap praktik perataan laba. Widiawati (2016) dalam penelitiannya tentang analisa pengaruh faktor profitabilitas, kepemilikan manajerial, Pajak, financial leverage, dan ukuran perusahaan terhadap praktik perataan laba (income smoothing) pada perusahaan property dan real estate di BEI. Widiawati menyatakan bahwa profitabilitas, financial leverage, dan ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap praktik perataan laba sedangkan kepemilikan manajerial dan pajak memiliki pengaruh positif terhadap perataan laba.
36
2.4 Perumusan Hipotesis Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi adanya praktik perataan laba (income smoothing). Terdapat empat hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini. Berikut akan disajikan dasar yang digunakan dalam merumuskan hipotesis dalam penelitian ini. 1.
Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Income Smoothing Ukuran perusahaan adalah skala untuk menentukan besar kecilnya suatu
perusahaan. Ukuran perusahaan dihitung dengan menggunakan logaritma natural dari total aktiva (Budiasih, 2009). Penentuan ukuran perusahaan ini didasarkan kepada total asset perusahaan (Widaryanti, 2009). Perusahaan dengan total aset yang besar relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibandingkan dengan perusahaan dengan total aset yang kecil (Setyaningrum, 2016). Ukuran perusahaan akan mempengaruhi struktur pendanaan perusahaan yang menyebabkan perusahaan besar memerlukan dana yang lebih besar dibandingkan perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil. Ukuran perusahaan yang besar memiliki kebutuhan pendanaan yang lebih besar dikarenakan perusahaan tersebut menginginkan pertumbuhan laba yang tinggi, oleh karena itu perusahaan dengan ukuran besar akan lebih mudah mendapatkan pinjaman dari pihak kreditur bila dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil.
Hal tersebut yang
menyebabkan perusahaan besar cenderung untuk menghindari fluktuasi laba yang
37
dilaporkan secara drastis dikarenakan para kreditor tidak menyukai laba perusahaan yang tidak stabil. Untuk menghindari fluktuasi laba yang dilaporkan secara drastis, sehingga mendorong perusahaan melakukan tindakan perataan laba yang berguna untuk meningkatkan kepercayaan investor dan kreditor terhadap perusahaan. Penelitian mengenai hubungan antara ukuran perusahaan dengan tindakan perataan laba yang dilakukan oleh Budiasih (2009) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap perataan laba. Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh Rahmania (2007) yang menemukan bukti bahwa ukuran perusahaan diindikasikan berpengaruh terhadap perataan laba. Hal ini dikarenakan perusahaan besar banyak mendapat perhatian dari para kreditor, investor dan pemerintah. Perusahaan besar dianggap mempunyai kemampuan lebih besar sehingga dibebani biaya yang lebih tinggi, misalnya biaya pajak yang lebih tinggi. Perusahaan besar cenderung untuk menghindari fluktuasi laba yang drastis. Apabila perusahaan besar melaporkan kenaikan laba yang drastis, maka perusahaan akan dibebani pajak yang besar tetapi kepercayaan kreditor untuk memberikan pinjaman dana akan semakin meningkat. Sebaliknya, apabila perusahaan melaporkan penurunan laba yang drastis, menunjukkan perusahaan tersebut sedang mengalami krisis atau kesulitan dan kepercayaan kreditor untuk memberikan
pinjaman
dana
akan
semakin
berkurang
karena
adanya
ketidakpastian perusahaan dalam mengembalikan pinjamannya kepada kreditor. Dengan demikian perusahaan cenderung untuk meratakan labanya. Hal ini juga
38
sejalan dengan hipotesis biaya politik dalam teori akuntansi positif. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut : H1 : Ukuran perusahaan memiliki pengaruh positif terhadap Income Smoothing 2. Pengaruh Profitabilitas terhadap Income Smoothing Profitabilitas merupakan ukuran penting untuk menilai sehat atau tidaknya perusahaan yang mempengaruhi investor untuk membuat keputusan. (Suwito dan Herawaty, 2005: 139). Dengan kata lain, profitabilitas menjadi tolak ukur kinerja bagi pihak eksternal. Profitabilitas dapat dijadikan patokan oleh investor maupun kreditor dalam menilai sehat atau tidaknya suatu perusahaan. Profitabilitas perusahaan juga dapat digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dan mengetahui efektivitas perusahaan dalam mengelola resources atau sumber daya yang dimiliki. Faktor profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan rasio return on assets (ROA). Analisis ROA merupakan salah satu bentuk rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aset yang digunakan untuk operasi perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. ROA menunjukan efektifitas perusahaan dalam menghasilkan laba dengan total asset yang dimiliki dan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari modal yang diinvestasikan, (Sucipto dan Purwaningsih, 2007). Semakin besar perubahan ROA menunjukkan semakin besar fluktuasi kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba. Hal ini mempengaruhi investor dalam memprediksi laba dan memprediksi risiko dalam investasi,
39
sehingga memberikan dampak pada kepercayaan investor terhadap perusahaan. Sehubungan dengan itu, manajemen termotivasi untuk melakukan praktik perataan laba agar laba yang dilaporkan tidak berfluktuasi, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan. Selain itu perataan laba dilakukan agar laba berada dalam tingkat yang stabil karena laba yang berfluktuasi menunjukkan resiko perusahaan yang tinggi. Berdasarkan hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis), tingkat profitabilitas yang semakin tinggi akan membuat perusahaan memperoleh laba atau keuntungan yang semakin tinggi, sehingga manajemen akan memperoleh rencana bonus yang akan meningkatkan semangat kerja para karyawannya yang berakhibat pada kinerja perusahaan yang semakin meningkat. Hal ini didukung oleh penelitian Budiasih (2009), Juniarti dan Carolina (2005) dan penelitian yang dilakukan oleh Jatiningrum (2000), yang menyatakan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan variabel ROA berpengaruh positif terhadap perataan laba. Hasil penelitian tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan Zuhriyah (2015) yang membuktikan bahwa return on assets berpengaruh positif terhadap perataan laba. Profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap perataan laba, karena investor memperhatikan ROA secara maksimal membuat manajemen menjadi termotivasi untuk melakukan perataan laba dengan menggunakan variabel tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut: H2
: Profitabilitas Perusahaan memiliki pengaruh positif terhadap Income Smoothing
40
3. Pengaruh Financial Leverage terhadap Income Smoothing Menurut Sartono (2001: 337), financial leverage menunjukkan proporsi penggunaan utang untuk membiayai investasinya. Financial leverage diproksikan dengan debt to equity ratio (DER) yang diukur antara total hutang dibagi dengan total ekuitas. Andhini dalam Widaryanti (2009) menyatakan bahwa financial leverage menunjukkan seberapa efisien perusahaan memanfaatkan ekuitas pemilik dalam rangka mengantisipasi hutang jangka panjang dan jangka pendek perusahaan sehingga tidak akan mengganggu operasi perusahaan secara keseluruhan dalam jangka panjang. Faktor financial leverage yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan debt to equity ratio (DER), yaitu rasio yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Dengan menggunakan lebih banyak hutang dibandingkan modal sendiri, maka beban tetap yang ditanggung perusahaan semakin tinggi dan pada akhirnya akan menurunkan pendapatan perusahaan. Semakin besar utang perusahaan, maka semakin besar pula risiko yang dihadapi investor, sehingga investor akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi. Semakin tinggi rasio leverage menggambarkan pembiayaanpembiayaan yang dikeluarkan perusahaan dibayari melalui hutang. Berdasarkan hipotesis kontrak hutang (the debt covenant hypothesis), penggunaan hutang yang terlalu besar akan semakin meningkatkan kemungkinan perusahaan tidak dapat
41
mengembalikan hutang sesuai dengan perjanjian kontrak yang telah disetujui oleh kedua belah pihak antara perusahaan dengan kreditur. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan posisi bargaining yang relatif baik dalam negoisasi atau penjadwalan ulang utang dari pihak kreditor (Setiawan, 2011). Perusahaan yang mempunyai rasio leverage tinggi akibat besarnya jumlah hutang dibandingkan dengan aktiva yang dimiliki perusahaan diduga melakukan praktik perataan laba karena perusahaan terancam default yaitu
tidak dapat memenuhi kewajiban
pembayaran hutang pada waktunya. Pihak manajemen berusaha melakukan praktik perataan laba agar kinerjanya terlihat baik. Dengan kinerja yang baik tersebut, maka diharapkan kreditur tetap memiliki kepercayaan terhadap perusahaan dan tetap memberikan pinjaman dana sehingga perusahaan memperoleh kemudahan dalam proses pembayaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyaningrum (2016) bahwa financial leverage yang diukur menggunakan dept to equity ratio (DER) berpengaruh positif dan signifikan terhadap praktik perataan laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan dengan financial leverage yang tinggi, maka manajer perusahaan cenderung melakukan praktik perataan laba karena leverage yang tinggi membuat perusahaan berusaha untuk memberikan informasi laba yang lebih baik, agar para investor masih percaya kepada perusahaan tersebut. Hasil penelitian tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010), menunjukkan bahwa financial laverage berpengaruh positif terhadap perataan laba. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut: H3
: Financial Leverage memiliki pengaruh positif terhadap Income Smoothing.
42
4. Pengaruh Pajak terhadap Income Smoothing Pajak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba dengan alasan bahwa manajer ingin membayar pajak seminimal mungkin (Tanomi, 2012). Keinginan manajemen untuk selalu membayar pajak yang rendah merupakan salah satu faktor yang mendorong pihak manajemen untuk melakukan praktik perataan laba. Laba yang terlalu tinggi akan mengakibatkan besarnya tingkat pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan, sebaliknya laba yang rendah akan memperlihatkan buruknya kinerja perusahaan. Dalam penelitian ini, pajak akan di proyeksikan dengan tarif pajak efektif (effective tax rate), dikarenakan tarif pajak efektif sering digunakan sebagai acuan oleh para pembuat keputusan dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk membuat kebijakan dalam perusahaan. Pajak diukur dengan membandingkan beban pajak dengan laba sebelum pajak. Menurut Heyworth dalam Widodo (2011), salah satu alasan manajemen melakukan perataan laba adalah untuk mengurangi total pajak yang dibayarkan oleh perusahaan. Kusumawati (2002) yang membuktikan bahwa pajak mempengaruhi praktik perataan laba. Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Widiawati (2016) yang menyatakan bahwa variabel pajak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap praktik perataan laba pada perusahaan property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010-2014. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut: H4 : Pajak memiliki pengaruh positif terhadap Income Smoothing.