BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. CEDERA KEPALA 2.1.1. Definisi Cedera Kepala Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif–non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksternal yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen dan bisa juga menyebabkan kelumpuhan sampai kematian. Cedera kepala sedang merupakan cedera kepala dengan skala koma glassgow 9 – 12 (Osborn et al, 2003).
2.1.2 Epidemiologi Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian, terutama pada dewasa muda dan penyebab utama kecacatan. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 atau 4 kali lebih sering dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).
8
9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (Peteret al 2009) 2.1.3.1.
Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera cedera kepala. Kulit kepala terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, jaringan ikat longgar dan perikranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.
2.1.3.2.
Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi: 1. Fraktur Linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. 2. Fraktur diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat.
10 3. Fraktur kominutif Fraktur komunitif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur. 4. Fraktur impresi Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat. 5. Fraktur basis cranii Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign (Fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur kranii fossa media).
11 2.1.4
Cedera Otak Fokal dan Diffuse
Tobing, 2011 mengklasifikasikan cedera otak fokal dan cedera otak diffuse: A. Cedera otak fokal meliputi: 1. Perdarahan Epidural/ Epidural Hematom (EDH) EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis. 2. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut Perdarahan SDH adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (3-6 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya venavena kecil dipermukaan korteks cerebri. 3. Perdarahan subdural kronik atau SDH Kronik SDH kronik adalah terkumpulnya darah di ruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. SDH kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit-sedikit.
12 4. Perdarahan intra cerebral/Intracerebral Hematomn (ICH) Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak ataupembuluh darah kortikal dan subkortikal. 5. Perdarahan subarahnoid traumatik (SAH) Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid dan disebut sebagai perdarahan subarahnoid (PSA).
Gambar 1. Lesi intrakranial (Tomio, 2000).
13 B. Cedera otak diffuse Cedera otak diffuse merupakan terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difuse disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan
adanya
perdarahan
subarahnoid
traumatik
yang
menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai
cedera kepala difuse. Dari gambaran
morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difuse dikelompokkan menjadi (Sadewa, 2011): 1. Cedera akson difuse ( Diffuse aksonal injury ) Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan intiinti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. 2. Kontusio Cerebri Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan
deselerasi. Mekanisme lain yang
menjadi penyebab kontusio cerebri adalah adanya gayacoup dan countercup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang
14 sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. 3. Edema Cerebri Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik. 4. Iskemia cerebri Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau berhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degenerative pembuluh darah otak
2.1.5. Patofisiologi Cedera Kepala Mekanisme cedera otak primer setelah trauma. Cedera primer bisa berhubungan dengan koma yang berkepanjangan dan mempengaruhi respon motorik sebagai degenerasi subcortical matter yang tersebar, yang biasanya disebut sebagai diffused axonal injury ( DAI ). Setelah beberapa minggu setelah injuri axon dan degenerasi wallerian dari fiber tracts maka akan terbentuk sekelompok neuroglia. Secara klinis DAI diperkirakan terjadi karena trauma luas berupa mild concussion dimana tidak ada lesi struktural
15 yang bisa ditunjukkan dan bisa terjadi penyembuhan total secara klinis, koma yang berkepanjangan, bahkan kematian(Andrewset al,2002). Cedera otak primer tidak dapat menjelaskan terjadinya deteriorasi dibandingkan dengan cedera otak sekunder yaitu proses seluler dan biokimiawi yang kompleks yang terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa hari setelah trauma(Jesset al, 2000).
Gambar 02. Neuronal damage (Paragon SC, 2008)
Pada kondisi cedera yang mengalami robekan (shear-force), maka dapat terjadi Diffuse Axonal Injury (DAI) secara menyeluruh yang merusak serat-serat axonal dan selaput myelin. Dan gambaran ini nampak dalam CT scan kepala dan
16 gambaran histopatologis dalam bentuk petechiae dalam substansia alba. Selain itu dapat pula terjadi contusio otak, hematoma (subdural, epidural, intracerebral) dan perdarahan subarachnoid(Andrewset al,2002). Kerusakan pada cedera kepala dapat berupa fokal lesi maupun diffuse, terletak pada area spesifik atau tersebar. Diffuse injury sedikit terlihat pada gambaran
neuroimaging
namun
akan
tampak
jelas
pada
pemeriksaan
histopatologis post mortem secara mikroskopis. Dimana tipe dari diffuse injury dapat berupa concusion atau diffuse axonal injury. Lesi fokal biasa berhubungan dengan fungsi dari kerusakan area yang terjadi, manifestasi berupa gejala hemiparesis atau aphasia. Gambaran fokal lesi yang dapat terlihat pada CT Scan berupaLaserasi Cerebri, Contusio Cerebri (bila darah bercampur dengan jaringan otak), Intrakranial hemoragik (bila darah tidak bercampur dengan jaringan otak). Lesi intra axial berupa Intracerebral hemoragik, dimana perdarahan terjadi pada jaringan otak itu sendiri. Sedangkan yang termasuk lesi extra-axial berupa Epidural Hematome(perdarahan antara skull dan duramater), Subdural Hematome (perdarahan antara duramater dengan arachnoid mater), Subarachnoid Hemoragik (perdarahan antara arachnoid membrane dengan piamater) dan Intraventrikuler Hemoragik (perdarahan didalam ventrikel) (Franco et al, 2000; Andrewset al, 2002).
Mekanisme cedera otak sekunder setelah trauma. Cedera sekunder meliputi kerusakan blood-brain barier, pelepasan faktor inflamasi, kelebihan radikal bebas, pelepasan neurotransmitter glutamate, influks
17 ion calsium dan sodium kedalam neuron, dimana menyebabkan disfungsi dari mitokondria(Jess et al, 2000). Cedera otak bisa berawal dari perkembangan hematom pada intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan iskemia, dan semua hal di atas bisa diperburuk oleh kondisi hipoksia yang sistemik, hipotensi, atau pyrexia. Faktor lainnya pada cedera otak sekunder yaitu terjadi perubahan pada aliran darah ke otak, iskemia(karena insufisiensi blood flow), hipoksia serebri (Insufisiensi oksigen dalam otak), edema serebri(swelling dari otak), dan peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial mungkin hasil dari swelling atau pendesakan masssa dari lesi, seperti hemoragik. Sebagai akibatnya terjadi penurunan tekanan perfusi serebral dimana dapat menimbulkan terjadinya iskhemik biasanya berlangsung dalam 24 jam paska trauma. Ketika tekanan antara tulang meningkat sangat tinggi, itu dapat menyebabkan terjadinya kematian batang otak atau herniasi batang otak(Manleyet al, 2001; Robert, 2003; Moppett, 2007)
18
Gambar 03. Patofisiololgi Cedera Kepala Sekunder.
2.2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Outcome Banyak sekali studi yang meneliti faktor faktor yang mempengaruhi
outcome, di antaranya: Umur, Skor GCS, Reflek Pupil, skor hipoksia, hipotensi, klasifikasi CT Scan, dan Perdarahan Sub arachnoid (Murray et al, 2007; Hukkelhoven et al, 2005; Jennett et al, 1976; Choi et al, 1991;Signorini et al, 1999; Braakman et al, 1980; Quigley etal, 1997; Stablein et al, 1980; Lannoo et al, 2000;Young et al, 1981; Narayan et al, 1981; Fearnside et al,1993; Schaan etal, 2002; Barlow et al, 1984; Andrewset al, 2002; Chantal et al, 2005).
19 Waktu prothrombin juga diidentifikasi sebagai faktor prognostik independent kuat, tetapi data ini hanya ditunjang oleh sedikit pasien pada 3 studi yang relevan (Murray et al, 2007). Dengan meneliti faktor - faktor prognostik tersebut, akan memberikan jalan bagi proyek IMPACT, yang berfokus pada perkembangan dari pendekatan terbaru dari rancangan dan analisis dari uji klinis pada Cedera Kepala Traumatis (Maas et al, 2007; Marmarou et al, 2007).
2.2.1 Demografi Secara demografi faktor usia dan jenis kelamin penderita mempengaruhi outcome penderita cedera kepala sedang. Umur adalah prediktor independen dari outcome pasien (Luerssen et al, 1988; Signoriniet al, 1999; Mosenthal et al, 2002; Hukkelhovenet al, 2003;Mushkudiani et al, 2007).Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa penderita dengan usia lebih muda memiliki prognosis atau outcome yang lebih baik dibandingkan dengan usia yang lebih tua terutama pada usia diatas 65 tahun, ini dikarenakan banyaknya co-morbiditas yang dimiliki oleh penderita sejalan dengan meningkatnya usia, disamping itu juga pada penderita yang lebih tua memiliki daya tahan yang menurun, serta elastisitas pembuluh darah yang menurun pula, serta respon yang lebih buruk terhadap anemia (Tokutomi et al, 2008). Pasien yang lebih tua memiliki
angka
kematian
yang
lebih
tinggi
dan
memiliki
favorableoutcome yang lebih rendah. Kejadian cedera sistemik multiple jarang terjadi pada pasien yang lebih tua. Terjadinya variasi dari jenis lesi
20 intrakranial sesuai dengan usia mungkin disebabkan oleh perbedaan antara otak usia muda dan usia tua pada saat terjadinya cedera otak sekunder. Perubahan dari respon patofisiologisnya sangat berhubungan dengan perkembangan cedera otak sekunder terhadap suatu proses penuaan otak (Tokutomi et al, 2008). Jenis Kelamin dikatakan sebagai yang paling kontroversial
di
antara faktor-faktor yang lain. Walaupun angka insiden penderita cedera kepala didapatkan lebih besar pada laki-laki, namun prognosis atau outcome yang didapatkan lebih buruk pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, namun mekanismenya belum dapat dijelaskan. Pada beberapa penelitian menegaskan kelompok wanita pada observasi multiple mempunyai outcome yang lebih buruk setelah cedera kepala berat (Tate et al, 2001; Slewa-Younan et al, 2008; Macintyre et al, 1999; Ponsford et al, 2008). Pada suatu uji klinis terkontrol didapatkan pada binatang menunjukkan pemulihan yang lebih baik dan fungsi kognitif yang lebih baik di antara betina seteleh cedera kepala dibandingkan kelompok jantan(Bramlett and Dietrich, 2001; O’Connor et al, 2003, Wagner et al, 2004).
2.2.2 Penyebab cedera Meskipun Kepentingan yang paling besar dari penyebab cedera adalah dari segi dan perspektif Kesehatan Masyarakat, Relevansi klinis dari penyebab cedera tidak boleh diremehkan. Tergantung dari Mekanisme
21 dan penyebab cedera, dampak dari cedera terhadap otak mungkin berbeda, dan ini sangat berhubungan dengan konsekuensi langsung dari diagnostik imaging dan manajemen terapinya (Butcheret al, 2007). Terdapat sebuah hubungan univariat yang kuat antara penyebab cedera pasien dan outcome jangka panjang pada pasien cedera kepala sedang sampai berat. Kemungkinan hasil yang lebih buruk bagi mereka yang mengalami kecelakaan dibandingkan dengan oleh karena kekerasan maupun oleh karena jatuh dengan sendirinya. Mereka yang terluka karena olahraga atau rekreasi memiliki outcome yang lebih buruk dibandingkan dengan yang dikarenakan jatuh, sementara untuk kelompok "lain" dan "kecelakaan kerja" kemungkinan hasil yang lebih buruk yang mirip dengan kecelakaan lalu lintas (Butcher et al, 2007).
2.2.3 GCS (Glascow Coma Scale) Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada tahun 1974 (Teasdaleet al, 1974). Pemeriksaan GCS dilakukan secara luas pada penderita–penderita pada awal cedera kepala terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi (Brickley and Shepherd, 1995; Hudak et al, 2005;Marion and Carlier, 1994; Sternbach, 2000; Vos et al, 2001). Penilaian awal dari GCS sangat penting terutama pada penderita cedera kepala sedang karena berkaitan dengan outcome dari penderita dimana pada penderita cedera kepala sedang dengan nilai GCS awal lebih besar memiliki prognosis outcome yang lebih baik sehingga
22 dalam melakukan observasi penderita tersebut dapat dilakukan lebih ketat pada GCS lebih kecil (Kothari, 2006). Stein menemukan bahwa pasien dengan GCS 13 didapatkan kelainan patologis pada CT Scan Kepala pada 337 dari 997 kasus (33,8%), sedangkan pada 97 dari 899 (10,8%) pasien diindikasikan untuk operasi (Stein, 2001).
2.2.4 Reflek pupil Pemeriksaan respons pupil dapat menyediakan informasi yang berharga dari derajat cedera kepala awal ataupun yang progresif (Andrea et al, 2005). Secara umum, dilatasi dan fiksasi dari pupil menandakan adanya herniasi dan penanda tidak langsung dari cedera batang otak (Rovlias, 2004; Goebert et al, 1970; Jamous et al, 2010). Dilatasi pupil akut pada pasien cedera kepala menandakan kegawat daruratan. Secara tradisional, fenomena ini dipercayai disebabkan oleh herniasi unkus yang merupakan hasil dari edena otak atau suatu lesi masa, yang mengarah ke kompresi dari nervus 3 kranialis (Mauritz et al, 2009). Penyebab lain dari dilatasi pupil adalah penurunan aliran darah ke otak dan kemudian menghasilkan iskemia otak khususnya batang otak (Ritter,et al, 1999).
2.2.5 Hipoksia dan Hipotensi
23 Hipoksia serebral bersama dengan hipotensi adalah faktor yang paling kritis dalam memperparah kerusakan sekunder setelah kejadian cedera kepala, khususnya setelah Cedera Kepala diffuse (McHugh et al, 2007; Miller,1993).
Hipoksia Studi epidemiologis menunjukkan bahwa hingga 44% dari pasien cedera kepala berat, mengalami hipoksia otak, yang berhubungan komplikasi neurologis lain (Jeremitsky et al, 2003). Hipoksia dapat diinduksi oleh hipoperfusi serebral, apneu, dan hipoventilasi yang disebabkan oleh Cedera Otak traumatic yang berhubungan dengan cedera batang otak (Newcombe et al, 2010). Lebih lagi, hipoksia sistemik dapat disebabkan oleh cedera ektrakranial dan seringkali berdampingan dengan cedera kepala seperti sumbatan jalan nafas, trauma tembus paru, kehilangan darah berlebihan (Siegelet al, 1995). Hipoksia juga merupakan tanda seberapa berat cedera otak yang didapat dan dapat menyebabkan kelainan otak sekunder(Manley G, 2001; Gao et al, 2010; Hellewel et al, 2010).
Hipotensi Suatu kejadian tunggal hipotensi berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan 2 kali mortalitas dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa hipotensi (Chesnut et al, 2000). Manley melaporkan tren yang tidak
24 terlalu signifikan dari peningkatan mortalitas pasien dengan GCS < 13 yang mengalami episode tunggal hipotensi selama dirawat di RS (Sistolik <= 90) (Manley et al, 2001). Pada serial penelitian oleh Vassar et al, yang dirancang untuk menekankan pilihan yang optimal dari cairan resusitasi, dalam mengkoreksi hipotensi, berhubungan dengan perbaikan outcome (Vassar et al, 1993). Pentingnya pengukuran MAP dibandingkan dengan tekanan sistolik, harus ditekankan, bukan hanya karena peran dari MAP dalam menghitung tekanan perfusi serebral (CPP) tetapi juga karena kurangnya konsistensi hubungan antara tekanan sistolik dengan MAP membuat perhitungan berdasarkan tekanan sistolik tersebut tidak akurat (Bullock et al, 2007). Cerebral blood flow yang rendah, tekanan oksigen yang rendah dan pelepasan asam amino berhubungan dengan terjadinya iskhemia dan hal tersebut dapat menyebabkan pemicu cascade kerusakan sel. Beberapa sistem yang berpengaruh terhadap gambaran patologis pada cedera kepala yaitu adanya faktor ekstrakranial (disebabkan adanya faktor diluar otak) atau
intrakranial(disebabkan
kerusakan
jaringan
di
dalam
otak)
(Madikians, 2006; Manley, 2001; Moppett, 2007).
2.2.6Gambaran lesi intrakranial Gambaran CT Scan yang ada pada pemeriksaan radiologis sangat mempengaruhi outcome dari penderita cedera kepala sedang, yaitu
25 terutama didasarkan pada jenis fokal lesi yang ada, ukuran besarnya. Dari semua lesi intrakranial yang disebutkan di atas dapat mempengaruhi keadaan umum dari penderita tersebut, dikarenakan terjadinya peningkatan volume intrakranial
karena
adanya hematom
atau
edema
yang
meningkatkan tekanan intrakranial sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran penderita yang dapat dinilai dari penurunan GCS, kondisi tersebut dapat memperburuk keadaan penderita secara umum dan adanya midline shift dapat disebabkan karena peningkatan tekanan volume intrakranial, sehingga stuktur midline nya terdorong ke lateral, menyebabkan cingulate gyrus herniasi di bawah tepi bebas dari falx, sesuai dengan kriteria marshall(Marshallet al, 1991; Robert et al, 2003; Lesko et al, 2012; Chestnut, 2000; Van Dongen et al, 1983; Cordobes et al, 1986; Younget al, 1981; Azian et al, 2001; Eisenberg et al, 1990;Fearnside et al, 1993; Lipper et al, 1985; Pillai et al,2003; Quattrocchi et al, 1991; Servadei et al, 2000).
2.2.7Gangguan faal hemostasis Mekanisme
patofisiologi
koagulopati
pada
cedera
kepala
merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui pasti. Hal ini dikarenakan adanya pelepasan banyak faktor jaringan saat cedera kepala ke sirkulasi tubuh, sehingga menyebabkan abnormalitas koagulasi intravaskular.
Ketidakseimbangan
antara
pembentukan
clot
dan
hiperfibrinolisis menyebabkan hipoperfusi sistemik dan penggunaan
26 antikoagulan dapat berperan menyebabkan koagulopati dan gangguan perdarahan. Hipoperfusi menyebabkan ekspresi trombomodulin endotelial yang mengikat thrombin, sehingga menghambat pembentukan fibrin dari fibrinogen. Selain itu, kompleks trombomodulin-trombin mengaktivasi protein C, yang menghambat plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan faktor koagulasi Va dan VIIIa. Hal ini menyebabkan pelepasan tissue plasminogen activator (tPA) endotelial yang menyebabkan terjadinya fibrinolisis. Pada penderita cedera kepala sering terjadi hipotermia dan asidosis yang berperan dalam memperburuk hemostasis dan gangguan outcome (Greuters, 2011). Selain itu kehilangan darah baik karena trauma cranial maupun sistemik dapat merangsang diathesis hemoragik disebabkan oleh deplesi platelet dan faktor pembekuan darah. Pada Cedera kepala, cedera tersebut dapat merangsang keadaan hiperkoagulasi, baik secara sistemik maupun local pada daerah penumbra dari contusion serebri dengan melepaskan faktor PCTF (Pro-Coagulant Tissue Factor). Peningkatan konsentrasi plasma dari produk degradasi Fibrin/fibrinogen dan 2-plasmin inhibitor dan menurunnya kadar fibrinogen berhubungan dengan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Jackelien et al, 2007; Olson et al, 1989; Selladurai et al, 1997; Bredbackaand Edner, 1994; Hoots, 1997; Miner et al, 1982;Stein et al, 1992).
2.2.8 Hemoglobin
27 Pada cedera kepala akut, hemoglobin rendah mungkin akibat dari kehilangan darah atau pemberian cairan yang berlebihan. Sebagai konsekuensinya, kapasitas membawa oksigen darah akan menurun, dan berpotensi meningkatkan risiko kerusakan iskemik sekunder pada saat aliran darah otak sudah terganggu. Tingkat Hb yang tinggi namun akan meningkatkan viskositas dan kompromi perfusi. Secara teoritis hubungan antara Hb dan hasil mungkin sangat diharapkan. Kami menemukan hubungan linier teru-menerus.Bagaimanapun perlu dicatat bahwa tingkat tinggi Hb yang diamati sangat jarang, dan kemungkinan outcome buruk pada tingkat Hb diatas rentang diamati tidak bisa dikesampingkan. Abnormal nilai Hb rendah yang diamati pada sejumlah pasien (17%) dan terkait dengan parameter lain (misalnya, hipotensi). Anemia adalah masalah umum pada pasien sakit kritis dan berhubungan dengan hasil outcome buruk yang telah didokumentasikanselama bertahun-tahun (du Cheyron et al, 2005; Hebert et al, 1997;Sanchez-Olmedo et al, 2005).
2.2.9Waktu operasi Pasien yang dioperasi dalam waktu 4 jam saat kedatangan di ird mempunyai peluang 2 kali lipat lebih kecil kemungkinan meninggal di rumah sakit dibandingkan mereka yang dioperasi setelah 4 jam dari waktu kedatangan. Waktu operasi secara signifikan mempengaruhi kematian di rumah sakit. Evakuasi tepat waktu hematoma akut dapat pemberita
28 probabilitas kelangsungan hidup yang baik dari trauma kepala (Ju Kim et al,2006; Leach et al, 2009).
2.3. Glasgow Outcome Scale Extended (GOSE) Glasgow outcome scale (GOS) paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak. GOS dikelompokkan dalam lima katagori, yaitu
mati,
persistent
vegetative
state,
ketidakmampuan
yang
berat,
ketidakmampuan sedang dan kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3, 6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas GOS sebagai suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan lamanya koma, beratnya kondisi pada awal trauma (diukur dengan GCS) dan tipe lesi intrakranial(Milleret al, 2005). GOS katagori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik amnesia. Kritikan terhadap GOS relatif tidak sensitif terhadap kondisi. Pasien yang membaik secara signifikan dan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera otak (Narayan et al, 1996). Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond pada tahun 1975. Prognosis pascacedera otak yang didasarkan kapabilitas sosial pasien pascacedera otak dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga mampu menilai prognosis pascakoma traumatik ataupun nontraumatik (Bullock, 2007; Narayan, 2002). Telaah pada penderita adalah sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah cedera otak di Glasgow
29 oleh spesialis saraf dan bedah saraf. Keduanya memutuskan bahwa penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulandan 12 bulan pascatrauma (Jennetet al, 2005). Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori yaitu: (Jennetet al,2005) 1.
Pemulihan baik (good recovery= GR) diberi nilai 5.Pasien dapat berpartisipasi pada kehidupan sosial, kembali bekerja seperti biasa. Pemeriksaa ini dapat disertai komplikasi neurologis ringan, seperti defisit minor saraf kranial dan kelemahan ekstremitas atau sedikit gangguan pada uji kognitif atau perubahan personal.
2.
Ketidakmampuan sedang (Moderate disability=MD, independent but disabled) diberi nilai 4. Kondisi pasien jelas berbeda sebelum cedera dan mampu menggunakan transportasi umum, tetapi tidak dapat bekerja seperti biasa. Pasien defisit memori/perubahan personal, hemiparesis, disfasia, ataksia, epilepsi paska traumatika, atau defisit mayor saraf kranial. Derajat ketergantungan pasien pada orang lain lebih baik dibandingkan dengan lansia dan kemampuan kebutuhan personal sehari-hari dapat dikerjakan tetapi, mobilitas dan kapasitas berinteraksi tidak dapat dilakukan tanpa asisten.
3.
Ketidakmampuan berat (Severe disability=SD, conscious but dependent) diberi nilai 3. Pasien mutlak bergantung pada orang lain setiap saat (memakai baju, makan, dll), paralisis spastik, disfasia, disatria, defisit fisik dan mental yang mutlak memerlukan supervisi perawat/keluarga.
4. Vegetative State=PVS diberi nilai 4. Pasien hanya mampu menuruti perintah ringan saja atau bicara sesaat. Pada perawatan sering ditemukan grasping
30 reflek, withdrawal sebagai pencerminan menuruti perintah, mengerang, menangis, kadang mampu mengatakan tidak sebagai bukti proses kembali berbicara. 5. Meninggal dunia (dead) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah dan memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu distribusi bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati (PVS, Dead) GOSE adalah Suatu skala pengukuran outcome pada cedera kepala yang dipakai untuk menyatakan prognosis, dinilai 3,6,12 dan 24 bulan setelah cedera kepala, yang terdiri dari 8 kategori (Wilson et al, 1998) a. Death : Meninggal b. Vegetative : Vegetatif c. Lower severe disability : memerlukan pertolongan dari orang lain hampr tiap saat sepanjang hari. d. Upper severe disability : Dapat ditinggal dirumah sendiri kurang lebih 8 jam sehari, akan tetapi tidak dapat melakukan perjalanan jauh atau pergi bebelanja tanpa ditemani orang lain. e. Lower moderate disability : Tidak mampu untuk bekerja. f. Upper moderate disability : Penurunan kapasitas bekerja. g. Lower good recovery : Dapat kembali pada kehidupan normal, tetapi memiliki masalah kecil yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
31 h. Upper good recovery : Dapat kembali pada kehidupan normal tanpa ada masalah yang berhubungan dengan trauma kepala yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari
2.4. Validitas Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dankecermatan suatu instrumen pengukurdalam melakukan fungsiukurnya. Suatu instrumnen dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabilaalat tersebut menjalankan fungsi ukur secara tepat atau memberikanhasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukurantersebut. merupakanbesaran
Artinya yang
hasil
ukur
mencerminkan
dari
pengukuran
secara
tepat
tersebut
fakta
atau
keadaansesungguhnya dari apa yang diukur (Matondang, 2009). Pengukuran
validitas
menggunakan
kurva
receiver
operating
characterisctics(ROC). Kurva ROC meghubungkan truepositive (sensitivitas) dan false positiveprobabilitas yang dihasilkan oleh suatu model pengukuran. Daerah di bawah
kurva
(AUC)berkisar
mulai
0,5,
yang
berarti
model
tidakmemilikikemampuan diskriminasi, hingga1,0 (diskriminasi yang sempurna). Contohkurva ROC ditampilkan pada Gambar 2 (Matondang, 2009)
32
Gambar 04. Kurva ROC untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas (Matondang ,2009)