BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dermatitis Atopik 2.1.1. Definisi Dermatitis atopik atau eksema atopik merupakan penyakit kulit kronik yang sering dijumpai pada bayi dan anak yang didasari oleh faktor herediter dan lingkungan dengan gejala eritema, papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus yang hebat. Pada kebanyakan penderita dermatitis atopik terdapat reaksi kulit yang didasari oleh immunoglobulin E (IgE) dan mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rhinitis atau keduanya dikemudian hari dan dikenal sebagai allergic-march.10,11 Kriteria diagnosis dermatitis atopik adalah bila dijumpai kondisi kulit yang gatal (sesuai laporan orang tua/pengasuh mengenai riwayat menggaruk pada anak) dengan tiga atau lebih kriteria minor sesuai dengan usia anak.10
2.1.2. Epidemiologi Angka kejadian dermatitis atopik masih cukup tinggi, 15% sampai 25% terjadi pada anak-anak dan 3% pada dewasa.1 Prevalensi dermatitis atopik sekitar 18,1% pada anak usia 3 sampai 5 tahun. 3 Dermatitis atopik menyebabkan morbiditas dan memiliki efek terhadap kualitas hidup. 2 Sekitar 85% pasien dengan dermatitis atopik muncul pada masa kanak-
Universitas Sumatera Utara
kanak dan 70% pasien dengan dermatitis atopik berat berkembang menjadi asma atau rhinitis.1
2.1.3. Patogenesis Dari
penelitian-penelitian
didapatkan
4
peranan
yang
mempengaruhi terjadinya dermatitis atopik yaitu defek barier kulit, alergi, autoimun dan kolonisasi agen mikroba.12 Ada dua hipotesis mengenai awal terjadinya dermatitis atopik yaitu hipotesis inside-outside dan hipotesis outside-inside. Hipotesis inside-outside dikatakan karena pada dermatitis atopik terjadi defek barier kulit yang merupakan reaksi sekunder pada respons inflamasi terhadap iritan dan alergen. Dan hipotesis outsideinside dikatakan karena pada serosis dan permeabilitas barier yang tidak normal dapat menimbulkan inflamasi pada dermatitis atopik.12,13 Lapisan kulit pada dermatitis atopik dijumpai defisien molekul lipid dan peptida antimikroba seperti
cathelicidin
yang menunjukkan
pertahanan pertama pada segala agen infeksi. Barir kulit yang abnormal mengakibatkan hilangnya cairan
transdermal sehingga meningkatkan
penetrasi alergen dan mikroba pada kulit. Staphylococcus aureus (S. Aureus) merupakan kolonisasi bakteri yang paling infeksius pada pasien dermatitis atopik.2
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Diagnosis Diagnosis
dermatitis
atopik
ditegakkan
berdasarkan
riwayat
penyakit dan manifestasi klinis yang dijumpai. Beberapa kriteria diagnosis digunakan untuk mendiagnosis dermatitis atopik tanpa harus melakukan tes invasif dan memiliki spesifitas dan sensitivitas yang tinggi yaitu kriteria Hanifin dan Rajka.14 Gejala umum dermatitis atopik muncul sebelum bayi berumur 6 bulan dan dapat sembuh dengan bertambahnya usia akan tetapi dapat juga menetap bahkan memberat sampai dewasa. 11 Manifestasi klinis yang muncul pada dermatitis atopik bervariasi berdasarkan usia, karena gatal pada dermatitis atopik berkelanjutan setiap harinya dan akan memberat pada malam hari sehingga menyebabkan gangguan tidur yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. 2 Indeks SCORing Atopic Dermatitis (SCORAD) adalah alat klinis yang digunakan untuk menilai keparahan dermatitis atopik. Penilaian indeks SCORAD berupa gejala objektif yang terdiri dari persentase area dan intensitas yang sering muncul berupa eritema, papul, krusta, ekskoriasi, xerosis dan likenifikasi. Gejala subjektif yang dinilai adalah pruritus dan insomnia yang didapatkan dari orang tua dan dinilai dengan angka nol sampai 10. Dari indeks SCORAD dapat dikelompokkan derajatnya yaitu ringan, sedang dan berat. Dikatakan ringan bila nilai indeks SCORAD kurang dari 25, sedang bila nilai indeks SCORAD 25 sampai 50 dan dikatakan berat bila nilai indeks SCORAD lebih dari 50.15 Gejala dermatitis atopik berdasarkan usia adalah bentuk infantil, bentuk anak dan bentuk dewasa. 10 Selain indeks SCORAD, pengukuran derajat keparahan dermatitis atopik dapat menggunakan Eczema Area and Severity Index (EASI), Investigator
Universitas Sumatera Utara
Global Assessment (IGA) atau Three Item Severity Scale (TISS). EASI menilai derajat keparahan dermatitis atopik dengan mengukur area yang terlibat kepala dan leher, badan termasuk daerah genitalia, anggota gerak atas dan bawah dengan 4 gejala eritema, ketebalan, ekskoriasi dn likenifikasi. IGA merupakan sistem penilaian derajat keparahan dermatitis atopik dengan menilai gejala inflamasi tidak dijumpai skor 0, skor 1 bila eritema dan papul , skor 2 dijumpai eritema dengan papul ringan, skor 3 dijumpai eritema dengan papul sedang, skor 4 ditemukan eritema dan papul yang berat dan skor 5 bila dijumpai eritema berat dengan krusta. TISS sistem penilaian sederhana yang menggunakan tiga item intensitas indeks SCORAD yaitu eritema, edema dan ekskoriasi dengan masing masing gejala dinilai pada skala 0 sampai 3.
Bentuk Infantil Bentuk ini berlangsung sampai usia 2 tahun, merupakan bentuk dermatitis akut eksudatif, predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Pada bayi lebih muda, predileksi lebih sering di muka dan pada bayi yang sudah merangkak predileksi lebih sering pada daerah ekstensor. Lesi paling menonjol adalah vesikel, papula serta garukan yang menyebabkan krusta terkadang infeksi sekunder. Gatal adalah gejala yang mencolok sehingga bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu. Pada sebagian penderita disertai infeksi bakteri maupun jamur.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk Anak Bentuk ini lebih sering merupakan lanjutan infantile. Gejala ditandai dengan kulit kering (xerosis) yang bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita.
Bentuk Dewasa Bentuk ini terjadi pada usia lebih dari 20 tahun, berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis kronik dengan gejala utama likenifikasi dan skuamasi. Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik Dermatitis Atopik Hanifin dan Rajka:14 Kriteria mayor (3 dari 4 temuan) Pruritus Morfologi dan distribusi lesi kulit Dermatitis kronik atau dermatitis relaps Riwayat atopic Kriteria minor (3 dari 23 temuan) Xerosis Iktiosis Reaktivitas cepat uji kulit Peningkatan IgE Onset yang cepat Mudah terinfeksi kulit Mudah muncul dermatitis pada tangan dan kaki Eksema puting susu Cheilitis Konjungtivitis berulang Lipatan infra orbita dennie morgan Keratoconus Katarak anterior subcapsular Kehitaman di daerah mata Pucat pada wajah/eritema Pityriasis alba Lipatan leher bagian depan Gatal saat berkeringat Intoleransi terhadap wool dan larutan lemak Perfollicular accentuation Faktor lingkungan/emosional White demographism/delayed blanch
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Tatalaksana Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan akan tetapi dapat dikontrol.10 Dari patogenesis dermatitis atopik dijumpai keterlibatan pada reaksi alergi, agen infeksius, iritan, lingkungan fisik dan stres emosional yang sangat penting dalam memulai pengobatan. Pengobatan dermatitis atopik dibagi atas 2 bentuk yaitu pengobatan topikal dan sistemik.13 Mandi disarankan untuk pasien dermatitis atopik sebagai bagian dari terapi dan perawatan walaupun tidak ada standard berapa kali atau berapa lama waktu yang digunakan untuk pasien deramatitis atopik. 16 Dengan mandi dapat mengurangi alergen pada lapisan kulit dan mengurangi kolonisasi kuman S. aureus. Penggunaan emollient yang dikombinasi dengan hidrasi membantu dalam memperbaiki barier stratum korneum dan mengurangi penggunaan salep kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid topikal maupun sistemik untuk jangka panjang sebaiknya diamati efek samping yang mungkin terjadi. Pilihan yang cukup aman menurut dermatologi dengan penggunaan calcineurin inhibitor seperti salep tacrolimus 0,03% dan 0,1% dan salep pimecrolimus 1% sebagai zat non steroid yang digunakan untuk mengurangi efek samping jangka panjang steroid topikal.13 Pengobatan sistemik diberikan untuk mengurangi rasa gatal dengan
memberikan antihistamin
(H1) seperti difenhidramin atau
Universitas Sumatera Utara
terfenadin atau antihistamin nonklasik lain. Kombinasi antihistamin H1 dengan H2 dapat menolong pada kasus tertentu. 10,13
2.2. Vitamin D 2.2.1. Sumber Vitamin D Vitamin D didapat dari makanan dan suplemen. Dari
sumber
makanan dan suplemen seperti pada tabel 2.4 Tabel 2.2. Sumber Vitamin D dari Makanan dan Suplemen Makanan Minyak hati ikan cod, Salmon, dimasak, Mackarel, dimasak, Sarden, kaleng Ikan tuna, kaleng Susu, vitamin D fortifikasi Margarin, fortifikasi Sereal siap saji Telur Hati/Daging Keju, swiss Suplemen Vitamin D2 (ergocalciferol) Vitamin D2 cair 1,25-dihydroxyvitamin D (Rocaltriol) 1,25-dyhidroxyvitamin D (Calcijex) Vitamin D3/ Cholecalciferol
Jumlah 1 sendok makan 3,5 ons 3,5 ons 1,75 ons 3 ons 1 cup 1 sendok makan 0,75-1 cup 1 butir 3,5 ons 1 ons
Vitamin D (IU) 1,360 360 345 250 200 98 60 40 20 15 12
50.000 IU / capsul 8.000 IU/mL 0,25 atau 0,5mcg/capsul 1 mcg/mL injeksi 400, 800, 1000, 2000 IU/tablet
Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak merupakan prohormon dan memiliki fungsi utama mengatur keseimbangan kalsium tubuh.13 Ada 2 bentuk vitamin D yaitu, ergocalsiferol atau vitamin D2 terdapat pada tanaman dan cholecalciferol atau vitamin D3 yang disintesis oleh kulit dengan adanya paparan sinar matahari.17 Bentuk aktif vitamin D
Universitas Sumatera Utara
diikat oleh vitamin D receptor (VDR) yang ada dalam tulang, usus, ginjal, paratiroid dan jaringan hematopoetik, sel sistem imun, prostat pada lakilaki dan lokasi lain yang berhubungan. Biosintesis vitamin D melewati beberapa tahap mulai dari bentuk kolesterol yang dioksidasi menjadi provitamin D dan kemudian diubah menjadi 7-hydrocalciferol oleh sinar ultraviolet (UV) diikuti dengan konversi menjadi pre-vitamin D. Konversi ini terjadi karena adanya konversi suhu yang reversible terhadap vitamin D3 pada kulit yang dikenal sebagai cholecalciferol. Mekanisme ini berfungsi untuk mencegah produksi vitamin D3 yang berlebihan bila terpapar sinar matahari saat vitamin D3 dikonversi menjadi bentuk yang tidak aktif. Vitamin D Binding Protein (VDBP) mengikat vitamin D3 dalam darah dan membawa ke hati untuk dikonversi menjadi 25-hydroxycholecalciferol (25(OH)D3). Kemudian masuk ke aliran darah menuju ginjal yang kemudian diubah
menjadi
1,25-dihydroxycholecalciferol
(1,25-(OH)2D3)
yang
merupakan vitamin D aktif dan 24,25-dihydroxycholecalciferol yang merupakan vitamin D tidak aktif.18
2.2.2. Distribusi Vitamin D dalam Tubuh Vitamin D mempunyai aktivitas seperti hormon, disimpan di hati dan di ekskresi melalui feses, dosis yang berlebihan dapat menimbulkan efek toksik. Vitamin D dalam bentuk aktif memiliki peranan penting pada sistem reproduksi terutama metabolisme prostat dan sistem imun. 17 Fungsinya
Universitas Sumatera Utara
terhadap
homeostasis
kalsium
pada
usus,
absorpsi
fosfat
dan
menurunkan kalsium dan eksresi kalsium melalui ginjal. Vitamin D disimpan dalam bentuk inert di dalam tubuh dan untuk menjadi bentuk aktif vitamin D harus dimetabolisme lebih dahulu melalui rangkaian proses hidroksilasi di ginjal dan di hati. Dalam sirkulasi vitamin D diikat oleh α– globulin yang khusus dan selanjutnya disimpan pada lemak tubuh untuk waktu
lama
dengan
masa
paruh
19
sampai
25
jam.
25-
hidroksikolekalsiferol mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat sehingga masa paruh dapat mencapai 19 hari. 19
2.2.3. Kebutuhan Vitamin D Institute of Medicine (IOM) menentukan kebutuhan nutrisi kalsium dan vitamin D di Amerika utara sesuai dengan review yang komprehensif terhadap hasil yang didapat pada skeletal dan ekstraskeletal. Berdasarkan pada tulang yang sehat untuk kebutuhan vitamin D, Recommended Dietary Allowances (RDA) untuk usia 1 sampai 70 tahun adalah 600 IU perhari, RDA ini ditentukan berdasarkan minimalnya paparan sinar ultra UV yang berhubungan dengan sintesis vitamin D dan risiko terjadinya kanker kulit.18 Risiko terjadinya gejala asma pada neonatus berhubungan pada asupan makanan ibu saat hamil, dengan banyaknya asupan makanan, susu, keju dan kasium menunjukkan penurunan risiko gejala asma. 19
Universitas Sumatera Utara
2.3. Vitamin D dan Dermatitis Atopik Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak yang merupakan
prohormon
dan
memiliki
fungsi
utama
mengatur
keseimbangan kalsium tubuh.20 Vitamin D sebagai imunomodulator merupakan zat yang berperan dalam usaha mengembalikan dan memperbaiki keadaan patologik menjadi normal kembali dengan cara menekan fungsi imun yang berlebihan (imunosupresi).5 Defisiensi vitamin D berhubungan dengan kerentanan terhadap infeksi yang meningkat oleh gangguan imunitas non spesifik dan hipersensitivitas tipe lambat. Imunomodulator adalah obat-obatan yang dapat mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun. Imunosupresi atau disebut juga down regulation merupakan usaha menekan respons imun sebagai kontrol negatif atau reaktivitas imunologik. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut juga imunopotensiasi atau upregulation merupakan usaha untuk memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem imun. Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun. Imunosupresi adalah usaha untuk menekan respons imun, berfungsi sebagai kontrol negatif atau regulasi reaktivitas imunologik. Pada sistem imun dan respons imun, peranan vitamin D didapat melalui reseptor vitamin D pada hampir semua sel pada sistem imun termasuk limfosit T, neutrofil dan antigen presenting cel (APC) seperti makrofag dan
Universitas Sumatera Utara
sel dendritik.21 Metabolit aktif vitamin D, 1,25D merupakan inhibitor pematangan sel dendritik yang merupakan APC paling poten dan bekerja langsung pada limfosit T dalam menghambat proliferasi sel T.5 Metabolit vitamin D menekan aktivasi antigen dan pengambilan Th-1 dengan efek polarisasi respon T helper menjadi Th-2 yang dianggap sebagai komponen penting dalam menekan respons imun yang diaktivasi oleh Th1.7 Pada barier kulit yang abnormal vitamin D berperan pada ekspresi cathelicidin oleh makrofag yang merupakan peptide antimikroba berperan untuk membunuh kuman. Gambar dibawah ini menerangkan peranan vitamin D melalui VDR yang berperan sebagai imunomodulator.
Gambar 2.1. Mekanisme Vitamin D dalam Fungsi Nonskeletal20 Pada suatu penelitian menjelaskan bahwa asupan vitamin D yang tinggi pada tahun pertama kehidupan berhubungan dengan onset manifestasi atopik lambat yaitu saat usia 6 tahun.22 Didapatkan juga peningkatan prevalensi dermatitis atopik pada bayi yang lahir dari ibu dengan asupan rendah vitamin D atau rendah ikan selama kehamilan.
Universitas Sumatera Utara
Pada satu studi didapatkan level serum vitamin D yang rendah pada penderita asma dan defisiensi vitamin D banyak dijumpai pada anak dengan asma, rhinitis alergi, dermatitis atopik, urtikaria akut dan alergi makanan dimana defisiensi vitamin D disertai dengan peningkatan IgE. 23 Vitamin D dapat menekan produksi IL-12, mengurangi respons Th1 dan berpontensial secara langsung meningkatkan proliferasi alergi oleh Th-2. Dengan stimulasi oleh vitamin D, sel T CD4+ menunjukkan respons terhadap Th-2 dengan meningkatkan produksi IL-4, IL-5, dan IL-10. Pada satu studi pemberian vitamin D membantu konversi sel T CD4+ menjadi sel T-reg yang memiliki peranan menurunkan mekanisme alergi.24 Beberapa studi menjelaskan efek vitamin D sebagai sitokin proinflamasi, regulasi sel T. Studi cross-sectional Costa Rican Children menjelaskan rendahnya kadar 25 (OH)D disertai dengan peningkatan IgE dan eosinofil sama seperti peningkatan kejadian asma pada pasien yang di rawat di rumah sakit dengan pemberian anti inflamasi. 13 Vitamin D memiliki fungsi yang penting pada imunitas bawaan dan imunitas didapat melalui rangsangan T-toll like reseptor, meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dan memudahkan respons Th-2.25 Pada dermatitis atopik dijumpai defek pada imunitas bawaan karena kurangnya antimicrobial peptide (AMP) pada daerah kulit yang meradang.
Pemberian
meningkatkan
ekspresi
vitamin AMP
D pada
pada kulit.
dermatitis
atopik
Penelitian
Hata,
dapat dkk
menerangkan pemberian diet vitamin D dapat meningkatkan fungsi
Universitas Sumatera Utara
imunitas bawaan pada kulit dermatitis atopik semenjak dibuktikan secara in vitro bahwa vitamin D dapat merangsang pembentukan AMP pada tubuh.9 Pemberian vitamin D oral memberikan reaksi dalam menurunkan ekspresi sitokin Th-2 dengan dijumpainya peningkatan vitamin D pada serum.9 Pada regulator sel Th-17 fungsi vitamin D belum jelas, tetapi dilakukan satu studi pada binatang dengan penyakit radang saluran cerna colitis menunjukkan bahwa dengan pemberian 1,25(OH)2D 3 mengurangi ekspresi IL-17 yang merupakan sitokin yang dibentuk oleh Th-17 yang merupakan sel T repertoire dengan karaketristik mirip Th-1 atau Th-2, memiliki peranan penting pada kuman patogen berhubungan dengan kerusakan jaringan dan radang.26
Universitas Sumatera Utara
Kerangka Konseptual Alergen
APC
Proliferasi Limfosit T
Sel T
Sel T h
Th-1
Th-2
IL-2
IL -13
Penurunan respons imun
Vitamin D
Ig E Indeks SCORAD sebelum pemberian
Dermatitis Atopik
Indeks SCORAD sesudah pemberian
Universitas Sumatera Utara