6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Dermatis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE serum dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita (DA, rinitis alergika dan atau asma bronkial) (Leung dkk., 2012). Kata “atopik” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923) yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya DA, rinitis alergika, dan konjungtivitis alergika. Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan gambaran laboratoris dan penyakit terkait, yaitu dermatitis atopik tipe intrinsik dan ekstrinsik. Dermatitis atopik tipe ekstrinsik memerlukan sensitisasi yang diperantarai oleh IgE, seringkali terkait dengan asma bronkial atau rinokonjungtivitis alergika dan merespon positif terhadap pemberian alergen makanan maupun lingkungan. Sedangkan, dermatitis atopik tipe intrinsik (DA non alergika, DA non atopik, eksim non atopik) memiliki kadar IgE serum normal. Penderita ini memberi hasil negatif pada percobaan in vitro dengan alergen makanan maupun lingkungan dan tidak terkait dengan penyakit atopik lainnya seperti asma atau rinokonjungtivitis alergi. Penderita DA intrinsik cenderung memiliki onset penyakit yang lebih lambat (Choi dkk., 2003; Leung dkk., 2004).
7
2.2 Epidemiologi Prevelensi DA meningkat dua hingga tiga kali lipat selama tiga dekade terakhir di negara maju sehingga menjadi masalah kesehatan yang cukup serius (Leung dkk., 2012). Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain prevalensi DA pada anak mencapai 10% sampai 20%, sedangkan pada dewasa kirakira 1% sampai 3%. Di negara agraris misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah prevalensi DA jauh lebih rendah (Leung dkk., 2012). Prevalensi DA secara umum mencapai 10%-20% pada anak dan 1%-3% pada dewasa (Leung dkk., 2004). Dermatitis atopik biasanya muncul pada bayi dan anak-anak, namun bisa menetap ataupun dimulai pada saat dewasa (Leung dkk., 2004; Bieber 2008). Empat puluh lima persen kasus DA dimulai pada enam bulan pertama kehidupan, 60% dimulai pada tahun pertama dan 85% dimulai sebelum usia lima tahun. Lebih dari 70% penderita mengalami remisi spontan sebelum remaja (Bieber, 2008). Wanita lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3 : 1 (Leung dkk., 2012). Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA, misalnya jumlah keluarga kecil, taraf pendidikan dan penghasilan. Migrasi dari desa ke kota dan meningkatnya penggunaan antibiotik, juga berpotensi meningkatkan jumlah penderita DA (Leung dkk., 2012). “Hygiene hypotesis” telah diajukan untuk menjelaskan peningkatan prevalensi DA. Hipotesis ini menyatakan tidak adanya infeksi di awal kehidupan pada populasi yang telah disebutkan di atas membuat individu lebih rentan untuk mengalami DA (Bieber, 2008; Leung dkk., 2012), sedangkan jumlah rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga,
8
urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil akan melindungi timbulnya DA pada kemudian hari. Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopik akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopik, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopik. Risiko mewarisi DA lebih tinggi pada ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50% (Leung dkk., 2012)
2.3 Etiologi dan Patogenesis Penyebab DA yang pasti tidak diketahui dengan jelas, beberapa peneliti mengemukakan berbagai faktor yang berperan dalam patogenesis DA, misalnya faktor genetik, lingkungan, sawar kulit dan imunologi (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012). 2.3.1 Faktor predisposisi 2.3.1.1 Gangguan fungsi sawar kulit Rasa gatal yang hebat dan garukan dikombinasi dengan hiperreaktivitas kulit dan berkurangnya ambang batas rasa gatal mendasari lingkaran setan dari stimulasi mekanis yang kontinyu dan pengeluaran sitokin yang tidak teratur oleh keratinosit. Kerusakan yang mendasar terjadi pada DA adalah perubahan komposisi lipid stratum
9
korneum yang bertanggung jawab terhadap keringnya kulit dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas terhadap alergen dan iritan (Novak, 2008). Stratum korneum mempunyai kemampuan untuk menahan air yang tergantung dari fenotip dan susunan korneosit, komposisi dan susunan lipid ekstraseluler dan adanya materi yang bersifat higroskopis kuat pada korneosit. Susunan stratum korneum dianalogikan dengan “batu bata dan semen” (Brick wall with mortar). Korneosit mewakili batu bata dan matriks yang terdiri dari lipid dan korneodesmoson mewakili semen. Lipid stratum korneum mengisi 20% volume stratum korneum yang terdiri dari seramid (50%), kolesterol (25%) dan asam lemak (10-20%). Seramid berperan sebagai molekul penahan air utama pada stratum korneum. Berkurangnya jumlah seramid telah dilaporkan terjadi pada epidermis, baik pada kulit penderita DA yang mengalami lesi maupun yang tidak (Beiber, 2008; Novak, 2008). Bahkan pada penderita DA tanpa lesi kulit juga terjadi kekeringan kulit dan gangguan fungsi sawar stratum korneum yang ditandai dengan meningkatnya kehilangan air melalui epidermis transepidermal water loss (TEWL) (Novak, 2008). Gangguan fungsi sawar kulit pada DA meningkatkan absorpsi antigen yang mengakibatkan hiperreaktivitas kulit yang merupakan gambaran khas DA (Bieber, 2008; Novak, 2008). Sebagai tambahan, seramidase yang memecah seramid menjadi sphingosine dan asam lemak disekresi lebih banyak dari flora bakteri yang didapat baik pada kulit yang mengalami lesi ataupun tanpa lesi pada penderita DA. Pada fase aktif penyakit terjadi pergeseran pH ke arah alkali pada kulit yang sehat maupun sakit. Bersamaan dengan kerentanan terhadap iritan pada DA dapat
10
digambarkan sebagai defek primer dan kemudian pada diferensiasi dan fungsi epidermis dengan adanya inflasi subklinis yang menginduksi kerusakan kulit dikombinasi dengan gangguan sawar kulit lebih lanjut pada fase aktif penyakit (Novak, 2008). 2.3.1.2 Mekanisme genetik Onset pada usia dini, kejadian penyakit pada keluarga, dan angka kejadian yang tinggi pada kembar monozigot sebesar 77% dan 15% pada kembar dizigot, menggambarkan bahwa DA merupakan penyakit yang kompleks secara genetik yang berkembang berdasarkan latar belakang gen dan interaksi ginetik dengan lingkungan (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012). Beberapa kromosom mengandung gen yang terlibat dalam DA, khususnya pada kromososm 5q31-33yang mengandung famili gen sitokin T Helper 2 (Th2) yaitu Interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-13 dan Granulocyte Macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Pada tahun 1998, penelitian menunjukan gen yang dikode pada kromosom 16p11.2-12 berhubungan dengan kadar IgE serum total. Area gen ini merupakan lokasi dari IL-4 reseptor gen alfa (IL-4R). Mutasi gen yang mengakibatkan peningkatan reaktivitas reseptor IL-4 seperti Q576R diperkirakan bertanggung jawab terhadap peningkatan sekresi IgE. Lebih lanjut lagi, polimorfisme yang terjadi minimal pada empat asam amino yang berbeda pada lokasi sitoplasmisk IL-4R mempengaruhi sinyal reseptor IL-4 dan meningkatkan sekresi IgE. Terdapat hubungan juga antara kadar IgE total yang tinggi dengan 12q21-1q24.1, yaitu gen untuk interferon- (IFN-) dan faktor sel punca (KIT ligand/mast-cell growth faktor)
11
berlokasi (Novak, 2008). Cookson dkk., menemukan bahwa lokus gen 11q13 yang mewakili daerah untuk rantai reseptor untuk IgE terkait dengan fenotip DA (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008). Begitu juga varian dari area pengkode IL13, mutasi pada promotor proksimal gen RANTES dan keterkaitan DA dengan kromosom 3q21, area
yang mengkode molekul kostimulator Cluster of
Differentiation 80 (CD80) dan CD86 telah diidentifikasi sebagai lokus yang rentan terhadap DA (Novak, 2008). 2.3.1.3 Hygiene hypothesis Limfosit fetal manusia mengandung Th2 sebagai konsekuensi dari sitokin plasenta, hormon dan paparan terhadap alergen transplasenta. Selama periode postnatal, pada individu yang non atopik terjadi pergantian dari Th2 dominan menjadi Th1, mungkin diakibatkan karena stimulasi dari beberapa macam agen infeksi. Berlawanan dengan individu yang atopik, pergantian ini tidak terjadi selama bulan pertama kehidupan dan menimbulkan reaksi imunologis Th2 (Novak, 2008). Faktor-faktor kehidupan modern seperti penggunaan antibiotik, penurunan jumlah anggota keluarga, dan peningkatan higienitas mengakibatkan kurangnya paparan terhadap stimulasi bakteri dan mendukung perkembangan Th2 (Novak, 2008; Leung dkk, 2012). 2.3.2 Faktor imunopatogenesis 2.3.2.1 Monosit Peningkatan hidrolisis cyclic adenosine monophosphate (CAMP) oleh phosphodiesterase yang overaktif secara genetik pada monosit mengakibatkan
12
peningkatan produksi mediator seperti prostaglandin E dan IL-10. Mekanisme ini selanjutnya menghambat respon Th2 dan memprekuat sekresei IL-4 oleh sel Th2 dan nampak sebagai tambahan selain prostaglandin E2, IL10 berperan untuk mengatur keseimbangan antara respon Th1 dan Th2 yang mengatur gambaran atopik termasik produksi IL-4, IL-5 dan IL-6 oleh sel T, peningkatan sintetis IgE, berkurangnya produksi interferon- (IFN-γ) dan terganggunya respon imun yang diperantarai sel. Monosit dari penderita DA menunjukkan peningkatan ekspresi reseptor untuk IgE dan rantai IL-4R dapat dibedakan dari monosit pasien DA non alergi yang ekspresi marker permukaannya rendah (Leung dkk., 2004; Novak, 2008). 2.3.2.2 Eosinofil Adanya eosinofilia pada darah perifer dan peningkatan kadar protein granul eosinofil serum menggambarkan degranulasi eosinofil berperan penting pada DA. Peningkatan kadar eosinofil dengan peningkatan survival telah terdeteksi dan terutama pada eosinofil dari penderita DA alergi, reseptor CD137 yang menstimulasi aktivasi dan diferensiasi sel T dapat dideteksi. Peningkatan protein granular dapat ditemukan dari darah perifer sejalan dengan keaktifan penyakit. Di kulit, sitokin Th2 bersamaan dengan kemokin seperti eotaxin dan protein 4 kemoatraktan monosit mendorong influx eosinofil ke dalam kulit penderita DA (Leung dkk., 2004; Novak, 2008). 2.3.2.3 Keratinosit Transduksi sinyal pada sel epitel yang tidak teratur dapat mengakibatkan respon yang berlebihan terhadap stimulus inflamasi. Perubahan sintesis sitokin oleh sel di
13
kulit meningkatkan ekspresi Tumor Necrosis Factor-α (TNF-), IL-1, dan IL-12 Messengger Ribonucleic Acid (mRNA) pada kulit penderita DA setelah kontak dengan deterjen atau aeroalergen. Defek intrinsik keratinosit ditemukan pada DA mengakibatkan sekresi GM-CSF, IL-1 dan TNF- dipercepat (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008). 2.3.2.4 Sel T Salah satu gambaran DA yang paling menonjol adalah infiltrasi kulit oleh sel T CD4 pada lesi kulit. Penelitian imunohistologis menunjukkan infiltrat dermis pada lesi kulit terutama terdiri dari sel CD4 dan CD8 dengan perbandingan CD4:CD8 hampir sama dengan yang ditemukan pada darah tepi (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008). Sistem imun manusia memiliki sel T kutaneus yang sangat aktif dan memiliki Cutaneus lymphocyte antigen (CLA) pada permukaannya yang memungkinkan sel T untuk segera menuju ke kulit bila terdapat masuknya antigen asing. Masuknya sel T kedalam kulit ditentukan oleh interaksi CLA dengan antigen permukaan sel vaskular yang diekspresikan pada pembuluh darah dermis seperti E-selectin. Kofaktor lain yang penting untuk masuknya sel T adalah alpha-6 integrin, Vascular Cell Adhesion Molecule (VCAM-1), Intercullular Adhesion Molecule-I (ICAM-1) dan IL-8 yang ditemukan dalam jumlah banyak pada darah tepi penderita DA (Novak, 2008). Prekursor Th 0 dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi sel Th1 atau Th2, setelah presentasi antigen oleh sel dendritik. Respon Th1 terkait dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan dominan mensekresi IFN-γ dan IL-2. Pola Th2
14
terkait dengan peningkatan sekresi IgE dan reaksi yang diperantarai IgE dan didominasi oleh IL-4, IL-5 dan IL-13. Analisis sampel biopsi dari kulit sehat pada penderita DA menunjukkan peningktan sel Th2 yang mengekspresikan mRNA dari IL-4 dan IL-13. Sementara lesi DA akut tidak mengandung sel yang mengekspresikan mRNA, IL-5, IL-12, GMCSF atau IL-12 dalam jumlah yang signifikan, jumlah mRNA sitokin-sitokin ini meningkat pada fase kronis, sedangkan jumlah mRNA IL-4 dan IL-13 menurun (Leung, 2004; Novak, 2008). Dari penelitian terhadap lesi kulit terhadap penderita DA diketahui bahwa perjalanan DA bersifat bifasik, dimana pada fase inisial ditandai oleh pola Th2 lalu beralih ke fase kronis yang didominasi oleh profil Th1. Peralihan ini mungkin dimulai oleh produksi lokal IL-12 dari eosinofil atau sel epidermal dendritik atau keduanya (Novak, 2008). 2.3.2.5 Sitokin dan Kemokin Berkurangnya imunitas yang diperantarai sel pada DA adalah akibat peningkatan produksi sitokin imunosupresif seperti IL-10 dan Tumor Growth Factor (TGF-) telah diobservasi pada DA (Leung, 2004; Novak, 2008). Lebih lanjut lagi, kemoatraktan untuk sel T CD4, kemokin yang diekspresikan dan disekresi oleh sel T (RANTES), kemokin yang bersal dari Macrophage-derived Chemokine (MDC), kemokin yang diaktivasi Thymic Reticuloepithelial Cells (TRC) dapat ditemukan pada penderita DA (Leung, 2004; Novak, 2008). Inflamasi kulit yang menetap pada lesi kulit kronis dapat diinduksi oleh mediator yang meningkatkan lama hidup
15
eosinofil, monosit/makrofag dan sel dendritik seperti IL-5 atau GM-CSF ditemukan dalam jumlah yang banyak pada penderita DA (Novak, 2008).
Gambar 2.1 Patogenesis dermatitis atopik (Egawa G. 2015) 2.3.3 Faktor Pencetus 2.3.3.1 Makanan Pada anak kecil makanan dapat berperan dalam patogenesis DA, tetapi tidak biasa terjadi pada usia yang lebih tua. Makanan yang paling sering adalah telur, susu, gandum, kedelai dan kacang tanah (Novak, 2008; Leung dkk., 2012). 2.3.3.2 Aeroalergen Dari percobaan double blinded dengan placebo dan tungau debu rumah (TDR) didapatkan penderita DA setelah menghirup TDR mengalami eksaserbasi ditempat lesi lama dan timbul lesi baru (Leung dkk., 2004; Sularsito dkk., 2007; Novak, 2008;
16
Leung dkk., 2012). Demikian pula setelah aplikasi epikutan dengan aeroalergen (TDR, bulu binatang, kapang) melalui uji tempel pada kulit penderita DA tanpa lesi, terjadi reaksi eksematosa pada 30%-50% penderita DA, sedangkan pada penderita alergi saluran nafas dan relawan sehat jarang yang menunjukkan hasil positif. Sembilan puluh lima persen penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR, sedangkan penderita asma bronkial hanya 42% (Novak, 2008). Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan lagsung dengan tingkat keparahan DA (Leung dkk., 2004; Novak, 2008; Leung dkk., 2012). 2.3.3.3 Mikroba Penderita DA cenderung mudah mengalami infeksi oleh bakteri, virus, jamur karena imunitas seluler menurun (aktivitas Th1 berkurang). Pada lebih dari 90% lesi kulit penderita DA ditemukan Staphylococcus aureus (S. aureus). Sedangkan pada orang normal hanya 5% (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012). Garukan adalah faktor penting yang dapat mempercepat pengikatan bakteri dengan mengganggu sawar kulit. Staphylococcus aureus mampu mensekresi toksin seperti Staphylococcus enterotoxin A (SEA) dan B (SEB) atau toxic shock syndrome toxine-1 yang menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Sebagian besar penderita DA membuat antibodi IgE spesifik terhadap superantigen stafilokokus yang ada di kulit. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu, akan menginduksi IgE spesifik dan degranulasi sel mast. Kejadian ini akan memicu siklus gatal garuk yang akan menimbulkan lesi di kulit penderita DA (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008;
17
Novak, 2008). Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid sehingga memperparah DA (Novak, 2008). 2.3.3.4 Bahan iritan Bahan iritan merupakan bahan yang langsung memiliki efek terhadap kulit. Bahan iritan akan semakin meningkat pengaruhnya dengan meningkatkan konsentrasi dan lama kontak sehingga kulit menjadi merah, gatal atau terbakar. Yang termasuk bahan iritan adalah sabun, deterjen, bahan kimia, asap, pakaian kasar yang abrasif, alkohol, parfum, kosmetik, astringen, disinfektan seperti klorin, pasir dan asap rokok. Penderita DA lebih sering mangalami dermatitis kontak iritan daripada dermatitis kontak alergika karena kerusakan sawar kulit lebih memudahkan masuknya bahan kimia iritan. Oleh karena itu, menghindari paparan terhadap bahanbahan tersebut juga merupakan salah satu prinsip penanganan DA (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012;). 2.3.3.5 Faktor neuroimunologis Stres adalah salah satu faktor yang dapat menimbulkan ekaserbasi DA. Meskipun mekanisme yang pasti dari imun kulit dan sistem saraf belum diketahui dengan jelas, diyakini bahwa fenomena ini diperantarai oleh faktor neuroimunologis seperti neuropeptida yang dapat ditemui pada serat saraf epidermis (Novak, 2008). 2.4 Sawar Epidermis Kulit merupakan organ tubuh terluas, yang membentuk 16 % berat tubuh dengan luas permukaan 1,8 m2 dan terdiri dari 3 lapisan utama yaitu epidermis, dermis dan subkutis (Bensouilah dkk, 2006). Fungsi terpenting dari kulit adalah membentuk
18
sawar yang efektif antara bagian dalam (inside) dan lingkungan luar (outside). Sawar inside-outside berperan meregulasi hilangnya air. Sedangkan sawar outside-inside memberikan pelindungan mekanik (terhadap iritasi, radiasi ultraviolet, panas, dan dingin), kimia (terhadap bahan-bahan iritan dan alergen), dan ancaman mikroba (terhadap bakteri, jamur dan virus). Sawar fisik kulit terletak pada lapisan yang paling luar, yaitu stratum korneum (Denda, 2000; Proksch dkk., 2012). 2.4.1 Struktur sawar epidermis Hingga tahun 1960-an, yang dianggap sebagai sawar kulit adalah bagian atas stratum granulosum dan bukan dibentuk oleh stratum korneum. Orang yang pertama kali memodifikasi pikiran ini adalah Christper dan Kligman, yang menganalisis stratum korneum dan menunjukkan fungsi ketahanannya. Tokoh lama yaitu Oldland kemudian menemukan organel yang kemudian dinamakan sesuai namanya Badan Oldland, saat ini dikenal sebagai badan lamelar dimana organel ini memiliki struktur yang mengandung seramid, kolesterol, dan asam lemak bebas. Pada tahun 1975, Michael dkk., menemukan sebuah model yang dapat menjelaskan sifat permeabilitas dari stratum korneum yaitu model ”batu bata dan semen”. Pada model ini, stratum korneum dianggap sebagai suatu dinding yang terbuat dari batu bata, dimana korneosit analog dengan batu bata dan lamela lipid analog dengan semen. Sebagai tambahan dari teori ini, Elias mengemukakan bahwa korneodesmosom analog dengan lempeng besi dalam batu bata dan berperan memberikan kekuatan pada dinding batu bata tersebut. Saat ini, model “batu bata dan
19
semen” ini yang dianggap paling tepat untuk memahami susunan seluler dan permeabilitas kulit (Cork dkk., 2008; Aoki, 2010)
Gambar 2.2 Struktur “Bricks and Mortar” stratum korneum Stratum korneum merupakan komponen kulit yang penting karena stratum korneum memiliki kapasitas untuk menahan air dan adanya kandungan lipid di dalamnya. Stratum korneum berfungsi untuk menahan air untuk mencegah kekeringan pada kulit dan melindungi kulit terhadap benda asing (bahan – bahan alergen dan iritan, atau mikroba, bakteri, jamur, dan virus) (Bikowski, 2009). Sawar stratum korneum terdiri dari korneosit yang diperkaya protein, dilapisi lemak, dan dikelilingi oleh matriks lipid seluler (Chu, 2012). 2.4.1.1 Korneosit Sebagian besar epidermis terdiri dari keratinosit. Epidermis selalu mengalami proses pembaharuan. Lapisan ini mngandung sel-sel yang bergerak keluar dan mengalami diferensiasi secara progresif, membentuk stratum granuler dan stratum
20
korneum (McGrath dkk., 2010; Miller dkk., 2012). Korneosit ini dikelilingi oleh matriks lipid ekstraseluler, yang membentuk suatu matriks hidrofobik (Proksch dkk., 2012). Korneosit dilekatkan oleh korneodesmosom yang terdiri dari glikoprotein cadherin, yaitu desmoglein dan desmokolin. Pada kulit yang normal, seiring dengan migrasi korneosit menuju permukaan stratum korneum, akan terjadi penurunan jumlah korneodesmosom secara progresif. Keseimbangan
antara
proliferasi
sel
basal
dan
deskuamasi
korneosit
mempertahankan sawar kulit pada ketebalan yang konstan (Machado dkk., 2010) Adanya struktur korneosit seperti ini yang mendasari terbentuknya sawar fisik dan kemampuan kulit untuk menahan air. Lapisan korneosit ini mampu menahan air hingga tiga kali lipat beratnya. Namun bila kandungan air di dalam lapisan ini berkurang lebih dari 10%, maka lapisan ini tidak lagi bersifat lembut dan cenderung retak (Bensouilah dkk., 2006). 2.4.1.2 Lipid ekstraseluler Pada stratum spinosum bagian atas dan stratum granulosum, terdapat vesikel lamelar khas yang disebut badan lamelar epidermis. Badan lamelar diperkaya oleh lipid polar, gliskospingolipid, sterol bebas, fosfolipid, akan menghantarkan lipid yang diperlukan pada ruang ekstraseluler stratum korneum (Proksch dkk., 2012). Di akhir masa diferensiasi epidermis, granul–granul pada badan lamelar bergerak menuju puncak sel gronulosum teratas, kemudian mengalami fusi dengan membran plasma, dan mensekresikan isinya ke ruang interseluler melalui proses eksositosis. Lipid polar kemudian diubah secara enzimatik menjadi produk nonpolar.
21
Hidrolisis glikospingolipid akan menghasilkan seramid, sedangkan fosfolipid akan diubah menjadi asam lemak bebas (Proksch dkk., 2012). Serangkaian proses enzimatik tersebut akan mengasilkan matriks lipid ekstraseluler, yaitu kristalina yang tersusun atas seramid, kolesterol, asam lemak dan ester kolesterol (Cork dkk., 2008). Seramid merupakan komponen yang dominan dan penting dalam fungsi sawar epidermis. Korneosit berfungsi sebagai pertahanan dan perlindungan terhadap bahan kimia, dan bersama-sama dengan lipid ekstraseluler yang menghasilkan sifat impermeabilitas terhadap air (Proksch dkk., 2012). 2.4.2
Disfungsi sawar epidermis pada penderita dermatitis atopik
Beberapa postulat mengemukakan tentang mekanisme terjadinya disfungsi sawar epidermis pada penderita DA antara lain yaitu adanya penurunan kadar seramid kulit, yang berperan sebagai molekul pengikat air pada ruang ekstraseluluer, adanya perubahan pH stratum korneum dan adanya ekspresi yang berlebihan dari eksim chymotryptic (chymase), (4). Defek pada filagrin (Bieber, 2010). Seramid adalah asam lemak yang dihubungkan dengan amida, dan mengandung alkohol amino rantai panjang yang disebut basa sphingoid (Proksch dkk., 2012). Pada stratum korneum manusia, terdapat 11 subkelas seramid yang telah teridentifikasi. Seramid dibedakan berdasarkan arsitektur ‘kepala’ dan panjang rantai asam lemak. Basa daripada seramid tersusun atas salah satu dari sphingosin, phytosphingosin, 6-hidroksphingosin, atau dihidroksisphingosin. Basa ini akan terhubung dengan asam lemak non hidroksilasi, asam lemak hidroksi - , atau asam
22
lemak hidroksi - . Kombinasi 4 macam basa dan asam lemak ini akan menghasilkan struktur seramid (Bouwstra dkk., 2010) Pada tingkat ultrastruktur, sawar permeabilitas kulit diperankan oleh lapisan lipid multilamela interseluler yang terletak di stratum korneum. Seramid yang merupakan komponen terbesar penyusun lipid stratum korneum, secara fungsional berperan penting untuk menjaga stabilitas lapisan lemak interseluler. Terutama seramid 1, karena struktur rantainya yang panjang, akan menghubungkan bilayer yang berdekatan, sehingga dapat mempertahankan homeostasis air dan menghambat kehilangan air. Pada percobaan perusakan sawar kulit menggunakan pelarut atau deterjen yang dapat menghilangkan sawar, ternyata ditemukan kulit yang xerotik dan peningkatan Transepidermal Water Loss (TEWL). Pada sebuah penelitian yang dilakukan Nardo dkk., pada 47 penderita AD dan 20 orang normal, didapatkan hasil bahwa kadar seramid 1 dan seramid 3 pada DA lebih rendah secara signifikan (Nardo dkk., 1998). Pada kulit atopik terjadi gangguan maturasi badan lamelar, sehingga terjadi penurunan pelepasan asam, lipid dan bahan penyusun enzim pada stratum korneum, sehingga terjadi defek fungsi sawar kulit. Selain itu, berkurangnya seramid pada penderita atopik juga disebabkan karena peningkatan aktivitas enzim sphingomyelin deasilase (Cork dkk., 2008). Keadaan homeostasis pH permukaan kulit merupakan salah satu bagian yang penting dari konsep ‘acid mantle’ kulit. Nilai pH permukaan kulit pada lengan bawah orang dewasa pria suku Kaukasian adalah 5.4 hingga 5.9, dan pH rata-rata pada bayi
23
berusia dua minggu hingga 18 bulan lebih tinggi daripada orang dewasa (Konig dkk., 2000). Pentingnya pH stratum korneum terhadap homeostasis sawar kulit dibuktikan dengan adanya perburukan fungsi sawar ketika kulit yang tidak terpapar oleh pH alkali. pH stratum korneum mempengaruhi fungsi sawar kulit melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama yaitu mempengaruhi secara langsung melalui organisasi membran bilayer, dan yang kedua sekunder melalui regulasi proses lipid ekstraseluler. Enzim-enzim yang membentuk lipid ekstraseluler, seperti misalnya glukoserebrosidase- dan sfingomyelinase, bekerja pada pH optimal asam. Pada percobaan pada kulit mencit, setelah diaplikasikan produk yang bersifat basa, dengan pemeriksaan mikroskop elektron ditemukan penurunan aktivitas glukoserebrosidase, maka proses membran lamela lipid terjadi secara inkomplit (Cork dkk., 2008). Selama
proses
deskuamasi
kulit,
terjadi
pemecahan
korneodesmosom
ekstraselluler yang mengikat korneosit, sehingga korneosit akan terlepas dari permukaan kulit. Pemecahan protein korneodesmosom oleh protease menyebabkan berkurangnya ikatan antara korneosit dan reduksi kohesi korneosit. Di antara enzimenzim protease yang terlibat dalam deskuamasi, yang berperan penting adalah enzim chymotryptic stratum korneum / stratum corneum chymotryptic (SCCE), dan enzim tryptic stratum korneum / stratum corneum tryptic enzyme (SCTE). SCCE akan menghidrolisis korneodesmosom dan desmokolin 1, sedangkan SCTE akan memecah desmoglein 1. Variasi genetik pada gen SCCE berhubungan dengan disregulasi aktivitas SCCE pada manusia. Pada penderita DA, terjadi insersi 4 basa AACC pada gen pengkode SCCE, sehingga memperpanjang waktu paruh mRNA SCCE dan
24
akhirnya terjadi peningkatan produksi SCCE. Pada sebuah percobaan pada tikus dengan ekspresi SCCE yang berlebihan, didapatkan perubahan kulit yang mirip dengan pada kulit atopik. Ekspresi SCCE yang berlebihan menyebabkan pemecahan korneodesmosom prematur, diikuti oleh peningkatan deskuamasi korneosit dan penipisan sawar kulit (Cork dkk., 2008). Enzim SCCE bekerja optimal pada pH netral. Jika pH stratum korneum meningkat dari pH normalnya (5.5) menjadi 7 atau lebih tinggi, maka aktivitas SCCE akan semakin meningkat, menyebabkan penurunan fungsi sawar. Bahan yang paling sering meningkatkan pH permukaan kulit yaitu sabun dan deterjen (Cork dkk., 2008; Leung dkk., 2012). Beberapa penelitian genetika akhir-akhir ini menunjukkan bahwa Filamenagregating Protein (Filagrin) berperan penting dalam etiologi dermatitis atopik. Filagrin, dan gennya FLG, terletak pada kompleks diferensiasi epidermal pada kromosom 1q21. Produk awal dari gen FLG adalah profilagrin, yang merupakan komponen utama granula keratohyalin, dan dalam proses diferensiasi akhir akan dipecah menjadi peptide filagrin. Filagrin berperan dalam perubahan keratinosit menjadi skuama protein – lipid. Filagrin memicu terjadinya pemipihan korneosit dengan cara mengagregasikan filamen keratin menjadi struktur bundle untuk kemudian membentuk skeleton keratin (DeJongh dkk., 2008). Setelah filagrin menjalankan perannya untuk pembentukan bundle filamen keratin, filagrin akan dipecah menjadi asam amino histidin, glutamine dan arginine yang kemudian akan mengalami deaminasi menjadi asam amino histidin, glutamine dan arginine yang kemudian akan mengalami deaminasi menjadi asam trans-urocanic asam karboksilat
25
pyrolidon dan citrulin yang merupakan komponen aktif senyawa yang meregulasi hidradsi kulit, disebut faktor pelembab alami / natural moisturizing faktor (NMF). NMF turut berperan dalam retensi air di dalam korneosit, sehingga terjadi hidrasi dan pengembungan yang optimal. Hal ini mencegah terbentuknya celah antara korneosit, meningkatkan integritas stratum korneum dan membuatnya resisten terhadap penetrasi iritan dan allergen (Cork dkk., 2008; DeJongh dkk., 2008). Terhadap hubungan yang signifikan antara mutasi pada filagrin dan DA. Pada kulit penderita DA terdapat penurunan kadar filagrin dan NMF. DA dihubungkan dengan mutasi loss of function filagrin. Penurunan kadar filagrin dan NMF akan menyebabkan berkurangnya kemampuan korneosit untuk menahan air, sehingga terjadi pengerutan. Seiring dengan pengerutan korneosit, akan terbentuk celah di antara korneosit, sehingga terjadi defek sawar epidermis yang rentan terhadap penetrasi allergen maupun iritan (Cork dkk.,2008). 2.4.3 Evaluasi fungsi sawar epidermis Salah satu cara untuk evaluasi fungsi sawar epidermis adalah dengan pengukuran TEWL (Aoki, 2010). Secara definisi, TEWL adalah hilangnya air secara difusi dari epidermis, selain karena proses desorpsi dan aktivitas kelenjar keringat (Machado dkk., 2010). Hasil pengukuran TEWL dapat menunjukkan hasil yang bervariasi antar dan inter individu. Variasi TEWL antar pengukuran dapat berbeda dalam satu individu. Variasi pada lokasi yang sama adalah 8% , dan 21% pada hari yang berbeda. Sedangkan variasi antar individu diperkirakan lebih besar yaitu 3548% (Cork dkk., 2008). Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah : usia, area
26
anatomis, suhu dan keringat pada permukaan kulit, kerusakan dan penyakit pada kulit, irama sirkadian, dan stres. Pada kondisi sawar kulit yang imatur, seperti pada bayi prematur, didapatkan TEWL yang lebih tinggi. Hal ini terutama terjadi pada 2 minggu pertama kehidupan. Sawar epidermis terhadap penetrasi bahan eksogen terletak pada stratum korneum bagian dalam. Oleh karena itu, penetrasi perkutaneus dari bahan-bahan eksogen bervariasi tergantung dari ketebalan stratum korneum. Pengukuran TEWL sangat dipengaruhi oleh area anatomis, dengan urutan sebagai berikut : telapak tangan > telapak kaki > dahi = postaurikula = kuku = dorsum tangan > lengan atas = paha = dada = perut = punggung (Rogiers dkk., 2005). Pada sebuah penelitian yang membandingkan individu DA dan normal, didapatkan peningkatan TEWL pada DA. Pada pengukuran TEWL di punggung tangan didapatkan TEWL sebesar 17.5 g/m2/jam pada penderita DA dan pada orang normal sebesar 9.8 g/m2/jam. Pada pengukuran di area punggung didapatkan nilai TEWL pada penderita DA adalah 14.4 g/m2/jam, dan 6.6 g/m2/jam (Konig BE dkk., 2000). 2.5 Gambaran Klinis Kulit penderita DA umumnya kering, pucat, kadar lipid di epidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Gejala utama DA adalah gatal hebat, dapat hilang timbul sepanjang hari tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk dan timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi dan krusta. Lesi subakut ditandai
27
dengan eritema, ekskoriasi, papul berskuama. Lesi kronis ditandai dengan plak, likenifikasi, papul fibrotik (Remitz dkk., 2008; Leung dkk., 2012). Dermatitis atopik dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu DA infantil (2 bulan-2 tahun), DA anak (2-10 tahun), dan DA pada remaja dan dewasa (Leung dkk., 2012). 1. Dermatitis atopik infantil Dermatitis atopik paling sering terjadi pada tahun pertama kehidupan biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulovesikel, karena gatal digosok, pecah, eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke scalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak (Leung dkk., 2012). 2. Dermatitis atopik pada anak Dapat merukapan kelanjutan bentuk infantil atau tumbuh sendiri (de novo). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipatan siku, lipatan lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk, dapat terjadi erosi, likenifikasi, sampai infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal sehingga terjadi lingkatan setan “siklus gatal garuk” (Leung dkk., 2012).
28
3. Dermatitis atopik pada remaja dan dewasa Lesi kulit dapat berupa plak popular eritematosa dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi di lipatan siku, lipatan lutut, dan samping leher, dahi dan sekitar mata. Pada DA dewasa distribusi lesi kurang karakteristik sering mengenai lengan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu atau kulit kepala. Kadang erupsi, ekskoriasi dan eksudasi karena garukan, lambat laun terjadi hiperpigmentasi. Pada umunya DA remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita DA yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bial terpajan oleh bahan iritan eksogen (Leung dkk., 2012). 2.6 Diagnosis Kriteria diagnosis dapat ditegakkan dengan diagnosis DA berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris. Diagnosis DA harus mempunyai mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor (Remitz dkk., 2008; Leung dkk., 2012). Kriteria mayor : 1. Pruritus 2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak 3. Dermatitis di fleksura pada dewasa
29
4. Dermatitis kronis atau residif 5. Riwayat atopik pada penderita atau keluarganya (asma, rinokonjungtivitis alergi, DA, urtikaria kontak) Kriteria minor : 1. Xerosis (kulit kering) 2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus herpes simpleks) 3. Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki 4. Iktiosis/hiperlinearitas Palmaris/keratosis pilaris 5. Pitiriasis alba 6. Dermatitis di papilla mama 7. White dermographism dan delayed branch response 8. Keilitis 9. Lipatan infra-orbital Dennie-Morgan 10. Konjungtivitis berulang 11. Keratokonus 12. Katarak subkapsular anterior 13. Orbita menjadi gelap 14. Muka pucat atau eritem 15. Gatal biala berkeringat 16. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak 17. Aksentuasi perfolikular 18. Hipersensitif terhadap makanan
30
19. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi 20. Tes kulit alergi tipe dadakan positif 21. Kadar Ig E di dalam serum meningkat 22. Awitan pada usia dini 2.7 Derajat Keparahan Penyakit Derajat keparahan penderita DA dinilai dengan menggunakan sistem indeks SCORAD yang terdiri dari beberapa kriteria (Bender dkk., 2008): 1. Luasnya lesi Menggunakan rule of nine yang dinyatakan dalam prosentase (0-100) 2. Intensitas lesi Meliputi eritema, edema/papulasi, krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan xerosis yang dinilai dengan skor (0-3) 3. Keluhan penderita Yaitu gatal dan gangguan tidur yang dinyatakan dengan skor (0-10) untuk masing-masing kriteria Dari ketiga kategori di atas dapat dihitung indeks SCORAD dengan rumusan A/5+7B/2+C. Pada penelitian ini derajat keparahan DA dapat dibagi dalam 3 kategori yang pertama derajat ringan dengan nilai < 25, derajat sedang dengan nilai 25-50 dan derajat berat dengan nilai > 50 (Oranje dkk., 2007)
31
2.8 Penatalaksanaan Agar penatalaksanaan DA bisa berhasil dengan baik, memerlukan pendekatan yang sistematik yang meliputi hidrasi kulit, terapi farmakologi, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus terjadinya DA seperti iritan, alergen, agen infeksi dan stres emosional. Banyak faktor yang mencetuskan gejala DA sehingga pemilihan terapi harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing penderita. Pada pasien yang tidak mempan dengan terapi konvensional, agen antiinflamasi alternatif dan imunomodulator mungkin diperlukan (Boguniewicz dkk.,2008; Leung dkk., 2012). 2.8.1 Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus Penderita DA lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal garuk, seperti misalnya sabun atau deterjen, bahan kimia, rokok, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin dan kelembaban yang ekstrim. Alkohol bersifat mengeringkan. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan pH nya netral. Pakaian baru hendaknya dicuci sebelum digunakan untuk mengurangi formaldehid atau bahan iritan lain. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik sebab sisa deterjen dapat bersifat iritan. Stres psikis juga dapat mengakibatkan ekaserbasi DA. Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar, misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat, pakaian terlalu tebal atau ketat, kebersihan kurang terutama di daerah popok, infeksi lokal, iritasi oleh kencing atau feses. Pada bayi perlu diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia, bila basah atau kotor popok segera diganti.
32
Jangan memakai bahan yang bersifat iritan (misalnya wol/sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga agar tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau garukan. Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab dan bersifat hipoalergenik, hindari pembersih antibacterial karena menginduksi resistensi. Anak-anak diupayakan agar bisa tetap aktif seperti normal. Beberapa jenis olahraga lebih dapat ditoleransi, seperti misalnya berenang daripada olahraga lain yang berkeringat banyak, namun bila selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin biasanya digunakan pada kolam renang. Walaupun sinar ultraviolet (UV) bias berguna untuk beberapa pasien DA, tabir surya seharusnya tetap digunakan untuk mencegah luka bakar, namun karena tabir surya dapat bersifat iritatif, pilihlah produk yang bersifat noniritan (Boguniewicz dkk., 2008; Leung dkk., 2012). 2.8.2 Terapi topikal 2.8.2.1 Hidrasi kulit Kulit penderita DA cenderung kering, terjadi gangguan fungsi sawar kulit, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen sehingga perlu diberikan pelembab. Pengunaan pelembab membantu menjaga fungsi sawar stratum korneum dan dapat mengurangi pengunaan glukokortikoid topikal (Boguniewicz dkk., 2008; Leung dkk., 2012). 2.8.2.2 Kortikosteroid topikal Kortikosteroid topikal adalah terapi utama yang memiliki efek antiinflamasi pada lesi kulit eksematosa. Mengingat efek sampingnya yang cukup banyak,
33
kortikosteroid topikal lebih banyak digunakan hanya untuk mengatasi ekaserbasi akut pada DA. Namun, penelitian terbaru menyatakan bahwa bila DA telah dikontrol dengan kortikosteroid topikal, untuk kontrol jangka panjang dapat digunakan 2 kali seminggu pada area yang sudah sembuh namun cenderung untuk mengalami lesi. Pada bayi digunakan salep steroid berpotensi rendah. Pada anak dan dewasa, dipakai steroid potensi sedang, kecuali pada muka digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid potensi rendah juga dipakai pada daerah genitalia dan intertriginosa. Terdapat tujuh kelas kortikosteroid topikal, yang disusun berdasarkan potensinya sesuai kemampuan vasokonstriksinya. Mengingat efek samping yang tinggi, kortikosteroid potensi super poten sebaiknya digunakan untuk waktu yang sangat singkat dan pada area yang mengalami likenifikasi, namun jangan pada wajah ataupun area intertriginosa. Penggunaan pelembab dapat membantu hidrasi kulit sehingga dapat digunakan kortikosteroid potensi rendah untuk terapi pemeliharaan. Kortikosteroid potensi sedang dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama untuk pengobatan DA kronis pada badan dan ekstriminasi. Efek samping bisa bersifat lokal maupun sistemik akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Efek samping lokal meliputi pembentukan striae, atrofi kulit, perioral dermatitis dan rosasea (May dkk., 2008; Leung dkk., 2012; ). 2.8.2.3 Penghambat kalsineurin topikal Takrolimus
dan
pimekrolimus
topikal
telah
dikembangkan
sebagai
imunomodulator nonsteroid. Takrolismus dalam bentuk salep 0,03% telah teruji untuk digunakan pada pengobatan DA sedang-berat pada anak berumur 2 tahun atau
34
lebih tua, sedangkan salep takrolimus 0,1% digunakan untuk dewasa. Krim pimekrolimus 1% dapat digunakan untuk pengobatan pasien usia dua tahun lebih dengan Da ringan-sedang. Kedua obat ini terbukti efektif dengan tingkat keamanan untuk pengobatan hingga empat tahun dengan salep takrolimus dan mencapai dua tahun untuk krim pimekrolimus. Efek sampingnya adalah rasa terbakar sementara pada kulit. Pengobatan dengan penghambat kalsineurin tidak mengakibatkan atrofi kulit sehingga dapat digunakan untuk pengobatan pada area wajah dan intertriginosa (Leung dkk., 2012). 2.8.2.4 Preparat ter Preparat ter dari batu bara memiliki efek antipruritus dan antiinflamasi pada kulit, meskipun tidak sekuat efek kortikosteroid topikal. Preparat ter berguna untuk mengurangi potensi kortikosteroid topikal
yang diperlukan selama terapi
pemeliharaan DA kronis. Preparat ter jangan digunakan pada lesi akut karena dapat mengakibatkan iritasi kulit. Efek samping preparat ter yaitu folikulitis dan fotosensitif. Sediaan dalam bentuk salep hidrofilik, misalnya yang mengandung likuor karbonas deterjen 5%-10% atau crude coal tar 1%-5% (Leung dkk., 2012). 2.8.3 Pengobatan sistemik 2.8.3.1 Kortikosteroid Kortikosteroid oral seperti prednison jarang digunakan untuk pengobatan DA kronis. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, jangka pendek dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate) atau diturunkan bertahap (tappering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid
35
topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping dan bila dihentikan lesi yang lebih berat dapat memicu muncul kembali (Leung dkk., 2012) 2.8.3.2 Antihistamin Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama pada malam hari yang menggangu tidur. Oleh karena itu, dipilih antihistamin yang memiliki efek sedatif. Pada kasus yang lebih sulit diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblok reseptor H1 dan H2 dengan dosis 10-75 mg secara oral pada malam hari pada orang dewasa. Penelitian mengenai antihistamin golongan yang lebih baru, non sedatifmenunjukkan hasil yang bervariasi mengenai keefektifannya untuk mengontrol pruritus pada penderita DA, namun pengobatan ini berguna untuk penderita DA dengan urtikaria dan rinitis alergi (Leung dkk., 2012). 2.8.3.3 Anti infeksi Pada DA terjadi peningkatan kolonisasi S. aureus. Dapat diberikan eritromisin, azitromisin, atau klaritromisin untuk yang belum resisten, sedangkan untuk yang sudah resisten dapat diberikan dikloksasilin, oksasilin atau sefalosporin generasi pertama. Bila terjadi infeksi virus herpes simpleks, kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan asiklovir (Leung dkk., 2012). 2.8.3.4 Interferon Gamma Interferon-y menekan respon IgE dan menurunkan proliferasi dan fungsi sel Th2. Berkurangnya keparahan DA terkait dengan kemampuan Interferon-y untuk
36
mengurangi jumlah eosinofil total dalam sirkulasi. Efek samping adalah gejala seperti flu (Leung dkk., 2012). 2.8.3.5 Antimetabolit Mycophenolate mofetil adalah inhibitor biosintesis purin yang digunakan sebagai imunosupresan pada transplantasi organ dan telah digunakan sebagai pengobatan penyakit kulit inflamasi yang refrakter. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian mycophenolate mofetil oral dua gram perhari sebagai monoterapi dapat mengatasi lesi kulit pada DA yang resisten terhadap pengobatan lain termasuk steroid oral dan tropikal serta psoralen dan ultraviolet A (UVA). Pengobatan harus digunakan untuk DA yang parah, dihentikan bila penderita tidak merespon pengobatan dalam empat sampai delapan minggu. Methotrexate adalah antimetabolit yang merupakan inhibitor poten pada sintesis sitokin inflamasi dan kemotaksis sel. Metotreksat telah digunakan pada penderita DA yang refrakter, namun uji klinisnya masih kurang. Azatioprin adalah analog purin dengan efek antiinflamasi dan antiproliferasi yang telah digunakan untuk DA yang parah, walaupun belum dilaporkan pada uji klinis. Efek samping adalah supresi sumsum tulang (Leung dkk., 2012). 2.8.3.6 Siklosporin Siklosporin merupakan obat imunosupresif poten yang terutama bekerja pada sel T dengan menekan transkripsi sitokin. Obat terikat pada cyclophilin, suatu protein intraseluler dan kompleks ini selanjutnya menghambat calcineurin, molekul yang diperlukan untuk memulai transkripsi gen sitokin. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dan dewasa yang dengan DA yang berat, refrakter terhadap
37
pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan siklosporin jangka pendek. Namun, bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakit akan segera kambuh kemabli. Efek samping yang dapat terjadi adalah peningkatan kreatinin serum, gangguan ginjal dan hipertensi (Leung dkk., 2012). 2.8.4 Terapi sinar (Fototerapi) Sinar matahari alami bermanfaat pada penderita DA. Namun pada suhu atau kelembaban tinggi dapat merangsang timbulnya keringat dan gatal. Sinar UVA dan ultraviolet B (UVB) dapat digunakan sebagai terapi tambahan DA. Untuk DA yang berat dan luas dapat digunakan psoralen dan UVA atau (PUVA). Terapi dengan UVB dengan ter juga efektif. Sinar UVA bekerja pada sel langerhans, sedangkan UVB memiliki efek imunosupresif dengan memblok fungsi sel langerhans dan mengubah produksi sitokin sel keratinotasi. Efek samping jangka pendek meliputi eritema, perih, gatal dan pigmentasi, sedangkan efek samping jangka panjang adalah penuaan kulit dini dan keganasan kulit (Leung dkk., 2012). 2.9 Prognosis Prognosis DA pada seseorang sulit untuk ditentukan, penyakit cenderung menjadi lebih parah dan menetap pada anak-anak. Periode remisi sering terjadi pada orang yang bertambah dewasa. Penyembuhan spontan DA yang terjadi sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur lima tahun sebesar 40-60%, terutama bila penyakitnya ringan. Sebelumya dilaporkan bahwa 84% DA anak berlangsung sampai remaja. Lebih dari setengah remaja dewasa yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik pada DA
38
seperti DA luas pada anak, menderita rinitis alergi atau asma bronkial, riwayat DA pada orang tua atau saudara kandung, onset DA pada usia muda, anak tunggal dan kadar IgE serum sangat tinggi. Diperkirakan 30-50% DA infantil akan berkembang menjadi asma bronkial atau hay fever (Leung dkk., 2012). 2.10 Hubungan pH Kulit dengan Dermatitis Atopik 2.10.1 pH kulit Mekanisme proteksi epidermal yang merupakan salah satu bagian dari sistem antimikrobial adalah keasaman kulit (pH) (Behne dkk. 2002). Rendahnya nilai pH (keasaman) pada kulit yang terjadi karena adanya subtansi asam pada permukaan kulit (Rieger, 1989). Faktor yang menentukan keasaman permukaan kulit adalah keringat (pH 4,0 sampai 6,75) dan asam lemak dari sebum (Harry, 1975; Gunathilake dkk., 2009). Sebum yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea, mempunyai komposisi terdiri dari trigliserida 50 sampai 55%, ester malam 25 sampai 30%, skualen 10 sampai 15% serta sejumlah kecil kolesterol dan ester kolesterol. Pada sebum yang baru dieksresi tidak ditemukan asam lemak bebas. Asam lemak bebas ditemukan pada permukaan kulit sebagai hasil hidrolisis trigliserida oleh bakteri di kanalis folikularis dan di permukaan kulit (Strauss, 1991). Nilai pH ditemukan oleh konsentrasi ion hidrogen (H+, proton) dan ion hidroksida (OH+) (Hachem dkk., 2003). Reaksi disosiasi air adalah H2O ↔ H+ + OH- yang menjelaskan bahwa H+ adalah ion hidrogen bermuatan positif yang bersifat asam dan OH- adalah ion hidroksida bermuatan negatif yang bersifat basa.
39
Definisi pH adalah logaritma negatif dari kosentrasi molar ion H+ atau pH = log [H+]. Nilai pH berskala 0 (asam kuat) sampai dengan 14 (basa kuat) dengan nilai netral 7 (Rieger, 1989; Hachem dkk., 2003). Schade dan Machionini pada tahun 1928 menyatakan bahwa pH permukaan kulit berkisar 3,0 sampai dengan 5,0 yang disebut sebagai acid mantle yang merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri dan jamur. Berbagai hasil penelitian yang lain menunjukan nilai pH yang beragam berkisar antara 3,5 sampai 6,5 (Klein,1992). Nilai pH dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis kelamin, umur, bagian tubuh yang diperiksa, penggunaan sabun dan pemakaian kosmetik. Pada lakilaki nilai pH permukaan kulitnya sedikit lebih rendah dibanding perempuan dan nilai pH akan meningkat dengan bertambahnya umur (Klein dkk, 1992). Berdasarkan lokasi, nilai pH pada wajah lebih tinggi daripada lengan bawah (Kober,1992; Tranggono dan Purwoko,1989) dan kulit yang terbuka mempunyai pH antara 5 sampai 6, sedangkan daerah intertriginosa netral atau sedikit alkali (Ray dkk, 1992). Nilai pH juga akan meningkat bila beberapa saat sebelumnya kulit dicuci dengan sabun (Kober, 1992) atau karena pemakaian kosmetik (Klein dkk, 1992). Beberapa peneliti dari Jerman yang pertama kali menyimpulkan bahwa kulit dilapisi oleh acid mantle yang berperan untuk kesehatan kulit dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit (Rippke dkk., 2002). Konsep ini tidak sepenuhnya diterima oleh para peneliti Amerika dan sebagian peniliti Eropa. Para peneliti ini berpendapat bahwa tidak adanya bakteri dalam jumlah besar pada kulit normal disebabkan keadaan lingkungan yang tidak mendukung. Beberapa peneliti
40
Eropa masih berpendapat bahwa pH yang rendah pada kulit mencegah pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri (Rieger, 1989).
Gambar 2.2 Peran pH kulit pada sistem sawar kulit (Ellias dan Feingold 2006). Pengukuran pH kulit dapat dilakukan secara elektrometrik dengan menggunakan elektroda kaca (Rieger, 1989). Pengukuran pH kulit tidak banyak dipengaruhi oleh suhu maupun kelembaban udara. Kondisi banyak keringat atau aplikasi produk– produk kosmetik akan mempengaruhi hasil pengukuran nilai pH kulit. Kulit memerlukan waktu lima jam untuk kembali ke nilai pH normal sesudah pemakaian sabun pada kulit atau pemakaian produk kosmetik. Lokasi pengukuran pH lebih sering disukai pada daerah punggung tangan, lengan, dahi dan pipi, walaupun area kulit yang lain juga dapat diukur. Nilai pH berkisar antara 0 (asam kuat) sampai dengan 14 (basa kuat) (Kober, 1992).
41
2.10.2 pH kulit pada dermatitis atopik Pada kulit penderita DA terjadi peningkatan pH atau bergeser kearah alkali. Schafer dkk. Pada tahun 2000 mendapatkan nilai pH lebih tinggi secara bermakna (p = 0,029) pada DA (5,32) dibanding tanpa DA (5,12). Didapatkan pula bahwa peningkatan pH pada DA menggambarkan kekeringan kulit, karena didapatkan pula peningkatan pH yang bermakna (p = 0,004; r = 0,0147) dihubungkan dengan kekeringan kulit, yaitu pH 5,12 ± 0,45 pada kelompok tanpa kekeringan kulit dan pH 5,4 ± 0,35 pada kelompok dengan kekeringan kulit yang berat (Schafer dkk, 2000). Penelitian yang dilakukan Schaefer dkk (2000) terhadap anak–anak sekolah dasar, mendapatkan bahwa pH permukaan kulit secara signifikan lebih tinggi pada kelompok DA dibanding kelompok non DA. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Seidenari dan Giusti (1995), bahwa pH kulit pada lesi sebesar 5,54 dan pada kulit non lesi pada penderita DA sebesar 5,23, sedangkan pada kulit non DA didapat 4,86. Terdapat juga peningkatan bermakna dari nilai pH kulit terkait dengan kekeringan kulit, yaitu pH 5,12 ± 0,45 pada kelompok tanpa kekeringan kulit dan pH 5,4 ± 0,35 pada kelompok dengan kekeringan kulit yang berat (Schaefer dkk, 2000).