BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke Non Hemoragik 2.1.1 Pengertian dan Penyebab Stroke Non Hemoragik Stroke merupakan penyakit yang terjadi karena terganggunya peredaran darah otak yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan kelumpuhan bahkan kematian pada penderita stroke, stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (Batticaca, 2008). Menurut World Health Organization (WHO) dalam Muttaqin (2011) stroke didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh gangguan peredarah darah diotak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik lokal maupun global yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang dapat menyebabkan kematian. Stroke Hemoragik merupakan perdarahan yang terjadi karena pecahnya pembuluh darah pada daerah otak tertentu dan stroke non hemoragik merupakan terhentinya sebagaian atau keseluruhan aliran darah ke otak akibat tersumbatnya pembuluh darah otak (Wiwit, 2010). Stroke disebabkan oleh plak arteriosklerotik yang terjadi pada satu atau lebih arteri yang memberi makanan ke otak yang mengaktifkan mekanisme pembekuan darah dan menghambat aliran darah diarteri, sehingga menyebabkan hilangnya fungsi otak secara akut pada area yang teralokasi (Guyton & Hall, 2007). Stroke non hemoragik terjadi pada pembuluh darah yang mengalami sumbatan sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan otak, trombosis otak,
9
10
aterosklerosis, dan emboli serebral yang merupakan penyumbatan pembuluh darah yang timbul akibat pembentukkan plak sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah yang dikarenakan oleh penyakit jantung, diabetes, obesitas, kolesterol, merokok, stress, gaya hidup, rusak atau hancurnya neuron motorik atas (upper motor neuron), dan hipertensi (Mutaqqin, 2011). 2.1.2 Patofisiologi Stroke Non Hemoragik Stroke non hemoragik erat hubungannya dengan plak arterosklerosis yang dapat mengaktifkan mekanisme pembekuan darah sehingga terbentuk trombus yang dapat disebabkan karena hipertensi (Muttaqin, 2011). Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah dan akan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah mengakibatkan terjadinya iskemia jaringan otak dan menyebabkan hilangnya fungsi otak secara akut atau permanen pada area yang teralokasi (Guyton & Hall, 2007). Iskemia pada otak akan merusak jalur motorik pada serebrum (Potter & Perry, 2005). Iskemia pada otak juga mengakibatkan batang otak yang mengandung nuclei sensorik dan motorik yang membawa fungsi motorik dan sensorik mengalami gangguan sehingga pengaturan gerak seluruh tubuh dan keseimbangan terganggu (Guyton & Hall, 2007). Area di otak yang membutuhkan sinyal untuk pergerakkan dan koordinasi otot tidak ditrasmisikan ke spinal cord, saraf dan otot sehingga serabut motorik pada sistem saraf mengalami gangguan untuk mengontrol kekuatan dan pergerakan serta dapat mengakibatkan terjadinya kecacatan pada pasien stroke (Frasel, Burd,
11
Liebson, Lipschick & Petterson, 2008). Iskemia pada otak juga dapat mengakibatkan terjadinya defisit neurologis (Smeltzer & Bare, 2010). 2.1.3 Tanda dan Gejala Stroke Non Hemoragik Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung pada lesi atau pembuluh darah mana yang tersumbat dan ukuran area yang perfusinya tidak adekuat. Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Defisit neurologi pada stroke antara lain: 1) Defisit motorik Disfungsi motorik paling umum adalah paralisis pada salah satu sisi atau hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Diawal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul adalah paralisis dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam atau penurunan kekuatan otot untuk melakukan pergerakkan, apabila refleks tendon dalam ini muncul kembali biasanya dalam waktu 48 jam, peningkatan tonus disertai dengan spastisitas atau peningkatan tonus otot abnormal pada ekstremitas yang terkena dapat dilihat. 2) Defisit komunikasi Difungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut : a. Kesulitan dalam membentuk kata (disartria), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. b. Bicara defektif atau kehilangan bicara (disfasia atau afasia), yang terutama ekspresif atau reseptif
12
c. Ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya (apraksia) seperti terlihat ketika penderita mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya. 3) Defisit persepsi sensori Gangguan
persepsi
sensori
merupakan
ketidakmampuan
untuk
menginterpretasikan sensasi. Gangguan persepsi sensori pada stroke meliputi: a. Disfungsi persepsi visual, karena gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks visual. Kehilangan setengah lapang pandang terjadi sementara atau permanen (homonimus hemianopsia). Sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis. Kepala penderita berpaling dari sisi tubuh yang sakit dan cendrung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi tersebut yang disebut dengan amorfosintesis. Pada keadaan ini penderita hanya mampu melihat makanan pada setengah nampan, dan hanya setengah ruangan yang terlihat. b. Gangguan hubungan visual-spasial yaitu mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial sering terlihat pada penderita dengan hemiplegia kiri. Penderita tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh. c. Kehilangan sensori, karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau berat dengan kehilangan propriosepsi yaitu kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
13
4)
Defisit fungsi kognitif dan efek psikologi Disfungsi ini ditunjukkan dalam lapang pandang terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan penderita ini menghadapi masalah stress dalam program rehabilitasi.
5)
Defisit kandung kemih Kerusakan kontrol motorik dan postural menyebabkan penderita pasca stroke mengalami ketidakmampuan menggunakan urinal, mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi. Tonus otot meningkat dan refleks tendon kembali, tonus kandung kemih meningkat, dan spastisitas kandung kemih dapat terjadi.
2.1.4 Letak Kelumpuhan Stroke Non Hemoragik Letak kelumpuhan pada pasien stroke non hemoragik yaitu : 1)
Kelumpuhan sebelah kiri (hemiparesis sinistra) Kelemahan atau kelumpuhan tubuh sebelah kiri disebabkan karena adanya kerusakan pada sisi sebelah kanan otak. Penderita dengan kelumpuhan sebelah kiri sering kehilangan memori visual dan mengabaikan sisi kiri. Penderita memberikan perhatian hanya kepada sesuatu yang berada dalam lapang pandang yang dapat dilihat (Harsono, 2009).
2)
Kelumpuhan sebelah kanan (hemiparesis dextra) Kelemahan atau kelumpuhan tubuh sebelah kanan disebabkan karena adanya kerusakan pada sisi sebelah kiri otak. Penderita biasanya mempunyai kekurangan dalam kemampuan komunikasi verbal. Persepsi dan memori visual motornya sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus
14
dengan cermat diperhatikan tahap demi tahap secara visual. Gunakan lebih banyak bahasa tubuh saat berkomunikasi (Harsono, 2009). 3)
Kelumpuhan kedua sisi (paraparesis) Terjadi karena adanya arterosklerosis yang menyebabkan adanya sumbatan pada kanan dan kiri otak yang dapat mengakibatkan kelumpuhan satu sisi dan diikuti satu sisi lainnya (Markam, 2008).
2.1.5 Penatalaksanaan Stroke Non Hemoragik Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) untuk penatalaksanaan penderita stroke fase akut jika penderita stroke datang dengan keadaan koma saat masuk rumah sakit dapat dipertimbangkan mempunyai prognosis yang buruk. Penderita sadar penuh saat masuk rumah sakit menghadapi hasil yang dapat diharapkan. Fase akut berakhir 48 sampai 72 jam dengan mempertahankan jalan napas dan ventilasi adekuat adalah prioritas pada fase akut ini. Penatalaksanaan dalam fase akut meliputi: 1)
Penderita ditempatkan pada posisi lateral dengan posisi kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang.
2)
Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik perlu untuk penderita dengan stroke masif, karena henti napas dapat menjadi faktor yang mengancam kehidupan pada situasi ini.
3)
Pantau adanya kompliaksi pulmonal seperti aspirasi, atelektasis, pneumonia yang berkaitan dengan ketidakefektifan jalan napas, imobilitas atau hipoventilasi.
15
4)
Perikasa jantung untuk mengetahui ada tidaknya abnormalitas dalam ukuran dan irama serta tanda gagal jantung kongetif.
Tindakan medis terhadap penderita stroke meliputi pemberian diuretik untuk menurunkan edema serebral, yang mencapai tingkat maksimum tiga sampai lima hari setelah infark serebral. Antikoagulan diresepkan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya trombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardiovaskular. Medikasi anti trombosit dapat diresepkan karena trombosit berperan penting dalam mencegah pembentukan trombus dan embolisasi. Setelah fase akut berakhir dan kondisi pasien stroke stabil dengan jalan nafas adekuat pasien bisa dilakukan rehabilitasi dini untuk mencegah kekakuan pada otot dan sendi pasien serta membatu memperbaiki fungsi motorik dan sensorik yang mengalami gangguan untuk mencegah terjadinya komplikasi (Smeltzer & Bare, 2010). 2.1.6 Komplikasi Stroke Non Hemoragik Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, penurunan aliran darah serebral, dan embolisme serebral. 1)
Hipoksia serebral Fungsi otak bergantung pada kesediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi adekuat ke otak. Pemberian oksigen, mempertahankan hemoglobin serta hematokrit akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
16
2)
Penurunan aliran darah serebral Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integrasi pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat cairan intravena, memerbaiki aliran darah dan menurunkan viskositas darah. Hipertensi atau hipotensi perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3)
Emolisme serebral Terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan aliran darah ke serbral. Disritmia dapat menimbulkan curah jantung tidak konsisten, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus segera diperbaiki.
2.2 Kekuatan Otot Ekstremitas Atas 2.2.1 Pengertian Kekuatan Otot Kekuatan otot merupakan kemampuan otot untuk menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun statis atau dengan kata lain kekuatan otot merupakan kemampuan maksimal otot untuk berkontraksi (Trisnowiyanto, 2012). 2.2.2 Mekanisme Umum Kontraksi Kekuatan Otot Menurut Guyton dan Hall (2007) bila sebuah otot berkontaksi, timbul suatu kerja dan energi yang diperlukan. Sejumlah besar adenosine trifosfat (ATP) dipecah membentuk adenosine difosfat (ADP) selama proses kontraksi. Semakin besar jumlah kerja yang dilakukan oleh otot, semakin besar jumlah ATP yang
17
dipecahkan, yang disebut efek fenn. Sumber energi sebenarnya yang digunakan untuk kontraksi otot adalah ATP yang merupakan suatu rantai penghubung yang esensial antara fungsi penggunaan energi dan fungsi penghasil energi di tubuh. Proses gerak diawali dengan adanya rangsangan proses gerak ini, dapat terjadi apabila potensial aksi mencapai nilai ambang, tahapan-tahapan timbul dan berakhirnya kontraksi otot yaitu: 1) Suatu potensial aksi berjalan disepanjang saraf motorik sampi ke ujungnya pada serabut otot. 2) Disetiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmitter, yaitu asetilkolin dalam jumlah yang sedikit. 3) Asetilkolin bekerja pada membran serabut otot untuk membuka banyak kanal bergerbang astilkolin melalui molekul-molekul protein yang terapung pada membran. 4) Terbukanya kanal bergerbang asetilkolin, memungkinkan sejumlah besar ion natrium berdifusi ke bagian dalam membrane serabut otot. Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial aksi membran. 5) Potensial aksi akan berjalan disepanjang membrane serabut otot dengan cara yang sama seperti potensial aksi berjalan disepanjang membran serabut saraf. 6) Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran otot, dan banyak aliran listrik potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium, yang telah tersimpan didalam retikulum.
18
7) Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filament aktin dan miosin, yang menyebabkan kedua filament tersebut bergeser satu sama lain, dan menghasilkan proses kontraksi. 8) Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam retikulum sarkoplasma oleh pompa membrane Ca++, dan ion-ion ini tetap di simpan dalam retikulum sampai potensial aksi otot yang baru datang lagi, pengeluaran ion kalsium dari miofibril akan menyebabkan kontraksi otot terhenti. 2.2.3 Pemeriksaan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Kekuatan otot dapat diperiksa dengan menggunakan handgrip dynamometer dan manual muscle testing (MMT) . Kekuatan otot berdassarkan manual muscle testing (MMT) dinyatakan dengan menggunakan angka dari 0-5. Menurut (Asfuah, 2012) derajat kekuatan otot meliputi : 1) Derajat 0 yaitu paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi otot 2) Derajat 1 yaitu kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi 3) Derajat 2 yaitu otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi kekuatannya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi 4) Derajat 3 yaitu disamping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa
19
5) Derajat 4 yaitu seperti pada derajat tiga disertai dengan kemampuan otot melawan tahanan ringan 6) Derajat 5 yaitu kekuatan otot normal Dynamometer merupakan alat yang digunakan untuk mengkaji atau mengukur kekuatan otot tangan, lengan bawah, kaki (Brown, Miller & Eason, 2006). Bentuk alat handgrip dynamometer dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Handgrip Dynamometer (Sumber : Irfan, 2010)
Menurut Irfan (2010) nilai katagori kekuatan otot berdasarkan handgrip dynamometer yaitu : 1) Sempurna, laki-laki >65 kg dan perempuan >38 kg 2) Sangat kuat, laki-laki 56-64 kg dan perempuan 34-38 kg 3) Diatas rata-rata, laki-laki 52-56 kg dan perempuan 30-34 kg 4) Rata-rata, laki-laki 48-52 kg dan perempuan 26-30 kg 5) Dibawah rata-rata, laki-laki 44-48 kg dan perempuan 22-26 kg 6) Rendah, laki-laki 40-44 kg dan perempuan 20-22 kg 7) Sangat Rendah, laki-laki <40 kg dan perempuan <20 kg
20
2.3 Stimulasi Dua Dimensi 2.3.1
Pengertian Stimulasi Dua Dimensi
Dimensi merupakan gabungan dari karakter yang berbeda yang membentuk sebuah kesatuan yang bermakna (Robbins & Judge, 2008). Stimulasi merupakan sebuah dorongan atau rangsangan, stimulasi dapat diartikan sebagai pendorong atau perangsang seseorang untuk melakukan usaha dalam mencapai tujuan (Alwi, 2007). Stimulasi dua dimensi yang merupakan gabungan karakter dari stimulasi motorik dan sensorik merupakan upaya rehabilitasi yang dilakukan untuk pasien stroke dalam meningkatkan fungsi motorik dalam melakukan mobilisasi dan meningkatkan kekuatan otot pasien stroke non hemoragik. Stimulasi dua dimensi merupakan salah satu bentuk penggabungan rehabilitasi dari karakter stimulasi motorik dan sensorik yang apabila keduanya dipadukan akan mendorong sinkronisasi sensorimotorik yang akan meningkatkan respon motorik (Kleim & Jones, 2008 dalam Soloman 2013). 2.3.2 Rehabilitasi Pemberian Stimulasi Dua Dimensi 1) Pengertian rehabilitasi Rehabilitasi merupakan dasar dari program pemulihan penderita stroke (Wang, 2014). Rehabilitasi stroke merupakan sebuah program komprehensif yang terkoordinasi antara medis dan rehabilitasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan dan memodifikasi keampuan fungsional yang ada (Stein, Harvey, Macko, Winstein & Zorowitz, 2009). Rehabilitasi dini diunit
21
penanganan stroke dapat berpengaruh kepada keselamatan hidup penderita stroke (Ginsberg, 2007). 2) Tujuan rehabilitasi Tujuan Rehabilitasi medis menurut Stein, Harvey, Macko, Winstein dan Zorowitz (2009) yaitu: a. Mengoptimalkan dan memodifikasi keampuan fungsional b. Memperbaiki fungsi motorik, wicara, kognitif dan fungsi lain yang terganggu c. Membantu melakukan kegiatan aktivitas sehari – hari d. Readaptasi sosial dan mental untuk memulihkan hubungan interpersonal dan aktivitas sosial 3) Kegiatan rehabilitasi pemberian stimulasi dua dimensi Menurut (Lingga, 2013) program rehabilitasi mencakup berbagai macam kegiatan untuk melatih kembali fungsi tubuh pasien yang lemah akibat stroke yang dialami. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi medik pasien stroke meliputi: a. Latihan rentang gerak aktif dengan cylindrical grip 1) Pengertian latihan rentang gerak aktif asistif dengan cylindrical grip Latihan rentang gerak aktif merupakan latihan yang dilakukan untuk mempertahankan
atau
memperbaiki
pergerakkan
sendi
untuk
meningkatkan masa otot dan kekuatan otot (Potter & Perry, 2005). Latihan cylindrical grip merupakan suatu bentuk latihan fungsional tangan dengan cara menggenggam sebuah benda berbentuk silindris
22
seperti tisu gulung pada telapak tangan, yang bertujuan untuk menunjang pemulihan kemampuan gerak dan fungsi tangan, dengan melakukan latihan dengan menggunakan cylindrical grip akan membantu proses perkembangan motorik tangan (Irfan, 2010). Cylindrical grip merupakan salah satu dari power grip yang menggunakan benda berbentuk silindris berfungsi
untuk
menggerakkan
jari-jari
tangan
dan
membantu
menggenggam dengan sempurna (Irfan, 2010). Macam-macam latihan dengan power grip dengan menggunakan pola menggenggam dan memegang terdiri atas cylindrical grip, spherical grip, hook grip, dan lateral prehension (Irfan, 2010). Gambar latihan dengan power grip dapat dilihat pada gambar 2
Gambar 2. latihan dengan power grip (Sumber Carrozza et al . (2006)
2) Klasifikasi latihan rentang gerak Menurut Carpenito (2009) latihan rentang gerak dibagi menjadi empat katagori rentang gerak yaitu: a. Latihan rentang gerak pasif Latihan gerak pasif merupakan kontraksi otot yang dilakukan oleh bantuan orang lain.
23
b. Latihan rentang gerak aktif Latihan gerak aktif merupakan kontraksi otot secara aktif dapat melawan gaya gravitasi, seperti mengangkat tangan dalam posisi lurus c. Latihan rentang gerak aktif asistif Latihan rentang gerak aktif asistif merupakan kontraksi otot secara aktif dengan bantuan gaya dari luar, seperti bantuan dari terapis, alat mekanis atau ekstremitas yang tidak sedang dilatih. d. Latihan rentang gerak aktif resistif Latihan rentang gerak aktif resistif merupakan kontraksi otot secara aktif melawan tahanan yang diberikan, seperti melawan beban yang diberikan. 3) Tujuan latihan rentang gerak Menurut (Potter & Perry, 2005) tujuan dan manfaat dari latihan rentang gerak yaitu : a. Sistem muskuloskeletal Tujuan
dam
muskuloskeletal
manfaat
latihan
rentang
gerak
pada
sistem
yaitu memperbaiki tonus otot, meningkatkan
mobilisasi sendi, meningkatkan masa otot. b. Sistem kardiovaskuler Tujuan dan manfaat latihan rentang gerak pada sistem kardiovaskuler yaitu memperbaiki aliran balik vena, menurunkan tekanan darah istirahat, merangsang sirkulasi, meningkatkan curah jantung.
24
c. Sistem respiratori Tujuan dan manfaat latihan rentang gerak pada sistem respirasi yaitu meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernapasan diikuti oleh laju istirahat kembali lebih cepat. d. Toleransi aktivitas Meningkatkan toleransi, dan mengurangi kelemahan. 4) Posisi latihan rentang gerak aktif asistif dengan cylindrical grip Menurut (Potter & Perry, 2005), terdapat beberapa istilah dalam posisi rentang gerak aktif pada ektremitas atas yang meliputi bahu, siku, lengan bawah, pergelangan tangan, dan jari-jari tangan. Latihan rentang gerak aktif asistif dengan cylindrical grip akan melatih ekstremitas atas khususnya pada jari-jari tangan pasien stroke dengan cara pada tipe sendi conyloid hinge dengan tipe gerakkan meliputi fleksi yaitu membuat genggaman dengan rentang 90o pada otot utama lumbrikales, interosseus volaris, dan interosseus dorsalis, gerakkan ekstensi yaitu meluruskan jarijari tangan dengan rentang 90 o pada otot utama ekstensor digiti quinti proprius, ekstensor digitorum komunis dan ekstensor indicis proprius. 5) Lama latihan rentang gerak Menurut (Potter & Perry, 2005) frekuensi latihan yang baik dalam sehari adalah dua sampai tiga kali sehari dan lama latihan minimal tiga menit setiap sendi dan 15-20 menit dalam satu kali sesi latihan. Penelitian yang dilakukan oleh Garber et al (2011) dalam jurnal yang berjudul “ Quantity and Quality of Exercise for Developing and
25
Maintaining Cardiorespiratoy, Musculoskeletal, and Neuromotor Fitness in Apparently Healthy Adults : Guidance for Prescribing Exercise” rekomendasi dasar untuk melakukan latihan neuromotor yang melibatkan ketrampilan motorik meliputi latihan keseimbangan, latihan gerak, koordinasi, dan gaya berjalan untuk meningkatkan fungsi fisik dengan frekuensi dua sampai tiga kali perminggu, tiap sesi lebih dari 20-30 menit total lebih dari 60 menit latihan per minggu. b. Terapi musik 1) Pengertian terapi musik Terapi musik merupakan terapi yang menggunakan musik secara terapeutik terhadap fungsi fisik, fisiologis, kognitif dan fungsi sosial (American Music Therapy Association, 2011). Musik merupakan seni mengatur suara dalam waktu yang berkelanjutan, terpadu dan menggugah komposisi melalui melodi, harmoni, ritme, dan timbre atau warna nada (Snyder & Lindquist, 2010). 2) Tujuan dan manfaat terapi musik Tujuan dan manfaat dari terapi musik yaitu untuk mengembalikan fungsi individu sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik, melakukan pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi dengan pemberian terapi
karena
musik
dianggap
mempunyai
menyembuhkan (Wigram, Pedersen, & Bonde, 2004).
kekuatan
untuk
26
3) Jenis musik yang diberikan untuk pasien stroke Jenis musik yang diberikan untuk pasien stroke adalah musik yang lembut dan getaran yang lambat (Forsblom, 2012). Pengolahan irama yang tepat dapat membantu proses motorik melalui sinkronisasi sensorimotorik dengan musik (Fujioka et al, 2012 dalam Soloman, 2013). Salah satu jenis musik yang lembut dan nada yang lambat adalah musik instrumental (Gillen, 2009 dalam Kiling, 2011). Musik instrumental merupakan musik yang melantun tanpa vokal, hanya alat musik atau backing vokal saja yang memberikan manfaat membantu perencanaan rehabilitasi, memberikan efek ketenangan bagi yang mendengar (Schou, 2008). 4) Cara mendengarkan musik Mendengarkan musik dapat melalui headset atau speaker. a. Headset Headset merupakan perangkat elektronik saat mendengarkan musik, alat ini digunakan ditelinga dan suara yang didengar akan tampak jelas dan pendengar bisa lebih fokus dalam mendengarkan musik tanpa terpengaruh oleh kebisingan area disekitarnya (Setyaji, 2010). b. Speaker Speaker merupakan alat pengahasil suara dengan cara menggetarkan komponennya yang berbentuk selaput, dengan menggunakan speaker saat mendengarkan musik, siapa pun yang berada didekatnya dapat
27
mendengar musk dari speaker tersebut dan kebisingan area sekitar juga terdengar saat menggunakan speaker (Zaki, 2008). 5) Sesi terapi musik Menurut Wigram, Pedersen, & Bonde (2004) terdapat empat sesi dalam prosedur terapi musik, antara lain: a. Pembuka Terjadi selama 15-20 menit, pada sesi ini terapis mengkaji keluhan penderita. b. Induksi, relaksasi, dan fokus Berlangsung selama 5-10 menit,
terapis mengarahkan penderita
untuk menggerakkan otot-otot, pada penderita stroke non hemoragik penderita diarahkan untuk melakukan latihan rentang gerak aktif dan kemudian rileks, hal ini berlangsung 10 menit tanpa musik, kemudian terapis mengarahkan klien membayangkan situasi sebelum penderita terserang stroke, lalu musik dinyalakan. c. Perjalanan musik Terapis
menyatukan penderita
dalam
perjalanan musik
dan
mengeksplorasi imajinasi penderita yang mengarah pada pengalaman penderita, berlangsung selama 30 menit. d. Penutup Berlangsung 10-20 menit, ketika musik akan beakhir terapis membimbing guided imagery pelan-pelan mengembalikan pada kondisi normal dan tetap mempertahankan konsentrasi klien pada
28
pengalamannya, kegiatan ini diakhiri dengan kalimat atau dialog pendek
dimana
terapis
akan
membimbing
klien
dalam
menginterpretasikan guided imagery yang sudah dilakukan serta menghubungkannya dengan masalah yang dihadapi penderita dengan tujuan penderita memiliki pandangan baru mengenai masalahnya, dalam hal ini penderita stroke non hemoragik diberikan motivasi pemulihan tentang kondisi yang dialami seperti pulihnya kekuatan otot penderita. 6) Lama pemberian terapi musik Terapis dapat melakukan terapi musik selama kurang lebih 30 menit hingga satu jam tiap hari, namun waktu 10 menit dapat diberikan karena selama waktu 10 menit telah membantu pikiran klien beristirahat (Wigram, Pedersen, & Bonde, 2004). Posisi pasien harus nyaman saat mendengarkan musik, tempo sedikit lebih lambat 60-80 ketukan per menit dengan irama yang tenang (Schou, 2008). Salah satu contoh musik instrumental yang memiliki tempo lambat 60-80 ketukan per menit yaitu musik ethnic bali seperti gus teja. Pola sensori musik diorganisir dalam pola irama, tidak hanya membantu pasien untuk berlatih mensinkronkan waktu gerak sesuai ketukan, tetapi juga membantu terapis dalam perencanaan program yang disesuaikan dengan pola gerak pasien (Djohan, 2006).
29
2.3.3
Mekanisme Sistem Saraf terhadap Stimulasi Motorik dan Stimulasi
Sensorik 1)
Sistem saraf yang mengatur pergerakkan Sistem saraf terdiri dari otak, medula spinalis, dan saraf perifer, struktur tersebut bertangguang jawab untuk mengontrol dan mengkoordinasi aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik yang berlangsung melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras, secara langsung dan terus-menerus, responnya sebagai hasil potensial elektrik yang mentransmisikan sinyal-sinyal (Smeltzer & Bare, 2010). Menurut (Potter & Perry, 2005) pergerakan dan postur tubuh diatur oleh sistem saraf. Area motorik volunter utama, berada dikorteks serebral, yaitu di girus prasentral atau jalur motorik.
2)
Latihan rentang gerak terhadap stimulasi motorik Menurut Guyton dan Hall (2007) gerakkan yang terjadi pada latihan gerak aktif di awali dengan adanya perintah untuk bekerja yang diaktifkan oleh sinyal dari otak yang diawali oleh korteks serebri yang dicapai ketika korteks mengaktifkan pola fungsi yang tersimpan pada area otak yang lebih rendah yaitu medulla spinalis, batang otak, ganglia basalis dan serebelum yang kemudian mengirimkan banyak sinyal pengaktivasi spesifik ke otot dan memicu banyak aktivitas motorik normal terutama untuk pergerakkan. Menurut Guyton dan Hall (2007) integrasi banyak bagian dari sistem pengatur motorik yaitu:
30
a.
Tingkat spinal Tingkat spinal yang telah terprogram dalam medulla spinalis adalah polapola gerakan setempat untuk semua daerah otot pada tubuh, sebagai contoh refleks menghindar yang mendorong setiap bagian tubuh untuk menjauh dari sumber rasa nyeri. Medulla juga merupakan lokus bagi polapola kompleks gerakan ritmis seperti gerakan anggota tubuh ke depan, dan ke belakang untuk berjalan, ditambah gerakan timbal balik dari sisi tubuh yang berlawanan. Semua program pada medulla ini dapat diperintahkan menjadi suatu aksi oleh pengatur motorik tingkat yang lebih tinggi atau program tersebut dapat dihambat sementara tingkat pengatur yang lebih tinggi mengambil alih.
b.
Tingkat otak belakang Otak belakang melakukan dua fungsi utama untuk pengaturan motorik umum pada tubuh, yaitu memelihara tonus aksial tubuh dengan tujuan untuk berdiri tegak dan terus menerus melakukan modifikasi terhadap peningkatan tonus pada otot-otot dalam responnya terhadap informasi yang dating dari apparatus vestibular untuk tujuan memelihara keseimbangan tubuh.
c.
Tingkat korteks motorik Sistem korteks motorik menyediakan banyak sekali sinyal motorik aktivasi bagi medulla spinalis. Sistem ini juga mengubah intensitas berbagai pola.
31
d.
Fungsi serebelum yang berkaitan Fungsi serebelum berhubungan dengan semua tingkat pengatur motorik. Medulla spinalis bersama serebelum berfungsi untuk menguatkan refleks regang, sehingga bila otot yang berkontraksi mendapat beban yang berlebihan, sinyal refleks regang yang panjang dijalarkan ke semua arah melalui serebelum dan kembali lagi ke medulla yang dengan kuat meningkatkan efek penahan beban pada refleks regang dasar. Serebelum bekerja berhubungan dengan korteks untuk menghasilkan banyak fungsi motorik asesorius, terutama untuk menimbulkan tenaga motorik ekstra yang kemudian mengontraksikan otot secara cepat pada saat dimulainya gerakan pada tingkat korteks serebri. Mendekati akhir pergerakan, serebelum menghidupkan otot-otot antagonis pada saat yang tepat dan dengan kekuatan yang sesuai untuk menghentikan gerakan pada titik yang diinginkan. Serebelum bersama dengan korteks serebri berfungsi pada tingkat pengatur motorik lain yaitu serebelum membantu untuk merencanakan kotraksi otot yang luas untuk kelancaran kemajuan gerakan. Sirkuit neural untuk perjalanan ini berjalan dari kortes serebri ke zona lateral yang luas pada hemisferium serebri kemudian kembali ke korteks serebri. Serebelum berfungsi ketika gerakan otot harus berlangasung cepat. Tanpa keikutsertaan serebelum, gerakan yang lambat dan diperhitungkan masih dapat terjadi, tetapi hal ini menjadi sulit bagi sistem kortikospinal untuk mencapai gerakan cepat dan mengubah gerakan yang diinginkan
32
melaksanakan tujuan tertentu atau terutama untuk kelancaran perpindahan dari satu gerakan cepat ke gerakan berikutnya. e.
Fungsi-fungsi ganglia basalis yang saling berkaitan Ganglia basalis merupakan pengatur motorik penting, yang seluruhnya berbeda dengan serebelum. Ganglia basalis berfungsi untuk membantu korteks untuk melaksanakan pola-pola gerakan dibawah sadar yang telah dipelajari dan membantu merencanakan pola-pola gerakan yang pararel dan berurutan ketika pikiran harus melakukannya bersama-sama untuk menyempurnakan kerja yang bertujuan penuh. Jenis pola motorik yang memerlukan ganglia basalis antara lain pola untuk menulis semua macam huruf yang berbeda-beda, melempar bola dan untuk mengetik. Ganglia basalis diperlukan untuk memodifikas pola-pola ini untuk menulis huruf berukuran kecil atau besar, jadi mengendalikan dimensi pola tersebut.
3)
Terapi musik terhadap stimulasi sensorik Menurut Guyton dan Hall (2007) masukkan ke dalam sistem saraf dapat timbul karena adanya reseptor sensori yang mengenali bermacam-macam rangsangan seperti suara, rangsangan nyeri, rangsangan sensasi. Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) kerja dari sistem sensorik yaitu talamus, berfungsi sebagai pusat penerima dan pengirim saraf-saraf sensori aferen yang berada di dalam fossa bagian tengah otak, mengintegrasi impuls sensori yaitu mengenal suara, nyeri, temperatur atau sentuhan. Talamus bertanggung jawab untuk merasakan gerakan, posisi dan kemampuan mengenal ukuran, bentuk
33
dan kualitas benda. Talamus juga bertanggung jawab untuk perjalanan semua stimulus sensori menuju korteks serebri, yang juga mengirim dan menerjemahkan sensori kedalam respon yang tepat.
2.4 Pengaruh Stimulasi Dua Dimensi Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pasien Stroke Non Hemoragik Stroke diakibatkan oleh karena rusak atau hancurnya neuron motorik atas (upper motor neuron), hal tersebut mengakibatkan terjadinya komplikasi salah satunya pada ekstremitas atas penderita stroke (Foley, Mehta, Jutai, Staines & Teasell, 2013). Rehabilitasi merupakan landasan yang mendasari perbaikan kondisi, dan menghindari terjadinya kecacatan pada penderita stroke (Wang, 2014). Dasar dari teknik rehabilitasi ada banyak yang berperan sebagai fasilitas untuk memperbaiki atau memulihkan pergerakkan yang mengalami gangguan dan mengurangi terjadinya kecacatan pada penderita stroke (Takeuchi & Izumi, 2013). Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat penting dalam membantu mengaplikasikan teknik dari rehabilitasi yang ada pada Nursing Outcomes Classificaton (NOC) dan Nursing Intervention classification (NIC) dapat dijadikan pedoman perawat dalam menentukan kriteria hasil dan intervensi yang diberikan untuk penderita stroke dalam menjalani rehabilitasi. Rehabilitasi dalam Nursing Outcomes Classificaton (NOC) untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif adalah Joint movement yang
sudah dijelaskan menganai
kriteria hasil yang ingin dicapai perawat dalam melakukan latihan rentang gerak aktif (Moorhead, Johnson, Maas & Swanson, 2008).
34
Latihan rentang gerak aktif pada
Nursing Intervention classification (NIC)
digambarkan sebagai exercise therapy:Joint Mobility
bertujuan untuk
mengembalikan fleksibilitas sendi yang dilakukan mandiri oleh penderita tanpa bantuan orang lain yang menggerakkan anggota tubuhnya (Dochterman & Bulechek, 2004) dan pada Nursing Intervention classification (NIC) terdapat intervensi terapi musik yang diberikan untuk membantu mencapai perubahan sikap, perasaan dan psikologis seseorang. Terapi musik juga merupakan terapi komplementer yang berjenis mind body spirit therapies, yaitu terapi yang menggunakan pendekatan perilaku, psikologis, sosial dan spiritual untuk kesehatan pasien (Wigram, Pedersen & Bonde, 2004). Pengolahan irama yang tepat dapat membantu proses motorik melalui sinkronisasi sensorimotor (Fujioka et al, 2012 dalam soloman, 2013). Sinkronisasi intraseluler dalam otak dapat membantu pemulihan fungsional dan neuroplastisitas (Arai et al, 2011 dalam soloman, 2013). Neuroplastisitas merupakan kemampuan sel-sel saraf mengubah diri, perihal kapasitas otak untuk berubah baik karena pengaruh sengaja dari luar maupun karena perubahan metabolism dalam otak (Given, 2007). Mekanisme tujuan dari pemulihan fungsi pasca stroke dengan terapi musik dan terapi fisik baik berupa latihan rentang gerak dapat mendorong sinkronisasi sensorimotorik yang akan meningkatkan respon motorik, neuroplastisitas dan meningkatkan fungsional penderita stroke (Kleim & Jones, 2008 dalam soloman, 2013). Menurut Sukmaninggrum, Kristiyawati dan Solechan (2012) dalam jurnal yang berjudul “efektifitas range of motion (ROM) aktif-asistif spherical grip terhadap peningkatan kekuatan otot pada ekstremitas atas pasien stroke di RSUD
35
Tugurejo Semarang” didapatkan hasil dengan melakukan ROM aktif-asistif spherical grip terdapat peningkatan kekuatan otot antara sebelum dan sesudah melakukan kegiatan dengan ROM aktif-asistif spherical grip Menurut Forsblom (2012) dalam jurnal yang berjudul “Experience of Music Listening and Music Therapy in Acute Stroke Rehabilitation” 60 peserta dari Dapartemen Neurologi di Helsinki Central University Hospital menunjukkan hasil penderita stroke yang diberikan terapi musik dengan musik yang lembut, getaran yang lambat dapat mengurangi depresi, meningkatkan suasana hati, pemulihan kemunikasi verbal, meningkatkan perhatian. Tiga bulan terapi musik, didapatkan dari hasil wawancara 20 penderita mengenai enam katagori antara lain didapatkan hasil 80% menjadi relaks, 65% memberikan stimulasi menyegarkan, 90% Meningkatkan aktivitas motorik, 95% mengubah suasana hati menjadi positif, 85% membangkitkan memori, 75% memberikan kontribusi secara keseluruhan untuk pemulihan mereka. Penggabungan stimulasi dua dimensi dilakukan untuk mengetahui kemajuan gabungan kedua stimulasi tersebut untuk mempercepat pemulihan fungsi motorik dan sensorik pasien stroke non hemoragik.
��������������������������������������������������������������������������� ��������������������������������������������������������������������������������� �����������������������������������������������������