BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perdarahan Intraserebral (SICH) Perdarahan intraserebral (SICH) terjadi apabila ada pembuluh darah arteri ke otak yang pecah sehingga timbul gangguan aliran darah yang menyebabkan bagian otak tersebut tidak mendapatkan asupan darah yang memadai serta berakibat pada kerusakan dan gejala yang mendadak (Rincon et al, 2008). SICH terjadi sekitar 4 – 14% dari seluruh jenis stroke dan berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi (Bamford et al., 1990; Kase et al., 1994). Sekitar 32% hingga 50% penderita meninggal dalam 30 hari, dan hanya 20% yang mampu hidup mandiri setelah 6 bulan mengalami serangan ICH (Anderson et al., 1994; Counsell et al., 1995; Broderick et al., 1994). Beberapa faktor klinis dan radiologis seperti usia, tingkat kesadaran, hipertensi, demam, hiperglikemia, tekanan nadi, volume ICH, volume edema perihematoma, hidrosefalus, pergeseran garis tengah/ midline shift (MLS) dan IVH diketahui memberikan prognosis yang buruk pada penderita SICH (Fieschi et al., 1998; Portenoy et al., 1987; Daverat et al., 1991; Tuhrim et al., 1988; Tuhrim et al., 1991; Broderick et al., 1993; Qureshi et al., 1995; Gebel et al., 2002; Ahn et al., 2004; Broderick et al., 1999; Franke et al., 1992; Gebel et al., 2002; Leira et al., 2004; Mendelow et al., 2005; Reithmeier et al., 2005; Yuzawa et al., 2008).
14 Universitas Sumatera Utara
Selain beberapa faktor prognosis diatas, dikenal juga istilah END (early neurological deterioration), yang terjadi pada 20% hingga 40% penderita SICH, dan berhubungan dengan prognosis yang buruk (Lisk et al., 1994). Prediktor independen dari END antara lain suhu tubuh, hitung neutrofil, dan kadar fibrinogen plasma yang tinggi. Hipertermia merupakan dampak dari reaksi fase akut dan inflamasi. Kadar fibrinogen mencerminkan aktivasi mekanisme inflamasi yang menyebabkan kerusakan jaringan di sekitar hematoma. Secara klinis mayoritas penderita SICH datang dengan penurunan kesadaran akibat peningkatan ICP dan atau penekanan langsung atau distorsi thalamus atau RAS (Reticular Activating System) di batang otak. Presentasi klinis penderita SICH disamping penurunan kesadaran tergantung dari lokasi hematoma.
Tabel 1. Tabel karakteristik klinis penderita SICH berdasarkan lokasi perdarahan
Jenis
Lokasi
Tampilan klinis
perdarahan Supratentorial
Putaminal
Hemiparesis
dan
hemisensory
loss,
hemianopia & disfasia (apabila hemisfer dominan terlibat), deviasi konjugat ke sisi yang mengalami perdarahan) Thalamic
Hemisensory loss, hemiparesis & gangguan pergerakan ekstraokular, forced downward gaze, upgaze palsy, pupil miosis dan nonreaktif, paralisis konvergens, nistagmus
15 Universitas Sumatera Utara
retraktif & ptosis Lobar
Occipital: nyeri bola mata ipsilateral & defisit lapangan pandang; temporal: disfasia, ganguan lapangan pandang & nyeri telinga; frontal:
nyeri
kepala
&
hemiparesis;
parietal: nyeri kepala di temporal anterior & hemisensory loss Infratentorial
Cerebellar
Mual muntah yang mendadak, ataksia, nistagmus, dismetria, kelemahan otot wajah
Non-spesifik
Pontine
Bila berukuran kecil, dapat menyebabkan paralisis dan dapat berhubungan dengan pergerakan bola mata (lock-in state), bila berukuran besar dapat menyebabkan koma, kuadriplegia, rigiditas deserebrasi & pupil yang pinpoint
Intraventricular Meningismus & penurunan kesadaran
SICH yang berkembang menjadi IVH terjadi pada 30% hingga 45% dan merupakan faktor independen terhadap hasil akhir yang buruk. Adanya IVH meningkatkan risiko kematian yang bermakna pada penderita SICH dan volume IVH secara langsung mempengaruhi faktor kematian. IVH yang berkembang pada saat awal serangan memperburuk hasil akhir penderita SICH, dan pengangkatan
16 Universitas Sumatera Utara
hematoma intraventrikel akan mengurangi respons inflamasi, hidrosefalus dan defisit fungsional jangka panjang.
B.
Patofisiologi SICH Efek ICH terhadap jaringan otak bersifat bifasik. Pada fase awal, cedera
terjadi akibat efek massa dari hematoma (Aronowski et al., 2005). ICH menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial/ intracranial pressure (ICP), yang kemudian akan menyebabkan herniasi transtentorial (Badjatia et al., 2005). Pada fase berikutnya melibatkan faktor-faktor komponen darah yang sifatnya merusak, infiltrasi sel-sel imun sistemik ke dalam jaringan otak, aktivasi mikroglia, dan proses apoptosis yang diinduksi oleh hematoma, kerusakan progresif dari sawar darah otak/ blood brain barrier (BBB) dan meningkatnya edema otak (Xi et al., 1998; Xue et al., 2003; Wang et al., 2005; Felberg et al., 2002; Qureshi et al., 2001). Respons inflamasi pada SICH ditandai dengan aktivasi sel-sel imun lokal seperti sel mikroglia. Proses inflamasi akut dapat terlihat dalam 4 jam setelah ICH pada model hewan coba, dan reaksi inflamasi lokal ini berperan dalam kerusakan otak (Wang et al., 2007). Leukosit yang berasal dari sirkulasi darah merupakan sumber utama dari kerusakan yang terjadi. Infiltrasi dari sel-sel imun yang bersirkulasi sistemik ini memperburuk kerusakan BBB. Hal ini menyebabkan terjadinya edema (Aronowski et al., 2005; Gong et al., 2000; Ma et al., 2011). Lapisan endotel yang rusak akan memicu inflamasi dengan cara meningkatkan sintesis molekul adhesi seperti soluble intercellular cell adhesion
17 Universitas Sumatera Utara
molecule-1 (sICAM-1), soluble endothelial selectin (sE-selectin), dan soluble platelet selectin (sP-selectin) yang mengikat leukosit-leukosit yang ada didalam sirkulasi sehingga leukosit-leukosit tersebut melakukan migrasi kedalam daerah otak yang telah mengalami iskemia (Yilmaz et al., 2008). Molekul adhesi seperti sICAM-1 dan soluble vascular cell adhesion molecule-1 (sVCAM-1) merupakan parameter pro-inflamasi terhadap terjadinya aktivasi sistem imun (Bevilacque et al., 1993). Peranan molekul-molekul adhesi ini sebenarnya dalam kondisi fisiologis adalah mengatur kontak antar sel (Springer, 1990). Pengerahan dari selsel mononuklear yang berada di sirkulasi perifer merupakan langkah penting pada awal terjadinya inflamasi di otak (Hafler & Weiner, 1989). Molekul-molekul adhesi ini juga berperan dalam kondisi patologis seperti pada penyakit serebrovaskular (Endres et al., 1997). sICAM-1 dan sVCAM-1 dilaporkan meningkat kadarnya didalam cairan serebrospinal/ cerebrospinal fluid (CSF) yang diperoleh dari dalam ventrikel pada penderita SICH, yang berhubungan dengan hasil akhir yang buruk (Kraus et al., 2002). IVH juga menyebabkan peningkatan ICP. Peningkatan ICP ini menyebabkan penderita IVH mengalami penurunan kesadaran melalui beberapa mekanisme sebagai berikut, yakni: penurunan cerebral perfusion pressure (CPP), ensefalopati iskemik, edema otak yang difus, dan penekanan bagian rostral batang otak dan thalamus akibat peregangan ventrikel tiga (Naff et al., 2000; Steinke et al., 1992). Volume darah didalam ventrikel dan berat ringannya hidrosefalus yang terjadi merupakan faktor prognostik pada penderita IVH (Mayfrank et al., 1993; Tuhrim et al., 1992).
18 Universitas Sumatera Utara
Meskipun EVD dianggap sebagai pertolongan pertama pada kelompok penderita IVH yang mengalami hidrosefalus akut, ternyata tidak didapatkan hubungan antara peningkatan ICP atau kontrol ICP terhadap perburukan atau perbaikan neurologis (Adams et al., 1998). Peningkatan ICP pada IVH kemungkinan juga disebabkan oleh hal-hal lain disamping akibat hidrosefalus akut (Coplin et al., 1998). Seringkali terdapat asumsi bahwa koma ataupun kematian yang terjadi pada penderita IVH merupakan akibat dari peningkatan ICP yang akut yang kemudian mencederai reticular activating system (RAS) atau menyebabkan gangguan perfusi otak. Meskipun volume IVH yang lebih besar dan derajat dilatasi ventrikel yang lebih berat pada pemeriksaan CT scan awal berhubungan dengan hasil akhir yang buruk, tidak dijumpai hubungan antara ICP terhadap hasil akhir penderita IVH (Diringer et al., 1998).
C. Sistem Ventrikel Sistem ventrikel di otak memberikan tempat bertekanan rendah bagi CSF untuk mengalir. Sistem ini seringkali menjadi rusak apabila terisi oleh darah akibat pecahnya dinding pembuluh darah seperti halnya terjadi pada SICH (Qureshi et al., 2001). Perdarahan di otak dapat terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang disebabkan oleh aneurisma, malformasi arteri vena/ arteriovenous malformation (AVM), koagulopati, atau karena hipertensi. Berbagai kondisi patologis tersebut dapat menyebabkan akumulasi darah didalam ventrikel yang kemudian menyebabkan oklusi/ obstruksi ruang intraventrikel. Perdarahan yang
19 Universitas Sumatera Utara
lokasinya cukup dalam dari permukaan otak yang berdekatan dengan ventrikel juga dapat ruptur mengisi ke ruang ventrikel dan mengganggu regulasi tekanan intrakranial. Rupturnya darah ke dalam ventrikel akan menimbulkan penurunan kesadaran secara klinis dan seringkali menyebabkan kematian (Qureshi et al., 1995). Fasilitas pemeriksaan CT scan dan ICP monitoring kini memungkinkan pengukuran IVH baik secara kuantitatif serta efeknya terhadap ICP (Graeb et al., 1982; Naff et al., 2000; Zimmerman et al., 2006; Janny et al., 1982). Meskipun penatalaksanaan IVH secara akademis dilakukan dengan melakukan kontrol ICP dan drainase IVH hingga sistem ventrikel lancar kembali, hingga saat ini belum ada penelitian randomized control trial (RCT) dalam skala besar yang menguji manfaat dari tindakan tersebut (Broderick et al., 2007; Steiner et al., 2006).
D. Dinamika CSF pada IVH Perdarahan intraventrikel akan mengganggu absorpsi CSF yang kemudian akan menyebabkan peningkatan ICP. Hal ini telah dibuktikan dengan pemasangan ICP monitoring, dan ICP pada penderita tersebut diatas 15 mm Hg (Kosteljanetz, 1984). Sebenarnya patofisiologi transisi antara peningkatan ICP akibat hidrosefalus akut masih belum jelas diketahui. Diperkirakan adanya bekuan darah (clot) menyebabkan aliran CSF didalam ventrikel menjadi terhambat. Tetapi kenyataan klinis didapati bahwa ada sebagian penderita yang mengalami hidrosefalus juga tidak mengalami keluhan meskipun tidak dipasang shunt. Hal tersebut menunjukan bahwa peningkatan ICP tidak semata-mata menjadi faktor
20 Universitas Sumatera Utara
utama dalam terjadinya hidrosefalus, tetapi ada faktor-faktor lain seperti komposisi biokimiawi jaringan periventrikel terhadap proses terjadinya dilatasi sistim ventrikel.
E. Mekanisme Kerusakan Otak Akibat IVH Baik faktor mekanis maupun biokimiawi berperan terhadap kerusakan jaringan otak. Pada penelitian hewan coba (canine dan porcine) didapatkan informasi bahwa semakin banyak hematoma yang dimasukkan ke dalam ventrikel, maka semakin banyak hewan coba yang mati (Pang et al., 1986; Mayfrank et al., 1997; Qureshi et al., 2002). Penelitian lain juga membuktikan bahwa terpaparnya ventrikel oleh darah akan menyebabkan penurunan kesadaran dan pada tingkat jaringan, akan terjadi inflamasi, fibrosis dan hidrosefalus (Pang et al., 1986). Evakuasi hematoma dapat meningkatkan tingkat kesadaran dan mencegah inflamasi jaringan pada simulasi hewan coba, meskipun tindakan tersebut dilakukan pada beberapa saat penundaan. Pengamatan secara histologi menunjukan bahwa hidrosefalus dan inflamasi dicegah melalui evakuasi hematoma dengan trombolitik (Mayfrank et al., 2000; Wagner et al., 1999). Beberapa model lain juga menunjukan adanya proses pemulihan/ pencegahan terhadap terjadinya dilatasi ventrikel, herniasi dan koma, infiltrasi sel darah putih, edema periventrikular, dan edema yang luas.
21 Universitas Sumatera Utara
F. Penatalaksanaan IVH: Alasan Rasional dan Evidence Based Usaha mengobati IVH pada awalnya difokuskan untuk mengurangi ICP yang meningkat. Alasan pengobatan IVH ini cukup beralasan, karena ICP yang tinggi akan mengakibatkan herniasi dan iskemia, yang merupakan dua dampak yang sering terjadi pada IVH. Meskipun demikian, beberapa laporan menunjukan bahwa pengelolaan ICP yang dilakukan tidak memberikan perbaikan kesadaran dan fungsional ataupun mortalitas (Adams & Diringer, 1998; Misra et al., 2005). Sementara itu, penelitian lain melaporkan bahwa pengendalian ICP mampu memperbaiki gejala-gejala herniasi dan memperbaiki hasil akhir (Qureshi et al., 2000). Penelitian yang dilakukan dalam skala besar seperti STICH dan FVIIa, NovoSeven tidak memberikan pernyataan spesifik mengenai tindakan evakuasi IVH maupun target pengendalian ICP. Pada CLEAR IVH trial dilaporkan bahwa pengobatan IVH dengan memberikan r-TPA melalui kateter mampu mengurangi mortalitas. Evakuasi hematoma diharapkan mampu mengurangi cedera sekunder akibat efek negatif dari hematoma tersebut. Secara biologis diperkirakan tindakan tersebut mampu memblokir aktivasi inflamasi dan kematian sel yang diperantarai oleh aktivasi trombin, pembersihan dari sisa-sisa besi bebas, dan meningkatkan fagositosis dari eritrosit yang mengalami pembekuan (Xi et al., 1998; Xi et al., 2006; Zhao et al., 2007). Tindakan operasi pada penderita IVH di ventrikel lateralis dibagi menjadi metode langsung dan tidak langsung (Coplin et al., 1998; Goh et al., 1981; Haines & Lapointe, 1998; Koos, 1993; Miyake et al., 2000; Nieuwkamp et al., 2000). Metode tidak langsung yang dimaksud adalah pemasangan drain eksternal untuk
22 Universitas Sumatera Utara
menyuntikan obat-obat trombolitik. Metode langsung adalah dengan melakukan kraniotomi untuk menciptakan akses ke ventrikel lateralis untuk mengangkat hematoma dibawah visualisasi langsung. Metode tidak langsung merupakan metode yang kurang invasif, tetapi cukup sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan. Akses transkortikal untuk mencapai ventrikel lateralis terdiri dari beberapa approach: frontal, temporal, parietal dan occipital (Piepmeier et al., 1993; Timurkaynak et al., 1986). Pengangkatan hematoma menggunakan frontal approach menuju kornu inferior sangat sulit. Jarak antara kornu posterior melalui parietal approach cukup jauh dan cukup sulit untuk melakukan pengangkatan hematoma melalui kornu anterior dan inferior. Temporal approach sangat bermanfaat untuk pengangkatan hematoma di kornu inferior, tetapi tidak dapat mengkonfirmasi lesi yang berada di kornu anterior. Occipital approach cukup baik untuk mencapai kornu posterior karena pada ventrikel yang dilatasi, jarak tersebut cukup pendek dan memungkinkan untuk menilai seluruh bagian dari ventrikel lateralis. Dikenal juga high occipital approach yang dinilai lebih baik karena jarak dengan kornu posterior lebih dekat dibandingkan dengan occipital approach (Onoda et al., 2001). Pemasangan EVD baik tunggal maupun bilateral memungkinkan drainase darah dan CSF secara bersamaan dari sistim ventrikel untuk mengurangi ICP. Beberapa laporan menunjukan bahwa tindakan pemasangan EVD saja tidak cukup efektif untuk meningkatkan prognosis penderita IVH yang buruk. Tidak jarang patensi EVD sulit untuk dicapai karena seringkali darah didalam drain tersebul
23 Universitas Sumatera Utara
membeku (clotting). Untuk menghindari hal tersebut, beberapa ahli menggunakan obat-obat fibrinolitik seperti urokinase. Disamping pemasangan EVD dan tindakan operasi, dikenal juga metode lain untuk melakukan pengangkatan IVH, yakni aspirasi dengan endoskopi (Chen et al., 2011; Hamada et al., 2008; Longatti et al., 2005; Nishikawa et al., 2007; Nishikawa et al., 2008; Zhang et al., 2007). Dengan tehnik ini juga dikenal penggunaan rigid dan flexible instument dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pada tehnik ini, keberhasilan atau hasil akhir sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya sisa IVH di akuaduktus syilvii dan ventrikel IV (Saphiro et al., 1994).
G. Hipertensi dan Hasil Akhir Penderita ICH Tekanan darah seringkali mengalami peningkatan pada penderita yang mengalami ICH. Mekanisme patofisiologi yang melandasi terjadinya peningkatan tekanan darah ini adalah akibat respons stress tubuh melalui sistem neuroendokrin (sistem saraf simpatik, aksis renin-angiotensin, atau sistem glukokortikoid) dan akibat respons peningkatan tekanan intrakranial. Secara teoritis, hipertensi juga berperan dalam meluasnya hematoma intraserebral, edema perihematoma, dan terjadinya perdarahan ulang yang pada akhirnya memberikan hasil akhir yang buruk bagi penderita SICH. Pengendalian tekanan darah yang intensif dan agresif belum terbukti meningkatkan hasil akhir penderita SICH. Rekomendasi pada tahun 2010 menyebutkan bahwa penderita SICH yang pada awalnya memiliki tekanan darah
24 Universitas Sumatera Utara
sistolik antara 150 hingga 220 mm Hg cukup aman apabila dilakukan penurunan tekanan darah yang akut hingga 140 mm Hg (Class IIa; Level of Evidence: B). Apabila tekanan darah sistolik > 200 mm Hg atau MAP diatas 150 mm Hg, maka penurunan tekanan darah yang agresif menggunakan antihipertensi intravena yang diberikan melalui infus kontinyu dapat diberikan dengan melakukan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mm Hg atau MAP diatas 130 mm Hg kemungkinan besar terjadi peningkatan ICP yang perlu dimonitor dan dilakukan penurunan tekanan darah dengan antihipertensi intravena yang diberikan secara intermiten untuk mempertahankan CPP ≥ 60 mm Hg. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mm Hg atau MAP diatas 130 mm Hg kemungkinan besar terjadi peningkatan ICP yang perlu dimonitor dan dilakukan penurunan tekanan darah dapat diberikan lebih bertahap misalnya dengan target MAP 110 mm Hg atau tekanan darah 160/ 90 mm Hg menggunakan antihipertensi intravena kontinyu dengan melakukan pengukuran ulang setiap 15 menit (Class C).
H. SICH dan Koagulopati Berdasarkan etiologinya, SICH dibagi menjadi primer dan sekunder. SICH primer disebabkan oleh rupturnya pembuluh darah yang berukuran kecil atau akibat angiopati amiloid, berkontribusi 78 hinga 88% dari seluruh SICH(Foulkes, 1988). SICH sekunder berhubungan dengan anomali vaskular, tumor dan gangguan koagulasi, yang terjadi pada sebagian kecil penderita.
25 Universitas Sumatera Utara
Koagulopati atau gangguan perdarahan hanya terjadi pada sebagian kecil penderita, tetapi merupakan faktor risiko yang bermakna terhadap terjadinya SICH. Kondisi seperti hemofilia dan leukemia akut berhubungan dengan trombositopenia, perdarahan intrakranial masif yang sering menjadi penyebab utama kematian (Kerr, 1964; McCormick & Rosenfield, 1973). Proses koagulasi dan hemostasis yang dimediasi trombosit merupakan dua mekanisme
pertahanan
terhadap
perdarahan.
Kaskade
koagulasi
segera
dikerahkan setelah terjadi kontak langsung antara darah dengan lapisan endotel yang mengalami cedera. Respons kaskade koagulasi idealnya berkoordinasi dengan pembentukan plak trombosit yang awalnya menutup lesi pada pembuluh darah. Di susunan saraf pusat, ketidakseimbangan antara sistim yang pro- dengan anti-koagulan akibat faktor yang didapat maupun yang diturunkan dapat menyebabkan kelainan trombosis ataupun perdarahan. Koagulopati dapat menyebabkan perdarahan intrakranial dibagi menjadi kelainan yang didapat dan kelainan kongenital. Koagulopati yang didapat pada umumnya merupakan akibat dari obat-obat seperti aspirin, antikoagulan, dan agen trombolitik. Koagulopati yang didapat yang lain antara lain akibat: 1) neoplasma; 2) ITP (Idiopathic Trombositopenic Purpura) dan 3) Trombositopenia yang disebabkan oleh alkohol, kelainan hepar dan ginjal, maupun obat-obat yang lain. Kelainan kongenital yang dapat menyebabkan SICH antara lain hemofilia A, hemofilia B, dan penyakit jarang yang lainnya. Beberapa obat-obatan yang dikategorikan sebagai antiplatelet seperti aspirin, memilii cara kerja menghambat aktivasi enzim siklooksigenase secara
26 Universitas Sumatera Utara
irreversible sehingga mengurangi produksi platelet agreggant alami thromboxane A2 (Vane, 1971). Inhibisi ini membuat aspirin menjadi agen antiplatelet yang sangat baik secara klinis. Pada pasien-pasien yang menderita infark miokard akut dan penyakit oklusi kardiovaskular, obat aspirin mengurangi risiko infark miokard non fatal, stroke non fatal, dan kematian yang disebabkan oleh penyakit vaskular. Aspirin juga dapat mengurangi serangan infark miokard pertama pada pria (Gaziano et al, 2000). Physician’s Health Study melaporkan terdapat 23 kasus stroke hemoragik pada 11,037 penderita yang mengkonsumsi aspirin dosis rendah (325 mg setiap harinya) dibandingkan dengan 12 stroke hemoragik pada 11,034 pasien yang menerima plasebo ( Steering Committee of the Physicians’ Health Study Research Group, 1996). SICH yang disebabkan oleh antikoagulan terjadi sekitar 10% hingga 20% ( Kase, 1986; Mohr et al., 1978; Yarnell & Earnest, 1976) Lokasi perdarahan pada penderita yang mengkonsumsi antikoagulan sebagaian terjadi di intraserebral, dan hanya sebagian kecil bermanifestasi sebagai perdarahan subdural (Subdural hemorrhage/ SDH). Target INR 2.5 hingga 4.5 pada pengobatan antikoagulan meningkatkan risiko tahunan SICH sebesar tujuh hingga sepuluh kali pilat (Hart et al, 1995) Perdarahan yang disebabkan oleh antikoagulan biasanya berkembang secara gradual, dalam beberapa jam atau hari (Kase et al., 1986). SICH akibat antikoagulan seringkali terus berkembang setelah terlihat pada pemeriksaan
27 Universitas Sumatera Utara
radiologi pertama kali (Hart et al., 1995). Angka mortalitas SICH akibat antikoagulan adalah 60% (Hart et al., 1995). Mekanisme terjadinya SICH akibat antikoagulan masih belum jelas. Pada pemeriksaan autopsi pada penderita lansia yang memiliki riwayat hipertensi sering didapati pengumpulan hemosiderin yang menunjukan adanya vaskulopati pembuluh darah berkaliber kecil (Cole & Yates, 1967).
Tabel 2. Uji Tapis Laboratorium untuk kelainan perdarahan
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan Perdarahan
Hitung dan apusan darah tepi
Anemia, leukemia, DIC
Hitung trombosit
Trombositopenia
Masa perdarahan
Interaksi
antara
trombosit
dan
pembuluh darah PT
Penggunaan warfarin, defisiensi faktor I, II, V, VII dan X
aPTT
Penggunaan heparin; defisiensi seluruh faktor koagulasi, terutama faktorVIII & IX, kecuali faktor VII
TT atau Fibrinogen
Penggunaan
heparin;
hipofibrinogenemia
FDP; atau
disfibrinogenemia
28 Universitas Sumatera Utara
I. Tindakan Operasi Kraniotomi Evakuasi Pada Penderita SICH Hingga saat ini manfaat tindakan operasi dikatakan belum jelas terlihat (Class IIb; Level of Evidence: C), kecuali pada penderita yang mengalami perdarahan di serebelum yang mengalami deteriorasi neurologis atau mengalami penekanan batang otak dan/ atau yang mengalami hidrosefalus akibat obstruksi sistem ventrikel, perlu dilakukan evakuasi hematoma sesegera mungkin (Class I; Level of Evidence: B). Tindakan pertolongan pertama pada kelompok penderita diatas hanya dengan melakukan pemasangan EVD saja tanpa melakukan evakuasi hematoma, tidak dianjurkan (Class III; Level of Evidence: C). Pada penderita yang mengalami perdarahan lobar > 30 mL dan lokasinya 1 cm dari permukaan korteks maka perlu dipertimbangkan untuk kraniotomi evakuasi hematoma (Class IIb; Level of Evidence: B).
J. Tindakan Hemikraniektomi Dekompresi pada SICH Hemikraniektomi
dekompresi
yang
diikuti
dengan
evakuasi
hematoma
intraserebral merupakan prosedur yang aman dan efektif pada kasus SICH yang berukuran besar dengan gangguan kesadaran yang berat (Tekeuchi, 2013). Penelitian STICH (Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage) yang dilakukan pada 1000 penderita SICH telah gagal membuktikan bahwa tindakan kraniotomi evakuasi hematoma yang dilakukan dalam waktu 72 jam setelah onset dapat memperbaiki hasil akhir dibandingkan dengan terapi konservatif (Mandelow, 2005).
Hemikraniektomi dekompresi merupakan prosedur pembedahan yang
dilakukan untuk mengurangi peningkatan ICP yang hebat. Tindakan ini dilakukan
29 Universitas Sumatera Utara
dengan melakukan pembukaan tulang kepala dan tulang tersebut tidak dikembalikan/ disimpan untuk sementara waktu untuk memberikan waktu bagi otak yang sedang mengalami edema untuk mendapatkan penambahan ruang, sehingga tidak terjadi pergeseran jaringan otak didalam kranium yang dapat menyebabkan herniasi yang mengancam jiwa. Disamping memberikan manfaat untuk mengurangi ICP yang tinggi, prosedur ini juga dapat meningkatkan compliance jaringan otak, cadangan oksigen otak, dan perfusi otak (Aarabi, 2006; Kontopoulos, 2002; Schaller, 2003). Prosedur ini lebih banyak digunakan pada kasus cedera kepala berat, perdarahan subarachnoid yang hebat akibat ruptur aneurisma dan pada infark serebri yang berat. Sedangkan penggunaan prosedur in ipada kasus SICH masih jarang. Meskipun demikian, hemikraniektomi dekompresi dilaporkan dapat meningkatkan hasil akhir pada model ICH hewan (tikus), dan beberapa penelitian juga melaporkan manfaat prosedur ini pada SICH yang luas (Marinkovic, 2009; Dierssen, 1983; Fung, 2012; Kim, 2009; Ma, 2010; Maira, 2002; Murthy, 2005; Ramnarayan, 2009; Shimamura, 2011; Takeuchi, 2013).
K. Cedera Otak Sekunder pada SICH Ekstravasasi produk-produk darah ke parenkim otak menyebabkan pembentukan hematom, edema dan kematian sel (Sangha, 2011). Hematoma yang terbentuk dan efek massa yang diakibatkan menyebabkan defisit neurologis pada penderita SICH (Broderick, 1990; Kazui, 1996). Pemberian obat-obat hemostatik dan pengendalian tekanan darah yang ketat selama ini digunakan untuk membatasi
30 Universitas Sumatera Utara
perluasan hematom (Anderson, 2010; Anderson, 2008; Qureshi, 2007; Qureshi, 2011). Pada hitungan jam setelah terjadinya perdarahan intraserebral, efek massa dari hematoma secara mekanik merusak struktur neuron dan membran sel glia yang berada di sekitarnya, sehingga terjadi influks ion kalsium dan pelepasan neurotransmiter eksitatorik (Xi, 2006). Hal ini menyebabkan nekrosis dan edema sitotoksik (Keep, 2005). Homeostasis menjadi terganggu pada tingkat selular dan proses kerusakan terus berlanjut. Cedera otak sekunder akibat SICH diakibatkan oleh efek toksik selular, disrupsi BBB, edema vasogenik, dan upregulation dari mediator inflamasi (Hwang, 2011). Aktivasi kaskade koagulasi akan mencetuskan pembentukan trombin (Hwang, 2011). Trombin pada awalnya membatasi perluasan hematoma dan pada konsentrasi yang rendah merangsang heat shock protein dan iron scavanger. Pada konsentrasi yang tinggi seperti pada SICH, trombin akan menginisiasi beberapa jalur yang sifatnya destruktif (Hua, 2009). Trombin merangsang sel glia untuk memproduksi sitokin-sitokin inflamasi. Upregulation TNF-α akibat disrupsi integritas BBB, apoptosis, dan recruitment mediator-mediator pro-inflamasi (Barone, 1999; Hua, 2007). Upregulation beberapa MMP menyebakan terjadinya degradasi matriks ekstraselular (Giancotti, 1999; Hwang, 2011). Edema vasogenik yang diakibatkan perubahan permeabilitas BBB menyebabkan gangguan fungsional yang berlangsung selama beberapa minggu (Zazulia, 2001). Efek massa akibat edema perihematoma dapat menyebabkan
31 Universitas Sumatera Utara
hipoperfusi regional akibat penekanan pembuluh-pembuluh darah disekitarnya (Thiex, 2007). Hal ini akan menyebabkan gangguan pembentukan adenosine triphosphate, gangguan regulasi ion dan neurotransmiter, dan pembentukan radikal bebas (Siesjo, 1988). kaskade komplemen yang diinisiasi oleh trombin meningkatkan migrasi sel inflamasi melalui anafilatoksin dan destruksi selular secara langsung melalui membrane attack complex. Lisis sel-sel endotel melalui membrane attack complex pada akhirya menyebabkan disrupsi BBB lebih lanjut (Hua, 2000). Besi yang dilepaskan dari lisis sel darah merah dan radikal bebas yang dihasilkan oleh selsel inflamasi akan menghasilkan stres oksidatif, yang kemudian menyebabkan kematian sel dan kerusakan BBB lebih lanjut (Babu, 2012; Hwang, 2011). Model ICH pada hewan coba yang dikenal pada saat ini terdiri dari dua model: 1) autologous whole-blood protocol dan 2) collagenase protocol. Pada model autologous whole-blood protocol, darah dimasukan melalui pembuluh darah di permukaan dan disuntikan secara stereotaktik ke dalam striatum (Kirkman, 2011). Sesungguhnya metode ini memiliki kelemahan, dimana darah yang diinjeksikan dapat merembes disepanjang rute masuknya jarum, sehingga perdarahan juga dijumpai di dalam ventrikel dan rongga subarachnoid (Yang, 1994). Kelemahan yang lain adalah model ini tidak dapat memberikan fenomena perdarahan ulang seperti halnya SICH yang dijumpai secara klinis. Dari penelitian dengan model ini, diperoleh laporan bahwa penyuntikan produk whole blood menyebabkan defisit neurologis yang lebih ringan dibandingkan dengan SICH
32 Universitas Sumatera Utara
klinis dan menunjukan bukt-bukti pemulihan spontan (Leonardo, 2012; Grasso, 2009; Hua, 2006; Hua, 2000). Pada model kolagenase, kolagenase bakterial disuntukan kedalam nukleus kaudatus untuk membuat erosi lamina basalis pembuluh darah dan menginduksi perdarahan in situ. Perdarahan pada umumnya terlihat 10 menit setelah penyuntikan, tetapi perluasan hematoma terus berlangsung hingga 24 jam. Model ini lebih mencerminkan SICH yang dijumpai secara klinis. Mengingat kolagenase memiliki efek yang sanagt luas, maka terjadinya perdarahan ulang juga dapat dihasilkan dengan model ini (Wang, 2005). Defisit neurologis yang dihasilkan melalui model ini lebih berat dibandingkan dengna defisit neurologis yang ditimbulkan oleh model penyuntikan whole-blood, dan tidak terlihat tanda-tanda adanya pemulihan spontan pada hewan coba yang diteliti (Manaenko, 2011; Bernard, 2002; Knight, 2008; Wang, 2007). Kelemahan dari model kolagenase ini adalah toksisitas selular dan inflamasi yang terjadi lebih berat dibandingkan dengan SICH yang dijumpai secara klinis pada manusia (Manaenko, 2011).
33 Universitas Sumatera Utara