BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bunyi Bunyi atau suara didefenisikan sebagai serangkaian gelombang yang merambat dari suara sumber getar sebagai akibat perubahan kerapatan dan juga tekanan udara (Gabriel, 1996). Defenisi lain, suara adalah sensasi yang dihasilkan yang dihasilkan ketika getaran longitudinal dari molekul – molekul dari lingkungan luar tubuh, di mana terjadi perubahan yaitu kompresi dan peregangan molekul suara yang bergantian, ini menimbulkan fluktuasi di dalam tekanan udara (atmosphersic pressure) secara berulang – ulang disebut gelombang suara (sound wave) dan akan dirambat ke segala arah, kemudian mencapai gendang pendengaran (membrane tympani). Perubahan pada gerakan ini merupakan perubahan tekanan pada membran timpani telinga kita maka membran ini akan bergetar sebagai jawaban pada fluktuasi tekanan udara tersebut. Getaran ini akan sampai di otak dan diinterpretasikan sebagai suara (Ganong, 1995). Bunyi merupakan perubahan tekanan dalam udara yang ditangkap oleh gendang telinga dan disalurkan ke otak (Harrington dan Gill, 2005). 2.2. Anatomi Dan Fisiologi Alat Pendengaran 2.2.1. Alat Pendengaran Manusia Alat pendengaran pada manusia berupa telinga. Telinga merupakan organ pendengaran dan juga
memainkan peran penting dalam mempertahankan
keseimbangan. Bagian-bagian yang berperan dalam pendengaran yaitu : (Watson, 2002).
a.
Telinga Bagian Luar Terdiri dari daun telinga, liang atau kanal telinga sampai membrane tympani.
Daun telinga berfungsi sebagai pengumpal energi bunyi dan di konsentras pada membrane tympani (Tambunan, 2005). Telinga bagian luar berfungsi sebagai mikrofon yaitu menampung gelombang suara dan menyebabkan membrane timpany bergetar. Semakin tinggi frekuensi getaran semakin cepat pula membran tersebut bergetar begitu pula sebaliknya (Buchari, 2007). b.
Telinga Bagian Tengah Telinga bagian tengah merupakan ruang kecil dalam tulang temporal,
dipisahkan oleh membran timpani dari telinga bagian luar, dinding selanjutnya dibentuk oleh dinding bagian lateral telinga dalam (Watson, 2002). Mulai dari membrane tympani sampai tube eustachius, yang terdiri dari tiga buah tulang pendengaran (osicles) yaitu tulang malleus, Incus, stapes (Tambunan, 2005). Martil landasan sanggurdi atau stapes yang berfungsi memperbesar getaran dari membrane timpany dan meneruskan getaran yang telah diperbesar ke oval window yang bersifat fleksibel. Oval window ini terdapat pada ujung dari cochlea (Buchari, 2007). c.
Telinga Bagian Dalam Telinga dalam berada di belakang tulang tengkorak kepala terdiri dari cochlea
(rumah siput) dan oval window (tingkat oval). Cochlea berbentuk spiral (seperti rumah siput) dengan isi cairan di dalamnya (Tambunan, 2005), terdapat membran basiler dan organ corti yang terdiri dari sel-sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran (Buchari, 2007). Organ corti mengandung lebih dari 20.000 sel sensor, terletak pada membran basiler, sejumlah rambut halus terletak pada ujung sel sensor
tersebut dan berhadapan dengan membran tektorial, dan serat-seratnya bergabung bersama sel-sel rambut untuk tersambung/membentuk saraf pendengaran. Jika suara sampai pada telinga luar maka akan diteruskan ke gendang yang akan mengentarkan dan menggerakkan tulang pendengaran. Tulang tapes melekat pada oval window dan cairan pada saluran membran yang diubah menjadi gerakan gelombang, dan berbalik kemudian merangsang organ corti (Tambunan, 2005). 2.2.2. Mekanisme Mendengar Suara dari lingkungan akan diterima daun telinga dan liang telinga yang merupakan bagian telinga luar. Semua bunyi yang mencapai telinga kita sebenarnya merupakan tenaga suatu gelombang suara. Selanjutnya gelombang suara akan menggetarkan gendang telinga (membrane tympani) yang merupakan selaput tipis dan transparan. Selanjutnya getaran-getaran tersebut mulai sampai ke telinga tengah yang berisi tulang-tulang pendengaran. Tulang tersebut antara lain tulang-tulang malleus, incus dan stapes. Sebagian tulang malleus melekat pada sisi dalam gendang telinga dan akan bergetar bila membran tympani bergetar. Tulang stapes berhubugan dengan selaput oval window (tingkat oval) yaitu telinga bagian dalam. Karena ketiga tulang pendengaran saling bersendi satu sama lain maka akan menjembatani getaran dari gendang telinga, memperkeras dan menyampaikan ke telinga dalam (Watson, 2002). Cochlea termasuk telinga dalam berisi cairan elektrolik yang mempunyai struktur pipa dengan dua setengah lingkaran yang mirip rumah siput. Pergerakan tulang-tulang pendengaran akan menggetarkan selaput oval window yang menyebabkan aliran cairan cochlea. Aliran tersebut akan menggerakkan sel-sel
rambut yang halus yang melekat pada saluran cochlea, pada saat inilah terjadi perubahan gelombang suara menjadi gelombang listrik. Potensial listrik yang timbul akan diteruskan ke otak untuk diolah/diterjemahkan melalui saraf pendengaran. Peristiwa gelombang suara menjadi potensial listrik pada saraf melalui tulang-tulang pendengaran ini dinamakan sebagai gejala sensasi bunyi atau bone conductio. Proses terjadinya getaran pada gendang telinga dan kemudian sampai pada tulang pendengaran dinamakan air conduction, sehingga gelombang yang datang dari telinga luar sampai ke telinga dalam berlangsung secara borne conduction (Watson, 2002). 2.3. Kebisingan Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Kep-48 MENLH, 1996). Pengertian di atas terlihat bahwa kebisingan terjadi bila ada bunyi di lingkungan. Terdapat 2 hal yang mempengaruhi kualitas bunyi yaitu frekwensi dan intensitas. Dalam hal ini, frekwensi merupakan jumlah getaran yang sampai di telinga setiap detiknya, sedangkan intensitas merupakan besarnya arus energi yang diterima oleh telinga manusia. Perbedaaan frekwensi dan intensitas bunyi menyebabkan adanya jenis – jenis kebisingan yang memiliki karakteristik yang berbeda (Mulia, 2005). Berdasarkan Permenkes No 718 Tahun 1987, kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu dan membahayakan kesehatan (Mukono, 2006).
2.4. Jenis – Jenis Kebisingan Berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan tenaga bunyi maka bising di bagi dalam 3 kategori : (Gabriel, 1996). : 1. Audible noise (bising pendengaran) Bising ini disebabkan oleh frekuensi bunyi 31,5 – 8000 Hz 2. Occupational noise (bising yang berhubungan dengan pekerjaan) Bising ini disebabkan oleh bunyi mesin di tempat kerja, bising dari mesin tik. 3. Impuls noise (Impact noise = bising impulsif) Bising yang terjadi akibat adanya bunyi yang menyentak, misalnya pukulan palu, ledakan meriam tembakan bedil. Berdasarkan waktu terjadinya, maka bising dibagi dalam beberapa jenis: (Gabriel, 1996): A. 1. Bising kontinyu dengan spektrum luas, misalnya bising karena mesin, kipas angin. 2. Bising kontinyu dengan spektrum sempit, misalnya bunyi gergaji, penutup gas. 3. Bising terputus – putus (intermittent), misalnya lalu lintas, bunyi kapal terbang di udara. B. 1. Bising sehari penuh (full time noise) 2. Bising setengah hari (part time noise) C. 1. Bising terus menerus (steady noise) 2. Bising impulsif (impuls noise) ataupun bising sesaat (lutupan).
2.5. Sumber Kebisingan Sumber bising utama dalam pengendalian bising lingkungan diklasifikasikan dalam kelompok : a. Bising interior, berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga, mesin gudang dan aktifitas di dalam ruangan atau gedung. b. Bising luar, bising yang dikategorikan berasal dari aktifitas diluar ruangan seperti transportasi udara, termasuk bus, mobil, sepeda motor, transportasi air, kereta api dan pesawat terbang dan bising yang berasal dari industri (Doelle, 1993). 2.6. Baku Mutu Tingkat Kebisingan Tabel 2.1. Baku Mutu Kebisingan Zona kawasan / Lingkungan Kesehatan Tingkat Kebisingan dB (A) a. 1. 2. 3. 4. 5.
Peruntukan kawasan Perumahan dan pemukiman Perdagangan dan jasa Perkantoran dan perdagangan Ruang terbuka hijau Industri
6.
Pemerintahan dan fasilitas umum
7. 8.
55 70 65 50 70 60 70
Rekreasi Khusus: - Bandar udara - Stasium kereta api 60 - Pelabuhan laut 70 - Cagar budaya b. Lingkungan kegiatan 1. Rumah sakit atau sejenisnya 55 2. Sekolah atau sejenisnya 55 3. Tempat ibadah atau sejenisnya 55 Sumber: Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996
Peraturan Menteri Kesehatn No. 718 tahun 1987 tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan menyatakan pembagian wilayah dalam empat zona: (Mukono, 2006) : Zona A adalah zona untuk tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan atau sosial. Tingkat kebisingannya berkisar 35 – 45 dB. Zona B untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi. Tingkat kebisingan berkisar 45 – 55 dB. Zona C, antara lain perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar. Tingkat kebisingan sekitar 50 – 60 dB. Zona D bagi lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api, dan terminal bus. Tingkat kebisingan sekitar 60 – 70 dB. Tabel 2.2. Nilai Ambang Batas Kebisingan 8 4 2 1
Waktu pemajanan per hari Jam
Intensitas kebisingan dB (A) 85 88 91 94
30 15 7,5 3,75 1,88 0,94
Menit
97 100 103 106 109 112
28,12 14,06 7,03 3,52 1,76 0,88 0,44 0,22 0,11
Detik
115 118 121 124 127 130 133 136 139
Sumber : Menteri Tenaga Kerja, 1999
2.7. Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan Dampak kebisingan terhadap kesehatan adalah sebagai berikut: (Prabu, 2006): a. Gangguan Fisiologis Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus – putus atau yang datangnya tiba – tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, kontruksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris. Bising dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan pusing/sakit kepala. Hal ini disebabkan bising dapat merangsang situasi vestibular dalam telinga dalam yang akan menimbulkan efek pusing/vertigo. Perasaan mual, susah tidur dan sesak napas disebabkan oleh rangsangan bising terhadap sistem saraf, keseimbangan organ dan keseimbangan elektrolit. Melalui makanisme hormonal adrenalin, yang dapat meningkatkan frekuensi detak jantung dan tekanan darah. b. Gangguan Psikologis Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, kejengkelan, kecemasan, ketakutan dan cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, jantung, stress, kelelahan. c. Gangguan komunikasi Kebisingan bisa mengganggu komunikasi yang sedang berlangsung (tatap muka / via telepon). Tingkat kenyaringan suara yang dapat mengganggu percakapan diperhatikan dengan seksama karena suara yang mengganggu komunikasi tergantung
konteks suasana. Kriteria gangguan komunikasi yang terjadi pada ruangan (Sasongko, 2000) Tabel 2.3. Kriteria gangguan komunikasi di dalam ruangan No Jenis ruangan untuk keperluan Tingkat kebisingan (dBA) 1 Pertunjukan musik, opera 21-31 2 Auditorium besar, Pertunjukan drama ≤ 30 (kondisi mendengar yang baik) 3 Studio rekaman, TV, broadcast ≤ 34 4 Auditorium kecil, konferensi ≤ 42 5 Rumah sakit, kamar tidur, pemukiman, hotel, 34 – 47 apartemen 6 Kantor, rapat, kuliah, perpustakaan 38 – 47 7 Ruang tamu dan sejenisnya untuk percakapan 38 – 47 atau mendengar TV/radio 8 Toko, kafetarian, restoran 42 – 52 9 Lobi, laboratorium, ruang gambar teknik 47 – 56 10 Ruang reparasi, dapur, penatu 52 – 61 11 Bengkel, ruang control pembangkit listrik 55 - 61 Sumber : Sasongko, 2000 d. Gangguan tidur Kualitas tidur seseorang dapat dibagi menjadi beberapa tahap mulai dari keadaan terjaga sampai tidur terlelap. Kebisingan bisa menyebabkan gangguan dalam bentuk perubahan tahap tidur. Gangguan yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain motivasi bangun, kenyaringan, lama kebisingan, fluktuasi kebisingan dan umur manusia. Standart kebisingan yang berhubungan dengan gangguan tidur sulit ditetapkan karena selain tergantung faktor – faktor tersebut di atas, gangguan kebisingan terhadap tidur juga berhubungan dengan karakteristik individual.
Environmental protection Agency menetapkan bahwa tingkat kebisingan harian 45 dB A cukup untuk melindungi seseorang dari pengaruh kesehatan karena tidak bisa tidur (Sasongko, 2000). e. Efek pada pendengaran Pengaruh utama dari bising pada kesehatan adalah kerusakan pada indera pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan efek ini telah diketahui dan diterima secara umum dari zaman dulu. Mula – mula efek bising pada pendengaran adalah sementara dan pemulihan terjadi secara cepat sesudah pekerjaan di area bising dihentikan. Akan tetapi apabila bekerja terus menerus di area bising maka terjadi tuli menetap dan tidak dapat normal kembali, biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz dan kemudian semakin meluas kefrekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang biasanya digunakan untuk percakapan (Prabu, 2009). 2.8. Tekanan Darah Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan dinding pembuluh darah (Guyton dan Hall,1997). Tekanan darah juga sering disebut sebagai suara di mana detak jantung pertama kali di dengar dengan bantuan alat stetoskop. Tekanan darah dapat dilihat dengan mengambil dua ukuran yang biasa ditunjukkan dengan angka seperti berikut: 120/80 mmHg. Angka 120 mmHg menunjukkan tekanan pada pembuluh arteri ketika jantung berkontraksi, yang biasanya disebut dengan sistolik. Angka 80 mmHg menunjukan jantung sedang berelaksasi disebut tekanan darah diastolik (Ganong, 1999).
The seventh report of Joint National Committee on Prevention Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (2003), tekanan darah normal sebagai tekanan darah sistolik <120 mmHg dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg. Tekanan darah sistolik 120 – 139 mmHg atau tekanan darah diastolik
80 -89
mmHg disebut sebagai prehipertensi. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi seseorang yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Tabel 2.3. Klasifikasi Tekanan Darah Dewasa ≥ 18 Tahun Menurut JNC 7 Kategori Normal Prehipertensi Kategori hipertensi Derajat 1 Derajat 2
Sistolik (mmHg) < 120 120 – 139 Sistolik (mmHg)
dan atau
Diastolik (mmHg) < 80 80 - 89 Diastolik (mmHg)
140 – 159 ≥ 160
atau atau
90 -99 ≥ 100
Sumber : National High Blood Pressure Education, 2003 2.8.1 Pengaturan Tekanan Darah Meningkatnya tekanan darah di di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara sebagai berikut : (Aditama, 2005) : a.
Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya.
b.
Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempitdaripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, di mana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga
meningkat pada saat terjadi ”vasokontriksi”, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena peransangan saraf atau hormon di dalam darah. c.
Bertambahnya cairan di dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tuuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat. Sebaliknya jika aktivitas memompa darah berkurang, arteri mengalami pelebaran dan banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil. Penyesuaian terhadap faktor – faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan di dalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur fungsi secara otomatis)
Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari saraf otonom, yang untuk sementara waktu berfungsi : (Aditama, 2005) : a.
Meningkatkan tekanan darah selama respon flight to flight (reaksi fungsi tubuh terhadap ancaman dari luar)
b.
Meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung, juga mempersempit sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteriola di bagian tertentu (misalnya otot rangka , yang merupakan pasokan darah yang terbanyak).
c.
Mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal sehingga akan meningkatkan volume darah dalam tubuh.
d.
Melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan nonepinefrin (non adrenalin) yang meransang jantung dan pembuluh darah.
2.8.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah yaitu : a.
Usia Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Semakin bertambah usia,
kemungkinan terjadinya hipertensi semakin besar (Anies, 2006). Pada golongan umur di bawah 40 tahun angka prevalensi hipertensi umumnya masih dibawah 10%, tetapi usia di atas 50 tahun prevalensinya mencapai 20% atau lebih, sehingga merupakan masalah yang serius pada golongan usia lanjut. Pada umur lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun. Tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55− 60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, yang terutama menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik tersebut (Depkes, 2006). b.
Jenis Kelamin. Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih
banyak menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk kenaikan tekanan darah sistolik dan 3,76 untuk kenaikan tekanan darah diastolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita tinggi. Bahkan setelah umur 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal (Depkes, 2006).
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Dwi, 2009). c.
Genetik Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (esensial). Faktor genetik juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seseorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Bila kedua orang tua menderita hipertensi maka sekitar 45% turun ke anak - anaknya dan bila salah satu orang tua yang menderita hipertensi maka sekitar 30% turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006). d.
Obesitas Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan
dalam Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index) yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam meter (Norman dan Jeremiah, 1996). Kriteria status gizi menurut Asmadi (2008) sebagai berikut :
a). Kurus jika IMT : (1). < 17
: kekurangan berat badan tingkat berat.
(2). 17 – 18,4
: kekurangan berat badan tingkat rendah.
b). Normal jika IMT : 18,5 – 24,9 c). Gemuk jika IMT : (1). 25 – 27
: kelebihah berat badan tingkat ringan.
(2). > 27
: kelebihah berat badan tingkat berat.
Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang - orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20 -33% memiliki berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006). Hal ini disebabkan makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri . Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air (Muhummadun, 2010).
e.
Stress Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara
individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologis, dan sosial) yang ada pada diri seseorang. Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormone adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Peningkatan darah akan lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang tinggi. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006). Dalam penelitian Framingham dalam Yusida tahun 2001 bahwa bagi wanita berusia 45-64 tahun, sejumlah faktor psikososial seperti keadaan tegangan, ketidakcocokan perkawinan, tekanan ekonomi, stress harian, mobilitas pekerjaan, gejala ansietas dan kemarahan terpendam didapatkan bahwa hal tersebut berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan manifestasi klinik penyakit kardiovaskuler apapun. Studi eksperimental pada laboratorium animals telah membuktikan bahwa faktor psikologis stress merupakan faktor lingkungan sosial yang penting dalam menyebabkan tekanan darah tinggi, namun stress merupakan
faktor risiko yang sulit diukur secara kuantitatif, bersifat spekulatif dan ini tak mengherankankarena pengelolaan stress dalam etikologi hipertensi pada manusia sudah kontroversial (Depkes, 2006). f.
Merokok Nikotin menyebabkan kenaikan tekanan arteri dan denyut jantung oleh
beberapa mekanisme: (Norman dan Jeremiah, 1996) : a. Nikotin meransang pelepasan epinetrinlokal dari saraf adregenik dan meningkatkan sekresi katekolamin dari modula adrenalis dan dari jaringan kromafin di jantung. b. Nikotin bekerja pada kemoreseptor di glomus caroticus dan glomera aotica yang menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan arteri. c. Nikotin bekerja langsung pada miokardium untuk menginduksi efek inotropik dan kronotopik positif. Menurut
pandapar
Singgih
(1995)
nikotin
dalam
merokok
dapat
mengakibatkan jantung berdenyut lebih cepatdan penyempitan pembuluh saluran – saluran nadi sehingga menyababkan jantung terpaksa memompa dengan lebih kuat untuk memenuhi kebutuhan darah ke seluruh tubuh. Rokok mengandung nikotin sebagai penyebab ketagihan yang akan meransang jantung, saraf, otak dan organ tubuh yang lainnya bekerja tidak normal. Nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin sehingga meningkatkan tekanan darah, denyut nadi dan tekanan kontraksi otot jantung (Sidabutar dan Wiguno, 1990).
g.
Konsumsi Alkohol Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol, dan diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya (Depkes, 2006). Mengkonsumsi alkohol berakibat buruk, dalam sebuah penelitian yang dilakukan Beever and Mac Gregor (1995), mendapatkan bahwa mengkonsumsi minuman beralkohol dalam jumlah besar dapat meningkatkan tekanan darah (Riyadina, 2002). Diperkirakan mengkomsumsi alkohol dalam yang berlebihan akan meningkatkan tekanan darah sekitar 5 – 20 % (Aditama, 2005). h.
Minum kopi Minum kopi yang mengandung kafein disebut dapat menghasilkan perubahan
dalam hemodinamik diantaranya dapat meningkatkan tekanan darah (Lane, 1993). Dalam tubuh manusia senyawa kafein dapat memacu hormon adrenalin, yang berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah dan detak jantung, sekresi asam lambung, senyawa gula pada aliran darah dan otot dalam kondisi siap beraktivitas. Pada sebagian orang, minum kopi dapat menimbulkan jantung berdebar-debar, denyutnya bisa melebihi 80 kali per menit. Hal itu disebabkan efek stimulan kopi.
Mengkonsumsi kopi secara berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah, yang berpotensi mempercepat terjadinya penyakit jantung koroner (PJK). Otot jantung mendapat makanan dari pembuluh darah nadi korona kiri dan kanan, bila pembuluh darah korona tersumbat terjadilah PJK (Afian, 2010). i.
Kehamilan Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik sedikit berubah tetapi
diastolic menurun kira – kira 10 mmHg pada awal kehamilan (13 – 20 minggu) dan meningkat kembali ke tingkat sebelum kehamilan pada trimester ketiga (Suyono, 2001). Perubahan yang terjadi pada jantung, yang khas denyut nadi istirahat meningkat sekitar 10 sampai 15 denyut permenit pada kehamilan (Yeyeh, 2009). j.
Mengkonsumsi Garam Berlebih Secara umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam
dengan hipertensi. Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem pendarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 1520 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Radecki, 2000).
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari (Gunawan, 2001). 2.9. Hubungan Kebisingan Dengan Tekanan Darah Cara kerja sistem tubuh dalam peningkatan tekanan darah adalah sebagai berikut ; (Sobel, 1995) : Kebisingan merupakan stressor biologis yang mampu menimbulkan perangsangan simpatis pada syaraf. Impuls simpatis dikirim ke medula adrenalin bersamaan dengan pengiriman ke semua pembuluh darah, impuls ini menyebabkan medula mensekresikan norepinefrin dan epinefrin ke dalam sirkulasi darah. Kedua hormon ini dibawa di dalam aliran darah ke semua bagian tubuh tempat mereka langsung bekerja pada pembuluh darah yang menyebabkan vasokontriksi. Perangsangan simpatis juga akan meningkatan aktifitas saraf ginjal sehingga sel jukstaglomerulus mensekresikan renin ke dalam darah. Renin sendiri merupakan suatu enzim yang memecahkan komponen utama salah satu protein plasma yang disebut substrat rennin untuk melepaskan dekapeptida angiotensi I. Dalam beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, 2 asam amino tambahan dipecah darinya membentuk oktapeptida angiotensin II yang dikatalis oleh enzim ‘converting enzyme’. Selama menetap di dalam darah angiotensin II mempunyai efek yang dapat meningkatan tekanan darah. Salah satu efek ini terjadi dengan sangat cepat :
vasokontriksi terutama dari arteriol. Kontriksi arteriol meningkatkan tahanan perifer dan dengan demikian meningkatkan tekanan arteri. Efek angiotensin lainnya terutama berhubungan dengan volume cairan tubuh : 1.
Angiotensin mempunyai efek langsung terhadap ginjal untuk menyebabkan penurunan ekskresi garam dan air.
2.
Angiotensin merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal dan hormone
ini sebaliknya juga bekerja pada ginjal menyebabkan penurunan ekskresi garam dan air. Kedua efek ini cenderung meningkatkan volume darah yang merupakan factor penting dalam pengaturan tekanan darah jangka panjang. Oleh karena adanya paparan kebisingan, pusat vasomotor mengirim impuls eksitasi melalui serabut saraf simpatis ke jantung untuk meningkatkan aktivitas jantung (kontraktilitas jantung), meningkatkan frekuensi jantung melalui reseptor beta – 1 sehingga memperbesar curah jantung. Meningkatkan curah jantung dan tahanan perifer total akan meningkatkan kenaikan tekanan darah.
2.10. Kerangka Konsep Tingkat Kebisingan ≤ 55 dB A > 55 dB A
- Jarak rumah dengan percetakan
Tekanan Darah - Sistolik - Diastolik
- Karakteristik Responden 1. Usia 2. Lama tinggal 3. Berat badan ideal
2.11.
Hipotesis Penelitian
Ho : Tidak ada hubungan tingkat kebisingan dengan tekanan darah pada masyarakat Lingkungan I Pengilar X Ha : Ada hubungan tingkat kebisingan dengan tekanan darah pada masyarakat Lingkungan I Pengilar X