BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Intensive Care Unit Intensive care unit (ICU) merupakan suatu area yang sangat spesifik dan canggih di rumah sakit dimana desain, staf, lokasi, perlengkapan dan peralatan, didedikasikan untuk mengelola pasien dengan penyakit kritis, luka dan komplikasi yang telah nyata terjadi maupun berpotensi untuk terjadi yang mengancam kehidupan. Ruang ICU menyediakan pelayanan keahlian dan fasilitas khusus yang berfungsi untuk mendukung tanda-tanda vital dan menggunakan staf kesehatan yang telah berpengalaman mengatasi permasalahan tersebut (Rungta et al, 2007, Depkes RI, 2006). Ruang ICU memberikan pelayanan berupa diagnosa dan penatalaksanaan spesifik penyakit akut yang mengancam nyawa dan berpotensi menimbulkan
kematian
dalam
beberapa menit
ataupun
beberapa hari.
Memberikan bantuan untuk fungsi vital tubuh, pemenuhan kebutuhan dasar, pemantauan fungsi vital, penatalaksanaan komplikasi dan memberikan bantuan psikologis pada pasien yang bergantung pada orang lain ataupun mesin (Depkes RI, 2006). Staf yang ada di ICU terdiri dari multidisiplin tim yang berdedikasi, bermotivasi tinggi, siap bekerja di bawah tekanan dalam jangka waktu yang lama. Staf yang bekerja di ICU merupakan salah satu komponen yang sangat penting. Mereka harus mampu bekerja dalam tim dan memiliki kualitas. Tim di ICU terdiri dari intensivist, dokter jaga, perawat, ahli gizi, ahli terapi pernafasan, ahli fisioterapi,teknisi, ahli program computer, farmasi, pekerja sosial, arsitek, staf
Universitas Sumatera Utara
pendukung lainnya seperti petugas kebersihan dan penjaga keamanan. Kepala arsitek yang bekerja harus berpengalaman dalam menata ruang-ruang dalam rumah sakit dan penataan fungsi-fungsi ruang dalam rumah sakit (Rungta et al, 2007, Society of Critical Care Medicine, 1995). 2.1.1
Klasifikasi Pelayanan ICU Pelayanan di ruang ICU diklasifikasikan menjadi 3, pelayanan ini
didasarkan pada fasilitas yang ada pada ICU. Pembagian ruang ICU meliputi ruang ICU primer, sekunder, dan tersier (Depkes RI, 2006). 2.1.1.1 ICU Primer Ruang ICU primer disarankan untuk rumah sakit distrik kecil. Merupakan ruang perawatan intensif
yang memberikan pelayanan pada pasien yang
memerlukan perawatan ketat. Idealnya
memiliki 6-8 tempat tidur, mampu
memberikan bantuan ventilasi kepada pasien setidaknya minimal 24-48 jam. Ruang ICU memiliki ruang tersendiri yang berdekatan dengan kamar bedah, ruang gawat darurat dan ruang rawat pasien. Pasien yang masuk dan keluar memiliki kriteria tertentu. Kepala ICU primer merupakan seorang anasteologi, memiliki dokter jaga 24 jam dengan kemampuan resusitasi jantung. Ruang ICU ini juga harus memiliki seorang konsulen yang siap dipanggil. Perawat yang bertugas di ICU, minimal sebanyak 25% memiliki sertifikat ICU.
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.2 ICU Sekunder Ruang ICU sekunder disarankan untuk rumah sakit yang lebih besar. Memiliki 6-12 tempat tidur, memiliki intensivist sebagai kepala ICU. Ruang ICU terletak berdekatan dengan kamar bedah, ruang darurat, dan ruang rawat lainnya. Memiliki kriteria pasien masuk, keluar, dan rujukan. Tersedia dokter spesialis sebagai konsultan yang dapat menanggulangi setiap saat bila diperlukan. Perawat yang bertugas di ICU, minimal sebanyak 50% telah bersertifikat ICU dan minimal berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3 tahun. Memiliki kemampuan memberikan bantuan ventilasi mekanis dalam batas tertentu, melakukan pemantauan invasive dan usaha-usaha penunjang hidup. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi. Memiliki ruang isolasi dan mampu melakukan prosedur isolasi. 2.1.1.3 ICU Tersier Ruang perawatan ini mampu melaksanankan semua aspek perawatan intensif, mampu memberikan pelayanan yang tertinggi termasuk dukungan atau bantuan hidup multisistem yang kompleks dalam jangka waktu yang tidak terbatas serta mampu melakukan bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan kardiovaskular invasive dalam jangka waktu yang terbatas. Kekhususan yang dimiliki ICU tersier berupa tempat khusus tersendiri di dalam rumah sakit. Memiliki kriteria pasien yang masuk keluar dan rujukan. Memiliki dokter spesialis dan sub spesialis yang dapat dipanggil setiap saat bila diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
Memiliki seorang anasteologi konsultan intensive care atau dokter ahli konsultan intensive care yang lain yang bertanggung jawab secara keseluruhan. Dokter jaga yang minimal mampu resusitasi jantung paru. Perawat yang bertugas, minimal sebanyak 75% bersertifikat ICU dan minimal berpengalaman kerja di unit
penyakit dalam dan bedah 3 tahun. Mampu melakukan semua bentuk
pemantauan dan perawatan intensif baik invasive maupun non invasive. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi. Memiliki paling sedikit seorang yang mampu mendidik medik dan perawat, serta memiliki tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi, tenaga rekam medik, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian. 2.2 Kolaborasi Kolaborasi merupakan hubungan kerja yang memiliki tanggung jawab bersama dengan penyedia layanan kesehatan lain dalam pemberian asuhan pasien, dimana masing-masing pihak menghargai kekuasaan pihak lain, dengan mengenal dan menerima lingkup kegiatan dan tanggung jawab masing-masing yang terpisah maupun bersama, saling melindungi kepentingan masing-masing dan adanya tujuan bersama yang diketahui kedua belah pihak (ANA 1992 dalam Kozier 2010, Siegler & Whitney, 1999). Kolaborasi antara perawat dan dokter merupakan proses interaksi yang sangat kompleks diantara professional yang berbeda. Kesembuhan pasien merupakan tujuan dari kolaborasi diantara keduanya (Parbury & Liaschenko, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2.1
Elemen-Elemen Kolaborasi a. Struktur Siegler & Whitney (1999) menyebutkan ada tiga model praktik kolaborasi,
yakni model praktik hirarkis, model praktik kolaboratif, dan pola praktik kolaboratif. Model praktik hirarkis merupakan pola yang menekankan komunikasi satu arah, antara pasien dengan dokter terdapat kontak yang terbatas, dan dokter merupakan tokoh yang dominan. Model praktik kolaboratif menekankan komunikasi dua arah, tetapi tetap menempatkan dokter pada posisi utama dan membatasi hubungan antar dokter dan pasien. Model ketiga, pola praktik kolaboratif merupakan pola yang berbeda. Pola ini menekankan orientasi kepada pasien, semua pemberi layanan harus saling bekerja sama, juga dengan pasien. Pola ini melingkar, menekankan kontinuitas, kondisi timbal balik satu dengan yang lain dan tak ada satu pemberi layanan yang mendominasi secara terus menerus. b. Proses Kolaborasi terbentuk saat seseorang berusaha memuaskan kebutuhannya sendiri dan kebutuhan pihak lain secara maksimal. Ciri khas yang ada dalam proses kolaborasi meliputi kerjasama, koordinasi, saling berbagi, kompromi, rekanan, saling ketergantungan, dan kebersamaan. c. Hasil Akhir Dalam berbagai penelitian kolaborasi, hasil akhir merupakan komponen yang paling sering diabaikan. Baggs dan Schmitt (1988) menyatakan bahwa hasil
Universitas Sumatera Utara
akhir berada di luar jangkauan kolaborasi dan kolaborasi dapat dicapai dengan proses berbagi saja. Kolaborasi memang tidak dapat diukur hanya menggunakan hasil akhir. Namun hasil akhir juga merupakan peranan penting dalam kolaborasi. Sulit melakukan kolaborasi apabila tidak ada hasil akhir yang ingin dicapai. Hasil akhir antara keefektifan kolaborasi dengan hasil akhir yang mendefenisikan kolaborasi merupakan dua hal yang sangat berbeda. Keefektifan kolaborasi biasanya hasil akhirnya berupa kualitas hidup, mortalitas, dan biaya. 2.2.2 Indikator Kolaborasi Pelaksanaan kolaborasi yang efektif memerlukan pengetahuan tentang indikator kolaborasi. Ada empat buah indikator kolaboratif, yakni kontrol kekuasaan, lingkup praktik, kepentingan bersama, dan tujuan bersama. Kontrol kekuasaan adalah keadaan dimana dokter dan perawat dapat menyadari kewenangan masing-masing dan mengkomunikasikannya dengan baik kepada anggota timnya. Kewenangan dokter menurut UU Praktek Kedokteran no. 29 tahun 2004 pasal 35 antara lain mewawancarai pasien, memeriksa fisik dan mental pasien, menentukan pemeriksaan penunjang, menegakkan diagnosis, menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien, melakukan tindakan kedokteran, menuliskan resep, dan menerbitkan surat keterangan dokter UU no. 29). Kewenangan perawat sendiri diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
HK.02.02/MENKES/148/1/2010
Tentang
Izin
dan
Penyelenggaraan Praktik Keperawatan dalam Bab III disebutkan bahwa perawat dalam prakteknya berwenang melakukan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan tindakan
Universitas Sumatera Utara
keperawatan, dan evaluasi, tindakan keperawatan tersebut meliputi intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang telah disebutkan, harus sesuai dengan standart asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi ( Permenkes 148). Lingkup praktek merupakan bagian yang menunjukkan kegiatan dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dokter memang berbagi lingkungan praktek dengan perawat, namun dokter tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan. Di sisi lain, perawat masih sering menempatkan diri di bawah dokter, sebagai tenaga vokasional yang bertindak di bawah perintah dokter. Dalam membangun tanggungjawab bersama, perawat dan dokter harus dapat merencanakan dan mempraktekkan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta menghargai orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat. Peneliti yang menganalisa kepentingan bersama sebagai indikator kolaborasi antara perawat dan dokter seringkali menanggapi dari sudut pandang perilaku organisasi. Para teoris ini menjabarkan kepentingan bersama secara operasional menggunakan istilah tingkat ketegasan masing-masing (usaha untuk memuaskan sendiri) dan faktor kerja sama (usaha untuk memuaskan kepentingan pihak lain). Tujuan manajemen penyembuhan sifatnya lebih terorientasi kepada pasien dan dapat membantu menentukan bidang tanggung jawab yang erat kaitannya dengan prognosis pasien. Ada tujuan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab perawat, ada yang dianggap sebagai tanggung jawab sepenuhnya dari dokter, ada
Universitas Sumatera Utara
pula tujuan yang merupakan tanggung jawab bersama antara dokter dan perawat (Siegler & Whitney, 1999). 2.2.2 Kompetensi Dasar Kolaborasi Kompetensi
dasar untuk
kolaborasi
meliputi
adalah
ketrampilan
komunikasi efektif, saling menghargai, rasa percaya, dan proses pembuatan keputusan. Kolaborasi untuk memecahkan masalah kompleks membutuhkan ketrampilan komunikasi efektif. Komunikasi yang efektif dapat terjadi hanya bila pihak yang terlibat berkomitmen untuk saling memahami peran profesional dan saling menghargai sebagai individu. Selain itu, mereka harus peka terhadap perbedaan gaya komunikasi. Alih-alih berfokus pada perbedaan, kelompok profesional perlu memusatkan perhatian pada kesamaan mendasar mereka yakni kebutuhan klien. Saling menghargai terjadi saat dua orang atau lebih menunjukkan atau merasakan rasa hormat atau mengargai satu sama lain. Rasa percaya terbina saat seseorang merasa percaya terhadap tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Saling menghargai dan rasa percaya keduanya menyiratkan proses dan hasil bersama. Keduanya harus diekspresikan baik secara verbal maupun non verbal. Proses pembuatan keputusan dalam tim mencakup tanggung jawab bersama terhadap hasil. Untuk menemukan solusi, tim tersebut harus mengikuti tiap langkah pembuatan keputusan, yang diawali dengan defenisi yang jelas dari masalah. Pembuatan keputusan tim harus diarahkan untuk mencapai tujuan upaya tertentu. Pembuatan keputusan membutuhkan pertimbangan penuh dan saling menghargai sudut pandang yang berbeda. Anggota harus mampu mengatakan perspektif mereka dalam lingkungan yang tidak mengancam.
Universitas Sumatera Utara
Aspek penting pembuatan keputusan terpenuhi ketika tim interdisiplin berfokus pada prioritas kebutuhan klien dan mengatur intervensi berdasarkan kebutuhan tersebut. Disiplin ilmu yang paling dapat memenuhi kebutuhan klien diberi prioritas dalam menyusun perencanaan dan bertanggung jawab memberikan intervensinya sesuai waktu. Sebagai contoh, petugas dinas sosial mungkin yang pertama kali memberikan perhatian terhadap kebutuhan sosial klien saat kebutuhan tersebut menggangu kemampuan klien untuk berespon terhadap terapi. Perawat, berdasarkan sifat praktik mereka yang holistik, sering kali mampu membantu tim dalam mengidentifikasi prioritas dan area yang membutuhkan perhatian lebih jauh (Kozier, 2010). 2.2.4
Elemen Kolaborasi Efektif Kolaborasi yang efektif dapat dicapai dengan elemen-elemen berupa
adanya kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, otonomi, kordinasi, tujuan umum serta mutual respect. Kerjasama berarti menghargai pendapat orang lain, bersedia untuk memeriksa beberapa alternatif pendapat dan bersedia merubah kepercayaan. Asertifitas adalah kemauan anggota tim kolaborasi untuk menawarkan informasi, menghargai pendekatan masing masing disiplin ilmu dan pengalaman individu,individu dalam tim mendukung pendapat yang lain, menjamin bahwa pendapat masing – masing individu benar-benar didengar dan adanya konsensus bersama yang ingin dicapai. Tanggung jawab disini berarti masing – masing individu harus mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil kesepakatan bersama dan harus terlibat dalam pelaksanaannya, mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang telah dibuat,baik tanggung jawab masing – masing individu sebagai profesi,
Universitas Sumatera Utara
maupun tanggung jawab bersama sebagai satu tim dalam pengelolaan pasien. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota harus untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis, secara terbuka mampu untuk mengemukakan ide-ide dalam pengambilan keputusan pengelolaan pasien. Otonomi mencakup kemandirian (independent) anggota tim dalam batas kompetensinya. Otonomi bukan berarti berlawanan dari makna kolaborasi. Justru dengan otonomi masing masing profesi mempunyai kebebasan mempraktekkan ilmu dan mengelola pasien sesuai kompetensi masingmasing. Kordinasi diperlukan untuk efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan. Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien. Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam tim dari pada menyalahkan seseorang atau atau menghindari tangung jawab. Mutual respect and trust, Norsen (1995) menyarankan konsep ini dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa percaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi, otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi (Rumanti, 2009). 2.3 Kolaborasi Perawat dan Dokter di Ruang ICU
Universitas Sumatera Utara
Area keperawatan kritis khususnya ICU merupakan satu area yang terbukti membantu memahami kolaborasi antara perawat dan dokter. Kolaborasi di ruang ICU tidak terbentuk secara spontan, namun membutuhkan proses sama seperti unit lainya. Kolaborasi di ruang ICU bersifat unik. Pasien di ICU kondisinya lebih parah dibanding dengan pasien di unit lain, sehingga masalah yang ada lebih kompleks dibanding unit lainnya. Pelayan kesehatan perlu diskusi hangat tentang kondisi pasien, apakah perlu diberi tindakan, apakah perlu dirujuk, ataupun penghentian terapi sama sekali. Kolaborasi di ruang ICU memberikan dampak positif terhadap pasien. Penelitian membuktikan adanya hubungan positif antara kolaborasi pelayan kesehatan di ICU dengan tingkat mortalitas, mortalitas prediksi, dan rawat ulang pasien. Kolaborasi juga berdampak terhadap kepuasan kerja. Namun stres perawat di ICU juga mempengaruhi kepuasan kerja tersebut (Siegler & Whitney, 1999). 2.4 Fenomenologi Fenomenologi merupakan sebuah studi yang bersumber dari tradisi filosofi yang dicetuskan oleh Husserl dan Heidegger yang menggunakan pendekatan memahami pengalaman hidup manusia. Pertanyaan utama dalam studi fenomenologi adalah apa yang menjadi fenomena dalam pengalaman orang-orang dan apa esensinya ( Polit & Beck, 2004). Ahli fenomenologi percaya bahwa pengalaman hidup memberikan makna kepada persepsi tiap orang sebagai fakta fenomenologi. Mereka percaya keberadaan manusia penuh makna dan menarik karena kesadaran mereka akan keberadaannya. Perwujudannya merupakan konsep yang menjawab dan mengikat
Universitas Sumatera Utara
fisik mansia dengan dunianya. Mereka berpikir, melihat, mendengar, merasakan, dan menyadari interaksi mereka dengan dunia (Polit, Beck, & Hungler, 2001).
Universitas Sumatera Utara